i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
NPM : 0806456966
Tanda Tangan :
HALAMAN PENGESAHAN
ii
Tugas akhir ini diajukan oleh:
Nama : Aulia Laili Nisa
NPM : 0806456966
Program Sudi : Profesi Keperawatan
Judul Penelitian : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan
Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka
DEWAN PENGUJI
Ilmu
iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
iv
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 08 Juli 2013
Yang menyatakan
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Shalawat serta salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat. Karya
ilmiah akhir ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Karya Ilmiah Akhir. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
v
akhir ners ini nantinya dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
keperawatan.
Penulis
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................... iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v
ABSTRAK………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… viii
1. PENDAHULUAN …………………………………………..…............. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………............... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 3
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 4
4. ANALISIS SITUASI……………………………………………........... 33
4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………… 33
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Kasus Terkait……………... 35
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Lain... 36
4.4 Alternatif Intervensi yang dapat Dilakukan………………………… 37
LAMPIRAN
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
Angka kejadian lansia yang mengalami kesulitan mengungkapkan pikiran secara verbal,
seperti afasia, di dunia mencapai 38% dari lansia yang mengalami gangguan
cerebovaskular (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Hasil penelitian ASEAN
Neurological Association dalam Yayasan Stroke Indonesia (2012) di tujuh negara
ASEAN menunjukkan 15% dari penderita stroke mengalami gangguan neuropsikologi
ini. Selain itu, jumlah penderita stroke di tiga rumah sakit Jakarta, yaitu RSCM, RS
Fatmawati, dan RS Persahabatan rata-rata 200 orang per bulan, sekitar 12 hingga 15%
dari jumlah tersebut mengalami afasia (Said, 2011).
Data-data yang disebut di atas menunjukkan bahwa hambatan komunikasi verbal yang
terjadi pada lansia berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular. Penyakit
cerebrovaskular ini biasanya berkaitan dengan pola hidup. Lansia di kota besar seperti
Jakarta biasanya setelah pensiun kurang memiliki aktivitas bermanfaat. Kurangnya
aktivitas ditambah pola makan yang kurang baik, seperti makan makanan cepat saji,
menyebabkan lansia di perkotaan lebih berpeluang terkena penyakit cerebrovaskular.
2
Serangan yang terjadi pada hemispher kiri dapat menyebabkan gangguan dalam
1 Universitas Indonesia
berkomunikasi (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Besarnya angka kejadian lansia
yang mengalami hambatan komunikasi verbal perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini
dikarenakan hambatan komunikasi verbal menyebabkan lansia mengalami kesulitan
untuk melakukan komunikasi dan dikhawatirkan dapat menurunkan angka
kesejahteraan dan kesehatan lansia.
Upaya peningkatan kesejahteraan dan kesehatan lansia, terutama lansia yang mampu
melakukan kegiatan di kota besar seperti Jakarta, selama ini telah dilakukan oleh
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Berbagai program yang
ditawarkan oleh STW Karya Bhakti meliputi program peningkatan kesehatan seperti
senam, relaksasi, dan terapi musik. Program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan
kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, menonton film, dan
mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif
mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan yang diselenggarakan
STW Karya Bhakti untuk mengakomodasi kebutuhan lansia dengan hambatan
komunikasi verbal adalah dengan berlatih pengucapan huruf vokal, a, i, u, e, o, di akhir
senam dan relaksasi.
Pengkajian yang di lakukan di Wisma Cempaka, STW Karya Bhakti menunjukkan 21%
residen mengalami hambatan komunikasi verbal. Salah satu residen yang mengalami
gangguan ini adalah Residen yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 87 tahun.
Residen pernah menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 dan di awal tahun
2004 Residen mulai mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Akibatnya, Residen
sering merasa malu saat berinteraksi karena apa yang Residen ucapkan terkadang tidak
dipahami oleh orang lain.
memberikan inovasi dalam asuhan keperawatan kepada Residen yaitu terapi wicara
yang meliputi senam lidah yaitu menggerakan lidah ke depan, ke atas, ke bawah, dan
kesamping, latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti
ba bi bu be bo, latihan pengucapan kata-kata seperti word finders dan everyday objects,
latihan pengucapan kalimat seperti objects and action, everyday activities, sentence
builders, dan phrase builders (Berthier, 2005). Selain itu, di minggu terakhir terapi
wicara dimodifikasi dengan menyanyikan lagu-lagu kesukaan residen. Salah satu target
terapi wicara yang berhasil dicapai adalah residen percaya diri dalam menyanyikan lagu
Halo-halo Bandung dan Kebunku di depan residen lainnya.
Terkait masalah keperawatan yang terjadi pada lansia, hambatan komunikasi verbal
merupakan salah satu masalah yang perlu mendapatkan asuhan keperawatan. Perawat
profesional yang memandang residen secara holistik tentunya memahami bahwa
hambatan komunikasi verbal dapat menganggu interkasi lansia dengan orang lain. Oleh
karena itu, asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal perlu
dilaksanakan agar dapat dilihat kefektifan dari terapi yang telah diberikan.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Teori radikal bebas menjelaskan penurunan fungsi kerja tubuh merupakan akibat
dari akumulasi radikal bebas dalam tubuh (Miller, 2012). Radikal bebas
merupakan zat yang terbentuk dalam tubuh manusia sebagai hasil metabolisme
(Stanley dan Beare, 2007). Bertambahnya umur seseorang menyebabkan
terakumulasinya kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah
atau yang biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara
total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak. Sementara itu,
plak yang menghambat sebagian lumen pembuluh darah, sewaktu-waktu dapat
terlepas dan terbawa aliran darah. Plak yang sampai pada pembuluh darah yang
kecil seperti kapiler, disebut tromboemboli, akan menghambat total aliran darah
ke otak sehingga menyebabkan stroke (Price dan Wilson, 2003). Selain itu,
akumulasi dari zat karsiogenik dapat menyebabkan terjadinya tumor atau kanker
pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005).
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
Lesi yang terdapat pada hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini
terdapat area broca, kerusakan yang ditimbulkan tidak akan menghalangi
seseorang mengeluarkan suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak
mampu menggucapkan seluruh kata-kata atau hanya memahami kata-kata
sederhana dan kemampuan mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk
tulisan atau lisan akan terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan
Bare, 2005).
Residen yang mengalami lesi pada lobus temporalis kiri masih mampu
mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi pemahaman terhadap kata-kata yang
diucapkan atau tertulis terganggu hal ini disebut disfasia reseptif (Smeltzer dan
Bare, 2005). Hal ini terjadi karena pada lobus temporalis superior di hemisfer
dominan yang dinamakan area wernicke berfungsi untuk pendengaran dan
Universitas Indonesia
8
Gangguan suara dapat terjadi karena abnormalitas fungsi laring dan saluran
pernafasan. Cigna (2005) menyebutkan gangguan suara terjadi karena
ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat. Individu yang
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
Senam lidah dapat dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan untuk
merilekskan otot-otot lidah. Senam lidah terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan
pertama adalah menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan
lidah dengan rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang
bawah. Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan.
Gerakan kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam
adalah tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan
kedelapan adalah membuka bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir
adalah merapatkan bibir (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).
Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf
konsonan juga perlu dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan agar
residen mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar mengucapkan kata
atau kalimat (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Tahapan ini mengajarkan cara
pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan
Universitas Indonesia
11
Everyday objects atau benda sehari-hari merupakan tugas kedua dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan
untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk mengucapkan nama
benda-benda tersebut (Berthier, 2005). Contoh nama benda yang dilatih seperti
kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah,
dan kain pel.
Objects and action atau benda dan aksi merupakan tugas ketiga dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan
seharihari. Setelah itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas
menggunakan benda tersebut (Berthier, 2005). Contohnya residen ditunjukkan
sebuah gelas, kemudian residen dapat membuat kalimat seperti, “Saya minum teh
menggunakan gelas.” Selanjutnya residen ditunjukkan sebuah pulpen, kalimat
yang dapat dibuat seperti, “Saya menulis menggunakan pulpen.” Terakhir residen
ditunjukkan sebuah sepatu, kalimat yang dapat dibuat seperti, “Saya pergi
memakai sepatu.”
Everyday activities atau aktivitas sehari-hari merupakan tugas keempat dari terapi
wicara. Residen pada tahap diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang
telah ditentukan (Berthier, 2005). Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas
sehari-hari. Contohnya residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen
dapat membuat kalimat seperti, “Mahasiswa membaca buku.” Contoh lainnya
residen diberi kata kerja menyetir, maka kalimat yang dapat dibuat, “Ayah
Universitas Indonesia
12
menyetir mobil.” Contoh terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka kalimat
yang dapt dibentuk, “Ibu mencuci baju.”
Sentence builders atau membuat kalimat merupakan tugas keempat dalam terapi
wicara. Sentence buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta
untuk menjawab pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari (Berthier,
2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh
melaju?” jawabannya, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.”
Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit di barat?”
jawabannya, “Bukan, matahari terbit di timur.” Tahap kedua adalah menjawab
pertanyaan membandingkan (Berthier, 2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “
Apakah bulu lebih lembut dari batu?” jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari
batu.” Contoh pertanyaan lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari
musim kemarau?” jawabannya, “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim
kemarau.”
Phrase builders atau membuat frase merupakan tugas kelima dari terapi wicara.
Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari
frase tersebut (Berthier, 2005). Susunan kalimat yang dibuat pada tahap pertama
bepola subjek predikat object, misalnya frase raja hutan, kalimat yang dapat
dibuat “Singa adalah raja hutan.” Contoh lainnya frase kue coklat, maka kalimat
yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat yang
dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan. Contohnya
frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu
membuat kue coklat di dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, maka kalimat yang
dapat dibuat “Dia mengirim bunga untuk hari ibu.”
Nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia yang mengalami
penurunan fisiologis tubuh sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya (Miller, 2012). Lansia dengan tingkat kemandirian
partial care memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi sebagian
kebutuhannya. Lansia dengan tingkat kemandirian total care memerlukan
bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas
yang tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi
kebutuhannya. Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter, fisioterapi,
farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan
tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik.
Universitas Indonesia
14
menghadap Tuhan tanpa rasa sakit atau dapat meninggal dengan damai dan
bermartabat (Miller, 2012). Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter,
asuhan keperawatan paliatif, dan bimbingan rohani.
Panti werdha juga menyediakan program day care atau yang dikenal dengan
istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia
yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama
lain di siang hari (Miller, 2012). Setelah kegiatan di panti selesai, lansia yang
mengikuti program ini dipersilahkan untuk kembali ke rumah. Program-program
yang disediakan meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan
kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam,
menjahit, berkebun, menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program
tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan
kemampuannya.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Lansiadi STW mendapat
fasilitas kamar pribadi, makan 3x sehari, yaitu sarapan, makan siang, dan makan
malam, serta snack 2x sehari di pagi dan sore hari. Aspek nursing home
merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian
partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya
caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW juga
menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian
lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama
keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari.
Program yang dapat diikuti seperti senam, relaksasi, pengajian, angklung, merajut,
dan menyulam.
Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Diri
Ibu S menjadi residen kelolaan utama selama tujuh pekan praktik di Wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Residen
merupakan seorang janda yang sebelumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Pendidikan terakhir residen adalah sekolah rakyat. Residen telah tinggal di Wisma
Cempaka sejak 28 November 2011, sebelumnya tinggal dengan anaknya di
Manggarai Selatan I/5 RT 12 RW 01. Residen memilih untuk tinggal di STW
STW Karya Bhakti karena ingin menikmati masa tua dengan kegiatan yang
bermanfaat. Selama di rumah, residen menghabiskan waktu dengan menonton
televisi dan tidur, tidak ada kegiatan lainnya.
Universitas Indonesia
16
15
Residen menerima dukungan dari anak, cucu, dan cicitnya termasuk keputusan
residen tinggal di STW. Akan tetapi, residen sebenarnya kecewa karena dari 7
orang anaknya tidak ada yang bersedia tinggal dengannya. Hubungan residen
dengan keluarganya baik. Selama tujuh pekan mahasiswa berpraktik, terlihat tiga
kali Residen dikunjungi keluarganya, yaitu saat hari paskah, saat berobat ke
Rumah Sakit Pasar Rebo, dan saat menubus obat. Residen terlihat senang dengan
kunjungan di hari paskah. Akan tetapi, terlihat sedikit kecewa dengan kunjungan
saat ke rumah sakit dan menubus ini. Hal ini karena anak dan menantunya terlihat
terpaksa, biaya berobatpun menggunakan uang residen, bahkan harus membelikan
makan siang dan mengganti uang bensin. Hal inilah yang membuat residen
terkadang menanggis ketika menceritakan keluarganya.
Residen berinteraksi dengan residen lainnya misalnya dengan tetangga kamarnya,
yaitu Eyang S. Akan tetapi, residen lebih sering mendengarkan saja daripada
Universitas Indonesia
17
banyak berbicara. Hal ini dikarenakan perkataan residen terkadang tidak jelas
sehingga sulit dipahami orang lain. Hal ini membuat residen terkadang merasa
malu. Jika ada masalah dengan residen lain, residen akan mengalah karena tidak
ingin ribut. Selain itu, kontak mata resinden juga kurang saat berbicara dengan
orang lain. Residen juga berinteraksi dengan petugas STW dan rajin mengikuti
acara binjang antar kita (BAKI). Saat BAKI biasanya Residen meminta caregiver
untuk ikut hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat residen tidak
menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak STW.
Biasanya setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang
disampaikan pihak STW.
Suara paru bronko vesikuler, tidak terdapat suara tambahan seperti wheezing atau
ronkhi. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat bunyi tambahan seperti
murmur dan gallop. Abdomen supel, teraba benjolan pada abdomen sinistra, nyeri
tekan terkadang muncul terkadang tidak, sudah dilaporakan ke dr. Nia dan dirujuk
pemeriksaan USG di RS Pasar Rebo dan hasilnya terlihat massa. Menurut dokter
kandungan di RS Pasar Rebo seharuanya dirujuk ke dokter spesialis penyakit
dalam RSCM, tempat dimana Residen pernah menjalani operasi tumor usus. Hasil
pengkajian Fall Morse Scall dan Berg Balance Test menunjukkan Residen
berisiko jatuh rendah, sedangkan hasil Mini Mental State Examination
menunjukan hasil yang normal, yaitu tidak ada gangguan kognitif. Kuku kaki
Residen juga terlihat panjang. Hal ini dikarenakan Residen tidak mampu
menjangkau kuku kakinya untuk dipotong. Kekuatan otot pada ektremitas atas
sama, yaitu mampu melakukan tahanan terhadap tekanan kuat dan gravitasi,
sedangkan pada ekstremitas bawah sendi lutut masih mampu melawan gravitasi
dan tekanan lemah hingga sedang.
Universitas Indonesia
19
3.3 Perencanaan
3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal
Universitas Indonesia
20
(Wilkinson dan Ahern, 2012). Tujuan umum ini dijelaskan secara spesifik dalam
tujuan khusus, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk
mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan
dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain.
Tujuan umum dan tujuan khusus dapat tercapai dengan diberikannya intervensi
keperawatan. Intervensi dalam rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari
mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan komunikasi dengan gangguan
pendegaran dan penglihatan (Wilkinson dan Ahern, 2012). Intervensi pertama,
yaitu menjadi pendegar aktif dengan hadir di dekat residen, berbicara berhadapan
dan mempertahankan kontak mata, berusaha menangkap pesan verbal dan non
verbal yang residen berikan. Penurunan ansietas dilakukan dengan meningkatkan
kepercayaan diri residen, yaitu memotivasi residen untuk mengikuti kegiatan yang
diadakan STW serta menjelaskan manfaat dan waktu yang dibutuhkan untuk
terapi wicara. Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk peningkatan
komunikasi dengan gangguan pendengar meliputi berbicara jelas, singkat,
perlahan, dan diulang bila perlu. Intervensi keperawatan yang akan diberikan
untuk peningkatan komunikasi dengan gangguan bicara meliputi senam lidah,
latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf
konsonan, latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan
everyday objects, latihan pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects
and action dan everyday activities, latihan pengucapan kalimat lebih kompleks
dengan metode latihan sentence builders dan phrase builders, serta latihan
bernyanyi.
Senam lidah yang akan dilakukan terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan-gerakan
ini bertujuan untuk merilekskan otot-otot lidah. Gerakan pertama adalah
menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan lidah dengan
rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang bawah.
Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan. Gerakan
kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam adalah
tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan kedelapan
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
Residen pada tahap phrase builders tidak hanya dilatih membuat kalimat berpola
subjek predikat objek, tetapi juga dilatih untuk menambahkan kata keterangan
dalam setiap kalimat yang dibuat. Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase
dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut. Susunan kalimat yang dibuat
pada tahap pertama bepola subjek predikat objek, misalnya frase kue coklat, maka
kalimat yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat
yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan., maka
kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.”
Intervesi keperawatan selanjutnya, yaitu latihan bernyanyi. Lagu-lagu yang dipilih
dalam latihan ini adalah lagu-lagu kesukaan residen dan lagu-lagu yang
sebelumnya telah residen hafal.
