Anda di halaman 1dari 84

IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP PERNIKAHAN

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:
AZHAR SYUKRI
NIM : 1111043100018

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH


PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK

Azhar Syukri (1111043100018), Implikasi Crossdresser Terhadap


Pernikahan. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak


dan kewajiban serta saling tolong menolong antara laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanya bukan mahram dan saling menjalankan hak dan
kewajibannya dengan baik. Jika dua hal tersebut tidak seimbang niscaya akan
timbulah keributan dan perselisihan dalam rumah tangga. Pada dasarnya manusia
tidak selamanya hidup normal, karena pasti ada saja yang memiliki
kecenderungan tidak normal dan tidak wajar, seperti fenomena crossdresser.
Crossdresser adalah laki-laki yang gemar menggunakan pakaian perempuan
disaat-saat tertentu, seperti saat stress atau saat berhubungan seksual, akan tetapi
ia berbeda dengan banci karna ia tidak mempunyai kelainan seksual. Lalu
bagaimanakah hukum pernikahan yang dilakukan oleh seorang crossdresser?
Sedangkan syarat calon mempelai laki-laki adalah harus laki-laki yang
mempunyai sifat kelaki-lakian. Kemudian bagaimana dengan cara hubungan
seksual yang dilakukan oleh seorang crossdresser? Dan bagaimana jika isteri
mengajukan gugatan cerai dengan alasan suami merupakan seorang crossdresser?

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan
kaum crossdresser, kitab-kitab fikih dan Undang-Undang. Sedangkan sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel ilmiah, berita di media
masa dan lain sebagainya. Metode penelitian yang penulis lakukan adalah
penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris, penulis melakukan penelitian
lapangan dengan metode wawancara. Selain itu penelitian ini akan melakukan
kajian kepustakaan dengan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang
memuat informasi yang berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilakukan.

Penemuan penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan


oleh seorang crossdresser adalah sah karena memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, akan tetapi cara berhubungan seksual yang dilakukan oleh seorang
crossdresser adalah bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah
SAW. Kemudian jika isteri mengajukan gugatan perceraian dengan alasan suami
seorang crossdresser maka diperbolehkan, selama keadaan tersebut membuat
keadaan rumah tangga menjadi tidak harmonis dan selalu terjadi percekcokan
sehingga bahtera rumah tangga tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

Kata kunci : Pernikahan, Perceraian, Crossdresser.

Pembimbing : Dr. Syahrul Adam, MA dan Hotnida Nasution, MA.

i
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa

memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi ini dapat

terselesaikan.

Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi

Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman

Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-

sahabat-Nya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga

mendapatkan syafa’at-Nya kelak.

Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah

mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,

membantu dan memotivasi penulis, terutama:

1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc,

MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang

sekaligus merangkap sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini

telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada penulis selama masih

dalam masa kuliah.

ii
3. Bapak Dr. Syahrul Adam, MA. dan Ibu Hotnida Nasution, MA. Dosen

Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga

dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta memberikan bimbingan,

pengarahan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan

ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang memberikan motivasi,

serta kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.

5. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan

kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur

kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku penunjang

hingga proses penulisan skripsi ini selesai.

6. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Moh Syukri dan Ibunda Hj. Nurlelah yang

sangat berperan dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan

penuh kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan

dukungan baik secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

7. Adik-adik tercinta, Syahriani Syukri, Zahran Syukri dan Nabila Syukri yang

senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan selama proses penulisan

skripsi ini.

iii
8. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung dan

menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Uje, Izzul, Hamdi,

Haikal, Yusuf, Qohar, Rizal, Rusdy, Hutbi, Iqbal, Azka, Abie dan yang

lainnya, semoga Allah memberikan kemudahan dalam menyusuri kehidupan

kita selanjutnya.

9. Sahabat-sahabat kostan, H. Mail, Riski Ardi, Rajab, Yunus, Topik, Andi

Asyraf dan Tepes. Terimakasih karena selalu menghibur di kala jenuh, selalu

memberikan semangat dan motivasi ketika jatuh. Semoga tali persaudaraan

kita terjaga hingga akhir masa.

10. Terimakasih kepada Sahabatku Resti Hedi Juwanti yang selalu membantu,

memberikan semangat, dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah selama

proses penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.

Jakarta, 15 Juni 2016

(Penulis)

iv
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………………………………………….

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………...

ABSTRAK………………………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………....4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………….........5

D. Review Studi Terdahulu……………………………………….6

E. Metode Penelitian……………………………………………...9

F. Sistematika Penulisan………………………………………...11

BAB II TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

A. Pengertian Pernikahan………………………………………..13

B. Hukum Pernikahan…………………………………………...20

C. Syarat dan Rukun Pernikahan………………………………..23

D. Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan…………………………..25

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI CROSSDRESSER

A. Pengertian Crossdresser……………………………………...32

B. Ciri dan Faktor Penyebab Menjadi Crossdresser…………....34

C. Hukum Crossdresser…………………………………………41

v
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP

PERNIKAHAN

A. Analisis Hukum Pernikahan Crossdresser…………………...43

B. Analisis Hukum Hubungan Seksual yang Dilakukan Oleh

Kaum Crossdresser…………………………………………...49

C. Analisis Hukum Perceraian dengan Alasan Crossdresser……60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………...…65

B. Saran……………………………………………………….....67

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...69

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak

dan kewajiban serta saling tolong-menolong antara laki-laki dan seorang

perempuan yang antara keduanya bukan mahram dan saling menjalankan hak dan

kewajibannya dengan baik.1 Hak ialah sesuatu yang harus diterima sedangkan

kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah

kehidupan antara suami isteri dalam setiap rumah tangga, apabila dua hal tersebut

tidak seimbang niscaya akan timbullah keributan dan perselisihan dalam rumah

tangga.

Sebaliknya jika antara hak dan kewajiban itu seimbang atau sejalan,

terwujudlah keserasian dan keharmonisan dalam rumah tangga, rasa kebahagiaan

semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan baik. Suami menghargai

isterinya dan isteri pun menghormati suaminya dan seterusnya. Oleh karena itu

antara suami isteri harus saling melaksanakan hak serta kewajiban masing-

masing.2

Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah SWT, dengan kecenderungan

seks (libido seksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji

pada diri manusia maka Allah telah menyediakan wadah yang sesuai dengan

1
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991), cet.I h. 2.
2
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta:
CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-1, h. 37.

1
2

derajat manusia yakni melalui perkawinan. Tanpa ikatan perkawinan pasti akan

menimbulkan akibat negatif seperti penyimpangan seksual. Akan tetapi

perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau

dengan kata lain untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan

perkawinan dalam Islam mempuyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah

di dalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentarman dan kebahagian

hidup.3

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia di

antara makhluk-makhluk lainnya. Dianugrahkan kepadanya insting untuk

mempertahankan keturunan sebagai konsekuensi kemuliaan itu. Ini berarti

manusia harus memperkembangkan keturunan dengan alat yang telah

diperlengkapkan Tuhan kepadanya. Di antara kelengkapan ini adalah alat kelamin

dan nafsu syahwat untuk saling bercinta.

Seks adalah kebutuhan biologis manusia yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan. Dari kenyataan ini, maka seks merupakan faktor yang amat

penting untuk dipelajari agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar, janganlah

naluri seks manusia anugerah Tuhan ini diselewengkan menurut hawa nafsu.

Kalau ini terjadi, tentu insting manusia untuk mempertahankan kelangsungan

keturunan tidak akan berhasil, bahkan sebaliknya akan punah. Untuk menghindari

hal-hal seperti itu perlu sekali diterapkan moral agama dengan seks. Moral berarti

ajaran mengenai baik dan buruknya tingkah laku manusia. Kalau moral agama

3
Epni Juliana, Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi putusan perkara Nomor
1564/pdt.G/2008/PAJT), Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 2.
3

diterapkan dalam seks, niscaya agama akan membimbing tingkah laku hubungan

seks yang baik. Seks yang berjalan sesuai dengan moral agama, pasti akan

berjalan dengan baik dan wajar tanpa menodai harkat martabat manusia.4

Pada dasarnya manusia tidak selamanya hidup lurus dan normal, karena

pasti ada saja yang memiliki kecenderungan tidak normal dan tidak wajar, seperti

fenomena crossdresser. Crossdresser yaitu orang-orang yang suka berpakaian

dengan pakaian lawan jenisnya untuk kesenangannya, akan tetapi ia tetap

mempunyai kesehatan seks yang normal.5 Di dalam hukum Islam crossdresser

disebut sebagai mukhannats, menurut Muhammad Amin bin Umar Abidin

mukhannats adalah seorang yang berpakaian dengan pakaian wanita dan

menyerupakan diri seperti wanita dari gerak-geriknya, perbuatan, dan ucapannya.6

Pada dasarnya seorang perempuan yang gemar menggunakan pakaian

laki-laki oleh masyarakat sudah dianggap tabu. Akan tetapi seorang laki-laki

yang gemar menggunakan pakaian wanita maka akan dianggap menyimpang.

Oleh karena itu istilah crossdresser lebih cenderung kepada laki-laki yang gemar

menggunakan pakaian perempuan. 7

Crossdresser tidak sama dengan transgender, transgender adalah seorang

laki-laki yang ingin menjadi perempuan secara lahir batin akan tetapi crossdresser

4
M. Bukhari, Islam dan Adab Seksual, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 2.
5
Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser
6
Muhammad Amin bin Umar Abidin, Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al- Mukhtar, juz
IV, h. 69.
7
Hening, Macam-macam Fetishism, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://m.vemale.com/topik/penyakit-wanita/37247-macam-macam-fetishism.html
4

hanya gemar menggunakan pakain perempuan saja dan tidak mempunyai kelainan

seks untuk menjadi perempuan. Seorang transgender menyukai laki-laki karena ia

merasa dirinya adalah seorang perempuan, akan tetapi crossdresser tetap

menyukai perempuan karena ia tidak mempunyai kelainan seks sebagaimana

seorang transgender. Seorang transgender ingin merubah kelaminnya menjadi

kelamin perempuan, sedangkan crossdresser tidak ingin berganti kelamin.8

Salah satu alasan seseorang menjadi crossdresser karena ia merasa

mendapat kepuasaan seksual ketika ia menggunakan pakaian perempuan9,

terlebih ketika ia sedang berhubungan seksual dengan lawan jenisnya. Karena

seorang crossdresser tidak mempunyai kelainan seksual, banyak dari kalangan

crossdresser yang sudah berkeluarga, tentu saja apa yang dideritanya dapat

berpengaruh terhadap pernikahannya. Hal ini karena tidak semua perempuan

dapat bertahan dan bersabar dengan kelainan yang diderita oleh suaminya.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema

tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul “Implikasi Crosdresser Terhadap

Pernikahan”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya

pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk

8
Azi, crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/crossdresser
9
Noka Dara, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015
dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria-crossdresser-itu-gay.html
5

mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada pembahasan mengenai implikasi

crossdresser terhadap pernikahan.

2. Perumusan Masalah

Berdasaran pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan pokok

permasalahan pada skripsi ini adalah: Bagaimana implikasi crossdresser terhadap

pernikahan?. Pokok permasalahan di atas diurai dalam pernyataan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimanakah hukum pernikahan crossdresser?

b. Bagaimanakah hukum hubungan seksual yang dilakukan oleh

crossdresser?

c. Bagaimanakah hukum perceraian dengan alasan crossdresser?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana hukum pernikahan crossdresser?

b. Untuk mengetahui bagaimana hukum hubungan seksual yang

dilakukan oleh crossdresser.

c. Untuk mengetahui hukum perceraian dengan alasan crossdresser.

2. Manfaat Penelitian

a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna

bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai crossdresser dan


6

pengaruhnya terhadap permikahan yang secara langsung dapat

merespon kenyataan yang terjadi pada masa kini.

b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan

terkait dengan pengaruh crossdresser terhadap pernikahan.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian terdahulu di antaranya adalah

skripsi yang berjudul Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak

Reproduksi Perempuan (Analisis Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan) yang ditulis oleh Fatimatuh Zahro’, Program Studi Ahwal

Al-Syakhsihyah 2009. Skripsi ini menyimpulkan bahwa nikah dibawah umur

sering berimplikasi terhadap hak-hak reproduksi perempuan baik secara fisik,

secara mental dan secara sosial seperti memiliki banyak anak dan mengalami

percaraian dan relatif muda, dalam kitab-kitab fikih klasik tidak terdapat

ketentuan baik secara eksplisit maupun implisit mengenai aturan batas usia nikah

sehingga dalam praktiknya tidak dapat diberlakukan sanksi moral atau sosial

terlebih sanksi hukum bagi pihak yang melaksanakannya, padahal refrensi kitab-

kitab klasik ini masih menjadi rujukan sebagian umat Islam di Indonesia. Begitu

pula dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun tidak

terdapat ketentuan pidana yang jelas dan konkrit bagi pihak-pihak yang

melaksanakan nikah di bawah umur. Sehingga dalam menyikapi permasalahan

tersebut adalah perlunya sikap kritis dan bijak berbagai pihak baik dalam

lingkungan keluarga, masyarakat, maupun instansi pemerintah.


7

“Biseksual Salah Satu Penyebab Perceraian (Analisis Putusan

Nomor:0456/Pdt.G/2012T/PA.Tng) yang ditulis oleh M.Iqbal Warats, Program

Studi Hukum Keluarga Islam 2014. Skripsi ini menyimpulkan bahwa hakim

dalam memutuskan perkara perceraian yang disebabkan perilaku biseksual

memiliki beberapa pertimbangan salah satunya karena Penggugat dan Tergugat

sering terjadi selisih paham dan percekcokan yang alasannya disebabkan karena

Tergugat ketahuan berselingkuh dengan beberapa wanita lain dan menjalani

hubungan sesama jenis. Dan hakim mendasarkan putusan ini pada pasal 19 huruf

(f) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Memang

kedua pasal ini tidak menyebutkan secara rinci bahwa biseksual suami dalam

rumah tangga dapat dijadiakan alasan dalam perceraian. Akan tetapi, akibat dari

biseksual suami tersebut menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga

sehingga menyebabkan percekcokan yang terus menerus, dan ini yang menjadi

penekanan Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut.

Penelitan selanjutnya Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi

putusan perkara Nomor 1564/pdt.G/2008/PAJT) yang ditulis oleh Epni Juliana

skripsi ini menyimpulkan bahwa Islam membolehkan isteri atau suami menggugat

cerai bila salah satu pihak terbukti menderita cacat yang sulit disembuhkan.

Dalam kasus ini, isteri yang merasa sudah tidak diberikan haknya karena suami

mengidap homoseksual, homoseksual sendiri dalam Islam tidak diterangkan

secara spesifik bahwa penyakit tersebut dianggap salah satu penyakit atau cacat

ynag dibolehkan bagi sang isteri menggugat cerai. Menurut sebagaian ulama, pada
8

dasarnya penyakit apapun yang menyebabkan penderitaan bagi salah satu pihak,

yang berakibat tidak mampu lagi menjalankan bagi suami isteri dengan baik,

maka dianggap sah dan dibolehkan untuk menuntut cerai ke Pengadilan Agama.

Dengan demikian homoseksual dapat menjadi pemicu perceraian akan tetapi tidak

bisa menjadi alasan perceraian. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama

Jakarta Timur dalam memutus perkara cerai gugat dalam kasus ini mengacu pada

pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 (tentang pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974), dan pasal 116 huruf (f) KHI (Inpres RI No. 2 Tahun 1991).

Menurut hakim dengan adanya kelainan seks yang diderita suami maka akan

mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga, dan sehingga sering

terjadi pertengkaran, dan masalah tersebut menjadi tidak sesuai dengan tujuan

perkawinan yaitu membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah dan

rahmah.

Penelitian selanjutnya Kelainan Seks Pada Suami Sebagai Pemicu

Terjadinya Perceraian yang ditulis oleh Jamilah, Program Studi Peradilan Agama

2010. Skripsi ini menyimpulkan bahwa kelainan seks seperti suami suka

mengintip orang mandi dan orang yang sedang berhubungan seksual dapat

dijadikan sebagai alasan perceraian karena dengan adanya kelainan seks terhadap

suami dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri.

Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara ini mengacu pada pasal 116

KHI huruf (f) dan Q.S Arrum ayat 20 serta PP No 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.


9

Dari skripsi yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa skripsi yang

akan ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di skripsi pertama fokus

pembahasannya mengenai pengaruh biseksual terhadap perceraian dan skripsi

kedua fokus pembahasannya mengenai pengaruh homoseksual terhadap

perceraian dan skripsi ketiga fokus pembahasannya mengenai kelainan seks pada

suami sebagai pemicu perceraian. Dalam penelitian ini penulis akan

memfokuskan permasalahan tentang Implikasi crossdresser terhadap pernikahan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan empiris,

dalam hal ini penulis melakuakan penelitian lapangan dengan mewawancarai

kaum crossdresser untuk menegetahui bagaimana kaum crossdresser menanggapi

fenomena yang terjadi.10

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.

Data Primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan kaum

crossdresser, kitab-kitab fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

10
Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian,, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), h. 10.
10

Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen yang

berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang didapat dari buku-buku,

artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara yakni proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan

cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan

menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interviem guide

(panduan wawancara).12 Selain itu peneliti akan melakukan kajian kepustakaan

yaitu upaya pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap

dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek

dan masalah penelitian yang akan dilakukan. 13

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk

yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang

lain.14 Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa

hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

11
J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h.
112-116.
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
13
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
244.
11

menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut

dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode

menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu

gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang

masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud

tulisan ini. Pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk

memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya

adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB I meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi

terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

BAB II meliputi pengertian pernikahan, dasar hukum pernikahan,

syarat dan rukun pernikahan, serta faktor penyebab putusnya

sebuah pernikahan.
12

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI CROSSDRESSER

BAB III ini meliputi pengertian crossdresser, sejarah crossdresser

ciri dan faktor penyebab seseorang menjadi crossdresser, serta

hukum crossdresser.

BAB IV ANALISIS IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP

PERNIKAHAN

BAB IV ini meliputi analisis hukum pernikahan crossdresser,

analisis hukum hubungan seksual yang dilakukan oleh

crossdresser, analisis hukum perceraian dengan alasan crossdresser

BAB V PENUTUP YANG MELIPUTI KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam BAB V ini penulis mengakhiri penulisan ini dengan

memberikan beberapa kesimpulan dan juga menyampaikan

beberapa saran yang berhubungan dengan kajian penulisan.


BAB II

TEORI UMUM MENGENAI PERNIKAHAN

A. Pengertian Nikah

Nikah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu al-nikah yang

bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut

dengan al-dammu wa al-jam’u, atau ibarat al-wath’ wa al-‘aqad yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis inilah para

ulama fikih mendenifisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk

lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan dibawah ini seperti yang

dijelaskan oleh wahbah al-Zuhaily sebagai berikut. “Akad yang membolehkan

terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi

dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik

dengan sebab keturunan, atau sepersusuan’’.2

Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah “akad yang telah

ditetapkan oleh syar’i agar seorang laki-laki mengambil manfaat untuk melakukan

istimta dengan seorang wanita atau sebaliknya’’. 3

Menurut Imam al-Qalyubi nikah secara terminologi adalah sebuah akad

yang menjadikan atau memperbolehkan adanya hubungan (persetubuhan) antara

laki-laki dan perempuan dengan kalimat nikah atau kawin.4

1
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989), h.
29.
2
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, h. 29.
3
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, h. 29.

13
14

Menurut Hanafiyah “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk

melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalan seorang laki-laki untuk

beristimta dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi

sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad

yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil

manfaat untuk bersenang-senang.5

Selanjutnya al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang

mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata

nikah atau tazwij.6

Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa

halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling

tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya. 7

Dengan redaksi yang berbeda, Iman Taqiyuddin di dalam Kifayat al-

akhyar mendefiniskan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang

terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wat

(bersetubuh).8

4
Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi, Hasiyatani, (Cairo: Al-
Maktabah Al-Taufikiyah, 2003)., h. 312.
5
Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (t.tp. Dar Ilhya al-Turas al-
Arabi, 1986), h. 3.
6
Muhammad Syata’ al-Dimyati, I’anat al-Talibin, (t.tp Dar Ilhya al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), h. 256.
7
Muhammad Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi,
1957), h. 19
15

Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas, sebagaimana akan

hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal

ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang

Arab adalah al-wat’ (persetubuhan). 9

Definisi beberapa pakar Indonesia juga akan dikutipkan di sini. Menurut

Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk

hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk

keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia10.

Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan

seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan

seksual11. Senada dengan Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan perkawinan

sebagai hubungan seksual. Sedangkan Ibrahim Hosein mendefinisikan

perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara

pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai

hubungan seksual (bersetubuh).12

Definisi lain dapat dikemukakan di sini sebagaimana yang dinyatakan oleh

Lord Penzance seperti yang dikutip Lili Rasjidi dalam Disertasinya :

8
Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung: Al-Ma’arif,
t.t), h. 36
9
Imam Taqiyuddin, kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, h. 36.
10
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 2.
11
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia (Jakrta: Tintamas, 1961), h. 61.
12
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk (Jakatra:
Ihya Ulumuddin, 1971), h. 65.
16

I conceive that marriage as understood in Christendom, may…be difened

as the voluntary union for life of one man and one women to the exclusion of all

others13.

Dari definisi ini di atas setidaknya ada tiga hal yang menjadikan intisari

sebuah perkawinan yaitu ; perkawinan itu haruslah berdasarkan sukarela.

Selanjudnya perkawinan dimaksudkan untuk seumur hidup dan bersifat

monogami. Tentu saja definisi ini berlaku bagi wilayah yang hukumnya berkiblat

pada Inggris termasuk Malaysia.14

Perspektif Undang-Undang No 1/1974

Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam

pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah negara

Indonesia berdasrkan kepada Pancasila yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang

Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan

saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau

rohani. 15

13
Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1982), h. 5.
14
Lili Rasjidi, HUkum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, h. 5.
15
Moh. Idris Ramulyo, HukumPerkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Komlikasi Hukum Islam, h. 2.
17

Perspektif KHI

Menurut Kompliasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2

dinyatakan bahwa perkawinan hukum Islam adalah,

pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miittsaqan gholidhan untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miittsaqan

gholidhan ini ditarik firman Allah SWT. Yang terdapat pada surat al-Nisa ayat

21:

         

 
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu
berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat (miittsaqan gholidhan).

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal

berikutnya yang berbunyi: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tentram cinta dan kasih

sayang)”.

Agaknya tujuan ini juga dirumuskan melalui Firman Allah SWT. Yang

terdapat surat al-Rum ayat 21 :

           

         


Artinya: “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antara-mu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir”.
18

Dari definisi di atas ada yang menarik untuk dicermati. Dalam kitab-kitab

fikih seperti yang telah diuraikan di muka, tampaknya para ulama mendefinisikan

perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar

karena makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual.

Biasanya para ulama dalam merumuskan definisi tidak akan menyimpang apa lagi

berbeda dengan makna aslinya. Di samping itu harus jujur diakui yang

menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah

(salah satunya) dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karena

ingin mendapatkan keturunan ataupun karena memenuhi kebutuhan seksualnya.16

Tetapi definisi itu tidak sepenuhnya mampu menggambarkan hakikat

perkawinan yang menekankan pada dimensi biologis tidak hanya berdasarkan

pertimbangan bahasa tetapi juga sangat dimungkinkan oleh pertimbangan yang

bersifat subjektif. Sebagaimana yang terlihat nanti banyak sekali konsep-konsep

perkawinan Islam itu sangat bias jender yang menempatkan perempuan dalam

posisi yang subordinat.17

Definisi perkawinan dalam fikih memberikan kesan bahwa perempuan

ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki. Yang dilihat pada diri

wanita adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat’

atau al-istimta’. Yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula

pemberian ikhlas sebagai tanda cinta seorang laki-laki kepada perempuan juga

16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 44.
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
45.
19

didefinisikan sebagai pemberian yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki

berhubungan seksual dengan wanita. Implikasinya yang lebih jauh akhirnya

perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin

dalam berbagai peristwa-peristiwa perkawinan.18

Kondisi ini berbeda jika kita lihat definisi yang ada dalam UU No 1/1974.

Setidaknya dalam pasal 2 ayat 1 secara ekspilisit ada beberapa hal yang perlu

untuk dicatat.

Pertama, perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani

saja tapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan

perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga

mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan

yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek

sedangkan ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini

dieksplisitkan dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.19

Kedua, dalam UU No 1/1974 tujuan perkawinan juga dieksplisitkan

dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia

baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan. Dengan

demikian dalam UU perkawinan No 1/1974, perkawinan tidak hanya dilihat dari

segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sossial sebuah perkawinan untuk

membentuk keluarga. Sedangkan dalam fikih tujuan perkawinan tidak

18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
45.
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
46.
20

dicantumkan. Perkawinan hanya dilihat sebagai ketentuan hukum formal saja.

Penting untuk diketahui bahwa fikih hanya mengurusi hal-hal yang praktis

(amaliyah) bukan berbicara yang ideal. 20

Ketiga, terkesan dalam UU No 1/1974 perkawinan itu terjadi hanya sekali

dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Seperti definisi yang

diberikan oleh Lord Penzance di atas dengan mensyaratkan seumur hidup diduga

kuat dipengaruhi oleh agama Katolik Roma yang tidak memungkinkan terjadinya

penceraian karena penceraian itu sendiri terlarang menurut agama tersebut kecuali

diizinkan oleh Paus. Untuk memproleh izin adalah sesuatu yang sulit untuk tidak

mengatakan tidak mungkin21.

B. Hukum Pernikahan

Dalam perspektif fiqih, nikah di syariatkan dalam Islam berdasarkan al-

Quran, al-Sunah dan ijma;. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan adalah

firman Allah dalam Surah al-Nisa (4): 3 berikut:

        


Artinya: “maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,
tiga, empat.” (Q.S al-Nisa: 3)

Selanjutnya disebutkan dalam Surah al-N r (24): 32:

      


Artinya:dan kawikanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak berkawin dari hamba sahayamu yang laki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan.” (Q.S al-N r: 32).

20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
46.
21
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
47.
21

Adapun hadis Nabi Saw. Yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat

Abdullah bin Mas’ud ra:

‫ ﯾﺎ ﻣﻌﺴﺮ اﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬:‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻗﺎل‬

.(‫ )رواه اﻟﺒﺨﺎري و ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ و ﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺎﻧﮫ ﻟﮫ وﺟﺎء‬.‫اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﯿﺘﺰوج‬

Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka
menikalah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak maka
mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa, karena puasa itu adalah
sebuah penawar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu di

syariatkan22. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah

menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagai berikut.

1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk

menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib

menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram. 23

2. haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa

mudarat kepada isterinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah

lahir dan batin.

3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama24 bagi apabila yang, apabila tidak

menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan,

22
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni (kairo: Hijr, 1413 H/1992 M), h. 340.
23
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni , h. 340.
24
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudomah, al-Mughni , h. 340.
22

apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat

kepada isterinya. Ini didasarkan firman Allah swt dalam surat al-Nur (24): 32)

Juga keterangan dari hadis Nabi Saw “Wahai para pemuda,

barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.” (HR. al-

Bukhari dan Muslim). Namun menurut al-Syafi’iyah25, menikahlah dalam

kondisi seperti ini adalah mubah dan lebih baik baginya menfokuskan diri

untuk beribadah atau menyibukkan diri dalam menuntut ilmu. Karena

Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as. Dalam firmanya Surah Ali I’mrân

(3):39:

…  …

Artinya: “menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu).”

Menahan diri dalam ayat ini berarti tidak bercampur dengan

wanita, maka seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan

memuji Nabi Yahya as. Tatkala meninggalkannya. Dan firman Allah

Surah Ali ‘Imrân (3):14 berikut:

       


Artinya: “dijadiakan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita dan anak-anak.” (Q.S
Ali Imrân: 14)

Ungkapan ayat di atas tentang kecintaan manusia akan wanita

adalah ungkapan yang mengandung dzamm (celaan). Maka jika itu celaan,

lebih baik menfokuskan diri untuk beribadah.

25
Taqiy ad-Din bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-
Ikhtishar (berikut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988), h. 67-68.
23

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena

ada riwayat yang menerangkan bagaimana Rasullah Saw. Melarang

umatnya menjahui wanita dengan tujuan fokus untuk ibadah berdasarkan

hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.:

Artinya: “akan tetapi saya juga puasa, berbuka, shalat,

bersenggama dan menikahi wanita-wanita. Maka tidak termasuk dari

untuku.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi al-Waqqas ra.

Yaitu: “Rasululla Saw. Menolak keinginan Utsman bin Maz’un untuk

terus membujang, maka seandainya ia diizinkan oleh Rasulullah untuk itu

maka kami akan membujang selamanya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

4. Makruh hukumnya menikah bagi orang yang kuatir akan berbuat nista dan

membawa mudarat kepada isterinya dan tidak merasa yakin dapat

menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya mereka tidak mampu meberi

nafkah, member perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak

terlalu berminat terhadap perempuan. 26

C. Syarat dan Rukun Nikah

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di

antara para ulama.

Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu (1) sighah (ijab

dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Ini berbeda dengan

26
Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H),
h. 6517.
24

Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan

qabul, tidak ada yang lain. 27

Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenernya menurut Malikiyah rukun

nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus

disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini di syaratkan

bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram)

dan (5) sighah.28

Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun

sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua

saksi dan (5) sighah.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat

mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua

hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah

selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi’iyah

berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali,

dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk

rukun nikah adalah suami, isteri, wali, dan mahar.

27
Wahbah Zhuaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, h. 6517.
28
Abdurrahman al-Jaziri Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, h. 186.
25

D. Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan

rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu;29

1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri.

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap

suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,

penyelewengan dan hal-hal yang dapat menggangu keharmonisan rumah

tangga. Berkenaan dengan hal ini al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana

mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian.

Allah SWT. berfirman di dalam surah al-Nisa 4/34:

        

           
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Tinggi Lagi Maha Besar”.

Berangkat dari surah al-Nisa’: 4/34 al-Quran memberi opsi sebagai berikut:

a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’aruf agar ia segera sadar

terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri

dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri

terhadap kekeliruannya.

29
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 269-272.
26

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah

memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat,

yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri

seperti betisnya. 30

2. Nusyuz suami terhadap istri

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat

juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya

datang dari pihak istri saja. Padahal al-Quran juga menyebutkan adanya nusyuz

dari suami seperti yang terlihat dalam al-Quran surah al-Nisa’ ayat 12831.

             

            

     


Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian sebenarrnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli istrimu dengan
baik memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengatahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S al-Nisa: 128).

Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari

pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun

nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadis Rasul SAW,

ada dinyatakan, di antara kewajiban suami terhadap istri adalah,

30
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272.
31
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 269-272.
27

Pertama, memberi sandang dan pangan. Kedua, tidak memukul wajah jika

terjadi nusyuz, ketiga, tidak mengolok-ngolok mengucapkan hal-hal yang

dibencinya. Keempat, tidak menjauhi istri atau menghindari istri atau menghindari

kecuali dalam rumah.

Inti hadis ini adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara

yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan

mental32. Jika ini terjadi dapat dikatakan satu bentuk nusyuz suami kepada istri.

Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali

mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Quran seperti yang

terdapat dalam surah al-Nisa’ 4/128 menganjurkan perdamaian di mana istri

diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya

dikurangi untuk sementara waktu. Semuanya ini bertujuan agar perceraian tidak

terjadi.

Inilah ayat yang menurut Sayuti Talib yang dijadikan dasar untuk

merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai untuk perjanjian

perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai cara untuk

menyelasaikan apabila suami melakukan nusyuz.33

Sedangkan menurut Muhammad Syatlut, taklik talak adalah jalan terbaik

untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami.

Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian itu telah disepakati

32
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain, (Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001), h. 16-17.
33
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain h. 16-17.
28

bersama, maka perjanjian taklik talak dianggap sah untuk semua bentuk taklik.

Apabila suami melanggar perjanjian telah disepakati itu maka isteri dapat

meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.34

3. Terjadinya syiqaq

Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu

pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi

karena kedua-duanya telibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan

kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.

Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh

alasan syiqaq dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq

adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri. Untuk

sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus

dilalui beberapa proses.

Dalam ayat suci al-Qur’an surah al-Nisa’: 4/ 35 ada dinyatakan:

            

          
Artinya: Bila kamu khawatir terjadinya perpecehan antara mereka
berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga istri. Jika
keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka,
Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. al-Nisa: 35).

Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam mengenai problema

kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing

pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui kerakter, sifat

34
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001), h. 278.
29

keluarga mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendemaikan suami istri yang

sedang bertengkar. Al-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa

disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan istri, jika tidak boleh dari pihak

lain. 35

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan

saling tuduh-menuduh antara keduanya.

Cara menyelesaikan adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang

didakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung dimuka. Li’an

sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk

selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra.36

Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur’an adalah dalam rangka

antisipasi agar nusyuz dan syiqaq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan

terjadinya perceraian. Bagaimanapun juga perceraian merupakan sesuatu yang

dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagi cara yang telah

ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik

bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.

Jika mengamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan

seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalm tingkat

tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah

35
Mahyuddin al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Jilid VII, (Jeddah: Maktabah al-
Irsyad, t.th), h. 143.
36
Ahmad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , h. 274.
30

talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak

otoriter, misalnya, mencarai istri (perempuan) secara sepihak. 37

Begitu dominannya hak suami untuk menggunakan hak talaknya dapat

dilihat pada pernyataan Sayyid Sabiq berikut ini:

Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-

lakinya yang memliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai

dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan

membutuhkan biaya yang banyak. Mereka juga memiliki tanggung jawab

memberikan nafkah dan hadiah talak pada isterinya. Lebih lanjut, Sayyid Sabiq

menambhkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar

menghadapi perangai istrinya, dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya,

perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban

perceraian38.

