Anda di halaman 1dari 15

KOMUNIKASI MASSA & MEDIA

Dari buku “Perkembangan Teknologi Komunikasi (Nurudin)” dengan beberapa penyesuaian

Modul “Dampak Teknologi Komunikasi” (Part 1)

Dosen Pengampu: Endrian Kurniadi, S.Kom., M.I.Kom.

A. Teknologi Sarat Nilai..................................................................................................... 3


B. Tipologi Dampak ........................................................................................................... 5
1. Terjadinya Monopoli dalam Pengelolaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Informasi .... 5
2. Tidak Meratanya Distribusi Informasi ......................................................................... 8
3. Kurangnya Isi Pesan yang Bersifat Edukatif.............................................................. 10
4. Terjadinya Polusi Informasi ...................................................................................... 11
5. Terjadinya Invasi Terhadap Privacy .......................................................................... 12
6. Timbulnya Permasalahan yang Berkaitan dengan Hak Cipta ..................................... 13

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA

2021
DAMPAK TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Aku menghabiskan satu jam di sebuah bank dengan bapakku. Bapak hendak mentransfer
sejumlah uang. Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Pak, kenapa kita tidak aktifkan saja internet banking?”
“Kenapa kita mesti melakukan itu?” Bapak balik bertanya.
“Ya, supaya Bapak tidak perlu menghabiskan berjam-jam hanya untuk transfer. Bapak
bahkan bisa belanja online dan segala sesuatunya akan menjadi sangat mudah.” Aku begitu
bersemangat memperkenalkannya pada dunia internet banking.
Bapak bertanya, “Jika bapak melakukan itu, itu berarti bapak tidak harus keluar rumah?”
“Ya, ya betul,” kataku meyakinkan.
Aku bercerita bahkan kain batik dan sayur mayur pun bisa dikirim sampai depan pintu.
Bagaimana Bukalapak, Tokopedia, dan toko online lainnya mengirim apa pun yang kita
pesan. Mau pergi ke mana-mana juga bisa pesan lewat online.
Jawaban bapakku membuat lidahku tercekat. “Sejak bapak masuk ke bank hari ini, bapak
sudah bertemu dengan 4 teman, mengobrol sebentar dengan pegawai bank yang sudah
mengenal bapak dengan baik. Kamu kan tahu, bapak sendirian. Bapak butuh teman. Bapak
selalu siap untuk pergi ke bank. Bapak punya banyak waktu. Sentuhan fisiklah yang Bapak
rindukan. Dua tahun lalu bapak sakit. Pemilik toko buah-buahan langganan menjenguk
bapak. Dia duduk di tepi tempat tidur seraya menangis. Ketika ibumu jatuh waktu jalan pagi
beberapa hari lalu, pemilik toko sayur melihatnya dan segera membawa ibu ke rumah, sebab
ia tahu di mana bapak tinggal.”
Bapak melanjutkan, “Apakah bapak akan mengalami sentuhan manusia, jika segala
sesuatunya menjadi online? Buat apa bapak menginginkan segalanya terkirim dan memaksa
bapak hanya bergaul dengan smartphone atau komputer? Bapak ingin mengenal pribadi
dengan orang yang bapak kenal. Bukan sekadar si ‘penjual’. Ini menciptakan ikatan, rasa
aman dengan relasi. Apakah Bukalapak, Tokopedia, dan toko online lainnya mampu
mengirim hal-hal seperti ini juga?”
Aku sangat kaget dan tersentuh dengan penjelasan bapakku. Bahwa teknologi bukanlah
kehidupan. Meluangkan waktu secara fisik bersama orang-orang di sekitar kita itu penting
bukan dengan gadget. Online bukan segalanya pula.

Cerita di atas memang bukan cerita nyata. Ia sekadar cerita yang beredar di media sosial.
Sumbernya juga tidak jelas, karena dikirim secara berantai. Namun, dari cerita di atas ada
pelajaran penting, bahwa teknologi dengan segala kelebihannya memang telah membawa
dampak yang menguntungkan dalam kehidupan manusia, tetapi aspek-aspek kemanusiaan
yang selama ini dibutuhkan dan ada dalam pergaulan sosial menjadi kering. Sentuhan dan

1
pertemuan langsung antar manusia menjadi berkurang karena perkembangan teknologi
komunikasi tersebut. Kita tidak menyalahkan teknologi, tetapi mencoba melihat dampak buruk
teknologi bagi kehidupan manusia secara sosial. Mengapa ini penting dilakukan? Agar
teknologi tidak memberikan dampak negatif dan manusia bisa segera mengantisipasi secara
lebih baik di masa depan. Apakah teknologi komunikasi telah sedemikian buruk berdampak
pada kehidupan umat manusia? Jawaban pertanyaan itu tentu sangat beragam tergantung siapa,
sudut pandangnya bagaimana, konteks dikemukakan pertanyaan, ditujukan kepada siapa, apa
kepentingannya dan sebagainya. Namun demikian, kita tetap sepakat bahwa kehadiran
teknologi membuat manusia tidak saja bangga tetapi menimbulkan kecemasan-kecemasan.

Sebelum kita membahas lebih lanjut kaitannya dengan akibat perkembangan teknologi
komunikasi, kita butuh kesepakatan pemahaman istilah. Tak sedikit diantara kita yang
mencampuradukkan antara arti implikasi, konsekuensi, dan dampak. Sering kali ketiga kata itu
kita gunakan secara bersamaan untuk menyebut “akibat dari suatu perbuatan”. Soal polusi
misalnya, ada yang menyebutkan dampak teknologi, implikasi teknologi, atau konsekuensi
teknologi. Lalu, apakah ada perbedaan antara ketiga istilah tersebut? Memang, karena sudah
menjadi istilah umum, arti ketiganya sering digunakan bersamaan, akibatnya agak sulit untuk
dibedakan artinya. Namun, kita akan melihat dari sisi arti kata awalnya dampak, implikasi, dan
konsekuensi tersebut.

Implikasi secara kamus bisa diartikan keterlibatan atau keadaan terlibat atau yang termasuk
atau tersimpul, yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan. Contohnya, “Apakah ada implikasi
dalam pernyataan itu?”. Sedangkan konsekuensi berarti akibat (dari suatu perbuatan, pendirian,
dan sebagainya) atau persesuaian dengan yang terdahulu. Sementara itu, dampak berarti (1)
benturan; (2) pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif); (3)
benturan yang cukup hebat antara dua benda, sehingga menyebabkan perubahan berarti dalam
momentum sistem yang mengalami benturan itu; dan (4) pengaruh kuat yang mendatangkan
akibat positif atau negatif.

Berkurangnya sentuhan antar manusia, sebagaimana dialami oleh seorang anak dan bapak
dalam cerita di awal bisa dikatakan sebuah dampak. Dengan kata lain, dampak akibat benturan
perkembangan teknologi modern pada manusia atau pengaruh kuat teknologi pada kehidupan
sosial.

Dalam modul ini akan digunakan kata dampak sebagai sebuah akibat dari suatu perbuatan
baik positif atau negatif. Mengapa ketiga kata di atas (dampak, konsekuensi, implikasi) perlu

2
dijelaskan, biar kita juga mengetahui arti kata sebenarnya, meskipun ketiganya mempunyai arti
hampir sama, yakni akibat sebuah aktivitas tertentu dari benda atau manusia.

Sebagai hasil benda yang baru, teknologi tentu saja mempunyai dampak yang positif
maupun negatif. Namun demikian, kehadiran teknologi itu jelas tidak bisa dihalangi
sedemikian rupa. Ibarat air bah, ia mengalir, menerjang, menelusuri setiap dataran yang lebih
rendah. Kehadirannya agak sulit dibendung. Untuk itu, kehadiran teknologi komunikasi yang
baru tersebut bisa memunculkan dilema bagi manusia dan lingkungannya.

A. Teknologi Sarat Nilai

Teknologi juga sarat dengan nilai-nilai tertentu (highly value-loaded) dan dapat
mengganggu kemapanan manusia yang berpengaruh pada perkembangan peradaban manusia.
Kondisi dilematis itu setidaknya bisa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.

1. Tidak ada negara yang kuasa menahan laju teknologi. Teknologi komunikasi merembet
ke segala bidang kehidupan manusia. Sekuat apa pun manusia wut membendung
perkembangan teknologi, ia tetap akan merembet, merusak, bahkan mengubah segala
hal yang ada pada kehidupan manusia. Dengan kata lain, sekuat apa pun juga sebuah
negara di dunia ini menolak teknologi, toh akhirnya akan terpengaruh juga. Itu berarti
kita tidak bisa menutup diri dari pengaruh globalisasi yang jelas membawa muatan
teknologi komunikasi. Kita sudah hidup di era global dengan saling keterkaitan dan
ketergantungan antar negara.
2. Teknologi berkembang sangat cepat melampaui kesadaran manusia. Bisa jadi manusia
baru berpikir 2 meter, dalam waktu bersamaan teknologi komunikasi berkembang
melesat puluhan bahkan ratusan meter. Bahkan perkembangan teknologi tidak bisa
diprediksi sebelumnya. Sering kali teknologi menjadi lepas kendali perkembanganya
di luar hitungan manusia kebanyakan. Sangat mungkin teknologi itu tidak bisa
dibayangkan sebelumnya, namun kenapa tiba-tiba muncul? Orang tidak pernah
membayangkan bahwa mengirim pesan ke luar negeri yang biasa dilakukan melalui
surat, bisa diatasi dengan memakai pesan singkat lewat smartphone secara lebih cepat,
murah, dan efisien.
3. Aktif atau pasif dalam menerima teknologi. Terhadap perkembangan teknologi
komunikasi, manusia dihadapkan pada dua pilihan, yakni aktif atau pasif dalam
menerima teknologi itu. Jika manusia pasif, ia cenderung tidak menuruti kemauan
teknologi. Kelompok ini secara kasar menolak teknologi, misalnya karena teknologi itu

3
produk asing, produk “negara kafir”, mengancam hubungan sosial, tidak manusiawi,
dan istilah buruk lain. Dengan kata lain, teknologi dianggap sebagai alat yang akan
merusak tatanan mapan selama ini. Sementara yang aktif menerima, mencoba
memaknai bahwa teknologi harus diartikan, diterjemahkan, serta diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang masuk dalam kelompok ini akan memahami
dampak perkembangan teknologi dan menyiapkan strategi-strategi tertentu untuk
mengantisipasinya. Jika ada dampak negatif, mereka tidak serta merta menyalahkan
teknologi, tetapi akan berpikir dan bertindak bagaimana mengurangi dampak teknologi
yang negatif. Di samping itu, penting juga memperhitungkan kesiapan apa yang perlu
dilakukan di masa datang atas dampak teknologi tersebut.
4. Manusia tak bisa menyalahkan teknologi. Sebagai sebuah keniscayaan, manusia tidak
serta-merta hanya menyalahkan mengapa teknologi komunikasi berkembang.
Menyalahkan teknologi bisa jadi menjadi bukti bahwa seseorang itu tidak siap
menerima dampak dari teknologi komunikasi, yang berarti pula mengingkari sejarah
peradaban manusia. Orang yang tidak punya sifat terbuka tentu akan susah
menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Sebaliknya, mereka yang punya
sifat terbuka akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Masalahnya, teknologi itu sebuah keniscayaan kehadirannya.
5. Teknologi tak dapat dibeli. Artinya seseorang, lembaga atau negara jika sudah membeli
teknologi tidak otomatis bisa menguasainya. Inilah yang diartikan bahwa teknologi tak
dapat dibeli. Membeli teknologi jelas berbeda dengan membeli makanan. Karenanya,
teknologi harus dikenal, kemudian dimiliki, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
dan disesuaikan dengan konteks seseorang berada. Untuk menguasai teknologi,
memang harus dengan membeli, lalu mempelajari, dan menguasai. Ini berarti bahwa
teknologi itu bukan barang gratis. Intinya, teknologi bukan sebuah makanan, ketika
seseorang menginginkannya bisa langsung dibeli dan dimakan secara lahap saat itu
juga.
6. Masyarakat maju karena teknologi. Tidak bisa dipungkiri, kemajuan masyarakat
sekarang karena perkembangan teknologi komunikasi. Bahkan teknologi yang
berkembang berkaitan satu sama lain, seperti membentuk sebuah sistem. Jika rusak satu
unsur akan memengaruhi teknologi secara keseluruhan. Rusaknya satelit, akan
memengaruhi proses distribusi informasi di seluruh dunia. Terhambatnya distribusi
informasi, akan berpengaruh pada aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan,
dan lain-lain.
4
B. Tipologi Dampak

Tipologi impact atau dampak perubahan bisa terjadi pada individu atau sistem sosial. Itu
semua sebagai akibat dari penerimaan atau penolakan sebuah inovasi. Sementara itu, tipologi
ini keberadaannya dapat terjadi secara bersamaan pada masyarakat (Rogers, 1986). Berikut
disajikan tabel tipologi dampak sebagaimana dikatakan Everett M. Rogers;

Tabel 3.1 Tipologi Dampak Perkembangan Teknologi Komunikasi

Desirable Impact Undesirable Impact


Dampak ini lebih mengarahkan pada Dampak ini mengarahkan pada
berfungsinya sebuah inovasi oleh ketidakberfungsiannya sebuah inovasi
individu atau sistem sosial oleh masyarakat atau sistem sosial
Direct Impact Indirect Impact
Individu atau sistem sosial merespons Terjadi perubahan pada individu atau
dengan segera atau cepat terhadap sistem sosial setelah terjadi dampak
inovasi langsung
Anticipate Impact Unanticipated Impact
Perubahan yang terjadi dapat Perubahan yang terjadi tidak dapat
diantisipasi karena inovasi telah diantisipasi karena inovasi belum
diketahui/dikenal sebelumnya oleh diketahui/dikenal sebelumnya oleh
anggota sistem sosial anggota sistem sosial
Sumber: Rogers (1986)
Kemajuan teknologi komunikasi memang bisa dirasakan dalam pergaulan hidup manusia
sehari-hari. Di samping punya dampak positif, teknologi komunikasi juga mempunyai dampak
negatif. Cara bijak yang harus dilakukan dengan mencegah dampak negatif tersebut dan bukan
menghalangi teknologi komunikasi yang berkembang.

Beberapa dampak negatif dari teknologi menurut E.B. Parker (1973) dalam “Technological
Change and The Mass Media” sebagaimana yang dimuat dalam buku Handbook of
Communication (Nasution, 1989) antara lain (1) terjadinya monopoli dalam pengelolaan,
penyediaan, dan pemanfaatan informasi; (2) tidak meratanya distribusi informasi; (3)
kurangnya isi pesan yang bersifat edukatif; (4) terjadinya polusi informasi; (5) terjadinya invasi
terhadap privacy; dan (6) timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta.

1. Terjadinya Monopoli dalam Pengelolaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Informasi

Pengaruh teknologi komunikasi tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan kita sehari-hari.
Teknologi komunikasi itu sudah jelas akan memengaruhi struktur dasar dan proses
pengambilan keputusan dalam masyarakat. Akibatnya, akan ikut menentukan siapa yang dapat
berkomunikasi dengan siapa dan siapa yang dapat memeroleh suatu informasi tentang apa.

5
Karena teknologi itu menentukan siapa yang diajak berkomunikasi dan informasi tentang apa
yang dikirimkan, maka tidak semua orang menguasainya. Bukan berarti orang-orang yang
tidak menguasainya itu tidak dapat memanfaatkannya, tetapi bisa karena kelangkaan
ketersediaan teknologi, tiadanya perangkat yang memadai, malas belajar teknologi baru, atau
apriori atas teknologi komunikasi itu. Dengan demikian, perkembangan tersebut
memungkinkan timbulnya monopoli dalam pengelolaan, dan penyediaan, serta pemanfaatan
teknologi komunikasi itu sendiri.

Menguasai dan memiliki teknologi komunikasi tentu membutuhkan modal yang besar.
Oleh karena itu, besar kemungkinan mereka yang kuat secara finansial akan menguasai
teknologi. Seandainya penguasaan teknologi itu ada di lembaga swasta sangat mungkin
teknologi digunakan hanya untuk tujuan komersial, sebagaimana kecenderungan lembaga
tersebut selama ini.

Kita lihat televisi swasta di Indonesia. Televisi tersebut nyaris hanya mementingkan
keuntungan ekonomis. Segala bentuk tayangan akan diorientasikan pada keuntungan tersebut.
Secara rasional kadang fenomena itu bisa dimaklumi. Seorang investor yang sudah
memberikan dana banyak untuk mendirikan televisi swasta, tentu ingin modalnya kembali
kalau perlu untung dan terus untung. Ini logika yang sederhana saja. Konflik kepemilikan
televisi swasta antar pemegang saham, salah satu alasan karena kaitannya dengan keuntungan
itu.

Konflik yang pernah terjadi antara Siti Hardiyanti Rukmana (mbak Tutut) dan Hary
Tanoesoedibjo (HT) bisa dijadikan contoh kasus. Konflik itu berkaitan dengan kepemilikan
saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang semula menjadi milik mbak Tutut beralih ke
PT Berkah Karya Bersama milik HT. Awalnya, konflik tersebut berkaitan dengan utang-
piutang. Tutut memiliki utang sebesar $55 juta dolar termasuk juga kewajiban obligasi TPI ke
PT Indosat Tbk. Karena Tutut tidak sanggup membayar utang, ia bersepakat dengan HT (yang
juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk). PT Bhakti Investama Tbk ini pernah mengambil alih
PT Bimantara Tbk yang dimiliki Bambang Trihatmojo (adik Tutut).

Perjanjian Tutut dengan HT menyebutkan, bahwa HT akan mengambil alih utang Tutut,
agar manajemen TPI lebih sehat. Imbalannya, Tutut memberikan saham TPI sebesar 75 persen
ke HT melalui PT Berkah Karya Bersama. Dalam perjanjian juga disebutkan agar HT bisa
menyehatkan manajemen siaran TPI. Sejak 2013, TPI resmi masuk grup Media Nusantara Citra
(MNC) milik HT.

6
Hubungan antara Tutut dengan HT meruncing. Konflik muncul setelah MNC menjual
lahan seluas 12 hektar di kawasan Taman Mini Jakarta untuk menambah modal. Tutut marah
dan menuntut HT mengembalikan saham 75 persen itu. TPI tetap berada di bawah MNC,
bahkan TPI kemudian berubah menjadi MNC TV. Soal siapa yang diuntungkan dalam kasus
tersebut dan siapa yang menang tidak perlu dipikir secara serius. Yang ingin saya tunjukkan
adalah bahwa konflik lembaga swasta (salah satunya TV) berujung karena adanya kepentingan
bisnis yang melatarbelakanginya.

Orientasi yang menekankan pada kepentingan bisnis akan menjadikan pemanfaatan


teknologi komunikasi (termasuk lembaga informasi) juga untuk kepentingan mencari
keuntungan. Teknologi komunikasi hanya akan melayani kebutuhan atau permintaan kalangan
pemakai yang secara komersial menguntungkan. Bisa jadi ada acara televisi yang berorientasi
sosial, tetapi ujung-ujungnya tetap bermuatan komersial. Di luar itu, baik isi informasi maupun
kalangan pemakai lainnya akan kurang mendapat perhatian dan pelayanan, setidak-tidaknya
akan menempati urutan prioritas yang lebih belakangan dibanding pemakai yang
mendatangkan keuntungan tadi.

Ini tentu sangat berbeda jika monopoli dilakukan pemerintah, sebut saja Televisi Republik
Indonesia (TVRI). TVRI, karena yang menonopoli pemerintah tentu tidak berorientasi pada
keuntungan bisnis semata. Alasannya, secara modal ia tidak tergantung pada pemasukan iklan.
Televisi pemerintah itu dimodali oleh pemerintah, sehingga acara yang disajikan tentu saja
dibuat untuk mewakili semua lapisan dan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik serta
harmonisasi dalam masyarakat (tentu tetap menuruti kepentingan pemerintah). Ini tentu
berbeda dengan TV swasta, kalau tidak membuat acara populer, iklan tidak akan banyak tayang
yang mengakibatkan tidak banyak pemasukan pendapatan pula. Dalam hal-hal tertentu,
monopoli yang dilakukan pemerintah ada dampak yang bagus pula, meskipun acaranya
monoton.

Kita tahu bahwa dibutuhkan modal yang banyak dalam memanfaatkan teknologi, apalagi
perusahaan besar. Hanya mereka yang mempunyai banyak modal yang kemungkinan kuat
menanggung biaya pemanfaatan teknologi tersebut. Karena itu, lembaga swasta yang
memanfaatkan banyak teknologi dengan pengeluaran banyak tentu akan berusaha mencari
keuntungan optimal. Jika itu lembaga penyiaran, maka ia akan membuat program-program
yang bisa mendatangkan banyak keuntungan, meskipun kadang tidak mendidik.

7
Konsekuensi daripada orientasi bisnis, sebagaimana dikemukakan di atas mengakibatkan
isi informasi yang disediakan dan ditawarkan tentunya melayani kebutuhan atau permintaan
kalangan pemakai. Kalangan pemakai ini biasanya berorientasi pada aspek komersial yang bisa
menguntungkan. Sementara itu, pemakai lain merasa tidak dilayani, karena tidak
menguntungkan secara ekonomis. Kalaupun tetap menjadi sasaran, bukan menjadi prioritas
utama, karena hanya mereka yang mendatangkan keuntungan ekonomis tinggi yang akan
dilayani.

Selanjutnya, sekalipun para pengguna jasa teknologi komunikasi masih dapat memilih
berdasarkan apa yang mereka perlukan, namun harus diingat bahwa pada dasarnya pilihan yang
masih mungkin dilakukan itu adalah terbatas pada apa yang disediakan oleh si pengusaha.
Maka, perlu adanya upaya mencegah terjadinya monopoli penyediaan dan pengelolaan
teknologi komunikasi ini, agar prioritas jelek seperti dikhawatirkan itu tidak terjadi.

Monopoli pengelolaan, penyediaan, dan pemanfaatan informasi hanya akan mendudukkan


pengusaha itu sebagai penguasa jasa teknologi komunikasi. Bahkan ada kecenderungan
menggunakan saluran itu untuk kepentingan politik. Di Indonesia Metro TV digunakan
kampanye Surya Paloh (Partai Nasdem), TV One dan ANTV (Aburizal Bakrie/Partai Golkar),
RCTI, Global TV, dan MNCTV (Hary Tanoesoedibjo/Perindo). Tak terkecuali dengan media
lain di bawah saluran TV tersebut. Inilah buntut dari adanya monopoli informasi yang dikuasai
swasta.

2. Tidak Meratanya Distribusi Informasi

Monopoli informasi sebagaimana dikemukakan di bagian atas akan menyebabkan tidak


meratanya distribusi informasi. Penguasaan teknologi oleh swasta menyebabkan orientasi
informasinya lebih banyak pada keuntungan bisnis. Modal ditanamkan pengusaha dan
bagaimana segera mendapatkan untung. Jika hal demikian terjadi, maka para pengusaha itu
hanya melayani mereka-mereka yang secara finansial memadai dalam memanfaatkan
teknologi. Sementara itu, teknologi membutuhkan biaya dan hanya mereka yang mampu
“membeli” teknologilah yang bisa memanfaatkannya.

Jika demikian terjadi, maka distribusi informasi hanya mengalir pada mereka yang secara
finansial mampu membeli teknologi. Sementara itu, kelompok yang tidak mampu secara
finansial tentu akan tersisih dan miskin informasi. Bisa dikatakan “yang kaya makin kaya dan
miskin makin miskin” dalam mendapatkan informasi. Secara ekstrem, keadaan seperti yang
digambarkan di atas membentangkan jurang baru, yakni antara golongan kaya informasi

8
dengan lapisan lain yang jumlahnya berlipat lebih besar, tetapi miskin informasi. Pada
gilirannya, jarak yang sama akan membentang diantara negara-negara yang kaya informasi
dengan negara miskin informasi. Kesenjangan ini tentu saja akan menciptakan jurang pemisah
dalam ketidakadilan distribusi informasi.

Dalam wilayah lebih luas, negara yang secara teknologi kaya dan mampu akan menguasai
informasi sementara, negara yang tidak mampu akan semakin miskin informasi. Negara miskin
informasi ini tidak lagi bisa menjadi produsen informasi tetapi hanya menjadi konsumen. Kita
bisa melihat, bagaimana distribusi informasi tentang film. Negara maju bisa mengekspor film-
filmnya ke negara berkembang dan tidak sebaliknya. Penguasaan teknologi yang tidak
seimbang ini akan menyebabkaan negara berkembang semakin “membebek” negara maju. Lalu
muncul kekhawatiran, jangan-jangan yang dihasilkan teknologi negara maju dianggap sebagai
yang terbaik oleh negara berkembang. Kondisi ini tentu sangat berbahaya karena teknologi
komunikasi jelas sarat dengan nilai-nilai tertentu. Teknologi yang berkembang dari negara
maju penuh dengan muatan kepentingan negara tersebut. Lambat-laun negara berkembang
akan mengikuti apa yang terjadi di negara maju. Negara maju tentu sadar, karena teknologi
membawa muatan nilai tertentu, ia juga berkepentingan atasnya. Tidak saja “menjual”
teknologi secara mahal tetapi juga ia punya misi tertentu atas teknologinya.

Kita bisa melihat contoh dari teknologi yang mempunyai muatan budaya, sebagaimana
Korea. Kurang kuat apa Nokia, sehingga tergantikan oleh Samsung? Samsung itu teknologi
produk Korea. Lee Kun-Hee, Presiden Direktur Grup Samsung pernah bertekad bahwa ia tidak
akan berhenti berlari hingga Samsung menjadi perusahaan nomor satu. Maka, ia membuat
terobosan-terobosan baru. Titik inilah yang mempercepat perubahan internal dan memperkuat
perusahaan Samsung dengan cara yang cepat pula (Koh Aeung-Hee, 2014).

Agresivitas dan kegandrungan masyarakat pada produk Samsung membuat produk-produk


Korea ikut diminati masyarakat Indonesia, termasuk budayanya. Samsung secara tidak
langsung membuat drama-drama Korea, goyang Korea diminati masyarakat Indonesia.
Identifikasi gaya hidup remaja Indonesia sedikit banyak mengikuti Korea. Ini menjadi bukti,
bahwa teknologi membawa muatan nilai tertentu.

Jika ini terjadi dalam lingkup negara, maka peran pemerintah sangatlah besar untuk
mengatasi kesenjangan distribusi informasi tersebut. Pemerintah tentu harus menyediakan
sarana teknologi, baik perangkat lunak maupun keras. Itu semua demi kepentingan pelayanan
masyarakat luas. Pemerintah tentu mempunyai modal dalam usaha mengatasi tidak meratanya

9
distribusi informasi karena punya anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).

3. Kurangnya Isi Pesan yang Bersifat Edukatif

Erat kaitannya dengan soal pertimbangan komersial yang dikemukakan sebelumnya, akan
terjadi pula kecenderungan untuk hanya menyediakan, memproduksi, dan mendistribusikan isi
informasi yang secara komersial akan laris. Bentuk utama informasi jenis ini adalah hiburan
dan iklan (promosi). Padahal bila pasar informasi hanya dipenuhi oleh pesan-pesan hiburan
dan promosi, dengan sendirinya kehidupan masyarakat sehari-hari akan penuh jejalan pesan
semacam itu.

Sedangkan informasi yang bersifat edukatif karena potensinya untuk mendatangkan


keuntungan komersial lebih kecil atau terkadang tidak ada sama sekali, lantas diabaikan atau
kalaupun ada disisipkan, sekedar sebagai pemoles. Dominannya isi informasi yang nonedukatif
tadi telah mendorong kekhawatiran para ahli akibat yang dapat ditimbulkan kelak bagi
kehidupan masyarakat.

Kalau kita mengamati televisi swasta Indonesia seolah memakai paham epigonisme
(mengekor atau meniru). Arti sederhananya, jika sebuah acara sukses di sebuah stasiun televisi,
akan diikuti oleh stasiun televisi yang lain. Inilah paham epigonisme. Jika sebuah acara yang
nyaris seragam pada semua stasiun televisi itu bangkrut, bangkrut pula acara di televisi yang
lain tersebut. Semua ini didorong oleh nafsu keuntungan sebesar-besarnya dengan memandang
sebelah mata tayangan edukatif.

Saat Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sukses dengan sinetron religius seperti Rahasia
Ilahi muncul program sejenis di televisi lain. Beberapa di antaranya; Takdir Illahi,
Astaghfirullah, Kuasa Ilahi, Tuhan Ada di Mana-mana, Ya Rabbi, Insya Allah, Titik Nadir,
dan lain-lain. Tak jarang televisi kita juga mencuri ide cerita dari sinetron luar negeri; Liontin
(RCTI, 2005) berdasar film Korea Selatan, Sho What Gitu Lhoh (Trans TV, 2005) terinspirasi
Friends, Siapa Takut Jatuh Cinta (SCTV, 2005) mencontek Meteor Garden. Epigonisme itu
membuat tayangan sinetron kita tidak kreatif, apalagi edukatif dalam pesannya. Itu belum
termasuk munculnya Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang kemudian diikuti munculnya
Indonesian Idol, Pildacil, Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Audisi Pelawak Indonesia (API).
Ada juga acara-acara seragam dalam reality show seperti Uang Kaget, Rejeki Nomplok,
Tolong Dong Pak, Penghuni Terakhir, Bedah Rumah, Mimpi Anak Jalanan, Kawin Gratis, dan
sebagainya.

10
Intinya adalah acara dibuat dengan tujuan yang penting masyarakat senang. Perkara,
apakah punya nilai edukatif atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting acara disukai
penonton, iklan banyak, dan pemasukan keuntungan terus bertambah. Inilah semangat dari
aplikasi pengembangan teknologi komunikasi yang tidak berorientasi mendidik.

4. Terjadinya Polusi Informasi

Bisa jadi, Anda mengamati acara-acara di televisi swasta Indonesia, saat sebuah acara
sukses dan populer di sebuah stasiun televisi, stasiun televisi lain akan menampilkan acara
sejenis. Begitu popularitas turun, acara itu juga ikut turun popularitasnya di semua stasiun
televisi. Begitu juga saat menjelang kampanye pemilihan presiden, semua stasiun televisi
mengalokasikan durasinya untuk iklan atau atribut yang berkaitan dengan kampanye. Bisa jadi,
televisi itu hanya menerima orderan siapa yang berani membayar. Apakah iklan itu melanggar
etika periklanan atau tidak, tak pernah menjadi pertimbangan pengelola televisi. Akibatnya,
hampir setiap saat penonton disuguhi iklan politik. Penonton sangat mungkin muak melihat
tayangan informasi di televisi itu. Bagi televisi, itu salah satu cara memperebutkan perhatian
penonton di samping juga soal mencari keuntungan.

Bagaimana proses terjadinya polusi informasi? Polusi informasi cenderung timbul bila (1)
kompetisi ketat dalam memperebutkan perhatian khalayak; dan (2) tidak ada mekanisme
pengendalian yang efektif untuk mencegahnya. Hal demikian terjadi, bila lembaga informasi
hanya berorientasi pada tujuan pragmatis. Karenanya, apa pun akan dilakukan untuk mencapai
tujuan, apakah informasinya berguna bagi khalayak atau tidak, tak pernah dipertimbangkan.
Pertimbangannya, hanya menuruti selera pasar dan “pesanan” yang mampu “membeli” saluran
informasi itu. Jika saluran informasi dikuasai pemilik modal atau mereka yang punya
kemampuan finansial tak terbatas, hasilnya adalah polusi informasi.

Polusi informasi juga terjadi jika tak ada mekanisme yang mengatur proses penyebaran
informasi. Mekanisme pengendalian itu bisa hukum, peraturan pemerintah, undang-undang,
komisi etik atau pemerintah dengan Kewenangannya. Jika tidak ada sanksi yang tegas dan
nyata atas beredarnya informasi-informasi sampah, tak heran jika yang beredar hanya polusi
informasi.

D Gabor dalam “Social Control Through Communication” sebagaimana dimuat


Communication Technology and Social Policy: Understanding The New Cultural Revolution
(1973) mengemukakan bahwa polusi informasi tercermin dari penuhnya media massa dengan
penyiaran informasi tentang skandal, kekerasan, dan pornografi. Komersialisasi teknologi

11
komunikasi cenderung memunculkan persaingan tajam dan kasar antar pengusaha informasi.
Informasi yang dipersaingkan itu biasanya tidak berbobot, memenuhi selera rendah, bombastis
dan hal lain yang cenderung komersial.

Dalam keadaan seperti itu, maka berlaku aturan secara ekonomi adalah siapa yang berhasil
memancing dan memuaskan selera pembeli, dialah yang akan mereguk keuntungan. Masalah
selanjutnya, justru informasi yang menimbulkan polusi menjadi dagangan laris dan cepat
menghasilkan laba bagi penyedianya. Secara kuantitas memang meningkat, tetapi kualitas
informasi sangatlah menurun.

5. Terjadinya Invasi Terhadap Privacy

Barangkali kita pernah mendengar komentar seorang artis, “Gue selingkuh, urusan gue
dong. Itu kan masalah privacy masing-masing orang?” Pernyataan tersebut mengungkapkan
adanya kejengkelan yang dikemukakan seorang artis karena masalah pribadi dan hak asasinya
diumbar ke publik oleh media. Namanya juga artis, ia adalah manusia publik. Tentu saja kalau
tidak mau menjadi konsumen publik jangan menjadi artis. Jika siap menjadi artis, banyak hal
yang berkaitan dengan persoalan pribadi akan diungkap ke publik. Sebab, apapun yang melekat
pada artis mempunyai nilai berita.

Apakah hal demikian dibenarkan? Tentu saja, agak susah menjawabnya. Seseorang
menjadi artis sudah harus mempertimbangkan diri, bahwa ia sudah menjadi milik publik.
Namun demikian, sebagai individu ia mempunyai hak asasi dan privacy. Sejauh privacy tidak
memberikan dampak buruk tentu sah-sah saja disimpan rapat dan tak boleh terungkap. Jika
soal privacy itu merugikan atau berdampak buruk, misalnya korupsi, maka ia harus diungkap
ke publik.

Masalah privacy memang menjadi masalah pelik. Soal privacy menjadi hal yang sangat
penting, terutama di negara-negara Barat. Dengan berkembangnya teknologi komunikasi,
maka pesat pula pertumbuhan berbagai perusahaan pengumpulan, pelayanan, dan
pendistribusian segala jenis data termasuk yang bersifat pribadi. Dalam aktivitas perusahaan,
informasi tersebut kemudian terkumpul berbagai macam data mengenai segala aspek
kehidupan anggota masyarakat. Data yang dimaksud, bisa saja diperdagangkan tanpa
sepengetahuan, apalagi persetujuaan yang bersangkutan. Foto-foto individu bisa jadi
disebarkan ke publik tanpa izin pemiliknya.

12
Keadaan seperti itu dikhawatirkan akan membuka peluang bagi terjadinya intervensi ke
dalam kehidupan pribadi seseorang, yang menyebabkan tidak lagi terjaminnya privacy. Itulah
sebabnya timbul berbagai reaksi yang menuntut privacy-nya dilindungi setiap anggota
masyarakat dari kemungkinan penyalahgunaan informasi yang mungkin timbul dari kemajuan
teknologi komunikasi.

Teknologi komunikasi telah memungkinkan sesuatu yang tidak terjangkau akhirnya bisa
diraih. Sesuatu yang awalnya menjadi privacy akan cepat berubah menjadi konsumsi publik.
Tak terkecuali, barang yang hanya diketahui sedikit orang menjadi dikenal masyarakat luas.

6. Timbulnya Permasalahan yang Berkaitan dengan Hak Cipta

Masalah pelik lain yang muncul berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi
adalah terkait hak cipta. Coba kita amati media sosial, banyak beredar foto yang tanpa
disebutkan sumbernya, siapa yang memfoto, didapat darimana, dan sebagainya. Saat seseorang
yang seharusnya punya hak mengetahui fotonya diedarkan orang lain, masalah hak cipta pun
akan muncul.

Kasus pelanggaran hak cipta pernah dialami oleh kantor berita Agence France Presse
(AFP). Pada 2010, Daniel Morel mengunggah foto gempa Haiti di media sosial Twitter.
Kemudian, kantor berita AFP menggunakan foto tersebut ke berbagai jaringan AFP. AFP
menggunakannya karena diperbolehkan dalam aturan dan regulasi Twitter. Daniel Morel yang
mengetahui itu, kemudian menggugat AFP. Morel akhirnya menang dan AFP harus membayar
$275.000 dolar setelah diputuskan di pengadilan.

Kasus-kasus pelanggaran hak cipta juga dilakukan secara luas dalam bentuk rekaman
bajakan. Lagu-lagu bajakan ini bahkan lebih laris daripada yang asli. Dengan adanya internet,
semua situs bisa menampilkan lagu rekaman video seolah secara bebas. Padahal, penyebar
tersebut tidak mempunyai hak cipta. Tak terkecuali dengan hasil cetakan, seperti buku,
pembajakan dengan melipatgandakannya tanpa izin semakin merajalela. Teknologi
komunikasi dalam hal ini memegang peranan penting dalam proses penyebaran pelanggaran
hak cipta itu.

Kemampuan sarana teknologi komunikasi untuk menyimpan, memperbanyak,


menampilkan kembali informasi apa saja yang berhasil diperoleh, ternyata juga menimbulkan
masalah baru terkait dengan hak cipta. Kemajuan satelit komunikasi misalnya, telah
memungkinkan melampaui batas- batas wilayah suatu negara atau pemerintahan.

13
Perkembangan ini menimbulkan masalah dalam hal perlindungan terhadap hak cipta atas
karya-karya kreatif yang sebelumnya dijamin undang-undang. Perlindungan tersebut menjadi
semakin sukar terutama disebabkan semakin canggihnya kemampuan teknologi komunikasi
yang muncul dewasa ini.

Dari pelanggaran hak cipta ini bisa kita kemukakan beberapa catatan (1) teknologi
komunikasi pendorong pelanggaran hak dpta; (2) perlu dukungan pemerintah dalam
menegakkan hukum hak cipta; dan (3) kurangnya apresiasi masyarakat atas karya intelektual.

14

Anda mungkin juga menyukai