3.4 Implementasi
3.4.1 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi
Universitas Indonesia
23
Verbal
Pelaksanaan rencana keperawatan hambatan komunikasi verbal dilakukan selama
23 kali pertemuan, dimana per pekannya menggunakan lima hingga enam hari.
Residen dan perawat duduk berhadapan. Perawat memotivasi residen untuk
mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi. Residen juga dijelaskan
manfaat dari terapi wicara, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan,
kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan
katakata yang jelas dan dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat
dengan orang lain. Selain itu, perawat membuat kontrak waktu untuk terapi
wicara, yaitu enam kali pertemuan setiap pekannya dan dilakukan selama empat
pekan.
senam lidah dan mengevalusi pengucapan huruf hari sebelumnya, residen dilatih
mengucapkan sa si su se so, ta ti tu te to, va vi vu ve vo, wa wi wu we wo, xa xi
xu xe xo, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo. Pertemuan keempat melakukan
evaluasi terhadap latihan yang telah diberikan dan membuat rencana tindak lanjut
untuk melatih mengucapkan kata-kata.
Pertemuan kelima dan keenam setelah senam lidah Residen dilatih untuk
mengucapkan kata-kata. Metode pertama yang digunakan adalah word finders.
Perawat memberikan tujuh pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari,
kemudian Residen diminta untuk menjawabnya. Pertannyaan yang diberikan
yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” “Setelah mandi kita memakai
baju dan?” “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri dari ayah dan?”
“Warna bendera Indonesia adalah merah dan?” “Semut itu kecil, kalau gajah itu?”
“Di Wisma Cempaka suasananya tenang, kalau di pasar?” “Kopi rasanya pahit,
kalau gula rasanya?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk
kembali melatih pengucapan kata-kata sederhana dengan metode everyday
objects.
Pertemuan ketujuh dan kedelapan setelah senam lidah dan mengvaluasi kegiatan
hari sebelumnya, Residen kembali dilatih mengucapkan kata-kata. Perbedaannya
metode yang digunakan adalah everyday objects. Kata-kata yang dilatih
dikhususkan pada benda-benda yang biasa residen temui dalam kehidupan
seharihari. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa
digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk
mengucapkan nama benda-benda tersebut. Nama benda yang dilatih pada hari
ketujuh merupakan benda yang terdiri dari satu kata, yaitu kursi, pulpen, lemari,
bantal, buku, cermin, dan sepatu. Nama benda yang dilatih dihari kedelapan
merupakan benda yang terdiri dari dua kata, yaitu tempat tidur, tempat sampah,
buku tulis, baju merah, sendal coklat dan kain pel. Selanjutnya perawat membuat
rencana tindak lanjut untuk melatih pengucapan kalimat sederhana dengan metode
objects and action.
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari. Tahap pertama ini dilatih
pada Pertemuan keempatbelas. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu,
“Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” “Apakah matahari terbit di
barat?” “Apakah darah berwarna putih?” Tahap kedua adalah menjawab
pertanyaan membandingkan. Tahap kedua ini dilatih pada Pertemuan kelimabelas.
Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu, “Apakah bulu lebih lembut dari
batu?” “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?” “Apakah
Residen lebih muda dari perawat?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak
lanjut untuk melatih membuat kalimat menggunakan frase dan kalimat berpola
subjek predikat objek keterangan.
Universitas Indonesia
27
Empat pertemuan selanjutnya setelah senam lidah, perawat dan Residen berlatih
pengucapan kalimat dalam lagu-lagu. Lagu yang dipilih Residen untuk dilatih
pada pertemuan kesembilanbelas adalah lagu Halo-halo Bandung. Lagu yang
dipilih Residen untuk dilatih pada pertemuan keduapuluh adalah lagu Kebunku.
Lagu dari daerah batak dipilih Residen untuk dilatih pada ertemuan keduapuluh
satu, yaitu lagu Rambadia. Lagu terakhir yang dipilih Residen adalah lagu
Indonesia Raya. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk
melakukan evaluasi sumatif terhadap rangkaian implementasi untuk mengatasi
masalah hambatan komunikasi verbal pada Residen.
Pertemuan kedua dan ketiga perawat melatih cara perubahan posisi. Pertemuan
kedua melatih perubahan posisi dari jongkok ke berdiri. Residen awalnya
mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan posisi ini. Akhirnya dengan
Universitas Indonesia
28
3.5 Evaluasi
3.5.1 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hamabatan Komunikasi Verbal
Evaluasi asuhan keperawatan meliputi evaluasi subjektif, objektif, analisis, dan
perencanaan. Evaluasi implementasi pertama residen menyatakan senang setelah
dilakukan senam lidah dan latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan
huruf konsonan. Residen juga menyatakan bersedia melakukan terapi wicara enam
kali pertemuan per pekan dan dilakukan selama empat pekan. Residen mengetahui
manfaat terapi wicara yaitu untuk memperlancar bicara dan perkataannya dapat
dimengerti oleh orang lain. Residen juga dapat melakukan senam lidah dengan
sembilan gerakan yaitu menjulurkan lidah ke depan, sentuhkan lidah dengan
rahang atas, sentuhkan lidah dengan rahang bawah, sentuhkan lidah dengan sudut
bibir kanan, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri, tersenyum, memonyongkan
Universitas Indonesia
29
bibir, membuka bibir hingga selebar-lebarnya, dan merapatkan bibir. Residen juga
mampu mengucapkan huruf vokal a i u e o. Selanjutnya Residen juga mampu
mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti ba bi bu be
bo, ma mi mu me mo, pa pi pu pe po, sa si su se so, dan ta ti tu te to. Akan tetapi,
di hari pertama dan kedua masih mengalami kesulitan dalam pengucapan ca ci cu
ce co, ra ri ru re ro, fa fi fu fe fo, dan va vi vu ve vo dan di hari ketiga
menunjukkan perbaikan dalam pengucapan. Hal ini menunjukkan bahwa residen
mampu mengetahui manfaat terapi wicara dan meredemontrasikan latihan senam
lidah dan pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan.
itu residen juga kesulitan membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah
ditentukan, tetapi bisa meredemonstrasikan pengucapan setelah mendengar
pengucapan kalimat tersebut sebanyak dua kali. Contohnya residen diberi kata
kerja membaca, kemudian meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Mahasiswa
membaca buku.” Contoh lainnya residen diberi kata kerja menyetir, maka
meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Ayah menyetir mobil.” Contoh
terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka meredemonstrasikan pengucapan
kalimat, “Ibu mencuci baju.” Residen juga mengatakan senang setelah berlatih
membuat kalimat sederhana sambil berjoget. Hal ini menunjukkan residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat sederhana. Perencanaan selanjutnya,
yaitu melatih pengucapan kalimat yang lebih kompleks.
Contoh lainnya berlatih mengucapkan frase kue coklat, maka residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat.”
Susunan kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek
keterangan. Contohnya frase kue coklat, maka residen mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat di
dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, residen mampu meredemonstrasikan
pengucapan kalimat “Dia mengirim bunga di hari ibu.” Evaluasi dalam
Universitas Indonesia
31
Residen juga mampu melakukan latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu
berdiri. Residen mengetahui tujuan latihan ini, yaitu agar jika bangun tidur tidak
langsung berdiri karena bisa pusing. Residen merasa senang dan mengucapakan
terima kasih setelah kuku kakinya dipotong. Residen dan caregiver juga
Universitas Indonesia
32
mengetahui sebelum kuku kaki dipotong perlu direndam pada air hangat agar
kuku tidak keras dan mudah dipotong. Caregiver juga mengetahui memotong
kuku harus dengan cara mendatar agar tidak lancip sehingga tidak melukai residen
saat menggaruk. Pertemuan keenam mengevaluasi sumatif seluruh implementasi
yang telah dilakukan dan menunjukkan bahwa Residen mampu
meredemonstrasikan dan mengingat asuhan keperawatan yang diberikan.
Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan
kemampuan residen untuk melakukan latihan mempertahankan dan meningkatan
kekuatan otot. Hal ini ditandai dengan kemampuan residen untuk melakukan
rentang pergerakan sendi, latihan perubahan posisi, dan motivasi yang kuat untuk
tetap mengikuti kegiatan senam dan relaksasi yang diselenggarakan STW.
Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan
mempelajari metode alternatif sehingga masalah hambatan mobilitas fisik dapat
teratasi.
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Fasilitas-fasilitas yang
disediakan antara lain fasilitas hunian, yaitu wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP,
Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan
Wisma Dahlia kapasitas 8 kamar. Sealin itu disediakan pula fasilitas klinik werdha
antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3 kamar VIP, 15 tempat tidur
bangsal rawat inap, dan pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia
antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma
Universitas Indonesia
34
33
Kenanga. Selain itu, fasilitas dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan,
pendopo, taman, dan kolam ikan juga disediakan. Lansia mendapat makanan tiga
kali sehari, yaitu di pagi, siang, dan sore hari. Selain itu, residen juga mendapat
snack dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari. Lansia yang ingin tinggal di
STW YKBRP memiliki beberapa persyaratan, yaitu berusia di atas 60 tahun, sehat
jasmani dan rohani, mandiri, memilih tinggal di STW atas keinginan sendiri
bukan karena paksaan, dan memiliki penanggung jawab keluarga.
Aspek nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan
tingkat kemandirian partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan
orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang
tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi
kebutuhannya. Program pelayanan lain yang ditawarkan oleh STW Karya Bhakti
meliputi program peningkatan kesehatan seperti konsultasi dokter, fisioterapi,
farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan
tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti juga menyediakan program day care atau
yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini
ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan
kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari. Program-program yang disediakan
meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan kebaktian. Program
kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam, menjahit, berkebun,
menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan
agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya.
Wisma Cempaka merupakan salah satu ruangan di STW Karya Bhakti. Wisma
Cempaka terdiri dari 26 kamar tidur. Wisma Cempaka dipimpin oleh seorang
pekerja sosial yang bertanggung jawab pada seluruh residen. Setiap reiden
menempati satu kamar pribadi. Residen di Wisma Cempaka saat ini berjumlah 19
orang yang terbagi dalam 15 orang dengan tingkat kemandirian minimal care dan
empat orang dengan tingkat kemandirian partial care. Pemenuhan kebutuhan
Universitas Indonesia
35
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada residen tampak belum optimal. Hal ini
karena keterbatasan jumlah tenaga perawat dan ketersediaan alat di STW Karya
Bhakti. Residen di wisma Cempaka memiliki kondisi kesehatan yang beragam.
Perawat diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan
mengenali karakteristik lansia agar mutu pelayanan tetap terjaga.
Pola hidup yang kurang sehat ini akan berdampak pada kesehatan seseorang.
Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya zat karsiogenik
dalam tubuh. Zat karsiogenik yang terakumulasi di otak dapat menyebabkan
terjadinya tumor otak (Smeltzer dan Bare, 2005). Lesi yang terdapat pada
Universitas Indonesia
36
hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini terdapat area broca,
kerusakan yang ditimbulkan tidak akan menghalangi seseorang mengeluarkan
suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak mampu menggucapkan seluruh
kata-kata atau hanya memahami kata-kata sederhana dan kemampuan
mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan akan
terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan Bare, 2005).
4.3 Analisis salah satu intervensi dengan konsep dan penelitian lain
Implementasi unggulan dalam asuhan keperawatan pada Residen adalah melatih
terapi wicara. Terapi wicara merupakan treatment yang dilakukan pada residen
hambatan komunikasi verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir
dan Sighvatsson, 2006). Tujuan terapi wicara secara spesifik meliputi
meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata
sederhana, dan kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat
dimengerti (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).
Terapi wicara yang dilakukan pada Residen terdiri dari lima hingga enam
pertemuan setiap minggunya. Terapi wicara ini dilakukan sebanyak 23 kali
pertemuan. Intensitas pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
terapi. Hal ini sesuai penelitian Greener, Enderby, dan Whurr (2001) yang
menyatakan treatment yang dilakukan pada pasien penderita afasia di rumah sakit
United Kingdom terdiri dari dua sesi setiap minggu masing-masing satu jam yang
dinamai terapi standar, sedangkan terapi intensif adalah terapi yang diberikan
dalam lima jam tiap sesi per minggu.
Alternatif cara lain yang dapat dikembangkan dalam melatih residen dengan
hambatan komunikasi verbal adalah melalui terapi wicara melalui kata-kata yang
sebelumnya sudah dikenal. Kata-kata yang digunakan dapat berupa kata-kata yang
terdapat pada doa dan pepatah. Racette, Bard, & Peretz (2004) mengatakan latihan
pengucapan kata-kata dalam doa akan terasa lebih efektif karena kata-kata
tersebut telah dikenal sebelumnya.
gerak bibir seseorang ketika bericara kata yang normalnya dapat didengar (Ortiz,
2008). Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam
mendengar apa yang dibicarakan orang lain melalui membaca gerak bibir (Miller,
2012).
baik dan tidak terjadi ambiguitas. Selain itu, dengan berkomunikasi dengan
petugas, kontak sosial lansia diharapkan dapat meningkat sehingga lansia dengan
hambatan komunikasi verbal tidak merasa rendah diri.
Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang
mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek
social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan
atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Aspek nursing home
merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian
partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya
caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW juga
menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian
lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama
keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari.
Ibu S (87 tahun) memiliki riwayat post operasi tumor otak pada tahun 2003 dan
mengalami gangguan bicara atau bicara tidak jelas sejak tahun 2004. Residen
lebih sering mendengarkan saja daripada banyak berbicara saat berinteraksi
dengan residen lain karena perkataan residen terkadang tidak jelas sehingga sulit
dipahami orang lain. Residen terkadang merasa malu karena berbicara tidak jelas.
Jika ada kegiatan, seperti bincang antar kita (BAKI) residen meminta
caregivernya untuk hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat
residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak
STW. Setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang
disampaikan pihak STW.
Universitas Indonesia
40
39
Universitas Indonesia
juga terlihat percaya diri saat menyanyikan lagu Halo-halo Bandung di depan
residen lain.
41
5.2 Saran
Mahasiswa atau perawat perlu mengetahui teknik berkomunikasi dengan lansia
hambatan komunikasi verbal. Teknik yang dapat digunakan, yaitu berbicara lebih
keras, jelas, perlahan-lahan, dan diulang jika perlu. Kontak mata dan jarak saat
berkomunikasi juga perlu diperhatikan. Kontak mata harus ada saat
berkomunikasi dan jarak antara mahasiswa dan residen juga tidak boleh terlalu
jauh.
Mahasiswa atau perawat juga perlu mengetahui teknik mengajarkan terapi wicara
kepada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Lansia sebaiknya diberi
kesempatan terlebih dahulu untuk mengucapkan kata atau kalimat menurut
kemampuannya. Ketika lansia terlihat kesulitan, barulah membantu
mendemonstrasikan. Setelah itu, lansia dapat diminta kembali untuk
meredemonstrasikan cara pengucapan kata atau kalimat tersebut. Kesabaran juga
dibutuhkan dalam melatih terapi wicara pada lansia. Penurunan kognitif dan
pendengaran merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Mahasiswa
atau perawat terkadang perlu melakukan demonstrasi pengucapan kata atau
kalimat secara berulang-ulang. Selain itu, intensitas pertemuan juga cukup sering,
yaitu lima hingga enam kali per pekan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bakheit, A. M. O., Shaw, S., Barret, L., Wood, J., Griffiths, S., Carrington, S.,
Searle, K., & Kautsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group,
controlled study of the effect of intensity of speech and language therapy
on early recovery from poststroke aphasia. Clinical Rehabilitation, 21, 885
894
Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and
treatment. Drugs and Aging, vol 22 (2), p163-82
Cigna (2005, Februari). Speech Therapy. 12 Juni 2013. http://www.cigna.com
Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). Speech and language therapy for
aphasia following stroke. Cochrane Review. Oxford: The Cochrane
Library.
Hebert, S., Racette, A., Gagnon, L., & Peretz, I. (2003). Revisiting the
dissociation between singing and speaking in expressive aphasia, Brain,
126, 1838-1850
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2008, September). Lanjut usia. 12 Juni
2013. http://www.kemsos.go.id
Miller, Carol. (2012). Nursing for wellnes in older adults. 6th ed. Ohlo: Lippincott
Williams &Wilkins
Ninds. (2006, Maret). Aphasia. 12 Juni 2013. http://www.ninds.nih.gov
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Aphasia and language: Theory
to practice. New York: Guilford Press.
Ortiz, Rodriguez. (2008). Lipreadin in thr prengually deaf: what makes a skilled
speechreader?. The Spanish Journal of Psychology, vol 11, no 2, p488-502
Potter, P.A., & Perry, G.A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik (Edisi 4) (Yasmin Asih et al., Penerjemah.). Jakarta:
EGC.
Price, S.A., dan Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Racette, A., Bard, C., & Peretz, I. (2006). Making non fluent aphasics speak: Sing
along! Brain, 129, 2571-2584
Universitas Indonesia
42
43
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia