Anda di halaman 1dari 54

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN
PADA IBU SM (89 TAHUN) DENGAN MASALAH
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL DI WISMA CEMPAKA
SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

AULIA LAILI NISA 0806456966

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI


DEPOK JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN
PADA IBU SM (89 TAHUN) DENGAN MASALAH
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL DI WISMA CEMPAKA
SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners


Keperawatan

AULIA LAILI NISA 0806456966

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI


DEPOK JULI 2013

i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmiah akhir ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Aulia Laili Nisa

NPM : 0806456966

Tanda Tangan :

Tanggal : 08 Juli 2013

HALAMAN PENGESAHAN

ii
Tugas akhir ini diajukan oleh:
Nama : Aulia Laili Nisa
NPM : 0806456966
Program Sudi : Profesi Keperawatan
Judul Penelitian : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan
Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk
memperoleh gelar Ners
Keperawatan pada Program Profesi Keperawatan, Fakultas
Keperawatan, Universitas Indon
esia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing :Ns. Dwi Nurviyandari K.W.,.Kep.,


S MN

Penguji : Ns. Ibnu Abas, S.Kep

Ditetapkan di: Jakarta

Tanggal : 8 Juli 2013

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur

Ilmu

iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Aulia Laili Nisa
NPM : 0806456966
Program Studi : Profesi Keperawatan
Departemen : Ilmu Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah akhir ners saya yang berjudul :
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu
SM (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

iv
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 08 Juli 2013
Yang menyatakan

( Aulia Laili Nisa )


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Shalawat serta salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat. Karya
ilmiah akhir ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Karya Ilmiah Akhir. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN selaku dosen pembimbing yang


telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis
dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini;
2. Riri Maria, S.Kp., MANP, selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah
Akhir;
3. Ns. Ibnu Abas, S.Kep selaku pebimbing klinik Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti;
4. Lelaki baik nan sholeh suamiku tercinta, Salingga Yusrianda, terima kasih
atas semua doa dan kebaikannya 
5. Umi, Abi, Mama, dan Papa yang tiada hentinya memberikan doa,
dukungan material, dan moral;
6. A Vabi, Rahman,dan Arief yang selalu memberikan semangat dan doa;
7. Teman-teman KKMP Peminatan Gerontik Wisma Cempaka yang selalu
bersama dalam suka dan duka selama praktik dan menyusun karya ilmiah
akhir ners;
8. Dian Fitriani yang telah banyak membantu mencarikan jurnal-jurnal;

Harapan penulis mudah-mudahan segala bantuan, bimbingan, dorongan, dan doa


yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT. Semoga karya ilmiah

v
akhir ners ini nantinya dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
keperawatan.

Depok, 08 Juli 2013

Penulis
ABSTRAK

Nama : Aulia Laili Nisa


Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan Masalah Hambatan
Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti Cibubur

Hambatan komunikasi verbal merupakan salah satu masalah kesehatan yang


dialami lanjut usia (lansia). Hambatan komunikasi verbal yang terjadi pada lansia
berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular. Karya ilmiah akhir ners ini
bertujuan menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada
Ibu SM (89 tahun) dengan masalah hambatan komunikasi verbal di Wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. Intervensi dalam asuhan
keperawatan ini terdiri dari mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan
komunikasi, yaitu melalui terapi wicara. Hasil evaluasi dari 23 implementasi
menunjukkan peningkatan kemampuan mengucapkan kata, kalimat sederhana, dan
kalimat kompleks. Mrs. SM juga terlihat percaya diri menyanyi di hadapan orang
lain. Kesimpulannya adalah terapi wicara merupakan cara meningkatkan
komunikasi pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal.

Kata kunci: hambatan komunikasi verbal, lanjut usia, terapi wicara

vi
ABSTRACT

Name : Aulia Laili Nisa


Study Program : Nursing Pofession
Title : Clinical Nursing Practice Analysis of Urban Health on Mrs. SM
(89 years) with Impaired Verbal Communication at Wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur

Impaired verbal communication is one of health problems experienced by elderly.


Impaired verbal communication that occurs on elderly is associated with
cerebrovascular disease. The aim of this study is to analyze urban community
nursing care on Mrs. SM (89 years) with impaired verbal communication at
Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. Nursing
Intervention includes active listening, decreased anxiety, improved
communication through speech therapy. The results from 23 implementations
showed an increament in the ability to say words, simple sentences, and complex
sentences. Mrs. SM also looked confident while singing in front of others. The
conclusion is speech therapy is a way to improve communication on the elderly
with impaired verbal communication.

Keywords: impaired verbal communication, elderly, speech therapy

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................... iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v
ABSTRAK………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… viii

1. PENDAHULUAN …………………………………………..…............. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………............... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 3
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 5


2.1 Teori Penuaan……………………………………………………….. 5
2.2 Prinsip Komunikasi Efektif…………………………………………. 6
2.3 Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan
Cerebrovaskular . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
2.3.1 Definisi Hambatan Komunikasi Verbal……………………… 6
2.3.2 Patofisiologi Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post
Gangguan Cerebrovaskular ……………………………………….. 7
2.3.3 Jenis-jenis Hambatan Komunikasi Verbal…………………… 8
2.4 Terapi Wicara pada Lansia dengan Hambatan Komunikasi Verbal... 10
2.5 Konsep Long Term Care……….………………………………….... 12

3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA………………………… 14


3.1 Pengkajian…………………………………………………………... 14
3.1.1 Identitas
Diri…………………………………………............. 14 3.1.2
Riwayat Kesehatan.......…………………………………........ 14
3.1.3 Aktivitas Sehari-hari
…………………………………............ 16 3.1.4 Pemeriksaan Fisik
……………………………………............ 17 3.2 Analisis
Data…………………………………….………………...... 18
3.3 Perencanaan…………………………………….………………….... 19
3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi
Verbal………………………………………………………............ 19
3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas
viii
Fisik………………………………………………………............... 22
3.4 Implementasi…………………………………….………………….. 22
3.4.1 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi
Verbal………………………………………………………............ 22
3.4.2 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas
Fisik………………………………………………………............... 27
3.5 Evaluasi…………………………………….……………………….. 28
3.5.1 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi
Verbal………………………………………………………............. 28
3.5.2 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas
Fisik………………………………………………………............... 31

4. ANALISIS SITUASI……………………………………………........... 33
4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………… 33
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Kasus Terkait……………... 35
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Lain... 36
4.4 Alternatif Intervensi yang dapat Dilakukan………………………… 37

5. PENUTUP …… …………… ………………………………………… .... 37


5.1 Kesimpulan… ………………………………………… …………… . 37
5.2 Saran………………………………………………… …………… ... 41

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………............. 42

LAMPIRAN

ix
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hambatan komunikasi verbal merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami
lanjut usia (lansia). Lansia yang mengalami hambatan komunikasi mengalami kesulitan
untuk berinteraksi dengan orang lain. Hambatan komunikasi verbal merupakan
penurunan, keterlambatan, atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses,
menghantarkan, dan menggunakan sistem simbol, yaitu segala sesuatu yang memiliki
atau menghantarkan makna (Wilkinson dan Ahern, 2012). Hambatan komunikasi
verbal dapat terjadi akibat faktor fisiologis, psikologis, maupun budaya. Wilkinson dan
Ahern (2012) menyebutkan penyebab terjadinya hambatan komunikasi verbal meliputi
perubahan pada sistem saraf pusat, perubahan konsep diri, defek anatomi seperti celah
palatum perubahan pada sistem neuromuskular, sistem pendengaran, atau pita suara.
Selain itu, tumor otak, kondisi emosi, perbedaan budaya, efek samping obat, dan
kondisi lingkungan juga merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
hambatan komunikasi verbal.

Angka kejadian lansia yang mengalami kesulitan mengungkapkan pikiran secara verbal,
seperti afasia, di dunia mencapai 38% dari lansia yang mengalami gangguan
cerebovaskular (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Hasil penelitian ASEAN
Neurological Association dalam Yayasan Stroke Indonesia (2012) di tujuh negara
ASEAN menunjukkan 15% dari penderita stroke mengalami gangguan neuropsikologi
ini. Selain itu, jumlah penderita stroke di tiga rumah sakit Jakarta, yaitu RSCM, RS
Fatmawati, dan RS Persahabatan rata-rata 200 orang per bulan, sekitar 12 hingga 15%
dari jumlah tersebut mengalami afasia (Said, 2011).

Data-data yang disebut di atas menunjukkan bahwa hambatan komunikasi verbal yang
terjadi pada lansia berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular. Penyakit
cerebrovaskular ini biasanya berkaitan dengan pola hidup. Lansia di kota besar seperti
Jakarta biasanya setelah pensiun kurang memiliki aktivitas bermanfaat. Kurangnya
aktivitas ditambah pola makan yang kurang baik, seperti makan makanan cepat saji,
menyebabkan lansia di perkotaan lebih berpeluang terkena penyakit cerebrovaskular.
2

Serangan yang terjadi pada hemispher kiri dapat menyebabkan gangguan dalam

1 Universitas Indonesia

berkomunikasi (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Besarnya angka kejadian lansia
yang mengalami hambatan komunikasi verbal perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini
dikarenakan hambatan komunikasi verbal menyebabkan lansia mengalami kesulitan
untuk melakukan komunikasi dan dikhawatirkan dapat menurunkan angka
kesejahteraan dan kesehatan lansia.

Upaya peningkatan kesejahteraan dan kesehatan lansia, terutama lansia yang mampu
melakukan kegiatan di kota besar seperti Jakarta, selama ini telah dilakukan oleh
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Berbagai program yang
ditawarkan oleh STW Karya Bhakti meliputi program peningkatan kesehatan seperti
senam, relaksasi, dan terapi musik. Program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan
kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, menonton film, dan
mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif
mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan yang diselenggarakan
STW Karya Bhakti untuk mengakomodasi kebutuhan lansia dengan hambatan
komunikasi verbal adalah dengan berlatih pengucapan huruf vokal, a, i, u, e, o, di akhir
senam dan relaksasi.

Pengkajian yang di lakukan di Wisma Cempaka, STW Karya Bhakti menunjukkan 21%
residen mengalami hambatan komunikasi verbal. Salah satu residen yang mengalami
gangguan ini adalah Residen yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 87 tahun.
Residen pernah menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 dan di awal tahun
2004 Residen mulai mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Akibatnya, Residen
sering merasa malu saat berinteraksi karena apa yang Residen ucapkan terkadang tidak
dipahami oleh orang lain.

