Anda di halaman 1dari 4

GEREJA DAN KESEHATAN MENTAL UMAT

Sumber https://juliantosimanjuntak.com/index.php/artikel/konseling/345-gereja-dan-kesehatan-
mental-umat

Published on 11 September 2017


GEREJA DAN KESEHATAN MENTAL UMAT
Dr. Julianto Simanjuntak
“Pak Julianto, saya heran, kok kantor konsultasi psikologi yang di depan gereja kami selalu penuh.
Sementara di ruang Konseling gereja kami nyaris tidak ada yang datang. Padahal kami sudah
mencantumkan jam-jam konseling untuk jemaat. Di Gereja gratis, sedangkan ke psikolog bayar. Apa
yang salah?”
Pertanyaan diatas diajukan seorang pendeta jemaat saat kami memimpin satu forum para Hamba
Tuhan di Asosiasi Pastoral Indonesia (API) beberapa tahun lalu.
Berbagai masalah kehidupan sedang mengancam keluarga masa kini. Kalau kita peka, makin
banyak jemaat bergumul dengan kesulitan hidup, dan frustrasi. Tidak tahu harus berbuat apa. Umat
mencoba mencari bantuan dengan menemui Gembalanya, namun jalan yang diberikan sebagian
masih traditional: berdoa dan membaca alkitab. Umat merasa itu belum banyak menolong
mengatasi beban mereka.
Sejak masih studi konseling di UKSW pada tahun 1989, Saya bermimpi agar di Indonesia berdiri
pusat-pusat konseling di setiap kota. Penulis rindu agar tenaga Psikolog dan Psikiater mudah
diakses masyarakat, sampai ke pedesaan.
Semua mimpi ini bermula dari kenyataan besarnya kebutuhan tenaga konselor, psikiater dan
psikolog di Indonesia. Jumlah penderita gangguan jiwa ringan sampai berat di negeri kita mencapai
hampir 30 juta jiwa. Separuh di antaranya penderita depresi.
Tapi kenyataannya masih jauh dari harapan. Tenaga psikiater di Indonesia (tahun 2016) baru
tersedia sekitar 1000 orang, itupun sebagian bertumpuk di Jakarta. Demikian juga tenaga psikolog,
khususnya psikolog klinis, hanya sekitar 400 an orang. Jumlah ini jelas masih berada di bawah rasio
standar kuota minimal yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 22:100 ribu dan konselor 1:30 ribu.
Setiap berkunjung ke rumah sakit, saya prihatin melihat data psikolog dan psikiater di rumah sakit
umum dan swasta yang sangat minim. Dalam kenyataannya masih banyak dari 550 kabupaten dan
kotamadya di Indonesia yang belum punya tenaga psikiater dan psikolog. Rumah sakit jiwa yang
dibangun pemerintah sangat minim dengan tempat tidur terbatas. Sementara itu Rumah Sakit Jiwa
swasta terbatas, mahal lagi.
Di sekolah-sekolah, tenaga Guru Bimbingan dan Konseling (BK) juga sangat kurang. Itupun masih
di lingkup sekolah besar, swasta dan di kota besar saja. Padahal masalah-masalah yang berkaitan
dengan siswa semakin besar jumlahnya. Sebut saja tawuran pelajar, narkoba dsb. Mereka
membutuhkan Guru BK yang memberikan pendampingan dan konseling. Menurut situs ABKIN
(Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia) saat ini baru ada 33.000 Guru BK, dan masih dibtuhkan
129.000 tenaga lagi.
Di kalangan umat juga membutuhkan tenaga konselor, untuk menangani kasus-kasus perceraian
dan konflik rumah tangga dsb. sebagian besar umat masih memilih ulama atau pendeta sebagai
mediator dan konselor. Sayangnya belum banyak yang belum menguasai ketrampilan ini.
Bersyukur sejak tahun 2008 kami bekerja sama dengan beberapa STT melatih tenaga konselor
pastoral. Banyak tenaga konselor pastoral yang dihasilkan melalui pendidikan ini namun tetap jauh
dari cukup.
Mimpi kami melihat tersedianya pusat konseling di setiap kota mendorong kami mengkampanyekan
pentingnya konseling ke seluruh Nusantara. Untuk itu kami pergi ke berbagai kota, memberi seminar
dan penyuluhan.
Lewat seminar dan menulis buku kami Mendorong masyarakat untuk tidak perlu malu menjumpai
psikiater atau psikolog jika punya masalah dengan gangguan jiwa.
Dalam pelbagai kesempatan seminar kami mendorong sekolah-sekolah dan lembaga agama seperti
gereja dan sebagainya, agar menyediakan pusat-pusat konseling yang mudah diakses dan dilayani
tenaga konselor terdidik.
Kami mengedukasi para tokoh agama, orang tua, dokter, para psikolog dan pendidik serta pengerja
di LSM untuk peduli pada pelayanan konseling, serta melengkapi diri dengan ketrampilan dasar
konseling.
Penulis bersyukur dalam 10 tahun terakhir ini banyak orang makin menyadari pentingnya konseling.
Jurusan psikologi juga makin diminati. Jurusan BK di universitas makin laris manis, banyak peminat.
Pusat konsultasi dan psikologi makin menjamur meski terbatas hanya di kota besar.
Meski sudah pergi ke banyak kota, mimpi ini masih jauh dari kenyataan. Ladang pelayanan
konseling (terutama kesehatan mental) yang membutuhkan tenaga konselor, psikolog dan psikiater
masih sangat luas. Ladang kesehatan jiwa ini membutuhkan kesadaran para anggota dewan
(legislatif) untuk membuat kebijakan yang pro kesehatan jiwa masyarakat.
Kesehatan adalah kekayaan utama penduduk negeri ini. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat, rakyat
akan jauh lebih produktif dalam bekerja. Kita akan lebih mudah membangun keluarga yang
harmonis, mampu hidup bersama tanpa rasa curiga, kemudian bergandengan tangan membangun
negeri ini. Kesehatan jiwa yang baik juga yang akan mengurangi jumlah kasus korupsi di negeri ini.
Sebab korupsi dilakukan oleh mereka yang terganggu kesadaran dan mentalnya. Jika pemimpin
dan rakyat sehat, maka negara akan makin kuat dan sejahtera.
"Agen Penebus"
Setiap kali kita membeli barang elektronik atau mobil, tentulah kita mempertimbangkan aftersales
atau pelayanan purna jual produk tersebut. Kita cenderung memilih produk yang pusat servisnya
baik dan lengkap.
Pelayanan injil juga demikian. Kita menawarkan “produk” penebusan Kristus. Lalu Orang-orang
ditantang menerima Kristus dengan segala jaminan yang indah. Namun apa yang terjadi sesudah
mereka menerima Kristus? Ada yang jatuh dalam dosa. Kehidupan perkawinannya rusak,
kehidupannya disfungsi. Ada yang hamil di luar pernikahan, adiksi narkoba, judi, atau seks dsb.
Apa yang gereja lakukan untuk mereka? Tersediakah ”tenaga purna jual” yang siap melayani
mereka? Apakah ada konselor terlatih membantu mereka di gereja? Banyak klien kami mengeluh
karena mereka tidak menemukan pendamping saat menjalani hidup yang sulit.
Yesus adalah Penebus dan kita ”agen penebus”. Kita meneruskan karya Yesus atau misi hidup-
Nya: seperti menyembuhkan orang yang sakit, mencari orang yang hilang.
Kitab injil penuh cerita Yesus mendampingi orang bermasalah. Ia memberi waktu khusus kepada
Zakheus. Mengunjungi perempuan yang punya lima suami. Juga mencari dan melayani orang sakit
mental/sakit jiwa dan kerasukan setan di Gerasa. Tuhan Yesus menyembuhkan si kusta dan
memulihkan perempuan yang berbuat zina.
Setiap manusia butuh konseling, tak peduli siapa pun dia. Fungsi konseling adalah: menyembuhkan,
membimbing, memberdayakan, pendampingan, dan perawatan. Hampir di setiap situasi kehidupan
manusia, konseling sangat dibutuhkan. Itu sebabnya kami menantang pembaca, mahasiswa dan
peserta training kami untuk terjun dalam pelayanan konseling. Bagi saudara yang sudah terlibat,
buku ini bisa menjadi salah satu panduan menolong khususnya bagi konselor awam atau pemula.
Pelayanan Konseling dan Tanggung Jawab Kita
Pelayanan spiritual modern di bidang konseling dan pendidikan lahir karena penderitaan dan
perjuangan pribadi seorang pendeta dengan penyakit mental yang berat, Rev. Anton Boisen. Kisah
hidup Boisen-lah yang melahirkan Pendidikan Pastoral Klinis (Clinical Pastoral Education, disingkat
CPE). Penyakit Boisen yang depresif dan permanen selama belasan tahun membuatnya
dirumahsakitkan, karena ia tidak lagi mampu melakukan fungsinya secara memadai tanpa
pengobatan.
Dalam suatu kali perawatan kejiwaannya, Boisen dikejutkan oleh kehadiran sebuah simbol religius
di jendela kamarnya pada suatu malam. Ia melihat sebuah salib Kristen pada bulan purnama. Saat
ia terbaring di di tempat tidurnya dan menatap keluar jendela, ia mulai memformulasikan
keyakinannya bahwa semua penyakit secara mendasar adalah sebuah masalah spiritual. Ia
akhirnya berkeyakinan bahwa percakapan yang kondusif dengan seorang penolong akan
menyembuhkan orang yang menderita.
Setelah Boisen sembuh, ia menjadi sadar minimnya perhatian gereja saat itu untuk konseling,
terutama bagi orang seperti dirinya. Juga minimnya konselor terlatih di gereja. Penderitaan Pendeta
Boisen karena penyakit psikosi yakni skizofrenik (penyakit jiwa yang serius) membuatnya berempati
besar terhadap orang sakit dan retak jiwanya.
Setelah sembuh Pdt. Boisen mengkritisi gereja dan berkata, “Kalau orang Kristen patah kaki,
banyak rumah sakit Kristen di seluruh negara bagian yang merawatnya, bahkan dengan biaya
gereja. Tetapi kalau orang Kristen “patah hati”, maka dia dikirim ke rumah sakit mental pemerintah.
Di sana dia dilupakan untuk selamanya.”
Sejak saat itu terjadilah revolusi perhatian gereja di bidang kesehatan mental dan konseling.
Berdirilah pusat-pusat konseling dan sekolah dengan kurikulum konseling yang memadai. Konseling
diintegrasikan ke dalam pelayanan gereja dan pendidikan. Boisen sendiri akhirnya mengkhususkan
diri melatih para konselor dan mahasiswanya agar mampu melayani orang menderita dengan skill
yang baik.
Kejeniusan Boisen adalah menggunakan penderitaannya menjadi sumber pembaharuan bagi orang
lain. Tak diduga, itu akhirnya menjadi formula ajaib untuk menyembuhkan penderitaan dunia. Dia
mentransformasikan situasi yang penuh keputusasaan menjadi situasi penuh harapan. Clinical
Pastoral Education (CPE) yang dipelopori Boisen menjadi model pembelajaran konseling penting di
seluruh dunia.
Dalam konteks global kita sekarang ini, gereja dan masyarakat makin membutuhkan konselor
terlatih. Dunia kita dan dunia anak-cucu kita kelak adalah dunia yang kompleks dan semakin sakit.
Tidak ada cara tunggal untuk mengatasi kesulitan hidup. Kita harus kerjasama mengatasi
penderitaan manusia yang makin kompleks. Kami mengundang Anda semua untuk bergabung
dalam tugas yang mahapenting ini.
Konseling adalah semacam pelayanan “purna jual” bagi anggota jemaat yang hidupnya rusak
karena berbagai pergumulan hidup. Seharusnya, gerejalah yang mengakomodasikan kebutuhan ini.
Seharusnya tiap gereja (paling tidak, di tingkat regional), memiliki satu pusat konseling, tempat yang
nyaman dan aman bagi anggota jemaat menyampaikan pergumulan hidupnya yang terdalam
kepada konselor gerejanya.
Gereja, Pelopor Kesehatan Mental Masyarakat
Dalam sejarah hubungan agama dan kesehatan, Paul Tournier_ pernah berkata bahwa pengobatan
adalah juga pelayanan. Bahkan pengobatan itu tidak hanya melayani individu tetapi juga seluruh
masyarakat. Bagi Tournier pelayanan kesembuhan merupakan satu tanda anugerah Allah bagi
kehidupan manusia. Menurutnya, tenaga medis adalah mitra kerja Allah, sebab aktivitas mereka
adalah mewujudkan tanda kasih karunia Allah itu.
Allah tidak menghendaki manusia itu hilang, sebaliknya agar mereka mengenal Kristus dan
memperoleh keselamatan. Tournier memberikan beberapa landasan Alkitab mengenai hal ini.
Misalnya, perintah Yesus kepada para murid untuk melakukan pelayanan kesembuhan (Matius
10:8; 25:31-46). Yehezkiel 34:3-4 menegaskan bahwa umat Tuhan tidak hanya diminta untuk
menyembuhkan yang sakit tetapi juga melindungi orang yang lemah.
Senada dengan Tournier, Barth berpendapat bahwa perhatian pada kesehatan mental menyangkut
isu sosial, bukan semata-mata individual. Malony memahami kesehatan mental sebagai salah satu
aspek penting dan positif dari keselamatan (salvation). Mereka yang menderita sikizofrenia
sekalipun dapat percaya dan diselamatkan Tuhan. Karena itu, pelayanan kesehatan mental harus
menjadi salah satu prioritas utama pelayanan Kristen dalam masyarakat. Kabar baik yang
diberitakan oleh gereja harus mencakup kesaksian dan pelayanan di bidang kesejahteraan mental.
Menurut Westberg, salah satu asumsi yang perlu diperhatikan orang Kristen sehubungan dengan
panggilan pelayanan kesehatan mental adalah setiap orang telah diberikan mandat oleh Allah untuk
merawat dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri, orang lain, dan dunia. Manusia adalah
representasi Allah dalam merawat ciptaan, terutama manusia sebagai mahkota ciptaan Allah
(Kejadian 1:27-28).
Beberapa hasil penelitian di barat membuktikan, peran agama terhadap kesehatan mental sangat
besar. Misalnya, beberapa penelitian yang dikumpulkan oleh Bergin_ (1983) tentang hubungan
komitmen religius (khususnya intrinsik religius) dan kesehatan mental, membuktikan bahwa 47%
hasilnya berkorelasi secara positif. Ditemukan bahwa, komitmen religius berkorelasi dengan baiknya
kesehatan fisik, rendahnya angka bunuh diri, umur panjang, terhindarnya penggunaan drugs dan
alkohol, terhindar dari perilaku kejahatan, kepuasan pernikahan, dan terhadap kesejahteraan hidup.
Hasil ini seharusnya lebih memotivasi pemimpin gereja untuk mengambil peran yang lebih banyak
dalam menanggulangi masalah kesehatan mental dalam masyarakat Kristen khususnya, dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Cepat atau lambat, setiap kita membutuhkan Konselor, Psikolog dan Psikiater. Kalau tidak kini, ya
nanti. Kalau bukan kita, ya cucu kita. Alangkah malangnya jika kita tidak menyediakan yang terbaik
bagi anak cucu kita, khususnya tenaga konselor dan ahli kesehatan jiwa.
Julianto Simanjuntak

Anda mungkin juga menyukai