Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KALA II LAMA

Mata kuliah : Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dan

Basic Life Suport

Di susun oleh :

Kelompok 5

Sri Fanni (2015301031)


Tiara Puspa Prameswari (2015301033)
Velsi Rafika Findaya (2015301035)
Verani Tri Yolanda (2015301036)
Yustina (2015301037)
Zahra Berliana Erisya (2015301038)

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI D4 KEBIDANAN TANJUNG KARANG
TINGKAT 2 (REGULER 1)
T.A 2022/2023
11
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dan Basic Life Suport

Salawat serta salam marilah senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.

Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu


mata kuliah yang telah memberikan tugas ini dengan sebaik-baiknya.

Di dalam makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan agar menjadikan
makalah ini lebih baik lagi.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua, dan semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang kala II

Bandar Lampung, 09 Februari 2022

Kelompok 5
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persalinan Kala II lama


2.1.1 Definisi Persalinan kala II lama
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui
jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan
(Ujiningtyas, 2009 ; 1).

Persalinan kala II lama dimulai sejak pembukaan lengkap sampa


terjadi pengeluaran seluruh janin. Persalinan kala II lama adalah kala
II yang berlangsung lebih dari 2 jam pada primi dan lebih dari 1 jam
pada multipara. Diagnosa kala II lama yaitu ditandai dengan tanda dan
gejala klinis pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengejan tetapi
tidak ada kemajuan pengeluaran kepala (Wiknjosastro, 2013 ; 112).

Partus lama menurut Hardjono (2008 ; 387) merupakan fase terakhir


dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga
timbul gejala seperti dehidrasi, infeksi, ke;e;ahan ibu, serta asfiksia
kematian janin dalam kandungan.
2.1.2 Tanda-tanda dan gejala klinik Kala II lama
2.1.2.1 Pada ibu
Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat,
dan pernafasan cepat. Di daerah local sering dijumpai edema
vulva, edema serviks, cairan berbau terdapat mekonium.
2.1.2.2 Pada janin
a. DJJ cepat/ tidak teratur, air ketuban terdapat mekonium,
kental kehijau-hijauan, berbau.
b. Kaput succedaneum yang besar.
c. Moulage kepala yang hebat

10
d. kematian janin dalam kandungan
2.1.3 Etiologi Kala II lama
13
Menurut Hardjono (2008; 388) etiologi kala II lama adalah sebagai
berikut :
2.1.3.1 Kelainan letak janin
2.1.3.2 Kelainan-kelainan panggul
2.1.3.3 Kelainan his
2.1.3.4 Pimpinan partus yang salah
2.1.3.5 Janin besar, ada kelainan congenital
2.1.3.6 Primitua
2.1.3.7 Ketuban pecah dini
2.1.4 Faktor predisposisi
Faktor predisposisi kala II lama (Ujiningtyas, 2009 ; 23) adalah
sebagai berikut :
2.1.4.1 Keadaan lingkungan yang kurang sehat
2.1.4.2 Mal nutrisi
2.1.4.3 Usia terlalu muda kurang dari 20 tahun, atau lebih dari 35
tahun
2.1.4.4 Diabetes mellitus

Menurut penelitian Ardhiyanti (2016) ada beberapa faktor yang


berhubungan dengan kejadian partus lama yaitu faktor ibu (usia,
paritas dan HIS serta penyakit penyerta pada ibu), faktor janin (besar
janin, letak janin) dan faktor jalan lahir (panggul sempit).

2.1.5 Karakteristik Kala II


Kala II adalah persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II dikenal
juga sebagai kala pengeluaran. Pada primi berlangsung lebih kurang 2
jam, pada multi berlangsung kira-kira dalam 1 jam.

Tanda-tanda kala II yaitu ibu merasakan ingin meneran bersamaan


dengan terjadinya kontraksi, ibu merasakan adanya peningkatan
tekanan pada rektum dan atau vaginanya, perineum menonjol, vulva
dan vagina dan spinter ani terbuka, meningkatnya pengeluaran lendir
bercampur darah.
2.1.6 Patofisiologi Kala II Lama
14
Distosia ditandai dengan kemajuan persalinan yang lambat. Keadaaan
ini sebagai akibat empat abnormalitas yang berbeda yang dapat
ditemukan secara tunggal maupun kombinasi. Salah satunya
abnormalitas pada tenaga ekspulsi yaitu uterus tidak cukup kuat untuk
mengahasilkan penipisan dan dilatasi serviks (disfungsi uterus) atau
upaya otot volunteer yang tidak memadai pada kala II dan juga
disebabkan karena kekuatan mengejan yang kurang kuat dan kurang
efektif (Ujiningtyas, 2009 ; 25)

Karena keabnormalan tersebut dapat mengakibatkan kemacetan pada


penurunan. Sebagian besar wanita tidak dapat menahan keinginan
untuk mengejan setiap kali timbul his, dengan menarik nafas dalam,
menutup glottis dengan mengkontraksikan otot-otot abdomen
berkalikali dengan sepenuh tenaga untuk menimbulkan peningkatan
tekanan intra abdomen yang besar selama berlangsungnya kontraksi
uterus. Pada kala II kadang tenaga ekspulsi tidak cukup kuat sehingga
dapat menyebabkan pemanjangan pada kala II (Ujiningtyas, 2009 ; 26)
2.1.7 Dampak Kala II lama
Dampak kala II lama adalah sebagai berikut (Wiknjosastro, 2013 ;
116) :
2.1.7.1 Bahaya bagi ibu
Partus lama menimbulkan efek berbahaya baik terhadap ibu
maupun anak. Beratnya cedera meningkat dengan semakin
lamanya proses persalinan, resiko tersebut naik dengan cepat
setelah waktu 24 jam. Terdapat kenaikan pada insidensi
atonia uteri, laserasi, perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan
shock. Angka kelahiran dengan tindakan yang tinggi semakin
memperburuk bahaya bagi ibu.
2.1.7.2 Bahaya bagi janin
Semakin lama persalinan, semakin tinggi morbiditas serta
mortalitas janin dan semakin sering terjadi keadaan berikut
ini :
a. Asfiksia akibat partus lama itu sendiri
b. Trauma cerebri yang disebabkan oleh penekanan pada
kepala janin
15
c. Cedera akibat tindakan ekstraksi dan rotasi dengan
forceps yang sulit
d. Pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran. Keadaan ini
mengakibatkan terinfeksinya cairan ketuban dan
selanjutnya dapat membawa infeksi paru-paru serta
infeksi sistemik pada janin.

Sekalipun tidak terdapat kerusakan yang nyata, bayi-bayi pada partus


lama memerlukan perawatan khusus. Sementara pertus lama tipe
apapun membawa akibat yang buruk bayi anak, bahaya tersebut lebih
besar lagi apalagi kemajuan persalinan pernah berhenti. Sebagian
dokter beranggapan sekalipun partus lama meningkatkan resiko pada
anak selama persalinan, namun pengaruhnya terhadap perkembangan
bayi selanjutnya hanya sedikit. Sebagian lagi menyatakan bahwa bayi
yang dilahirkan melalui proses persalinan yang panjang ternyata
mengalami defisiensi intelektual sehingga berbeda jelas dengan
bayibayi yang lahir setelah persalinan normal
2.1.8 Penanganan kala II lama
2.1.8.1 Memberikan dukungan terus menerus kepada ibu dengan cara :
mendampingi ibu agar merasa nyaman, menawarkan minum,
mengipasi, dan memijat ibu.
2.1.8.2 Menjaga kebersihan diri meliputi : ibu tetap dijaga kebersihan
agar terhindar dari infeksi, jika ada darah lendir atau cairan
ketuban segera dibersihkan.
2.1.8.3 Masase untuk menambah kenyamanan bagi ibu.
2.1.8.4 Memberikan dukungan mental untuk mengurangi kecemasan
atau ketakutan ibu dengan cara : menjaga privasi ibu,
penjelasan tentang prosedur dan kemajuan persalinan,
penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan dan
keterlibatan ibu.
2.1.8.5 Mengatur posisi ibu dalam membimbing mengedan dapat
dipilih posisi berikut : posisi jongkok., menungging, tidur
miring, setengah duduk Menjaga kandung kemih tetap
kosong, ibu dianjurkan berkemih sesering mungkin.
2.1.8.6 Memberikan cukup minum : memberi tenaga dan mencegah
dehidrasi (Prawirohardjo, 2002) dalam Ernawati (2013).
16

Upaya mengejan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi


jumlah oksigen keplasenta. Mengejan dan menahan nafas yang terlalu
lama tidak dianjurkan. Perhatikan DJJ, bradikardi yang lama mungkin
terjadi akibat lilitan tali pusat. Untuk penanganan awal berikan
Oksitosin Drip. Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan
dalam satu jam, maka :
2.1.9.1 Lahirkan dengan bantuan vakum atau vorcep bila persyaratan
dipenuhi
2.1.9.2 Lahirkan dengan SC bila persyaratan vacuum atau forcep tidak
dipenuhi

Menurut Mochtar (2008 : 386) menyebutkan bahwa dilakukan


perawatan pendahuluan (Penisilin prokain : 1 juta IU IM, Streptomisin
1 gram IM, Infuse cairan : Larutan garam fisiologis dan atau Larutan
glukosa 5-10% pada jam pertama : satu liter / jam, Istirahat 1 jam
untuk observasi, kecuali bila keadaan mengharuskan untuk bertindak.
Pertolongan (Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vacuum,
ekstrasi forcep, SC, embriotomi bila janin meninggal)
2.1.10 Komplikasi kala II lama
Komplikasi pada kala II lama adalah sebagai berikut (Ujiningtyas,
2009 ; 28) :
2.1.10.1 Ibu tampak kelelahan (kekurangan cairan, nadi dan suhu
meningkat)
2.1.10.2 Persalinan disertai infeksi (suhu meningkat, bagian bawah
rahim terasa sakit dan tegang)
2.1.10.3 Bagian terendah janin terfiksasi
2.1.10.4 Pada pemeriksaan liang senggama dapat dijumpai bagian
terendah janin terfiksasi, sudah terasa edema dan disertai
kaput.

2.2 Primipara
Primipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi hidup untuk pertama
kalinya (Mochtar, 2008 ; 92). Sedangkan menurut Prawirohardjo (2009 ; 121)
primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup
17
besar untuk hidup di dunia luar matur atau prematur. Jadi dapat disimpulkan
primipara adalah wanita yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya.

2.3 Asfiksia Neonatorum


2.3.1 Pengertian
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter
Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013 ; 110).
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan Asidosis
(pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis, Nilai APGAR setelah menit
ke-5 tetap 0-3 dan Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau
hipoksik iskemia ensefalopati) serta Gangguan multiorgan sistem
(Prambudi, 2013 ; 110).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan
asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan
faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir
(BBL) terhadap kehidupan uterin (Berhman, Kliegman & Arvin,
2006 ; 581).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO 2 dan


asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi
fungsi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan
oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang
singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,
denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular
berkurang secara berangsurangsur dan bayi memasuki periode apnea
yang dikenal sebagai apnea primer. Perlu diketahui bahwa kondisi
pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi
akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian
perangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat
merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila asfiksia berlanjut,
bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut
jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan
bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin
18
lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea
sekunder (Berhman, Kliegman & Arvin, 2006 ; 582).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami
gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini
mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada
bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009 dalam
Prambudi, 2013 ; 112).

Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat


segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat
gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada
saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan
kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.
2.3.2 Klasifikasi Asfiksia
Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,
Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4 (Prambudi, 2013 ; 39),
yaitu:
2.3.2.1 Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2.3.2.2 Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
2.3.2.3 Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
2.3.2.4 Bayi normal dengan nilai APGAR 10 Tabel
2.1 Nilai APGAR
Nilai 0 1 2
Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut Jantung Tidak ada < 100 >100

Warna Kulit Biru atau pucat Tubuh merah Merah Jambu


jambu dan
kaki, tangan
biru
Gerakan Otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
Refleks Tidak ada Lemah/lambat Kuat
(menangis)

2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko


19
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke
bayi menjadi berkurang yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam
rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa
faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah (Gomella, 2009) dalam
Maharani (2015 ; 5)
2.3.3.1 Faktor Ibu
a. Pre-eklampsi dan eklampsi
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio
plasenta)
c. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu
kehamilan)
d. Partus lama (rigid serviks dan atonia/ insersi uteri).
e. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang
terusmenerus mengganggu sirkulasi darah ke plasenta.
f. Perdarahan banyak: plasenta previa dan solutio plasenta
(Gomella, 2009) dalam Maharani (2015 ; 4)
2.3.3.2 Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat (Gomella, 2009) dalam Maharani
(2015 ; 4)
2.3.3.3 Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
(Gomella, 2009) dalam Maharani (2015 ; 4)

2.3.4 Patofisiologi
Menurut Wiknjosastro (2013 ; 65), gangguan suplai darah
teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada saat
20
antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal
ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika
asfiksia bertambah berat.
2.3.4.1 Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini
dimaksudkan untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru
mengembang saat kepala dijalan lahir atau bila paru tidak
mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan
diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer.
2.3.4.2 Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi
klinis karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –
usaha bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan
membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak
mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan
dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan memasuki
periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi
yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan
terjadi
2.3.4.3 Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya
turun di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin
sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi
bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengahengah
bayi, frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa
semakin memburuk, metabolisme selular gagal, jantungpun
berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.
2.3.4.4 Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama
dengan pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya.
Walupun demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan
frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea
terminal.
2.3.4.5 Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia.
Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat
dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok
memburuk apnea terminal.

Menurut Prambudi (2013; 172) yang menyatakan bahwa pernafasan


spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan
21
persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih
berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak
teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai
suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada
penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi
bradikardi dan penurunan TD.
2.3.5 Manifestasi Klinik
Menurut Depkes (2007) dalam Prambudi (2013 ; 119), asfiksia
biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan
tandatanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
2.3.5.1 DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak
teratur
2.3.5.2 Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
2.3.5.3 Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot,
dan organ lain
2.3.5.4 Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
2.3.5.5 Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan
oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak
2.3.5.6 Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang
kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan
2.3.5.7 Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru atau nafas tidak teratur/megap-megap
2.3.5.8 Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam
darah
2.3.5.9 Penurunan terhadap spinkters
2.3.5.10 Pucat
2.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum pada bayi baru lahir dengan asfiksia
menurut Wiknjosastro (2013 ; 69) adalah sebagai berikut:
2.3.6.1 Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti
oleh penurunan suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi
metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen
22
meningkat, perlu diperhatikan untuk menjaga kehangatan
suhu bayi baru lahir dengan:
a. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.
b. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.
c. Bungkus bayi dengan kain kering.
2.3.6.2 Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan
cairan amnion, kepala bayi harus posisi lebih rendah
sehingga memudahkan keluarnya lendir.
2.3.6.3 Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan
memukul kedua telapak kaki bayi, menekan tendon achilles
atau memberikan suntikan vitamin K. Hal ini berfungsi
memperbaiki ventilasi.

Menurut Wong (2014 : 321), Cara pelaksanaan resusitasi


sesuai tingkatan asfiksia, antara lain:
a. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)
Caranya:
1) Bayi dibungkus dengan kain hangat
2) Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada
hidung kemudian mulut
3) Bersihkan badan dan tali pusat.
4) Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan
masukan ke dalam inkubator.
b. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
Caranya:
1) Bersihkan jalan napas.
2) Berikan oksigen 2 liter per menit.
3) Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki
apabila belu ada reaksi,
4) bantu pernapasan dengan melalui
masker
(ambubag).
5) Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis
berikan natrium bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc.
23
Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan melalui vena
umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah
tekanan intra kranial meningkat.
c. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3) Caranya:
1) Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui
ambubag.
2) Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3) Bila tidak berhasil lakukan ETT.
4) Bersihkan jalan napas melalui ETT.
5) Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih
sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak
6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc
2.3.7 Pencegahan
2.3.7.1 Pencegahan secara umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan
menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab
asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil
harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat
kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi
saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita
adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan
yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas
sektoral yang saling terkait (Wong, 2014 : 322)
2.3.7.2 Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus
adalah penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian
Ilmu Kesehatan Anak. Yang harus diperhatikan :
a. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul
sempit, sertapemberian pituitarin dalam dosis tinggi.
b. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada
perdarahan berikan oksigen dan darah segar.
c. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat,
dan jangan menunggu lama pada kala II (Wong, 2014 :
322)
24