Mahasiswa telah memberikan asuhan keperawatan kepada Residen selama tujuh


minggu berpraktik di Wisma Cempaka, STW Karya Bhakti. Asuhan keperawatan yang
dilakukan berupa terapi wicara. STW Karya Bhakti sendiri sebenarnya telah
memfasilitasi latihan bicara dalam kegiatan senam dan relaksasi. Akan tetapi, latihan
yang diajarkan hanya terbatas pada pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Cara
pengucapan suatu kata ataupun kalimat belum diajarkan. Oleh karena itu, mahasiswa
Universitas Indonesia
3

memberikan inovasi dalam asuhan keperawatan kepada Residen yaitu terapi wicara
yang meliputi senam lidah yaitu menggerakan lidah ke depan, ke atas, ke bawah, dan
kesamping, latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti
ba bi bu be bo, latihan pengucapan kata-kata seperti word finders dan everyday objects,
latihan pengucapan kalimat seperti objects and action, everyday activities, sentence
builders, dan phrase builders (Berthier, 2005). Selain itu, di minggu terakhir terapi
wicara dimodifikasi dengan menyanyikan lagu-lagu kesukaan residen. Salah satu target
terapi wicara yang berhasil dicapai adalah residen percaya diri dalam menyanyikan lagu
Halo-halo Bandung dan Kebunku di depan residen lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


Angka kejadian hambatan komunikasi verbal pada lansia di Jakarta mencapai 12 hingga
15% dari jumlah penderita stroke di tiga rumah sakit (Said, 2009). Besarnya angka
kejadian lansia yang mengalami hambatan komunikasi verbal perlu mendapat perhatian
khusus. Hal ini dikarenakan hambatan komunikasi verbal menyebabkan lansia
mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi dan dikhawatirkan dapat
menurunkan angka kesejahteraan dan kesehatan lansia.

Terkait masalah keperawatan yang terjadi pada lansia, hambatan komunikasi verbal
merupakan salah satu masalah yang perlu mendapatkan asuhan keperawatan. Perawat
profesional yang memandang residen secara holistik tentunya memahami bahwa
hambatan komunikasi verbal dapat menganggu interkasi lansia dengan orang lain. Oleh
karena itu, asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal perlu
dilaksanakan agar dapat dilihat kefektifan dari terapi yang telah diberikan.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis asuhan keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu SM (87 tahun) dengan hambatan komunikasi
verbal di Wisma Cempaka, Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi:

1. Memberikan gambaran pelayanan lansia di Sasana Tresna Werdha Karya


Bhakti.
Universitas Indonesia
4

2. Memaparkan hasil pengkajian Residen dengan masalah keperawatan utama


hambatan komunikasi verbal.
3. Memaparkan rencana asuhan keperawatan kepada Residen dengan masalah
keperawatan utama hambatan komunikasi verbal.
4. Memaparkan pengaruh intervensi terapi wicara pada Residen dengan
hambatan komunikasi verbal.
5. Menggambarkan evaluasi asuhan keperawatan pada Residen dengan masalah
keperawatan utama hambatan komunikasi verbal.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat bagi Instansi Pendidikan Keperawatan
Hasil penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pengetahuan mengenai asuhan
keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal . Hai ini agar institusi
pendidikan keperawatan dapat mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi perawat
profesional.

1.4.2 Manfaat bagi Instansi Pelayanan Keperawatan Kesehatan Lansia Hasil


penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pengetahuan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Hal ini agar
perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan.

1.4.3 Manfaat bagi Karya Ilmiah Akhir Ners Selanjutnya


Hasil penulisan ini dapat digunakan dalam karya ilmiah terkait hambatan komunikasi
verbal pada lansia dan asuhan keperawatan yang dapat diberikan.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Penuaan


Proses penuaan merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap individu.
Proses penuaan menyebabkan fungsi organ tubuh dapat mengalami penurunan
bahkan kerusakan. Teori wear and tear dan teori radikal bebas menjelaskan
bagaimana proses menua dapat mempengaruhi fungsi atau kerja sistem
kardiovaskular. Teori wear and tear mengansumsikan tubuh manusia seperti
mesin yang akan usang setelah dipakai terus-menerus selama bertahun-tahun
(Miller, 2012). Perubahan pada sistem kardiovaskular salah satunya, yaitu
pembuluh darah mengalami penyempitan dan menjadi kurang elastis akibat
penumpukan plak atau yang disebut aterosklerosis (Miller, 2012). Plak pada satu
atau lebih pembuluh darah otak dapat mengakibatkan penyumbatan total atau
parsial aliran darah sehingga sirkulasi serebral menurun (Smeltzer dan Bare,
2005). Penurunan sirkulasi serebral ini dapat menyebabkan stroke dan
mengakibatkan terjadinya hemiplegia, afasia, disfagia, hemianopia, penurunan
kesadaran, disfungsi usus dan kandung kemih, hal ini bergantung pada bagian
otak yang terkena.

Teori radikal bebas menjelaskan penurunan fungsi kerja tubuh merupakan akibat
dari akumulasi radikal bebas dalam tubuh (Miller, 2012). Radikal bebas
merupakan zat yang terbentuk dalam tubuh manusia sebagai hasil metabolisme
(Stanley dan Beare, 2007). Bertambahnya umur seseorang menyebabkan
terakumulasinya kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah
atau yang biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara
total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak. Sementara itu,
plak yang menghambat sebagian lumen pembuluh darah, sewaktu-waktu dapat
terlepas dan terbawa aliran darah. Plak yang sampai pada pembuluh darah yang
kecil seperti kapiler, disebut tromboemboli, akan menghambat total aliran darah
ke otak sehingga menyebabkan stroke (Price dan Wilson, 2003). Selain itu,
akumulasi dari zat karsiogenik dapat menyebabkan terjadinya tumor atau kanker
pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005).

Universitas Indonesia
6

2.2 Prinsip Komunikasi Efektif


Komunikasi efektif diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi
efektif terjadi jika pesan, ide, atau gagasan dari komunikator tersampaikan dalam
sebuah kontak sosial (Potter dan Perry, 2005). Kegagalan dalam berkomunikasi
akan menyebabkan tidak tersampaikannya pesan dengan baik. Komunikasi efektif
terdiri dari lima prinsip, yaitu respect, empathy, audible, clarity, dan humble.
Respect merupakan sikap menghormati dan menghargai lawan bicara. Empathy
merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi yang dihadapi orang
lain. Empati dapat melatih kemampuan mendengar dan menerima umpan balik
dengan sikap positif. Audible merupakan kemampuan mendengarkan pesan dari
pemberi pesan dengan baik. Clarity berarti pesan yang disampaikan harus jelas
dan tidak menyebabkan ambiguitas. Humble merupakan sikap rendah hati yang
diperlukan untuk menumbuhkan respect dan empathy kepada orang lain (Potter
dan Perry, 2005).

2.3 Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan


Cerebrovaskular
2.3.1 Definisi Hambatan Komunikasi Verbal
Hambatan komunikasi verbal merupakan penurunan, keterlambatan, atau tidak
adanya kemampuan untuk menerima, memproses, menghantarkan, dan
menggunakan sistem simbol, yaitu segala sesuatu yang memiliki atau
menghantarkan makna (Wilkinson dan Ahern, 2012). Penyebab terjadinya
hambatan komunikasi verbal meliputi perubahan pada sistem saraf pusat,
perubahan konsep diri, defek anatomi seperti celah palatum perubahan pada
sistem neuromuskular, sistem pendengaran, atau pita suara. Selain itu, tumor otak,
kondisi emosi, perbedaan budaya, efek samping obat, dan kondisi lingkungan juga
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya hambatan
komunikasi verbal (Wilkinson dan Ahern, 2012). Batasan karakteristik residen
dengan hambatan komunikasi verbal meliputi tidak adanya kontak mata ketika
berinteraksi, kesulitan dalam mengolah kata-kata atau kalimat, kesulitan
mengungkapkan pikiran secara verbal, gangguan penglihatan, bicara pelo, bicara

Universitas Indonesia
7

gagap, dan kesulitan dalam mempertahankan pola komunikasi yang sebelumnya


dapat dilakukan (Wilkinson dan Ahern, 2012).
2.3.2 Patofisiologis Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post
Gangguan Cerebrovaskular
Residen yang pengalami gagguan cerebrovaskular dapat mengalami gangguan
berbicara atau berkomunikasi. Hal ini dapat terjadi karena gangguan
cerebrovaskular mempengaruhi sistem neurologi. Penelitian Nadeau, Rothi, dan
Crosson(2000) menunjukkan hambatan komunikasi verbal dapat terjadi mengikuti
stroke dan traumatic brain injury, dapat pula dihubungkan dengan penyakit yang
mempengaruhi unsur dan fungsi otak.

Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya kolestrol jahat


berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah atau yang biasa disebut
aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara total akan
menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak. Sumbatan tersebut
mengakibatkan pembuluh darah ruptur sehingga aliran darah mengalami
gangguan dan mengakibatkan sel kekurangan oksigen sehingga terjadi infark
(Price dan Wilson, 2003). Selain itu, akumulasi dari zat karsiogenik dapat
menyebabkan terjadinya tumor atau kanker pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005).

Lesi yang terdapat pada hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini
terdapat area broca, kerusakan yang ditimbulkan tidak akan menghalangi
seseorang mengeluarkan suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak
mampu menggucapkan seluruh kata-kata atau hanya memahami kata-kata
sederhana dan kemampuan mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk
tulisan atau lisan akan terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan
Bare, 2005).

Residen yang mengalami lesi pada lobus temporalis kiri masih mampu
mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi pemahaman terhadap kata-kata yang
diucapkan atau tertulis terganggu hal ini disebut disfasia reseptif (Smeltzer dan
Bare, 2005). Hal ini terjadi karena pada lobus temporalis superior di hemisfer
dominan yang dinamakan area wernicke berfungsi untuk pendengaran dan

Universitas Indonesia
8

penglihatan. Informasi dari area wernicke tersebut akan disampaikan ke area


broca melalui fasikulus arkuatus, kemudia diproses menjadi gambaran yang
mendetail dan tersusun untuk bicara, kemudian berproyeksi ke kortek motorik
yang menimbulkan gerakan lidah, bibir dan larinx yang sesuai untuk
menghasilkan suara. Girus angularis dibelakang area wernicke akan memproses
informasi dari kata-kata yang dibaca sehingga menjadi kata-kata bentuk auditorik
pada area wernicke (Smeltzer dan Bare, 2005).

2.3.3 Jenis-jenis Hambatan Komunikasi Verbal


Penelitian Ninds (2006) menyebutkan satu dari empat residen post stroke di
United Kingdom menggalami gangguan berbicara, menulis, dan membaca. Cigna
(2005) menyebutkan gangguan yang mungkin terjadi meliputi gangguan
artikulasi, gangguan kelancaran berbicara, dan gangguan suara. Sedangkan
menurut Touhy dan Jett (2010) gangguan komunikasi post stroke meliputi
dysatria, afasia, dan apraxia.

Gangguan artikulasi merupakan ketidakmampuan individu menghasilkan suara


yang jelas. Cigna (2005) menyebutkan gangguan artikulasi merupakan gangguan
phonologikal yang memunculkan ketidaksesuaian antara bunyi suara dan katakata
sehingga kalimat kurang dapat dipahami. Gangguan ini dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu gangguan artikulasi motorik dan gangguan artikulasi
fungsional. Gangguan artikulasi motorik melibatkan kerusakan di susunan otak
pusat atau perifer, sedangkan gangguan artikulasi fungsional belum diketahui
penyebabnya.

Gangguan kelancaran berbicara dapat terjadi akibat ketidakmampuan individu


mengontrol bunyi suara. Cigna (2005) menyebutkan gangguan kelancaran
berbicara terjadi akibat adanya perpanjangan atau pengulangan dalam
memproduksi bunyi suara. Gangguan kelancaran berbicara termasuk dalam
abnormalitas kelancaran aliran suara yang keluar, misalnya gagap.

Gangguan suara dapat terjadi karena abnormalitas fungsi laring dan saluran
pernafasan. Cigna (2005) menyebutkan gangguan suara terjadi karena
ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat. Individu yang
Universitas Indonesia
9

mengalami gangguan suara tidak mampu menghasilkan suara yang berkualitas,


nada, resonan, dan durasi yang efektif.
Disatria merupakan kesulitan dalam berbicara.Touhy dan Jett (2010) menyatakan
disatria dapat terjadi akibat kasus neurologik seperti paralisis otot yang
bertanggung jawab menghasilkan bicara. Disatria menyebabkan ketidakjelasan
dan kesalahan dalam pengucapan suatu kata. Individu yang mengalami disatria
dapat mengalami kesulitan dalam berbicara sehingga pembicaraannya sulit untuk
dipahami.

Disfasia atau afasia merupakan hilangnya kemampuan individu mengekspresikan


diri sendiri atau mengerti bahasa. Touhy dan Jett (2010) mengemukakan
kerusakan yang terjadi di area lobus frontal menyebabkan hilangnya kemampuan
ekspresif, yaitu ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri, sedangkan
kerusakan pada lobus temporal kiri mengakibatkan hilangnya kemampuan
reseptif, yaitu ketidakmampuan mengerti apa yang dikatakan orang lain. Afasia
terbagi dalam enam jenis, meliputi aculcullia, agnosia, agraphia, dyslexia,
anomia, paraphasia, dan perseveration (Touhy dan Jett, 2010). Aculcullia
merupakan ketidakmampuan mengerjakan matematika atau simbol-simbol angka
umum. Agnosia merupakan ketidakmampuan mengenali benda-benda yang sudah
dikenal sebelumnya dengan merasakannya melalui panca indera. Agraphia
merupakan ketidakmampuan menulis kata-kata. Dyslexia merupakan kesulitan
dalam membaca. Anomia merupakan kesuitan dalam memilih kata-kata yang tepat
terutama kata benda. Paraphasia merupakan kesalahan penggunaan kata-kata.
Perseveration merupakan pengulangan terus- menerus pada satu aktivitas atau
kata atau kalimat yang tidak tepat.

Apraxia merupakan kelainan bicara yang disebabkan kelainan motorik. Apraxia


menghambat kemampuan seseorang untuk menggerakkan lidah dan biir secara
benar (Touhy dan Jett, 2010). Apraxia juga dapat diartikan sebagai kesukaran
dalam pembentukan dan menghubungkan katakata yang dimengerti walaupun
susunan otot-otot utuh. Apraxia juga dapat mempengaruhi proses mengunyah dan
menelan.

Universitas Indonesia
10

2.4 Terapi Wicara pada Residen dengan Hambatan Komunikasi Verbal

Asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada residen dengan hambatan


komunikasi verbal, yaitu melalui terapi wicara. Terapi wicara merupakan
treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi verbal agar
memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Target
terapi wicara adalah untuk meningkatkan harapan hidup sehari-hari. selain itu,
terapi yang diberikan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal bertujuan
meningkatkan komunikasi lansia secara verbal, tulisan, atau isyarat (Bakheit et al.,
2007). Tujuan terapi wicara secara spesifik meliputi meningkatnya kejelasan
dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, dan kemampuan
mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti (Nadeau, Rothi, dan
Crosson, 2000). Tugas-tugas dalam terapi wicara meliputi word finders, everyday
objects, objects and action, everyday activities, sentence builders, dan phrase
builders, (Berthier, 2005).

Senam lidah dapat dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan untuk
merilekskan otot-otot lidah. Senam lidah terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan
pertama adalah menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan
lidah dengan rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang
bawah. Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan.
Gerakan kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam
adalah tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan
kedelapan adalah membuka bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir
adalah merapatkan bibir (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).

Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf
konsonan juga perlu dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan agar
residen mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar mengucapkan kata
atau kalimat (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Tahapan ini mengajarkan cara
pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan
Universitas Indonesia
11

huruf konsonan juga dilatih seperti pengucapan ba bi bu be bo, pa pi pu pe po, ma


mi mu me mo, ta ti tu te to, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo.
Word finders atau mencari kata-kata merupakan tugas pertama dalam terapi
wicara. Residen diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai
kehidupan sehari-hari (Berthier, 2005). Contoh pertannyaannya yaitu, “Mencuci
tangan menggunakan sabun dan?” jawabnya, “Air”. “Setelah mandi kita memakai
baju dan?” jawabnya, “Celana”. “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri
dari ayah dan?” jawabannya, “Ibu”.

Everyday objects atau benda sehari-hari merupakan tugas kedua dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan
untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk mengucapkan nama
benda-benda tersebut (Berthier, 2005). Contoh nama benda yang dilatih seperti
kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah,
dan kain pel.

Objects and action atau benda dan aksi merupakan tugas ketiga dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan
seharihari. Setelah itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas
menggunakan benda tersebut (Berthier, 2005). Contohnya residen ditunjukkan
sebuah gelas, kemudian residen dapat membuat kalimat seperti, “Saya minum teh
menggunakan gelas.” Selanjutnya residen ditunjukkan sebuah pulpen, kalimat
yang dapat dibuat seperti, “Saya menulis menggunakan pulpen.” Terakhir residen
ditunjukkan sebuah sepatu, kalimat yang dapat dibuat seperti, “Saya pergi
memakai sepatu.”

Everyday activities atau aktivitas sehari-hari merupakan tugas keempat dari terapi
wicara. Residen pada tahap diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang
telah ditentukan (Berthier, 2005). Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas
sehari-hari. Contohnya residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen
dapat membuat kalimat seperti, “Mahasiswa membaca buku.” Contoh lainnya
residen diberi kata kerja menyetir, maka kalimat yang dapat dibuat, “Ayah

Universitas Indonesia
12

menyetir mobil.” Contoh terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka kalimat
yang dapt dibentuk, “Ibu mencuci baju.”
Sentence builders atau membuat kalimat merupakan tugas keempat dalam terapi
wicara. Sentence buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta
untuk menjawab pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari (Berthier,
2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh
melaju?” jawabannya, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.”
Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit di barat?”
jawabannya, “Bukan, matahari terbit di timur.” Tahap kedua adalah menjawab
pertanyaan membandingkan (Berthier, 2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “
Apakah bulu lebih lembut dari batu?” jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari
batu.” Contoh pertanyaan lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari
musim kemarau?” jawabannya, “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim
kemarau.”

Phrase builders atau membuat frase merupakan tugas kelima dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari
frase tersebut (Berthier, 2005). Susunan kalimat yang dibuat pada tahap pertama
bepola subjek predikat object, misalnya frase raja hutan, kalimat yang dapat
dibuat “Singa adalah raja hutan.” Contoh lainnya frase kue coklat, maka kalimat
yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat yang
dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan. Contohnya
frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu
membuat kue coklat di dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, maka kalimat yang
dapat dibuat “Dia mengirim bunga untuk hari ibu.”

2.5 Konsep Long Term Care


Konsep keperawatan masyarakat perkotaan meliputi konsep keperawatan gerontik.
Hal ini dikarenakan lansia merupakan bagian dari masyarakat perkotaan. Jumlah
lansia di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta orang atau
sekitar 11 persen dari total penduduk Indonesia (Kementerian Sosial Republik
Indonesia, 2008). Prinsip keperawatan gerontik salah satunya adalah
mengusahakan lansia lebih sejahtera, berguna, dan bahagia sehingga tidak
Universitas Indonesia
13

menjadi beban di keluarga maupun masyarakat. Berbagai upaya telah


dilaksanakan oleh instansi pemerintah, para profesional kesehatan, serta bekerja
sama dengan pihak swasta dan masyarakat untuk mengurangi angka kesakitan
(morbiditas) dan kematian (mortalitas) lansia. Pelayanan kesehatan, sosial, dan
ketenagakerjaan telah dibentuk pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat individual,
kelompok lansia, keluarga, Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW), Sasana Tresna
Werdha (STW), sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar (primer), sarana
pelayanan kesehatan rujukan (sekunder), dan sarana pelayanan kesehatan tingkat
lanjutan (tersier) untuk mengatasi permasalahan pada lansia (Kementerian Sosial
Republik Indonesia, 2008).

Pelayanan yang diselengarakan oleh panti werdha merupakan pelayanan holistik.


Pelayanan holistik ini mencakup social residence, nursing home, hospice, dan day
care. Social residence merupakan pelayanan untuk mengatasi permasalahan atas
kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia (Scourfield, 2007). Pelayanan ini
diperuntukan bagi lansia dengan tingkat kemampuan fungsional potensial atau
yang masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fasilitas-fasilitas yang
disediakan antara lain fasilitas hunian, fasilitas klinik, dan pelayanan 24 jam.

Nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia yang mengalami
penurunan fisiologis tubuh sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya (Miller, 2012). Lansia dengan tingkat kemandirian
partial care memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi sebagian
kebutuhannya. Lansia dengan tingkat kemandirian total care memerlukan
bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas
yang tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi
kebutuhannya. Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter, fisioterapi,
farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan
tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik.

Hospice merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia yang membutuhkan


perawatan paliatif. Perawatan paliatif ini dibutuhkan akibat penyakit terminal atau
kondisi menjelang kematian. Prinsip pelayanan bertujuan agar lansia bisa kembali

Universitas Indonesia
14

menghadap Tuhan tanpa rasa sakit atau dapat meninggal dengan damai dan
bermartabat (Miller, 2012). Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter,
asuhan keperawatan paliatif, dan bimbingan rohani.

Panti werdha juga menyediakan program day care atau yang dikenal dengan
istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia
yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama
lain di siang hari (Miller, 2012). Setelah kegiatan di panti selesai, lansia yang
mengikuti program ini dipersilahkan untuk kembali ke rumah. Program-program
yang disediakan meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan
kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam,
menjahit, berkebun, menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program
tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan
kemampuannya.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Lansiadi STW mendapat
fasilitas kamar pribadi, makan 3x sehari, yaitu sarapan, makan siang, dan makan
malam, serta snack 2x sehari di pagi dan sore hari. Aspek nursing home
merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian
partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya
caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW juga
menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian
lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama
keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari.
Program yang dapat diikuti seperti senam, relaksasi, pengajian, angklung, merajut,
dan menyulam.

Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Diri
Ibu S menjadi residen kelolaan utama selama tujuh pekan praktik di Wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Residen
merupakan seorang janda yang sebelumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Pendidikan terakhir residen adalah sekolah rakyat. Residen telah tinggal di Wisma
Cempaka sejak 28 November 2011, sebelumnya tinggal dengan anaknya di
Manggarai Selatan I/5 RT 12 RW 01. Residen memilih untuk tinggal di STW
STW Karya Bhakti karena ingin menikmati masa tua dengan kegiatan yang
bermanfaat. Selama di rumah, residen menghabiskan waktu dengan menonton
televisi dan tidur, tidak ada kegiatan lainnya.

3.1.2 Riwayat Kesehatan


Residen memiliki riwayat kesehatan pernah mengalami tumor otak. Residen telah
menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 di Rumah Sakit Mount
Elizabeth Singapura. Pasca operasi tersebut, residen mengalami gangguan bicara
(bicara kurang jelas) sejak awal tahun 2004. Akibat dari gangguan bicara ini
residen merasa malu karena perkataannya terkadang tidak dimengerti oleh lawan
bicara. Selain mengalami gangguan bicara, residen juga mengalami pendengaran,
yaitu tuli sensorineural sehingga dalam berkomunikasi mahasiswa perlu berbicara
lebih keras, jelas, dan perlahan-lahan. Residen juga mengalami gangguan
penglihatan karena katarak, tetapi belum dioperasi karena keluarga tidak setuju
dengan alasan sudah tua. Residen pernah menjalani operasi tumor usus pada tahun
2009 di RSCM.

Kedua orangtua Residen telah lama meninggal. Menurut residen kedua


orangtuanya meninggal karena memang sudah tua. Residen mengatakan tidak
mengetahui apakah keluarganya memiliki penyakit keturunan karena zaman

Universitas Indonesia
16

15

dahulu peralatan medis belum canggih. Residen juga menyangkal keluarganya


memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, dan asma.

3.1.3 Aktivitas Sehari-hari


Hasil interpretasi Indeks Katz menunjukkan gangguan fungsional sebagian atau
kemandirian sebagian sehingga aktifitas sehari-hari residen dibantu oleh
caregiver. Residen makan 3x sehari, ditambah snack cracker 2x sehari dan segelas
susu tinggi kalsium di pagi hari. Residen menghindari makanan yang mengandung
kolestrol seperti udang dan cumi. Residen minum air putih 1,5-2 liter sehari yang
dibagi dalam 5 gelas ± 300-350 cc ditambah segelas teh manis, menggunakan gula
jagung, sebanyak 250 cc. Awalnya sekali minum bisa sampai 600 cc, tetapi karena
sering BAK akhirnya jumlah sekali minum dikurangi yang penting kebutuhannya
terpenuhi. Residen tidak mengalami kesulitan untuk memulai tidur, tidur dengan
nyenyak, dan selalu merasa segar saat banyak tidur. Residen tidak mengalami
inkontinesia, BAK 3-4x sehari,dan BAB 1x sehari setiap pagi. Residen selalu
mengikuti kegiatan yang ada di STW seperti senam, main angklung, kebaktian,
mendengarkan musik, dan menonton film. Rekreasi yang dilakukan Residen
berupa mendengarkan musik, menonton televisi, dan bermain angklung

Residen menerima dukungan dari anak, cucu, dan cicitnya termasuk keputusan
residen tinggal di STW. Akan tetapi, residen sebenarnya kecewa karena dari 7
orang anaknya tidak ada yang bersedia tinggal dengannya. Hubungan residen
dengan keluarganya baik. Selama tujuh pekan mahasiswa berpraktik, terlihat tiga
kali Residen dikunjungi keluarganya, yaitu saat hari paskah, saat berobat ke
Rumah Sakit Pasar Rebo, dan saat menubus obat. Residen terlihat senang dengan
kunjungan di hari paskah. Akan tetapi, terlihat sedikit kecewa dengan kunjungan
saat ke rumah sakit dan menubus ini. Hal ini karena anak dan menantunya terlihat
terpaksa, biaya berobatpun menggunakan uang residen, bahkan harus membelikan
makan siang dan mengganti uang bensin. Hal inilah yang membuat residen
terkadang menanggis ketika menceritakan keluarganya.
Residen berinteraksi dengan residen lainnya misalnya dengan tetangga kamarnya,
yaitu Eyang S. Akan tetapi, residen lebih sering mendengarkan saja daripada
Universitas Indonesia
17

banyak berbicara. Hal ini dikarenakan perkataan residen terkadang tidak jelas
sehingga sulit dipahami orang lain. Hal ini membuat residen terkadang merasa
malu. Jika ada masalah dengan residen lain, residen akan mengalah karena tidak
ingin ribut. Selain itu, kontak mata resinden juga kurang saat berbicara dengan
orang lain. Residen juga berinteraksi dengan petugas STW dan rajin mengikuti
acara binjang antar kita (BAKI). Saat BAKI biasanya Residen meminta caregiver
untuk ikut hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat residen tidak
menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak STW.
Biasanya setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang
disampaikan pihak STW.

Residen beragama Kristen Protestan. Residenrajin mengikuti kebaktian dari STW


2x seminggu, yaitu hari kamis dan minggu. Residen meyakini bahwa kesehatan
merupakan anugerah dari Tuhan. Jika sekarang merasa banyak penurunan itu
karena sudah tua. Residen juga merasa sudah ingin dipanggil Tuhan. Hal ini
karena residen merasa sudah mengalami banyak penurunan dan tidak ingin
merepotkan keluarganya. Residen juga pernah bermimpi didatangi oleh suami dan
kedua orangtuanya yang sudah meninggal, tetapi residen merasa kecewa karena
tidak ikut diajak menghadap Tuhan.

3.1.4 Pemeriksaan Fisik


Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum Residen baik, kesadaran
compos mentis, suhu tubuh 36,8 C, frekuensi nadi 79x per menit, frekuensi
pernafasan 20x per menit, tinggi badan 152 cm, berat badan 60 kg, indeks massa
tubuh 25,9, dan lingkar lengan atas 28 cm. Rambut berwarna putih, rontok, dan
terdapat ketombe. Residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata
katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu
kacamata. Tidak ada pengeluaran sekret dan lesi pada hidung. Residen
menggunakan gigi palsu dan dibersihkan satu kali setiap hari, mukosa bibir
lembab, dan tidak terdapat lesi pada mulut, residen kesulitan berbicara atau
mengungkapkan kata-kata seperti air, bung, dan putih. Residen juga terkadang
berbicara gagap seperti saat mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah
Universitas Indonesia
18

“Eeellemarii”. Tidak ada pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi


penumpukan kotoran pada telinga, terjadi penurunan pendengaran. Tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening, peningkatan JVP, atau pun nyeri pada leher.

Suara paru bronko vesikuler, tidak terdapat suara tambahan seperti wheezing atau
ronkhi. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat bunyi tambahan seperti
murmur dan gallop. Abdomen supel, teraba benjolan pada abdomen sinistra, nyeri
tekan terkadang muncul terkadang tidak, sudah dilaporakan ke dr. Nia dan dirujuk
pemeriksaan USG di RS Pasar Rebo dan hasilnya terlihat massa. Menurut dokter
kandungan di RS Pasar Rebo seharuanya dirujuk ke dokter spesialis penyakit
dalam RSCM, tempat dimana Residen pernah menjalani operasi tumor usus. Hasil
pengkajian Fall Morse Scall dan Berg Balance Test menunjukkan Residen
berisiko jatuh rendah, sedangkan hasil Mini Mental State Examination
menunjukan hasil yang normal, yaitu tidak ada gangguan kognitif. Kuku kaki
Residen juga terlihat panjang. Hal ini dikarenakan Residen tidak mampu
menjangkau kuku kakinya untuk dipotong. Kekuatan otot pada ektremitas atas
sama, yaitu mampu melakukan tahanan terhadap tekanan kuat dan gravitasi,
sedangkan pada ekstremitas bawah sendi lutut masih mampu melawan gravitasi
dan tekanan lemah hingga sedang.

3.2 Analisis Data


Data-data subjektif menunjukkan bahwa residen memiliki riwayat post operasi
tumor otak pada tahun 2003 dan mengalami gangguan bicara atau bicara tidak
jelas sejak tahun 2004. Residen lebih sering mendengarkan saja daripada banyak
berbicara saat berinteraksi dengan residen lain karena perkataan residen terkadang
tidak jelas sehingga sulit dipahami orang lain. Residen terkadang merasa malu
karena berbicara tidak jelas. Jika ada kegiatan, seperti bincang antar kita (BAKI)
residen meminta caregivernya untuk hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran
membuat residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang
disampaikan pihak STW. Setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi
informasi yang disampaikan pihak STW.

Universitas Indonesia
19

Data-data objektif yang diperoleh melalui pengkajian fisik menunjukkan residen


mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan
noda putih pada lensa mata kanan dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu
kacamata. Residen kesulitan berbicara atau mengungkapkan kata-kata seperti air,
bung, dan putih. Residen juga terkadang berbicara gagap seperti saat
mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah “Eeellemarii”. Tidak ada
pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi penumpukan kotoran pada telinga,
tetapi terjadi penurunan pendengaran yang dapat diakibatkan dari proses penuaan,
yaitu tuli sensorineural. Masalah keperawatan yang dapat disimpulkan dari
datadata tersebut, yaitu hambatan komunikasi verbal (Wilkinson dan Ahern,
2012).

Data-data subjektif menunjukkan residen kesulitan melakukan aktivitas memotong


kuku kaki. Hal ini karena ketidakmampuan menjangkau kuku kaki. Data-data
objektif menunjukkan residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu
mata katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan dan
penggunaan alat bantu penglihatan yaitu kacamata. Kuku kaki Residen juga
terlihat panjang. Selain itu, kekuatan otot pada ektremitas atas sama, yaitu mampu
melakukan tahanan terhadap tekanan kuat dan gravitasi, sedangkan pada
ekstremitas bawah sendi lutut hanya mampu melawan gravitasi dan tekanan lemah
hingga sedang. Masalah keperawatan yang dapat disimpulkan dari data-data
tersebut, yaitu hambatan mobilitas fisik (Wilkinson dan Ahern, 2012).

3.3 Perencanaan
3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal

Analisis data-data pengkajian pada Residen menghasilkan masalah keperawatan


utama yaitu hambatan komunikasi verbal. Selanjutnya untuk menyelesaikan
masalah tersebut disusunlah rencana asuhan keperawatan. Rencana asuhan
keperawatan yang dibuat terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum atau tujuan jangka panjang dari rencana asuhan keperawatan. Tujuan
umum dari rencana asuhan keperawatan yang diberikan, yaitu setelah dilakukan
intervensi keperawatan Residen dapat menunjukkan peningkatan komunikasi

Universitas Indonesia
20

(Wilkinson dan Ahern, 2012). Tujuan umum ini dijelaskan secara spesifik dalam
tujuan khusus, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk
mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan
dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain.

Tujuan umum dan tujuan khusus dapat tercapai dengan diberikannya intervensi
keperawatan. Intervensi dalam rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari
mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan komunikasi dengan gangguan
pendegaran dan penglihatan (Wilkinson dan Ahern, 2012). Intervensi pertama,
yaitu menjadi pendegar aktif dengan hadir di dekat residen, berbicara berhadapan
dan mempertahankan kontak mata, berusaha menangkap pesan verbal dan non
verbal yang residen berikan. Penurunan ansietas dilakukan dengan meningkatkan
kepercayaan diri residen, yaitu memotivasi residen untuk mengikuti kegiatan yang
diadakan STW serta menjelaskan manfaat dan waktu yang dibutuhkan untuk
terapi wicara. Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk peningkatan
komunikasi dengan gangguan pendengar meliputi berbicara jelas, singkat,
perlahan, dan diulang bila perlu. Intervensi keperawatan yang akan diberikan
untuk peningkatan komunikasi dengan gangguan bicara meliputi senam lidah,
latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf
konsonan, latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan
everyday objects, latihan pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects
and action dan everyday activities, latihan pengucapan kalimat lebih kompleks
dengan metode latihan sentence builders dan phrase builders, serta latihan
bernyanyi.

Senam lidah yang akan dilakukan terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan-gerakan
ini bertujuan untuk merilekskan otot-otot lidah. Gerakan pertama adalah
menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan lidah dengan
rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang bawah.
Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan. Gerakan
kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam adalah
tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan kedelapan

Universitas Indonesia
21

adalah membuka bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir adalah


merapatkan bibir.
Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf
konsonan juga perlu dilakukan dalam terapi wicara. Hal ini bertujuan agar residen
mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar mengucapkan kata atau
kalimat. Tahapan ini residen akan diajarkan cara pengucapan huruf vokal a, i, u, e,
o. Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga dilatih
seperti pengucapan ba bi bu be bo, pa pi pu pe po, ma mi mu me mo, ta ti tu te to,
ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo.

Intervensi keperawatan selanjutnya, yaitu latihan pengucapan kata-kata dengan


metode word finders dan everyday objects. Metode word finders melatih residen
menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari.
Contoh pertannyaannya yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?”
jawabnya, “Air”. “Setelah mandi kita memakai baju dan?” jawabnya, “Celana”.
Metode everyday objects melatih residen mengucapakan nama benda yang
ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan
beberapa benda yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen
kemudian dilatih untuk mengucapkan nama benda-benda tersebut. Contoh nama
benda yang dilatih seperti kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu,
tempat tidur, tempat sampah, dan kain pel.

Intervensi keperawatan selanjutnya, yaitu melatih pengucapan kalimat sederhana


dengan metode objects and action dan everyday activities. Residen pada tahap
objects and action ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan sehari-hari.
Setelah itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan
benda tersebut. Contohnya residen ditunjukkan sebuah gelas. Residen pada tahap
everyday activities diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah
ditentukan. Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas sehari-hari. Contohnya
residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen dapat membuat kalimat
seperti, “Mahasiswa membaca buku.”

Universitas Indonesia
22

Intervensi keperawatan selanjutnya yaitu, melatih pengucapan kalimat yang lebih


kompleks yaitu dengan metode sentence builders dan phrase builders. Sentence
buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab
pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari. Contoh pertanyaannya yaitu,

“Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” jawabannya, “Salah,


lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.” Tahap kedua adalah menjawab
pertanyaan membandingkan. Contoh pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih
lembut dari batu?” jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.”

Residen pada tahap phrase builders tidak hanya dilatih membuat kalimat berpola
subjek predikat objek, tetapi juga dilatih untuk menambahkan kata keterangan
dalam setiap kalimat yang dibuat. Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase
dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut. Susunan kalimat yang dibuat
pada tahap pertama bepola subjek predikat objek, misalnya frase kue coklat, maka
kalimat yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat
yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan., maka
kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.”
Intervesi keperawatan selanjutnya, yaitu latihan bernyanyi. Lagu-lagu yang dipilih
dalam latihan ini adalah lagu-lagu kesukaan residen dan lagu-lagu yang
sebelumnya telah residen hafal.

3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik


Masalah Keperawatan kedua pada Residen adalah hambatan mobilitas fisik.
Rencana asuhan keperawatan dibuat dengan tujuan meningkatkan atau
mengoptimalkan kekuatan otot sehingga masalah mobilitas fisik residen dapat
berkurang (Wilkinson dan Ahern, 2002). Rencana intervensi perawatan yang
dibuat meliputi, latihan rentang pergerakan sendi (RPS), latihan perubahan posisi
dari jongkok ke berdiri, latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri,
dan membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti memotong kuku kaki.

3.4 Implementasi
3.4.1 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi

Universitas Indonesia
23

Verbal
Pelaksanaan rencana keperawatan hambatan komunikasi verbal dilakukan selama
23 kali pertemuan, dimana per pekannya menggunakan lima hingga enam hari.
Residen dan perawat duduk berhadapan. Perawat memotivasi residen untuk
mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi. Residen juga dijelaskan
manfaat dari terapi wicara, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan,
kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan
katakata yang jelas dan dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat
dengan orang lain. Selain itu, perawat membuat kontrak waktu untuk terapi
wicara, yaitu enam kali pertemuan setiap pekannya dan dilakukan selama empat
pekan.

Implementasi selanjutnya dilakukan dengan melatih senam lidah dan latihan


pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dan konsonan. Pertama
residen dijelaskan manfaat dari senam lidah, yaitu untuk merilekskan otot-otot
lidah. Selanjutnya residen diajarkan sembilan gerakan senam lidah, yaitu
menjulurkan lidah ke depan, sentuhkan lidah dengan rahang atas, sentuhkan lidah
dengan rahang bawah, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan, sentuhkan lidah
dengan sudut bibir kiri, tersenyum, memonyongkan bibir, membuka bibir hingga
selebar-lebarnya, dan merapatkan bibir. Setelah senam lidah, residen dilatih untuk
mengucapkan huruf vokal a i u e o. Selanjutnya Residen dilatih untuk
mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan dari ba bi bu be bo
hingga za zi zu ze zo yang terdiri dari 21 penggabungan huruf. Waktu tiga hari
diperlukan untuk melatih residen mengucapkan penggabungan huruf vokal dan
huruf konsonan dan satu hari untuk mengeveluasi latihan pengucapan semua
huruf. Setiap harinya residen dilatih mengucapkan tujuh penggabungan huruf
vokal dan konsonan.

Pertemuan pertama melatih pengucapan ba bi bu be bo, ca ci cu ce co, da di du de


do, fa fi fu fe fo, ga gi gu ge go, ha hi hu he ho, dan ja ji ju je jo. Pertemuan kedua
setelah senam lidah dan mengevalusi pengucapan huruf hari sebelumnya, Residen
dilatih mengucapkan ka ki ku ke ko, la li lu le lo, ma mi mu me mo, na ni nu ne
no, pa pi pu pe po, qa qi qu qe qo, dan ra ri ru re ro. Pertemuan ketiga setelah
Universitas Indonesia
24

senam lidah dan mengevalusi pengucapan huruf hari sebelumnya, residen dilatih
mengucapkan sa si su se so, ta ti tu te to, va vi vu ve vo, wa wi wu we wo, xa xi
xu xe xo, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo. Pertemuan keempat melakukan
evaluasi terhadap latihan yang telah diberikan dan membuat rencana tindak lanjut
untuk melatih mengucapkan kata-kata.

Pertemuan kelima dan keenam setelah senam lidah Residen dilatih untuk
mengucapkan kata-kata. Metode pertama yang digunakan adalah word finders.
Perawat memberikan tujuh pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari,
kemudian Residen diminta untuk menjawabnya. Pertannyaan yang diberikan
yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” “Setelah mandi kita memakai
baju dan?” “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri dari ayah dan?”
“Warna bendera Indonesia adalah merah dan?” “Semut itu kecil, kalau gajah itu?”
“Di Wisma Cempaka suasananya tenang, kalau di pasar?” “Kopi rasanya pahit,
kalau gula rasanya?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk
kembali melatih pengucapan kata-kata sederhana dengan metode everyday
objects.

Pertemuan ketujuh dan kedelapan setelah senam lidah dan mengvaluasi kegiatan
hari sebelumnya, Residen kembali dilatih mengucapkan kata-kata. Perbedaannya
metode yang digunakan adalah everyday objects. Kata-kata yang dilatih
dikhususkan pada benda-benda yang biasa residen temui dalam kehidupan
seharihari. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa
digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk
mengucapkan nama benda-benda tersebut. Nama benda yang dilatih pada hari
ketujuh merupakan benda yang terdiri dari satu kata, yaitu kursi, pulpen, lemari,
bantal, buku, cermin, dan sepatu. Nama benda yang dilatih dihari kedelapan
merupakan benda yang terdiri dari dua kata, yaitu tempat tidur, tempat sampah,
buku tulis, baju merah, sendal coklat dan kain pel. Selanjutnya perawat membuat
rencana tindak lanjut untuk melatih pengucapan kalimat sederhana dengan metode
objects and action.

Universitas Indonesia
25

Pertemuan kesembilan dan kesepuluh setelah senam lidah dan mengvaluasi


kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat sederhana
menggunakan metode objects and action. Residen pada tahap ini ditunjukkan
beberapa benda yang biasa digunakan sehari-hari. Setelah itu, residen diminta
untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan benda tersebut. Pertemuan
kesembilan residen ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen diminta membuat
kalimat. Selanjutnya benda-benda yang ditunjukkan meliputi pulpen, sepatu,
cermin, dan kursi. Pertemuan kesepuluh residen ditunjukkan benda yang terdiri
dari dua kata, kemudian residen diminta membuat kalimat menggunakan nama
benda tersebut. Benda-benda yang ditunjukkan meliputi tempat sampah, buku
tulis, tempat tidur, sikat gigi, dan gunting kuku. Selanjutnya perawat membuat
rencana tindak lanjut untuk melatih kembali pengucapan kalimat sederhana
dengan metode everyday activities.

Pertemuan kesebelas dan keduabelas setelah senam lidah dan mengevaluasi


kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat sederhana
menggunakan metode everyday activities. Residen pada tahap diminta membuat
sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan. Kata kerja berupa yang
dipilih berupa aktivitas sehari-hari. Kata kerja yang digunakan seperti membaca,
menyetir, mencuci, menyiram, menyetrika, dan memasak. Selanjutnya perawat
membuat rencana tindak lanjut untuk mengevaluasi latihan membuat kalimat
sederhana meliputi objects and action dan everyday activities.

Pertemuan ketigabelas perawat dan residen melakukan evaluasi latihan membuat


kalimat sederhana. Evaluasi pertama ditujukkan untuk melatih mengucapkan
kalimat sederhana menggunakan metode objects and action. Evaluasi kedua
ditunjukkan untuk melatih membuat kalimat sederhana menggunakan metode
everyday activities. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk
melatih membuat kalimat tentang fakta dan perbandingan.

Pertemuan keempatbelas dan kelimabelas setelah senam lidah, Residen dilatih


membuat kalimat sederhana menggunakan metode sentence builders. Sentence
buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab

Universitas Indonesia
26

pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari. Tahap pertama ini dilatih
pada Pertemuan keempatbelas. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu,
“Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” “Apakah matahari terbit di
barat?” “Apakah darah berwarna putih?” Tahap kedua adalah menjawab
pertanyaan membandingkan. Tahap kedua ini dilatih pada Pertemuan kelimabelas.
Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu, “Apakah bulu lebih lembut dari
batu?” “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?” “Apakah
Residen lebih muda dari perawat?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak
lanjut untuk melatih membuat kalimat menggunakan frase dan kalimat berpola
subjek predikat objek keterangan.

Pertemuan keenambelas dan ketujuhbelas setelah senam lidah dan mengevaluasi


kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat menggunakan
metode phrase builders. Residen di tahap sebelumnya telah berlatih mengucapkan
kalimat sederhana berpola subjek predikat objek (SPO). Residen di tahap ini tidak
hanya dilatih membuat kalimat berpola SPO, tetapi juga dilatih untuk
menambahkan kata keterangan dalam setiap kalimta yang dibuat. Residen pada
tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut.
Susunan kalimat yang dibuat pada hari keenambelas bepola subjek predikat objek.
Frase-frase yang digunakan seperti raja hutan, kue coklat, dan hari libur. Susunan
kalimat yang dibuat pada pertemuan berikutnya berpola subjek predikat objek
keterangan. Frase-frase yang digunakan seperti kue coklat, hari ibu, dan anak
pintar. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk mengevaluasi
latihan membuat kalimat meliputi sentence builders dan phrase builders.

Pertemuan kedelapanbelas perawat dan residen melakukan evaluasi latihan


membuat kalimat. Evaluasi pertama ditujukkan untuk melatih mengucapkan
kalimat menggunakan metode sentence builders. Evaluasi kedua ditunjukkan
untuk melatih membuat kalimat sederhana menggunakan metode phrase builders.
Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih pengucapan
kalimat dalam lagu-lagu kesukaan Residen.

Universitas Indonesia
27

Empat pertemuan selanjutnya setelah senam lidah, perawat dan Residen berlatih
pengucapan kalimat dalam lagu-lagu. Lagu yang dipilih Residen untuk dilatih
pada pertemuan kesembilanbelas adalah lagu Halo-halo Bandung. Lagu yang
dipilih Residen untuk dilatih pada pertemuan keduapuluh adalah lagu Kebunku.
Lagu dari daerah batak dipilih Residen untuk dilatih pada ertemuan keduapuluh
satu, yaitu lagu Rambadia. Lagu terakhir yang dipilih Residen adalah lagu
Indonesia Raya. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk
melakukan evaluasi sumatif terhadap rangkaian implementasi untuk mengatasi
masalah hambatan komunikasi verbal pada Residen.

Pertemuan terakhir, yaitu hari keduapuluh tiga perawat melakukan evaluasi


sumatif. Evaluasi ini meliputi senam lidah, pengucapaan huruf vokal dan
penggabungan huruf vokal dan konsonan, word finders, everyday objects, objects
and action, everyday activities, sentence buiders, phrase builders, dan latihan
menyanyi.

3.4.2 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik

Implementasi pertama yang dilakukan adalah menjelaskan manfaat dari rentang


pergerakan sendi, yaitu mempertahankan dan meningkatan kekuatan otot.
Selanjutnya melatih rentang pergerakkan sendi (RPS). Latihan rentang
pergerakan sendi yang dilakukan meliputi sendi kepala, ekstremitas atas, pinggul,
dan ekstremitas bawah. Awalnya perawat memberi kesempatan untuk melakukan
RPS aktif sesuai kemampuan residen. Hal ini karena sebelumnya residen sudah
rajin mengikuti kegiatan senam di STW. Selanjutnya digerakan-gerakan yang
residen lupa, perawat memberi contoh lalu meminta residen untuk
meredemonstrasikannya. Contoh gerakannya meliputi supinasi dan fleksi lengan.
Selanjutnya untuk gerakan-gerakan pada sendi yang mengalami penurunan
kekuatan otot, perawat meberikan bantuan, misalnya fleksi dan ekstensi sendi
lutut.

Pertemuan kedua dan ketiga perawat melatih cara perubahan posisi. Pertemuan
kedua melatih perubahan posisi dari jongkok ke berdiri. Residen awalnya
mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan posisi ini. Akhirnya dengan
Universitas Indonesia
28

menggunakan alat bantu, yaitu berpegangan pada kursi, residen mampu


meredemonstrasikan cara perubahan posisi ini. Pertemuan ketiga perawat melatih
residen untuk melakukan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri.
Residen tidak mengalami kesulitan untuk meredemonstrasikan perubahan posisi
ini. Pertemuan keempat perawat melakukan evaluasi mengenai perubahan posisi
dari jongkok ke berdiri dan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri.

Pertemuan kelima perawat membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari residen,


yaitu memotong kuku kaki. Sebelum dipotong kuku kaki residen direndam dalam
air hangat selama 10 menit. Sambil memotong kuku kaki, perawat mengajarkan
cara-cara memotong kuku kaki lansia pada caregiver Residen. Hal ini
dimaksudkan agar caregiver dapat membantu Residen dalam memotong kuku
kaki.

Pertemuan terakhir perawat melakukakn evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif ini


bertujuan untuk mengetahui keefektifan asuhan keperawatan yang diberikan
dalam menyelesaikan masalah mobilitas fisik pada Residen. Evaluasi yang
dilakukan meliputi evaluasi latihan RPS, evaluasi latihan perubahan posisi dari
jongkok ke berdiri, dan evaluasi latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu
berdiri. Selain itu perawat juga mengevaluasi cara mengunting kuku kaki.

3.5 Evaluasi
3.5.1 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hamabatan Komunikasi Verbal
Evaluasi asuhan keperawatan meliputi evaluasi subjektif, objektif, analisis, dan
perencanaan. Evaluasi implementasi pertama residen menyatakan senang setelah
dilakukan senam lidah dan latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan
huruf konsonan. Residen juga menyatakan bersedia melakukan terapi wicara enam
kali pertemuan per pekan dan dilakukan selama empat pekan. Residen mengetahui
manfaat terapi wicara yaitu untuk memperlancar bicara dan perkataannya dapat
dimengerti oleh orang lain. Residen juga dapat melakukan senam lidah dengan
sembilan gerakan yaitu menjulurkan lidah ke depan, sentuhkan lidah dengan
rahang atas, sentuhkan lidah dengan rahang bawah, sentuhkan lidah dengan sudut
bibir kanan, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri, tersenyum, memonyongkan

Universitas Indonesia
29

bibir, membuka bibir hingga selebar-lebarnya, dan merapatkan bibir. Residen juga
mampu mengucapkan huruf vokal a i u e o. Selanjutnya Residen juga mampu
mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti ba bi bu be
bo, ma mi mu me mo, pa pi pu pe po, sa si su se so, dan ta ti tu te to. Akan tetapi,
di hari pertama dan kedua masih mengalami kesulitan dalam pengucapan ca ci cu
ce co, ra ri ru re ro, fa fi fu fe fo, dan va vi vu ve vo dan di hari ketiga
menunjukkan perbaikan dalam pengucapan. Hal ini menunjukkan bahwa residen
mampu mengetahui manfaat terapi wicara dan meredemontrasikan latihan senam
lidah dan pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan.

Evaluasi pada implementasi pengucapan kata-kata menunjukkan residen mampu


menjawab pertannyaan-pertanyaan yang diberikan yaitu “Setelah mandi kita
memakai baju dan?” jawabannya “Celana” “Seorang anak mempunyai orang tua
yang terdiri dari ayah dan?” jawabannya “Ibu” “Kopi rasanya pahit, kalau gula
rasanya?” jawabannya “Manis” “Warna bendera Indonesia adalah merah dan?”
jawabannya “Putih” “Semut itu kecil, kalau gajah itu?” jawabannya “Besar”.
Akan tetapi, saat menjawab pertanyaan, “Mencuci tangan menggunakan sabun
dan?” “Di Wisma Cempaka suasananya tenang, kalau di pasar?” residen tampak
masih kurang jelas saat mengucapkan kata air dan ramai. Selain itu residen juga
mampu menyebutkan nama benda yang dilatih seperti kursi, pulpen, lemari,
bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah, dan kain pel. Residen
mengatakan senang setelah berlatih kata-kata dan tidak menyangka masih
memiliki banyak kata-kata yang dapat diucapkan dengan jelas. Hal ini
menunjukkan bahwa residen mampu berlatih mengucapkan kata-kata.

Evaluasi tahap pengucapan kalimat sederhana menunjukkan saat diperlihatkan


sebuah benda, residen kesulitan dalam membuat kalimat sendiri, tetapi mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat yang dicontohkan. Contohnya residen
ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen dapat meredemonstrasikan
pengucapan kalimat, “Saya minum teh pakai gelas.” Selanjutnya residen
ditunjukkan sebuah pulpen, dan meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Saya
menulis pakai pulpen.” Terakhir residen ditunjukkan sebuah sepatu, dan
meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Saya pergi memakai sepatu.” Selain
Universitas Indonesia
30

itu residen juga kesulitan membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah
ditentukan, tetapi bisa meredemonstrasikan pengucapan setelah mendengar
pengucapan kalimat tersebut sebanyak dua kali. Contohnya residen diberi kata
kerja membaca, kemudian meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Mahasiswa
membaca buku.” Contoh lainnya residen diberi kata kerja menyetir, maka
meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Ayah menyetir mobil.” Contoh
terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka meredemonstrasikan pengucapan
kalimat, “Ibu mencuci baju.” Residen juga mengatakan senang setelah berlatih
membuat kalimat sederhana sambil berjoget. Hal ini menunjukkan residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat sederhana. Perencanaan selanjutnya,
yaitu melatih pengucapan kalimat yang lebih kompleks.

