Anda di halaman 1dari 45

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1 Konsep/Teori yang Relevan dengan Lanjut Usia Terlantar

2.1.1 Tinjauan Tentang Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut Usia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada tahap

kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU

No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah

seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk,

2008). Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut

usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu

penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan

yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi

dengan stres lingkungan.

Hurlock (edisi kelima:380) menyatakan bahwa:

“Usia tua adalah periode penutup dalam hidup seseorang yang


telah beranjak jauh dari periode sebelumnya yang lebih
menyenangkan dan penuh manfaat. Seseorang yang telah beranjak
jauh dari kehidupannya cenderung sering melihat masa lalunya,
biasanya dengan penuh penyesalan, dan mengabaikan masa
depannya sedapat mungkin.”

Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang

untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup

1
2

serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Penetapan

usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia) dimulai pada

abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas minimal

untuk kategori lansia.

Banyak lansia yang masih menganggap dirinya berada pada masa

usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak memiliki banyak

keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua

dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat

hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus

memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia

lainnya (Potter & Perry, 2009).

Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah

seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan

kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari

fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi

suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Batasan

umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World

Health Organitation (WHO) lansia meliputi:

a) Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun

b) Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun

c) Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun

d) Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun


3

2. Karakteristik Lanjut Usia

Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk

mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia adalah:

a. Jenis kelamin: Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan

kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki

dan perempuan. Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi

prostat, maka perempuan mungkin menghadapi osteoporosis.

b. Status perkawinan: Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup

janda atau duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik

fisik maupun psikologis.

c. Living arrangement : misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau

bersama istri, anak atau kekuarga lainnya.

a. Tanggungan keluarga: masih menangung anak atau anggota

keluarga

b. Tempat tinggal: rumah sendiri, tinggal bersama anak. Dengan ini

kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik

lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anaknya.

Namun akan cenderung bahwa lansia akan di tinggalkan oleh

keturunannya dalam rumah yang berbeda.Menurut Darmawan

mengungkapkan ada 5 tipe kepribadian lansia yang perlu kita

ketahui, yaitu: tipe konstruktif (constructive personality), tipe


4

mandiri (independent personality), tipe tergantung (hostilty

personality) dan tipe kritik diri (self hate personality).

d. Kondisi kesehatan

a. Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada

orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air besar

dan kecil.

b. Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi

tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.

e. Keadaan ekonomi

a. Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber pendapatan

lain kalau masih bisa aktif.

b. Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan

keuangan dari anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada

anggota keluarga yang tergantung padanya.

c. Kemampuan pendapatan : Lansia memerlukan biaya yang lebih

tinggi, sementara pendapatan semakin menurun.Status ekonomi

sangat terancam, sehinga cukup beralasan untuk melakukann

berbagai Aspek besar dalam kehidupan, menentukan kondisi hidup

yang dengan Aspek status ekonomi dan kondisi fisik.

3. Klasifikasi Lanjut Usia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia

berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri

dari:
5

a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun,

b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih,

c. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah

kesehatan,

d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa,

e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

4. Masalah Lanjut Usia

Menurut Siti Partini (2011:9) ada empat permasalahan yang pada

umumnya dihadapi oleh usia lanjut dapat dikelompokkan ke dalam

masalah ekonomi, masalah sosial budaya, masalah kesehatan dan

masalah psikologis.

a. Masalah ekonomi

Usia lanjut ditandai dengan menurunya produktivitas kerja,

memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Hal ini

berakibat pada menurunnya pendapatan yang kemudian terkait dengan

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sandang, pangan,

papan kesehatan, rekreasi dan kebutuhan sosial.

b. Masalah sosial budaya

Memasuki masa tua ditandai dengan berkurangnya kontak

sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat maupun


6

teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja karena

pensiun. di samping itu, perubahan nilai masyarakat yang semakin

individualistic, berpengaruh bagi para usia lanjut yang kurang

mendapat perhatian, sehingga sering tersisih dari kehidupan

masyarakat dan terlantar.

c. Masalah kesehatan

Pada usia lanjut terjadi kemunduran sel-sel karena proses

penuaan yang berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik,

timbulnya berbagai penyakit terutama penyakit degenarif. Masalah

kesehatan pada umumnya merupakan masalah yang paling dirasakan

oleh usia lanjut.

d. Masalah psikologis

Masalah psikologis yang dihadapi oleh usia lannjut pada

umumnya meliputi: kesepian, terasing dari lingkungan, ketidak

berdayaan, perasaan tidak berguna, kurang percaya diri,

ketergantungan, keterlantaran terutama bagi usia lanjut yang miskin

dan sebagainya.

Melalui hal tersebut diatas maka permasalahan lanjut usia jika

disimpulkan meliputi masalah yang timbul dari dalam diri lanjut usia,

berupa kemunduran, kekuatan dan kesehatan baik secara fisik maupun

mental. Masalah yang timbul dari luar diri lanjut usia itu sendiri yaitu

perhatian, tanggapan dan perhatian yang kurang terhadap lanjut usia


7

serta pelayanan yang masih kurang terhadap upaya pemenuhan

kebutuhan lanjut usia.

Keadaan ini menjadi permasalahan utama yang dihadapai oleh

para lanjut usia, sehingga peran keluarga sangatlah penting dalam

upaya penganganan masalah lannjut usia, tidak hanya dukungan

keluarga saja yang menjadi penguatan dalam upaya penanganan

masalah lanjut usia masyarakat dan pemerintah ikut andil dalam

proses ini.

Permasalahan lanjut usia terlantar dapat disebabkan oleh

berbagai hal. Tody Lalenoh dalam buku Gerontologi dan Pelayanan

Lanjut Usia menuliskan mengenai penyebab lanjut usia terlantar

adalah sebagai berikut:

1) Ketiadaan sanak keluarga, kerabat dan masyarakat lingkungan

yang dapat memberikan bantuan tempat tinggal dan

penghidupan.

2) Kesulitan hubungan antara lanjut usia dengan keluarga dimana

selama ini ia tinggal.

3) Ketiadaan kemampuan keuangan/ekonomi dari keluarga yang

menjamin penghidupan secara layak.

4) Kebutuhan penghidupannya tidak dapat dipenuhi melalui

lapangan kerja yang ada

2. Pendekatan Lanjut Usia

Lansia dan Perpektif Biopsikososial – Religius :


8

a. Dimensi Biologi / Fisiologi

Hooyman dan Kiyok (1999) Proses penuaan secara biologi

merupakan perubahan fisik yang menyebabkan berkurangnya

efisiensi sistem organ tubuh manusia, seperti jantung dan sistem

sirkulat. Perubahan – perubahan dalam wujud fisik seperti ;

lambatnya tanggapan, kehilangan keberfungsian motorik dan

sensorik, kecenderungan pada keletihan yang lebih cepat, penurunan

tenaga.

Pendekatan pelayanan kesehatan lansia yang menitik beratkan

perhatian pada perubahan-perubahan biologis yang terjadi pada

lansia. Perubahan-perubahan tersebut mencakup  aspek anatomis dan

fisiologis serta berkembangnya kondisi patologis yang

bersifat multiple dan kelainan fungsional pada pasien-pasien lanjut

usia.

b. Dimensi Psikologis

Hooyman dan Kiyak (1999) Proses penuaan psikologis merujuk

kepada perubahan dalam hal proses sensori, proses persepsi dan

keberfungsiaan mental (seperti memori, pembalajaran dan

intelegensi) kapasistas penyesuaian dan kepribadian. Dan

pendekatan pelayanan kesehatan lansia yang menekankan pada

pemeliharaan dan pengembangan  fungsi-fungsi kognitif, afektif,

konatif dan kepribadian lansia secara optimal.


9

1) Fungsi Kognitif

a) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

b) Kinerja (Performance)

c) Pemecahan Masalah (Problem Solving)

d) Daya Ingat (Memory)

e) Motivasi

f) Pengambilan Keputusan

2) Fungsi Afektif

Fungsi Afektif (emosi/perasaan) adalah fenomena kejiwaan

yang dihayati secara subyektif sebagai sesuatu yang

menimbulkan kesenangan atau kesedihan. Afeksi

(emosi/perasaan) pada dasarnya dibedakan atas :

a) Biologis, meliputi perasaan indera (panas, dingin, pahit,

asin dsb), perasaan vital (lapar, haus, kenyang dsb) dan

perasaan naluriah (kasih sayang, cinta, takut dsb)

b) Psikologis, meliputi : perasaan diri, perasaan sosial,

perasaan etis, estetis, perasaan intelek serta perasaan

religius.

Pada usia lanjut umumnya afeksi atau perasaan tetap

berfungsi dengan baik dan jika ada yang mengalami penurunan

seringkali adalah afeksi biologis, sebagai akibat dari penurunan

fungsi organ tubuh. Sedangkan afeksi psikologis relatif tetap

berperan dengan baik, bahkan makin mantap, kecuali bagi


10

mereka yang mempunyai masalah fisik ataupun mental. Usia

lanjut kadang-kadang menunjukkan hidup emosi yang kurang

stabil, hal ini dapat ditangkap sebagai tanda bahwa terdapat

masalah atau ada hal-hal yang sifatnya patologis yang tidak

mudah diamati, karena itu perlu dikonsultasikan kepada para

ahli.

3) Fungsi Konatif

Konatif atau psikomotor adalah fungsi psikis yang

melaksanakan tindakan dari apa yang telah diolah melalui

proses berpikir dan perasaan ataupun kombinasinya. Konatif

mengandung aspek psikis yang melakukan dorongan

kehendak baik yang positif maupun yang negatif, disadari

maupun tidak disadari.

Pada usia lanjut umumnya dorongan dan kemauan

masih kuat, akan tetapi kadang-kadang realisasinya tidak

dapat dilaksanakan, karena membutuhkan  organ atau fungsi

tubuh yang siap/ mampu melaksanakannya. Misalnya usia

lanjut yang ingin sekali untuk dapat memenuhi kebutuhan

dirinya (activity daily living) tanpa bantuan orang lain. Ia

ingin dapat makan dengan cepat, keluar masuk kamar mandi

sendiri.
11

c. Dimensi Sosial

Hooyman dan Kiyak (1999) bahwa proses penuaan sosial

(sosial aging) merupakan perubahan peranan dan hubungan

individu dalam struktur sosial, misalnya dengan keluarganya dan

kawan – kawan dalam peranan yang berbayar dan tidak berbayar

dan dengan organisasi termasuk kumpulan keagaman dan politik.

Teori lainnya ialah “Activity Theory” yaitu yang

menjelaskan bahwa orang yang masa mudanya sangat aktif dan

terus juga memelihara keaktifannya setelah dia menua. Ahli jiwa

mengatakan bahwa “ sense of integrity” dibangun semasa muda

dan akan tetap terpelihara sampai tua.

Ericson, membuat suatu ringkasan tentang fase-fase

perkembangan manusia sejak bayisampai tua, yang mana tiap fase

menerangkan tentang adanya krsisis-krisis untuk memilih

antara  kearah mana seseorang akan berkembang. Dalam fase

terakhir disebut bahwa ada pilihan antara : “ sense of integrity”

dan “ Sense of despair” karena adanya rasa takut akan kematian.

Pada masa tua terjadi krisis antara deferensiasi egonya (ego

differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja

(work role preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-

pikiran tentang pensiun.Juga ditambahkan bahwa pada masa ini

ada krisis, seseorang itu dapat membangun suatu hubungan-

hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan


12

mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan

pikiran-pikiran yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran

fisiknya.

d. Dimensi Religius

Perubahan – perubahan fisiologi, psikologi dan sosial turut

memberi pengaruh pada perubahan pada dimensi religius. Lanjut

usia yang dapat menerima hakekat penuaian mereka menganggap

hari tua merupakan peluang untuk pengisian dengan kehidupan

beragama.

Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis

yang penting pada lansia dalam  hal menghadapi kematian,

menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan

pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa

tua (Daaleman, Perera &Studenski, 2004; Fry, 1999; Koenig &

Larson, 1998 dalam Santrock, 2006). Secara sosial, komunitas

agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas

sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran

sebagai guru atau pemimpin. Hasil studi menyebutkan bahwa

aktivitas beribadah atau bermeditasi diasosiasikan dengan

panjangnya usia (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock,

2006). Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat

cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995

dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan


13

bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling

signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha

untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri

pelayanan agama (Gallup & Bezilla, 1992 dalam Santrock 1999).

6. Kebutuhan Lanjut Usia

Menurut Tody Lalenoh (1993:44) kebutuhan lanjut Usia sebagai

berikut :

a. Kebutuhan-kebutuhan primer/utama lansia sebagai berikut:

1) Kebutuhan biologis/psikologis yang meliputi kebutuhan

makanan yang bergizi, seksual, pakaian, dan perumahan(tempat

berteduh)

2) Kebutuhan ekonomi, yaitu berupa penghasilan yang memadai

3) Kebutuhan kesehatan, berupa kesehatan fisik, mental,

perawatan, dan keamanan

4) Kebutuhan psikologis, yang meliputi kasih sayang, adanya

tanggapan dari orang lain, ketentraman, merasa berguna,

memiliki jati diri serta status yang jelas

5) Kebutuhan sosial, yaittu berupa peranan-peranan dalam

hubungan-hubungan dengan orang lain, hubungan antar pribadi

dalam keluarga, teman-teman sebaya, dan hubungan dengan

organisasi-organisasi sosial

b. Kebutuhan-kebutuhan sekunder lansia, meliputi:

1) Kebutuhan dalam melakukan aktivitas


14

2) Kebutuhan dalam pengisian waktu luang dan rekreasi

3) Kebutuhan yang bersifat kebudayaan, seperti informasi dan

pengetahuan, keindahan, dan lain-lain

4) Kebutuhan yang bersifat politis, yaitu meliputi status,

perlindungan hukum, partisipasi dan keterlibatan dalam

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan negara atau pemerintah

Sesuai penjabaran menurut Maslow dalam Sri Salmah (2014:14)

dan Tody Lalenoh (1993:44) dapat disimpulkan bahwasanya lanjut usia

juga memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang seharusnya terpenuhi

dengan baik. Kebutuhan-kebutuhan primer seperti kebutuhan biologis,

ekonomi, psikologis, kebutuhan kesehatan dan kebutuhan sosial. Selain

itu ada kebutuhan sekunder diantaranya kebutuhan beraktivitas,

kebutuhan penggunaan waktu luang, kebutuhan yang sifatnya

kebudayaan, dan kebutuhan yang sifatnya politis.

2.1.2 Tinjauan Tentang Masalah Sosial

1. Pengertian Masalah Sosial

Masalah merupakan kondisi yang dipandang sejumlah orang di

masyarakat sebagai suatu yang tidak diharapkan/ diinginkan. Secara luas

masalah didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan

atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang

seharusnya. Menurut Gillin dalam Soekanto (2006:312) menjelaskan

bahwa:
15

”Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur


kebudayaan atau masyarakat , yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan-
keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga
menyebabkan kepincangan ikatan sosial.”

2. Karakteristik Masalah Sosial

Suharto (2013:71) mengidentifikasi karakteristik masalah sosial

sebagai berikut:

a. Kondisi yang dirasakan banyak orang

Suatu masalah baru dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila

kondisinya dirasakan oleh banyak orang. Jika suatu masalah mendapat

perhatian dan menjadi pembicaraan lebih dari satu orang, masalah

tersebut adalah masalah sosial.

b. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan

Suatu kondisi dapat dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat

tertentu tetapi tidak oleh masyarakat lainnya. Ukuran ‘baik’ atau

‘buruk’ sangat bergantung pada nilai atau norma yang dianut

masyarakat.

c. Kondisi yang menuntut pemecahan

Suatu kondisi yang tidak menyenangkan senantiasa menuntut

pemecahan. Umumnya, suatu kondisi yang harus dicarikan

pemecahan dianggap sebagai masalah sosial.

d. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara

kolektif. Masalah sosial berbeda dengan masalah individual. Masalah

individual dapat diatasi secara perseorangan. Tetapi, masalah sosial


16

hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial (sosial engineering)

seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena

penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut

banyak orang.

e. Masalah sosial berhubungan dengan situasi dengan norma dan nilai

yang berlaku dan ada upaya untuk mengatasinya dari masyarakat.

3. Klasifikasi Masalah Sosial

Menurut Soerjono Soekanto (2006;315) bahwa masalah sosial

dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber-sumbernya yaitu:

a. Ekonomis : kemiskinan, pengangguran

b. Biologis : penyakit menular, keracunan makanan

c. Biopsikologis : penyakit saraf, aliran sesat

d. Kebudayaan : perceraian, kenakalan remaja

4. Faktor Penyebab Masalah Sosial

Menurut Daldjoeni dalam Abulsyani (1994:187) bahwa masalah

sosial dapat bertalian dengan masalah alami ataupun masalah pribadi,

maka secara menyeluruh ada beberapa sumber penyebab timbulnya

masalah sosial, yaitu antara lain:

b. Faktor alam (ekologis-geografis), ini menyangkut gejala menipisnya

sumber daya alam. Penyebabnya dapat berupa tindakan eksploitasi

berlebihan atasnya oleh manusia dengan teknologinya yang makin

maju, sehingga kurang diperhatikan perlunya pelestarian lingkungan.

Dapat pula karena semakin bannyaknnya jumlah penduduk yang


17

secara otomatis ceoat menipiskan persediaan sumber daya alam

meskipun sudah dilakukan penghematan.

c. Faktor biologis (dalam arti kependudukan), ini menyangkut

bertambahnya jumlah penduduk dengan pesat yang dirasakan secara

nasional, regional, maupun lokal. Pemindahan manusia (mobilitas

fisik) yang dapat dihubungkan pula dengan implikasi modis dan

kesehatan masyarakat umum serta kualitas masalah pemukiman baik

di pedesaan maupun di perkotaan.

d. Faktor budaya, ini menimbulkan berbagai keguncangan mental dan

berlainan dengan beraneka penyakit kejiwaan. Pendorongnya adalah

perkembangan teknologi (komunikasi dan transportasi) dan

implikasinya dalam kehidupan ekonomi, hukum, pendidikan,

keagamaan, serta pemakaian waktu senggang.

e. Faktor sosial, dalam arti berbagai kebijaksanaan ekonomi dan politik

yang dikendalikan untuk masyarakat.

2.1.3 Tinjauan tentang Pekerjaan Sosial

1. Definisi Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu

meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) seseorang

melalui pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya. Keberfungsian

sosial seseorang ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seseorang,

cara mengatasi permasalahan yang dialami oleh seseorang, serta


18

bagaimana orang tersebut menjalankan peran dan fungsinya di

masyarakat sesuai dengan status sosial di masyarakat.

Definisi pekerjaan sosial menurut Asosiasi Pekerja Sosial Amerika

Serikat (NASW) adalah kegiatan profesionalyang membantu individu,

kelompok, atau masyarakat untuk meninngkatkan atau memulihkan

kemampuan mereka berfungsi sosial dan menciptakan kondisi sosial

yang mendukung tujuan-tujuan ini. Praktik-praktik pekerja sosial terdiri

atas penerapan profesioanal dari nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan teknik-

teknik pekerja sosial yang bertujuan membantu orang memperoleh

pelayanan-pelayanan nyata, memberikan konseling dan psikoterapi bagi

individu-individu; keluarga-keluarga; dan kelompok-kelompok,

membantu komunitas atau kelompok, dan memberi atau memperbaiki

pelayanan-pelayanan sosial dan kesehatan.

Menurut Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Budhi Wibhawa

(2010:43) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai:

“Social work is concerned with the interactions between


people and their social environment which affect the ability of
people to accomplish their life task, alleviate distress and
realize their aspirations and values.”

Pekerja sosial berurusan dengan interaksi antara orang-orang dan

lingkungan sosial, sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugas

kehidupannya, mengurangi ketegangan dan mewujudkan aspirasi dan

nilai-nilai mereka.
19

Apabila seorang pekerja sosial menjalankan tugas atau tujuan dari

pekerjaan sosial dimana keberfungsian sosial dan kesejahteraan sosial

sebagai ujung pencapaian dari tugas pekerjaan sosial. Pelaksanaan peran

dari pekerja sosial tidak dapat dijalankan oleh satu pihak saja tetapi harus

adanya koordinasi/ kerja tim bersama-sama dengan pihak yang

membutuhkan pertolongan dengan dasar pekerjaan sosial adalah “ to

help people to help themselves”

2. Kerangka Pekerjaan Sosial

a. Kerangka Pengetahuan (Body of Knowledge)

Pekerja sosial didalam memberikan pelayanan kepada klien

harus mempergunakanpengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah

teruji validitasnya.Pengetahuan pada umumnya dihasilkan dari

research dan praktek yang sudah teruji ketepatan dan

kebenarannya.Pengetahuan pekerjaan sosial dikelompokkan ke dalam

3 golongan:

a) Pengetahuan tentang klien

b) Pengetahuan tentang lingkungan sosial

c) Pengetahuan tentang profesi pekerjaan sosial professional

b. Kerangka Nilai (Body of Value)

Pincus dan Minahan (1973) menyatakan bahwa nilai adalah

keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenai apa yang diinginkan

atau dianggap baik oleh manusia. Nilai yang dianut oleh seseorang
20

dapat menentukan sikap dan tindakan dalam berinteraksi dengan

orang lain.

c. Kerangka Ketrampilan (Body of Skill)

Keterampilan-keterampilan dasar bagi seorang pekerja sosial,

antara lain:

a) Keterampilan memberikan pertolongan dasar

b) Keterampilan melakukan perjanjian/engangement

c) Keterampilan melakukan observasi

d) Keterampilan berkomunikasi

e) Keterampilan empati

Alat untuk meningkatkan keterampilan pekerjaan sosial:

a) Pencatatan kasus

b) Supervisi

c) Konferensi penanganan kasus

d) Pembahasan ulang dan evaluasi

e) Konsultasi

3. Prinsip – Prinsip Pekerjaan Sosial

Berikut prinsip-prinsip pekerjaan sosial, diantaranya:

a. Prinsip Penerimaan

Secara mendasar prinsip penerimaan melihat pekerja sosial

harus memiliki kemampuan untuk dapat menerima kelayan apa

adanya, tanpa membeda-bedakan. Hal ini diperlukan untuk

mengembangkan relasi yang harus dibangun antara pekerja sosial


21

dengan kelayannya dalam proses pertolongan.Sebagai contoh seorang

pekerja sosial harus mampu meredam perasaan suka atau tidak suka

yang terlihat dari penampilan fisik kelayannya.

b. Prinsip Komunikasi

Prinsip komunikasi sangat berkaitan dengan kemampuan

pekerja sosial dalam menangkap informasi yang dikemukakan oleh

kelayan baik secara verbal maupun non verbal.Dengan prinsip

komunikasi pekerja sosial harus memiliki kemampuan untuk dapat

membantu kelayan dalam mengungkapkan perasaannya, sehingga bisa

diperoleh kejelasan dalam permasalahan yang dialami oleh kelayan.

Komunikasi tidak boleh terjalin karena didasarkan atas praduga.

c. Prinsip Individualisasi

Seorang pekerja sosial harus dapat menerima keunikan manusia,

yang memiliki perbedaan satu sama lainnya. Dengan demikian dalam

proses pertolongan harus dikembangkan intervensi yang sesuai

dengan kondisi kelayan agar mendapatkan hasil yang optimal

d. Prinsip Partisipasi

Melalui prinsip partisipasi pekerja sosial hanya berperan sebagai

fasilitator saja, karena peran aktif kelayan sangat menentukan

keberhasilan intervensi dalam proses pertolongan.Dengan prinsip

partisipasi, terlihat bahwa peran kelayan sangat besar dalam proses

pertolongan. Hubungan yang terjalin antara kelayan dengan pekerja

sosial adalah mitra kerja. Pekerja sosial hanyalah memberikan


22

berbagai alternatif solusi dalam pemecahan masalahnya, kelayanlah

yang akan mengambil keputusan.

e. Prinsip Kerahasiaan

Pekerja sosial harus memegang teguh prinsip kerahasiaan dalam

penanganan kasus-kasus yang dialami oleh kelayannya.Dengan

prinsip kerahasiaan kelayan diharapkan mendapatkan jaminan akan

informasi yang diberikannya pada pekerja sosial, sehingga dia dapat

dengan leluasa mengungkapkan berbagai persoalan dan ungkapan

perasaannya kepada pekerja sosial.

f. Prinsip Kesadaran diri

Pekerja sosial profesional dituntut memiliki kemampuan untuk

dapat mengendalikan dirinya untuk tidak ikut hanyut oleh perasaan

atau permasalahan yang dihadapi kelayan. Pekerja sosial harus

bersikap rasional dengan tetap menerapkan sikap empatinya.Jika

kontrol diri dan kesadaran pekerja sosial sulit dikendalikan dalam

proses pertolongan terhadap kelayannya, maka sebaiknya aktivitas

dialihkan pada pekerja sosial lainnya

4. Metode Pekerjaan Sosial

Pekerja sosial dalam menerapkan prakteknya menggunakan

metode-metode dalam pekerjaan sosial,diantaranya :

a. Social Case Work (Praktek Pekerjaan Sosial dengan Individu dan

Keluarga)
23

Social casework merupakan suatu proses untuk membantu

individu-individu dalam mencapai suatu penyesuaian satu sama lain

serta penyesuaian antara individu dengan lingkungan sosialnya. Sosial

casework merupakan suatu metode yang terorganisir dengan baik

untuk membantu orang agar dia mampu menolong dirinya sendiri

serta ditujukan untuk meningkatkan, memperbaiki dan memperkuat

keberfungsian sosial.( Rex A Skidmore).

b. Social Group Work (Praktek Pekerjaan Sosial dengan Kelompok)

Menurut The National of Social Work, Social group work

merupakan suatu pelayanan kepada kelompok, yang tujuan utamanya

untuk membantu anggota kelompok memperbaiki penyesuaian sosial

mereka (social adjusment), dan tujuan keduanya untuk membantu

kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat.

Menurut Skidmore & Thakery, Social Group Work merupakan

suatu metode bekerja dengan orang lain dalam kelompok (dua orang

atau lebih) yang ditujukan untuk mengembangkan keberfungsian

sosial dan untuk mencapai tujuan sosial yang diharapkan.

c. Community Organization/Community Development (Praktek

Pekerjaan Sosial dengan Komunitas dan Masyarakat)

Community Organization adalah suatu proses untuk memelihara

keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan sosial dengan sumber-

sumber kesejahteraan sosial dari suatu masyarakat tertentu atau suatu

bidang kegiatan tertentu (Arthur Dunham, 1958)


24

Community Work adalah suatu proses membantu masyarakat

untuk memperbaiki masyarakatnya melalui kegiatan yang dilakukan

secara bersama-sama (Alan Twevetrees, 1993)Masyarakat dalam

konteks pengembangan dan pengorganisasian, diartikan sebagai

sebuah ‘tempat bersama’ yakni sebuah wilayah geografi yang sama

(Mayo, 1998), misalnya RT, RW, kampung, pedesaan, perumahan di

perkotaan.

2.2 Kebijakan Penanganan Masalah Lanjut Usia Terlantar

Kebijakan merupakan suatu prinsip atau tindakan yang diambil dapat

menyelesaikan suatu permasalahan, baik yang dialami oleh perseorangan,

kelompok maupun masyarakat. Kebijakan terkadang diambil karena suatu

kondisi atau situasi masalah yang memerlukan suatu tindakan atau penanganan

secara cepat.

2.2.1 Pengertian Kebijakan

Ealau dan Prewitt (1973) dalam Suharto (2010:7) menyatakan

kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh

perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun

yang mentaatinya (yang terkena kebijakan ini).

Menurut titmuss (1974) dalam Suharto (2006:7) mendefinisikan

kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan

kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan menurut Titmuss senantiasa

berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada

tindakan (action-oriented). Kebijakan (policy) merupakan sebuah ketetapan,


25

instrumen, atau prinsip-prinsip yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan menyangkut tindakan-tindakan yang diarahkan pada kepentingan

masyarakat atau warga negara.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan (policy) merupakan sebuah ketetapan, instrumen, atau prinsip-

prinsip yang dibuat untuk pencapaian tujuan tertentu. Kebijakan yang dibuat

memiliki kekuasaan yang menyangkut tindakan-tindakan yang diarahkan

pada kepentingan masyarakat atau warga negara. Ketentuan yang bersifat

menyeluruh dan mengikat kepada seluruh lapisan yang terkena oleh

kebijakan itu.

2.2.2 Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik.

Kebijakan merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon

isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi

kebutuhan masyarakat yang banyak.

Menurut Bessant, dkk dalam Suharto (2013:11) kebijakan sosial

adalah

“In short, social policy refers to what goverments do when they


attempt to improve the quality of people’s live by providing a range
of income support, community services and support programs.”

Artinya kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh

pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia

melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan

kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya.


26

1. Tujuan Kebijakan Sosial

Suharto (2010:111) mengidentifikasi tujuan-tujuan kebijakan sosial

sebagai berikut :

a. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial

yang terjadi di masyarakat.

b. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau

masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri

melainkan harus melalui tindakan kolektif.

c. Meningkatkan hubungan interaksional manusia dengan mengurangi

kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh

faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural.

d. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif

bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan pencapaian

kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat

kemanusiaan.

e. Menggali, mengalokasikan, dan mengembangkan sumber-sumber

kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan

sosial.

Menurut David Gil (1973), untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan

sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakat yang perlu

diubah yaitu yang menyangkut :

a. Pengembangan sumber-sumber;

b. Pengalokasian status;
27

c. Pendistribusian hak.

Pengembangan sumber-sumber meliputi pembuatan keputusan

masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan berkenaan dengan

jenis, kualitas, dan kuantitas semua barang-barang dan pelayanan yang

ada dalam masyarakat. Pengalokasian status menyangkut peningkatan

dan perluasan akses serta keterbukaan kriteria dalam menentukan akses

tersebut bagi seluruh anggota masyarakat.

Kebijakan sosial harus memiliki efek pada penghilangan segala

bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial harus mendorong bahwa seluruh

anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh

pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat, dan berkumpul dalam

organisasi sosial, tanpa mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status

sosial ekonomi, ras, suku bangsa dan agama. Pendistribusian hak

menunjuk pada perluasan kesempatan individu dan kelompok dalam

mengontrol sumber-sumber material dan non material.

2. Sasaran Kebijakan Sosial

a. Individu, kelompok dan masyarakat yang menyandang masalah

sosial.

b. Individu, kelompok dan masyarakat yang dikhawatirkan akan

menjadi penyandang masalah sosial.

c. Sumber dan potensi yang mendukung pelayanan sosial.

d. Lembaga pemerintah dan swasta, organisasi-organisasi sosial di

masyarakat.
28

3. Pelayanan yang Berkaitan dengan Kebijakan Sosial

a. Program pemeliharaan pendapatan meliputi jaminan sosial seperti

lanjut usia kesehatan dan lain-lain.

b. Pelayanan case work, group work, seperti konseling, pelayanan

kesejahteraan anak dan lain-lain.

c. Program bantuan perumahan bagi orang yang pendapatannya

menengah ke bawah seperti perumnas.

d. Bantuan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan pelayanan

sosial lainnya.

e. Program pendidikan seperti sekolah luar biasa A-D dan penempatan

pekerja sosial di sekolah.

f. Pelayanan yang berorientasi pada pekerjaan seperti training bagi

PPKS, penyandang cacat, remaja putus sekolah dan lain-lain.

2.2.3 Landasan Kebijakan dan Program terkait dengan lanjut usia

1. Landasan Idiil Pancasila mengarahkan agar semua pembangunan dan

pelayanan sosial harus merupakan penjabaran pengalaman dari sila

dalam Pancasila.

2. Landasan Konstitutional

a. Pasal 27 ayat (2) : Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;

b. Pasal 28 C ayat (1) : Setiap orang berhak mengembangan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat

pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan


29

teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya

dan demi kesejahteraan umat manusia;

c. Pasal 28 H ayat (1) : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;

d. Pasal 28 H ayat (2) : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan;

e. Pasal 28 H ayat (3) : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai

manusia yang bermartabat;

f. Pasal 28 I ayat (2) : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu;

g. Pasal 34 ayat (2) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial

bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah

dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

h. Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak.

3. Landasan struktural berupa perundang-undangan, antara lain:

1) Undang-undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok kesejahteraan Sosial.


30

2) Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

3) Undang-undang No.13 tahun 1898 tentang Kesejahteraan Lanjut

Usia.

4) Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2004 tentang Upaya

Pelaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Sosial lanjut Usia

5) Keputusan Presiden RI. No. 52 tahun 2004 tentang komisi

Nasional Lanjut Usia

6) Keputusan Menkokesra No.15/Kep/Menko/Kesra/IX/1994

tentang Panitia Nasional Pelembangan Lanjut Usia dalam

Kehidupan Bangsa.

7) Keputusan Mentri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

No.05/KepMenko/Kesra/VIII/1989 tentang Pembentukan

Kelompok Kerja Tetap Kesejahteraan Lansia.

2.2.4 Program yang Berkaitan dengan Lansia Terlantar

Lanjut usia merupakan suatu masa yang akan dilalui oleh setiap orang

tanpa kecuali. Lanjut usia ini merupakan akhir dari proses perkembangan

manusia. Banyak hal terjadi di masa ini, seperti masalah yang bermunculan

yaitu masalah ekonomi dengan tidak mempunyai lagi pekerjaan yang

menyebabkan lanjut usia tersebut tidak mempunyai penghasilan dan tidak

mempunyai keterampilan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya

sehari-hari. Masalah psikologis yang dialami oleh usia lanjut merasa

diasingkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar, merasa menjadi kaum

minoritas sehingga melakukan penarikan diri dari lingkungan sekitar dan


31

merasa sudah tidak mempunyai lagi kemampuan untuk berkontribusi

terhadap orang lain.

Lanjut usia dengan segala permasalahan yang dihadapi tentu

membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terutama bagi lansia yang

kurang mampu dalam perekonomian. Lansia tersebut membutuhkan bantuan

agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pemerintah

Indonesia mempunyai kebijakan yang direalisasikan melalui berbagai

program untuk menangani masalah kesejahteraan sosial yang ada di

Indonesia melalui kementrian sosial yang berkoordinasi dengan kementrian-

kementrian lain yang terkait.

1. Pusat Pelayanan Lanjut Usia (Adult Day Care Center, Senior Center)

Berbagai kegiatan yang disediakan di lingkungan fasilitas ini

adalah rekreasi, latihan ketrampilan, kegiatan kesenian dan kebudayaan,

reabilitasi, kesehatan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.

Penggunaanya adalah para lanjut usia yang membutuhkan kegiatan

positif yang disupervisi, khusunyauntuk mengisi waktu sengang

mereka.

2. Santunan Keluarga

Santunan keluarga merupakan pelayanan yang paling banyak

dilakukan dalam hal lanjut usia tidak mampu, sakit atau cacat

sedangkan keluarganya tidak mempunyai kemampuan untuk

memberikan pelayanan yang memadai. Pelayanan yang diberikan dapat


32

bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang. Santunan yang

diberikan antara lain:

a. Pemberian makanan setiap hari sesuai dengan kebutuhan lanjut usia

(means-on-wheels).

b. Penyediaan pelayanan kesehatan bagi yang sakit atau cacat.

c. Penyuluhan tentang kesehatan bagi yang sakit atau cacat, gangguan

jiwa/psikoneurosis serta latihan keterampilan dan fisik.

Pembiayaan untuk kegiatan ini dapat berasal dari pemerintah

maupun masyarakat terutama melalui organisasi sosial masyarakat

sedangkan pelaksanaannya di lapangan adalah pekerja sosial

masyarakat, relawan sosial, perawat dan tenaga-tenaga lain.

3. Panti Werdha

Pada umumnya panti werda memberikan akomodasi dan

pelayanan atau perawatan jangka panjang bagi lanjut usia yang tidak

memiliki sanak keluarga atau tidak ingin membebani keluarga anak atau

sanak keluarganya. Di Indonesia penghuni panti werda cukup

heterogen, baik bagi lanjut usia yang masih potensia maupun non

potensial.

4. Rumah Sakit Lanjut Usia

Pelayanan yang diberikan para rumah sakit ini sama seperti

rumah sakit lain, yaitu menyembuhkan penyakit-penyakit fisik yang

disandang lanjut usia. Rumah sakit lanjut usia tidak menyediakan

perawatan jangka panjang.


33

5. Pos Binaan Terpadu (Posbindu) Lanjut Usia

Menurut Depkes RI, posbindu adala pusat bimbingan pelayanan

kesehatan yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh

masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam

rangka untuk mencapai masyarakat yang sehat dan sejahtera. Posbindu

merupakan sala satu bentuk upaya kesehatan bersumberdaya

masyarakat (UKBM) yang dibentuk oleh 45

6. Asistensi Lanjut Usia (Aslut)

Pelayanan sosial ini diarahkan untuk meningktakan keberfungsian

soosial bagi para laanjuat usia yang mengalami hambatan medis,

ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan kondisi tersebut maka

pelayanan sosial harus terus diperluas jangkauannya dan ditigkatkan

cara pemberian pelayanannya. Upaya untuk memperluas jangkauan

pelayanan dilaksanakan melalui berbagai program salah satunya

pelaksanaan pelayanan dan Asistensi Lanjut Usia Terlantantar

(ASLUT).

7. Program Kerukunan Tetangga

Kegiatan ini sifatnya informal, dilaksanakan secara sukarela oleh

warga suatu lingkungan tetangga untuk mengadakan hubungan dengan

para lanjut usia yang hidupnya sendirian atu mengalami masalah

tertentu sehingga memerlukan kedekatan hubungan dengan lingkungan


34

sosialnya. Walaupun informal, program tersebut kerap kali

diorganisasikan secara professional oleh badan sosial.

2.3 Sistem Sumber Bagi Lanjut Usia Terlantar

Sumber kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai sumber dan potensi

yang dapat digunakan dalam usaha kesejahteraan sosial atau praktik pekerjaan

sosial, selain itu sistem sumber pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang

memiliki nilai dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta

memecahkan masalah.

Fokus praktik pekerjaan sosial adalah intreraksi diantara orang dengan

sistem-sistem sumber yang ada di lingkungan sekitarnya. Bagi Lanjut usia

terlantar membutuhkan dukungan keluarga dan lingkungan sosialnya untuk

dapat membantu mereka dalam melaksanakan keberfungsian sosialnya.

Pincus dan Minahan (1991:38) mengklasifikasikan sistem sumber

kesejahteraan sosial menjadi sistem sumber informal atau alamiah, sistem

sumber formal maupun sistem sumber kemasyarakatan. Adapun penjelasan

lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Sistem Sumber Informal atau Alamiah

Sistem sumber informal atau alamiah merupakan sumber yang

dapat memberikan bantuan yang berupa dukungan emosional dan afeksi,

nasihat dan informasi serta pelayanan-pelayanan kongkret lainnya

misalnya peminjaman uang. Sumber ini diharapkan dapat membantu


35

memperoleh akses kepada sistem sumber lainnya dalam bentuk

pemberian informasi dan mempermudah birokrasi.

Sumber ini dalam penggunaannya tidak menggunakan prosedur,

sifatnya tanpa pamrih, ikhlas, jujur, penuh persahabatan, cinta kasih, dan

tidak ada latar belakang yang tidak baik.

2. Sistem Sumber Formal

Sistem sumber formal adalah keanggotannaya di dalam suatu

organisasi atau asosiasi formal yang dapat memberikan bantuan atau

pelayanan secara langsung kepada anggotanya. Sumber ini dapat

digunakan apabila orang itu telah memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh sumber tersebut.

Sumber-sumber ini biasanya berbentuk lembaga-lembaga formal,

seperti organisasi, serikat buruh, koperasi, bank, asosiasi-asosiasi

profesional (Himpunan Pekerja Sosial Indonesia, Ikatan Dokter

Indonesia).

3. Sistem Sumber Kemasyarakatan

Sistem sumber kemasyarakatan merupakan sumber (lembaga-

lembaga pemerintah ataupun swasta) yang dapat memberikan bantuan

pada masyarakat umum. Sumber yang dapat dikelompokkan pada sistem

sumber kemasyarakatan seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan

umum, lembaga pelayanan kesejahteraan sosial (Panti Asuhan, Panti

Jompo), lembaga swadaya masyarakat adalah beberapa contoh sistem

sumber yang dapat dijangkau dan digunakan oleh masyarakat luas.


36

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa disamping

sumber yang ada pada diri sendiri juga terdapat sumber-sumber yang ada

di masyarakat yang tercakup dalam Potensi dan Sumber Kesejahteraan

Sosial (PSKS).

Pemerintah juga menggolongkan sistem sumber kedalam beberapa

kategori. Dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber

Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat (4) Potensi dan sumber kesejahteraan

sosial yang selanjutnya disebut PSKS adalah perseorangan, keluarga,

kelompok, dan/atau masyarakat yang dapat berperan serta untuk

menjaga, menciptakan, mendukung, dan memperkuat penyelenggaraan

kesejahteraan sosial. Selanjutnya Potensi dan Sumber Kesejahteraan

Sosial (PSKS) tersebut dibagi kedalam 12 jenis, adapun penjabarannya

adalah sebagai berikut :

a. Pekerja Sosial Profesional

Seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun

swasta yang memiliki kompetensi dan profesi Pekerjaan Sosial, dan

kepedulian dalam Pekerjaan Sosial yang diperoleh melalui

pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik Pekerjaan

Sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan

masalah sosial. Kriteria :

1) Telah bersertifikasi Pekerja Sosial profesional; dan


37

2) Melaksanakan praktik Pekerjaan Sosial.

b. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)

Warga masyarakat yang atas dasar rasa kesadaran dan

tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan,

kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi

di bidang kesejahteraan sosial. Kriteria :

1) Warga negara Indonesia;

2) Laki-laki atau perempuan usia minimal 18 (delapan belas)

tahun;

3) Setia dan taat pada Pancasila dan undang-undangan dasar

negara republik Indonesia tahun 1945;

4) Bersedia mengabdi untuk kepentingan umum;

5) Berkelakuan baik;

6) Sehat jasmani dan rohani;

7) Telah mengikuti pelatihan PSM; dan

8) Berpengalaman sebagai anggota karang Taruna sebelum

menjadi PSM.

c. Taruna Siaga Bencana (Tagana)

Seorang relawan yang berasal dari masyarakat yang memiliki

kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana. Kriteria

untuk dapat diangkat menjadi Tagana :

1) Generasi muda berusia 18 (delapan belas) tahun sampai

dengan 40 (empat puluh) tahun;


38

2) Memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam

penanggulangan bencana;

3) Bersedia mengikuti pelatihan yang khusus terkait dengan

penanggulangan bencana;

4) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan

5) Setia dan taat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945.

d. Lembaga Kesejahteraan Sosial selanjutnya disebut LKS

Organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang

melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk

oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak

berbadan hukum. Kriteria :

1) Mempunyai nama, struktur, dan alamat organisasi yang jelas;

2) Mempunyai pengurus dan program kerja;

3) Berbadan hukum atau tidak berbadan hukum; dan

4) Melaksanakan atau mempunyai kegiatan dalam bidang

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

e. Karang Taruna

Organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana

pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan

berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari,

oleh, dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah


39

desa/kelurahan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan

sosial. Kriteria:

1) Organisasi kepemudaan berkedudukan di desa/kelurahan;

2) Laki-laki atau perempuan yang berusia 13 (tiga belas) tahun

sampai dengan 45 (empat puluh lima) tahun dan berdomisili di

desa;

3) Mempunyai nama dan alamat, struktur organisasi dan susunan

kepengurusan; dan

4) Keanggotaannya bersifat stelsel pasif.

f. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3)

Suatu lembaga/organisasi yang memberikan pelayanan

konseling, konsultasi, pemberian/penyebarluasan informasi,

penjangkauan, advokasi dan pemberdayaan bagi keluarga secara

profesional, termasuk merujuk sasaran ke lembaga pelayanan lain

yang benar-benar mampu memecahkan masalahnya secara lebih

intensif. Kriteria :

1) Organisasi sosial;

2) Aktifitas memberikan jasa layanan konseling, konsultasi,

informasi, advokasi, rujukan;

3) Didirikan secara formal; dan

4) Mempunyai struktur organisasi dan Pekerja Sosial serta tenaga

fungsional yang profesional.


40

g. Keluarga Pioner

Keluarga yang mampu mengatasi masalahnya dengan cara-

cara efektif dan bisa dijadikan panutan bagi keluarga lainnya.

Kriteria:

1) Keluarga yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga;

2) Keluarga yang mempunyai prilaku yang dapat dijadikan

panutan;

3) Keluarga yang mampu mempertahankan keutuhan keluarga

dengan prilaku yang positif; dan

4) Keluarga yang mampu dan mau menularkan perilaku positif

kepada keluarga lainnya.

h. Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat

(WKSBM)

Sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di

akar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun

jaringan pendukungnya. Kriteria:

1) Adanya sejumlah perkumpulan, asosiasi, organisasi/kelompok

yang tumbuh dan berkembang di lingkungan RT/ RW/

Kampung/ Desa/ kelurahan/ nagari/ banjar atau wilayah adat;

2) Jaringan sosial yang berada di RT/ RW/ Kampung/ Desa/

Kelurahan/ nagari/ banjir atau wilayah adat; dan

3) Masing- masing perkumpulan, asosiasi, organisasi kelompok

tersebut secara bersama-sama melaksanakan kesejahteraan


41

sosial secara sinergis di lingkungan.

i. Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial

Wanita yang mampu menggerakkan dan memotivasi

penyelenggaraan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Kriteria:

1) Berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 59 (lima

puluh sembilan) tahun;

2) Berpendidikan minimal SLTP;

3) Wanita yang mempunyai potensi untuk menjadi/sudah menjadi

pemimpin dan diakui oleh masyarakat setempat;

4) Telah mengikuti pelatihan kepemimpinan wanita di bidang

kesejahteraan sosial; dan

5) Memimpin usaha kesejahteraan sosial terutama yang

dilaksanakan oleh wanita di wilayahnya.

j. Penyuluh Sosial

1. Penyuluh sosial fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)

yang mempunyai jabatan ruang lingkup, tugas, tanggung jawab,

wewenang, untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan bidang

penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Kriteria penyuluh sosial

fungsional:

a) Berijazah sarjana (S1)/Diploma IV;

b) Paling rendah memiliki pangkat Penata Muda, Golongan

III/a;

c) Memiliki pengalaman dalam kegiatan penyuluhan sosial


42

paling singkat 2 (dua) tahun;

d) Telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan

fungsional penyuluh sosial;

e) Usia paling tinggi 50 (lima puluh) tahun; dan

f) Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan

pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan

(DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun

terakhir.

2. Penyuluh sosial masyarakat adalah tokoh masyarakat (baik dari

tokoh agama, tokoh adat, tokoh wanita, tokoh pemuda) yang

diberi tugas, tanggung jawab wewenang dan hak oleh pejabat

yang berwenang bidang kesejahteraan sosial (pusat dan daerah)

untuk melakukan kegiatan penyuluhan bidang penyelenggaraan

kesejahteraan sosial. Kriteria penyuluh sosial masyarakat:

a) Memiliki pendidikan minimal SLTP/ sederajat;

b) Berusia antara 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 60

(enam puluh) tahun;

c) Tokoh agama/ tokoh masyarakat/ tokoh pemuda/ tokoh

adat/ tokoh wanita;

d) Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) ;

e) Taruna Siaga Bencana (Tagana);

f) Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamantan (TKSK) ;

g) Pendamping Keluarga Harapan (PKH);


43

h) Petugas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga

(Petugas LK3) ;

i) Manager Kesejahteraan Sosial tingkat desa (Kepala Desa) ;

j) Memiliki pengaruh terhadap masyarakat tempat domisili;

k) Memiliki pengalaman berceramah atau berpidato;

l) Paham tentang permasalahan Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS); dan

m) Memahami pengetahuan tentang Potensi Sumber

Kesejahteraan Sosial.

k. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan ( TKSK )

Tenaga inti pengendali kegiatan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial di kecamatan. Kriteria :

1) Berasal dari unsur masyarakat;

2) Berdomisili di kecamatan dimana ditugaskan;

3) Pendidikan minimal SLTA, diutamakan D3/S1;

4) Diutamakan aktifis karang taruna atau PSM;

5) Berusia 25 (dua puluh lima) tahun sampai dengan 50 (lima

puluh) tahun;

6) Berbadan sehat (keterangan dokter/puskesmas);

7) Diutamakan yang sudah mengelola UEP; dan

8) SK ditetapkan oleh Kementrian Sosial.


44

l. Dunia Usaha

Organisasi yang bergerak di bidang usaha, industri atau

produk barang atau jasa serta Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, serta/atau wirausahawan beserta jaringannya

yang peduli dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan

kesejahteraan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial. Kriteria:

1) Peduli dan berpatisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan

sosial; dan

2) Membantu penanganan masalah sosial.


45

Anda mungkin juga menyukai