Bagi Syafiq Hasyim seorang aktivis muda yang concern pada persoalan

jender menyatakan, alasan material dan psikologis yang diberikn oleh Sayyid

Sabiq di atas sangat bias gender dan monilitis (dari suami kepada istri).39

fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan-

aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini. Untuk dapat

terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan

37
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 170.
38
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman dalam
Islam, h. 170.
39
Syafiq Hasyim, hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman
dalam Islam, h. 170.
31

oleh undang-undang dan ajaran agama40. Jadi tidak semata-mata diserahkan pada

aturan-aturan agama.

40
Ahamad Rafiq, Ahmad Rafiq, Hsukum Islam di Indonesia, h. 59.
BAB III

TINJAUAN UMUM ME NGENAI CROSSDRESSER

A. Pengertian Crossdresser

Crossdresser berasal dari bahasa Inggris, yang pada dasarnya, Crossdresser

adalah sebuah kata baru yang terbentuk dari dua kata; “Cross” yang disini berarti

menyeberang/melintas/menyilang,1 dan “Dress” yang berarti busana. Dalam

Bahasa Inggris, imbuhan “-er” yang ditambah dibelakang membuatnya menjadi

berarti “pelaku”. Sementara imbuhan “-ing” yang ditambah dibelakang

membuatnya menjadi kata kerja; melakukan kegiatan. Jadi secara harafiahnya,

Crossdresser berarti “Penyeberang-busana”; orang yang melakukan kegiatan

silang-busana, dan Crossdressing berarti kegiatannya itu sendiri; menyeberang

dari patokan busana gender orang yang bersangkutan itu sendiri.2. Secara istilah

crossdresser adalah seseorang yang gemar menggunakan pakaian lawan jenisnya,

laki-laki gemar menggunakan pakaian perempuan atau sebaliknya, akan tetapi

tidak ingin menjadi gender lawan jenisnya, dan tidak ingin mengubah tubuhnya

seperti lawan jenisnya. Mereka memakai atribut lawan jenisnya dengan tujuan

untuk mencapai keterangsangan atau kepuasan seksual saja. 3

1
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2003), h. 156.
2
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 198.
3
Docter R.F dan Prince, V, Transvestism A Survey of Crossdresser (Archives of Sexual
Behavior, 1997), h. 589-605.

32
33

Istilah klinis yang digunakan untuk menggambarkan penyimpangan

seksual crossdresser adalah paraphilia, yaitu suatu penyimpangan seksual dimana

individu melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang

pada umumnya, melanggar batas norma-norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat.4 Paraphilia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, “para” yang

berarti “lebih” dan philia berarti “teman” atau “bersenang-senang”. Paraphilia

merupakan gangguan mental merujuk pada dorongan seksual atau respon seksual

terhadap objek atau situasi yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku

dalam masyarakat.5 Pada gangguan ini, cara utama untuk mendapatkan ransangan

dan kepuasan seksual adalah dengan objek lain atau dengan cara lain dari yang

umumnya dianggap biasa. Jenis-jenis paraphilia: eksibisionisme, fetihisme,

frotteurism, masokisme seksual, sadisme seksualisme, transvestik fetisisme,

veyourisme, parafilia YTT. Sebagian besar pria lebih banyak mengidap paraphilia

dibandingkan para wanita. 6

Crossdresser termasuk pengidap paraphilia dengan jenis transvestik

fetisisme, yaitu keadaaan seseorang yang mencari rangsangan dan pemuasan

seksual terutama dengan memakai pakaian dan berperang sebagai seorang dari

seks yang berlainan.7 Transvestik fetisisme Merupakan gangguan saat seorang

4
Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
5
Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
6
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2,
(Surabaya: AUP, 2009), h. 360.
7
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h.
361.
34

laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun

perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri

sebagai laki-laki. Transvestik fetisisme selalu heteroseksual dan, selain saat

memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan

preferensi seksual yang maskulin.8

B. Ciri-Ciri dan Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Croosdresser

1. Ciri-Ciri Crossdresser

Dalam pedoman diagnostic transvestik fetisisme menurut PPDGJ-III ciri-

ciri Crossdresser adalah sebagai berikut:

a. Gemar mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk

mencapai kepuasan seksual

b. Pakaian sebagai objek fetish yang digunakan bukan hanya sekedar

dipakai saja tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari jenis

kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan

seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh termasuk rambut palsu

dan tatarias wajah.

c. Jika harsat seksual sudah bangkit dan sudah terjadi orgasme kemudian

rangsangan seksualnya sudah menurun maka ia segera ingin melepaskan

baju lawan jenisnya tersebut.

8
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, h.
361.
35

d. Transvestik fetisisme merupakan suatu fase awal bagi para penderita

transgender dan kemungkinan merupakan satu stadium dalam

perkembangan transgender. 9

Secara klinis, tingkah laku seksual yang menyimpang (sakit, patologis,

mengalami disfungsi, abnormal) itu pada umumnya berasosiasi dengan

melemahnya dan atau rusaknya kemampuan untuk menghayati relasi-relasi

seksual yang bisa saling memuaskan (dengan partnernya) dari lawan jenis

kelamin; dan biasanya ada affek-affek kuat berisikan unsur rasa bersalah,

berdosa, dendam kesumat. dan kebencian. Pada tingkah laku seksual yang normal

dan sehat, relasi heteroseksual berlangsung dalam suasana penuh afeksi dan

saling memuaskan, saling memberi dan menerima kasih-sayang dan kenikmatan.

Sebaliknya, pada tingkah laku seksual yang menyimpan sering berjalan tanpa ada

diskriminasi (tanpa perbedaan, semua sama saja. ada rasa yang datar, tanpa

afeksi) terhadap partnernya; bahkan tanpa memperdulikan sama sekali

perasaan-perasaan partnernya. Perilaku seksual yang menyimpang ini lebih

banyak dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neurotis dan dorongan-dorongan non

seksual daripada kebutuhan erotis, yang pada akhirnya menuntun pasien pada

tingkah laku kompulsif dan patologis.10

9
Rusadi M, Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, (Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013), h. 13.
10
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar
Maju, 1989), h. 227.
36

Karena seksualitas itu sangat erat terjalin dengan semua aspek

kepribadian, maka penyimpangan seksualitas pada umumnya berasosiasi

dengan:

1. Maladjustment (ketidakmampuan menyesuaikan diri), yang parah.

2. kesulitan-kesulitan neurotic.

3. ketakutan-kecemasan terhadap relasi heteroseksual (relasi seksual

dengan lawan jenis). Maka begitu luas spekturm penyimpangan

seksual tersebut. Diawali dan para penderita dengan perkembangan

psikoseksual yang sangat infantil, sampai ke ujung ekstrim lainnya

yaitu pribadi-pribadi yang mampu melakukan penyesuaian diri secara

seksual, namun mengalami regresi surut kembali pada penyimpangan

seksual, disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kuat dari proses ketuaan,

dan didorong oleh stress-stress psikologis dan stress fisik yang kuat

dan melebihi daya-pikul pribadi bersangkutan.11

2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Crossdresser

Crossdressing adalah salah satu perilaku yang menyimpang. Lebih

spesifik lagi penyimpangan yang terjadi dalam katagori seks. Ada beberapa

factor yang mempengaruhi seseorang berperilaku menyimpang, antara lain

adalah:

1. Faktor keluarga

2. Faktor pergaulan dengan teman sebaya

11
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
37

3. Faktor media massa.12

Lebih jelasnya sebab-sebab penyimpangan seks, seperti telah

disinggung di bagian depan, adalah multifaktoral, mencakup .gejala-gejala di

dalam dan di luar pribadi (kelompok gejala yang intrinsik dan ekstrinsik) yang

saling kait-mengait. Yang intrinsik ialah faktor-faktor herediter atau keturunan,

berupa predisposisr dan konstitusi jasmaniah dan mentalnya, Sedang faktor

ekstrinsik mencakup adanya kerusakan-kerusakan fisik dan psikis disebabkan

oleh pengaruh-pengaruh luar, atau oleh adanya interaksi pengalaman dengan

lingkungan yang traumatis sifatnya. Yang mencakup faktor intrinsik antara

lain: faktor genetis dan predisposisi hormonal, yang bisa menjuruskan orang

pada penyimpangan seksual. Misalnya, faktor genetis ini berperan penting dalam

pemunculan gejala homoseksualitas; walaupun dalam beberapa kasus juga bisa

terjadi lewat identifikasi yang sangat intensif atau lewat imitasi terhadap

kebiasaan lingkungan khusus jadi ada sensitisasi/pemekaan individu

terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan tertentu.13

Di sekitar masa perinatal. Faktor-faktor endokrin, konstitusi pembawaan,

dan beberapa basis biologis bisa menumbuhkan tingkat laku seksual yang

menyimpang. Cairan dan kelenjar endokrin pada fase-fase pertumbuhan yang

kritis; bisa ikut mempengaruhi arah dari; dorongan- dorongan seksual dan

tingkah laku dimorfik seksual (dua jenis kelamin, jenis kelamin ganda) pada

manusia. Contohnya, wanita-wanita; dengan jumlah hormon androgen adrenal

12
Sarwono “Penyimpangan Perilaku Dalam Kajian Sosiologi” diakses pada 19 Juli 2016
dari http://www.psychologymania.com/2012/04/mamfaat-kelompok-bagi-individu.html.
13
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
38

yang terlalu banyak/berlebihan diprodusir semasa semasa janin, ada dalam

rahim. Cenderung menjadi wanita tomboy: yang kelaki-lakian. 14

Selain itu, kurang pengetahuan dan pemahaman agama juga merupakan factor

internal yang mempengaruhi terjadinya crossdresing. Ini kerana penulis merasakan

didikan agama dan akhlak sangat penting dalam membentuk akal, pribadi dan pribadi

individu itu. Pengetahuan agama memainkan peran yang penting sebagai benteng

pertahanan yang paling ideal dalam mendidik diri sendiri untuk membedakan yang

mana baik dan yang mana yang sebaliknya, haram dan halal dan lain-lain.15

Selanjutnya, faktor ekstrinsik yang amat penting ialah relasi anak- orang

tua. Teori psikoanalisa menekankan, bahwa kondisi penentu pada tingkah laku

seksual yang menyimpang itu sudah diletakkan pada pengalaman-pengalaman

masa kanak-kanak yang sangat muda; misalnya kompleks Oedipal, kompleks

Astral, latar belakang familial dengan penyimpangan-penyimpangan seksual,

homoseksualitas di kalangan keluarga, dan lain-lain. Pada orang-orang homoseks

biasanya terdapat tipe ibu-ibu yang terlalu banyak melindungi anak-anaknya

(overprotekfif), mempunyai ikatan sangat intim dan mengikat sifatnya, tetapi

mempunyai kewibawaan mengontrol yang kuat dan banyak menuntut. Sedang

ayah- ayahnya pada umumnya lepas, terpisah, tidak ada atau jarang ada di

rumah bersikap acuh tak acuh bahkan sering bermusuhan terhadap anak- anak

lakinya. Juga perkawinan yang mendidik anak-anaknya secara abnormal,

14
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
15
Noor Azilawati Mohd Sabda, Siri Pemupukan Motivasi Insan, Menghindari Ancaman
Seksual, (T. t: Pinang SDN.BHD), Cet.1, h. 16
39

biasanya membutuhkan remaja-remaja dan adolesens dengan penyimpangan

seksual. 16

Hal ini sejalan dengan faktor life style risk atau yang berkaitan dengan

gaya hidup antara lain peranan orang tua dalam membentuk indetitas dender

pada masa pertumbuhuhan dan perkembangan anak. Hasil penelitian Prancis

(2006) mengukapkan pemenuhan peran orang tua yang paling dinilai positif

adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak. Walaupun

mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena

dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Peran ibu

yang dinilai positif oleh anak antara lain ibu yang menerima keadaan apa adanya

atau ibu yang menjadi pembela anak. Ayah lebih cenderung ditakuti dalam

memenuhi perannya karena ayah lebih banyak melakukan control dengan

hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau

bahkan melawan ayah. Akibat anak lebih dekat dengan ibunya dan lebih banyak

mencontoh lebih sikap yang ditampilkan oleh ibu.17

Maka gangguan dalam relasi anak-orang tua, yang sifatnya tidak

harmonis, kontroversi, kejam, penuh kemunafikan, tidak adanya relasi yang

baik antara ayah dengan anak laki-laki, konstalasi keluarga patologis,

semuanya menjadi fasilitas atau predisiposisi untuk, perkembangan

penyimpangan-penyimpangan seksual. Sebaliknya, teori-teori belajar sosial justru

menekankan masalah: pengalaman-pengalaman belajar sosial pada awal

16
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 229.
17
Mia Fatma Ekasari, “Studi Fenomenologi: Pengalaman Waria Remaja Dalam
Menjalani Masa Puber di Wilayah DKi Jakarta”, (Tesis S2 Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia, 2011), h. 19-20.
40

kehidupan. anak-anak. Perkembangan identitas gender (mengidentikkan diri pada

jenis kelamin), dan identitas terhadap tingkah laku yang berkaitan dengan seks,

secara primer berlangsung atas dasar penguatan sosial/social reinforcement dan

pola pengkondisian. Jadi pola tingkah laku menyimpang ini dipelajari oleh anak,

atau buah dari proses belajar. Kegiatan imitasi dan identifikasi terhadap tingkah

laku orang tua dan orang dewasa membuahkan proses sosialisasi diri dalam

perkembangan psikoseksual, baik yang bersifat normal maupun yang

menyimpang. Dalam hal ini ada perkembangan kognitif dan afektif di mana

anak secara bertahap mengembangkan konsep-konsep maskulinitas/kejaluan dan

feminitas/kebetinaan dari perilaku yang dilihat dan segala sesuatu yang didengar.

Terjadilah kemudian pilihan peranan seks; yaitu penentuan-diri secara seksual,

baik yang bersifat sehat maupun yang bersifat menyimpang atau abnormal. 18

Perilaku peranan seks yang a-typis atau menyimpang pada masa kanak-

kanak itu bisa tegar dan terus berlangsung sebagai perilaku peranan-seks

yang a typis atau abnormal pula pada masa kedewasaan (ada perkembangan

psikoseksual yang abnormal). Oleh karena itu interaksi- interaksi tingkah laku

yang buruk antara anak dengan orang tua dan dengan lingkungan sekitar itu

jelas memainkan peranan penting sekali dalam membentuk perkembangan

psikoseksual pribadi. Teori belajar sosial lainnya tidak menekankan pengalaman,

pada usia kanak-kanak yang sangat muda, akan tetapi menggaris bawahi

pengalaman-pengalaman seksual yang pertama kali, hingga anak

mencapai orgasme-biasanya pada masa pubertas dan adolesensi yang menjadi

18
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
41

faktor kritis untuk menetapkan orientasi seksual seseorang Proses belajar

yang berlangsung sesudah pengalaman pertama/initial tadi akan berperanan besar

sekali dalam pengembangan fantasi-fantasi seks yang menyimpang, sehingga

menjadi kebiasaan masturbasi, atau pembentukan perilaku, seksual yang

abnormal lainnya. Ternyata bahwa fantasi-fantasi itu merupakan nilai

perangsang yang kuat sekali bagi penentuan perilaku seksual seseorang.19

Maka sebab-sebab penyimpangan seksual dengan menganut teori

komprehensi, dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Sebab genetis atau faktor-faktor konstitusional yang herediter atau

predisposisional.

2. Pengalaman-pengalaman anak pada usia kanak-kanak yang sangat

muda (tahun-tahun awal perkembangannya).

3. Proses belajar secara umum selama masa kanak-kanak.

4. Kejadian-kejadian yang berasosiasi dengan awal tingkah laku seksual

pada usia pubertas dan adolesensi. 20

Crossdresser atau disebut juga Transvestik Fetisisme bukan tidak lazim

bagi laki laki yang memiliki kecenderungan kuat untuk senang mengenakan

pakaian perempuan yang mengkompensasikannya dengan bergabung dengan

organisasi organisasi macho. Sebagian pasien cross dressing pernah bergabung

dengan organisasi organisasi paramiliter. Sekalipun demikian kebanyakan

19
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
20
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, h. 231.
42

penderita gangguan ini tampaknya tidak memperlihatkan perilaku kompensatoris

semacam ini.21

Menariknya, para istri dan banyak laki laki yang melakukan cross dressing

dapat menerima perilaku suaminya dan bahkan bersikap mendukung bila hal itu

dilakukan secara pribadi diantara mereka. Docter dan Prince (1997) melaporkan

bahwa 60% dari lebih dari 1.000 kasus transvestik fetisisme pada saat di survei

adalah laki laki menikah.22

C. Hukum Crossdresser

Menurut Imam al-Nawawi, Crossdresser ada dua macam, pertama: orang

yang memang pada dasarnya tercipta seperti itu. Dia tidak mengada-ada atau

berlagak dengan bertingkah laku meniru perempuan dalam gayanya, cara

bicaranya, atau gerak-geriknya. Semuanya alami. Allah memang menciptakannya

dalam bentuk seperti itu. Yang demikian, dia tidak tercela, tidak boleh disalahkan,

tidak berdosa, dan tidak dihukum. Crossdresser jenis ini dimaafkan, karena dia

tidak membuat-buat menjadi seperti itu. Crossdresser jenis ini disebut sebagai

crossdresser asli. Kedua: crossdresser yang pada dasarnya tidak tercipta sebagai

seorang crossdresser. Tetapi, dia membuat-buat dan bertingkah laku layaknya

perempuan dalam gerakannya, dandanannya, cara bicara, dan gaya berpakaian.

Inilah crossdresser yang tercela. Crossdresser jenis inilah yang disebut sebagai

crossdresser buatan.23

21
Saddock BJ dan Saddock VA, Buku Ajar Psikiatri Klinis, (Jakarta: EGC, 2010), h. 315.
22
Puri BK dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri, (Jakarta: EGC, 2011), h. 337.
43

Dari Ibn ‘Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata:

:‫ﻟﻌﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ اﻟﻤﺨﻨﺜﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﺟﺎل واﻟﻤﺘﺮﺟﻼت ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء وﻗﺎل‬
‫)رواه‬.‫ ﻗﺎل ﻓﺄﺧﺮج اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻓﻼﻧﺎ وأﺧﺮج ﻋﻤﺮ ﻓﻼﻧﺎ‬. ‫أﺧﺮﺟﻮھﻢ ﻣﻦ ﺑﯿﻮﺗﻜﻢ‬
(‫اﻟﺒﺨﺎرى‬

Artinya: “Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat laki-laki yang


menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki, Nabi juga bersabda:
Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian. Ibn ‘Abbas berkata: Maka Nabi
Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam mengeluarkan si fulan dan Umar mengeluarkan
si fulan.” (HR. al-Bukhari)24

Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari: “Hal ini (laknat) khusus bagi orang-

orang yang melakukannya dengan sengaja. Adapun orang-orang yang memang

diciptakan dalam kondisi tersebut, maka mereka diperintahkan untuk berusaha

keras untuk meninggalkannya (menyerupai wanita atau sebaliknya) dan

membiasakan diri (untuk meninggalkan penyerupaan terhadap wanita atau

sebaliknya) secara bertahap. Jika dia tidak mau berusaha untuk meninggalkannya

dan malah terus menerus dalam kondisinya tersebut, maka celaan hadits ini juga

berlaku baginya. Karena terus menerus dalam kondisinya (menyerupai wanita

atau sebaliknya) merupakan tanda bahwa dia ridha terhadap hal tersebut. 25

Adapun pendapat yang memutlakkan bahwa orang-orang yang memang

diciptakan menyerupai wanita (atau sebaliknya) tidak mendapat celaan, seperti

pendapat al-Nawawi, maka hal ini dibawa kepada makna jika orang tersebut tidak

sanggup untuk menghilangkan sifat-sifat kewanitaannya dan cara jalan dan

23
Imam al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Arabi,
1987), h. 317.
24
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1379 H), h. 332.
25
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, h. 332.
44

berbicara yang seperti wanita setelah dia mengusahakan pengobatan untuk

menghilangkannya. Maka kapan saja memungkinkan baginya untuk

menghilangkannya namun dia tidak berusaha melakukannya, maka dia berhak

atas laknat sebagaimana dimaksud dalam hadits.” 26

26
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, h. 332.
BAB IV

ANALISIS IMPLIKASI CROSSDRESSER TERHADAP PERNIKAHAN

A. Analisis Hukum Pernikahan Crossdresser

Di satu sisi pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi

lain adalah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Maka pada

saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki

keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan

memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.

Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya

juga harus dipenuhi.

Agama Islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk

memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan

merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan

makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa

pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang

(litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai

sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan

perdamaian hidup bagi manusia di mana setiap manusia dapat membangun surga

dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-

benar dijalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan Islam.

43
44

Menikah bukan hanya merupakan hak, melainkan juga merupakan sebuah

kodrat setiap manusia. Mereka pasti mempunyai naluri untuk memiliki pasangan

hidup. Akan tetapi ada beberapa keadaan yang dialami oleh sebagian manusia dimana

mereka mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan seharusnya. Contohnya seperti

apa yang terjadi pada kaum transgender, transeksual dan crossdresser. Mayoritas

masyarakat masih belum mengetahui perbedaan di antara ketiga bentuk

penyimpangan tersebut, dan masih menganggap bahwa ketiga jenis penyimpangan ini

adalah sama, dan masyarakat hanya mengenal mereka dengan sebutan banci. Padahal

dalam kenyataannya ketiga jenis penyimpangan ini berbeda.

Pakar seksual Zoya Amirin mengatakan bahwa apa yang disebut oleh

masyarakat dengan banci, waria dan semacamnya, secara psikologis adalah

transgender. Sedangkan transeksual merupakan bagian dari kategori transgender yang

sudah melakukan operasi kelamin. Transgender adalah individu yang memiliki

gangguan psikologis karena merasa terjebak di tubuh yang salah. Transgender yang

melakukan operasi kelamin disebut transeksual. Dan sedangkan crossdresser adalah

penyimpangan perilaku seksual dimana individu hanya bisa terangsang dan orgasme

jika menggunakan pakaian lawan jenisnya. Crossdresser adalah pria yang secara

normal menyukai wanita, tetapi ia menikmati menggunakan pakaian wanita dan

tampil seperti seseorang perempuan pada saat-saat tertentu saja.1

1
Didi Purwadi, 2015, Ini Perbedaan Transgender, Transeksual dan Crossdresser, (Jakarta:
Republika), 07 Maret 2015.
45

Seorang transgender merasa dirinya adalah seorang perempuan yang terjebak

di dalam tubuh laki-laki, dan karena ia merasa dirinya adalah perempuan

menyebabkan mereka menyukai laki-laki dan cenderung tidak tertarik pada

perempuan, akan tetapi ada juga seorang transgender yang menyukai laki-laki dan

perempuan atau biseksual. Sedangkan transeksual yang telah merubah alat

kelaminnya dan merasa dirinya telah menjadi seks dan gender dari lawan jenisnya,

tentunya menyebabkan mereka cenderung menyukai sesama jenisnya. Berbeda

dengan crossdresser, karena crossdresser hanya gemar menggunakan pakaian

perempuan, dengan kata lain seorang crossdresser tetap mempunyai seks yang prima.

Dan sebagian besar kaum crossdresser melakukan pernikahan. Sebagaimana

penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 melaporkan bahwa 60% dari lebih dari

1.000 kasus transvestik fetisisme pada saat di survei adalah laki laki menikah.2

Pembahasan ini akan difokuskan pada pernikahan yang dilakukan oleh

seorang crossdresser, untuk mengetahui hukum pernikahan crossdresser, tentunya

kita harus melihat rukun dan syarat pernikahan yang dikemukakan oleh para ulama.

Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu: wali dari

pihak perempuan, mahar (maskawin), calon pengantin laki-laki dan sighat akad

nikah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rukun nikah itu ada lima macam yaitu: calon

pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat

2
Puri BK dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri,h..337.
46

akad nikah. Menurut imam Hanafi rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja, yaitu

akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.3

Sedangkan syarat pernikahan secara garis besar ada dua. Pertama: calon

mempelai perempuannya halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.

Kedua: akad nikahnya dihadiri para saksi. Adapun secara rinci masing-masing rukun

di atas adalah sebagai berikut:

1. Syarat-syarat Kedua Mempelai.

a. Syarat-syarat calon pengantin pria.

Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon

suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:

1. Calon suami beragama Islam.

2. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki dan bukan banci.

3. Orangnya diketahui dan tertentu.

4. Calon laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul

calon istrinya halal baginya.

6. Calon suami rela (tidak dipaksa untuk melakukan pernikahan itu.

7. Tidak sedang melakukan ihram.

8. Tidak mempunyai istri yang haram untuk dimadu dengan calon istrinya.

9. Tidak sedang mempunyai istri empat.4

3
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2003), h. 48.
47

b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan.

1. Beragama Islam atau ahli kitab (masih terdapat perbedaan pendapat

dalam hal ini).

2. Terang (jelas) bahwa ia wanita bukan mukhannats (banci).

3. Wanita itu tentu orangnya.

4. Halal bagi calon suami.

5. Wanita itu tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa ‘iddah.

6. Tidak dipaksa.

7. Tidak dalam keadaan ihram.5

2. Syarat-syarat Ijab Kabul.

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang

dinamakan akad nikah (ikatanatau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah

perkawinannya dengan isyarat yang bisa dipahami.6

3. Syarat-syarat Wali.

Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik). 7

4. Syarat-syarat Saksi.

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,

berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.8

4
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 38-39.
5
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 41.
6
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 75.
7
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 77.
48

Untuk menganalisis hukum pernikahan crossdresser dapat dicermati rukun

dan syarat yang telah dipaparkan di atas, terutama pada syarat mempelai laki-laki dan

mempelai perempuan haruslah merupakan orang yang benar-benar laki-laki atau

benar-benar perempuan dan bukan merupakan seorang banci. Fenomena crossdresser

memang merupakan gejala awal dari transgender atau transeksual, akan tetapi apakah

benar crossdresser itu juga dapat dikatakan banci?

Crossdresser berbeda dengan transgender dan transeksual, karna seorang

crossdresser tidak memiliki gangguan identitas gender sebagaimana transgender dan

transeksual. Tujuan utama seorang crossdresser melakukan pakaian lawan jenisnya

adalah untuk mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan dalam kasus gangguan

identitas gender tujuan utamanya adalah untuk menjalani kehidupan dengan terbuka

sebagaimana jenis kelamin yang diyakininya. Laki-laki dengan identitas gender

feminin tertarik secara seksual menjadi perempuan, yang secara teknis membuat
9
rangsangan seksualnya bersifat humoseksual, begitupun sebaliknya. Sedangkan

crossdresser tetap memiliki identitas gender yang normal dan tidak dapat disebut

sebagai seorang banci.

Menurut analisis penulis pernikahan yang dilakukan oleh kaum crossdresser

telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para ulama, karena pada

dasarnya kaum crossdresser adalah laki-laki yang betul laki-laki atau bukan

merupakan seorang banci. Karena crossdresser hanya gemar menggunakan pakaian

8
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, h. 83.
9
Colemen, Bockting dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, (Jakarta:, Tp, 1993), h. 30.
49

lawan jenisnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan tidak memakainya secara

rutin. Diluar itu mereka cenderung berprilaku dan memiliki minat seksual maskulin.

Pendapat penulis ini juga diperkuat dengan pendapat Ulama Kontemporer Prof.

Huzaemah Tahido Yanggo yang mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh

seorang crossdresser adalah sah selama memenuhi rukun dan syarat nikah, lagi pula

mereka bukanlah pasangan sesama jenis, maka hukum pernikahannya adalah sah dan

diperbolehkan.10

B. Analisis Hukum Hubungan Seksual yang Dilakukan Oleh Kaum Crossdresser

Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang terdapat pada manusia,

laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal yang alami dan Sunatullah jika laki-laki

dan perempuan satu sama lain saling membutuhkan dan saling memenuhi kebutuhan

ini. Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan yang diberikan Allah kepada laki-laki

maupun perempuan untuk disalurkan dengan cara yang sesuai dengan petunjukNya.11

Kebutuhan biologis merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua

makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia saja. Berbeda dengan binatang,

kebutuhan biologis manusia diatur oleh hukum dan norma-norma yang

menjadikannya terhormat yakni melalui pernikahan. Di dalam sebuah ikatan

perkawinan, penyaluran biologis tidak hanya dipandang sebagai hak dan kewajiban

semata antara suami dan istri, melainkan juga bernilai ibadah di sisi Allah SWT,

10
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, Jakarta 9 Juni 2016.
11
Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya: 1994), h. 139.
50

perbuatan ini dinilai ibadah jika pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan aturan

dan anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Karena salah satu fungsi keluarga

adalah untuk membangun keturunan dengan cara yang legal dan bertanggung jawab

secara sosial maupun moral.

Sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman (peradaban), banyak

umat Islam yang “lupa” akan anjuran Nabi Muhammad saw. Ketika mereka

melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Banyak dari umat Islam

menganggap bahwa aktivitas ini hanyalah sebuah bentuk “rutinitas” saja, tanpa

bernilai ibadah. Sehingga mereka melakukannya dengan sesuka hati mereka. Padahal

Nabi Muhammad saw. telah menegaskan bahwa hubungan seksual antara suami istri

akan mendapat pahala yang sangat besar di sisi Allah swt. ketika dilakukan sesuai

aturan. Dan al-qur’an telah menegaskan tentang prinsip dalam berhubungan antara

suami istri, yakni dalam surat al-Nisa’ ayat 19.

 
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut (al-Nisa: 19).

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, seorang

crossdresser mempunyai gangguan dan penyimpangan seksual dimana individu,

biasanya laki laki, terangsang secara seksual atau mengalami kepuasan dengan

mengenakan pakaian yang biasa dikenakan lawan jenisnya. Kegemaran inipun

dilakukan oleh para crossdresser ketika sedang berhubungan seksual dengan

pasangannya, karena seorang crossdresser baru akan dapat mencapai orgasme ketika
51

telah melakukan hal tersebut. Rianto seorang crossdresser menyatakan bahwa

isterinya mengetahui tentang kelainan yang ia derita, isterinya menerimanya dan siap

berhubungan seksual sesuai dengan kehendak Rianto, akan tetapi hal ini tak

berlangsung lama, karena isterinyapun semakin lama merasa tak tahan dengan

kelainan yang diderita oleh Rianto.12 Begitu pula dengan Diandra Safira, isterinya

mengetahui tentang kelainan yang ia derita setelah menikah, isterinya tidak pernah

menyukai cara diandra berhubungan seksual sehingga hal ini selalu menjadi biang

keributan di antara ia dan isterinya.13

Yang masih menjadi perdebatan dalam masalah hubungan seksual yaitu,

apakah hubungan seksual itu hanya merupakan kewajiban isteri dan hak suami

ataukah kewajiban dan hak keduanya?. Dalam hal ini terdapat kesalah fahaman para

ulama tentang hak laki-laki dan perempuan. Kekeliruan tentang ini tampaknya

disebabkan karena terburu-buru menyimpulkan suatu Hadis. Salah satu contoh hal ini

adalah tentang Hadis Nabi, “Sesungguhnya seorang perempuan (isteri) belum

melaksanakan hak Allah sehingga ia melaksanakan hak suaminya (kewajiban isteri

kepada suami) seluruhnya. Seandainya suami minta dilayani olehnya di atas

kendaraan maka isteri tidak boleh menolaknya”.14 Mazhab Hanafî berpendapat

bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki dan bukan hak

perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh memaksa isterinya untuk melayani


12
Hasil wawancara dengan Rianto pengidap Crossdresser, Jakarta 13 Januari 2016.
13
Hasil wawancara dengan Diandra pengidap crossdresser, Jakarta 29 Maret 2016.
14
Imam Nawawi, Uqud al-Lujayn fi Bayan Huquq al-Zawajyn, (Semarang: Usaha Keluarga,
T.t), h. 11.
52

keinginan seksualnya jika isteri menolaknya.15 Lebih lanjut Mazhab Hanafî

memberikan penjelasan bahwa bila seorang laki-laki mempunyai seorang isteri dan

dia sibuk dengan urusan ibadah atau yang lainnya sehingga tidak sempat untuk

bermalam di rumah bersama isteri, oleh hakim ia hanya bisa dituntut untuk menginap

di rumahnya dalam waktu tertentu. Akan tetapi bermalamnya laki-laki tersebut tidak

harus dengan terjadi hubungan seksual antara dia dan isterinya karena hubungan

seksual adalah hak suami bukan hak isteri. Karena itu maka isteri tidak berhak

menuntutnya dari sang suami.16

Pemilikan hak mutlak seksual suami atas isteri juga berimplikasi bahwa selain

untuk urusan yang wajib atau ada halangan secara shar’î, suami berhak meminta

pelayanan seksual dari sang isteri kapan pun dan dimana pun.17 Hal ini berlaku baik

siang atau malam, meskipun teks yang ada dalam Hadis adalah pada malam hari,

akan tetapi memberikan pemahaman bahwa isteri senantiasa harus siap melayani

suami terlepas apakah dia siap secara fisik maupun psikis atau tidak siap.

Ketika hubungan seksual menjadi hak suami maka secara otomatis akan

menjadi kewajiban bagi isteri. Isteri berkewajiban untuk melayani suami ketika suami

meminta untuk berhubungan badan. Banyak Hadis yang dihubungkan dengan Nabi

Saw. menuntut agar seorang isteri tidak pernah menolak berhubungan seksual dengan

15
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), h.
4.
16
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, h. 115.
17
Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu Muhammad, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn
Hanbal, (T.tp, T.p, T.t), h. 81.
53

suami mereka, seperti Hadis, “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke kasur

lalu ia (sang isteri) menolak maka malaikat melaknatnya sampai subuh”.18 Atau,

“Demi Dia yang dalam tangan-Nya ada hidupku, bila seorang laki-laki memanggil

isterinya ke tempat tidur dan ia tidak menanggapi maka ia yang ada di surga tidak

disenangkan olehnya sampai ia (suaminya) disenangkan olehnya”.19

Ada beberapa ayat dan Hadis yang sering dijadikan dalil untuk melegitimasi

kesewenang-wenangan laki-laki dalam menuntut hak seksualnya. Di antaranya seperti

dalam QS. al-Baqarah ayat 223:

             

     


Artinya: isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman. (Q.S al-Baqarah: 223)

Ayat tersebut sering dijadikan sebagai dasar untuk melegitimasi otoritas

seksual laki-laki, padahal motif seperti itu telah melenceng jauh dari konteks dan

asbâb al-nuzûl20 ayat tersebut. Juga banyak dijumpai Hadis yang beredar di

18
Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ibnu Hanbal, (al-Qahirah: Muasasah Qurtubah, T.t),
h. 480.
19
Imam Muslim, Shahih Muslim, (), juz 2, h. 1059.
20
Asbâb al-Nuzûl ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî,
Muslim, Abû Dâwûd, dan al-Tirmidhî yang bersumber dari Jâbir, bahwa orang-orang Yahudi
beranggapan apabila menggauli isteri dari belakang ke farjinya maka anaknya akan lahir bermata
juling. Lalu turunlah ayat tersebut. Dalam versi lain dari Imâm Ahmad dan al-Tirmidzi dari Ibn ‘Abbâs
54

masyarakat tanpa dikritisi validitas dan keshahihannya, baik dari segi sanad maupun

matan. Misalnya Hadis dari Abû Hurayrah yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim

yang artinya, “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke kasur lalu ia (sang isteri)

menolak maka malaikat melaknatnya sampai subuh” sebagaimana telah disebutkan di

atas. Jadi, seringkali perempuan dipaksa untuk melayani keinginan laki-laki atas

nama agama. Dalam Islam, Alquran melukiskan hubungan seksual sebagai salah satu

kesenangan dan kenikmatan dari Tuhan. Kenikmatan dan dorongan seksual bukan

hanya hak laki-laki tetapi juga hak bagi perempuan, sebagai mana Allah Swt.

berfirman, “Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi

mereka”.

Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur alat reproduksinya, akan

tetapi secara psikologis Allah memberikan perasaan yang sama dalam hal kebutuhan

reproduksi ini. Oleh karena itu suami dan isteri tidak boleh bersifat egois mengikuti

kemauan sendiri dan mengabaikan kebutuhan pasangannya. Sebab perkawinan

memiliki tujuan yang agung dan merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling

menghormati. al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 menegaskan:

               

           

diriwayatkan bahwa ‘Umar datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, ”Ya Rasulullah,
celakalah saya!.” Nabi bertanya, ”Apa yang menyebabkan kamu celaka?”. Ia menjawab, ”Aku
pindahkan sukdufku tadi malam (berjimak dengan isteriku dari belakang)”. Nabi SAW terdiam, dan
turunlah Q.s. al-Baqarah (2): 223. Kemudian beliau bersabda, ”Berbuatlah dari depan maupun dari
belakang, tetapi hindarkanlah dubur (anus) dan yang sedang haid.”
55

              

              

             

 
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(al-Baqarah:
187).
Suami isteri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat,

melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara dan untuk menghias

diri. Dalam konteks suami isteri memiliki hak untuk melakukan hubungan seksual

pasangannya secara ma’ruf dalam arti setara, adil dan demokratis. Aktifitas seksual

suami isteri diharapkan dapat menimbulkan perasaan yang indah, mengokohkan rasa

kasih sayang dan juga melahirkan rasa syukur kepada Dzat yang memberi keindahan

dan kasih sayang pada manusia.

Ibrahim Hosen dalam buku Filsafat Hukum Islam menjelaskan bahwa

perumpamaan perempuan sebagai ladang/sawah menunjukkan betapa agung dan

mulia kedudukan perempuan karena diserupakan dengan sawah/ladang yang

produktif selaku unsur kemakmuran bagi manusia. Penciptaan manusia kini memang
56

tidak sama dengan penciptaan Adam As. Allah menciptakan manusia melalui

pernikahan dan reproduksi manusia melalui rahim perempuan yang diumpamakan

Allah dengan ladang/sawah. Dengan demikian QS. al-Baqarah [2]: 223 pada

hakekatnya mengutarakan pentingnya kedudukan perempuan dalam memakmurkan

dunia sesuai dengan tujuan penciptaannya.21 Pendapat Ibrahim Hosen lebih sesuai

dengan tujuan syariat Islam, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan

Allah SWT. al-Quran mengecam budaya Arab sebelum datangnya Islam yang tidak

menghargai perempuan dan mengabaikan hak-hak pribadinya, terutama dalam relasi

seksual suami isteri. Ketimpangan relasi seksual dalam keluarga akan berdampak

pada hal-hal yang sangat merugikan perempuan.

Adanya hak dan kewajiban yang sama antara suami dan isteri dalam rumah

tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Quran, seperti dalam surat al-Baqarah

ayat 228 yang berbunyi:

            

Artinya: Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-


kewajibannya secara ma’ruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri”. (QS. al-
Baqarah: 228).

Ayat ini menjelaskan bahwa arti hak dan kedudukan isteri semisal atau setara

atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami

21
Ibrahim Hosen, Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan
Institut Ilmu Alquran, 1997), h. 119-121.
57

mempunyai setingkat kedudukan yang lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga.

Ayat di atas mempertegas argument yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban

suami isteri itu seimbang termasuk hak dan kewajiban dalam berhubungan seksual.

Hubungan seksual juga harus didasarkan pada kebutuhan bersama, di mana

dalam konteks tersebut suami tidak boleh diskriminatif, sebab hubungan seksual

merupakan hak antara suami dan isteri. Imâm al-Ghazâlî mengatakan: Bahwa seorang

suami seyogyanya mencampuri isterinya setiap empat malam sekali. Yang demikian

itu adalah lebih baik/adil karena jumlah maksimal isteri adalah empat, sehingga

diperbolehkan baginya mengakhirkannya sampai batasan tersebut. Boleh juga lebih

atau kurang dari itu, sesuai dengan kebutuhannya untuk memelihara mereka juga

merupakan kewajiban baginya (suami).22 Jadi tidak benar anggapan bahwa hanya

suami yang berhak menikmati hubungan seks sementara isteri tidak memiliki hak

tersebut. Keduanya harus dapat menikmati hubungan tersebut.23

Imâm al-Ghazâlî juga menyebutkan: Kemudian jika suami merasakan air

maninya sudah hendak turun (inzâl), maka hendaklah ia menahannya dan menunggu

untuk bersama-sama menurunkannya bersama isteri karena pada inzâl mani yang

bersamaan itulah kedua suami isteri merasakan puncak kenikmatan.24 Selain itu,

hubungan seksual yang baik adalah yang dilandasi atas cinta dan kasih sayang. Cinta

22
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifat, T.t) juz II, h. 50.
23
Muhammad ibn `Umar Nawâwî al-Bantânî, `Uqûd al-Lujayn fi Bayân Huqûq al-Zawjayn,
h. 11.
24
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn, juz II, h. 50.
58

kasih adalah kekuatan yang mengikat laki-laki dan perempuan dalam membentuk

suatu rumah tangga. Kekuatan cinta kasih dapat berkurang, malah dapat menghilang,

tetapi ia pun dapat ditingkatkan dan dilestarikan.25

Dari yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

hubungan seksual bukan saja merupakan hak suami dan kewajiban isteri melainkan

hak dan kewajiban keduanya. Hubungan seksual yang dilakukan seorang suami yang

mengidap crossdresser dan isterinya cenderung suamilah yang lebih banyak

menikmati hubungan seksual tersebut, hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah

satu pihak melaksanakan kehendak seksualnya sendiri terhadap pasangannya.26 Jika

suami melakukan hubungan seksual sebagaimana yang dilakukan oleh kaum

crossdresser tentu itu melanggar hak isteri untuk mendapatkan hubungan seksual

seperti yang seharusnya. Karena hubungan seksual merupakan hak dan kewajiban

suami dan isteri, maka seharusnya keduanya dapat saling menghormati hak masing-

masing dan memberikan apa yang menjadi kewajiban masing-masing.

Rasulullah SAW bersabda:

‫ ﺧﯿﺮﻛﻢ ﻻھﻠﮫ واﻧﺎ ﺧﯿﺮﻛﻢ‬:‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬,‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬

(‫ )رواه اﻟﺘﺮﻣﯿﺬى‬.‫ﻻھﻠﻰ‬

Artinya: dari Aisyah R.A berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-


baiknya kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya

25
Ali Akbar dan Andi Hakim Nasution, dkk., Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka
Antara, 1996), h. 155.
26
Sri Suhandjati Sukri, dkk, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), h. 158.
59

(isterinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap
keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Hadits tersebut mengisyaratkan relasi seksual suami isteri merupakan pahala

jika dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf, karena masing-masing atau istri

mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi seksual ini diharapkan dapat

memelihara komunikasi lahir batin dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah. Hanya saja ditekankan bahwa semua itu harus dilakukan dengan

memperhatikan etika, tanpa merugikan satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat

pentingnya mengelola relasi seksual suami istri dalam rumah tangga, maka

diharapkan suami atau istri berpenampilan yang menyenangkan bagi pasangannya.

Mengenali selera pasangan merupakan cara yang tepat.27 Cara berhubungan yang

dilakukan oleh kaum crossdresser tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh

Rasulullah SAW, bahkan hal ini menyimpang dari ajaran agama, sebagaimana sabda

Nabi Muhammad SAW bahwa Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan

juga sebagainya. Meski crossdresser tidak seperti transgender yang gemar

menyerupai perempuan di saat apapun tetapi pada saat berhubungan ia memakai

pakaian yang tidak seharusnya ia pakai, maka saat itu ia juga telah melanggar apa

yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Maka jelas bahwa cara berhubungan seksual

yang dilakukan oleh kaum crossdresser adalah dilarang dan tidak sesuai dengan

syariat Islam.

27
Veratih Iskadi Putri, Tujuan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami
Kepada Isteri, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
60

C. Analisis Hukum Perceraian dengan Alasan Crossdresser

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pola berhubungan seksual yang

dilakukan oleh seorang crossdresser adalah tidak sesuai dengan syariat Islam dan

dapat melanggar hak isteri untuk mendapatkan hubungan seksual seperti yang

seharusnya. Hal ini bisa saja menjadi sumber pertengkaran dan ketidak harmonisan di

dalam rumah tangga, bahkan bisa menyebabkan pada perceraian. Sebagaimana yang

terjadi pada Rianto dan Diandra dari keterangan yang mereka berikan, pola

berhubungan yang tidak seperti biasanya ini sering menjadi pemicu pertengkaran

hingga akhirnya isteri-isteri mereka menggugat cerai dan rumah tangga merekapun

harus dipertaruhkan karena hal tersebut.

Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Islam pertama dalam banyak kesempatan

selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf. Pada dasarnya hukum

Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu

pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang

disebut dengan al-syiqaq sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Nisa

ayat 35 yang berbunyi:

            

          
Artinya: Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya
(suami dan isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang
hakam dari keluarga isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah
meberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengawasi. (al-Nisa: 35)
61

Sedangkan menurut hukum perdata, perceraian hanya dapat terjadi

berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan

didepan siding pengadilan. Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami

yaitu istilah bubarnya perkawinan dan perceraian.

Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan.

Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum perdata BW disebutkan perkawinan

dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami

atau isteri selama 10 tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah

mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahn meja

dan ranjang, serta pembuktian bubarnya pekawinan dalam register catatan sipil, (4)

perceraian. Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah

perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini

ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) zina baik

yang dilakukan oleh suami atau isteri, (2) meninggalkan tempat tinggal bersama

dengan sengaja, (3) suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih

dijatuhkan setelah perkawinan dilaksankan, (4) salah satu pihak melakukan

penganiayaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/isteri).28

Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak

meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.

28
KItab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119 dan 209.
62

Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian

harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.
29
Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal

19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan

yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

- Salah satu pihak perbuat zina atau pemabuk, pemadat lain sebagainya

yang sukar disembuhkan.

- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal lain diluar kemaunya.

- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

- Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.30

Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116

kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu : (a) suami melanggar

29
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 dan 39.
30
Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19.
63

taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidak rukunan dalam rumah tangga.31

Kaitannya dengan keadaan rumah tangga seorang crossdresser, jika dalam

berumah tangga itu salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan

baik hingga tujuan dari perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah warahmah tidak tercapai. Kehidupan rumah tangga yang semula

bahagia tetapi karna pola berhubungan seksual suami yang tidak seperti biasanya

menyebabkan isteri merasa tidak mendapatkan haknya untuk menikmati hubungan

seksual seperti seharusnya dan hal ini menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah

tangga hingga dapat berakhir dengan perceraian.

Dalam undang-undang perkawinan, untuk melakukan perceraian harus ada

cukup alasan, bahwa suami isteri tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.

crossdresser dapat dijadikan sebagai alasan yang cukup untuk mengajukan perceraian

jika hal tersebut dapat menyebabkan percekcokan dan ketidak harmonisan di dalam

kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Hal ini juga sesuai dengan pasal 19

Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116 KHI yang mana disebutkan

bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian salah satunya

adalah antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Oleh karena itu

31
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
64

perkawinan dapat putus karena alasan percekcokan atas dasar suami seorang

crossdresser yang dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga.


BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil uraian sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Mengenai keabsahan pernikahan yang dilakukan kaum crossdresser dapat dilihat

dari salah satu syarat pernikahan yang terlihat dapat menghalangi keabsahan

pernikahan seorang crossdresser yaitu terang atau jelas bahwa calon mempelai

laki-laki atau mempelai perempuan bukan seorang banci. Crossdresser berbeda

dengan transgender dan transeksual, karna seorang crossdresser tidak memiliki

gangguan identitas gender sebagaimana transgender dan transeksual. Tujuan

utama seorang crossdresser melakukan pakaian lawan jenisnya adalah untuk

mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan dalam kasus gangguan identitas

gender tujuan utamanya adalah untuk menjalani kehidupan dengan terbuka

sebagaimana jenis kelamin yang diyakininya. pernikahan yang dilakukan oleh

kaum crossdresser telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para

ulama, karena pada dasarnya kaum crossdresser adalah laki-laki yang betul laki-

laki atau bukan merupakan seorang banci. Karena crossdresser hanya gemar

menggunakan pakaian lawan jenisnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan

tidak memakainya secara rutin. Diluar itu mereka cenderung berprilaku dan

memiliki minat seksual maskulin.

65
66

2. Hubungan seksual yang dilakukan seorang suami yang mengidap crossdresser

dan isterinya cenderung suamilah yang lebih banyak menikmati hubungan seksual

tersebut, hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu pihak melaksanakan

kehendak seksualnya sendiri terhadap pasangannya. Cara berhubungan yang

dilakukan oleh kaum crossdresser tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh

Rasulullah SAW, bahkan hal ini menyimpang dari ajaran agama.

3. Crossdresser dapat dijadikan sebagai alasan yang cukup untuk mengajukan

perceraian jika hal tersebut dapat menyebabkan percekcokan dan ketidak

harmonisan di dalam kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Hal ini juga

sesuai dengan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116

KHI yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk

melaksanakan perceraian salah satunya adalah antara suami isteri terus menerus

terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga. Oleh karena itu perkawinan dapat putus karena alasan

percekcokan atas dasar suami seorang crossdresser yang dapat menimbulkan

ketidak harmonisan dalam rumah tangga.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memaparkan beberapa saran

yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak di antaranya sebagai berikut:

1. Masyarakat
67

Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa crossdresser merupakan

seorang banci, padahal crossdresser berbeda dengan seorang transgender dan

transeksual. Apa yang mereka lakukan hanyalah suatu penyimpangan seksual dimana

crossdresser melakukan aktivitas seksual yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang

pada umumnya. Sebaiknya masyarakat jangan terlalu mudah menghukumi seseorang

sebagai seorang banci dan sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apakah ia benar

banci atau bukan.

2. Kaum Crossdresser

Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan sebagai seorang crossdresser, apa

yang dilakukannya hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaannya dan

mendapatkan kenikmatan batin. Bagi seorang crossdresser asli, apa yang dialaminya

memang merupakan ketentuan Allah sang pencipta. Akan tetapi ia tidak boleh pasrah

dengan keadaan tersebut, ia harus berusaha untuk berubah dengan melawan keinginan

jiwanya ketika berkeinginan menggunakan pakaian perempuan. Bagi seorang

crossdresser buatan hendaknya ia bertaubat dan meninggalkan aktifitas

menyimpangnya serta lebih memilih dan memilah dalam bergaul agar tidak

terjerumus kedalam perbuatan yang tercela. Oleh karena itu bagi kaum crossdresser

hendaklah berusaha untuk merubah diri menjadi manusia yang normal dengan

berusaha meninggalkan kebiasaan buruk tersebut dan mengobatinya dengan

berkonsultasi kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut agar dapat membantunya

berubah dan dapat hidup seperti manusia pada umunya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Muhammad Amin, bin Umar. Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al- Mukhtar.
juz IV. Beirut: Dar al-Kutub, 2000.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

Akbar, Ali dan Andi Hakim Nasution, dkk. Membina Keluarga Bahagia. Jakarta:
Pustaka Antara, 1996.

Asqalani, al, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari. Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1379 H.

Bakry, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah).
Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

BK, Puri dan Laking PJ, Buku Ajaran Psikiatri. Jakarta: EGC, 2011.

Bockting, Colemen dan Gooren, Intisari Psikologi Abnormal, Jakarta:, Tp, 1993.

Bukhari, M. Islam dan Adab Seksual. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Darajat, Zakiah. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Dimyati, al, Muhammad Syata’. I’anat al-Talibin. T.tp: Dar Ilhya al-Kutub al-
‘Arabiyyah, T.t.

Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2003.

Ekasari, Mia Fatma. “Studi Fenomenologi: Pengalaman Waria Remaja Dalam


Menjalani Masa Puber di Wilayah DKi Jakarta” .Tesis S2 Fakultas Ilmu
Keperawatan: Universitas Indonesia, 2011.

Forum Kajian Kitab Kuning. Wajah Baru Relasi Suami-Istri Telah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain. Yogyakarta: LKiS, FK3, 2001.

Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Grup, 2003.

Ghazali, al, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn. Beirut:
Dâr al-Ma’rifat, T.t.

68
69

Hanbal, Ahmad Ibnu. Musnad al-Imam Ibnu Hanbal. al-Qahirah: Muasasah


Qurtubah, T.t.

Hasyim, Syafiq. hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuaman


dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. Jakrta: Tintamas, 1961.

Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk
Jakatra: Ihya Ulumuddin, 1971.

Hosen, Ibrahim. Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
Yayasan Institut Ilmu Alquran, 1997.

Husaini, al, Taqiy ad-Din bin Muhammad. Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-
Ikhtishar. Beirut: al-Makhtabah al-Asriyah, 1988.

Jaziri, al, Abd Rahman. al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.

Juliana, Epni. Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (studi putusan perkara


Nomor 1564/pdt.G/2008/PAJT), Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar


Maju, 1989.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kompilasi Hukum Islam.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.


Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2001.

Maramis, Willy F dan Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: AUP, 2009.

Moelang, J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997.

Mohd, Sabda Noor Azilawati. Siri Pemupukan Motivasi Insan. Menghindari


Ancaman Seksual. Pinang: SDN BHD, T.t.
70

Muhammad, Abd Allah ibn Qudamah al-Maqdisi Abu. al-Kafi fi Fiqh al-Imam
Ahmad ibn Hanbal. T.tp, T.p, T.t.

Nawawi, al, Imam. Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi. Beirut: Dâr al-Kitab al-Arabi,
1987.

Nawawi, al, Mahyuddin. Majmu’ Syarah Muhazzab. Jilid VII. Jeddah: Maktabah al-
Irsyad, T.t.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media, 2004.

Prince, V dan R.F. Transvestism A Survey of Crossdresser. Archives of Sexual


Behavior, 1997.

Purwadi, Didi. 2015, Ini Perbedaan Transgender, Transeksual dan Crossdresser,


(Jakarta: Republika), 07 Maret 2015.

Putri, Veratih Iskadi. Tujuan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual
Suami Kepada Isteri. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Qudamah, al, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. al-Mughni. Cairo: Hijr, 1992.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undangan No, 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1996.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia.


Bandung: Alumni, 1982.

Rusadi M. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, 2013.

Saddock, BJ dan Saddock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC, 2010.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.


71

Sukri, Sri Suhandjati dkk. Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama
Media, 2002.

Taqiyuddin, Imam. kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar. Bandung: Al-


Ma’arif, T.t.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 dan 39. Peraturan


pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19.

Wajidi, Farid dan Cici Farkha Assegaf. Hak-Hak Perempuan dalam Islam.
Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994.

Wasito, Herman. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama, 1992.

Zahra, Muhammad Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi,


1957.

Zhuaili, Wahbah. al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Zuhaily, al, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Damsyiq; Dar al-Fikr, 1989.

Website:

Azi, Showing Category Crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari
http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/definisi-singkat-crossdresser

Azi, crossdresser, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari


http://bdsmindonesia.yolasite.com/bdsm/crossdresser

Dara, Noka, Apakah Pria Crossdresser Itu Gay?, diakses pada tanggal 19 Agustus
2015 dari http://m.vemale.com/topic/penyakit-wanita/43111-pria
crossdresser-itu-gay.html

Hening, Macam-macam Fetishism, diakses pada tanggal 19 Agustus 2015 dari


http://m.vemale.com/topik/penyakit-wanita/37247-macam-macam
nfetishism.html

Pikirdong, Paraphilia, diakses pada tanggal 08-03-2016 pukul 13:01, diakses dari
http://pikirdong.org/paraphilia/
72

Sarwono. “Penyimpangan Perilaku Dalam Kajian Sosiologi”. Diakses pada 19 Juli


2016 dari http://www.psychologymania.com/2012/04/mamfaat-kelompok-
bagi-individu.html.

Anda mungkin juga menyukai