Evaluasi pada tahap pengucapan kalimat yang lebih komplek menunjukkan


residen dapat masih kesulitan dalam membuat kalimat, tetapi mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat seperti saat ditanya “Apakah lampu
merah tanda kendaraan boleh melaju?” residen mampu meredemonstrasikan
pengucapan kalimat, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.”
Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit di barat?” residen
mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Bukan, matahari terbit di
timur.” Tahap kedua adalah menjawab pertanyaan membandingkan. Contoh
pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih lembut dari batu?” residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.”
Contoh pertanyaan lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari musim
kemarau?” residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Tidak,
musim hujan lebih dingin dari musim kemarau.”

Contoh lainnya berlatih mengucapkan frase kue coklat, maka residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat.”
Susunan kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek
keterangan. Contohnya frase kue coklat, maka residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat di
dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, residen mampu meredemonstrasikan
pengucapan kalimat “Dia mengirim bunga di hari ibu.” Evaluasi dalam
Universitas Indonesia
31

menyanyikan lagu-lagu, residen mampu menyanyikan lagu-lagu lagu Halo-halo


Bandung, Kebunku dari awal hingga akhir, tetapi sedikit kesulitan mengucapkan
kata pariyangan, bung, dan merah. Sedangkan untuk lagu Rambadia dan Indonesia
Raya residen sedikit lupa kata-kata di akhir lagu sehingga perlu diberikan bantuan
atau stimulus. Residen menyatakan senang bernyanyi sambil berjoget-joget.
Residen juga percaya diri saat bernyanyi di depan residen lain.

Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan


kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta
kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis
kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari
metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan
komunikasi verbal dapat teratasi.

3.5.2 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik


Kegiatan Evaluasi dilakukan setelah implementasi dilakukan. Evaluasi dilakukan
untuk melihat tingkat keberhasilan dari implementasi yang dilakukan. Residen
mengatakan senang setelah berlatih RPS dan berterima kasih kepada perawat
karena telah mengajarkan. Selain itu, residen terlihat mampu meredomnstrasikan
RPS aktif pada sendi kepala dan ekstremitas atas, ektremitas bawah, yaitu sendi
pergelangan dan jari-jari kaki, RPS aktif asistif pada sendi panggul dan sendi
lutut. Selain itu residen mengetahui manfaat dari latiha RPS yaitu agar sendi dan
otot tidak kaku. Residen juga mampu melakukan latihan perubahan posisi dari
jongkok ke berdiri dengan menggunakan alat bantu, yaitu berpegangan pada kursi.
residen juga mengetahui manfaat latihan ini, yaitu untuk memudahkan residen
saat mengambil barang di lantai tanpa harus membungkuk. Selain itu, menurut
residen latihan ini berguna agar residen tidak jatuh saat mengambil barang.

Residen juga mampu melakukan latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu
berdiri. Residen mengetahui tujuan latihan ini, yaitu agar jika bangun tidur tidak
langsung berdiri karena bisa pusing. Residen merasa senang dan mengucapakan
terima kasih setelah kuku kakinya dipotong. Residen dan caregiver juga
Universitas Indonesia
32

mengetahui sebelum kuku kaki dipotong perlu direndam pada air hangat agar
kuku tidak keras dan mudah dipotong. Caregiver juga mengetahui memotong
kuku harus dengan cara mendatar agar tidak lancip sehingga tidak melukai residen
saat menggaruk. Pertemuan keenam mengevaluasi sumatif seluruh implementasi
yang telah dilakukan dan menunjukkan bahwa Residen mampu
meredemonstrasikan dan mengingat asuhan keperawatan yang diberikan.
Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan
kemampuan residen untuk melakukan latihan mempertahankan dan meningkatan
kekuatan otot. Hal ini ditandai dengan kemampuan residen untuk melakukan
rentang pergerakan sendi, latihan perubahan posisi, dan motivasi yang kuat untuk
tetap mengikuti kegiatan senam dan relaksasi yang diselenggarakan STW.
Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan
mempelajari metode alternatif sehingga masalah hambatan mobilitas fisik dapat
teratasi.

Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI

4.1 Profil LahanPraktik


Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti) berdiri sejak tanggal
14 Maret 1984. Pendirian STW Karya Bhakti diprakasai oleh mantan ibu negara,
Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto, dan selanjutnya kepemilikan dan pengelolaannya
diatur oleh Yayasan Ria Pembangunan. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
merupakan salah satu bentuk pelayanan holistik untuk meningkatkan angka
kesehatan dan kesejahteraan lansia di Indonesia, khususnya di wilayah DKI
Jakarta. Visi STW Karya Bhakti yaitu pengabdian pada sesama dengan
memberikan pelayanan secara terpadu dan menyeluruh baik fisik, mental, sosial,
maupun spiritual pada lanjut usia. Visi tersebut direalisasikan dalam misi
membantu pemerintah dan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan sosial
pada lansia. Misi tersebut tertuang dalam agenda kegiatan yang telah dibentuk
oleh STW antara lain meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningkatan
kualitas pelayanan sesuai kebutuhan, melengkapi sarana dan prasarana seiring
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, bermitra dengan dunia pendidikan
dan pemerintah, menjadi tempat keterpaduan fasilitas dan pemberian pelayanan
kepada masyarakat khusus usa lanjut, bekerja sama dengan institusi terkait
regional maupun global, dan berperan aktif di dalam gerakan “peduli lansia” dan
“lansia peduli”.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Fasilitas-fasilitas yang
disediakan antara lain fasilitas hunian, yaitu wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP,
Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan
Wisma Dahlia kapasitas 8 kamar. Sealin itu disediakan pula fasilitas klinik werdha
antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3 kamar VIP, 15 tempat tidur
bangsal rawat inap, dan pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia
antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma
Universitas Indonesia
34

33

Kenanga. Selain itu, fasilitas dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan,
pendopo, taman, dan kolam ikan juga disediakan. Lansia mendapat makanan tiga
kali sehari, yaitu di pagi, siang, dan sore hari. Selain itu, residen juga mendapat
snack dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari. Lansia yang ingin tinggal di
STW YKBRP memiliki beberapa persyaratan, yaitu berusia di atas 60 tahun, sehat
jasmani dan rohani, mandiri, memilih tinggal di STW atas keinginan sendiri
bukan karena paksaan, dan memiliki penanggung jawab keluarga.

Aspek nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan
tingkat kemandirian partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan
orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang
tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi
kebutuhannya. Program pelayanan lain yang ditawarkan oleh STW Karya Bhakti
meliputi program peningkatan kesehatan seperti konsultasi dokter, fisioterapi,
farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan
tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti juga menyediakan program day care atau
yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini
ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan
kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari. Program-program yang disediakan
meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan kebaktian. Program
kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam, menjahit, berkebun,
menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan
agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya.

Wisma Cempaka merupakan salah satu ruangan di STW Karya Bhakti. Wisma
Cempaka terdiri dari 26 kamar tidur. Wisma Cempaka dipimpin oleh seorang
pekerja sosial yang bertanggung jawab pada seluruh residen. Setiap reiden
menempati satu kamar pribadi. Residen di Wisma Cempaka saat ini berjumlah 19
orang yang terbagi dalam 15 orang dengan tingkat kemandirian minimal care dan
empat orang dengan tingkat kemandirian partial care. Pemenuhan kebutuhan
Universitas Indonesia
35

sehari-hari residen dengan tingkat kemandirian partial care dibantu oleh


caregiver. Caregiver yang berada di Wisma Cempaka berjumlah empat orang di
pagi hari dan satu orang di malam hari. Residen yang memerlukan pelayanan
kesehatan diarahkan ke klinik yang terletak di wisma Wijaya Kusuma yang
memiliki tenaga perawat 24 jam.

Asuhan keperawatan yang dilakukan pada residen tampak belum optimal. Hal ini
karena keterbatasan jumlah tenaga perawat dan ketersediaan alat di STW Karya
Bhakti. Residen di wisma Cempaka memiliki kondisi kesehatan yang beragam.
Perawat diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan
mengenali karakteristik lansia agar mutu pelayanan tetap terjaga.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Kasus Terkait


Masalah keperawatan utama pada Ibu S adalah Hambatan komunikasi verbal.
Residen memiliki riwayat kesehatan pernah mengalami tumor otak. Residen telah
menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 di Rumah Sakit Mount
Elizabeth Singapura. Pasca operasi tersebut, Residen mengalami gangguan bicara
(bicara kurang jelas) sejak awal tahun 2004. Akibat dari gangguan bicara ini
Residen merasa malu karena perkataannya terkadang tidak dimengerti oleh lawan
bicara. Selain mengalami gangguan bicara, Residen juga mengalami pendengaran,
yaitu tuli sensorineural sehingga dalam berkomunikasi mahasiswa perlu berbicara
lebih keras, jelas, dan perlahan-lahan.

Residen merupakan bagian dari masyarakat perkotaan. Tingginya beban hidup di


perkotaan membuat meningkatnya aktivitas masyarakat perkotaan. Tingkat
aktivitas masyarakat perkotaan dapat mecapai 24 jam setiap harinya. Tingginya
tingkat aktivitas berdampak pada pola hidup yang kurang sehat. Pola hidup yang
kurang sehat ini mencakup kurang olah raga, sering mengonsumsi makanan cepat
saji dan makanan berpengawet, serta jarang mengonsumsi sayur dan buah.

Pola hidup yang kurang sehat ini akan berdampak pada kesehatan seseorang.
Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya zat karsiogenik
dalam tubuh. Zat karsiogenik yang terakumulasi di otak dapat menyebabkan
terjadinya tumor otak (Smeltzer dan Bare, 2005). Lesi yang terdapat pada
Universitas Indonesia
36

hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini terdapat area broca,
kerusakan yang ditimbulkan tidak akan menghalangi seseorang mengeluarkan
suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak mampu menggucapkan seluruh
kata-kata atau hanya memahami kata-kata sederhana dan kemampuan
mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan akan
terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan Bare, 2005).

4.3 Analisis salah satu intervensi dengan konsep dan penelitian lain
Implementasi unggulan dalam asuhan keperawatan pada Residen adalah melatih
terapi wicara. Terapi wicara merupakan treatment yang dilakukan pada residen
hambatan komunikasi verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir
dan Sighvatsson, 2006). Tujuan terapi wicara secara spesifik meliputi
meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata
sederhana, dan kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat
dimengerti (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).

Terapi wicara yang dilakukan pada Residen terdiri dari lima hingga enam
pertemuan setiap minggunya. Terapi wicara ini dilakukan sebanyak 23 kali
pertemuan. Intensitas pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
terapi. Hal ini sesuai penelitian Greener, Enderby, dan Whurr (2001) yang
menyatakan treatment yang dilakukan pada pasien penderita afasia di rumah sakit
United Kingdom terdiri dari dua sesi setiap minggu masing-masing satu jam yang
dinamai terapi standar, sedangkan terapi intensif adalah terapi yang diberikan
dalam lima jam tiap sesi per minggu.

Terapi wicara yang dilakukan meliputi menyanyikan lagu-lagu kesukaan residen.


Lagu-lagu yang dipilih meliputi lagu Halo-halo Bandung, Kebunku, Rambadia,
dan Indonesia Raya. Peningkatan pengucapan kata-kata yang cukup jelas terlihat
saat Residen menyanyikan lagu-lagu tersebut. Hal ini juga terlihat pada penelitian
Hebert, Racette, Gagnon, dan Peretz (2003) yang menyatakan bernyanyi yang
dikaitkan dengan koor menunjukkan makna yang efektif dalam terapi wicara pada
orang-orang Prancis. Selain itu penelitian Racette, Bard, & Peretz (2004) juga
menunjukkan bahwa pasien afasia lebih mengingat dan mengulangi kata-kata
Universitas Indonesia
37

ketika bernyanyi dibandingkan ketika berbicara. Hasil penelitian menunjukkan


bahwa bernyanyi akan membuat sinkronisasi dengan indera pendengaran sehingga
bernyanyi akan lebih efektif daripada berbicara biasa.

Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan


kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta
kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis
kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari
metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan
komunikasi verbal dapat teratasi.

4.4 Alternatif Intervensi yang dapat Dilakukan


Intervensi utama yang dilakukan pada Residen dengan masalah keperawatan
hambatan komunikasi verbal adalah terapi wicara. Terapi wicara merupakan
treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi verbal agar
memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Caracara
yang telah dilakukan dalam terapi wicara pada residen meliputi senam lidah,
latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan seperti ba bi bu be
bo, latihan pengucapan kata-kata melalui metode word finders dan everyday
objects, latihan pengucapan kalimat sederhana melalui metode objects and action
dan everyday activities, serta latihan pengucapan kalimat yang lebih kompleks
dengan metode sentence builders dan phrase builders, (Berthier, 2005).

Alternatif cara lain yang dapat dikembangkan dalam melatih residen dengan
hambatan komunikasi verbal adalah melalui terapi wicara melalui kata-kata yang
sebelumnya sudah dikenal. Kata-kata yang digunakan dapat berupa kata-kata yang
terdapat pada doa dan pepatah. Racette, Bard, & Peretz (2004) mengatakan latihan
pengucapan kata-kata dalam doa akan terasa lebih efektif karena kata-kata
tersebut telah dikenal sebelumnya.

Selain itu, untuk mengatasi hambatan komunikasi verbal akibat gangguan


pendengaran dapat dilakukan teknik komunikasi menggunakan lip reading.
Teknik lip reading merupakan cara mengerti perkataan orang lain dengan melihat
Universitas Indonesia
38

gerak bibir seseorang ketika bericara kata yang normalnya dapat didengar (Ortiz,
2008). Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam
mendengar apa yang dibicarakan orang lain melalui membaca gerak bibir (Miller,

2012).

Petugas kesehatan juga diharapkan memiliki kemampuan berkomunikasi pada


lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Hal ini diperlukan agar pesan dari
petugas kesehatan kepada lansia ataupun sebaliknya dapat tersampaikan dengan

baik dan tidak terjadi ambiguitas. Selain itu, dengan berkomunikasi dengan
petugas, kontak sosial lansia diharapkan dapat meningkat sehingga lansia dengan
hambatan komunikasi verbal tidak merasa rendah diri.

Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Aspek nursing home
merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian
partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya
caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW juga
menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian
lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama
keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari.

Ibu S (87 tahun) memiliki riwayat post operasi tumor otak pada tahun 2003 dan
mengalami gangguan bicara atau bicara tidak jelas sejak tahun 2004. Residen
lebih sering mendengarkan saja daripada banyak berbicara saat berinteraksi
dengan residen lain karena perkataan residen terkadang tidak jelas sehingga sulit
dipahami orang lain. Residen terkadang merasa malu karena berbicara tidak jelas.
Jika ada kegiatan, seperti bincang antar kita (BAKI) residen meminta
caregivernya untuk hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat
residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak
STW. Setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang
disampaikan pihak STW.

Data-data objektif yang diperoleh melalui pengkajian fisik menunjukkan residen


mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan
noda putih pada lensa mata kanan dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu
kacamata. Residen kesulitan berbicara atau mengungkapkan kata-kata seperti air,
bung, dan putih. Residen juga terkadang berbicara gagap seperti saat

Universitas Indonesia
40

39

mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah “Eeellemarii”. Tidak ada


pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi penumpukan kotoran pada telinga,
tetapi terjadi penurunan pendengaran yang dapat diakibatkan dari proses penuaan,
yaitu tuli sensorineural.

Analisis data-data pengkajian pada Residen menghasilkan masalah keperawatan


utama yaitu hambatan komunikasi verbal. Tujuan umum dari rencana asuhan
keperawatan yang diberikan, yaitu setelah dilakukan intervensi keperawatan
Residen dapat menunjukkan peningkatan komunikasi (Wilkinson dan Ahern,
2012). Tujuan umum ini dijelaskan secara spesifik dalam tujuan khusus, yaitu
meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata
sederhana, kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti,
serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain. Intervensi dalam
rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari mendengar aktif, penurunan ansietas,
peningkatan komunikasi dengan gangguan pendegaran dan penglihatan
(Wilkinson dan Ahern, 2012). Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk
peningkatan komunikasi dengan gangguan bicara meliputi senam lidah, latihan
pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan,
latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan everyday objects,
latihan pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects and action dan
everyday activities, latihan pengucapan kalimat lebih kompleks dengan metode
latihan sentence builders dan phrase builders, serta latihan bernyanyi.

Terapi wicara yang dilakukan pada Residen selama 23 pertemuan menunjukkan


peningkatan bermakna pada pola komunikasi Residen. Residen dapat
mengucapkan kata-kata yang sebelumnya sulit diucapkan, seperti air, pariyangan,
dan merdeka. Residen juga mampu mengucapkan kalimat sederhana seperti “Saya
minum teh pakai gelas”, “Saya menulis pakai pulpen”, dan “Saya pergi memakai
sepatu”. Selain itu Residen juga dapat mengucapkan kalimat yang lebih kompleks
seperti “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim kemarau”, “Benar, bulu
lebih lembut dari batu”, dan “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Residen

Universitas Indonesia
juga terlihat percaya diri saat menyanyikan lagu Halo-halo Bandung di depan
residen lain.
41

Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan


kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta
kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis
kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari
metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan
komunikasi verbal dapat teratasi.

5.2 Saran
Mahasiswa atau perawat perlu mengetahui teknik berkomunikasi dengan lansia
hambatan komunikasi verbal. Teknik yang dapat digunakan, yaitu berbicara lebih
keras, jelas, perlahan-lahan, dan diulang jika perlu. Kontak mata dan jarak saat
berkomunikasi juga perlu diperhatikan. Kontak mata harus ada saat
berkomunikasi dan jarak antara mahasiswa dan residen juga tidak boleh terlalu
jauh.

Mahasiswa atau perawat juga perlu mengetahui teknik mengajarkan terapi wicara
kepada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Lansia sebaiknya diberi
kesempatan terlebih dahulu untuk mengucapkan kata atau kalimat menurut
kemampuannya. Ketika lansia terlihat kesulitan, barulah membantu
mendemonstrasikan. Setelah itu, lansia dapat diminta kembali untuk
meredemonstrasikan cara pengucapan kata atau kalimat tersebut. Kesabaran juga
dibutuhkan dalam melatih terapi wicara pada lansia. Penurunan kognitif dan
pendengaran merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Mahasiswa
atau perawat terkadang perlu melakukan demonstrasi pengucapan kata atau
kalimat secara berulang-ulang. Selain itu, intensitas pertemuan juga cukup sering,
yaitu lima hingga enam kali per pekan.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Bakheit, A. M. O., Shaw, S., Barret, L., Wood, J., Griffiths, S., Carrington, S.,
Searle, K., & Kautsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group,
controlled study of the effect of intensity of speech and language therapy
on early recovery from poststroke aphasia. Clinical Rehabilitation, 21, 885
894
Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and
treatment. Drugs and Aging, vol 22 (2), p163-82
Cigna (2005, Februari). Speech Therapy. 12 Juni 2013. http://www.cigna.com
Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). Speech and language therapy for
aphasia following stroke. Cochrane Review. Oxford: The Cochrane
Library.
Hebert, S., Racette, A., Gagnon, L., & Peretz, I. (2003). Revisiting the
dissociation between singing and speaking in expressive aphasia, Brain,
126, 1838-1850
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2008, September). Lanjut usia. 12 Juni
2013. http://www.kemsos.go.id
Miller, Carol. (2012). Nursing for wellnes in older adults. 6th ed. Ohlo: Lippincott
Williams &Wilkins
Ninds. (2006, Maret). Aphasia. 12 Juni 2013. http://www.ninds.nih.gov
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Aphasia and language: Theory
to practice. New York: Guilford Press.
Ortiz, Rodriguez. (2008). Lipreadin in thr prengually deaf: what makes a skilled
speechreader?. The Spanish Journal of Psychology, vol 11, no 2, p488-502
Potter, P.A., & Perry, G.A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik (Edisi 4) (Yasmin Asih et al., Penerjemah.). Jakarta:
EGC.
Price, S.A., dan Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Racette, A., Bard, C., & Peretz, I. (2006). Making non fluent aphasics speak: Sing
along! Brain, 129, 2571-2584

Universitas Indonesia
42

43

Said, Ikhwan M. (2011). Kompetensi pembentukan kalimat penderita afasia tidak


lancar yang disebabkan oleh stroke iskemik.
Makalah Kolita
, vol 8, p640
Scourfield, Peter. (2007). Helping older people in residential care remain for
citizens.British Journal of Social Work
, vol 37, p1135-1152
Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006). Operant conditioning and
errorless learning procedures in the
treatment of chronic aphasia.
International Journal of Psychology,
(6), 527
41 –540
Smeltzer, Suzanne., & Bare, Brenda. (2005).
Brunner & uddarth’s
s texsbook of
medical surgical nursing.
Lippincott-Reven Publishers : Philadelphia
Stanley, Mickey dan Beare, P.G. (2007).
Buku ajar keperawatan gerontik
(Edisi
2). Jakarta: EGC
Touhy dan Jett. (2010).
Ebersole & Hess’gerontological nursing & healthy aging.
Missouri: Mosby
Wilkinson, JM., dan Ahern, NR. (2012).
Buku saku diagnosis keperawatan:
diagnosis nanda, intervensi nic, kriteria hasil noc.
. Jakarta:
Ed 9 EGC
Yayasan Stroke Indonesia (2012, Januari).
Afasia, gangguan berbahasa pasca
stroke. 12 Juni 2013
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=49

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai