Anda di halaman 1dari 49

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat ( STBM )

Sanitasi total berbasis masyarakat dilatarbelakangi dengan adanya

kegagalan dalam program pembangunan sanitasi pedesaan. Dari beberapa studi

evaluasi terhadap beberapa program pembangunan sanitasi pedesaan didapatkan

hasil bahwa banyak sarana yang dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh

masyarakat. Banyak faktor penyebab mengenai kegagalan tersebut, salah satu

diantaranya adalah tidak adanya demand atau kebutuhan yang muncul ketika

program dilaksanakan (Hasibuan, 2009).

STBM adalah sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi pedesaan.

Pendekatan ini berawal di beberapa komunitas di Bangladesh dan saat ini sudah

diadopsi secara massal di negara tersebut. Bahkan India, di satu negara bagiannya

yaitu Provinsi Maharasthra telah mengadopsi pendekatan STBM ke dalam

program pemerintah secara massal yang disebut dengan program Total Sanitation

Campaign (TSC). Beberapa negara lain seperti Cambodja, Afrika, Nepal, dan

Mongolia telah menerapkan dalam porsi yang lebih kecil ( Kemenkes RI, 2014).

Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat ( STBM ) dengan lima

pilar akan mempermudah upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang

lebih baik serta mengubah dan mempertahankan keberlanjutan budaya hidup

bersih dan sehat. Pelaksanaan STBM dalam jangka panjang dapat menurunkan

angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik,

dan dapat mendorong tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Perubahan perilaku dalam STBM dilakukan melalui metode pemicuan yang

7
Universitas Sumatera Utara
8

mendorong perubahan perilaku masyarakat sasaran secara kolektif dan mampu

membangun sarana sanitasi secara mandiri sesuai kemampuan (Permenkes RI,

2014).

Kegiatan utama dari gerakan STBM yang dilakukan adalah merubah

perilaku masyarakat agar tidak BAB sembarangan. Kegiatan yang dilaksanakan

berupa intervensi dengan melakukan diskusi, mapping, transect walk, simulasi

penularan penyakit dari tinja dengan tujuan menimbulkan rasa jijik, malu, takut

sakit untuk merubah kebiasaan BAB sembarangan. Karena dengan merubah

perilaku masyarakat untuk tidak buang air besar sembarangan merupakan suatu

jalan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Hasibuan, 2009).

Pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat adalah pendekatan untuk

mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan

cara pemicuan. Pendekatan partisipatif ini mengajak masyarakat untuk

menganalisa kondisi sanitasi melalui proses pemicuan yang

menyerang/menimbulkan rasa ngeri dan malu kepada masyarakat tentang

pencemaran lingkungan akibat BABS.

Prinsip pendekatan STBM adalah keterpaduan antara komponen

peningkatan kebutuhan (demand), perbaikan penyediaan (supply) sanitasi dan

penciptaan lingkungan yang mendukung (enabling environment), namun

pelaksanaannya perlu dipertimbangkan komponen pendukung lainnya seperti

strategi pembiayaan, metoda pemantauan dan pengelolaan pengetahuan/informasi

sebagai media pembelajaran ( Kemenkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


9

Pemda yang juga sangat mendukung yaitu NTB, dengan dikeluarkannya

Peraturan Gubernur NTB tentang Buang Air Besar Sembarangan No (BASNO)

yang dilengkapi dengan adanya sanksi bagi siapa yang melanggarnya. Adanya

bantuan kemudahan dari lintas sektor seperti perbankan dalam hal pemberian

pinjaman untuk wirausahawan sanitasi sehingga masyarakat mudah mendapatkan

kebutuhan sanitasinya ( Kemenkes, 2014).

Secara umum dikatakan, bayi usia di bawah 2 tahun yang menderita diare

sedang sampai diare berat setiap tahun mengalami gangguan pertumbuhan

dibandingkan dengan bayi usia dua tahun yang lain. Dari sudut pandang ekonomi,

studi yang dilakukan oleh Water and Sanitation Program ( WSP ) 3 menunjukkan

bahwa Indonesia kehilangan sekitar 6,3 milyar USD (Rp. 56,7 trilyun) setiap

tahun sebagai akibat kondisi sanitasi dan higiene jelek ( setara dengan 2,3% Gross

Domestic Product/GDP ).

Laporan kemajuan Millennium Development Goals ( MDGs ) yang

disusun Bappenas tahun 2010 menunjukkan bahwa perbaikan akses masyarakat

pedesaan kepada jamban sehat ( MDGs target 7.C ) tergolong ke dalam kelompok

target yang perlu memperoleh perhatian, karena kecepatan perbaikan tidak

mencapai yang diharpkan. Dari target akses sebesar 55,6% pada tahun 2015 untuk

pedesaan, pada tahun 2009 masyarakat yang mempunyai akses ke jamban sehat

hanya 34%. Terdapat kesenjangan 21% yang harus dicapai selama tiga tahun.

Rata-rata capai tiap provinsi tahun 2015 sebesar 32,63%. Baik secara

kumulatif maupun proporsi, 7 provinsi dengan realisasi desa/kelurahan yang

melaksanakan STBM tertinggi yaitu Provinsi Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kep.

Universitas Sumatera Utara


10

Bangka Belitung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa

Tenggara Barat. Hal ini terjadi disebabkan provinsi-provinsi tersebut termasuk

dalam 13 provinsi prioritas pertama dalam pengintervensian karena memiliki

jumlah penduduk yang cukup tinggi. Selain itu dalam hal pemetaan wilayah dan

penduduk juga masuk dalam klasifikasi mudah sehingga menjadi lokasi

pengintervensian prioritas pertama (Depkes RI, 2015).

Sampai saat ini praktek sanitasi di masyarakat sangat memprihatinkan,

dari hasil studi Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP)

tahun 2006 menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar

(BAB) sembarangan, sementara itu berdasarkan studi Basic Human Service (BHS)

ditahun yang sama menghasilkan data bahwa perilaku masyarakat terhadap pola

Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah setelah buang air besar 12%, setelah

membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, sebelum memberi

makan bayi 7% dan sebelum menyiapkan makanan 6%, merebus air untuk

mendapatkan air minum tapi 47,50% air tersebut mengandung Echericia coli

(E.coli), belum lagi kesadaran masyarakat untuk membuang sampah dan limbah

rumah tangga dengan aman masih rendah (Depkes RI, 2008).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, yang dimaksud dengan STBM adalah

pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan

masyarakat dengan cara pemicuan. Penyelenggaraan STBM bertujuan untuk

mewujudkan perilaku yang higienis dan saniter secara mandiri dalam rangka

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.1 Sejarah STBM

Jauh sebelum Indonesia merdeka, program sanitasi sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Berdasarkan catatan pejabat VOC Dampier, pada tahun 1699 masyarakat Indonesia sudah terbiasa mandi ke

sungai dan buang air besar di sungai dan di pinggir pantai, sedangkan pada masa itu, masyarakat di Eropa dan

India masih menggunakan jalan-jalan kota atau air tergenang untuk BAB. Di tahun 1892, HCC Clockener

Brouson mencatat bahwa orang Indonesia terbiasa mandi 3 kali sehari, menggunakan bak, menyabun,

membilas dan mengeringkan badannya (Kemenkes, 2014).

Pada akhir tahun 1800an, pemerintah Belanda sudah membuat sambungan air ke rumah-rumah di

kawasan komersial di Jakarta dan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Bandung pada tahun

1916. Selanjutnya di tahun 1930, mantri hygiene Belanda, Dr. Heydrick melakukan kampanye untuk BAB di

kakus. Dr. Heydrick sendiri dikenal sebagai mantri kakus. Di tahun 1936, didirikanlah sekolah mantri

higienis di Banyumas. Siswa mendapatkan pendidikan 18 bulan sebelum mereka diterjunkan ke

kampung-kampung untuk mempromosikan hidup sehat dan melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit.

Setelah merdeka, pemerintah mencanangkan program Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga

(SAMIJAGA) melalui Inpres No. 5/1974. Untuk mendapatkan sumber daya manusia dalam melaksanakan

program-program tersebut, Kementerian Kesehatan mendirikan sekolah-sekolah kesehatan lingkungan, yang

sekarang dikenal dengan nama Politeknik Kesehatan (Poltekes). Periode 1970-1997, pemerintah melakukan

beragam program pembangunan sanitasi. Program-program tersebut umumnya dilakukan dengan pendekatan

keproyekan, sehingga faktor keberlanjutannya sangat rendah.

Hal ini secara tidak langsung menyebabkan rendahnya peningkatan akses sanitasi masyarakat. Hasil

studi ISSDP mencatat hanya 53% dari masyarakat Indonesia yang BAB di jamban yang layak pada tahun

2007, sedangkan sisanya BAB di sembarang tempat. Lebih jauh hal ini berkorelasi dengan tingginya angka

diare dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak bersih.

STBM merupakan adopsi dari keberhasilan pembangunan sanitasi total

dengan menerapkan model CLTS (Community-Led Total Sanitation ). Pendekatan

CLTS sendiri diperkenalkan oleh Kamal Kar dari India pada tahun 2004. Di tahun

yang sama, Pemerintah Indonesia melakukan studi banding ke India dan

Bangladesh. Penerapannya dimulai pertengahan tahun 2005, ketika pemerintah

Universitas Sumatera Utara


12

meluncurkan penggunaan metode ini di 6 desa yang terletak di 6 provinsi. Pada

Juni 2006, Departemen Kesehatan mendeklarasikan pendekatan CLTS sebagai

strategi nasional untuk program sanitasi.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan keberlanjutan program dan tingkat keberhasilan yang ingin

dicapai, pemerintah melakukan perubahan pendekatan pembangunan sanitasi, dari keproyekan menjadi

keprograman. Pada tahun 2008, pemerintah mencanangkan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

STBM yang tertuang dalam Kepmenkes tersebut menekankan pada

perubahan perilaku masyarakat untuk membangun sarana sanitasi dasar dengan

melalui upaya sanitasi meliputi tidak BAB sembarangan, mencuci tangan pakai

sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah dengan

benar, mengelola limbah air rumah tangga dengan aman. Ciri utama dari

pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban

keluarga), dan tidak menetapkan jamban yang nantinya akan dibangun oleh

masyarakat. Pada dasarnya program STBM ini adalah “pemberdayaan” dan “tidak

membicarakan masalah subsidi”. Artinya, masyarakat yang dijadikan “guru”

dengan tidak memberikan subsidi sama sekali.

STBM mulai diuji coba tahun 2005 di 6 kabupaten (Sumbawa, Lumajang,

Bogor, Muara Enim, Muaro Jambi, dan Sambas). Sejak tahun 2006 Program

STBM sudah diadopsi dan diimplementasikan di 10.000 desa pada 228

kabupaten/kota. Saat ini, sejumlah daerah telah menyusun rencana strategis

pencapaian sanitasi total dalam pembangunan sanitasinya masing-masing. Dalam

5 tahun ke depan (2010 – 2014) STBM diharapkan telah diimplementasikan di

20.000 desa di seluruh kabupaten/ kota.

Adanya dukungan yang besar dari pemerintah pun tak lepas dari

Universitas Sumatera Utara


13

keberhasilan pencapaian tersebut, seperti diterbitkannya Surat Edaran Gubernur

Jawa Timur No. 440/11841/031/2013 tanggal 21 Juni 2013 tentang Pelaksanaan

Program STBM yang ditindaklanjuti dengan instruksi Bupati se-provinsi Jawa

Timur, adanya kecukupan alokasi anggaran, bersinergi dengan lintas sektor, lintas

program serta mitra terkait termasuk lembaga swadaya masyarakat serta

perguruan tinggi, terbangunnya komitmen di tingkat kabupaten/kota untuk

menindaklanjuti kebijakan dan komitmen di tingkat provinsi, sosialisasi yang

intensif tentang STBM termasuk jamban murah melalui kegiatan wirausaha

sanitasi, melakukan monitoring dan evaluasi secara ketat dan terus menerus,

melaksanakan kegiatan yang memiliki daya ungkit besar misalnya gotong royong.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Proporsi RT di Indonesia

menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 76,2%, milik bersama sebanyak

6,7%, dan fasilitas umum adalah 4,2%. Masih terdapat RT yang tidak memiliki

fasiltas BAB/BABS, yaitu sebesar 12,9%. Lima provinsi tertinggi RT yang tidak

memiliki fasilitas BAB/BABS adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%),

Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%). Proporsi RT

yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP

WHO–Unicef) di Indonesia adalah sebesar 58,9%. Lima provinsi tertinggi

proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah DKI

Jakarta (78,2%), Kepulauan Riau (74,8%), Kalimantan Timur (74,1%), Bangka

Belitung (73,9%), dan Bali (75,5%).

Kemudian pada tahun 2008 lahir Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)

sebagai strategi nasional. Strategi ini pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka

Universitas Sumatera Utara


14

memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat,

mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan

masyarakat, serta mengimplementasikan komitmen Pemerintah untuk

meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar yang berkesinambungan dalam

pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

2.1.2 Program STBM

STBM adalah sebuah pendekatan untuk memperbaiki kesehatan

lingkungan masyarakat, mengubah perilaku higienis dan saniter melalui

pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan ( Permenkes RI, 2015 ).

STBM meliputi lima indikator kesehatan lingkungan (pilar):

1. Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)

Stop buang air besar sembarangan adalah kondisi ketika setiap individu

dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan perilaku buang air besar

sembarangan dan menggunakan jamban ramah lingkungan (tidak dibuang

permukaan tanah atau badan air).

2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

Cuci tangan pakai sabun adalah perilaku cuci tangan menggunakan air

bersih yang mengalir dan sabun pada waktu yang tepat termasuk sesudah BAB.

3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMM-RT)

Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga (PAMM-RT) adalah

suatu proses pengolahan, penyimpanan dan pemanfaatan air minum dan air yang

digunakan untuk produksi makanan dan keperluan oral lainnya, serta pengelolaan

Universitas Sumatera Utara


15

makanan yang aman di rumah tangga yang meliputi 5 (lima) kunci keamanan

pangan yakni:

1. Menjaga kebersihan

2. Memisahkan pangan matang dan pangan mentah

3. Memasak dengan benar

4. Menjaga pangan pada suhu aman

5. Menggunakan air dan bahan baku yang aman

4. Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PS-RT)

Pengelolaan sampah rumah tangga (PS-RT) adalah proses pengelolaan

sampah dengan aman pada tingkat rumah tangga dengan mengedepankan prinsip

mengurangi, memakai ulang dan mendaur ulang. Pengelolaan sampah yang aman

adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur ulangan atau

pembuangan dari material sampah dengan cara yang tidak membahayakan

kesehatan masyarakat dan lingkungan.

5. Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLC-RT)

Pengelolaan limbah cair rumah tangga (PLC-RT) adalah proses

pengelolaan limbah cair yang aman pada tingkat rumah tangga untuk menghindari

terjadinya genangan air limbah yang berpotensi menimbulkan penyakit berbasis

lingkungan.

Tujuan Program Sanitasi Total adalah menciptakan suatu kondisi

masyarakat (pada suatu wilayah ) ( Kemenkes, 2014) :

a. Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

Universitas Sumatera Utara


16

b. Mencuci tangan pakai sabun dan benar sebelum makan, setelah BAB, sebelum

memegang bayi setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan.

c. Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman.

d. Mengelola sampah dengan baik.

e. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial

budaya dan perilaku penduduk yang terbiasa buang air besar di sembarang tempat,

sehingga tujuan akhir pendekatan ini adalah merubah cara pandang dan perilaku

sanitasi yang memicu terjadinya pembangunan jamban dengan inisiatif masyarakat

sendiri tanpa subsidi dari pihak luar serta menimbulkan kesadaran bahwa kebiasaan

BABS adalah masalah bersama karena dapat berimplikasi kepada semua

masyarakat sehingga pemecahannya juga harus dilakukan dan dipecahkan secara

bersama.

2.1.3 Prinsip-Prinsip STBM

Prinsip dalam pelaksanaan pemicuan ini yang harus diperhatikan

(Kemenkes, 2014):

1. Tanpa subsidi.

Masyarakat tidak menerima bantuan dari pemerintah atau pihak lain untuk

menyediakan sarana sanitasi dasarnya. Penyediaan sarana sanitasi dasar adalah

tanggung jawab masyarakat. Sekiranya individu masyarakat belum mampu

menyediakan sanitasi dasar, maka diharapkan adanya kepedulian dan

kerjasama dengan anggota masyarakat lain untuk membantu mencarikan

solusi.

Universitas Sumatera Utara


17

2. Masyarakat sebagai pemimpin Inisiatif pembangunan sarana sanitasi

hendaknya berasal dari masyarakat.

Fasilitator maupun wirausaha sanitasi hanya membantu memberikan masukan

dan pilihan-pilihan solusi kepada masyarakat untuk meningkatkan akses dan

kualitas higienis dan sanitasinya. Semua kegiatan maupun pembangunan

sarana sanitasi dibuat oleh masyarakat. Sehingga ikut campur pihak luar tidak

diharapkan dan tidak diperbolehkan. Dalam praktiknya, biasanya akan tercipta

natural-natural leader di masyarakat.

3. Tidak menggurui/memaksa STBM tidak boleh disampaikan kepada

masyarakat dengan cara menggurui dan memaksa mereka untuk

mempraktikkan budaya higienis dan sanitasi, apalagi dengan memaksa mereka

membuat/ membeli jamban atau produk-produk STBM.

4. Totalitas seluruh komponen masyarakat Seluruh komponen masyarakat

terlibat dalam analisa permasalahan-perencanaan-pelaksanaan serta

pemanfaatan dan pemeliharaan. Keputusan masyarakat dan pelaksanaan

secara kolektif adalah kunci keberhasilan STBM.

2.1.4 Tingkatan Partisipasi dalam STBM

Masyarakat sasaran dalam Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tidak

dipaksa untuk menerapkan program tersebut, akan tetapi program ini berupaya

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatannya. Tingkat partisipasi sangat

berbeda, dimulai tingkat partisipasi yang terendah sampai tertinggi (Kemenkes,

2014):

Universitas Sumatera Utara


18

a. Masyarakat hanya menerima informasi

Keterlibatan masyarakat hanya sampai diberi informasi (misalnya melalui

pengumuman) dan bagaimana informasi itu diberikan ditentukan oleh si

pemberi informasi (pihak tertentu).

b. Masyarakat mulai diajak untuk berunding.

Pada level ini sudah ada komunikasi 2 arah, dimana masyarakat mulai diajak

untuk diskusi atau berunding. Dalam tahap ini meskipun sudah dilibatkan

dalam suatu perundingan, pembuat keputusan adalah orang luar atau

orang-orang tertentu.

c. Membuat keputusan secara bersama-sama antara masyarakat dan pihak luar.

Pada tahap ini masyarakat telah diajak untuk membuat keputusan secara

bersama-sama untuk kegiatan yang dilaksanakan.

d. Masyarakat mulai mendapatkan wewenang atas kontrol sumber daya

dan keputusan.Pada tahap ini masyarakat tidak hanya membuat keputusan,

akan tetapi telah ikut dalam kegiatan kontrol pelaksanaan program.

Dari keempat tingkatan partisipasi tersebut, yang diperlukan dalam Sanitasi

Total Berbasis Masyarakat adalah tingkat partisipasi tertinggi dimana masyarakat

tidak hanya diberi informasi, tidak hanya diajak berunding tetapi sudah terlibat

dalam proses pembuatan keputusan dan bahkan sudah mendapatkan wewenang atas

kontrol sumber daya masyarakat itu sendiri serta terhadap keputusan yang mereka

buat. Dalam prinsip Sanitasi Total Berbasis Masyarakat telah disebutkan bahwa

keputusan bersama dan action bersama dari masyarakat itu sendiri merupakan

kunci utama (Depkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara


19

2.1.5 Metode dan Pemicuan STBM

Faktor-faktor yang harus dipicu beserta metode yang digunakan dalam

kegiatan STBM untuk menumbuhkan perubahan perilaku sanitasi dalam suatu

komunitas (Depkes RI, 2014).

Tahap pemicuan STBM yang diberikan kepada masyarakat :

1. Kegiatan Pra Pemicuan

a) Observasi PHBS Masyarakat

Sebelum melakukan pemicuan di masyarakat, peserta sudah memiliki

informasi dan data-data dasar terkait perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat.

Untuk itu peserta pelatihan sebaiknya sudah melakukan observasi (peninjauan)

maupun diskusi dengan masyarakat di lokasi pemicuan untuk mendapatkan

informasi. Beberapa informasi yang perlu dicari adalah:

a. Jumlah KK / kependudukan dibedakan atas kaya, sedang, miskin.

b. Pendidikan dan pekerjaan masyarakat setempat.

c. Kondisi geografis.

d. Kepemilikan jamban: cemplung terbuka, cemplung tertutup, leher angsa.

e. Ada tidaknya aliran sungai, kolam, rawa.

f. Tradisi/budaya : karakter, tokoh masyarakat.

g. Sarana dan prasarana yang ada di masyarkat seperti sekolah, madrasah,

masjid, gereja dll.

h. Ada tidaknya program sanitasi 3 tahun terakhir (proyek/pemberian subsidi

jamban).

Universitas Sumatera Utara


20

b) Persiapan Pemicuan dan Menciptakan Suasana yang Kondusif Sebelum

Pemicuan

Persiapan pemicuan dan menciptakan suasana yang kondusif sebelum

pemicuan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses pemicuan. Persiapan

ini dilakukan dengan kunjungan kepada pemerintah setempat yang akan

digunakan sebagai lokasi pemicuan dan dijelaskan secara rinci kegiatan yang akan

dilaksanakan selama proses pemicuan STBM termasuk proses pemberdayaan

masyarakat yang akan dilaksanakan di lapangan.

Kordinasi yang perlu dilakukan dengan pemerintah setempat lokasi pemicuan:

a. Penting dan perlunya kegiatan pemicuan STBM ini dilakukan berdasarkan hasil

data dan fakta observasi PHBS yang dilakukan sebelumnya.

b. Pemilihan prioritas lokasi pemicuan berdasarkan data dan masukan dari

pemerintah setempat.

c. Dukungan dari tokoh-tokoh utama yang ada di masyarakat, misalkan tokoh

agama dan tokoh adat.

d. Penyusunan rencana jadwal dan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Komponen yang perlu diketahui oleh pemerintah setempat antara lain:

a. Tanggal kunjungan lapangan dan jumlah peserta.

b. Kegiatan di lapangan yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui

perubahan perilaku secara kolektif, keluaran yang diharapkan setelah praktik,

produk yang akan diserah kepada pemerintah daerah untuk ditindak lanjuti.

c. Peran dan tanggung jawab pemerintah daerah pada waktu kegiatan dan tindak

lanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


21

d. Logistik yang disediakan.

c) Persiapan Teknis dan Logistik

Dalam pemicuan di masyarakat langkah-langkah pemicuan sebenarnya tidak

dibakukan, namun pemetaan sosial mesti dilakukan pertama sekali. Lokasi

pemetaan sosial sebaiknya dilakukan di lahan (halaman) terbuka. Hasilnya

kemudian harus dipindahkan ke kertas plano. Pemicuan bisa dilakukan di ruang

terbuka maupun tertutup, asal bisa mengoptimalkan rasa jijik, takut penyakit,

berdosa, dll., yang bisa memicu masyarakat untuk berubah. Beberapa kegiatan

bisa dilakukan pada proses pemicuan.

2. Pemicuan

a) Alat-Alat Utama Partisipasi Untuk Pemicuan

1. Pemetaan, yang bertujuan untuk mengetahui/melihat peta wilayah BAB

masyarakat serta sebagai alat monitoring (pasca triggering, setelah ada

mobilisasi masyarakat).

2. Transect Walk, bertujuan untuk melihat dan mengetahui tempat yang paling

sering dijadikan tempat BAB. Dengan mengajak masyarakat berjalan ke sana

dan berdiskusi di tempat tersebut, diharapkan masyarakat akan merasa jijik dan

bagi orang yang biasa BAB di tempat tersebut diharapkan akan terpicu rasa

malunya.

3. Alur Kontaminasi (Oral Fecal); mengajak masyarakat untuk melihat bagaimana

kotoran manusia dapat dimakan oleh manusia yang lainnya.

4. Simulasi air yang telah terkontaminasi; mengajak masyarakat untuk melihat

bagaimana kotoran manusia dapat dimakan oleh manusia yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara


22

5. Diskusi Kelompok (FGD); bersama-sama dengan masyarakat melihat kondisi

yang ada dan menganalisanya sehingga diharapkan dengan sendirinya

masyarakat dapat merumuskan apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak

dilakukan.

b) Elemen Pemicuan dan Faktor Penghambat Pemicuan

Secara umum faktor-faktor yang harus dipicu untuk menumbuhkan

perubahan perilaku sanitasi dalam suatu komunitas, diantaranya:

o Perasaan jijik,

o Perasaan malu dan kaitannya dengan privacy seseorang,

o Perasaan takut sakit,

o Perasaan takut berdosa,

o Perasaan tidak mampu dan kaitannya dengan kemiskinan .

c) Langkah-langkah pemicuan

1. FGD untuk memicu rasa malu dan hal-hal yang

bersifat pribadi

2. FGD untuk memicu rasa jijik dan takut sakit

3. FGD untuk memicu hal-hal yang berkaitan dengan

keagamaan

4. FGD menyangkut kemiskinan

d) Proses Pemicuan Lima Pilar STBM

e) Komposisi tim pemicu

Universitas Sumatera Utara


23

3. Paska Pemicuan

a) Cara Membangun Ulang Komitmen

b) Pilihan Teknologi Sanitasi Untuk 5 Pilar STBM

c) Tangga Sanitasi Untuk 5 Pilar STBM

d) Tangga Perubahan Perilaku Pilar-Pilar STBM

e) Desa/Kelurahan mencapai status ODF/Stop BABS

f) Desa/kelurahan Mencapai Status Sanitasi Total.

Pendekatan STBM memiliki indikator outcome dan indikator output.

Indikator outcome STBM yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit

berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.

Sedangkan indikator output STBM adalah sebagai berikut:

1. Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi

dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di

sembarang tempat (SBS).

2. Setiap rumah tangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan

yang aman di rumah tangga.

3. Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas

(seperti sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersedia

fasilitas cuci tangan (air, sabun, sarana cuci tangan), sehingga semua orang

mencuci tangan dengan benar.

4. Setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar.

5. Setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar.

Universitas Sumatera Utara


24

2.1.6 Strategi STBM

Untuk mencapai kondisi sanitasi total, STBM memiliki 3 strategi, yaitu :

1. Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment)

Strategi ini mencakup advokasi kepada para pemimpin pemerintah, pemerintah daerah dan pemangku

kepentingan dalam membangun komitmen bersama untuk melembagakan kegiatan pendekatan STBM yang

diharapkan akan menghasilkan:

a. Komitmen pemerintah daerah untuk menyediakan sumber daya untuk

melaksanakan program STBM yang dinyatakan dalam surat kepemintaan;

b. Kebijakan daerah dan peraturan daerah mengenai program sanitasi seperti SK

Bupati, Perda, RPJMP, Renstra, dan lain-lain;

c. Terbentuknya lembaga koordinasi yang mengarusutamakan sektor sanitasi,

menghasilkan peningkatan anggaran sanitasi daerah, koordinasi sumber daya

dari pemerintah maupun non-pemerintah;

d. Adanya tenaga fasilitator, pelatih STBM dan program peningkatan kapasitas;

e. Adanya sistem pemantauan hasil kinerja program serta proses pengelolaan

pembelajaran.

2. Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation)

Komponen peningkatan kebutuhan sanitasi merupakan upaya sistematis untuk

mendapatkan perubahan perilaku yang higienis dan saniter, berupa:

a. Pemicuan perubahan perilaku;

b. Promosi dan kampanye perubahan perilaku higienis dan sanitasi secara

langsung;

c. Penyampaian pesan melalui media massa dan media komunikasi lainnya;

d. Mengembangkan komitmen masyarakat dalam perubahan perilaku;

Universitas Sumatera Utara


25

e. Memfasilitasi terbentuknya komite/ tim kerja masyarakat;

f. Mengembangkan mekanisme penghargaan terhadap masyarakat/institusi.

3. Peningkatan penyediaan akses sanitasi (supply improvement)

Peningkatan penyediaan akses sanitasi yang secara khusus diprioritaskan

untuk meningkatkan dan mengembangkan percepatan penyediaan akses dan

layanan sanitasi yang layak dalam rangka membuka dan mengembangkan pasar

sanitasi, yaitu:

a. Mengembangkan opsi teknologi sarana sanitasi yang sesuai kebutuhan dan

terjangkau;

b. Menciptakan dan memperkuat jejaring pasar sanitasi pedesaan;

c. Mengembangkan mekanisme peningkatan kapasitas pelaku pasar sanitasi;

Tabel 2.1 Faktor-Faktor Yang Harus Dipicu dan Metode Yang Digunakan
Dalam Kegiatan STBM
Hal – hal yang harus
dipicu Alat yang digunakan

Rasa jijik • Transect walk


• Demo air yang mengandung tinja, untuk
digunakan cuci muka, kumur-kumur,
sikat gigi, cuci piring, cuci pakaian, cuci
makanan / beras, wudlu, dll
Rasa malu • Transect walk (meng-explore pelaku open
defecation)
• FGD (terutama untuk perempuan)
Takut sakit FGD
• Perhitungan jumlah tinja
• Pemetaan rumah warga yang terkena
diare dengan didukung data puskesmas
• Alur kontaminasi
Aspek agama Mengutip hadits atau pendapat-pendapat para
ahli agama yang relevan dengan perilaku
manusia yang dilarang karena merugikan
manusia itu sendiri.
Privacy FGD (terutama dengan perempuan)

Universitas Sumatera Utara


26

Kemiskinan Membandingkan kondisi di desa/dusun yang


bersangkutan dengan masyarakat “termiskin”
seperti di Bangladesh atau India.
Sumber : (Hasibuan, 2009)

2.1.7 Tangga Sanitasi (Sanitation Ladder)

Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tidak meminta atau

menyuruh masyarakat untuk membuat sarana sanitasi tetapi hanya mengubah

perilaku sanitasi mereka. Namun pada tahap selanjutnya ketika masyarakat

sudah mau merubah kebiasaan BAB nya, sarana sanitasi menjadi suatu hal

yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari.

Sanitation Ladder atau tangga sanitasi merupakan tahap perkembangan

sarana sanitasi yang digunakan masyarakat, dari sarana yang sangat

sederhana sampai sarana sanitasi yang sangat layak dilihat dari aspek

kesehatan, keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya. Seringkali

pemikiran masyarakat akan sarana sanitasi adalah sebuah bangunan yang

kokoh, permanen, dan membutuhkan biaya yang besar untuk membuatnya.

Pemikiran ini sedikit banyak menghambat kemauan masyarakat untuk

membangun jamban, karena alasan ekonomi dan lainnya sehingga kebiasaan

masyarakat untuk buang air besar pada tempat yang tidak seharusnya tetap

berlanjut ( Kemenkes, 2014).

Pada prinsipnya sebuah sarana sanitasi terbagi menjadi tiga kelompok

berdasarkan letak konstruksi dan kegunaannya. Pertama adalah bangunan

bawah tanah yang berfungsi sebagai tempat pembuangan tinja. Fungsi

bangunan bawah tanah adalah untuk melokalisir tinja dan mengubahnya

Universitas Sumatera Utara


27

menjadi lumpur stabil. Kedua adalah bangunan di permukaan tanah

(landasan). Bangunan di permukaan ini erat kaitannya dengan keamanan saat

orang tersebut membuang hajat. Ketiga adalah bangunan dinding. Bangunan

atau dinding penghalang erat kaitannya dengan faktor kenyamanan,

psikologis dan estetika.

Dari lima kegiatan program STBM yang diperkenalkan, kegiatan untuk

penghentian kegiatan BAB di tempat terbuka merupakan pintu masuk

pengenalan konsep sanitasi total kepada masyarakat. Buang air besar

sembarangan merupakan prilaku yang masih sering dilakukan masyarakat

pedesaan. Kebiasaan ini disebabkan tidak tersedianya sarana sanitasi berupa

jamban. Penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia atau tinja (jamban)

adalah bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya, khususnya

dalam usaha pencegahan penularan penyakit saluran pencernaan. Ditinjau

dari sudut kesehatan lingkungan, maka pembuangan kotoran yang tidak

saniter akan dapat mencemari lingkungan, terutama dalam mencemari tanah

dan sumber air (Suparmin, 2002).

2.2 Pengertian Jamban Keluarga

Pengertian lainnya tentang jamban adalah pengumpulan kotoran manusia

di suatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada kotoran

manusia dan menganggu estetika (Hasibuan, 2009).

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan

kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher

angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit air untuk membersihkannya

Universitas Sumatera Utara


28

(Rahmawati, 2012).

Jamban keluarga adalah suatu bangunan untuk membuang dan

mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat

tertentu dan tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori

permukaan (Fauzia, 2000).

Sementara menurut Kementerian Kesehatan RI jamban sehat adalah

fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutus rantai penularan penyakit

(Kepmenkes, 2008: 852).

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah dikatakan yang dimaksud

dengan jamban adalah suatu bangunan yang berfungsi mengumpulkan kotoran

manusia yang tersimpan pada tempat tertentu sehingga tidak menjadi penyebab

suatu penyakit atau mengotori permukaan bumi. Jamban keluarga sangat berguna

bagi manusia dan merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena jamban

dapat mencegah berkembangnya berbagai penyakit saluran pencernaan yang

disebabkan oleh kotoran manusia yang tidak di kelola dengan baik.

Adapun bagian-bagian dari sanitasi pembuangan tinja adalah sebagai

berikut (Suyono, 2014) :

1. Rumah Kakus

Rumah kakus mempunyai fungsi untuk tempat berlindung pemakainya dari

pengaruh sekitarnya aman. Baik ditinjau dari segi kenyamanan maupun

estetika. Konstruksinya disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah

tangga.

Universitas Sumatera Utara


29

2. Lantai Kakus

Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus

baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya

juga disesuaikan dengan bentuk rumah kakus.

3. Tempat Duduk Kakus

Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja

yang kuat dan mudah dibersihkan juga bisa mengisolir rumah kakus jaddi

tempat pembuangan tinja, serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup

yang mudah diangkat.

4. Kecukupan Air Bersih

Untuk menjaga keindahan jamban dari pandangan estetika, jamban hendaklah

disiram minimal 4-5 gayung sampai kotoran tidak mengapung di lubang

jamban atau closet. Tujuan menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga

kondisi jamban tetap bersih selain itu kotoran tidak dihinggapi serangga

sehingga mencegah penyakit menular.

5. Tersedia Alat Pembersih

Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban. Jenis

alat pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya. Tujuan alat

pembersih ini agar jamban tetap bersih setelah jamban disiram air.

Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar

tidak berlumut dan licin.

6. Tempat Penampungan Tinja

Universitas Sumatera Utara


30

Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang fungsinya sebagai

tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksinya dapat berbentuk sederhan

berupa lobang tanah saja.

7. Saluran Peresapan

Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkapuntuk

mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur kotoran/tinja.

Bangunan jamban dapat dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu (Suyono, 2014):

1) Bangunan bagian atas (Rumah jamban)

Bagian ini secara utuh terdiri dari bagian atap, rangka, dan dinding. Namun

dalam prakteknya, kelengkapan bangunan ini disesuaikan dengan kemampuan

dari masyarakat di daerah tersebut.

a) Atap memberikan perlindungan kepada penggunanya dari sinar

matahari,angin dan hujan.dapat dibuat dari daun, genting, seng, dan

lain-lain.

b) Rangka digunakan untuk menopang atap dan dinding. Dibuat dari bambu,

kayu, dan lain-lain.

c) Dinding adalah bagian dari rumah jamban.dinding memberikan privasi dan

perlindungan kepada penggunanya. Dapat dibuat dari daun,

gedek/anyaman bambu, batu bata, seng, kayu, dan lain-lain.

2) Bangunan bagian tengah (Slab/Dudukan Jamban)

a) Slab menutupi sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak.

Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya.

Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan,

Universitas Sumatera Utara


31

seperti kayu, beton, bambu, dengan tanah liat, pasangan bata dan

sebagainya.

b) Tempat abu atau air adalah wada untuk menyimpan abu pembersih atau

air. Penaburan sedikit abu kedalam sumur tinja (pit) setelah digunakan

akan mengurangi bau, mengurangi kadar kelembaban, dan membuatnya

tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Air dan sabun dapat

digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan bagian yang lain.

3) Bangunan bagian bawah (Penampung Tinja)

Penampung tinja adalah lubang dibawah tanah, dapat berbentuk persegi,

lingkaran/bundar atau empat persegi panjang, sesuai dengan kondisi tanah.

2.2.1 Jenis Jamban Keluarga

Jamban keluarga yang didirikan mempunyai beberapa pilihan. Pilihan

yang terbaik adalah jamban yang tidak menimbulkan bau, dan memiliki

kebutuhan air yang tercakupi dan berada di dalam rumah. Jamban/kakus dapat di

bedakan atas beberapa macam (Sarudji, 2010).

1. Jamban Sederhana ( Simple latrine atau pit privy )

Jenis ini sering disebut kakus cemplung. Kontruksinya terdiri atas lubang

galian semacam sumuran tetapi dindingnya tidak perlu kedap air. Dindingnya bisa

terbuat dari anyaman bambu, pasangan batu merah atau bahan lain untuk

memperkuat. Kakus ini dilengkapi dengan bangunan pelindung, dan tidak menjadi

satu kesatuan dengan rumah induk.

Universitas Sumatera Utara


32

Beberapa keuntungan dari jenis ini adalah murah dalam pembuatannya, dan

mudah pemeliharaannya, sehingga di daerah pedesaan setiap keluarga mampu

membuatnya sendiri. Di samping itu kotoran yang telah menjadi humus dapat

digunakan sebagai pupuk organik.

Kerugiannya adalah sering timbul bau apabila lupa menutup atau tutupnya

kurang rapat, dapat dimasuki oleh serangga atau binatang lain, harus dibangun

setidaknya 10 meter dari sumur atau sumber air bersih. Bila sudah penuh lubang

galian cukup ditimbun dan dibiarkan sekitar 3 bulan untuk mengubah kotoran

menjadi humus.

Gambar 2.1 Kakus Sederhana ( Simple latrine atau pit privy )

2. Jamban Plengsengan

Jamban semacam ini memiliki lubang tempat jongkok yang dihubungkan

oleh suatu saluran miring ke tempat pembuangan kotoran. Jadi tempat jongkok

dari jamban ini tidak dibuat persis di atas penampungan, tetapi agak jauh.

Jamban semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan daripada jamban

cemplung, karena baunya agak berkurang dan keamanan bagi pemakai lebih

Universitas Sumatera Utara


33

terjamin.

Gambar 2.2 Jamban Plesengan

3. Jamban di Atas Balong (Empang)

Membuat jamban di atas balong (yang kotorannya dialirkan ke balong)

adalah cara pembuangan kotoran yang tidak dianjurkan, tetapi sulit untuk

menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak balong. Sebelum

kita berhasil menerapkan kebiasaan tersebut kepada kebiasaan yang diharapkan

maka cara tersebut dapat diteruskan dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Air dari balong tersebut jangan digunakan untuk mandi

b. Balong tersebut tidak boleh kering

c. Balong hendaknya cukup luas

d. Letak jamban harus sedemikian rupa, sehingga kotoran selalu jatuh di air

e. Ikan dari balong tersebut jangan dimakan

f. Tidak terdapat sumber air minum yang terletak sejajar dengan jarak 15

meter

g. Tidak terdapat tanam-tanaman yang tumbuh di atas permukaan air

Universitas Sumatera Utara


34

Gambar 2.3 Jamban di Atas Balong (Empang)

4. Kakus pengurai (septic privy)

Metode pembuangan ini menggunakan bak pengurai (septic tank) yang

kedap air, hanya saja tidak menggunakan air penggelontor tetapi dalam

penggunaannya perlu penambahan air untuk mengisi agar dalam bak tersebut

tidak kekurangan air yang dimanfaatkan sebagai media penguraian. Untuk

tempat dengan lahan yang masih luas dilengkapi dengan saluran untuk

pembuangan air dari ruang pembusukan menuju resapan. Kerugiannya adalah

usia kakus tidak terlalu lama, apabila sudah penuh isi kakus harus dikosongkan

atau dikuras. Keuntungannya adalah tidak memerlukan air yang banyak, dapat

dibangun di rumah dengan lahan yang sempit, dan tidak perlu jauh dari sumur.

5. Jamban Septic Tank

Septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan secara

anaerobic. Nama septic tank digunakan karena dalam pembuangan kotoran

terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk yang sifatnya anaerob.

Septic tank dapat terdiri dari dua bak atau lebih serta dapat pula terdiri atas satu

Universitas Sumatera Utara


35

bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya dengan memasang

beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat memperlambat

pengaliran air kotor di dalam bak tersebut.

Septictank merupakan salah satu kelengkapan pada suatu bangunan

dimana fungsinya sebagai instalasi pengolahan air kotor terutama dari kakus atau

wc. Oleh karena itu desain suatu banguna harus dilengkapi dengan instalasi

pengolahan air limbah, apabila instalasi air kotor ini tidak diperhatikan akibatnya

akan terjadi pencemaran bagi lingkungan, kotor dan menjijikan bagi rumah

disekitarnya. Bentuk dan bagian-bagian dari septictank sebagai berikut :

2 5 7
6 8
1

Gambar 2.4 Denah tanki septictank

Universitas Sumatera Utara


36

Tabel 2.1 Keterangan Denah Septictank


NO KETERANGAN
1 Pipa saluran air kotor dari kakus atau WC ke golakan atau ruang
penghancur.
2 Ruang penghancur harus diberi pipa ventilasi untuk mengatur tekanan
udara dengan piva Ø 1”
3 Tangki septic, sebagai tempat pembusukan material kotoran menjadi
lumpur. Tangki septic yang baru sebelum digunakan sebaiknya diisi
dengan air cukup seember saja yang kotor berwarna hitam, sudah
mengandung bibit pembusukan. Dengan maksud diberikan sebagai awal
proses pembusukan di dalam tangki septictank tersebut.
4 Ruang pengambilan Lumpur dibuat tersendiri supaya tidak mengganggu
proses pembusukan dan memudahkan didalam pengambilan lumpur
matang. Untuk pengambilan lumpur dari septictank minimal 2 tahun
sekali.
5 Ruang pengeluaran air dari tangki septic ke ruang
peresapan/rembesan. Letak penempatan pipa pengeluaran lebih rendah
dari pipa pemasukan dengan ukuran perbedaan tingginya kurang lebih 10
cm.
6 Ruang penggontor berfungsi sebagai tempat untuk mencairkan endapan
dari tangki septik yang akan infiltrasi atau meresap.
7 Konstruksi peresapan, dengan maksud air dari tangki septik disalurkan ke
peresapan. Konstruksi peresapan ini susunannya terdiri dari kerikil dan
pasir yang disekelilingnya dilapisi dengan ijuk.

Dalam bak bagian pertama akan terdapat proses penghancuran,

pembusukan dan pengendapan.

Dalam bak terdapat tiga macam lapisan yaitu:

a. Lapisan yang terapung, yang terdiri atas kotoran-kotoran padat

b. Lapisan cair

c. Lapisan endap

Universitas Sumatera Utara


37

Gambar 2.5 Jamban Septic Tank

6. Angsatrine (Water Seal Larine)

Jamban leher angsa adalah jamban leher lubang closet berbentuk

menyerupai leher angsa, demikian rupa bentuknya sehingga air selalu

menggenang di leher angsa ini. Guna air tersebut adalah untuk menyumbat agar

bau tidak menyebar. Meskipun di daerah pedesaan leher angsa masih

dikombinasikan dengan jamban cemplung, sebaiknya leher angsa

dikombinasikan dengan system septic-tank dan peresapan (Machfoedz, 2008).

Di bawah tempat jongkok jamban ini ditempatkan atau dipasang suatu alat

yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi

mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada di tempat penampungan tidak

tercium baunya, karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang

melengkung. Dengan demikian dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran.

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 2.6 Jamban leher angsa (angsa latrine)

7. Kakus kimia ( chemichal toilet)

Jenis ini mahal dalam pengoperasiannya, kapasitasnya terbatas, dan perlu

perhatian khusus terutama bila sudah penuh karena biasanya yang menjadi

masalah adalah cara pengosongannya. Dalam penggunaannya menggunakan

coustic soda untuk membunuh bakteri dan menghancurkanpadatan fekal, sehingga

memiliki keuntungan seperti terhindarnya pencemaran tanah atau air tanah dan

tidak berbau. Untuk kapasitas 100-125 galon diberikan coustic soda 25 pon

yang dilarutkan dalam 10-15 galon air. Biasa digunakan untuk kepentingan umum

misalnya pesawat terbang, bus, kereta api dan sejenisnya.

Universitas Sumatera Utara


39

Gambar 2.7 Kakus kimia ( chemichal toilet)

Menurut Azwar (1990), dilihat dari bangunan kakus yang didirikan,

tempat penampungan kotoran yang dipakai serta cara pemusnahan kotoran serta

penyaluran air kotor, maka kakus dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni:

a. Kakus cubluk (pit privy), ialah kakus yang tempat penampungan tinjanya

dibangun di dekat dibawah tempat injakan, dan atau dibawah bangunan kakus.

b. Kakus empang (overhung latrine), ialah kakus yang dibangun di atas empang,

sungai ataupun rawa. Kakus model ini ada yang kotorannya tersebar begitu

saja, yang biasanya dipakai untuk makanan ikan, atau ada yang dikumpulkan

memakai saluran khusus yang kemudian diberi pembatas berupa bambu, kayu

dan lain sebagainya yang ditanam melingkar di tengah empang, sungai

ataupun rawa.

c. Kakus kimia (chemical toilet), kakus model ini biasanya dibangun pada

tempat-tempat rekreasi, pada alat transportasi dan lain sebagainya. Disini tinja

didisenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda, dan sebagai

Universitas Sumatera Utara


40

pembersihnya dipakai kertas (toilet paper). Ada dua macam kakus kimia

yakni:

a. Type lemari (commode type)

b. Type tanki (tank type)

d. Kakus dengan “angsa trine”, ialah kakus dimana leher lubang closet selalu

terisi air yang penting untuk mencegah bau serta masuknya binatang-binatang

kecil. Kakus model ini biasanya dilengkapi dengan lubang atau sumur dan

lubang atau sumur rembesan yang disebut septic tank. Kakus model ini adalah

yang terbaik, yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan.

Jika diperhatikan keempat macam kakus sebagaimana disebutkan di atas,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada kotoran yang perlu dipikirkan

pengolahan selanjutnya, sebaliknya ada yang tidak perlu dikelola lagi, artinya

kakus jenis ini menyerahkan sepenuhnya kepada alam untuk penanganan

kotoran selanjutnya (Azwar, 1990).

Banyak macam jamban yang digunakan tetapi jamban pedesaan di Indonesia

pada dasarnya digolongkan menjadi 2 macam yaitu:

1. Jamban tanpa leher angsa. Jamban yang mempunyai bermacam cara

pembuangan kotorannya yaitu:

a. Jamban cubluk, bila kotorannya dibuang ke tanah

b. Jamban empang, bila kotorannya dialirkan ke empang

2. Jamban leher angsa. Jamban ini mempunyai 2 cara pembuangan kotorannya

yaitu:

Universitas Sumatera Utara


41

a. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl langsung

di atas galian penampungan kotoran.

b. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl tidak

berada langsung di atas galian penampungan kotoran tetapi dibangun

terpisah dan dihubungkan oleh suatu saluran yang miring ke dalam lubang

galian penampungan kotoran.

2.2.2 Syarat Jamban Sehat

Jamban keluarga yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut (Depkes RI, 2004):

1) Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15

meter dari sumber air minum.

2) Tidak berbau dan tinja tidak dapat di jamah oleh serangga maupun tikus.

3) Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak

mencemari tanah sekitar.

4) Mudah di bersihkan dan aman penggunannya.

5) Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan warna.

6) Cukup penerang

7) Lantai kedap air

8) Ventilasi cukup baik

9) Tersedia air dan alat pembersih.

Dalam penyediaan jamban keluarga diperlukan beberapa persyaratan (Sarudji,

2010) sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


42

1) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air tanah dan sumber air atau sumur.

2) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air permukaan.

3) Tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah permukaan.

4) Tinja tidak dapat dijangkau oleh lalat atau binatang lainnya.

5) Tidak menimbulkan bau dan terlindung dari pandangan, serta memenuhi

syarat estetika.

6) Tidak mahalbaik dari segi konstruksi maupun pengoperasian serta

perawatannya.

Agar persyaratan-persyratan ini dapat dipenuhi, maka perlu diperhatikan

antara lain (Sarudji, 2010):

1. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya banguna jamban terlindung dari

panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindungdari

pandangan orang.

2. Bangunan jamban sebaiknyamempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak

yang kuat.

3. Bangunan jamban sebaiknya ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu

pandangan, tidak menimbulkan bau.

4. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

Universitas Sumatera Utara


43

Gambar 2.8 Syarat Jamban Sehat

2.2.3 Manfaat dan Fungsi Jamban

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik

dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu :

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit

2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman.

3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit.

4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan.

2.2.4 Pemeliharaan Jamban

Jamban hendaklah selalu dijaga dan di pelihara dengan baik. Adapun cara

pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI 2004 adalah sebagai berikut :

1. Lantai jamban hendaklah selalu bersih dan kering.

2. Di sekeliling jamban tidak tergenang air.

3. Tidak ada sampah berserakan.

Universitas Sumatera Utara


44

4. Rumah jamban dalam keadaan baik.

5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat.

6. Lalat, tikus dan kecoa tidak ada.

7. Tersedia alat pembersih.

8. Bila ada yang rusak segera di perbaiki.

Selain itu di tambahkan juga pemeliharaan jamban keluarga dapat di lakukan

dengan (Sarudji, 2010) :

1. Air selalu tersedia dalam bak atau ember.

2. Sehabis digunakan, lantai dan lubang jongkok harus di siram bersih agar tidak

bau dan mengundang lalat.

3. Lantai jamban usahakan selalu bersih dan tidak licin agar tidak

membahayakan pemakai.

4. Tidak memasukan bahan kimia dan detergen pada lubang jamban.

5. Tidak ada aliran masuk kedalam lubang jamban selain untuk membilas tinja.

2.3 Transmisi Penyakit dari Tinja

2.3.1 Penyakit Akibat Penyebaran Tinja dan Gejalanya

Tinja manusia merupakan buangan padat yang kotor dan bau juga media

penularan penyakit bagi masyarakat. Kotoran manusia mengandung organisme

pathogen yang dibawa air, makanan, serangga sehingga menjadi penyakit seperti

misalnya : bakteri Salmonella, vibriokolera, amoeba, virus, cacing, disentri,

poliomyelitis. Penyakit yang ditimbulkan oleh kotoran manusia dapat digolongkan

yaitu :

Universitas Sumatera Utara


45

1. Penyakit enterik atau saluran pencernaan dan kontaminasi zat racun.

2. Penyakit infeksi oleh virus seperti hepatitis infektiosa.

3. Infeksi cacing seperti schitosomiasis, ascariasis, ankilostosomiasis.

Tinja merupakan sumber beberapa penyakit tertentu, terutama penyakit yang

berbasis saluran alat cerna ( Sarudji, 2010) seperti :

1. Typhus abdominalis

Penyakit tifus adalah penyakit yang dapat menyerang siapa saja baik

anak-anak maupun dewasa. Geja penyalit tifus yaitu :

1. Demam atau badan panas

2. Sakit perut, mual dan muntah

3. Denyut nadi melambat

4. Lidah berwarna putih

5. Perubahan pola BAB

2. Cholera

Kolera adalah penyakit akibat bakteri yang biasanya menyebar melalui air

yang terkontaminasi. Penyakit ini dapat menyebabkan dehidrasi dari diare yang

parah.

Gejala kolera dengan dehidrasi parah terjadi jika tubuh kehilangan cairan lebih

dari 10 persen total berat tubuh. Selain itu perlu diketahui bahwa diare akibat

kolera bisa menyebabkan hilangnya cairan tubuh dengan cepat, yaitu sekitar 1

liter per jam, dan muncul secara tiba-tiba.

Universitas Sumatera Utara


46

3. Dysentri

Penyakit disentri disebabkan oleh sejenis basil yang membuat penderita terus

menerus buang air besar yang terkadang bercampur darah. Gejala disentri yaitu :

1. Perut terasa mual

2. Buang air besarberulang ulang, bias lebih dari dua puluh kali sehari

3. Warna kotoran hijau dan bercampur darah

4. Suhu badan meninggi

5. Biasanya disertai dengan kejang di bagian perut

6. Kondisi badan lemah akibat dehidrasi

7. Penderita selalu merasa haus

4. Hepatitis A

Hepatitis A merupakan salah satu penyakit yang dapat menyerang organ hati

dan disebabkan oleh infeksi virus. Gejala awal yang dapat muncul

meliputi demam, mual, muntah, nyeri pada sendi dan otot, serta diare. Ketika

organ hati sudah mulai terserang, ada beberapa gejala lain yang akan muncul,

yaitu urine berwarna gelap, tinja berwarna pucat, sakit kuning dan gatal-gatal.

Selain itu, daerah perut bagian kanan atas juga akan terasa sakit terutama jika

ditekan.

5. Poliomyelitis

Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan

menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa

menyebabkan kesulitan bernapas, kelumpuhan, dan pada sebagian kasus

menyebabkan kematian. Gejala penyakit ini adalah :

Universitas Sumatera Utara


47

1. Muntah

2. Lemah otot

3. Demam

4. Meningitis

5. Merasa letih

6. Sakit tenggorokan

7. Sakit kepala

8. Kaki, tangan, leher, dan punggung terasa kaku dan sakit


6. Diare

Diare merupakan kondisi yang ditandai dengan encernya tinja yang

dikeluarkan dengan frekuensi buang air besar (BAB) yang lebih sering

dibandingkan dengan biasanya.

Gejala diare bermacam-macam, dimulai dari yang hanya merasakan sakit

perut singkat dengan tinja yang tidak terlalu encer hingga ada yang mengalami

kram perut dengan tinja yang sangat encer. Pada kasus diare parah, kemungkinan

penderitanya juga akan mengalami demam dan kram perut hebat.

Berbagai kuman penyakit yang penularannya berasal dari tinja melalui tanah

(Suyono, 2014), yaitu :

1. Bakteri dan virus, misalnya Salmonella typhi, Vibrio cholera, Entomoeba

histolityca, virus hepatitis, virus polio, Legionella pneumophila, Shigella spp,

Toxoplasma gondii, dan Anthrax.

2. Cacing parasit, misalnya Ascaris lumbricoides ( cacing gelang), Trichuris

trichiura (cacing cambuk), Enterobius vermicularis atau Oxyyuris

Universitas Sumatera Utara


48

vermicularis (cacing kremi), Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

(cacing tambang).

Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk bisa

langsung maupun tidak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insiden

penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti kolera, disentri,

typus, dan sebagainya. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja berkaitan

dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi hygiene

lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi pekembangan sosial dalam masyarakat

dengan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum penduduk.

Kotoran manusia merupakan sumber penting dari penyakit, penyakit infeksi

yang ditularkan oleh tinja merupakan salah satu penyebab kematian yang

penyebarannya dapat melalui berbagai macam jalan atau cara (Suyono, 2014).

Penyakit menular seperti polio, kholera, hepatitis A dan lainnya merupakan

penyakit yang disebabkan tidak tersedianya sanitasi dasar seperti penyediaan

jamban.

Bakteri E.Coli dijadikan sebagai indikator tercemarnya air, dan seperti kita

ketahui bahwa bakteri ini hidup dalam saluran pencernaan manusia. Proses

pemindahan kuman penyakit dari tinja yang dikeluarkan manusia sebagai pusat

infeksi sampai inang baru dapat melalui berbagai perantara, antara lain air , tangan,

seranggaa, tanah, makanan, susu serta sayuran.

Dalam buku M. Soeparman dan suparmin 2002, terjadinya proses penularan

penyakit diperlukan faktor sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


49

1. kuman penyebab penyakit

2. sumber infeksi (reservoir) dari kuman penyebab

3. cara keluar dari sumber

4. cara berpindah dari sumber ke inang (host) baru yang potensial

5. cara masuk ke inang yang baru

6. inang yang peka (susceptible)

air sakit

tangan
Makanan
Tinja Minuman Penjamu
Sayur-sayuran (host)
lalat

mati
tanah

Gambar 2.9 Transmisi penyakit melalui tinja

Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002)

Dari skema tersebut tampak jelas bahwa peranan tinja dalam penyebaran

penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengontaminasi makanan,

minuman, sayuran, air, tanah, serangga ( lalat, kecoa ) dan bagian-bagian tubuh

dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan

oleh tinja manusia antara lain : tifus, disentri, kolera, cacing kremi, cacing pita,

cacing gelang, dan schistosomiasis (Sarudji, 2010).

Universitas Sumatera Utara


50

air

Tinja
(sumber
infeksi) tangan Inang terlindungi

makanan

Gambar 2.10 Pemutusan Transmisi penyakit melalui tinja

Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002)

2.4 Perilaku

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau

aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah

suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia

mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup : berjalan, berbicara, bereaksi,

berpakaian. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan

membagi perilaku itu ke dalam tiga domain (Notoatmodjo, 2011).

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan suatu objek tertentu baik melalui penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Tetapi sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman sendiri maupun pengalaman

Universitas Sumatera Utara


51

orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2011).Pengetahuan

yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat, yakni:

1. Tahu ( know )

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali ( reccal) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami ( comprehension )

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi ( application )

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan

aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam

konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis ( analysis )

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen tetapi masih dala suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara


52

5. Sintesis ( synthesis )

Sintesis harus menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi ( evaluation )

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau pencegahannya. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan semdiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

2.4.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus social (Notoatmodjo,

2011).

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu.sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu pengetahuan.

Sikap itu merupakan raeksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau

tingkah laku uang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Universitas Sumatera Utara


53

Menurut Notoatmodjo (2011) tingkatan sikap terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Menerima (receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan.

2. Merespon (respondin )

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu tindakan dari sikap. Karena dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas

pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valving)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko (Notoatmodjo, 2011).

2.4.3 Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan factor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas

(Notoatmodjo, 2011).

Tingkat –tingkat praktik atau tindakan atau praksis :

1. Persepsi ( perception )

Universitas Sumatera Utara


54

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil merupakan praksis tingkat pertama.

2. Respons terpimpin ( guided response )

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan

contoh adalah indikator praksis tingkat dua.

3. Mekanisme ( mechanism )

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,

atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praksis.

4. Adaptasi ( adaptation )

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya,tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi

kebenaran tindakannya tersebut.

Universitas Sumatera Utara


55

2.5 Kerangka konsep


Baik

Sanitasi Total Berbasis Perilaku


Masyarakat : masyarakat tentang
1. Intervensi STBM BAB sembarangan:
- Pengetahuan
Sedang
- Sikap
2. Tidak Intervensi STBM - Tindakan

Rendah

Karakteristik Responden :
Hhvvbhb Sanitasi Lingkungan Tempat
Tinggal
- Pendidikan
- Penghasilan - Jamban
- Pekerjaan - Sarana Air Bersih
- Jenis Kelamin - Pengelolaan Makanan
- Umur Dan Minuman
- Sarana Pembuangan
Limbah
- Pengelolaan Sampah

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai