Anda di halaman 1dari 16

KLONING DAN TRANSPLANTASI DALAM PERSPEKTIF VEDA

Posted by I Wayan Sudarma


https://dharmavada.wordpress.com/2013/11/14/kloning-dan-transplantasi-dalam-perspektif-veda/
Oleh I Made Titib

A Person must elevate themselves by their own mind,

not degrade themselves. The mind is the friend of conditioned soul,

and enemy as well. For one who has conquered the mind,

the mind is the best of friends; but for one who has failed to do so,

their very mind can be greatest enemy

Bhagavadgītā VI. 5-6

Non violence (ahimsa) is common to all religions,

But it has found hidgest expression and application in Hinduism

Mahatma Gandhi (1987 : 116)

1. A. Pendahuluan

Menurut pandangan Hindu, baik-buruk kehidupan seseorang di dunia ini sangat tergantung

pada karmavaśana itu. Karma atau perbuatan baik-buruk menurut ajaran agama Hindu, pahalanya dinikmati dalam

tiga dimensi waktu, yang lalu, sekarang dan yang akan datang. Seseorang yang sadar untuk memperbaiki dirinya

dengan berpegang teguh kepada ajaran dharma (agama) akan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya

dan dapat mencapai moksa pada saat kehidupan ini (bhukti) atau pada akhir penjelmaan (mukti) atau pada

penjelmaan selanjutnya, asalkan ia selalu melaksanakan ajaran dharma. Ajaran agama Hindu sangat menekankan

umat-Nya untuk senantiasa berpegang kepada dharma sebab ajaran ini merupakan jalan keselamatan mutlak.

Seseorang yang menyimpang dari pelaksanaan dharma dalam kehidupannya disebut sebagai sesuatu yang sia-sia

menjelma menjadi manusia, seperti halnya orang yang sakit, pergi ke suatu tempat yang tidak mendapatkan

perawatan dan pengobatan karena di tempat itu tidak ada perawat, dokter atau dukun dan tersediannya obat-obatan.

Hidup dan kehidupan manusia adalah merupakan anugrah Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Menurut

ajaran agama Hindu, manusia dan semua mahluk dihidupkan oleh ātman atau jīvātman (yang menjadikan

sesuatunya hidup atau bernyawa). Jīvātman berasal dan merupakan percikan sinar suci Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu setiap umat manusia dituntut untuk memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya

sehingga ātman atau jīvātmannya dapat bersatu kembali dengan paramātman atau Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam Manavadharmaśāstra atau Manusmrti (XII.105-106) dinyatakan : “Seseorang yang ingin memperoleh

penyucian dharma (dharmaśuddhi) seharusnya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hanya mereka

yang menguasai tarka (kemampuan untuk menganalisis sesuatu) dan tidak bertentangan dengan Veda

(Vedaśastra) dengan ajaran suci Veda, yang merupakan ajaran dharma yang diajarkan oleh para ŗşi, yang akan

menguasai dharma, tidak yang lain”. Lebih jauh di dalam kitab yang sama (IV.175-176) juga dinyatakan : “Oleh

karena itu seseorang hendaknya selalu terpuji, sebagai orang yang mulia, selalu suci hati …… Suatu perbuatan

yang bila pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan dan sangat dikutuk di dunia ini (lokavikruşţa) bukanlah

Dharma dan harus ditinggalkan”. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Yajñavalkya Smŗti (VI.156).

Selanjutnya tentang penguasaan ajaran suci Veda, Śrī Kŗşņa di dalam Bhagavadgītā (XVI.24) menyatakan : “Oleh

karena itu jadikanlah kitab suci menjadi pegangan hidupmu untuk menentukan yang harus dilakukan. Dengan

mengetahui ajaran suci (Veda) tersebut, hendaknya engkau melakukan kegiatan kerja di dunia ini”. Kedudukan

kitab suci Veda yang merupakan pegangan hidup yang harus ditaati, di dalam kitab Manavadharmaśāstra (II.6)

dinyatakan bahwa seluruh isi kitab suci Veda (śruti) merupakan sumber tertinggi ajaran Dharma, kemudian kitab-

kitab hukum (smŗti), teladan tingkah laku terpuji orang-orang suci (śīla), adat istiadat atau tradisi yang baik (ācara)

dan kepuasan batin semua pihak (ātmanaşţuşţi) yang pada śloka yang lain disebut juga dengan

istilah priyamātmanah (Manavadharmaśā II.12). Kātyāyana (yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama mahārşi

Vararuci) dalam kitabnya Kātyāyanapariśişţapratijña (I.1) menyebutkan bahwa Veda meliputi kitab-

kitab mantra dan brāhmana (mantra brāhmaņayor vedanām adheyam). Dalam Āpastambaśrauta-sūtra (24.1.31)

disebutkan hal yang sama (mantrabrāhmanam veda ityācaksate). Demikian pula dalam Bhodhāyanagŗhyasūtra,

2.6.2 (mantrāścabrāhmananca vedah). Pendapat para rsi tersebut didukung pula oleh para rsi pengikut

Mīmāmsaka, termasuk pula Śankarācāry. Pāņini (IV.2.66) seperti halnya Yāska dalam Nirukta (V.3.4 membedakan

antara Nigama (chanda) dan Brāhmana. Swami Dayananda Sarasvati pendiri dari Arya Samaj menyatakan yang

dimaksud Veda hanyalah kitab-kitab Samhitā, yakni Ŗgveda, Yajurveda, Sāmaveda dan Atharvaveda. Pendapat ini

didukung oleh Śrī Aurobindo dan T.V. Kapali Sastry (Murty, 1993:1). Secara umum di samping kitab-kitab Samhitā,

kitab-kitab Āraņyaka dan Upanisad juga disebut Veda.

1. B. Pengertian Hidup dan Mahluk Hidup

Bila kita mengkaji pengertian hidup dan mahluk hidup, maka terlebih dahulu marilah kita pahami bahwa dalam

ajaran agama Hindu dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan, di antaranya : brahman,

ātman, prāna, karma, samsāra dan moksa yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

1. Brahman. Disebut juga paramātman, viddhi (dalam bahasa Indonesia ditulis Widhi) dan sebutan lain
ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Brahman adalah Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan seluruh
alam semesta dan segala isinya termasuk semua mahluk. Brahman sebagai pencipta alam semesta
dinyatakan dalam kitab suci Veda diantaranya Rgveda X.19.3, X.90.1-16. dan lain-lain juga dalam kitab-
kitab Upanisad seperti Taittrīya Upanisad, Svetāśvatara Upanisad, Aitareya Upanisad, Brahadāranyaka
Upanisad, Chāndogya Upanisad dan sejenisnya, termasuk jug akitab Brahmasūtra, Bhagavadgītā, kitab-
kitab Tattwa lainnya.
2. Ātman. Merupakan bagian atau percikan dari sinar suci Brahman atau Paramātman, yakni ātman yang
tertinggi (sebagai sumber hidup dan kehidupan) yang menghidupkan seluruh mahluk hidup. Setiap mahluk
yang dinyatakan hidup kalau terdapat ātman yang menghidupkan mahluk itu. Bila ātman meninggalkan
badan maka mahlukitu dinyatakan mati, karena yang menghidupkan mahluk telah lenyap dari badan.
Badan mahluk disebut śarīra yang terdiri dari materi yang berasal dari panca tanmātra dan panca
mahābhūta. Yang dimaksud panca tanmātra adalah lima unsur yang sangat halus (tidak dapat diukur) yang
terdiri dari :śabda (unsur suara), sparśa (unsur sentuhan), rūpa (unsur panas), rasa (unsur air)
dan gandha (unsur bau) dan panca mahābhūta adalah ākāśa (ether), vāyu (angin), teja (panas), apah (air)
dan prathivī (tanah). Unsur-unsur panca tanmātra dan panca mahābhūta inilah yang membentuk alam
semesta dan tubuh mahluk hidupyang terdiri dari empat jenis, yaitu yang lahir dari telur (andjah), yang
lahir dari lendir (svedajah), yang lahir melalui kehamilan atau bersama ari-ari/kandungan (jarayujah) dan
yang tumbuh dengan biji-bijian atau yang membelah diri (ubdijah). Ātman juga disebut nafas vital atau
nafas hidup, karena secara sederhana dapat diamati setiap mahluk yang mati, nafas hidupnya terhenti.
3. Prāna adalah energi atau panas yang menggerakkan mahluk hidup untuk tumbuh dan berkembang. Dalam
susunan tubuh manusia, prāna merupakan lapisan tubuh kedua setelah badan kasar. Untuk jelasnya
tentang susunan tubuh manusia terdiri dari lima lapisan, yaitu : (1) annamāyākosa, yaitu lapisan tubuh
yang paling luar (disebut juga sthula śarira) terdiri dari sari-sari makanan yang berasal dari bumi.
(2) Prānamāyākosa, yaitu lapisan tubuh yang lebih di dalam
dari annamāyākosa, berupa prāna atau vayu, yakni panas atau energi tubuh yang terdiri dari sepuluh
macam, yaitu prāna, energi yang terdapat pada rongga mulut dan hidung, apāna, energi yang
menggerakkan anus dan kelamin, Samāna energi yang menggerakkan hati, udāna energi yang terdapat
pada tulang tengkorak dan mendorong pertumbuhan bulu rambut, vyāna energi yang menggerakkan
persendian, mendorong rasa marah dan umur tua, nāga energi yang menyebabkan muntah (mual), kūrma,
energi yang menggerakkan mata (berkedip), kŗkara, energi yang menyebabkan bersin dan devadatta energi
yang menyebabkan menguap (mulut terbuka). Prāna yang terakhir ini masih tetap tinggal pada mayat
sampai mayat hancur. (3) Manomāyākosa, yaitu lapisan tubuh manusia berupa alam pikiran yang
digunakan untuk mempertimbangkan baik dan buruk. Lapisan tubuh ini lebih dalam dari prānamāyākosa.
(4) vijnānamāyākosa, yaitu lapisan tubuh yang lebih dalam dari manomāyākosa berupa intelek dan
kecerdasan. (5) anandamāyākosa yaitu lapisan tubuh yang paling dalam yang membelenggu ātman, sumber
hidup manusia, merupakan lapisan kebahagiaan, memancarkan kasih sayang dan kebahagiaan. Di samping
lima seluibung atau lapisan tubuh yang membelenggu ātman yang disebut juga śarīra, kdang-kadang lima
badan ini disederhanakan dalam 3 bagian, yaitu sthula śarīra yakni badan kasar (terdiri
dari annamāyākosa dan prānamāyākosa), suksma śarīra atau badan halus (gaib) terdiri
dari manomāyākosa, vijnānamāyākosa dan anandamāyākosa, serta antahkārana śarīra yaitu ātman
sebagai sumber hidup mahluk.
4. Karma artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau mahluk (dengan kesadaran atau tanpa
disadari) berupa perbuatan baik atau buruk, salah dan benar dan semuanya itu memberikan pahala yang
baik berupa kebahagiaan atau sorga dan bahkan moksa sedang karma yang buruk menjadikan seseorang
memperoleh penderitaan bahkan neraka di dunia atau di akhirat nanti. Pahala atau akibat perbuatan baik
dan buruk dibedakan dalam 3 dimensi waktu. Yaitu (1) prarabdha , pahala perbuatan yang diperoleh dalam
hidup ini sebagai hasil perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan ini. Karma yang dilakukan kini dan
hasilnya langsung dinikmati dalam penjelmaannya kini, (2) śancita yaitu karma yang dilakukan sekarang,
tetapi hasilnya akan diterima nanti yakni pada penjelmaan yang akan datang, baik atau buruk, akan
menyenangkan atau menyusahkan, (3) āgamin atau kriyamana yaitu karma yang dilakukan sekarang,
pahala diperolehnya nanti, baik setelah penjelmaannya kini atau sesudahnya.

Konsekuensi dari ajaran karma adalah keyakinan terhadap penjelmaan kembali atau samsara.

1. Samsāra disebut juga punarjanma atau punarbhava yang artinya menjelma kembali. Adapun yang
menyebabkan penjelmaan kembali ini adalah pahala dari belenggu karma. Bila mereka melakukan
perbuatan baik, melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya, maka tali karma akan putus dan umat
manusia dalam wujud ātman akan bersatu dengan paramātman, brahman atau Tuhan Yang Maha esa yang
disebut moksa, laksana air sungai bertemu kembali dengan asalnya yakni air laut. Ātman yang telah
menghidupkan dan tinggal dalam mahluk disebut Jīvātman atau secara singkat disebut jīva, artinya “yang
hidup”. Bila Ātman belum mencapai moksa dan sudah meninggalkan badannya (hanya memakai badan
gaib) dan menikmati pahala perbuatannya, baik atau buruk disebut preta. Ātman yang dibungkus suksma
śarīra berupa sisa-sisa perbuatan (karmavaśana) menjelma kembali berulang-ulang di beberapa tempat
dengan mengambil berbagai tubuh, sesuai dengan hasil karmanya, memilih tubuh yang kasar atau halus.
Nampak keadaannya berbeda-beda antara mahluk yang satu yang sangat sederhana atau mengambil tubuh
yang lebih sempurna seprti halnya tubuh manusia.
2. Moksa berarti kebebasan, bebas dari ikatan keduniawian dan individualistis, kepicikan dan keterbatasan.
Moksa merupakan hasil dari berkembangnya kasih sayang dan kebebasan, bebas dari
ikatan avidyā. Avidyā berarti ikatan, kegelapan dan kebodohan. Jadi vidyā berarti moksa. Seseorang yang
mencapai moksa memliki pengetahuan tentang ātman dan brahman dan dengan pengetahuan itu, ātman
pada dirinya dapat bersatu dengan brahman. Setelah mencapai lautan air sungai itu menyatu dengan air laut
dan ia menjadi air lautan. Seorang yang mencapai brahman menjadi brahman. Moksa merupakan
kebahagiaan sejati dan tujuan tertinggi ajaran agama Hindu. Seseorang yang mencapai moksa berhasil
memutuskan ikatan karama (perbuatan baik-buruk) dan lingkaran penjelmaan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, yang dimaksud dengan hidup adalah terbelenggunya ātman dalam tubuh

mahluk, sedang yang dimaksud dengan mahluk hidup adalah manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia

memiliki 3 pramana (tri pramana/tiga kekuatan): bayu (tenaga), śabda (kemampuan berbicara/bersuara),

dan idep (kemampuan berpikir), binatang hanya memilik bayu dan śabda, dan tumbuh-tumbuhan hanya memiliki

bayu, yakni tenaga untuk tumbuh dan berkembang tanpa insting. Ātman yang terbelenggu itu disebut jiva (dibaca

jiwa dalam bahasa Indonesia). Kata jiva berasal dari urat kata jiv yang artinya hidup, jiva berarti yang

menghidupkan, sedang kehidupan berarti gerak aktivitas tubuh selama selama jiva masih tinggal di dalam badan,

maka badan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ajaran agama Hindu memandang bahwa kehidupan adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, khususnya untuk

menjelma sebagai manusia., mahluk yang paling sempurna dibanding mahluk hidup yang lain. Kelebihan manusia,

karena manusia memiliki kemampuan berpikir, mampu membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar dan

dengan keyakinan agama, mereka dapat melepaskan ikatan yang membelenggu dirinya untuk mencapai moksa

dengan jalan berbuat baik, oleh karena itu Hindu memandang penjelmaan manusia penuh arti dan sangat

bermanfaat bila dengan kesadarannya dimanfaatkan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas hidupnya.

1. C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Dalam dasar warsa terakhir hingga dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Berbagai

temuan telah diumumkan, IPTEK ibarat pisau bermata dua, di satu pihak sangat diharapkan manfaatnya untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan, meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Dengan

IPTEK yang semakin canggih harapan untuk memperbaiki mutu hidup dan kehidupan menjadi kenyataan. Namun

sebaliknya akibat dari kemajuan IPTEK yang demikian pesat, menimbulkan pula kekhawatiran dari dampak negatif

yang diakibatkannya. Dampak negatifnya justru sangat mencemaskan dengan temuan-temuan modern, termasuk

lubang ozon semakin lebar, pemanasan global, tidak adanya batas-batas budaya, berkembangnya pemikiran

filsafat hedonisme yang berorientasi pada kenikmatan duniawi (Material and Pleasure Oriented), sistem klon,

rekayasa genetika dan lain-lain yang memerlukan pengkajian yang mendalam terhadap berbagai aspek.

Hindu Dharma memandang bahwa setiap orang hendaknya meningkatkan dirinya dengan memperdalam ilmu
pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dapat menganalisa dengan tajam segala sesuatu yang
dihadapi melalui kekuatan intelek yang dimilikinya. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan

ketajaman intelek atau kecerdasan diamanatkan dalam kitab suci Veda (Rgveda VIII.35.16), demikian pula mengasah

ketajaman intelek bagaikan memiliki mata ketiga (Rgveda X.56.1). Atas dasar sabda Tuhan Yang Maha Esa inilah,

merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan untuk

kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

Dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan sebagai Dewi Sarasvatī, yakni dewi ilmu pengetahuan

dan kebijaksanaan yang menganugrahkan kesejahteraan (material) dan kebahagiaan (spiritual). Untuk itu

pengembangan ilmu pengetahuan dan juga teknologi hendaknya kedua hal ini tidak mengorbankan nilai-nilai

kemanusiaan, moral, etika dan spiritual. Penggambaran Dewi Sarasvatī sebagai seorang dewi yang sangat cantik,

berkulit putih dan busana putih mulus melambangkan bahwa hakekat ilmu pengetahuan adalah untuk kesucian.

Tangan Dewi Sarasvatī berjumlah 4 menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bersumber pada kitab Catur Veda

(empat kitab suci Veda) yang juga melambangkan kemahakuasaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa melalui ciptaan-Nya

adalah sumber ilmu pengetahuan (dilambangkan dengan keropak/pustaka atau lontar), pengetahuan hanya dapat

diperoleh melalui konsentrasi dan analisa yang mendalam (dilambangkan dengan tasbih), mereka yang memiliki

pengetahuan yang tinggi hakekatnya juga seorang seniman (dilambangkan dengan Vina atau gitar yang dipegang

oleh Dewi Sarasvatī), bunga teratai yang dipegang oleh Sarasvatī melambangkan kesucian atau hakekat ilmu

pengetahuan adalah untuk menyucikan moral, etika dan spiritual umat manusia dan seekor angsa yang dipakai

wahana dewi Sarasvatī melambangkan Vivekajnāna, yakni kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatunya

dengan matang dan mendayagunakan ilmu pengetahuan setinggi-tingginya untuk diabdikan kepada keluhuran hidup

manusia. Seekor merak yang selalu dekat di bawah kaki Dewi Sarasvatī menunjukkan egoisma, kecongkakan,

keangkuhan, dan sejenisnya yang dimiliki ilmuwan hendaknya ditekan oleh dewi kebijaksanaan. Jadi seorang

ilmuwan tidak takabur dan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dengan menghancurkan kehidupan oang lain.

Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, kitab suci Veda memandang bahwa pada setiap hayati terdapat

jiwa yang menghidupkan hayati atau mahluk tersebut baik yang terlihat oleh mata maupun tidak nampa

(Atharvaveda I.32.1). Sinar matahari membrikan energi kepada setiap mahluk, khususnya tumbuh-tumbuhan untuk

berbuah, berkembang atau berbiak (Yajurveda VI.2). Kitab suci Veda memandang terciptanya alam semesta adalah

atas dasar Yajña, oleh karena itu dengan Yajña pula mahluk hendaknya hidup dan berkembang biak dan menjadikan

alam semesta ini sebagai lembu perahan untuk memperoleh air susunya. Di dalam

Yajurveda XXIII.62 dinyatakan: Ayam yajno bhuvanasya nabhih, yajna adalah pusat terciptanya alam semesta.

Kata Yajña dalam bahasa Sanskerta berarti pengorbanan yang tulus dan iklas dan Yajña juga berarti cinta kasih.

Penciptaan adalah karya spiritual dari Tuhan Yang Maha Esa, yang Absolut (Aksara) sebagai Līla atau Krida-Nya,

untuk menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Selanjutnya dalam Atharvaveda XX.1.1. kita jumpai penjelasan yang
menyatakan bahwa Yajña, disamping kebenaran, hukum abadi yang ditegakkan-Nya, penyucian, pengendalian diri

dan doa, sedang di dalam Bhagavadgītā ditegaskan :


“kecuali untuk tujuan Yajña, kehidupan ini dibelenggu oleh

hukum karma, Wahai Arjuna, karena itu bekerjalah

demi Yajña tanpa kepentingan pribadi “

“Pada jaman dahulu, Tuhan Yang Maha Esa (disebut Prajapati)

menciptakan alam semesta dan segala isinya serta bersabda :

“ Wahai mahluk hidup, dengan Yajña ini engkau berkembang

biak peliharalah alam semesta ini menjadi sapi perahanmu”

(Bhagavadgītā III.9-10)

Berdasarkan uraian diatas, bila dicermati, maka nampaklah hubungan yang erat antara Tuhan Yang Maha Esa

sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya termasuk pula beraneka jenis mahluk hidup, dari yang sangat

sederhana (satu sel), tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia merupakan ciptaan yang sangat dikasihi-Nya.

Hubungan yang erat antara manusia, Tuhan Yang Maha Esa dan alam semesta ini diikat oleh tali yajna-Nya, oleh

karena itu pula, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup mahluk termasuk umat manusia dan kelestarian alam

lingkungan serta segala isi alam semesta tidak terlepas dari ikatan yajna dan tentunya pula merupakan kewajiban

bagi umat manusia (sebagai mahluk yang paling sempurna) untuk melaksanakan yajna kepada-Nya dan kepada

segala ciptaan-Nya.

Bila kita memahami hakekat dari setiap Yajña yang dilakukan, maka sebenarnya cinta kasih adalah landasan dari

kelangsungan hidup umat manusia dan seluruh mahluk hidup lainnya di alam semesta ini. Kitab Suci Veda

mengamanatkan hendaknya setiap orang membina hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, para

Dewa dan alam semesta termasuk seluruh mahluk hidup (hayati) dan jasad renik penghuni alam ini

(Yajurveda XXXVI.17). Atas dasar keyakinan ini, agama Hindu memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi

dari yang sederhana sampai yang tinggi, hendaknya tetap memelihara kelestarian alam semesta dan mahluk hidup di

dalamnya, oleh karena itu sangat tepat Soeryo Adiwibowo dkk. Dalam tulisannya Bioteknologi dan Dampaknya

terhadap Sosial Ekonomi dan Etika, bahwa sudah saatnya ilmu pengetahuan tidak bebas moral dan etika (1995:33).

Jadi menurut hemat kami sebagaimana telah kami sebutkan di ats, bahwa ilmu pengetahuan akan mempunyai

makna apabila senantiasa berlandaskan ajaran moral, etika dan spiritual. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang

tinggi tidak terlepas dari frame ajaran moral, etika dan spiritual.

1. D. Rekayasa Genetika, Kloning, Transplantasi dan Implikasinya pada berbagai Aspek


Kehidupan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat maju dan akan terus maju, namun kemajuan ilmu

ppengetahuan dan teknologi khusunya rekayasa genetika dan impilikasinya terhadap berbagai aspek kehidupan

manusia memerlukan pengkajian yang mendalam. Berbagai pertanyaan dapat dimunculkan terutama yang

menyangkut ajaran moral, etika dan spiritual terhadap kemajuan IPTEK pada bidang ini. Apakah kemajuan IPTEK

khususnya rekayasa genetika tidak bertentangan dengan ajaran moral, etika dan spiritual? Bagaiman dampak

kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan berbagai aspek kehiduapn manusia?

Agama Hindu memandang bahwa kehidupan setiap mahluk tergantung dari karma-nya masing-masing. Apakah

seseorang akan menjelma kembali sebagai manusia atau sebalinya jatuh sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan atau

jasad renik tergantungdari karmanyamasing-masing. Di antara berbagai penjelmaan itu, menjelma sebagai manusia

adalah kesempatan emas, kesempatan yang terbaik, oleh karena hanya manusialah yang dapat memperbaiki dirinya

dengan jalan berbuat baik, melaksanakan sepenuhnya ajaran agama, atau dharma sesuai dengan tugas, kewajiban

dan tanggung jawabnya masing-masing.

Rekayasa genetika adalah suatu usaha para pakar genetika mengeluarkan sebua gen tunggaldari sel suatu spesies

mahluk hidup dan memasukkannya ke dalam sel-sel spesies lainnya (Khonphalindo, 1995:6). Rekayasa genetika

dapat dikatakan merupakan “The Ultimate Technology” dari manusia dalam mengendalikan kekuatan alam yang

belum pernah dicapi dalam sejarah umat manusia (Ibid : 30). Selanjutnya tentang “kloning” berarti ‘tunas’, ‘ranting’

dan diperluas sampai arti ‘cangkokan’ atau ranting baru yang dicangkok dalam batang pohon’. Di dalam biologi,

kloning (kloning) sekarang dimengerti sebagai “the techinique of producing a genitically identical duplicate of an

organism by replacing nucleus of an unfertilized ovum with the nucleus of a body cell from organism’. Penjelasan

ini memang sesuai dengan prosedur yang ditempuh Ian Wilmut untuk menghasilkan klon domba Dolly (Februari

1997). Tetapi transfer inti sel tidak selalu diperlukan untuk melakukan kloning, karena itu dalam buku The Human

Embryonic Stem Cell Edebate (Glossary) para editor memberi penjelasan lebih luas ‘production of precise genetic

copy of molecule (including DNA), cell, tissue, plant or animal’. Yang dimaksud dengan ‘klon’ adalah prosedur

kloning ini. Jadi, klon adalah copy secara genetis identik dari sebuah gen, molekul, sel atau organisme. Kini sering

dibedakan anatar kloning reproduktif dan kloning terapeutik. Kloning reproduktif menghasilkan organisme baru

(tumbuhan, hewan dan manusia) yang menjadi copy genetis dari sel yang sudah ada. Kloning terapeutik (juga

disebut “kloning eksperimental”) menghasilkan copy genetis dengan maksud menyelidiki kemungkinan terapi baru

bagi penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya. Jadi perbedaan antara kedua macam kloning ini ditentukan

dari tujuannya (Bertens, 2003:97)

Rifkin (1993) menyatakan : “pakar bioteknologi kini telah berperan sebagai Tuhan” (Hartoko,10). Pernyataan ini

tentu membuat terkesimanya setiap orang terlebih lagi mereka yang tidak kuat imannya. Bila manusia bertindak

melampaui kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sejarah telah membuktikan bahwa konsekuensi pandangan dan tindakan
yang demikian berakibat kehancuran peradaban umat manusia. Kuasa Tuhan Yang Maha Esa menunjukkan kepada

kita dimana pun umat manusia tidak mampu mengendalikan dirinya, disana akan terjadi kehancuran moral, etika,
dan spiritual yang di dalam Hindu dinyatakan dalam kehancuran dharma oleh adharma. Namun Tuhan yang Maha

Esa senantiasa memberikan perlindungan bagi umat-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci Bhagavadgita

IV.7 sebagai berikut :

Kapan saja dan dimana saja pelaksanaan Dharma merosot

dan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma merajalela,

pada waktu itulah Aku turun menjelma, wahai putra keluarga Bharata

Berdasarkan kutipan diatas, maka bila mana tingkat kejahatan semakin kuat dan proses kehancuran moral, etika dan

spiritual semakin keras, maka Tuhan Yang Maha Esa akan menunjukkan kekuasaan-Nya menyelamatkan manusia.

Bila ajaran moral, etika, spiritual yang berasal dari ajaran agama (dharma) yang hakekatnya adalah sabda Tuhan

Yang Maha Esa dilanggar oleh umat-Nya, maka Tuhan Yang Maha Esa akan senantiasa mengambil langkah untuk

menyelamatkannya. Langkah-langkah itu dapat berupa kehancuran yang akan mengingatkan kesalahan umat-Nya

dalam bertindak dan berbuat. Segala sesuatu tidak terlepas dari proses penciptaan, kelangsungan dan kehancuran.

Ketiga proses ini secara sederhana digambarkan sebagai lahir, hidup dan mati yang tidak dapat dihindarkan oleh

setiap sel maupun oleh setiap organisme. Ketiga proses ini di dalam Hindu disebut trikona : utpati, sthiti, pralaya,

yang sesungguhnya merupakan nafas brahman, Tuhan Yang Maha Agung.

Berdasarkan berbagai sumber, data dan informasi bahwa rekayasa genetika akan berimplikasi pada berbagai aspek

kehidupan manusia baik berdampak positif maupun negatif. Bila benar-benar bahwa rekayasa genetika berdampak

positif bagi hidup dan kehidupan manusia dan pelestarian alam termasuk juga keanekaragaman hayati, maka

rekayasa genetika itu dapat dikembangkan terus, tetapi bila ternyata berdampak negatif, tentu segera dihentikan dan

jangan membiarkan sampai korban keanekaragaman hayati semakin bertambah ataupun musnah sama sekali dari

alam semesta ini. Bila kehancuran hayati terjadi, maka sabda Tuhan di dalam veda menyatakan kekuasaan-Nya,

sebagai berikut :

“ Aku bentangkan busur untuk kelestarian alam semesta,

oleh karena itu anak panah-Ku akan menghancurkan kekuatan jahat.

Aku bangkitkan kesadaran di hati umat manusia untuk memerangi kejahatan.

Aku meresapi bumi dan langit. Tidak seorang pun melanggar

hukum-hukumKu yang abadi” (Rgveda X.125.6)


Dari sudut padang Hindu , segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran moral, etika, dan spiritual akan

menghancurkan diri dan peradaban manusia, demikian pula kita kaji implikasi rekayasa genetika, kloning dan

transplantasi dalam kaitannya dengan ajaran agama Hindu, tentu dalam beberapa hal bertentangan dengan ajaran

agama Hindu., misalnya memasukkan gen manusia pada tumbuih-tumbuhan dan binatang, sedang tumbuh-

tuymbuhan nantinya akan dikonsumsi oleh manusia. Maka paling tidak perasaan mereka yang berimana akan

tersinggung karena mereka memandang akan mengkonsumsi gen manusia., walaupun secara ilmiah gen-gen

manusia unsur-unsurnya sama saja dengan gen-gen tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula akan

menimbulkan kekeewaan yang sangat mendalam bagi umat Hindu yang berpantang makan makanann yang berasal

dari hewan (binatang), yakni kehidupan vegetarian yang umumnya dilakukan oleh orang-orang suci seperti sanyasin,

sadhu, yogi, pandita atau rohaniwan lainnya. Sangat berdosalah mereka apabila produk makanan yang dijual tanpa

isi label tentang asal usul unsur-unsur makanan itu apakah nabati atau hewani. Kita masih ingat terhadapa kasus

lemak babi yang muncul di Surabaya dan Bandung beberapa tahun silam, yang bila tidak ditangani dengan bijaksana

oleh pemerintah akan menjurus kepada masalah SARA yang dapat mengancam kehidupan, berbangsa dan bernegara.

Untuk itu peranana dant tanggung jawab moral, etika, dan spiritual cendikiawan, usahawan dan birokrat

(negarawan) sangat menentukan.

1. E. Permasalahan yang Timbul dari Penerapan Rekayasa Genetika, Kloning, Transplantasi


dan Pemecahannya

Teknologi rekayasa genetika sudah demikian maju. Berbagai penemuan telah diujicobakan dan akan terus dilakukan.

Beraneka ragam permasalahan yang timbul dari penerapan rekayasa genetika menghadang di depan kita. Di antara

berbagai permasalahan itu ada yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan ajaran agama, di antaranya

adalah masalah penyisipan atau trasnfer gen manusia pada tumbuhan dan hewan atau sebaliknya. Meningat

penyisipan gen manusia pada tumbuh-tumbuhan atau hewan yang akan dikonsumsi manusia, maka hal ini akan

merupakan masalah yang besar, sebab secara tidak langsung dipandang mengkonsumsi daging manusia yang

disisipkan pada tumbuhan dan hewan tersebut dan bila dugaan ini benar, maka manusia akan kehilangan

kemanusiaannya. Ia akan menjadi raksasa pemakan manusia atau kanibalisme. Fenomena ini jelas sebuah

dehumanisasi. Permasalahan lainnya adalah sistem cangkok, tempel, gunting dan menyisipkan gen dari satu

organisme ke organisme lain, mengkloning dan sejenisnya yang akan menciptakan mahluk hidup baru dan bila

mahlukitu lahir tidak terkendalikan hidupnya, ia akan menjadi musuh yang besar bagi umat manusia.

Di dalam kitab suci Veda dapat ditemukan tentang dewa Aśvina (dibaca Aśvin), devata kembar, yang sangat tampan

dan selalu awet muda (Rgveda VII.67.10/Taittriya Samhita VII.2.7.2) bahkan dewa termuda di antara semua dewa-

dewa dalam Veda. Mereka keduanya disebut dokter ke-devatā-an, atau dokter khayangan (divine physicians

(Rgveda VIII.22.10 dan yang lain), yang memberi pengobatan terhadap penyakit, memperbaiki penglihatan

seseorang (Rgveda I.116.16), menyembuhkan seseorang buta, sakit dan mengembalikan mereka yang cacat menjadi
normal (Rgveda X.39.3). Mereka merupakan dokter khayangan, penjaga keabadian, yang menjauhkan kematian bagi
pemujanya. Disebut sebagai penolong yang sangat cepat dan membebaskan para dari penderitaan pada umumnya

(Rgveda I.112.2, I.118.3). Dewa Aśvin menyelamatkan dari keadaan yang membahayakan, merupakan satu wujud

devata yang memberikan kedamaian disebutkan dalam Gopatha Brāhmana Uttarabhāga (II.6). Cukup banyak

legenda yang menggambarkan kemampuan untuk membantu para dewa di khayangan ditunjukkan dalam kitab suci

Rgveda. Rsi Cyavāna, ketika umurnya bertambah tua dan kehausan di padang gurun, dewa Aśvin memberi

pertolongan, menghindarkan dari kekeringan, memperpanjanbg umuryang bersangkutan dan bahkan

memulihkannya kembali menjadi awet muda dan memenuhi keinginannya untuk bertemu istrinya dan bahkan

menjadi suami bagi istri yang juga kembali muda (Rgveda I.116.10). Cerita lebih mendetail tentang bagaimana rsi

Cyavāna dikembalikan menjadi muda oleh dewa Aśvin disebutkan dalam kitab Satapatha Brāhmana (IV.1.5). Aśvin

juga memperbaharui dan mengembalikannya menjadi muda Kali yang sudah semakin tua (Rgveda X.39.8) dan

menjadikan sahabatnya serta mencarikan gadis sebagai istrinya. Mereka berdua memperbaiki wajah Visnāpu, yang

nampaknya bagaikan binatang terlantar, juga memperbaiki penglihatan penyembahnya bernama Viśvaka, putra

Krsna (Rgveda I.116.23, I.117.20, X.65.12), yang menurut para komentator Vedan adalah ayahnya sendiri. Mereka

menyelamatkan rsi Atri Saptavadhri yang bersama pengikutnya tercebur ke dalam nyala api dalam sebuah

jambangan besar karena tipu muslihat seorang raksasa. Mereka mengambilnya, dan memberikkan kesejukan,

menyegarkan tubuhnya dari kebakaran, melindungi tubuh yang terbakar, akhirnya membebaskannya dari

penderitaan dan mengembalikannya menjadi muda dan kuat. Aśvin juga memperbaiki penglihatan Rijjrāśva uang

buta karena siksaan ayahnya (Rgveda I.116.16, I.117.17-18). Mereka juga menyembuhkan kerusakan dan kebutaan

mata serta ratapan Parāvrj (Rgveda I.112.8). Ketika kaki Viśpalā (seorang komandan tempur) dipatahkan dan

potongan kakinya terlempar seperti terbangnya kedua sayap burung, dewa Aśvin mengganti kakinya dengan kaki dari

besi, sehingga pasukan tetap maju di bawah perintahnya (I.116.15). Menurut pendapat Bergaigne dan sarjana

lainnya, berbagai keajaiban dan mujizat yang ditunjukkan oleh dewa Aśvin adalah perwujuadan dari antripmorphic

dari gejala matahari dan sinarnya (Macdonell, 1981:50-51). Pendapat tentunya dapat diterima, karena Aśvin adalah

salah satu aspek ata abhisekanāma dari dewa Surya,namun dalam kaitannya dengan topik makalah ini, paling tidak

zaman Veda atau ketika Veda dituliskan kembali, sudah terdapat informasi berbagai hal tentang pengobatan, operasi

pergantian kaki, dan kemungkinan transplantasi sudah juga dilaksanakan.

Lebih jauh tentang dewa Aśvin, kitab Mahābhārata, Sabhaparva (81.14) menyebutkan bahwa dewa ini memberikan

anugrah kebaikan hati dan ketampanan/kecantikan kepada para penyembahnya bilamana mereka bersedia mandi

sekali saja pada Aśvinda-tirtha. Upamanyu, yang jatuh ke sumur dan menjadi buta, dapat kembali normal dengan

memuja dewa Aśvin (Mahābhārata, Adiparva, 3). Banyak lagi peranan dewa Aśvin dalam kitab Mahābhārata,

demikian pula hal yang sama dapat ditemukan di dalam kitab-kitab Purana.

Di dalam mitologi Hindu kita temukan berbagai cerita tentang mahluk baru yang diciptakan oleh dewa-dewa. Di

antara mahluk ciptaan baru tersebut adalah Ganeśa, devatā berbadan manusia berkepala gajahyang kelahirannya
diuraikan dalam berbagai versi, utamanya menurut kitab-kitab Purana, termasuk pula kitab Uttara Rāmāyana. Dari
berbagai versi cerita kelahiran Ganeśa terdapat versi transplantasi, yakni ketika kepala dewa Ganeśa yang semula

berwujud manusia, kemudian dipenggal dan disambungkan dengan kepala gajah (Titib, 2003: 337-352). Demikian

pula halnya Hayagriva, devata berbadan manusia berkepala kuda (Titib, 2003: 69).

Di dalam Kālatattwa (cerita kelahiran Bhattara Kala), pada suatu hari dewa Siva bercengkerama di angkasa bersama

saktinya dewiUmā, tanpa disadari oleh dewa Siva, spermanya jatuh ke laut dan di dalam laut ternyata benih dewa

Siva berubah wujud menjadi Bhttara Kāla, yakni monster laut yang sangat mengerikan. Kemudian monster ini

terbang ke angkasa dan bahkan ke sorga mengejar para dewa yang tunggang langgang berlarian. Monster ini

mengamuk di sorga dan menghancurkan sorga. Syuikur situasi itu dapat diatasi oleh dewa Siva shingga Kāla dapat

ditundukkan.

Versi yang hampir sama dengan kekawin Bhomāntaka yang menguraikan raksasa (monster) bernama Bhoma lahir

karena perkawinan Visnu yang berwujud babi dengan dewi Prthivi (Pertivi). Akibat perkawinan yang tidak normal ini

lahirtlah monster raksasa yang sangat menakutkan yang kemudian menghancurkan bumi dan sorga. Syukur Bhoma

dapat dibunuh oleh Sri Krsna. Episode ceritra-cerita tentang monster banyak diketemukan dalam kitab-kitab Purana,

yakni cerita-cerita keagamaan kuno. Di India versi lainnya adalah lahirnya Ganeśa, manusia berkepala gajah yang

bijaksana dan menolong para dewa dari serangan raksasa bernama Nilarudraka. Monster lainnya

adalah kirttiomukha, raksasa yang muncul atas kemarahan dewa Siva (Padma Puaran, Uttarakhanda 50/Mani,

1989:412). Demikian pula halnya Sikhandi yang berubah kelamin menjadi laki-laki (Mani, 1989:28), Yayāti menjadi

muda kembali (Mani, 1989:897) dan lain-lain.

Demikian pula kelahiran 100 putra Kaurava pada hari bersamaan yang sebelumnya muncul berupa gumpalan daging

dari perut dewi Gandhari dan gumpalan itu pecah menjadi seratu pacahan besar dan kecil-kecil dan atas

nasehat mahārsi Vyāsa gumpalan daging itu diperam dengan minyak susu, dimasukkan masing-masing ke dalam

100 buah belanga, ditempatkan pada tempat yang tertutup dan diperciki degan ari dingin dari gumpalan daging

tersebut. (Mahābhārata, Adiparva 114.20). Peristiwa ini mengingatkan kita dengan teknologi kloning yang

berkembang dewasa ini, dan akibat yang ditimbulkan oleh 100 putra Kaurava adalah kerajaan Hastinapura hancur

berantakan karena terjadinya perang Bharatayuddha, yang diawali oleh sifat dan keserakahan 100 Kaurava tersebut.

Rupanya rekayasa genetika yang dilakukan oleh para dewa (cendekiawan) apalagi tidak dilandasi dengan niat yang

suci dapat menghancurkan kehidupan seluruh mahluk di jagat raya ini. Bila pakar bioteknologi ternyata menciptakan

organisme-organisme yang membahayakan dunia, maka cerita-cerita mitologi Hindu ini tidaklah fiksi belaka,

melainkan adalah kenyataan.

Permasalahan lainnya adalah bayi klon yang juga direkayasa tanpa melalui lembaga perkawinan yang sah atau

dibenarkan menurut ajaran agama. Bayi-bayi yang lahir ini tentunya akan menimbulkan permasalahan tentang
status hukumnyadan hal-hal lebih mengerikan bila pada diri anak-anak itu dimasuki roh-roh raksasa yang tentunya
akan sulit dikendalikan. Permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak negatif bioteknologi lainnya adalah organisme

baru hasil rekayasa juga akan mengacam organisme yang telah eksis sebelumnya di muka bumi ini. Lenyapnya

sumber hayati di bumi ini atas ulah manusia, juga merupakan dosa besar karena telah menghancurkan ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa. Segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya tidak merugikan bagi diri manusia jika

dikaji lebih jauh dan mendalam.

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kemampuan para pakar bioteknologi merekayasa segala sesuatunya itu

benar-benar bermanfaat bagi kehidupan manusia tanpa mengorbankan mahluk hidup yang lain. Adapun kunci

permasalahan dapat disederhanakan adalah para pakar bioteknologi hendaknya senantiasa berpegang kepada ajaran

moral, etika dan spiritual sebagai pengejawantahan dari ajaran agama. Bila para pakar telah berpegang kepada

kaidah-kaidah moral, etika dan spiritual, tentu mereka tidak akan bertindak sewenang-wenang, bertanggung jawab,

tidak merugikan kehidupan manusia atau bahkan mahluk lain sekalipun. Pakar yang demikian disebut sebagai pakar

yang arif dan bijaksana yang mempertanggungjawabkan karyanya tidak saja kepada umat manusia, tetapi lebih tinggi

dari itu yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1. F. Paten pada Bentuk-Bentuk Kehidupan

Paten adalah bentuk penghargaan terhadapa hak milik intelektual (HMI) atau Intelectual Property Right (IPR) yang

dalam beberapa hal bertentangan dengan konsep nilai-nilai dalam banyak kebudayaan yang menghormati nilai

intrinsik mahluk hidup dan bertentangan dengan hak masyarakat untuk menggunakan dan mengembangkan daya

tradisional mereka (Irwan Julianto, 1995). Berdasarkan pengertian ini maka hak paten sepertinya tidak nampak pada

masyarakat tradisional. Dalam masyarakat tradisional, kolektivitas merupakan suatu yang menentukan. Seseorang

akan mendapatkan penghargaan bila ia bersamadan senantiasa berada dalam masyarkat serta hasil karyanya dapat

dinikmati atau ditiru oleh sebagian anggota masyarakatnya.

Dalam masyarakat tradisional seperti halnya masyarakat di Bali, kita tidak mengetahui siapa yang menciptakan atau

menemukan sesuatu di balik berbagai kreativitas seperti halnya produk seni. Kita tidak tahu siapa arsitek pura yang

besar-besar dan megah-megah di daerah ini. Demikian pula siapa seniman ukir pembuat patung yang gagah perkasa

yang dipajangkan di sebuah pura. Siapakah pencipta tarian barong, tari rejang, baris, panyembrama dan sebagainya.

Bagi para seniman (arsitek, pangrawit, koreografer, dan lain-lain) mereka sangat bahagia bila karya mereka dapat

memberikan kepuasan bagi khalayak. Pada mulanya karya seniman Bali diabdikan untuk keagungan agamannya,

artinya semua karya itu pada mulanya adalah karya persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para dewa

manifestasi-Nya dan para leluhur di pura. Kini karya seniman itu tidak hanya untuk kepentingan spiritual atau

agama, melainkan sudah menjadi komoditi yang dapat dinikmati oleh siapa saja yang berminat utamanya adalah

wisatawan yang datang ke bali. Di masa lalu, seniman Bali tidak mengenal hak paten karena mereka percaya dengan

ditiru oleh banyak orang dan dinikmati banyak orang merupakan penghargaan yang tinggi terhadap semua karya
seni. Kini pandangan itu walaupun tidak semuanya lenyap, dengan ditetapkannya Undang-undang Hak Cipta (1989),
para seniman mulai berangsur-angsur mendaftarkan karyanya, walaupun tidak seluruh seniman setuju dengan

Undang-Undang ini. Mereka rela saja karyanya dijiplak oleh pihak lain.

Sejalan dengan pandangan di atas, maka hak paten pada bentuk-bentuk kehidupan adalah tidak mendasar, karena

kehidupan itu bukan milik dari penemunya. Kehidupan adalah milik Tuhan Yang Maha Esa, bila para pakar mampu

merekayasa lahirnya organisme tertentu, dia bukanlah pencipta kehidupan itu sendiri seperti yang

diungkapkan Ananda Mohan Chakravarty, ketika dia mempatenkan penemuan bakteri Psedomonas yang telah

direkayasa genetika (1971). Ia mengambil plasmida dari tiga jenis bakteri dan menanamkannya ke dalam satu jenis

bakteri lain. Ia sendiri menjelaskan : “ saya hanya mempertukarkan gen dan mengubah bakteri yang sudah ada”

(Vandana Shiva: 1994: 11), jadi ia bukanlah menciptakan kehidupan.

Bila kehidupan itu tidak dicptakan atau ditemukan oleh pakar bioteknologi, maka kita bisa memahami, bahwa yang

dipatenkan itu adalah teknik penemuannya, dengan demikian karya itu adalah karya seorang pakar bioteknologi

dalam mengungkap sesuatu dari misteri alam yang maha luas.

Selanjutnya bila kita kaitkan dengan ajaran agama Hindu, maka pernyataan yang diungkapkan sendiri oleh pakar

bioteknologi (Ananda Mohan Chakrvarty), bahwa dia secara tidak langsung mengatakan ia bukan pencipta

kehidupan, maka bila kita kaitkan dengan ajaran agama Hindu, kehidupan adalah milik Tuhan Yang Maha Esa,

beliaulah yang kuasa atas hidup dan kehidupan kita. Dapatkah seorang kini merekayasa tentang kapan seseorang

akan mati atau hidup kembali? Dalam ajaran agama Hindu, hidup mati seseorang tergantung karma yang

bersangkutan. Kapan karma itu berakhir? Semuanya itu berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Umat manusia

tidak dapat memahami rahasia-Nya.

Kitab suci Veda mengamanatkan seseorang hendaknya maju terus mengejar ilmu pengetahuan, karena Tuhan yang

Maha Esa menganugrahkan kepada umat-Nya dua hal, yaitu : Kekuatan dan kecerdasan (Atharvaveda VIII.1.4).

Dengan kecerdasan yang dimiliki maka umat manusia wajib mengembangkan IPTEK. Untuk itu dalam memecahkan

rekayasa genetika, seseorang hendaknya kembali kepada iman dan takwa sebab dengan iman (sraddhā) dan takwa

(bhakti) ini seseorang tidak akan berani berbuat untuk merugikan siapa saja, dirinya sendir apalagi terhadap mahluk

lain. Pertanggungjawaban tertinggi hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti dinyatakan dalam

kitab Chandogya Upanisad (VII.19.1), hanya dengan iman dan takwa seseorang akan berhasil melaksanakan tugas

dan kewajiban serta tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1. G. Antisipasi Umat Hindu terhadap Perkembangan IPTEK

Dengan merenungkan kembali manfaat IPTEK, maka kita menyadari tentang penggunaan atau manfaat IPTEK itu.

Telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini IPTEK ibarat pisau bermata dua, di satu pihak akan sangat
bermanfaat bila didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, kemakmuran dan kebahagiaan umat

manusia, tetapi disisi lainnya akan sangat tidak ada gunanya jika IPTEK menjerumuskan umat manusia pada jurang
kehancuran, misalnya seperti bom nuklir atau bom kimia yang dapat menghancurkan umat manusia yang tidak

berdosa, mahluk hidup yang lain dan kerusakan alam pada lokasi bom itu diledakkan atau di-ujicobakan. Dari media

massa kita bisa mendapatkan informasi tentang aktivitas pencinta perdamaian dan lingkungan menentang berbagai

percobaan nuklir, menunjukkan bahwa kemajuan IPTEK akan sangat berbahaya bila digunakan untuk tujuan-tujuan

yang tidak menguntungkan umat manusia.

Dalam pengembangan IPTEK tentunya umat beragama punya tanggung jawab moral, etika, dan spiritual untuk

menjaga pengembangan IPTEK khususnya yang dikembangkan oleh para pakar bioteknologi untuk tidak

mencampuradukkan berbagai gen dan menciptakan organisme yang kemudian menjadi monster-monster yang

mengancam kelestarian alam dan kesejahteraan umat manusia. Umat beragama kiranya dapat mengantisipasi

kemajuan IPTEK dengan kembali kepada makna IPTEK ditinjau dari sudut pandang agama, yaitu : untuk

mendekatkan diri manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan belajar dari ciptaan-Nya yang mengagumkan dan

untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan kebahagiaan umat manusia. Sepanjang IPTEK bermanfaat untuk

meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan kecerdasan dan keluhuran budi pekerti serta tanggung

jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, umat manusia dan segala ciptaan-Nya, maka agama sangat mendorong

kemajuan IPTEK, tetapi IPTEK yang disalahgunakan untuk menghancurkan umat manusia, berbagai mahluk hidup

serta alam ciptaan-Nya maka IPTEK itu hendaknya ditinggalkan. Untuk itu kitab suci Veda mendorong umat-Nya

untuk senantiasa kreatif dan selalu maju seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda berikut :

“ Wahai umat manusia, maju teruslah kamu, jangan mundur. Aku anugrahkan dua hal yaitu : Kekuatan dan

kecerdasan”

(Atharvaveda VIII.1.6)

“ Wahai umat manusia maju dan naiklah, jangan turun dan mundur. Semoga engkau dapat memecahkan ikatan

kematian”

(Atharvaveda VIII.1.4)

“ Wahai umat manusia majulah kamu dari kegelapan pikiran, menuju cahaya yang terang” (Atharvaveda VIII.1.8)

“ Wahai umat manusia, bangkitlah dan tataplah ke depan”

(Atharvaveda X.179.1)

“Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa, membuat kemajuan di bumi dengan menurunkan ilmu pengetahuan dan

kebijaksanaan dan tingkah laku yang bertanggung jawab / terpuji” (Rgveda X.29.7)
Berdasarkan kutipan tersebut, umat beragama, khususnya mengantisipasi dampak IPTEK adalah dengan jalan

kembali kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab suci veda maupun susastra Hindu lainnya. Demikian pula

dapat dijumpai sebuah adigium di dalam Hindu yang menyatakan : “Bukanlah seorang maharsi (muni /

cendekiawan) bila ia tidak memberikan pendapat (tafsir kembali) terhadap apa yang dipahami mereka”. Jadi

pengkajian terhadap ajaran agama dengan menyingkapi makna ilmu pengetahuan dan teknologi serta manfaat

penjelmaan dapat mengantar seseorang mencapai kebahagiaan.

1. H. Simpulan

Mengakhiri tulisan ini ketengahkan beberapa kesimpulan terhadap kemajuan perkembangan IPTEK, khususnya

bioteknologi dewasa ini, disatu pihak menjadi harapan yang sangat didambakan untuk meningkatkan kecemasan

atau kekhawatiran terhadap keselamatan hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan termasuk keanekaragaman

hayati, sebagai berikut :

1. Agama Hindu memandang bahwa menjelma sebagai manusia adalah kesempatan yang terbaik, sebab
diantara berbagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, hanya manusialah yang memiliki kemampuan
untuk menilai sesuatu, membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah serta dapat menghargai
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Hidup dan kehidupan manusia adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Semua mahluk hidup dijiwai oleh
ātman, yakni percikan dari paramātman, ātman tertinggi yang tidak lain adalah Brahman, Tuhan yang Maha
Esa yang memiliki ribuan nama yang ditujukan kepada-Nya. Ātman yang menghidupkan (memberikan
nyawa) kepada semua mahluk, dari mahluk yang paling sempurna sampai yang susunan tubuhnya
sederhana (satu sel) disebut jīva atau jivātman.
3. Dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan sebagai dewi Sarasvatī, dewi ilmu pengetahuan
dan teknologi, namun pengembangan IPTEK tidak boleh bertentangan dengan ajaran moral, etika dan
spiritual yang bersumber pada ajaran agama.
4. Rekayasa genetika yang dikembangkan oleh pakar bioteknologi akan berimplikasi pada berbagai aspek
kehidupan manusia baik yang berdampak positif hendaknya dikembangkan sedang yang berdampak negatif
yang merugikan kehidupan umat manusia, tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam hendaknya dicegah
dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknyaa. Untuk itu tanggung jawab moraal, etika dan spiritual para pakar
bioteknologi, tidak saja dihadapkan kepada masalah kemanusiaan , tetapi yang penting adalah kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
5. Permasalahan rekayasa genetika (khususnya cloning, transplantasi termasuk bayi tabung) yang bila
dilaksanakan atas dasar himśakarma dan bertentangan dengan ajaran agama secara mantap niscaya hal-hal
yang negatif itu dapat dicegah dengan baik.
6. Kloning terapeutik dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran ahimśa, sedang cloning
reproduksi kiranya tidak dapat diterima karena hala tersebut akan berimplikasi dan bertentangan dengan
ajarn agama, etika-moralitas, hokum dan sosial budaya
7. Paten bentuk-bentuk kehidupan adalah tidak berdasar, karena kehidupan bukanlah milik penemunya.
Kehidupan adalah milik Tuhan Yang Maha Esa, bila pakar bioteknologi mampu merekayasa lahirnya
organisme tertentu, maka dia bukanlah pencita kehidupan itu.
8. Dalam pengembangan IPTEK, umat beragama punya tanggung jawab moral, etika dan spiritual untuk
mengantisipasi berbagai dampak negatif yang muncul, untuk itu setiap orang telah dikaruniai kekuatan dan
kecerdasan hendaknya diarahkan pada karya posiytif yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan terpeliharanya
kelestarian alam lingkungan.

Daftar Pustaka

1. Bertens, K. 2003. Pertimbangan Etika Sekitas Kloning Reproduktif dan Kloning Terapeutik, Majalah
Kedokteran Atmajaya, Vol.2 No.2, Jakarta: Universitas Kristen Atmajaya.
2. Bose, Abhinash Candra, 1988. The Call of the Vedas, Bombay: Bharathiya Vidya Bhavan
3. Dvivedi, Kapil Deva. 1990. The Essence of the Vedas, Gyanpur, Varanasi, India : Vishva Bharati Research
Institute.
4. Hartiko, Hari, dkk. 1995. Bioteknologi dan Keselamatan Hayati, Jakarta : Konphalindo.
5. Macdonell, Arthur Anthony.1981. Vedic Mythology, New Delhi, : Motilal Banarsidass.
6. Mani, Vettam. 1989. Purānic Encyclopedia, New Delhi, : Motilal Banarsidass.
7. Pendit, Nyoman S. 1978. Bhagavadgita, Jakarta: Tim Penerjemah Kitab Suci Veda, Ditjen. Bimas Hindu dan
Buddha, Dep. Agama R.I.
8. Radhakrishan, S. 1990. The Principals of Upanisads, Bombay : Oxford University Press.
9. Shiva, Vandana. 1994. Can life be made? Can life be owned, Pune: Parisar Annual Lecture.
10. Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya: Paramita.
11. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabay: Paramita

Anda mungkin juga menyukai