BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakah salah satu negara yang menetapkan pajak sebagai salah satu
sumber kas negara, Indonesia memiliki banyak kategori objek pajak sebagai bagian dari
sumber penagihan pajak. Nilai besaran pajak dipungut dari warga negara dan menjadi salah
satu bentuk kewajiban guna pembangunan negara. Hal tersebut mendukung disebabkan oleh
pembangunan nasional di Indonesia merupakan produk pemerintah yang membutuhkan
partisipasi masyarakat. Dengan demikian, setiap warga negara dituntut untuk dapat ikut
berkontribusi dalam pembayaran pajak (Rosdiana et al., 2011). Pajak merupakan sumber
penerimaan kas negara yang memiliki posisi sebagai salah satu sektor penerimaan negara
yang penting (Ompusunggu, 2010). Indonesia menggunakan pajak sebagai salah satu sumber
penerimaan kas utama negara karena sifatnya yang stabil, dan memiliki potensi pada jumlah
pendanaan yang besar serta sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat (Rahayu & Suhayati,
2010).
Secara teori pajak merupakan kewajiban setiap warga negara yang memiliki
pendapatan sehingga partisipasi masyarakat dapat diminta secara paksa, namun kenyataan
lapangan justru menyebutkan data yang berbeda (Hardiningsih, 2011). Indonesia yang
menganut sistem self assessment dimana pihak Wajib Pajak diberikan kepercayaan
sepenuhnya guna mendaftarkan, mendata penghasilan, menghitung jumlah wajib
pembayaran, melakukan pembayaran hingga melaporkan data tahunan, memiliki banyak
sekali sektor pajak yang luput dari penagihan pajak (SAGITA, 2015). Berkaitan dengan
kewajiban perpajakan di Indonesia, sering kali perusahaan melakukan upaya agar beban
pajak yang harus mereka keluarkan menjadi seminimal mungkin, hal tersebut dilakukan
perusahaan agar laba perusahaan menjadi terlihat lebih besar (Yuliem, 2018). Terdapat dua
cara untuk menekan beban pajak perusahaan, cara pertama adalah penggelapan pajak (Tax
Evasion) yang merupakan perbuatan melanggar hukum dengan tidak membayarkan
kewajiban kepada negara. Cara kedua adalah penghindaran pajak (Tax avoidance) yang
merupakan tindakan untuk memperkecil kewajiban pajak secara legal dengan memanfaatkan
celah dalam hukum perpajakan agar kesejahteraan pemegang saham meningkat (Kim et al.,
2011). International Center for Taxation and Development (ICTD) mencatat bahwa Indonesia
menempati peringkat ke-11 di dunia sebagai negara dengan penghindaran pajak tertinggi
dengan nilai penghindaran pajak sebesar $6,48 miliar yang tidak dibayarkan kepada Dirjek
Pajak Indonesia (Rokhmah, 2019). Salah satu nilai penghindaran pajak terbesar adalah dari
perusahaan tembakau milik British American Tobacco (BAT) dengan potensi penghindaran
pajak sebesar $14juta per tahun (Intan, 2020). British American Tobacco berhasil melakukan
penghindaran pajak dengan mendirikan anak perusahaan dengan melakukan investasi
langsung pada PT Bentoel Internasional Investama, yang berhasil memotong biaya pajak
impor dalam jumlah besar.
Ibrahim et al. (2021) menemukan bahwa pada saat pandemi covid-19 berlangsung,
perusahaan rokok di Indonesia tidak mengalami penurunan kinerja yang signifikan, sehingga
membuktikan bahwa industri rokok Indonesia merupakan industri yang kuat. ROA, ROE, Net
Profit Margin (NPM), dan Gross Profit Margin (GPM) perusahaan rokok bahkan terkesan
stabil seperti sebelum ketika pandemi covid-19 melanda (Aini et al., 2021). Kebebasan untuk
merokok di Indonesia membuat Indonesia disebut sebagai negara surga bagi perokok,
fenomena tersebut membuat industri rokok menjadi industri yang paling kuat, paling
menguntungkan, dan paling tahan lama di Indonesia (Darwin, 2016), sehingga apabila
perusahaan rokok melakukan tindakan tax avoidance, maka dapat mempengaruhi penerimaan
pajak Indonesia secara signifikan. Selain faktor untuk mencari penambahan laba yang lebih
besar terdapat faktor lain seperti profitabilitas perusahaan, leverage, dan ukuran perusahaan
yang dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan tax avoidance (Irianto & Wafirli,
2017).
Profitabilitas perusahaan atau rasio profitabilitas merupakan cerminan dari
kesejahteraan pemegang saham, oleh sebab itu terdapat kemungkinan bahwa pemegang
saham dapat melakukan tax avoidance untuk membuat profitabilitas perusahaan lebih besar
(Kim et al., 2011). Rasio profitabilitas perusahaan merupakan rasio yang menggambarkan
seberapa besar kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin besar rasio profitabilitas perusahaan maka semakin efektif
manajemen perusahaan dalam mencari profit atau laba (Darmawan & Sukartha, 2014). Rasio
profitabilitas yang tinggi membuktikan bahwa perusahaan semakin efektif, akan tetapi
semakin tinggi rasio profitabilitas perusahaan maka pajak yang harus ditanggung juga
semakin besar (Aminah et al., 2017).
Beban pajak perusahaan yang meningkat seiring dengan peningkatan profitabilitas
membuat perusahaan mengalihkan keuntungan perusahaan agar beban pajar berkurang.
Strategi untuk membuat profitabilitas perusahaan terlihat lebih kecil adalah dengan
menambah investasi pada aset tetap (Dharma & Ardiana, 2016). Strategi investasi perusahaan
untuk berinvestasi pada aset tetap membuat perusahaan dapat melaporkan penambahan
depresiasi untuk mengurangi kewajiban pajak, atau hanya sekedar mengurangi profit
perusahaan agar profit yang dikenakan pajak menjadi lebih sedikit (wijayanti, 2017). Akan
tetapi Kurniasih & Ratna Sari (2013) menemukan bahwa profitabilitas perusahaan tidak
berpengaruh pada keputusan tax avoidance. Hal tersebut disebabkan oleh tingkat
profitabilitas perusahaan yang stabil dalam jangka waktu yang lama membuat keputusan tax
avoidance beresiko merusak citra perusahaan dimata publik (Kurniasih & Ratna Sari, 2013).
Perusahaan menilai bahwa mempertahankan citra perusahaan lebih penting dibandingkan
mengejar keuntungan dari pembayaran pajak yang lebih sedikit, dengan demikian perusahaan
memilih untuk tidak melakukan tax avoidance (Irianto & Wafirli, 2017).
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi kebijakan tax avoidance adalah rasio leverage
perusahaan (Sudana, 2015), karena mencerminkan beban yang ditanggung oleh perusahaan
pada periode tertentu. Rasio leverage muncul ketika perusahaan mendapatkan keuntungan
dengan memanfaatkan aset atau sumber daya yang mereka miliki. Rasio leverage dapat
mempengaruhi keinginan perusahaan untuk melakukan tax avoidance, karena semakin tinggi
beban hutang perusahaan maka kewajiban pajak yang harus mereka bayarkan akan semakin
sedikit (Rosa Dewinta & Ery Setiawan, 2016). Suyanto & Supramono (2012) meyebutkan
bahwa perusahaan lebih memilih untuk menambah beban hutangnya dibandingkan membayar
pajak lebih tinggi, dengan demikian perusahaan memilih untuk melakukan tax avoidance.
Ketika perusahaan berhutang untuk membiayai operasional perusahaan maka akan timbul
beban bunga dan kewajiban lainnya, beban bunga yang tinggi tersebut mempengaruhi tingkat
laba yang dipergunakan untuk menghitung pajak (AGUSTI, 2015). Akan tetapi MULYANI
et al. (2014) tidak menemukan adanya pengaruh dari leverage terhadap tax avoidance pada
perusahaan manufaktur. MULYANI et al. (2014) menyebutkan bahwa mayoritas perusahaan
manufaktur di Indonesia memiliki hutang jangka panjang kecil, sehingga beban bunga yang
ditanggung oleh perusahaan juga kecil. SURBAKTI (2012) menambahkan bahwa perusahaan
manufaktur Indonesia lebih memilih untuk mematuhi peraturan pajak pemerintah karena
memiliki resiko lebih besar apabila berurusan dengan hukum. Fakta bahwa mayoritas
perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan keluarga membuat struktur pembiayaan
perusahaan lebih banyak bersumber dari pribadi dibandingkan hutang (Anshari, 2019).
Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan tax avoidance
adalah ukuran perusahaan, karena semakin besar sebuah perusahaan akan membuat beban
pajak mereka semakin besar (Rachmawati & Triatmoko, 2007). Besar kecilnya perusahaan
dapat diklasifikasikan berdasarkan total aset, nilai pasar saham, rata-rata penjualan atau
jumlah pendapatan perusahaan (SUWITO & HERAWATY, 2005). Perusahaan dengan
ukuran besar cenderung memiliki laba besar dan stabil, stabilitas laba yang dimiliki oleh
perusahaan cenderung membuat perusahaan melakukan praktik tax avoidance (Rachmawati
& Triatmoko, 2007). Persepsi masyarakat pada perusahaan merupakan hal yang penting bagi
perusahaan, akan tetapi persepsi dari stakeholder yang lain juga tidak kalah penting, seperti
kreditur, pemegang saham, atau pemilik perusahaan yang menginginkan laba lebih tinggi
(Yoehana, 2013). Persepsi dari stakeholder itulah yang membuat perusahaan besar memilih
untuk menggunakan metode akuntansi tertentu agar beban pajak mereka lebih kecil dan laba
terlihat lebih besar (Kabir, 2007).
Penelitian ini menggunakan teori agensi yang beranggapan bahwa manajer perusahaan
besar cenderung memilih untuk mempertahankan profitabilitas perusahaan yang besar dengan
menggunakan metode tax avoidance (Handayani, 2018), agar mereka mendapatkan insentif
yang besar (Chen et al., 2016; MULYANI et al., 2014; Prasetyorini, 2016). Akan tetapi masih
terdapat penelitian yang menemukan bahwa tax avoidance tidak dapat dipengaruhi oleh rasio
profitabilitas perusahaan (Irianto & Wafirli, 2017; Kurniasih & Ratna Sari, 2013), rasio
leverage perusahaan (MULYANI et al., 2014; SURBAKTI, 2012). Karena masih terdapat
perbedaan mengenai pengaruh rasio profitabilitas perusahaan dan rasio leverage perusahaan
terhadap tax avoidance, maka penelitian ini bertujuan untuk memastikan kembali apakah
terdapat pengaruh rasio profitabilitas perusahaan, rasio leverage perusahaan, dan ukuran
perusahaan terhadap tax avoidance pada perusahaan rokok di Indonesia.