2.4 Pre Eklamsi


2.4.1 Pengertian
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan
edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan. (Mansjoer, 2001)

Preeclampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita


hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema, dan
proteinuria tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler
atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul
setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih (Rustam Muctar,
1998). Tidak berbeda dengan definisi Rustam, Manuaba (1998)
mendefinisikan bahwa preeclampsia (toksemia gravidarum) adalah
tekanan darah tinggi yang disertai dengan proteinuria (protein dalam
air kemih) atau edema (penimbunan cairan), yang terjadi pada
kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah
persalinan. (Sukarni K., 2013)

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan


atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul
akibat kelainan neurologic) dan/ atau koma dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala-gejala pre eklampsia. (Rahmawati, 2011)

Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai kejang dan/atau koma


yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. (Mansjoer, 2001)
2.4.2 Penyebab
Penyebab preeclampsia sampai sekarang belum diketahui. Tetapi ada
teori yang dapat menjelaskan tentang penyebab preeclampsia, yaitu:
bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda,
hidramnion, dan mola hidatidosa. Bertambahnya frekuensi yang
makin tuanya kehamilan. Dapat terjadinya perbaikan keadaan
25
penderita dengan kematian janin dalam uterus. Timbulnya hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma.

Beberapa teori yang mengatakan bahwa perkiraan etiologi dari


kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the
diseases of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain: Peran
Prostasiklin dan Tromboksan.
2.4.2.1 Peran factor imunologis. Beberapa studi juga mendapatkan
adanya aktivasi system komplemen pada
preeklampsi/eklampsia.
2.4.2.2 Peran factor genetic/familial. Terdapatnya kecenderungan
meningkatnya frekuensi preeklampsi/eklampsi pada anakanak
dari ibu yang menderita preeklampsi/eklampsi.
Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsi /
eklampsia dan anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat
preeklampsi/eklampsia dan bukan pada ipar mereka. Peran
renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS).
2.4.2.3 Factor Predisposisi
a. Mola hidatidosa
b. Diabetes mellitus
c. Kehamilan ganda
d. Hidrops fetalis
e. Obesitas
f. Umur yang lebih dari 35 tahun (Sukarni K., 2013)
2.4.3 Klasifikasi
Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu sebagai berikut:
2.4.3.1 Preeklampsia Ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi berbaring terlentang; atau kenaikan diastolic 15 mmHg
atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam. Edema umum,
kaki, jari tangan, dan muka; atau kenaikan berat 1 kg atau
lebih per minggu. Proteinuria kwantatif 0,3 gr atau lebih per
liter, kwalitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream.
2.4.3.2 Preeklampsia Berat
26
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. Proteinuria 5 gr
atau lebih per liter. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari
500 cc per 24 jam. Adanya gangguan serebral, gangguan
visusm dan rasa nyeri pada epigastrium. Terdpat edema paru
dan sianosis
2.4.4 Tanda dan gejala
Diagnosis preeclampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga
gejala, yaitu penambahan berat badan yang berlebihan, edema,
hipertensi, dan proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan
bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali. Edema terlihat
sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan
muka. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat
> 30 mmHg atau tekanan diastolic > 15 mmHg yang diukur setelah
pasien beristirahat selama 30 menit. Tekanan diastolic pada trimester
kedua yang lebih dari 85 mmHg patut dicurigai sebagai bakat
preeclampsia. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam
air kencing 24 jam atau pemeriksaan kulalitatif menunjukkan +1 atau
2; atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang dikeluarkan dengan
kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam. Disebut preeclampsia berat bila ditemukan gejala
berikut:
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolic ≥ 110
mmHg.
b. Proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup.
c. Oliguria (< 40 ml dalam 24 jam).
d. Sakit kepala hebat atau gangguan penglihatan.
e. Nyeri epigastrium dan ikterus.
f. Edema paru atau sianosis.
g. Trombositopenia.
h. Pertumbuhan janin terhambat 2.4.5 Penatalaksanaan
2.4.5.1 Pre Eklamsi Ringan
Secara klinis, pastikan usia kehamilan, kematangan serviks
dan kemungkinan pertumbuhan janin terhambat. Pasien rawat
jalan, anjurkan istirahat baring 2 jam siang hari dan tidur > 8
jam malam hari. Bila susah tidur dapat diberikan fenobarbital
1 – 2 x 30 mg atau asetosal 1 x 80 mg. dapat juga diberikan
27
asetosal 1 x 80 mg. Kunjungan ulang 1 minggu kemudian
untuk menilai perkembangan kehamilan dan kesejahteraan
janin, apakah ada perburukan keluhan subyektif, peningkatan
berat badan berlebihan, kenaikan tekanan darah, dan
melakukan pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan,
terutama protein urin.

Rawat pasien bila tidak ada perbaikan dalam 2 minggu rawat


jalan, berat badan meningkat berlebihan (> 1 kg/minggu
selama 2 kali berturut-turut) atau tampak tanda-tanda
preeclampsia berat. Berikan obat antihipertensi metildopa 3 x
125 mg (dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 1500
mg), nifedipin 3 – 8 x 15 – 10 mg atau Adalat Retard® 2 – 3
x 20 mg atau pindolol 1- 3 x 5 mg (dosis maksimal 30 mg).
Tidak perlu diberikan diet rendah garam dan jangan diberikan
diuretik.

Bila keadaan ibu membaik dan tekanan darah dapat


dipertahankan 140 – 150/90 – 110 mmHg, tunggu persalinan
sampai aterm sehingga ibu dapat berobat jalan dan anjurkan
memeriksakan diri tiap minggu. Kurangi dosis obat hingga
tercapai dosis optimal. Bila tekanan darah sulit dikendalikan,
berikan kombinasi obat. Tekanan darah tidak boleh lebih
rendah dari 120/80 mmHg.

Tunggu pengakhiran kehamilan sampai 40 minggu, kecuali


terdapat pertumbuhan janin terhambat, kelainan fungsi
hepar/ginjal dan peningkatan proteinuria (± 3). Pada
kehamilan > 37 minggu dengan serviks matang, lakukan
induksi persalinan (spontan atau dipercepat dengan bantuan
ekstraksi).
2.4.5.2 Pre eklamsi Berat
Upaya pengobatan ditujukan untuk mencegah kejang,
memulihkan organ vital pada keadaan normal, dan
melahirkan bayi dengan trauma sekecil-kecilnya pada ibu dan
bayi.
28

Segera rawat pasien di rumah sakit. Berikan MgSO4 dalam


infuse dekstrosa 5% dengan kecepatan 15-20 tetes per menit.
Dosis awal MgSO4 2 g intravena dalam 10 menit selanjutnya
2 g/jam dalam drip infuse sampai tekanan darah stabil (140-
50/90-110 mmHg). Ini diberikan sampai 24 jam
pascapersalinan atau hentikan bila 6 jam pascapersalinan ada
perbaikan nyata ataupun tampak tanda-tanda intoksikasi.
Syarat pemberian MgSdO4 adalah reflex patella kuat,
frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, dan dieresis > 100
cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/kg BB/jam). Harus
tersedia antidote MgSO4 yaitu kalsium glukonas 10% yang
dapat segera diberikan secara intravena dalam 3 menit.
Selama pemberian MgSO4, perhatikan tekanan darah, suhu,
perasaan panas, serta wajah merah.

Berikan nifedipin 3-4 x 10 mg oral. Bila pada jam ke-4


tekanan diastolic belum turun sampai 20%, berikan tambahan
10 mg oral (dosis maksimum 80 mg/hari). Bila tekanan
diastolic meningkat ≥ 110 mmHg, berikan tambahan
sublingual. Tujuannya adalah penurunan tekanan darah 20%
dalam 6 jam, kemudian diharapkan menjadi stabil
(140150/90-100 mmHg). Bila sulit dikendalikan, dapat
dikombinasi dengan pindolol.

Periksa tekanan darah, nadi dan pernapasan tiap jam. Pasang


kateter dan kantong urin. Ukur urin setiap 6 jam. Bila < 100
ml/4 jam, kurangi dosis MgSO4 menjadi 1 g/jam. Dilakukan
USG dan kardiotokografi (KTG). Pemeriksaan KTG diulangi
sekurang-kurangnya 2 kali/24 jam.
2.4.5.3 Eklamsi
Eklampsia harus ditangani di rumah sakit. Bila pasien
dirujuk, sebelumnya pasien perlu diberi pengobatan awal
untuk mengatasi kejang dan pemberian obat antihipertensi.
Berikan O2 4-6 l/menit, pasang infuse dekstrosa 5% 500 ml/6
jam dengan kecepatan 20 tetes per menist, pasang kateter
29
urin, pasang goedel atau spatel. Bahu diganjal kain setebal 5
cm agar leher defleksi sedikit. Posisi tempat tidur dibuat
sedikit fowler agar kepala tetap tinggi. Fleksi pasien secara
baik agar tidak jatuh.

Di rumah sakit, berikan MgSO4 intravena kemudian 2g/jam


dalam drip infuse dektrosa 5% untuk pemeliharaan sampai
kondisi atau tekanan darah stabil (140-150 mmHg). Bila
kondisi belum stabil, obat tetap diberikan. Bila timbul kejang,
berikan dosis tambahan MgSO4 2 g intravena
sekurangkurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.
Dosis tambahan hanya dapat diberikan sekali saja. Bila masih
tetap kejang, berikan amobarbital 3-5 mg/kg BB intravena
perlahan atau fenobarbital 250 mg intramuscular atau
diazepam 10 mg intravena. Pada pasien koma, monitor
kesadaran dengan skala Glasgow. (Mansjoer, 2011)

2.5 Hubungan persalinan kala II lama dengan asfiksia pada bayi


Kala II adalah suatu masa dalam persalinan yang dimulai dari pembukaan
lengkap sampai kelahiran bayi. Pada permulaan kala II umumnya kepala
janin telah masuk dalam ruang panggul (Rustam 2007) dalam Maharani
(2015 ; 4). Partus lama yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam
pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Partus lama masih merupakan
masalah di Indonesia.

Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6 jam pada multi. Bila persalinan
berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun
pada bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Penyebab
asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin
yang menyebabkan persalinan lama atau macet. Faktor ini yang berperan
pada kejadian asfiksia. Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan
oksigen ke bayi menjadi berkurang (Maharani, 2015 ; 4)
30
Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat
berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Pernafasan spontan bayi baru lahir
tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila
terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan
atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat, selama . Keadaan ini
akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu
disertai dengan penurunan frekuensi. Pada persalinan lama belum tentu
mengalami Asfiksi, selama tidak terjadi pertukaran gas dan bayi dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru maka Asfiksia dapat di hindari
(Hendarso, 2014) dalam Maharani (2015 ; 6). Sedangkan dari faktor ibu yang
mempunyai riwayat preeklampsia berat cenderung akan melahirkan bayi yang
mengalami asfiksia.

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bobak (2004) dalam Maharani
(2015 ; 7), vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan
menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal
menurun. Menurunnya oksigen maternal berarti terjadi hipoksia pada ibu,
menurut Towell (1996) dalam Hassan (2007) dalam Maharani (2015 ; 6),
hipoksia pada ibu akan menimbulkan hipoksia pada janin. Akibat lanjut dari
hipoksia pada janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan
karbondioksida sehingga terjadi asfiksia pada bayi baru lahir.

Sedangkan menurut Ernawati (2013 ; 8) lama Persalinan Kala II merupakan


persalinan yang menyebabkan rongga dada, aliran darah menurun, curah
jantung menurun, tekanan darah menurun, dan aliran darah ke plasenta
menurun sehingga menyebabkan hipoksia pada janin. Bahaya Kala 2 lama
bagi janin adalah Kandungan O2 dalam darah arteri menurun dan aliran darah
ke jantung menurun, O2 yang tersedia untuk janin menurun menyebabkan
hipoksia janin. Sedangkan dalam penelitan Dyah (2013 ; 4) menyebutkan
terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada Lama Persalinan Kala
II antara lain: pada janin (Denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur
bahkan negatif, air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan dan
berbau, Caput Succedeneum yang besar, Moulage kepala yang hebat, IUFD
(Intra Uterin Fetal Death), dan Asfiksia).
31
Hubungan kejadian persalinan lama kala II dengan asfiksia bayi baru lahir
karena adanya beberapa keadaan yang terjadi pada ibu yang mengalami
partus macet atau partus lama bisa menyebabkan kehabisan tenaga dan ibu
bisa dehidrasi serta terjadi perdarahan post partum yang dapat menyebabkan
asfiksia pada bayi dikarenakan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang,
sehingga aliran oksigen ke janin berkurang Asfiksia termasuk faktor utama
dalam peningkatan mortalitas, mordibilitas pada neonatus, bayi dan anak
serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan dimasa depan.
Penyebab kematian utama kematian bayi sendiri yaitu asfiksia dan
komplikasi pada bayi (Widodo, 2015) dalam Maharani (2015 ; 5).

Hal ini sesuai dengan pendapat Yuningsih bahwa lama persalinan kala II
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir
karena ibu bersalin dengan lama kala II berpeluang terhadap penurunan kadar
O2 sehingga mengganggu sirkulasi gas dan transport oksigen dari ibu ke
janin. Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan berkelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Sedangkan menurut Prawirohardjo (2010) dalam
Maharani (2015 ; 5), pada lama persalinan kala II dengan his yang adekuat
namun tidak menunjukkan kemajuan pada pembukaan serviks dapat
mengakibatkan denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur bahkan negatif.

Menurut penelitian Ardhiyanti (2016), ada beberapa faktor yang berhubungan


dengan persalinan kala II lama yaitu faktor usia ibu, usia ibu merupakan salah
satu faktor risiko yang berhubungan dengan kualitas kehamilan atau berkaitan
dengan kesiapan ibu dalam reproduksi. Pada ibu dengan usia kurang dari 20
tahun, perkembangan alat–alat reproduksi belum matang sehingga sering
timbul komplikasi persalinan, sedangkan pada ibu dengan usia lebih dari 35
tahun, mulai terjadi regresi sel–sel tubuh terutama endometrium sehingga
menyebabkan proses kehamilan dan persalinan menjadi berisiko. Paritas juga
berhubungan dengan kala II lama, ibu yang sering melahirkan memiliki risiko
mengalami komplikasi persalinan pada kehamilan berikutnya apabila tidak
memperhatikan kebutuhan gizi. Pada paritas lebih dari tiga, keadaan rahim
biasanya sudah lemah sehingga menimbulkan persalinan lama dan
pendarahan saat kehamilan. His juga berhungan dengan persalinan Kala II
lama, Kuat dan lemahnya his pada saat proses persalinan sangat berpengaruh
32
pada cepat atau lamanya suatu persalinan. Apabila pada saat proses
persalinan his lemah, maka dapat memperlambat proses persalinan.

Hal ditas didukung oleh penelitian Fathoni (2011) bahwa usia berhubungan
dengan tingkat kesakitan dan kematian perinatal. Usia dibawah 19 tahun dan
diatas 35 tahun memiliki resiko kesakitan dan kematian perinatal lebih besar
dari pada yang memiliki usia 20 tahun sampai 35 tahun. Persalinan primipara
lebih berisiko mengalami kala II lama hal ini terjadi karena pada primipara
ibu belum pernah merasakan persalinan sebelumnya sehingga kemungkinan
timbul takut dan kecemasan yang dapat mengganggu kelancaran persalinan.
Berat lahir janin berhubungan dengan terjadinya kala II lama, hal ini karena
semakin besar berat lahir maka angka morbiditas cenederung meningkat.

2.6 Kerangka Konseptual


Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang
lebar tentang suatu topik yang akan dibahas (Hidayat, 2010 ; 74).

Variabel Independen Variabel Dependen


33
Faktor dari ibu
• Pre eklamsi dan eklamsi
• Perdarahan abnormal
• Kehamilan lewat bulan
• Ruptur uteri yang memberat
• Perdarahan banyak

• Persalinan Kala II lama

Faktor dari Tali pusat


• Lilitan tali pusat
• Tali pusat memendek
• Simpul tali [usat
• Prolapsus tali pusat

Faktor dari Bayi


• Bayi prematur
• Persalinan dengan tindakanKejadian
• Kelainan bawaan asfiksia
• Air ketuban bercampur mekonium
neonatorum

Keterangan :

= Diteliti
= Tidak diteliti
Skema 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Anda mungkin juga menyukai