SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
AZHAR SYUKRI
NIM : 1111043100018
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan
kaum crossdresser, kitab-kitab fikih dan Undang-Undang. Sedangkan sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel ilmiah, berita di media
masa dan lain sebagainya. Metode penelitian yang penulis lakukan adalah
penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris, penulis melakukan penelitian
lapangan dengan metode wawancara. Selain itu penelitian ini akan melakukan
kajian kepustakaan dengan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang
memuat informasi yang berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilakukan.
i
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
terselesaikan.
Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Perbandingan Mazhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc,
ii
3. Bapak Dr. Syahrul Adam, MA. dan Ibu Hotnida Nasution, MA. Dosen
skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan
5. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
6. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Moh Syukri dan Ibunda Hj. Nurlelah yang
penuh kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan
7. Adik-adik tercinta, Syahriani Syukri, Zahran Syukri dan Nabila Syukri yang
skripsi ini.
iii
8. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung dan
menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Uje, Izzul, Hamdi,
Haikal, Yusuf, Qohar, Rizal, Rusdy, Hutbi, Iqbal, Azka, Abie dan yang
kita selanjutnya.
Asyraf dan Tepes. Terimakasih karena selalu menghibur di kala jenuh, selalu
10. Terimakasih kepada Sahabatku Resti Hedi Juwanti yang selalu membantu,
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
(Penulis)
iv
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………...
ABSTRAK………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..v
BAB I PENDAHULUAN
E. Metode Penelitian……………………………………………...9
F. Sistematika Penulisan………………………………………...11
A. Pengertian Pernikahan………………………………………..13
B. Hukum Pernikahan…………………………………………...20
A. Pengertian Crossdresser……………………………………...32
C. Hukum Crossdresser…………………………………………41
v
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP
PERNIKAHAN
Kaum Crossdresser…………………………………………...49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………...…65
B. Saran……………………………………………………….....67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...69
vi
BAB I
PENDAHULUAN
perempuan yang antara keduanya bukan mahram dan saling menjalankan hak dan
kewajibannya dengan baik.1 Hak ialah sesuatu yang harus diterima sedangkan
kehidupan antara suami isteri dalam setiap rumah tangga, apabila dua hal tersebut
tidak seimbang niscaya akan timbullah keributan dan perselisihan dalam rumah
tangga.
Sebaliknya jika antara hak dan kewajiban itu seimbang atau sejalan,
semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan baik. Suami menghargai
isterinya dan isteri pun menghormati suaminya dan seterusnya. Oleh karena itu
antara suami isteri harus saling melaksanakan hak serta kewajiban masing-
masing.2
seks (libido seksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji
pada diri manusia maka Allah telah menyediakan wadah yang sesuai dengan
1
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991), cet.I h. 2.
2
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta:
CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-1, h. 37.
1
2
derajat manusia yakni melalui perkawinan. Tanpa ikatan perkawinan pasti akan
dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan
perkawinan dalam Islam mempuyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah
hidup.3
dalam kehidupan. Dari kenyataan ini, maka seks merupakan faktor yang amat
penting untuk dipelajari agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar, janganlah
naluri seks manusia anugerah Tuhan ini diselewengkan menurut hawa nafsu.
keturunan tidak akan berhasil, bahkan sebaliknya akan punah. Untuk menghindari
hal-hal seperti itu perlu sekali diterapkan moral agama dengan seks. Moral berarti
ajaran mengenai baik dan buruknya tingkah laku manusia. Kalau moral agama
3
Epni Juliana, Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi putusan perkara Nomor
1564/pdt.G/2008/PAJT), Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 2.
3
diterapkan dalam seks, niscaya agama akan membimbing tingkah laku hubungan
seks yang baik. Seks yang berjalan sesuai dengan moral agama, pasti akan
berjalan dengan baik dan wajar tanpa menodai harkat martabat manusia.4
Pada dasarnya manusia tidak selamanya hidup lurus dan normal, karena
pasti ada saja yang memiliki kecenderungan tidak normal dan tidak wajar, seperti
laki-laki oleh masyarakat sudah dianggap tabu. Akan tetapi seorang laki-laki
Oleh karena itu istilah crossdresser lebih cenderung kepada laki-laki yang gemar
laki-laki yang ingin menjadi perempuan secara lahir batin akan tetapi crossdresser
4
M. Bukhari, Islam dan Adab Seksual, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 2.
5
Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser
6
Muhammad Amin bin Umar Abidin, Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al- Mukhtar, juz
IV, h. 69.
7
Hening, Macam-macam Fetishism, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://m.vemale.com/topik/penyakit-wanita/37247-macam-macam-fetishism.html
4
hanya gemar menggunakan pakain perempuan saja dan tidak mempunyai kelainan
crossdresser yang sudah berkeluarga, tentu saja apa yang dideritanya dapat
dapat bertahan dan bersabar dengan kelainan yang diderita oleh suaminya.
Pernikahan”
1. Pembatasan Masalah
8
Azi, crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/crossdresser
9
Noka Dara, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015
dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria-crossdresser-itu-gay.html
5
2. Perumusan Masalah
sebagai berikut:
crossdresser?
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
Tentang Perkawinan) yang ditulis oleh Fatimatuh Zahro’, Program Studi Ahwal
secara mental dan secara sosial seperti memiliki banyak anak dan mengalami
percaraian dan relatif muda, dalam kitab-kitab fikih klasik tidak terdapat
ketentuan baik secara eksplisit maupun implisit mengenai aturan batas usia nikah
sehingga dalam praktiknya tidak dapat diberlakukan sanksi moral atau sosial
terlebih sanksi hukum bagi pihak yang melaksanakannya, padahal refrensi kitab-
kitab klasik ini masih menjadi rujukan sebagian umat Islam di Indonesia. Begitu
pula dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun tidak
terdapat ketentuan pidana yang jelas dan konkrit bagi pihak-pihak yang
tersebut adalah perlunya sikap kritis dan bijak berbagai pihak baik dalam
Studi Hukum Keluarga Islam 2014. Skripsi ini menyimpulkan bahwa hakim
sering terjadi selisih paham dan percekcokan yang alasannya disebabkan karena
hubungan sesama jenis. Dan hakim mendasarkan putusan ini pada pasal 19 huruf
(f) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Memang
kedua pasal ini tidak menyebutkan secara rinci bahwa biseksual suami dalam
rumah tangga dapat dijadiakan alasan dalam perceraian. Akan tetapi, akibat dari
sehingga menyebabkan percekcokan yang terus menerus, dan ini yang menjadi
skripsi ini menyimpulkan bahwa Islam membolehkan isteri atau suami menggugat
cerai bila salah satu pihak terbukti menderita cacat yang sulit disembuhkan.
Dalam kasus ini, isteri yang merasa sudah tidak diberikan haknya karena suami
secara spesifik bahwa penyakit tersebut dianggap salah satu penyakit atau cacat
ynag dibolehkan bagi sang isteri menggugat cerai. Menurut sebagaian ulama, pada
8
dasarnya penyakit apapun yang menyebabkan penderitaan bagi salah satu pihak,
yang berakibat tidak mampu lagi menjalankan bagi suami isteri dengan baik,
maka dianggap sah dan dibolehkan untuk menuntut cerai ke Pengadilan Agama.
Dengan demikian homoseksual dapat menjadi pemicu perceraian akan tetapi tidak
Jakarta Timur dalam memutus perkara cerai gugat dalam kasus ini mengacu pada
No. 1 Tahun 1974), dan pasal 116 huruf (f) KHI (Inpres RI No. 2 Tahun 1991).
Menurut hakim dengan adanya kelainan seks yang diderita suami maka akan
terjadi pertengkaran, dan masalah tersebut menjadi tidak sesuai dengan tujuan
rahmah.
Terjadinya Perceraian yang ditulis oleh Jamilah, Program Studi Peradilan Agama
2010. Skripsi ini menyimpulkan bahwa kelainan seks seperti suami suka
mengintip orang mandi dan orang yang sedang berhubungan seksual dapat
dijadikan sebagai alasan perceraian karena dengan adanya kelainan seks terhadap
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara ini mengacu pada pasal 116
KHI huruf (f) dan Q.S Arrum ayat 20 serta PP No 9 Tahun 1975 tentang
Dari skripsi yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa skripsi yang
akan ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di skripsi pertama fokus
perceraian dan skripsi ketiga fokus pembahasannya mengenai kelainan seks pada
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.
Data Primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan kaum
10
Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian,, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), h. 10.
10
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan
yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang
lain.14 Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
11
J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h.
112-116.
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
13
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
244.
11
5. Teknik Penulisan
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud
tulisan ini. Pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk
BAB I PENDAHULUAN
sebuah pernikahan.
12
hukum crossdresser.
PERNIKAHAN
A. Pengertian Nikah
Nikah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu al-nikah yang
bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis inilah para
lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan dibawah ini seperti yang
dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik
Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah “akad yang telah
ditetapkan oleh syar’i agar seorang laki-laki mengambil manfaat untuk melakukan
1
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989), h.
29.
2
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, h. 29.
3
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, h. 29.
13
14
beristimta dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi
sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad
yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil
akhyar mendefiniskan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang
terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wat
(bersetubuh).8
4
Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi, Hasiyatani, (Cairo: Al-
Maktabah Al-Taufikiyah, 2003)., h. 312.
5
Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (t.tp. Dar Ilhya al-Turas al-
Arabi, 1986), h. 3.
6
Muhammad Syata’ al-Dimyati, I’anat al-Talibin, (t.tp Dar Ilhya al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), h. 256.
7
Muhammad Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi,
1957), h. 19
15
ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang
Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan
perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai
8
Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung: Al-Ma’arif,
t.t), h. 36
9
Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, h. 36.
10
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 2.
11
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia (Jakrta: Tintamas, 1961), h. 61.
12
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk (Jakatra:
Ihya Ulumuddin, 1971), h. 65.
16
as the voluntary union for life of one man and one women to the exclusion of all
others13.
Dari definisi ini di atas setidaknya ada tiga hal yang menjadikan intisari
monogami. Tentu saja definisi ini berlaku bagi wilayah yang hukumnya berkiblat
pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau
rohani. 15
13
Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1982), h. 5.
14
Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, h. 5.
15
Moh. Idris Ramulyo, HukumPerkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Komlikasi Hukum Islam, h. 2.
17
Perspektif KHI
gholidhan ini ditarik firman Allah SWT. Yang terdapat pada surat al-Nisa ayat
21:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu
berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat (miittsaqan gholidhan).
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tentram cinta dan kasih
sayang)”.
Agaknya tujuan ini juga dirumuskan melalui Firman Allah SWT. Yang
Dari definisi di atas ada yang menarik untuk dicermati. Dalam kitab-kitab
fikih seperti yang telah diuraikan di muka, tampaknya para ulama mendefinisikan
perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar
karena makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual.
Biasanya para ulama dalam merumuskan definisi tidak akan menyimpang apa lagi
berbeda dengan makna aslinya. Di samping itu harus jujur diakui yang
perkawinan Islam itu sangat bias jender yang menempatkan perempuan dalam
ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki. Yang dilihat pada diri
wanita adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat’
atau al-istimta’. Yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula
pemberian ikhlas sebagai tanda cinta seorang laki-laki kepada perempuan juga
16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 44.
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
45.
19
perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin
Kondisi ini berbeda jika kita lihat definisi yang ada dalam UU No 1/1974.
Setidaknya dalam pasal 2 ayat 1 secara ekspilisit ada beberapa hal yang perlu
untuk dicatat.
perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga
mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan
yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek
sedangkan ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini
Maha Esa.19
dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia
segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sossial sebuah perkawinan untuk
18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
45.
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
46.
20
Penting untuk diketahui bahwa fikih hanya mengurusi hal-hal yang praktis
dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Seperti definisi yang
diberikan oleh Lord Penzance di atas dengan mensyaratkan seumur hidup diduga
kuat dipengaruhi oleh agama Katolik Roma yang tidak memungkinkan terjadinya
penceraian karena penceraian itu sendiri terlarang menurut agama tersebut kecuali
diizinkan oleh Paus. Untuk memproleh izin adalah sesuatu yang sulit untuk tidak
B. Hukum Pernikahan
Quran, al-Sunah dan ijma;. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan adalah
20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
46.
21
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
47.
21
Adapun hadis Nabi Saw. Yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat
ﯾﺎ ﻣﻌﺴﺮ اﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻗﺎل
.( )رواه اﻟﺒﺨﺎري و ﻣﺴﻠﻢ. و ﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺎﻧﮫ ﻟﮫ وﺟﺎء.اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﯿﺘﺰوج
Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka
menikalah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak maka
mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa, karena puasa itu adalah
sebuah penawar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu di
syariatkan22. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk
menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib
2. haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama24 bagi apabila yang, apabila tidak
menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan,
22
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni (kairo: Hijr, 1413 H/1992 M), h. 340.
23
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni , h. 340.
24
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni , h. 340.
22
kepada isterinya. Ini didasarkan firman Allah swt dalam surat al-Nur (24): 32)
barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.” (HR. al-
kondisi seperti ini adalah mubah dan lebih baik baginya menfokuskan diri
Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as. Dalam firmanya Surah Ali I’mrân
(3):39:
… …
wanita, maka seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan
adalah ungkapan yang mengandung dzamm (celaan). Maka jika itu celaan,
25
Taqiy ad-Din bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-
Ikhtishar (berikut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988), h. 67-68.
23
Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi al-Waqqas ra.
4. Makruh hukumnya menikah bagi orang yang kuatir akan berbuat nista dan
menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya mereka tidak mampu meberi
nafkah, member perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak
Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu (1) sighah (ijab
dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Ini berbeda dengan
26
Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H),
h. 6517.
24
Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan
nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus
disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini di syaratkan
bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram)
sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua
mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua
hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah
selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi’iyah
berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali,
dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk
27
Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, h. 6517.
28
Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, h. 186.
25
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Tinggi Lagi Maha Besar”.
Berangkat dari surah al-Nisa’: 4/34 al-Quran memberi opsi sebagai berikut:
a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’aruf agar ia segera sadar
b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri
terhadap kekeliruannya.
29
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 269-272.
26
seperti betisnya. 30
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat
juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya
datang dari pihak istri saja. Padahal al-Quran juga menyebutkan adanya nusyuz
dari suami seperti yang terlihat dalam al-Quran surah al-Nisa’ ayat 12831.
pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun
nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadis Rasul SAW,
30
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272.
31
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272.
27
Pertama, memberi sandang dan pangan. Kedua, tidak memukul wajah jika
dibencinya. Keempat, tidak menjauhi istri atau menghindari istri atau menghindari
Inti hadis ini adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara
yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan
mental32. Jika ini terjadi dapat dikatakan satu bentuk nusyuz suami kepada istri.
mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Quran seperti yang
dikurangi untuk sementara waktu. Semuanya ini bertujuan agar perceraian tidak
terjadi.
Inilah ayat yang menurut Sayuti Talib yang dijadikan dasar untuk
merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai untuk perjanjian
untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami.
32
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain, (Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001), h. 16-17.
33
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain h. 16-17.
28
bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah untuk semua bentuk taklik.
Apabila suami melanggar perjanjian telah disepakati itu maka isteri dapat
meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.34
3. Terjadinya syiqaq
pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi
alasan syiqaq dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq
adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri. Untuk
sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus
Artinya: Bila kamu khawatir terjadinya perpecehan antara mereka
berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga istri. Jika
keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka,
Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. al-Nisa: 35).
Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam mengenai problema
pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui kerakter, sifat
34
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001), h. 278.
29
keluarga mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendemaikan suami istri yang
disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan istri, jika tidak boleh dari pihak
lain. 35
antisipasi agar nusyuz dan syiqaq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan
dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagi cara yang telah
ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik
seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalm tingkat
35
Mahyuddin al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Jilid VII, (Jeddah: Maktabah al-
Irsyad, t.th), h. 143.
36
Ahmad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , h. 274.
30
talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak
Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-
lakinya yang memliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai
dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan
memberikan nafkah dan hadiah talak pada isterinya. Lebih lanjut, Sayyid Sabiq
perceraian38.
Bagi Syafiq Hasyim seorang aktivis muda yang concern pada persoalan
jender menyatakan, alasan material dan psikologis yang diberikn oleh Sayyid
Sabiq di atas sangat bias gender dan monilitis (dari suami kepada istri).39
37
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 170.
38
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam
Islam, h. 170.
39
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman
dalam Islam, h. 170.
31
oleh undang-undang dan ajaran agama40. Jadi tidak semata-mata diserahkan pada
aturan-aturan agama.
40
Ahamad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hsukum Islam di Indonesia, h. 59.
BAB III
A. Pengertian Crossdresser
adalah sebuah kata baru yang terbentuk dari dua kata; “Cross” yang disini berarti
dari patokan busana gender orang yang bersangkutan itu sendiri.2. Secara istilah
tidak ingin menjadi gender lawan jenisnya, dan tidak ingin mengubah tubuhnya
seperti lawan jenisnya. Mereka memakai atribut lawan jenisnya dengan tujuan
1
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2003), h. 156.
2
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 198.
3
Docter R.F dan Prince, V, Transvestism A Survey of Crossdresser (Archives of Sexual
Behavior, 1997), h. 589-605.
32
33
individu melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang
masyarakat.4 Paraphilia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, “para” yang
merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual atau respon seksual
terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat.5 Pada gangguan ini, cara utama untuk mendapatkan ransangan
dan kepuasan seksual adalah dengan objek lain atau dengan cara lain dari yang
veyourisme, parafilia YTT. Sebagian besar pria lebih banyak mengidap paraphilia
seksual terutama dengan memakai pakaian dan berperang sebagai seorang dari
4
Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
5
Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
6
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2,
(Surabaya: AUP, 2009), h. 360.
7
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h.
361.
34
1. Ciri-Ciri Crossdresser
a. Gemar mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk
dipakai saja tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari jenis
kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan
c. Jika harsat seksual sudah bangkit dan sudah terjadi orgasme kemudian
8
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h.
361.
35
perkembangan transgender. 9
seksual yang bisa saling memuaskan (dengan partnernya) dari lawan jenis
kelamin; dan biasanya ada affek-affek kuat berisikan unsur rasa bersalah,
berdosa, dendam kesumat. dan kebencian. Pada tingkah laku seksual yang normal
dan sehat, relasi heteroseksual berlangsung dalam suasana penuh afeksi dan
Sebaliknya, pada tingkah laku seksual yang menyimpan sering berjalan tanpa ada
diskriminasi (tanpa perbedaan, semua sama saja. ada rasa yang datar, tanpa
seksual daripada kebutuhan erotis, yang pada akhirnya menuntun pasien pada
9
Rusadi M, Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, (Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013), h. 13.
10
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar
Maju, 1989), h. 227.
36
dengan:
2. kesulitan-kesulitan neurotic.
dan didorong oleh stress-stress psikologis dan stress fisik yang kuat
spesifik lagi penyimpangan yang terjadi dalam katagori seks. Ada beberapa
adalah:
1. Faktor keluarga
11
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
37
dalam dan di luar pribadi (kelompok gejala yang intrinsik dan ekstrinsik) yang
lain: faktor genetis dan predisposisi hormonal, yang bisa menjuruskan orang
pada penyimpangan seksual. Misalnya, faktor genetis ini berperan penting dalam
terjadi lewat identifikasi yang sangat intensif atau lewat imitasi terhadap
dan beberapa basis biologis bisa menumbuhkan tingkat laku seksual yang
kritis; bisa ikut mempengaruhi arah dari; dorongan- dorongan seksual dan
tingkah laku dimorfik seksual (dua jenis kelamin, jenis kelamin ganda) pada
12
Sarwono “Penyimpangan Perilaku Dalam Kajian Sosiologi” diakses pada 19 Juli 2016
dari http://www.psychologymania.com/2012/04/mamfaat-kelompok-bagi-individu.html.
13
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
38
Selain itu, kurang pengetahuan dan pemahaman agama juga merupakan factor
didikan agama dan akhlak sangat penting dalam membentuk akal, pribadi dan pribadi
individu itu. Pengetahuan agama memainkan peran yang penting sebagai benteng
pertahanan yang paling ideal dalam mendidik diri sendiri untuk membedakan yang
mana baik dan yang mana yang sebaliknya, haram dan halal dan lain-lain.15
Selanjutnya, faktor ekstrinsik yang amat penting ialah relasi anak- orang
tua. Teori psikoanalisa menekankan, bahwa kondisi penentu pada tingkah laku
ayah- ayahnya pada umumnya lepas, terpisah, tidak ada atau jarang ada di
rumah bersikap acuh tak acuh bahkan sering bermusuhan terhadap anak- anak
14
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
15
Noor Azilawati Mohd Sabda, Siri Pemupukan Motivasi Insan, Menghindari Ancaman
Seksual, (T. t: Pinang SDN.BHD), Cet.1, h. 16
39
seksual. 16
Hal ini sejalan dengan faktor life style risk atau yang berkaitan dengan
gaya hidup antara lain peranan orang tua dalam membentuk indetitas dender
(2006) mengukapkan pemenuhan peran orang tua yang paling dinilai positif
adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak. Walaupun
mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena
dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Peran ibu
yang dinilai positif oleh anak antara lain ibu yang menerima keadaan apa adanya
atau ibu yang menjadi pembela anak. Ayah lebih cenderung ditakuti dalam
hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau
bahkan melawan ayah. Akibat anak lebih dekat dengan ibunya dan lebih banyak
16
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
17
Mia Fatma Ekasari, “Studi Fenomenologi: Pengalaman Waria Remaja Dalam
Menjalani Masa Puber di Wilayah DKi Jakarta”, (Tesis S2 Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia, 2011), h. 19-20.
40
jenis kelamin), dan identitas terhadap tingkah laku yang berkaitan dengan seks,
pola pengkondisian. Jadi pola tingkah laku menyimpang ini dipelajari oleh anak,
atau buah dari proses belajar. Kegiatan imitasi dan identifikasi terhadap tingkah
laku orang tua dan orang dewasa membuahkan proses sosialisasi diri dalam
menyimpang. Dalam hal ini ada perkembangan kognitif dan afektif di mana
feminitas/kebetinaan dari perilaku yang dilihat dan segala sesuatu yang didengar.
baik yang bersifat sehat maupun yang bersifat menyimpang atau abnormal. 18
Perilaku peranan seks yang a-typis atau menyimpang pada masa kanak-
kanak itu bisa tegar dan terus berlangsung sebagai perilaku peranan-seks
yang a typis atau abnormal pula pada masa kedewasaan (ada perkembangan
psikoseksual yang abnormal). Oleh karena itu interaksi- interaksi tingkah laku
yang buruk antara anak dengan orang tua dan dengan lingkungan sekitar itu
pada usia kanak-kanak yang sangat muda, akan tetapi menggaris bawahi
18
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
41
predisposisional.
bagi laki laki yang memiliki kecenderungan kuat untuk senang mengenakan
19
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
20
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
42
semacam ini.21
Menariknya, para istri dan banyak laki laki yang melakukan cross dressing
dapat menerima perilaku suaminya dan bahkan bersikap mendukung bila hal itu
dilakukan secara pribadi diantara mereka. Docter dan Prince (1997) melaporkan
bahwa 60% dari lebih dari 1.000 kasus transvestik fetisisme pada saat di survei
C. Hukum Crossdresser
yang memang pada dasarnya tercipta seperti itu. Dia tidak mengada-ada atau
dalam bentuk seperti itu. Yang demikian, dia tidak tercela, tidak boleh disalahkan,
tidak berdosa, dan tidak dihukum. Crossdresser jenis ini dimaafkan, karena dia
tidak membuat-buat menjadi seperti itu. Crossdresser jenis ini disebut sebagai
crossdresser asli. Kedua: crossdresser yang pada dasarnya tidak tercipta sebagai
Inilah crossdresser yang tercela. Crossdresser jenis inilah yang disebut sebagai
crossdresser buatan.23
21
Saddock BJ dan Saddock VA, Buku Ajar Psikiatri Klinis, (Jakarta: EGC, 2010), h. 315.
22
Puri BK dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri, (Jakarta: EGC, 2011), h. 337.
43
:ﻟﻌﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ اﻟﻤﺨﻨﺜﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﺟﺎل واﻟﻤﺘﺮﺟﻼت ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء وﻗﺎل
)رواه. ﻗﺎل ﻓﺄﺧﺮج اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻓﻼﻧﺎ وأﺧﺮج ﻋﻤﺮ ﻓﻼﻧﺎ. أﺧﺮﺟﻮھﻢ ﻣﻦ ﺑﯿﻮﺗﻜﻢ
(اﻟﺒﺨﺎرى
Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari: “Hal ini (laknat) khusus bagi orang-
sebaliknya) secara bertahap. Jika dia tidak mau berusaha untuk meninggalkannya
dan malah terus menerus dalam kondisinya tersebut, maka celaan hadits ini juga
atau sebaliknya) merupakan tanda bahwa dia ridha terhadap hal tersebut. 25
pendapat al-Nawawi, maka hal ini dibawa kepada makna jika orang tersebut tidak
23
Imam al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Arabi,
1987), h. 317.
24
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1379 H), h. 332.
25
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, h. 332.
44
26
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, h. 332.
BAB IV
lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Maka pada
saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki
merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan
makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa
(litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai
sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan
perdamaian hidup bagi manusia di mana setiap manusia dapat membangun surga
dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-
benar dijalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan Islam.
43
44
kodrat setiap manusia. Mereka pasti mempunyai naluri untuk memiliki pasangan
hidup. Akan tetapi ada beberapa keadaan yang dialami oleh sebagian manusia dimana
mereka mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan seharusnya. Contohnya seperti
apa yang terjadi pada kaum transgender, transeksual dan crossdresser. Mayoritas
penyimpangan tersebut, dan masih menganggap bahwa ketiga jenis penyimpangan ini
adalah sama, dan masyarakat hanya mengenal mereka dengan sebutan banci. Padahal
Pakar seksual Zoya Amirin mengatakan bahwa apa yang disebut oleh
gangguan psikologis karena merasa terjebak di tubuh yang salah. Transgender yang
penyimpangan perilaku seksual dimana individu hanya bisa terangsang dan orgasme
jika menggunakan pakaian lawan jenisnya. Crossdresser adalah pria yang secara
1
Didi Purwadi, 2015, Ini Perbedaan Transgender, Transeksual dan Crossdresser, (Jakarta:
Republika), 07 Maret 2015.
45
perempuan, akan tetapi ada juga seorang transgender yang menyukai laki-laki dan
kelaminnya dan merasa dirinya telah menjadi seks dan gender dari lawan jenisnya,
perempuan, dengan kata lain seorang crossdresser tetap mempunyai seks yang prima.
penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 melaporkan bahwa 60% dari lebih dari
1.000 kasus transvestik fetisisme pada saat di survei adalah laki laki menikah.2
kita harus melihat rukun dan syarat pernikahan yang dikemukakan oleh para ulama.
Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu: wali dari
pihak perempuan, mahar (maskawin), calon pengantin laki-laki dan sighat akad
nikah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rukun nikah itu ada lima macam yaitu: calon
pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat
2
Puri BK dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri,h..337.
46
akad nikah. Menurut imam Hanafi rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja, yaitu
akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.3
Sedangkan syarat pernikahan secara garis besar ada dua. Pertama: calon
mempelai perempuannya halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.
Kedua: akad nikahnya dihadiri para saksi. Adapun secara rinci masing-masing rukun
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
2. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki dan bukan banci.
5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
8. Tidak mempunyai istri yang haram untuk dimadu dengan calon istrinya.
3
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2003), h. 48.
47
5. Wanita itu tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa ‘iddah.
6. Tidak dipaksa.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatanatau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
3. Syarat-syarat Wali.
Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik). 7
4. Syarat-syarat Saksi.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.8
4
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 38-39.
5
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 41.
6
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 75.
7
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 77.
48
dan syarat yang telah dipaparkan di atas, terutama pada syarat mempelai laki-laki dan
memang merupakan gejala awal dari transgender atau transeksual, akan tetapi apakah
identitas gender tujuan utamanya adalah untuk menjalani kehidupan dengan terbuka
feminin tertarik secara seksual menjadi perempuan, yang secara teknis membuat
9
rangsangan seksualnya bersifat humoseksual, begitupun sebaliknya. Sedangkan
crossdresser tetap memiliki identitas gender yang normal dan tidak dapat disebut
telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para ulama, karena pada
dasarnya kaum crossdresser adalah laki-laki yang betul laki-laki atau bukan
8
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 83.
9
Colemen, Bockting dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, (Jakarta:, Tp, 1993), h. 30.
49
lawan jenisnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan tidak memakainya secara
rutin. Diluar itu mereka cenderung berprilaku dan memiliki minat seksual maskulin.
Pendapat penulis ini juga diperkuat dengan pendapat Ulama Kontemporer Prof.
Huzaemah Tahido Yanggo yang mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh
seorang crossdresser adalah sah selama memenuhi rukun dan syarat nikah, lagi pula
mereka bukanlah pasangan sesama jenis, maka hukum pernikahannya adalah sah dan
diperbolehkan.10
laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal yang alami dan Sunatullah jika laki-laki
dan perempuan satu sama lain saling membutuhkan dan saling memenuhi kebutuhan
ini. Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan yang diberikan Allah kepada laki-laki
maupun perempuan untuk disalurkan dengan cara yang sesuai dengan petunjukNya.11
Kebutuhan biologis merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua
makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia saja. Berbeda dengan binatang,
perkawinan, penyaluran biologis tidak hanya dipandang sebagai hak dan kewajiban
semata antara suami dan istri, melainkan juga bernilai ibadah di sisi Allah SWT,
10
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, Jakarta 9 Juni 2016.
11
Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya: 1994), h. 139.
50
perbuatan ini dinilai ibadah jika pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan aturan
dan anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Karena salah satu fungsi keluarga
adalah untuk membangun keturunan dengan cara yang legal dan bertanggung jawab
umat Islam yang “lupa” akan anjuran Nabi Muhammad saw. Ketika mereka
menganggap bahwa aktivitas ini hanyalah sebuah bentuk “rutinitas” saja, tanpa
bernilai ibadah. Sehingga mereka melakukannya dengan sesuka hati mereka. Padahal
Nabi Muhammad saw. telah menegaskan bahwa hubungan seksual antara suami istri
akan mendapat pahala yang sangat besar di sisi Allah swt. ketika dilakukan sesuai
aturan. Dan al-qur’an telah menegaskan tentang prinsip dalam berhubungan antara
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut (al-Nisa: 19).
biasanya laki laki, terangsang secara seksual atau mengalami kepuasan dengan
pasangannya, karena seorang crossdresser baru akan dapat mencapai orgasme ketika
51
isterinya mengetahui tentang kelainan yang ia derita, isterinya menerimanya dan siap
berhubungan seksual sesuai dengan kehendak Rianto, akan tetapi hal ini tak
berlangsung lama, karena isterinyapun semakin lama merasa tak tahan dengan
kelainan yang diderita oleh Rianto.12 Begitu pula dengan Diandra Safira, isterinya
mengetahui tentang kelainan yang ia derita setelah menikah, isterinya tidak pernah
menyukai cara diandra berhubungan seksual sehingga hal ini selalu menjadi biang
apakah hubungan seksual itu hanya merupakan kewajiban isteri dan hak suami
ataukah kewajiban dan hak keduanya?. Dalam hal ini terdapat kesalah fahaman para
ulama tentang hak laki-laki dan perempuan. Kekeliruan tentang ini tampaknya
disebabkan karena terburu-buru menyimpulkan suatu Hadis. Salah satu contoh hal ini
bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki dan bukan hak
memberikan penjelasan bahwa bila seorang laki-laki mempunyai seorang isteri dan
dia sibuk dengan urusan ibadah atau yang lainnya sehingga tidak sempat untuk
bermalam di rumah bersama isteri, oleh hakim ia hanya bisa dituntut untuk menginap
di rumahnya dalam waktu tertentu. Akan tetapi bermalamnya laki-laki tersebut tidak
harus dengan terjadi hubungan seksual antara dia dan isterinya karena hubungan
seksual adalah hak suami bukan hak isteri. Karena itu maka isteri tidak berhak
Pemilikan hak mutlak seksual suami atas isteri juga berimplikasi bahwa selain
untuk urusan yang wajib atau ada halangan secara shar’î, suami berhak meminta
pelayanan seksual dari sang isteri kapan pun dan dimana pun.17 Hal ini berlaku baik
siang atau malam, meskipun teks yang ada dalam Hadis adalah pada malam hari,
akan tetapi memberikan pemahaman bahwa isteri senantiasa harus siap melayani
suami terlepas apakah dia siap secara fisik maupun psikis atau tidak siap.
Ketika hubungan seksual menjadi hak suami maka secara otomatis akan
menjadi kewajiban bagi isteri. Isteri berkewajiban untuk melayani suami ketika suami
meminta untuk berhubungan badan. Banyak Hadis yang dihubungkan dengan Nabi
Saw. menuntut agar seorang isteri tidak pernah menolak berhubungan seksual dengan
15
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), h.
4.
16
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, h. 115.
17
Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu Muhammad, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn
Hanbal, (T.tp, T.p, T.t), h. 81.
53
suami mereka, seperti Hadis, “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke kasur
lalu ia (sang isteri) menolak maka malaikat melaknatnya sampai subuh”.18 Atau,
“Demi Dia yang dalam tangan-Nya ada hidupku, bila seorang laki-laki memanggil
isterinya ke tempat tidur dan ia tidak menanggapi maka ia yang ada di surga tidak
Ada beberapa ayat dan Hadis yang sering dijadikan dalil untuk melegitimasi
seksual laki-laki, padahal motif seperti itu telah melenceng jauh dari konteks dan
asbâb al-nuzûl20 ayat tersebut. Juga banyak dijumpai Hadis yang beredar di
18
Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ibnu Hanbal, (al-Qahirah: Muasasah Qurtubah, T.t),
h. 480.
19
Imam Muslim, Shahih Muslim, (), juz 2, h. 1059.
20
Asbâb al-Nuzûl ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî,
Muslim, Abû Dâwûd, dan al-Tirmidhî yang bersumber dari Jâbir, bahwa orang-orang Yahudi
beranggapan apabila menggauli isteri dari belakang ke farjinya maka anaknya akan lahir bermata
juling. Lalu turunlah ayat tersebut. Dalam versi lain dari Imâm Ahmad dan al-Tirmidzi dari Ibn ‘Abbâs
54
masyarakat tanpa dikritisi validitas dan keshahihannya, baik dari segi sanad maupun
matan. Misalnya Hadis dari Abû Hurayrah yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim
yang artinya, “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke kasur lalu ia (sang isteri)
atas. Jadi, seringkali perempuan dipaksa untuk melayani keinginan laki-laki atas
nama agama. Dalam Islam, Alquran melukiskan hubungan seksual sebagai salah satu
kesenangan dan kenikmatan dari Tuhan. Kenikmatan dan dorongan seksual bukan
hanya hak laki-laki tetapi juga hak bagi perempuan, sebagai mana Allah Swt.
berfirman, “Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka”.
tetapi secara psikologis Allah memberikan perasaan yang sama dalam hal kebutuhan
reproduksi ini. Oleh karena itu suami dan isteri tidak boleh bersifat egois mengikuti
memiliki tujuan yang agung dan merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling
diriwayatkan bahwa ‘Umar datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, ”Ya Rasulullah,
celakalah saya!.” Nabi bertanya, ”Apa yang menyebabkan kamu celaka?”. Ia menjawab, ”Aku
pindahkan sukdufku tadi malam (berjimak dengan isteriku dari belakang)”. Nabi SAW terdiam, dan
turunlah Q.s. al-Baqarah (2): 223. Kemudian beliau bersabda, ”Berbuatlah dari depan maupun dari
belakang, tetapi hindarkanlah dubur (anus) dan yang sedang haid.”
55
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(al-Baqarah:
187).
Suami isteri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat,
melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara dan untuk menghias
diri. Dalam konteks suami isteri memiliki hak untuk melakukan hubungan seksual
pasangannya secara ma’ruf dalam arti setara, adil dan demokratis. Aktifitas seksual
suami isteri diharapkan dapat menimbulkan perasaan yang indah, mengokohkan rasa
kasih sayang dan juga melahirkan rasa syukur kepada Dzat yang memberi keindahan
produktif selaku unsur kemakmuran bagi manusia. Penciptaan manusia kini memang
56
tidak sama dengan penciptaan Adam As. Allah menciptakan manusia melalui
Allah dengan ladang/sawah. Dengan demikian QS. al-Baqarah [2]: 223 pada
dunia sesuai dengan tujuan penciptaannya.21 Pendapat Ibrahim Hosen lebih sesuai
dengan tujuan syariat Islam, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan
Allah SWT. al-Quran mengecam budaya Arab sebelum datangnya Islam yang tidak
seksual suami isteri. Ketimpangan relasi seksual dalam keluarga akan berdampak
Adanya hak dan kewajiban yang sama antara suami dan isteri dalam rumah
tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Quran, seperti dalam surat al-Baqarah
Ayat ini menjelaskan bahwa arti hak dan kedudukan isteri semisal atau setara
atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami
21
Ibrahim Hosen, Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan
Institut Ilmu Alquran, 1997), h. 119-121.
57
mempunyai setingkat kedudukan yang lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga.
Ayat di atas mempertegas argument yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban
suami isteri itu seimbang termasuk hak dan kewajiban dalam berhubungan seksual.
dalam konteks tersebut suami tidak boleh diskriminatif, sebab hubungan seksual
merupakan hak antara suami dan isteri. Imâm al-Ghazâlî mengatakan: Bahwa seorang
suami seyogyanya mencampuri isterinya setiap empat malam sekali. Yang demikian
itu adalah lebih baik/adil karena jumlah maksimal isteri adalah empat, sehingga
atau kurang dari itu, sesuai dengan kebutuhannya untuk memelihara mereka juga
merupakan kewajiban baginya (suami).22 Jadi tidak benar anggapan bahwa hanya
suami yang berhak menikmati hubungan seks sementara isteri tidak memiliki hak
maninya sudah hendak turun (inzâl), maka hendaklah ia menahannya dan menunggu
untuk bersama-sama menurunkannya bersama isteri karena pada inzâl mani yang
bersamaan itulah kedua suami isteri merasakan puncak kenikmatan.24 Selain itu,
hubungan seksual yang baik adalah yang dilandasi atas cinta dan kasih sayang. Cinta
22
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifat, T.t) juz II, h. 50.
23
Muhammad ibn `Umar Nawâwî al-Bantânî, `Uqûd al-Lujayn fi Bayân Huqûq al-Zawjayn,
h. 11.
24
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn, juz II, h. 50.
58
kasih adalah kekuatan yang mengikat laki-laki dan perempuan dalam membentuk
suatu rumah tangga. Kekuatan cinta kasih dapat berkurang, malah dapat menghilang,
hubungan seksual bukan saja merupakan hak suami dan kewajiban isteri melainkan
hak dan kewajiban keduanya. Hubungan seksual yang dilakukan seorang suami yang
menikmati hubungan seksual tersebut, hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah
crossdresser tentu itu melanggar hak isteri untuk mendapatkan hubungan seksual
seperti yang seharusnya. Karena hubungan seksual merupakan hak dan kewajiban
suami dan isteri, maka seharusnya keduanya dapat saling menghormati hak masing-
ﺧﯿﺮﻛﻢ ﻻھﻠﮫ واﻧﺎ ﺧﯿﺮﻛﻢ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ,ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﻗﺎﻟﺖ
( )رواه اﻟﺘﺮﻣﯿﺬى.ﻻھﻠﻰ
25
Ali Akbar dan Andi Hakim Nasution, dkk., Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka
Antara, 1996), h. 155.
26
Sri Suhandjati Sukri, dkk, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), h. 158.
59
(isterinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap
keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
jika dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf, karena masing-masing atau istri
mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi seksual ini diharapkan dapat
memelihara komunikasi lahir batin dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah. Hanya saja ditekankan bahwa semua itu harus dilakukan dengan
memperhatikan etika, tanpa merugikan satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat
pentingnya mengelola relasi seksual suami istri dalam rumah tangga, maka
Mengenali selera pasangan merupakan cara yang tepat.27 Cara berhubungan yang
dilakukan oleh kaum crossdresser tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, bahkan hal ini menyimpang dari ajaran agama, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW bahwa Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan
pakaian yang tidak seharusnya ia pakai, maka saat itu ia juga telah melanggar apa
yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Maka jelas bahwa cara berhubungan seksual
yang dilakukan oleh kaum crossdresser adalah dilarang dan tidak sesuai dengan
syariat Islam.
27
Veratih Iskadi Putri, Tujuan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami
Kepada Isteri, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
60
dilakukan oleh seorang crossdresser adalah tidak sesuai dengan syariat Islam dan
dapat melanggar hak isteri untuk mendapatkan hubungan seksual seperti yang
seharusnya. Hal ini bisa saja menjadi sumber pertengkaran dan ketidak harmonisan di
dalam rumah tangga, bahkan bisa menyebabkan pada perceraian. Sebagaimana yang
terjadi pada Rianto dan Diandra dari keterangan yang mereka berikan, pola
berhubungan yang tidak seperti biasanya ini sering menjadi pemicu pertengkaran
hingga akhirnya isteri-isteri mereka menggugat cerai dan rumah tangga merekapun
selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf. Pada dasarnya hukum
Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu
disebut dengan al-syiqaq sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Nisa
Artinya: Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya
(suami dan isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang
hakam dari keluarga isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah
meberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengawasi. (al-Nisa: 35)
61
didepan siding pengadilan. Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan.
dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami
atau isteri selama 10 tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah
mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahn meja
dan ranjang, serta pembuktian bubarnya pekawinan dalam register catatan sipil, (4)
perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini
ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) zina baik
yang dilakukan oleh suami atau isteri, (2) meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan sengaja, (3) suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
28
KItab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119 dan 209.
62
Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian
harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.
29
Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal
19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan
- Salah satu pihak perbuat zina atau pemabuk, pemadat lain sebagainya
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.30
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu : (a) suami melanggar
29
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 dan 39.
30
Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19.
63
taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
berumah tangga itu salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan
baik hingga tujuan dari perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah warahmah tidak tercapai. Kehidupan rumah tangga yang semula
bahagia tetapi karna pola berhubungan seksual suami yang tidak seperti biasanya
seksual seperti seharusnya dan hal ini menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah
cukup alasan, bahwa suami isteri tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.
crossdresser dapat dijadikan sebagai alasan yang cukup untuk mengajukan perceraian
jika hal tersebut dapat menyebabkan percekcokan dan ketidak harmonisan di dalam
kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Hal ini juga sesuai dengan pasal 19
Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116 KHI yang mana disebutkan
bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian salah satunya
adalah antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Oleh karena itu
31
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
64
perkawinan dapat putus karena alasan percekcokan atas dasar suami seorang
PENUTUP
sebagai berikut:
A. Kesimpulan
dari salah satu syarat pernikahan yang terlihat dapat menghalangi keabsahan
pernikahan seorang crossdresser yaitu terang atau jelas bahwa calon mempelai
kaum crossdresser telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para
ulama, karena pada dasarnya kaum crossdresser adalah laki-laki yang betul laki-
laki atau bukan merupakan seorang banci. Karena crossdresser hanya gemar
tidak memakainya secara rutin. Diluar itu mereka cenderung berprilaku dan
65
66
dan isterinya cenderung suamilah yang lebih banyak menikmati hubungan seksual
tersebut, hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu pihak melaksanakan
dilakukan oleh kaum crossdresser tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh
harmonisan di dalam kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Hal ini juga
sesuai dengan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116
KHI yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan perceraian salah satunya adalah antara suami isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga. Oleh karena itu perkawinan dapat putus karena alasan
B. Saran
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak di antaranya sebagai berikut:
1. Masyarakat
67
transeksual. Apa yang mereka lakukan hanyalah suatu penyimpangan seksual dimana
crossdresser melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang
sebagai seorang banci dan sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apakah ia benar
2. Kaum Crossdresser
Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan sebagai seorang crossdresser, apa
mendapatkan kenikmatan batin. Bagi seorang crossdresser asli, apa yang dialaminya
memang merupakan ketentuan Allah sang pencipta. Akan tetapi ia tidak boleh pasrah
dengan keadaan tersebut, ia harus berusaha untuk berubah dengan melawan keinginan
menyimpangnya serta lebih memilih dan memilah dalam bergaul agar tidak
terjerumus kedalam perbuatan yang tercela. Oleh karena itu bagi kaum crossdresser
hendaklah berusaha untuk merubah diri menjadi manusia yang normal dengan
berkonsultasi kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut agar dapat membantunya
Abidin, Muhammad Amin, bin Umar. Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al- Mukhtar.
juz IV. Beirut: Dar al-Kutub, 2000.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Akbar, Ali dan Andi Hakim Nasution, dkk. Membina Keluarga Bahagia. Jakarta:
Pustaka Antara, 1996.
Asqalani, al, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari. Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1379 H.
Bakry, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah).
Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
BK, Puri dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri. Jakarta: EGC, 2011.
Bockting, Colemen dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, Jakarta:, Tp, 1993.
Dimyati, al, Muhammad Syata’. I’anat al-Talibin. T.tp: Dar Ilhya al-Kutub al-
‘Arabiyyah, T.t.
Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2003.
Forum Kajian Kitab Kuning. Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain. Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Grup, 2003.
Ghazali, al, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn. Beirut:
Dâr al-Ma’rifat, T.t.
68
69
Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk
Jakatra: Ihya Ulumuddin, 1971.
Hosen, Ibrahim. Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
Yayasan Institut Ilmu Alquran, 1997.
Husaini, al, Taqiy ad-Din bin Muhammad. Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-
Ikhtishar. Beirut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988.
Jaziri, al, Abd Rahman. al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.
Maramis, Willy F dan Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: AUP, 2009.
Muhammad, Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu. al-Kafi fi Fiqh al-Imam
Ahmad ibn Hanbal. T.tp, T.p, T.t.
Nawawi, al, Imam. Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi. Beirut: Dâr al-Kitab al-Arabi,
1987.
Nawawi, al, Mahyuddin. Majmu’ Syarah Muhazzab. Jilid VII. Jeddah: Maktabah al-
Irsyad, T.t.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Putri, Veratih Iskadi. Tujuan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual
Suami Kepada Isteri. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Qudamah, al, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. al-Mughni. Cairo: Hijr, 1992.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1996.
Rusadi M. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013.
Saddock, BJ dan Saddock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC, 2010.
Sukri, Sri Suhandjati dkk. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama
Media, 2002.
Wajidi, Farid dan Cici Farkha Assegaf. Hak-Hak Perempuan dalam Islam.
Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994.
Zuhaily, al, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989.
Website:
Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser
Dara, Noka, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus
2015 dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria
crossdresser-itu-gay.html
Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
72