Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena


mengakibatkan beban bagi pelayanan kesehatan terutama di negara berkembang.
Penyakit infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan kesembilan dari urutan
prevalens penyakit di Indonesia.
Bakteri penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka
kejadian penyakit yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus
influenzae tipe B ditemukan pada 33% diantara kasus meningitis.
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan
terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk,
fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS).
Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan
kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga
beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Meningitis adalah Peradangan atau inflamasi pada selaput otak
(meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan
medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan
non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam
likuor cerebrospinal (LCS).3

2
2.2 Anatomi
2.2.1 Lapisan selaput otak/ meninges
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan
luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya,
leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater. 4
a) Duramater
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam
cranium dan juga membentuk periosteum, dan mengirimkan
perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri; lapisan
dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua
hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia
melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang
sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi.
Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian
rupa sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya
sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi
cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium
melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir
atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia
meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya
trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater,
terbenam dalam dua lamina dura.

3
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 13

b) Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan
dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang
potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum
subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi
system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip
jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes
pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi
arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae
lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus
venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup
ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam
vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid
dan piamater yang secara relative sempit dan terletak di atas
permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh
bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga

4
ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut
struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara
bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran
rongga di atas subarachnoid di antara medulla oblongata dan
hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga
subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek
ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di
bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus
temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di atas
chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan
cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di
antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna
fissure lateralis (cisterna sylvii).

c) Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang
tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam
sulcus, fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater
juga membentang ke dalam fissure transversalis di bawah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel
tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus
dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap
dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

2.2.2 Liquor cerebrospinalis (LCS)


a) Fungsi

5
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja
seperti jaket pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas
otak dengan mengatur komposisi ion, membawa keluar metabolit-
metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan
beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan
(volume venosus volume cairan cerebrospinal).

b) Komposisi dan Volume


Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.
Nilai normal rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada
tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 13

LCS terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan.
Hubungan antara keduanya melalui dua apertura lateral dari
ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari
ventrikel keempat (foramen Magendie).
Pada orang dewasa, volume cairan cerebrospinal total dalam
seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular)
dari sistem menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml
cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.

c) Tekanan

6
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-
180 mm air; perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan
jantung dan pernapasan. Takanan meningkat bila terdapat
peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor),
volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal
(pada hydrocephalus) karena tengkorak dewasa merupakan suatu
kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri
terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

d) Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari
ventriculus lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini
melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus quartus. Di sana
cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum
melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus.
Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura garis
tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga
subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas
otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil
direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di
piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui
jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di
berbagai daerah – kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan
cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk mempertahankan
reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal
yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan
reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

7
Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14

2.3 Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi
terhadap patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko
terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun,
tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko tambahan adalah
kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, jenis
kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5
bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret
atau tetesan saluran pernafasan.7

2.4 Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti
bakteri, virus, parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan
likuor serebrospinal. Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-
infeksi, seperti pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes mellitus, cedera
fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan sistem imun
(imunosupresif).5 Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus,
bakteri, jamur maupun parasit :

8
1) Virus
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh
secara alami tanpa pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika
serikat terutama selama musim panas disebabkan oleh enterovirus;
walaupun hanya beberapa kasus saja yang berkembang menjadi
meningitis. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :
a. Virus Mumps
b. Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs,
varicella-zoster, Measles, and Influenza
c. Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya
(Arboviruses)
d. Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic
choriomeningitis virus), disebarkan melalui tikus.5

2) Bakteri
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak
dan orang dewasa muda di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria
meningitidis. Meningitis disebabkan oleh bakteri ini dikenal sebagai
penyakit meningokokus.
Bakteri penyebab meningitis juga bervariasi menurut
kelompok umur.5 Selama usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan
meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi
tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan
Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang
dapat karena Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada
penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya
karena H. influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria
meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat
terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.

9
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan
Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis.
Citrobacter diversus merupakan penyebab abses otak yang penting.

Risk and/or Bacterial Pathogen


Predisposing Factor Tabel 2.
Bakteri Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B
streptococci) E coli K1 Listeria
penyebab
monocytogenes
tersering Age 4-12 weeks Sagalactiae
menurut Ecoli umur
dan H.influenzae faktor
S.pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 N.meningitidis
years S.pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S.pneumoniae
N.meningitidis
H influenza
Age older than 50 S.pneumoniae
years N.meningitidis
L.monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised S.pneumoniae
state N.meningitidis
L.monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial Staphylococcus aureus
manipulation, Coagulase-negative staphylococci
including Aerobic gram-negative bacilli, including
neurosurgery P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
predisposisi 2

3) Jamur
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu,
jamur patogenik dan opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa
jenis spesies yang dapat menginfeksi manusia normal setelah inhalasi

10
atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan penyakit kronis
atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi
jamur dibandingkan manusia normal.
Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis,
coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua
adalah kelompok jamur apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi
orang normal. Penyakit yang termasuk disini adalah aspergilosis,
candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan
nocardiosis.
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan
meningitis akut, subakut dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan
imunosupresif terutama anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga
pada anak yang imunokompeten. Cryptococcus neoformans dan
Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada anak
imunokompeten. Candida sering pada anak dengan imunosupresi dengan
penggunaan antibiotik multiple, penyakit yang melemahkan, resipien
transplant dan neonatus kritis yang menggunakan kateter vaskular dalam
waktu lama. Berikut beberapa patogen jamur :5

Common Fungal Pathogens

Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans

Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum

Mold forms
Aspergillus

Tabel 3. Patogen Jamur yang Sering


2.5 Patogenesis

1) Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :

11
a. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti
faringitis, tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada
keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah,
yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak.
b. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan
oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus
cavernosus.
c. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak,
pungsi lumbal dan mielokel.
d. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
a. Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir
atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
e. Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran


hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak
penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial
melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
a. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
b. Bakteri menembus rintangan mukosa
c. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel
fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
d. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal

12
e. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
f. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan
otak.

Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu


melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai
mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme
mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-tahap
tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi
beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan
yang menunjang.

2) Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis
bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran
hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel
pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck).
Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari mastoiditis atau
spondilitis.

13
3) Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat
permulaan masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan
saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan
menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:1
a. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan
atau organ tertentu.
b. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
c. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke
organ lain.
d. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput
lender dan menyebar melalui system saraf.

4) Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari
lingkungan sekitar. Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk
kapsul polisakarida yang besar yang resisten terhadap fagositosis.
Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi fisiologis karbondioksida
dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik
dalam host mamalia. Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks
primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp node complex) yang
biasanya membatasi penyebaran organisme.

2.6 Patofisiologi
1) Meningitis Bakterial1,2
Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi
meningitis bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen –
komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan menimbulkan respons
peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan
fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan

14
penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala
sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau embolus septik, yang
diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan jalan
menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu
di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa
yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka
bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena
kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan
serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis)
akan melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel
(endotoksin, teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta
menimbulkan peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa
mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga timbul
meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan
teichoic acid (asam teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

15
2) Meningitis Tuberkulosis 1
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran
tuberculosis primer, dengan focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokud
infeksi primer di paru, namun Blockloch menemukan 22,8% dengan focus
infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja limfe leher dan 1,2% tidak
ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi primer, basil
masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberculosis milier
atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase yang biasanya tenang

3) Meningitis Virus
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur
utama: hematogen atau neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari
patogen viral yang diketahui. Penetrasi neural menunjukkan penyebaran
disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada virus Herpes (HSV-1, HSV-2,
dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan
beberapa enterovirus. Pertahanan tubuh mencegah inokulum virus dari
penyebab infeksi yang signifikan secara klinis. Hal ini termasuk respon
imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain barrier
(BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukasa sistem
respiratorius atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah.
Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati,
spleen dan kelenjar limfe / limfonodus) jika replikasinya timbul disamping
pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan
untuk bertanggung jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat tampaknya
memainkan peranan dalam melawan pertahanan host.

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44%
penderita meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut:
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.

16
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot,
fotofobia, mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan
kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal.2,8,13
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih
serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang
disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,
kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan
lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah,
9
demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan,
kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu
ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih
kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut
dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri
10
punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur

17
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa
terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu
10
makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang
hebat, gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan
anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese
nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi
kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan
muntah lebih hebat.
Stadium III atau
stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin
parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak
10
mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

2.8 Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.
1) Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang
dan penurunan kesadaran.2,13 Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.

2) Pemeriksaan Fisik

18
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai
berikut :14

a. Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.

b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring ,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

19
d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua
ibu jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.

f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)


Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+)
bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.

g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam
keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan
sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60°
pada lansia.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

20
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein
normal, kultur negatif.
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari
1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+)
beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen
infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :
Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology
Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific pathogen
meningitis >80% PMNs demonstrated in 60%
of Gram stains and
80% of cultures
Viral 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR
meningitis lymphocytes reduced in may be assays
LCM and slightly
mumps elevated
Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, < Elevated, Acid-fast bacillus
meningitis lymphocytes 40 >100 stain, culture, PCR
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,
meningitis lymphocytes cryptococcal antigen,
culture
Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal but Negative findings on
meningitis lymphocytes may be workup
slightly
elevated
Normal values 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on
lymphocytes workup
Tabel 4. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi (diambil dari
kepustakaan 2)

b. Pemeriksaan Darah

21
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan
lumbal pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu
sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari:
1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae,
S. Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit

d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax,
foto kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan
pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat

22
ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak
ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan.
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America
(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum
dilakukan lumbal pungsi yaitu :
1) Dalam keadaan Immunocompromised
2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke,
infeksi fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat
pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif,


komplikatif dan suportif.2
1) Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri.
Penatalaksanaan umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti
pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi.
Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan
imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun
dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis
disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis.
Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).2

23
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun
karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur
CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis
induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis
maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.2

2) Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi
karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat
memberikan hasil yang baik.

Age or Predisposing Feature Antibiotics


Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime or
an aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or
cefotaxime plus vancomycin*
Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime
or meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or
CSF shunt meropenem
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 5 . Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri


(diambil dari kepustakaan 2)

a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.

b. Bayi usia 1-3 bulan


1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)

24
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/
12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun


1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)

d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun


1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB
IV/ 12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak,
20 mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika
dicurigai infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/
6 jam).

e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun


1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12
jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB

25
IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime
(2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan
kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6
jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih
kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,
tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa
tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Gambar 10. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang


Dewasa (diambil dari kepustakaan 3)

3) Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial
amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan
Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar dalam

26
serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi,
sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula
diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan
itrakonazol.2

4) Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama
dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai
berikut:
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam

Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

Tabel 6. Dosis Obat Antituberkulosis (diambil dari kepustakaan 13)

Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah


mendapat obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan
tergantung kategori. Pemberian kortikosteroid diindikasikan pada
meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada
proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih
dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara
bertahap selama 6 minggu.2

2.11 Diagnosis Banding 15

27
1. Abses otak
2. Encephalitis
3. Herpes Simplex
4. Herpes Simplex Encephalitis
5. Neoplasma
6. Kejang demam
7. Subarachnoid Hemorrhage

2.12 Komplikasi 2,15


Komplikasi dini :
1. Syok septik, termasuk DIC
2. Koma
3. Kejang (30-40% pada anak)
4. Edema serebri
5. Septic arthritis
6. Efusi pericardial
7. Anemia hemolitik

Komplikasi lanjut :
1. Gangguan pendengaran samapi tuli
2. Disfungsi saraf kranial
3. Kejang multipel
4. Paralisis fokal
5. Efusi subdural
6. Hidrocephalus
7. Defisit intelektual
8. Ataksia
9. Buta
10. Waterhouse-Friderichsen syndrome
11. Gangren peripheral

2.13 Prognosis

28
1. Meningitis bakterial 15
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara
lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru
lahir yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat
disertai DIC mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan
terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat
yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik
yang adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan
kecacatan dapat diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang
disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi
meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae,
pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60%
menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu
pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain
pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan temuan klinis pada saat itu.1,9

2. Meningitis Tuberkulosis 9
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas
meningitis tuberkulosis hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis,
mortalitas dapat diturunkan walaupun masih tinggi yaitu berkisar antara 10-
20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa masih
tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang
berobat dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah

29
gangguan fungsi mata dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis,
retardasi mental dan kejang. Keterlibatan hipothalamus dan sisterna basalis
dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat permulaan pengobatan umumnya
menentukan hasil pengobatan.

3. Meningitis Viral 9
Penyakit ini self-limited dan penyembuhan sempurna dijumpai setelah
3-4 hari pada kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan berat.

4. Meningitis Jamur
Pada pasien yang tidak diobati, biasanya fatal dalam beberapa bulan
tetapi kadang-kadang menetap sampai beberapa tahun dengan
rekuren,remisi dan eksaserbasi. Kadang-kadang jamur pada cairan
serebrospinal ditemukan selama tiga tahun atau lebih. Telah dilaporkan
beberapa kasus yang sembuh spontan.

30
BAB 3
KESIMPULAN

Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput
otak. Infeksi ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas
kronis yang tinggi. Klinis meningitis dan pola pengobatannya selama masa
neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda dengan polanya pada bayi yang lebih tua
dan anak – anak. Meningitis dapat terjadi karena infeksi virus, bakteri, jamur
maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada masa neonatus
dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2
bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan
pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem
saraf pusat mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah :
nyeri kepala, nausea, muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya,
kebanyakan dari gejala – gejala ini sangat tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi
sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam adalah : fotofobia, nyeri dan
kekakuan leher, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang – kejang dan defisit
neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen
spesifik, hospes dan penyebaran infeksi secara anatomis

31
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan
di seluruh dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi.
Kecurigaan klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak
terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan
antiobiotik dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis
ginjal. Perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang
sembuh dari meningitis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS,


Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI;
2011. h. 40-6, 339-71

2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview.

3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting.
Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient management.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.

4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-
mega2.pdf.

5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.


Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html.

32
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.

7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman,


Kliegman, Jenson, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 2038-47.

8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview.

9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.

10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 189-96.

11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi
ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.

12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29 th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview.

13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.


Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html.

14. Mahar M & Priguna S, 2019. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-14. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.

33
34

Anda mungkin juga menyukai