2) Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan yang utama dalam hukum adat adalah untuk melahirkan
keturunan, (Djaren Saragih, 1982:143-135; R. Soepomo, 1967:45), yang ditentukan
oleh bentuk perkawinan oleh cara menarik garis keturunan (MG. Endang Sumiarni,
1993:70). yaitu :
Jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan
itu sudah sah menurut hukum adat. Bagi mereka yang belum menganut agama yang
diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama
lama (kuno) seperti sipelebegu (pemuja roh) di kalangan orang Batak (J.C.
4|Materi Hukum Kekerabatan
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
Kalimantan tengah1 dan lainnya, maka perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib
adat agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat (Koentjaraningrat/ J.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut
masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat
bersangkutan. Pada masyarakat Lampung beradat pepadun, walaupun perkawinan
suami isteri itu sudah sah dilaksanakan menurut Hukum Islam, apabila kedua
mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugruk adat) Lampung
berarti mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat
Syarat dan sahnya perkawinan menurut hukum adat dan juga menurut pendapat
para sarjana, jika dikaitkan dengan kesetaraan jender, belum terdapat kesetaraan antara
calon suami isteri. Setiap pribadi meskipun sudah dewasa tidak bebas menyatakan
kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan kerabat. Batas umur untuk
kawin tidak dibatasi umur tertentu, bahkan seorang gadis belum balig pun dapat
dikawinkan secara paksa dengan pria dewasa, untuk dijadikan selir, atau dikawinkan
sebagai pelunasan hutang. Dengan demikian seorang wanita dalam posisi lemah, tidak
ada posisi tawar menawar dalam melakukan perkawinan. Sahnya suatu perkawinan
menurut hukum adat jika sudah dilakukan oleh dan menjadi warga adat setempat dengan
simbul-simbul yang melambangkan wanita menjadi pelayan /mengabdi suami
Bentuk-bentuk perkawinan dan akibat hukum terhadap hak dan kewajiban suami
isteri sebagai berikut:
1) Patrilineal
Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal atau menarik garis
keturunan berdasarkan pihak laki-laki juga terdapat bermacam-macam bentuk
perkawinan, yaitu:
a)Perkawinan jujur
Di kalangan masyarakat adat yang susunannya patrilineal pada umumnya
dianut bentuk perkawinan jujur, seperti yang terdapat di Batak, Pasemah, Rejang,
Lampung, Bali, Nusa Tenggara, Irian, Ambon, Nias Alas, Gayo, Tapanuli, dan
sebagainya. Fungsi dari jujur adalah sebagai :
1) Secara yuridis untuk mengubah status keanggotaan clan dari wanita.
2) Secara ekonomis membawa pergeseran dalam kekayaan.
3) Secara sosial tindakan penyerahan jujur itu mempunyai arti pihak wanita
mempunyai kedudukan yang dihormati (Djaren Saragih, 1986:135).
Sebagai konsekuensi dari perkawinan jujur itu maka anak-anak yang (akan) lahir dari
perkawina itu akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota dari
masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya ( Soerjono Soekanto,1978:
264-265).
Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita, berarti setelah
perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan
6|Materi Hukum Kekerabatan
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
Suami tidak saja wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula isteri
bukan saja wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, tetapi
juga memperhatikan rumah tangga saudara-saudara suaminya.
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta
bersama, termasuk harta bawaan suami atau bawaan isteri dan harta
benda yang diperoleh suami dan isteri masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, kesemuanya adalah dibawah kekuasaan suami, namun
pemanfaatannya diatur bersama suami isteri “
Dengan demikian pasal 36 (2) U.U. no. 1/1974 dimana harta bawaan
masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
pebuatan hukum mengenai harta bendanya, tidak sesuai dengan asas hukum adat
lokal yang bersifat patrilinial.
Andai kata terjadi putus perkawinan karena perceraian maka harta
bersama suami isteri itu dikuasai oleh hukum adat setempat. Di tanah Batak
dalam bentuk perkawinan jujur jika terjadi perceraian maka harta pencaharian
dibagi antara suami dan isteri. Di daerah Tapanuli utara bagian suami lebih besar
dari bagian isteri, sedangkan di daerah Karo kebanyakan dibagi dua. Cara
penyelesaiannya dilakukan dengan musyawarah.
Selanjutnya menurut penelitian Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara (F.H.U.S.U.)Medan tahun 1971/ 1972 tentang harta bawaan isteri jika
terjadi perceraian tidak semuanya kembali kepada isteri, melainkan ada yang tetap
tinggal pada suami. Di tanah Karo sebagian besar tinggal pada suami. Begitu pula
jika suami atau wafat di tanah Karo maka harta bawaan kembali kepada asalnya,
harta bawaan suami pada kerabat suami, harta bawaan isteri pada kerabat isteri.
Sedangkan di daerah Tapanuli lainnya tetap pada salah satu yang masih hidup,
lebih-lebih jika perkawinan itu mempunyai keturunan anak seperti halnya di
Lampung harta bersama tetap dikuasai janda dan anak dengan bantuan saudara
laki-laki suami.
Jika perceraian itu dikarenakan kesalahan isteri, karena isteri berzina,
isteri melarikan diri, maka pada dasarnya harta bersama suami isteri tetap dikuasai
suami. Di Lampung jika isteri dikeluarkan dari kerabat suami, maka harta
bersama dan anak-anak dimana saja ia berada, tetap dikuasai hukum kekerabatan
suami. Lebih-lebih anak laki-laki karena ia adalah penerus keturunan Bapaknya
(Bali : anak sentane). Di tanah Batak dan di Lampung pada dasarnya isteri yang
bercerai, jika ia ingin bebas dari kekuasaan kerabat suami maka pihak isteri harus
mengembalikan uang jujur dan biaya adat yang diberikan pihak suami kepada
pihak isteri ketika saat perkawinan berlangsung.
Selanjutnya :
8|Materi Hukum Kekerabatan
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
“Suami tidak boleh bertindak semaunya sendiri atas harta bersama tanpa
musyawarah dengan isteri, lebih-lebih jika harta itu berasal dari harta
bawaan atau hasil jerih payah isteri sendiri atau hadiah yang didapat
isteri pribadi Begitu pula isteri tidak boleh bertindak sendiri atas harta
bersama, atas harta bawaan atau hasil pencaharian dan hadiah yang
didapatkan tanpa bermusyawarah dengan suaminya. Kecuali tentunya
mengenai barang-barang dagangan yang dilakukan oleh isteri sendiri,
seperti para wanita Batak yang bukan saja telah melakukan perdagangan
di dalam negri, bahkan sampai keluar negri, ia bertindak sendiri, bahkan
maju dihadapan pengadilan sendiri tanpa bantuan suaminya”.
“Jika di dalam perkawinan dengan suami pertama yang telah wafat sudah
didapat anak lelaki, yang berarti sudah ada penerus dari ayahnya, maka
fungsi suami kedua hanya sebagai pemelihara kehidupan rumah tangga
saja dan membesarkan anak lelaki itu. Tetapi jika belum ada anak lelaki
maka dari perkawinan yang kedualah diharapkan adanya anak lelaki untuk
menjadi penerus dari suami yang pertama, sehingga suami yang kedua
tidak semata-mata sebagai pemelihara kehidupan rumah tangga tetapi juga
berfungsi untuk meneruskan keturunan suami yang pertama (nyemalang
negiken, Lampung). Jika terjadi baik dari perkawinan yang pertama
maupun perkawinan yang kedua tidak didapat anak lelaki, tetapi didapat
anak wanita, anak wanita yang tertua dari perkawinan yang pertama, atau
dari perkawinan yang kedua jika perkawinan yang pertama belum
mempunyai anak harus dijadikan lelaki, artinya harus kawin mengambil
lelaki dari anggota kerabat untuk menjadi penerus (tegak-tegi, Lampung)
dari suami yang pertama.
Adakalanya si janda tidak bersedia melakukan perkawinan ganti suami
dengan saudara suami yang telah wafat, dan ingin kembali ke kerabat
orang tuanya semula, sedangkan ia belum mempunyai keturunan. Kembali
ke rumah orang tua/ kerabat asalnya tidak berarti putusnya hubungan
hukum dengan kerabat suami yang telah wafat. Menurut hukum adat
Lampung yang sekarang berlaku ia boleh kawin dengan pria lain yang
dikehendakinya, tetapi suami yang baru itu harus tetap menggantikan
kedudukan dari suaminya yang telah wafat”
9|Materi Hukum Kekerabatan
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
Di daerah Batak perkawinan ganti suami disebut Makkabia, istilah ini juga berarti
perkawinan ganti isteri. Demikian pula di Banten perkawinan ganti suami dipakai
satu istilah saja, jika kawin dengan kakak isteri atau kakak suami suami disebut
naik ranjang, sedangkan jika kawin dengan adik isteri atau adik suami disebut
turun ranjang ( Hilman Hadikusuma, 1983,74-75).
d)Perkawinan mengabdi
Yang dimaksud perkawinan ambil beri atau perkawinan bertukar atau disebut
ruilhuwelijk (perkawinan bako, Minangkabau; ngejuk ngakuk, Lampung;
mommoits, Irian) adalah perkawinan yang terjadi di antara kerabat A mengambil
isteri dari kerabat B, maka di masa yang lain kerabat B mengambil isteri dari
kerabat A. keadaan seperti ini tentunya menurut hukum adat Batak tidak dapat
berlaku oleh karena sifat kekerabatannya asymetris dan menganut adat manunduti,
dimana perkawinan itu terjadi berulang searah tidak boleh bertimbal balik.
11 | M a t e r i H u k u m K e k e r a b a t a n
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
Memberikan anak gadis yang dilamar oleh kerabat pihak ibu dianggap
mengembalikan bibit (ngulehken mulan, Lampung; mekedeng ngaad, Bali)
atau kerbau pulang kandang. Di dalam pelaksanaan perkawinan ambil beri
ini, adakalanya berlaku dalam rasan sanak atau dalam rasan tuha
berdasarkan kehendak anak-anak. Olek karena antara dua pihak yang
berhadapan dalam acara peminangannya adalah masih sekerabat, maka
biasanya kesepakatan akan lebih mudah dicapai, baik dalam masalah uang
jujur, uang adat, permintaan dan lain-lain.
…………………………………………………………………………
Perkawinan ambil beri atau bertukar antar kerabat ini berlaku di daerah
Lampung, Ambon, Sulawesi Selatan bagian Timur (To Lainang), di pulau
Sawu dan Irian Barat. Perkawinan bertukar bukan berarti bertukar anak
yang dikawinkan, misalnya pria anak A kawin dengan wanita anak B dan
sebaliknya pria anak B kawin dengan wanita anak A. seperti ini dilarang
(Hilman Hadikusuma, 1983: 79 dan 80).
Sebaliknya seorang lelaki yang kawin nyeburin boleh mengambil isteri lagi
di samping isterinya yang pertama, asal suami tetap tinggal di rumah isterinya
yang pertama. Jika ia meninggalkan isterinya yang pertama ia dipecat sebagai
suami nyeburin Seorang sentana keceburin yang dari perkawinannya yang
pertama sudah memperoleh anak, jika suaminya meninggal diperbolehkan kawin
lagi secara keceburin juga untuk kedua kalinya. Dengan perkawinan yang
demikian sentana perempuan tidak hilang haknya sebagai sentana I Gde Wayan
Pangkat, 1978:119. Hal ini sesuai dengan Putusan Raad Kerta Tabanan tanggal 14
Desember 1933 No.126/Civil. Sebagai ciri-ciri perkawinan nyeburin, selain yang
sudah diuraikan di atas ialah, bahwa upacara pengesahan perkawinan atau
mabyakawan dilakukan di rumah isteri, dengan menghatur sajen-sajen
pemelepehan atau jamuan ke rumah keluarga suami, sebagai upacara melepaskan
ikatan suami dari dari keliarga asalnya. Anak-anak yang lahir punya hak yang
sama.
13 | M a t e r i H u k u m K e k e r a b a t a n
Oleh : Prof. Dr, Dra. MG. Endang Sumiarni
Dalam perkawinan nyeburin, jika si suami asalnya berkasta lebih tinggi dari
kasta isterinya, kastanya pun turun sampai kasta isterinya. (I Gde Wayan Pangkat,
19: 119-120).