Tanah basah lagi, tanah kering lagi. Rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang.
Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya
semakin mengerut dan wajahnya kusam. Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa
generasi.
(Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia,
namun aku merasa tegar. Dengan senyum kemenangan kukatakan : Atas nama cinta, atas nama
kesetiaan
Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam
kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan
menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian diam. Aku menarik nafas lega.
Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini.
“Rebahlah disampingku, Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu,” ujarnya saat itu.
“Tapi… apakah yang aku kita lakukan ini benar?” tanyaku ragu
“Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?” ujarnya menenangkank
Aku membenarkan perkataannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti
kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setiap
gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarkan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam,
atas nama cinta, atas nama kesetiaan
Malam yang indah itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya,
gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kisah romantis
tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupanku.