Anda di halaman 1dari 2

Memangku

Senin, 14 Maret 2011

Para raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Terutama idaman tentang stabilitas. Kita ingat
nama-nama mereka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku bumi”. Hamengku
Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Buwono: ”paku” atau ”pasak” yang membuat
kontinen tak bergerak terus, terpacak tak terguncang-guncang.

Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka muncul dalam sejarah monarki Jawa
sejak abad ke-17. Sebelum itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai awal
Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama pribadi: Sanjaya, Syailendra, Mpu Sindok,
Airlangga, Hayam Wuruk, Raden Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan Senapati.
Kemudian, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman”:
transisi dari yang personal ke dalam yang simbolik. Setelah itu, Amangkurat I.

Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun informasi yang tak persis dan pasti. Yang
simbolik mengandung sesuatu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat” atau
”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang berbeda: sang penguasa
membayangkan wilayah yang tak terbatas hanya pada daerah yang dikuasainya langsung. Tapi
sejauh mana wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang terkenal itu: hubungan
yang akrab namun misterius Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, dengan yang
bertakhta di ”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat yang ekspansif
yang tak hendak dikatakan.

Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain. Jika ditilik lebih dalam, nama-
nama itu bukan mensugestikan hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna
”menampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra, tenteram, dan protektif.
Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Buwono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan.

Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga
dengan sendirinya sesuatu yang dianggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah
tempat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja diharapkan
tak punya antagonisme dalam diri mereka dan dengan sang raja.

Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain: bukan
representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.

Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni antara yang memangku dan yang
dipangku. Sejak Amangkurat I, kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di alun-
alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya menimbulkan pemberontakan
Trunojoyo; ia bahkan disanggah anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia meninggal jauh di
pesisir utara.
Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu lahir bersama kondisi raja sebagai
sosok yang terbelah. Ia bertaut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia tak
merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diharapkan (dan mengharap) jadi
pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan untuk
jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul.

Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemangku bukan fondasi stabilitas. Ia sendiri
tak punya penopang. Ia tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah: sejak
Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Jipang hilang. Bahkan agaknya jauh
sebelum Ken Arok membangun Tumapel dengan keris dan darah.

Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang bagus tapi
sia-sia. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan,
persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya menulis
Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il Principe di Italia
di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para pemikir dan pelaku politik
sadar: politik itu sejenis perang.

Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan
kekuasaan itu identik dengan dirinya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja
yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan dicemarkan. Yang penting
tentu saja bukanlah mengakui kebrutalan itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah
meniadakan ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipangku dan dipaku.
Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang menciptakannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau, ”akan
sia-sia mendapatkan hari ketujuh untuk beristirahat”.

Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: tercapainya konsensus. Saya tak
sepenuhnya sepaham dengan Laclau bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang
membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti
datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan
”rasionalitas” dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa
demokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mungkin hanya mengejar koalisi
tanpa konfrontasi.

Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati,
serba memuat dan memangku, ”bagaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den kaya
segara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik dan
ditujukan kepada para pewaris sebuah kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air kita,
laut bukanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsunami.

Goenawan Mohamad

Anda mungkin juga menyukai