Anda di halaman 1dari 35

Analisis Struktur Sekretori, Histokimia, Fitokimia, dan Potensi

Antibakteri dari Beberapa Tumbuhan Obat Antiinfeksi di Taman


Wisata Alam Telaga Warna Bogor

FIFI KURNIAWAN

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Struktur


Sekretori, Histokimia, Fitokimia, dan Potensi Antibakteri dari Beberapa
Tumbuhan Obat Antiinfeksi di Taman Wisata Alam Telaga Warna Bogor adalah
benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Fifi Kurniawan
G34100023
ABSTRAK
FIFI KURNIAWAN. Analisis Struktur Sekretori, Histokimia, Fitokimia, dan
Potensi Antibakteri dari Beberapa Tumbuhan Obat Antiinfeksi di Taman Wisata
Alam Telaga Warna Bogor. Dibimbing oleh YOHANA C SULISTYANINGSIH
dan MOHAMAD RAFI.

Sebagian besar jenis tumbuhan tingkat tinggi merupakan sumber metabolit


sekunder yang bermanfaat sebagai obat. Tumbuhan yang diteliti merupakan
tumbuhan obat yang digunakan untuk penanganan penyakit infeksi yang diperoleh
dari Taman Wisata Alam Telaga Warna Bogor yakni ki tabo (Tithonia
diversifolia), ki ajag (Ardisia fuliginosa), kuray (Trema orientalis), dan kirinyuh
(Austroeupatorium inulifolium). Uji histokimia yang dilakukan meliputi uji
keberadaan terpenoid, alkaloid, fenol dan senyawa lipofil. Uji fitokimia dilakukan
menurut metode Harborne (1987) menggunakan serbuk kasar tumbuhan obat. Uji
aktivitas penghambatan terhadap bakteri gram positif Staphyllococcus aureus dan
bakteri gram negatif Escherichia coli dilakukan dengan metode difusi sumur.
Struktur sekretori berupa trikoma kelenjar tipe peltat dan uniseriat ditemukan pada
T. diversifolia. Trikoma uniseriat dan sel idioblas terdapat pada A. fuliginosa.
Trikoma kapitat, trikoma uniseriat, dan trikoma berisi kristal ditemukan pada T.
orientalis. Trikoma peltat dan trikoma uniseriat dijumpai pada A. inulifolium. Uji
histokimia menunjukkan hasil positif keberadaan alkaloid, terpenoid dan senyawa
lipofil pada trikoma peltat T. diversifolia. Trikoma uniseriat A. fuliginosa positif
mengandung alkaloid, terpenoid, senyawa lipofil dan fenol. Trikoma kapitat T.
orientalis positif mengandung terpenoid dan senyawa lipofil. Trikoma peltat A.
inulifolium positif mengandung alkaloid, terpenoid, dan fenol. Aktivitas
penghambatan terhadap bakteri S. aureus ditunjukan oleh ekstrak keempat
tumbuhan dengan daya hambat paling besar dihasilkan oleh T. diversifolia.

Kata kunci: metabolit sekunder, struktur sekretori uji antibakteri, uji fitokimia, uji
histokimia.
ABSTRACT

FIFI KURNIAWAN. Analysis of Secretory Structure, Histochemistry,


Phytochemistry, and Antibacterial Potency of Some Medicinal Plant from Taman
Wisata Alam Telaga Warna. Supervised by YOHANA CAECILIA
SULISTYANINGSIH and MOHAMAD RAFI.

Many species of vascular plant serve as source of secondary metabolites


utilized as medicine. Plants studied in this research were the medicinal plants
used for infectious diseases treatment originated from the Taman Wisata Alam
Telaga Warna Bogor i.e.: ki tabo (Tithonia diversifolia), ki ajag (Ardisia
fuliginosa), kuray (Trema orientalis), and kirinyuh. The presence of terpenoids,
alkaloids, phenols and lipophilic compounds in the plant tissue were identified by
using histochemical test. The terpenoids, alkaloids, phenols and steroids content
in plant tissues were determined by using a qualitative phytochemical test of plant
tissues powder. Antibacterial activity of plant extract was tested to a gram-
positive bacteria, Staphyllococcus aureus and a gram-negative bacteria
Escherichia coli by using the well diffusion method. The result showed that the
peltate and uniseriate glandular trichomes were found in T. diversifolia. Uniseriat
trichomes and idioblas cells were present in A. fuliginosa. Capitate, uniseriat
trichomes and other trichomes containing crystals were observed in T. orientalis.
Peltate and uniseriat trichomes were found in A. inulifolium. Histochemical test
showed positive results of alkaloids, terpenoids and lipophilic compounds in
peltate trichomes of T. diversifolia. Uniseriat trichomes of A. fuliginosa showed
the precence of alkaloids, terpenoids, lipophilic compounds and phenols. Capitate
trichomes of T. orientalis positively containing terpenoids and lipophilic
compounds. Peltate trichomes of A. inulifolium showed positive test for alkaloids,
terpenoids, and phenol. Inhibitory activity against S. aureus was shown by
extracts of all medicinal plant tested, whereas the greatest inhibition activity
produced by T. diversifolia.

Key words: antibacterial test, histochemical test, phytochemical test, secondary


metabolite, secretory structure.
Analisis Struktur Sekretori, Histokimia, Fitokimia, dan Potensi
Antibakteri dari Beberapa Tumbuhan Obat Antiinfeksi di Taman
Wisata Alam Telaga Warna Bogor

FIFI KURNIAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
kebaikan dan cinta kasih-Nya kepada penulis sehingga karya ilmiah dengan judul
Anatomi Struktur sekretori, Histokimia, Fitokimia, dan Potensi Antibakteri dari
Beberapa Tumbuhan Obat Antiinfeksi di Taman Wisata Alam Telaga Warna
Bogor ini berhasil diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr
Yohana C. Sulistyaningsih, MSi dan Bapak Dr Mohamad Rafi, MSi selaku
pembimbing yang telah sabar membimbing dan mengarahkan selama penelitian
ini berlangsung. Terima kasih kepada Ibu Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan penulisan
karya ilmiah ini. Penelitian yang berlangsung dari bulan April hingga November
2014 ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak baik secara moril maupun
materi.
Terima kasih kepada Ibu Dorly dan Kak Darius atas saran yang diberikan
Terima kasih kepada Pak Aki dan pihak Taman Wisata Alam Telaga Warna
Bogor yang telah memberi izin dan membantu dalam memperoleh sampel
penelitian. Terima kasih kepada Bapak Naryo, Bapak Jaka, Ibu Heni, Bapak
Eman, dan Ibu Nunung yang telah banyak membantu di laboratorium dan
menyediakan tempat bagi saya untuk melaksanakan penelitian. Terima kasih
kepada Kak Shinta, Devi, Aya, Rifai dan teman-teman miktek tumbuhan atas
kebersamaan dan semangatnya selama penelitian. Terima kasih kepada teman-
teman PMK IPB angkatan 47, rekan-rekan GSM komisi anak, adik-adik
kelompok kecil Sara, Iin, Putri dan Vero serta sahabat-sahabat kosan Palem 3
Fung, Sara, Asa, Retno dan Oliv. Terima kasih kepada Papa, Ko Welly, dan Rudy
atas kasih sayang tulus, semangat dan dukungan yang diberikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Fifi Kurniawan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Karakter Morfologi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat 5
Analisis Histokimia 11
Analisis Fitokimia 13
Analisis Penghambatan Aktivitas Bakteri 14
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 23
DAFTAR TABEL

1 Jenis dan kegunaan tumbuhan obat asal Telaga Warna 8


2 Ukuran dan kerapatan struktur sekretori 10
3 Hasil uji histokimia tumbuhan obat asal Telaga Warna 12
4 Hasil uji fitokimia tumbuhan obat asal Telaga Warna 13
5 Aktivitas penghambatan ekstrak tumbuhan obat terhadap bakteri S. aureus 15

DAFTAR GAMBAR
1 Tumbuhan Tithonia diversifolia 6
2 Tumbuhan Ardisia fuliginosa 6
3 Tumbuhan Trema orientalis 6
4 Tumbuhan Austroeupatorium inulifolium 7
5 Struktur sekretori pada tumbuhan obat antiinfeksi asal Telaga Warna 9
6 Pengujian histokimia struktur sekretori tumbuhan obat asal Telaga Warna 12
7 Hasil uji fitokimia tumbuhan obat 14
8 Hasil penghambatan ekstrak tumbuhan obat terhadap bakteri S. aureus 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data lingkungan TWA Telaga Warna Bogor 21


2 Sayatan paradermal penampang abaksial tumbuhan obat 21
3 Sayatan paradermal penampang adaksial tumbuhan obat 22
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuhan tingkat tinggi memiliki banyak manfaat. Selain berperan sebagai


sumber pangan, sandang, dan papan, tumbuhan tingkat tinggi juga dimanfaatkan
sebagai bahan pembuat kosmetik dan obat. Indonesia sebagai salah satu negara
megabiodiversitas memiliki keanekaragaman flora yang tinggi. Di antara sekitar
28.000 jenis tumbuhan di Indonesia, sekitar 1300 spesies diketahui sebagai
tumbuhan obat, namun baru sekitar 180 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai
obat secara tradisional (Supriatna 2008). Sesuai dengan namanya tumbuhan obat
merupakan tumbuhan yang memiliki kandungan senyawa sebagai bahan obat.
Komponen senyawa aktif yang berperan pada tumbuhan obat tersimpan pada
berbagai organ berupa daun, akar, batang, maupun kulit batang (Ogundare 2007).
Bagian tumbuhan tersebut diolah dengan teknik tertentu untuk diisolasi senyawa
bioaktif yang diinginkan.
Metabolit sekunder umum ditemukan pada sebagian besar tumbuhan.
Keberadaan metabolit sekunder tertentu seperti alkaloid, flavonoid dan terpenoid
pada tumbuhan berkhasiat untuk kesehatan seperti untuk tonikum (penambah
stamina) dan antibakteri. Sebagian besar metabolit sekunder ditimbun dalam
jaringan sekretori, namun tidak sedikit metabolit sekunder yang ditimbun di
vakuola maupun sitosol sel parenkim (Hartanto 2014). Trikoma yang merupakan
salah satu jenis struktur sekretori mulai banyak diteliti untuk keperluan sintesis
metabolit sekunder secara komersil, melalui penerapan ilmu biokimia,
bioteknologi, dan genetika molekular (Wagner et al. 2004). Pengamatan anatomi
yang didukung dengan uji histokimia dapat memberikan informasi mengenai tipe
struktur sekretori yang terdapat pada tumbuhan obat serta kandungan senyawa
metabolit yang dihasilkan atau diakumulasi pada struktur tersebut. Informasi
mengenai lokasi dan distribusi struktur sekretori dalam jaringan tumbuhan obat
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman obat, antara lain melalui
sintesis senyawa metabolit dengan kultur sel.
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikrob patogenik
seperti bakteri, virus, parasit, atau cendawan (WHO 2014). Terdapat beragam
jenis penyakit infeksi di antaranya ialah diare dan penyakit kulit. Diare adalah
keadaan defekasi dengan banyak cairan dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari
atau lebih dari standar normal setiap individu. Diare dapat disebabkan oleh
beragam faktor, faktor terbesar ialah agen biologi berupa bakteri, virus, atau
parasit (Baughman dan Hackley 2000; WHO 2014). Penyakit kulit juga terdapat
beragam jenis dan faktor penyebab. Bakteri E. coli dan S. aureus merupakan salah
satu agen biologis penyebab diare dan penyakit kulit.
Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna yang berada di Kabupaten
Bogor, Jawa Barat memiliki beragam tumbuhan obat, di antaranya yang
dimanfaatkan sebagai obat diare, luka luar, dan penyakit kulit. Pengetahuan
tentang khasiat obat dari berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat
diperoleh dari pengalaman yang diwariskan secara temurun. Kajian secara ilmiah
terhadap tumbuhan obat di Telaga Warna belum pernah dilakukan. Dengan
2

dilakukannya uji secara ilmiah akan membantu pengembangan tumbuhan obat


asal Telaga Warna untuk pemanfaatan yang lebih luas sebagai bahan obat modern.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati struktur sekretori tumbuhan obat


antiinfeksi asal Telaga Warna dan menganalisis kandungan metabolitnya secara
kualitatif serta menguji pengaruh ekstrak tumbuhan tersebut terhadap
pertumbuhan bakteri.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada pada bulan April-November 2014. Pengambilan


sampel tumbuhan obat dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna,
Bogor. Pengamatan struktur sekretori dan histokimia dilakukan di Laboratorium
Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, pengujian aktivitas antibakteri dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, sedangkan ekstraksi dan
analisis fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia,
FMIPA IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan ialah daun dari tumbuhan ki tabo (Tithonia


diversifolia), ki ajag (Ardisia fuliginosa), kuray (Trema orientalis), serta kirinyuh
(Austroepatorium inulifolium). Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan
kultur bakteri E. coli dan S. aureus yang diperoleh dari koleksi Laboratorium
Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA IPB.

Alat

Alat yang digunakan untuk membuat sayatan transversal ialah mikrotom


beku dan silet, alat yang digunakan untuk pengamatan antara lain kamera digital,
mikroskop cahaya Olympus CX 21 yang dilengkapi dengan mikrometer, serta
kamera optilab dengan software image raster. Alat yang digunakan untuk
ekstraksi ialah oven, penggiling, seperangkat alat gelas, kertas saring dan rotary
evaporator. Alat yang digunakan untuk pengujian aktivitas bakteri antara lain
sedotan steril ukuran 0.8 cm, cawan petri disposable ukuran 8 cm, autoklaf,
laminar air flow cabinet, serta mikropipet ukuran 100 µl dan 1000 µl. Alat yang
digunakan untuk pengambilan data lingkungan ialah pH tanah, termometer tanah,
luxmeter, dan higrometer.
3

Prosedur Penelitian

Koleksi dan Identifikasi Tumbuhan Obat

Koleksi tumbuhan dilakukan di TWA Telaga Warna Bogor. Identifikasi


tumbuhan obat dilakukan dengan bantuan petugas setempat, identifikasi lebih
lanjut dilakukan di Herbarium Bogoriensis, LIPI. Pengamatan morfologi
tumbuhan dilakukan secara langsung. Sampel daun tumbuhan dikoleksi dalam
bentuk segar dan awetan. Sampel segar digunakan untuk keperluan pengujian
histokimia, fitokimia, dan uji aktivitas antibakteri. Sampel awetan dalam etanol
70% digunakan untuk keperluan pengamatan struktur sekretori. Sebagai informasi
pendukung dilakukan pengukuran data lingkungan berupa suhu, kelembapan, pH,
dan intensitas cahaya.
Pengamatan Struktur Sekretori

Struktur sekretori diamati pada sayatan paradermal dan sayatan transversal


daun. Sayatan paradermal dibuat pada bagian abaksial dan adaksial dengan
metode whole mount menurut Sass (1951). Daun yang telah difiksasi dalam etanol
70% dicuci dengan air. Bagian daun kemudian direndam dalam HNO3 50%
selama dua hari untuk melunakkan jaringan. Sayatan bagian abaksial dibuat
dengan mengerik bagian adaksial daun dan sebaliknya. Sayatan transversal dibuat
dengan mikrotom beku dan silet. Pengamatan struktur sekretori meliputi bentuk,
jumlah sel penyusun, ukuran, dan kerapatannya. Kerapatan struktur sekretori (KS)
ditentukan dengan menghitung jumlah struktur sekretori yang terdapat dalam tiap
bidang pandang mikroskop, selanjutnya dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

Uji Histokimia

Uji histokimia dilakukan dengan membuat sayatan transversal


menggunakan mikrotom beku dengan ketebalan 15-25 µm. Keberadaan senyawa
terpenoid dideteksi dengan reagen kupri asetat 5% dalam akuades (Martin et al.
2002). Hasil positif terpenoid ditunjukkan dengan warna kuning kecoklatan.
Senyawa fenol dideteksi dengan reagen feri triklorida 10% dalam akuades,
kemudian ditambah serbuk sodium bikarbonat (Johansen 1940). Hasil positif
fenol ditunjukkan dengan warna hijau kehitaman. Senyawa lipofil dideteksi
dengan reagen sudan IV 0.03% dalam alkohol 70% (Boix et al. 2013). Hasil
positif ditunjukkan dengan warna jingga. Senyawa alkaloid dideteksi dengan
reagen Wagner 1% dalam akuades dengan hasil positif berwarna merah
kecoklatan, dan sebagai kontrol negatif keberadaan alkaloid digunakan reagen
asam tartarat 10% dalam alkohol 95% (Fuhr dan Mahlberg 1981). Sayatan
melintang sampel daun direndam dalam larutan asam tartarat 95% selama 2 hari,
kemudian dibilas dengan alkohol 70% dan ditetesi reagen Wagner. Keberadaan
4

kandungan alkaloid ditunjukkan melalui pengamatan struktur sekretori dengan


hasil yang tidak berwarna.

Ektraksi dan Uji Fitokimia Kualitatif

Sampel berupa daun tumbuhan obat dicuci dengan air untuk


menghilangkan kotoran. Daun dikeringkan pada udara terbuka selama 1 hari,
dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven pada suhu 50ºC selama 5 hari
kemudian digiling hingga berbentuk serbuk. Serbuk dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama digunakan untuk ekstraksi. Bagian lainnya digunakan untuk uji
fitokimia kualitatif.
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dengan merendam 50 gram
serbuk kering daun dalam 250 ml larutan metanol 70% selama 24 jam kemudian
disaring. Maserasi dilakukan dalam beberapa kali pengulangan hingga pelarut
terlihat jernih. Sisa pelarut kemudian diuapkan dengan rotary evaporator. Ekstrak
kental diencerkan dengan akuades hingga diperoleh konsentrasi 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, dan 100 mg/ml.
Uji fitokimia kualitatif dilakukan dengan metode Harborne (1987)
menggunakan serbuk kasar tumbuhan.
Penentuan keberadaan alkaloid
Sebanyak 2 gram serbuk sampel diekstrak dengan sedikit kloroform,
kemudian ditambah dengan 10 ml kloroform-amoniak dan disaring. Filtrat
ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2M, kemudian dikocok hingga
terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (tidak berwarna) dipipet ke dalam tabung
reaksi yang lain, kemudian larutan dibagi menjadi 3 lalu masing-masing larutan
diuji dengan beberapa tetes pereaksi Dragendorf, Mayer, dan Wagner. Uji ini
dinyatakan positif bila larutan-larutan tersebut menghasilkan endapan berwarna
jingga (Dragendorf), putih kekuningan (Mayer), dan coklat (Wagner).
Penentuan keberadaan flavonoid
Sebanyak 2 gram sampel diekstraksi dengan sejumlah metanol absolut
sampai bahan terendam semua. Campuran dididihkan dan kemudian disaring.
Filtrat kemudian ditambah dengan NaOH 10%. Terbentuknya warna merah
setelah penambahan NaOH 10%, menunjukkan keberadaan flavonoid.
Penetuan keberadaan steroid/triterpenoid
Sebanyak 2 gram serbuk sampel diekstraksi dengan sejumlah etanol
absolut sampai terendam seluruhnya, kemudian dipanaskan sampai mendidih, dan
disaring. Filtrat diuapkan, kemudian ditambahkan dietil eter pada sisa endapan.
Pada fraksi dietil eter ditambahkan Liebermann-Buchard (3 tetes asam asetat
anhidrat + 1 tetes H2SO4). Uji steroid dinyatakan positif bila dihasilkan warna
kehijauan dan uji positif untuk triterpenoid bila dihasilkan warna kemerahan atau
ungu.
Penentuan keberadaan fenol
Sebanyak 2 gram serbuk sampel diekstraksi dengan metanol absolut sampai
terendam seluruhnya, kemudian dipanaskan dan disaring dengan kertas saring.
Filtrat diencerkan dengan 10 ml akuades kemudian dipanaskan. Setelah dingin
ditambahkan 5 ml eter, didiamkan selama beberapa menit hingga terbentuk
endapan. Lapisan yang terbentuk diambil dan diuapkan pada suhu 40ºC. Bagian
yang tidak menguap dilarutkan dalam 5 ml etil asetat kemudian disaring.
5

Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, bagian yang tertinggal dilarutkan


dengan 2 ml etanol 95% kemudian ditambahkan pereaksi H2SO4 pekat. Jika
terbentuk warna hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa fenol.

Uji Aktivitas Antibakteri Tumbuhan Obat

Aktivitas antibakteri diuji menggunakan metode difusi sumur. Kultur murni


bakteri E.coli dan S. aureus diremajakan pada media nutrient agar (NA) miring
selanjutnya disuspensikan ke dalam media nutrient broth (NB) steril. Kultur
bakteri disuspensikan dalam media NA cair dengan konsentrasi 1%. Media NA
dituang dalam cawan petri dan dibiarkan hingga memadat (Gebby et al. 2013).
Sumur berdiameter 0.8 cm dibuat sebanyak 6 buah pada media yang telah
memadat. Pembuatan sumur dilakukan dengan bantuan sedotan yang telah
disterilkan. Empat buah sumur diisi dengan 100 µl ekstrak tumbuhan obat dengan
konsentrasi berbeda yakni 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, dan 100 mg/ml.
Antibiotik Cefotaxime® 50 µg/ml digunakan sebagai kontrol positif, dan akuades
steril sebagai kontrol negatif. Kultur selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37º C. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan pengulangan
º

sebanyak 3 kali. Indeks penghambatan (IP) dihitung dengan persamaan sebagai


berikut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Morfologi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Empat jenis tumbuhan obat yang diperoleh dari taman wisata alam Telaga
Warna memiliki morfologi yang beragam. Tumbuhan T. diversifolia merupakan
tumbuhan merambat berperawakan herba yang bersifat perenial dengan tinggi
mencapai 2 hingga 3 meter. Daun T. diversifolia merupakan daun tunggal dengan
bentuk bulat berbagi menjari (Gambar 1). Tumbuhan A. fuliginosa berperawakan
pohon dengan tinggi kurang lebih 3 meter (Gambar 2). Daun A. fuliginosa
merupakan daun tunggal dengan bentuk daun lonjong memanjang atau oval.
Pertulangan daun A. fuliginosa menyirip dengan tepi daun rata. Tumbuhan T.
orientalis merupakan tumbuhan berperawakan pohon dengan tinggi dapat
mencapai 15 meter. Daun T. orientalis merupakan daun tunggal dengan bentuk
bulat telur. Pertulangan daun T. orientalis menyirip dengan tepi daun rata.
Berdasarkan hasil pengamatan pada daun T. orientalis yang masih muda
menunjukkan warna kemerahan pada bagian tulang daun (Gambar 3). A.
inulifolium merupakan tumbuhan herba rendah dengan tinggi 1-2 meter (Gambar
4). Daun A. inulifolium merupakan daun tunggal dengan bentuk tombak dan
pertulangan menyirip. Tepi daun A. inulifolium bergerigi kasar. Tumbuhan yang
bersifat invasif ini memiliki persebaran yang merata di TWA Telaga Warna.
6

Gambar 1 Tumbuhan Tithonia diversifolia. Habitus (A); morfologi daun (B).

Gambar 2 Tumbuhan Ardisia fuliginosa. Habitus (A); morfologi daun (B).

Gambar 3 Tumbuhan Trema orientalis. Habitus (A); morfologi daun (B).


7

Gambar 4 Tumbuhan Austroeupatorium inulifolium. Habitus (A); morfologi daun


(B).

Tumbuhan obat yang diteliti merupakan jenis-jenis tumbuhan yang


digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit yang berkaitan dengan infeksi,
meliputi luka, radang, dan diare. T. diversifolia dan A. inulifolium digunakan
untuk penanganan penyakit kulit, sementara A. fuliginosa dan T. orientalis
dimanfaatkan sebagai obat diare (Tabel 1). Pada keempat tumbuhan yang diteliti
bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat adalah daun, kecuali T.
orientalis yang juga dimanfaatkan bagian kulit batangnya. Dari empat tumbuhan
yang digunakan dua di antaranya, yakni T. diversifolia dan A. inulifolium
termasuk anggota dari famili Asteraceae (Tabel 1). Asteraceae merupakan suku
terbesar tumbuhan berbunga di Indonesia. Beberapa anggota dari famili
Asteraceae dimanfaatkan sebagai penghasil minyak, bahan pemanis, dan dapat
dibuat teh (Riesberg et al. 2003).
8

Tabel 1 Jenis dan kegunaan tumbuhan obat asal Telaga Warna

Nama
Nama ilmiah Famili Kegunaan* Cara pemakaian*
lokal
Ki tabo Tithonia Asteraceae obat luka luar, Daun ditumbuk dengan
diversifolia A. Gray antiinflamasi, air panas dan diperas, air
obat gatal. perasannya dioleskan ke
badan.
Ki ajag Ardisia fuliginosa Myrsinaceae obat diare dan Daun direbus dan air
Blume obat diabetes rebusan diminum.

Kuray Trema orientalis L. Ulmaceae anti peradangan, Daun dikeringkan dan


Blume obat diare, obat dibuat serbuk, untuk
sakit perut dimakan atau dikemas
dalam kapsul. Daun
direbus dengan kulit
batangnya dan air
rebusan diminum
Kirinyuh Austroepatorium Asteraceae penyakit kulit Daun ditumbuk dengan
inulifolium (Kunth) (gatal-gatal, air panas dan diperas, air
R.M King & H. eksim), radang perasannya dibalurkan
Rob paru-paru dan ke badan dan diminum.
TBC

Keterangan (*): (komunikasi pribadi dengan Aki 2014)

Pemanfaatan T. diversifolia di TWA Telaga Warna ialah sebagai obat luka


luar, antiinflamasi, dan obat gatal. Di Nigeria, tumbuhan ini lazim dimanfaatkan
sebagai sebagai obat malaria (Fasola dan Iyamah 2008). Seperti T. diversifolia, T.
orientalis juga telah dimanfaatkan di berbagai tempat di dunia. Pemanfaatan T.
orientalis sebagai bahan obat, dapat berupa herbal tunggal atau digabung dengan
bahan tanaman lain. Daun T. orientalis direbus bersamaan dengan daun Bidens
pilosa, Citrus aurantifolia, dan kulit nanas mentah kemudian air rebusannya
diminum selanjutnya digunakan sebagai obat penyakit kuning. Pengolahan lain,
daun T. orientalis dapat dimaserasi dengan jus lemon digunakan sebagai obat
bronkitis, pneumonia, dan pleuritis (Katande 1995). Masyarakat Sunda
memanfaatkan daun A. fuliginosa sebagai obat diare (komunikasi pribadi dengan
Aki 2014), sedangkan masyarakat Indonesia lainnya menggunakan getah batang
tumbuhan ini sebagai obat gatal Wiart (2006), namun belum pernah ada laporan
ilmiah yang menyatakan efek farmakologis tumbuhan ini.

Struktur Sekretori pada Tumbuhan Obat

Struktur sekretori pada tumbuhan terdiri atas berbagai macam tipe dan
terdapat di berbagai organ antara lain daun, batang, dan akar. Struktur sekretori
pada jaringan tumbuhan meliputi trikoma kelenjar, hidatoda, saluran resin,
kelenjar minyak, kelenjar garam, kelenjar nektar dan sel idioblas (Fahn 1979).
Trikoma merupakan struktur derivat dari epidermis yang tersebar di berbagai
organ tumbuhan seperti daun, batang, akar, hingga bunga (Mulyani 2006).
Struktur sekretori yang teramati pada penelitian ini antara lain trikoma kapitat,
trikoma peltat, trikoma uniseriat, trikoma berisi kristal, dan sel idioblas (Gambar
9

1). Ciri morfologi dari trikoma tipe kapitat ialah tangkai trikoma yang
memanjang dan bagian kepala yang membulat dan meruncing, sedangkan trikoma
peltat memiliki tangkai yang pendek dan bagian kepala yang tersusun oleh
beberapa sel (Werker 2000).

Gambar 5 Struktur sekretori pada tumbuhan obat antiinfeksi asal Telaga Warna.
Trikoma kapitat dengan 2 sel kepala (A); trikoma kapitat dengan
banyak sel kepala (B); trikoma peltat (C); trikoma uniseriat (D);
trikoma berisi kristal (E), dan sel idioblas (F). Bar berukuran 50 µm
(A, B, C). Bar berukuran 30 µm (D, E, F).

Struktur sekretori yang terdapat pada T. diversifolia ialah trikoma peltat


dan trikoma uniseriat (Lampiran 2). Trikoma peltat pada T. diversifolia terdiri atas
1-2 sel kepala dan beberapa sel tangkai, namun sebagian besar bersifat sesil.
Diameter sel kepala pada trikoma peltat bagian abaksial (37.8±3.3 µm) tidak
berbeda dengan bagian adaksial (38.0±5.0 µm) (Tabel 2). Nilai kerapatan trikoma
peltat T. diversifolia tidak berbeda antara bagian abaksial (6.2±0.9 mm-2) dan
adaksial daun (7.1±1.4 mm-2). Nilai kerapatan trikoma uniseriat T. diversifolia
pada kedua sisi lebih besar dibanding trikoma peltat.
Sel idioblas dan trikoma uniseriat ditemukan pada A. fuliginosa. Sel
idioblas adalah sel tumbuhan yang terspesialisasi dan mengandung senyawa kimia
dengan komposisi yang berbeda dibandingkan dengan sel sekitarnya (Khafagi
2007). Sel idioblas pada A. fuliginosa berada di jaringan mesofil dengan ukuran
yang relatif lebih besar dibanding sel di sekitarnya. Diameter sel idioblas A.
fuliginosa ialah 61.1±12.1 µm, dengan nilai kerapatan sebesar 14.5±7.2 mm-2.
Trikoma uniseriat pada A. fuliginosa terdiri atas 3-5 sel yang tersusun dalam satu
baris dengan orientasi tegak. Ukuran trikoma uniseriat pada bagian abaksial relatif
lebih besar dibanding bagian adaksial, namun nilai kerapatan lebih besar pada
bagian adaksial (11.0±4.0).
Struktur sekretori yang terdapat pada T. orientalis ialah trikoma kapitat,
trikoma uniseriat, dan trikoma berisi kristal (Lampiran 3). Trikoma kapitat pada T.
10

orientalis memiliki jumlah sel kepala 2 hingga 8 sel dan sel tangkai 3-5 sel.
Panjang sel tangkai trikoma kapitat T. orientalis lebih besar pada bagian adaksial
(157.9±14.8 µm) dibanding abaksial (139.2±15.3 µm) daun. Kerapatan trikoma
kapitat pada bagian abaksial (1.4±0.5 mm-2) lebih rendah dibanding adaksial
(5.0±2.8 mm-2). Trikoma kapitat merupakan struktur sekretori dengan nilai
kerapatan paling kecil di antara jenis struktur sekretori lain pada T. orientalis.
Trikoma uniseriat yang dijumpai pada T. orientalis memiliki kerapatan bagian
abaksial (32.0±4.2 mm-2) tidak berbeda dibandingkan bagian adaksial (29.4±15.3
mm-2). Trikoma berisi kristal terdistribusi secara merata pada bagian abaksial dan
adaksial daun T. orientalis.
Struktur sekretori yang ditemukan pada A. inulifolium ialah trikoma peltat
dan trikoma uniseriat. Trikoma peltat A. inulifolium terdiri atas 1-2 sel kepala, dan
memiliki sel tangkai. Nilai kerapatan pada sisi abaksial (16.7±2.1 mm-2) lebih
besar dibandingkan pada sisi adaksial (9.9±1.1 mm-2). Diameter sel kepala
trikoma peltat pada bagian adaksial (51.3±0.9 µm) tidak berbeda dibanding
abaksial (48.0±3.7 µm). Ukuran trikoma uniseriat bagian abaksial relatif lebih
besar dibanding adaksial. Kerapatan trikoma uniseriat bagian abaksial dan
adaksial tidak berbeda.
Tabel 2 Ukuran dan kerapatan struktur sekretori

Struktur Dimensi struktur sekretori (µm) Kerapatan (mm-2)


Tumbuhan
sekretori Abaksial Adaksial Abaksial Adaksial

Trikoma peltat d: 37.8±3.3 d: 38.0±5.0 6.2±0.9 7.1±1.4


T. diversifolia
Trikoma p:105.6±15.4 p: 125.3±27.2
10.8±5.3 20.2±7.9
uniseriat l: 26.8±16.1 l: 26.5±3.1

Mesofil 14.5±7.2
Sel idioblas
d: 61.1±12.1
A. fuliginosa
Trikoma p: 52.4±10.5 p: 42.3±13.5
7.4±2.2 11.0±4.0
uniseriat l: 46.1±10.1 l: 34.9±6.4

Trikoma p:139.2±15.3 p: 157.9±14.8


1.4±0.5 5.0±2.8
kapitat l: 87.5±5.6 l: 88.3±5.5

Trikoma p:141.7±19.7 p: 161.7±38.3


T. orientalis 32.0±4.2 29.4±15.3
uniseriat l: 30.0±2.5 l: 35.7±12.1

Trikoma berisi p: 235.8±63.6 p: 224.6±41.7


7.4±2.5 5.7±1.2
kristal l: 202.2±29.3 l: 200.0±18.8

Trikoma peltat d: 48.0±3.7 d: 51.3±0.9 16.7±2.0 9.9±1.1


A. inulifolium
Trikoma p: 190.7±24.9 p: 167.3±21.2
5.2±1.1 5.0±1.1
uniseriat l: 40.8±4.7 l: 33.8±4.0
Keterangan: p (panjang), l (lebar), d (diameter)

Beberapa jenis tumbuhan memiliki trikoma pada sisi adaksial dan abaksial,
namun dalam beberapa kasus keberadaan trikoma lebih terbatas pada permukaan
abaksial (Cutler et al. 2007). Daun Artemisia annua L. (Asteraceae) memiliki nilai
11

kerapatan trikoma kelenjar yang lebih besar pada bagian adaksial (26.5-39.2 mm-
2
) dibanding abaksial (14.2-28.4 mm-2) (Juliarni et al. 2007). Keberadaan trikoma
kelenjar pada tumbuhan bermanfaat sebagai struktur pertahanan diri terhadap
herbivor dan patogen (Werker 2000).

Analisis Histokimia

Sampel tumbuhan obat yang diteliti diambil di lingkungan dengan pH yang


relatif seragam (5.1-6.8). Kelembapan relatif berkisar antara 72-92% dengan
intensitas cahaya relatif rendah (Lampiran 1). Struktur sekretori pada tumbuhan
obat menghasilkan senyawa metabolit yang keberadaanya pada jaringan
tumbuhan dideteksi melalui uji histokimia. Reaksi dengan reagen tertentu pada uji
histokimia menghasilkan warna spesifik. Hasil uji histokimia menunjukkan
trikoma kapitat pada T. orientalis mengandung terpenoid dan senyawa lipofil
(Tabel 3). Trikoma kapitat yang terdapat pada permukaan abaksial daun
Otacanthus coeruleus (Scrophularlaceae) dilaporkan mensekresikan senyawa
minyak esensial yang mengandung diterpena dan alkaloid (Bajaj 1997). Alkaloid
dan terpenoid dijumpai pada trikoma peltat T. diversifolia dan A. inulifolium.
Senyawa lipofil hanya dijumpai pada trikoma peltat T. diversifolia (Gambar 8),
sedangkan fenol dijumpai pada trikoma peltat A. inulifolium. Hasil penelitian
Gersbach et al. (2001) menunjukkan bahwa trikoma peltat pada Thymus vulgaris
mengandung thymol sedangkan Oreganum vulgare mengandung carvacrol. Kedua
senyawa tersebut merupakan golongan fenol. Karakterisasi histokimia dari
oleoresin yang disintesis oleh trikoma peltat pada Leonotis leonurus (Lamiaceae)
menunjukkan kandungan alkaloid dan terpenoid aglikon (Ascensao et al. 1997).
Senyawa alkaloid merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada
keempat trikoma uniseriat pada tumbuhan obat yang diteliti. Terpenoid dan
senyawa lipofil juga terkandung pada trikoma uniseriat semua tumbuhan yang
diteliti kecuali pada T. diversifolia, sedangkan senyawa fenol hanya terdeteksi
pada trikoma uniseriat T. diversifolia dan A. fuliginosa. Uji histokimia trikoma
uniseriat pada Sigesbeckia jorullensis (Asteraceae) menunjukkan keberadaan
terpenoid dengan senyawa turunan terbanyak dalam bentuk diterpena dan
sesquisterpene lactones (Heinrich et al. 2002). Trikoma berisi kristal pada T.
orientalis menunjukkan hasil negatif pada semua uji histokimia (Gambar 6).
Trikoma berisi kristal diduga tidak mensekresikan ataupun mengakumulasikan
alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan senyawa lipofil. Sel idioblas pada A. fuliginosa
mengandung senyawa alkaloid dan fenol. Idioblas merupakan salah satu tempat
biosintesis alkaloid. Khafagi (2007) melaporkan bahwa sel idioblas pada
Peganum harmala L. memproduksi alkaloid berupa senyawa serotonin. Senyawa
alkaloid berupa vindolin juga disintensis oleh sel idioblas pada Catharanthus
roseus (Facchini 2001). Sel idioblas pada Sambucus racemosa merupakan tempat
akumulasi senyawa tanin. Tanin merupakan salah satu senyawa dari golongan
besar fenolik (Zobel 1985).
12

Tabel 3 Hasil uji histokimia tumbuhan obat asal Telaga Warna


Metabolit sekunder
Struktur sekretori Tumbuhan Senyawa
Alkaloid Terpenoid Fenol
lipofil
Trikoma kapitat T. orientalis - + + -

Trikoma peltat T. diversifolia + + + -


A. inulifolium + + - +
T. diversifolia + - - +
Trikoma uniserat A. fuliginosa + + + +
T. orientalis + + + -
A. inulifolium + + + -
Trikoma berisi kristal T. orientalis - - - -
Sel idioblas A. fuliginosa + - - +
Keterangan: + (terdeteksi senyawa) - (tidak terdeteksi senyawa)

Gambar 6 Pengujian histokimia struktur sekretori tumbuhan obat asal Telaga


Warna. Trikoma kapitat T. orientalis dengan uji alkaloid (A),
terpenoid (B), lipofil (C), fenol (D). Trikoma peltat T. diversifolia
dengan uji alkaloid (E), terpenoid (F), lipofil (G), fenol (H). Trikoma
uniseriat T. diversifolia dengan uji alkaloid (I), terpenoid (J), lipofil
(K), fenol (L). Trikoma berisi kristal T. orientalis dengan uji alkaloid
(M), terpenoid (N), lipofil (O), fenol (P). Sel idioblas A. fuliginosa
dengan uji alkaloid (Q), terpenoid (R), lipofil (S), fenol (T). Bar
berukuran 30 µm.
13

Analisis Fitokimia

Seperti uji histokimia, uji fitokimia yang dilakukan juga bersifat kualitatif
sehingga hanya dapat mengetahui keberadaan kelompok senyawa metabolit tanpa
informasi yang lebih detil tentang jenis dan konsentrasi metabolit secara spesifik.
Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau perubahan warna.
Semakin pekat warna yang ditimbulkan menunjukkan semakin banyak kadar
senyawa yang terkandung dalam tumbuhan. Uji fitokimia yang dilakukan dengan
metode Harborne (1987) menunjukkan bahwa semua ekstrak tumbuhan tidak
mengandung alkaloid (Tabel 4). Uji kandungan triterpenoid dan steroid dilakukan
bersamaan dalam satu plat tetes, karena kesamaan dalam bentuk glikosida.
Tumbuhan A. inulifolium memiliki kandungan triterpenoid terbanyak dibanding
tumbuhan lainnya yang ditunjukkan dengan warna merah yang dominan,
sebaliknya kandungan steroid yang dimiliki rendah. Uji steroid bernilai positif
apabila warna hijau yang terbentuk lebih dominan dibanding warna merah. Kadar
steroid terbanyak dikandung oleh T. orientalis (Gambar 7). Menurut Accra (2012),
daun T. orientalis mengandung tanin, saponin, flavonoid dan triterpenoid berupa
simiarenol, simirenone, dan trematol.
Tabel 4 Hasil uji fitokimia tumbuhan obat asal Telaga Warna
Metabolit Sekunder
Tumbuhan
Alkaloid Triterpenoid Steroid Flavonoid Fenol
T. diversifolia - ++ +++ +++ +
A. fuliginosa - + +++ +++ +++
T. orientalis - + ++++ ++ +++
A. inulifolium - ++++ ++ ++ +
Keterangan:
- : tidak mengandung senyawa +++ : banyak
+ : sedikit ++++ : sangat banyak
++ : sedang

Trikoma T. diversifolia menurut Ambrossio et al. (2008) mengandung


komponen fitokimia berupa sesquisterpene lactones dan flavonoid dalam jumlah
besar. Sesquisterpene lactones merupakan kelompok metabolit sekunder lipofilik
yang ditemukan di sebagian besar tumbuhan di antaranya famili Euphorbiceae,
Cactaceae, Araceae, dan Solanaceae, namun keberadaan paling banyak ditemukan
pada famili Asteraceae. Vernonia amygdalina yang juga merupakan tumbuhan
dari famili Asteraceae mengandung senyawa sesquisterpene lactones berupa
vernolide dan vernodalol (Audu et al. 2012). Biosintesis sesquisterpene lactones
dalam tumbuhan terjadi di retikulum endoplasma. Hasil analisis fitokimia dan
histokimia untuk keberadaan alkaloid, menunjukkan hasil yang berbeda. Uji
histokimia menunjukkan hasil positif alkaloid untuk T. diversifolia dan A.
inulifolium, sedangkan uji fitokimia menunjukkan bahwa semua ekstrak
tumbuhan obat yang diuji tidak mengandung alkaloid (Tabel 4). Uji fitokimia
untuk keberadaan alkaloid tidak menunjukkan endapan berwarna jingga
(Dragendrof), putih kekuningan (Mayer) dan coklat (Wagner). Hasil negatif pada
uji fitokimia tidak berarti bahwa ekstrak tumbuhan tersebut tidak mengandung
alkaloid, namun keberadaan alkaloid terlalu rendah untuk dapat dideteksi akibat
perbedaan proporsi bagian tumbuhan yang digunakan. Uji fitokimia menggunakan
14

keseluruhan bagian daun sementara hasil uji histokimia langsung diamati pada
struktur sekretori pada jaringan daun. Kandungan alkaloid memiliki proporsi lebih
rendah pada uji fitokimia dibanding uji histokimia.

Dragendrof

Mayer

Wagner

Gambar 7 Hasil uji fitokimia tumbuhan obat. Uji alkaloid (A); uji fenol (B); uji
flavonoid (C); uji triterpenoid dan steroid (D).
Analisis Penghambatan Aktivitas Bakteri

Efektivitas tumbuhan obat sebagai antiinfeksi dapat dilihat dari


kemampuannya membunuh atau menghambat aktivitas bakteri. Zat antibakteri
dalam tumbuhan obat diharapkan dapat berperan sebagai bakteriostatik maupun
bakterisida (Suhaya 2014). Proses tersebut dilakukan melalui penghambatan
sintesis dinding sel, protein, asam nukleat, atau penghambatan jalur metabolisme
bakteri sehingga menghancurkan struktur membran sel bakteri (Tenover 2006).
Gangguan tersebut menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri yang
ditunjukkan dengan pembentukan zona bening pada media yang mengandung
antibiotik atau ekstrak yang diduga mengandung komponen aktif antibakteri.
Terbentuknya zona hambat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri pada
ekstrak tumbuhan obat asal Telaga Warna. Diameter zona hambat menunjukkan
tingkat efektivitas penghambatan oleh ekstrak tumbuhan. Semakin besar indeks
penghambatan menunjukkan semakin efektif peranan ekstrak tumbuhan tersebut
sebagai antibakteri.
Tumbuhan obat yang diteliti mengandung metabolit sekunder dalam kadar
yang berbeda-beda. Metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan.
fenol berperan sebagai komponen aktif dalam tumbuhan obat. Komponen fenolik
dalam asam kandis (Garcinia diocinia Blume) dilaporkan memiliki khasiat
sebagai antimikrob yang menghambat pertumbuhan S. aureus dan E. coli
(Ardiningsih et al. 2012). Ekstrak sereh (Cymbopogon citratus) menunjukkan
aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap bakteri gram positif, gram negatif,
15

dan cendawan karena kandungan flavonoid yang dominan (Shah et al. 2011). Efek
farmakologis dari bahan alam tidak hanya ditentukan oleh satu komponen tunggal,
melainkan oleh beberapa komponen yang saling terintegrasi. Ekstrak tumbuhan
obat yang diteliti berpengaruh positif pada bakteri S. aureus (Gambar 8),
sementara pada E. coli tidak menghasilkan zona hambat sama sekali. Perbedaan
sensitivitas bakteri terhadap ekstrak tumbuhan obat disebabkan oleh perbedaan
komposisi dinding sel bakteri. Bakteri E. coli yang tergolong dalam kelompok
bakteri gram negatif memiliki lapisan dinding luar berupa membran fosfolipid
yang berisi komponen lipopolisakarida struktural. Adanya lapisan ini
menyebabkan dinding sel bakteri bersifat impermeabel terhadap senyawa
antimikrob. Bakteri gram positif S. aureus memiliki lapisan peptidoglikan yang
tebal pada dinding selnya, lapisan tersebut bukan barier yang efektif untuk
menahan difusi senyawa bioaktif. Dinding sel bakteri gram negatif lebih kompleks
dibanding bakteri gram positif, sehingga menyebabkan bakteri gram negatif lebih
resisten terhadap senyawa bioaktif dibanding bakteri gram positif (Nostro et al.
2000; Hodges 2002).
Antibiotik Cefotaxime® tergolong ke dalam kelompok Sefalosporin.
Pemilihan antibiotik dari kelompok Sefalosporin sebagai kontrol positif yang
digunakan pada penelitian ini didasarkan pada spektum penghambatannya yang
luas, yaitu dapat menghambat bakteri gram positif dan negatif. Antibiotik bekerja
dengan 2 mekanisme yaitu sebagai bakteriostatik maupun bakterisida.
Bakteriostatik dalam konsentrasi tinggi dapat menjadi bakterisida dan sebaliknya
bakterisida dalam konsentrasi rendah dapat menjadi bakteristatik (Craig 1995).
Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak daun T.
diversifolia pada konsentrasi 100 mg/ml memiliki efektivitas paling tinggi dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yaitu dengan indeks zona hambat
sebesar 0.74 (Tabel 5). Kemampuan penghambatan ekstrak T. diversifolia yang
tinggi terhadap S. aureus terlihat dari indeks penghambatan tumbuhan ini pada
konsentrasi 75 mg/ml (0.55) masih lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak A.
fuliginosa (0.36), T. orientalis (0.47), dan A. inulifolium (0.17) pada konsentrasi
100 mg/ml.
Tabel 5 Aktivitas penghambatan ekstrak tumbuhan obat terhadap bakteri S. aureus

Konsentrasi Indeks Zona Hambat


(mg/ml) T. diversifolia A. fuliginosa T. orientalis A. inulifolium
25 0.41 0.10 0.26 0.07
50 0.37 0.23 0.33 0.16
75 0.55 0.33 0.43 0.18
100 0.74 0.36 0.47 0.17
Kontrol negatif * 0 0 0 0
Kontrol positif ** 1.28 1.21 1.80 1.35
Keterangan: (*) akuades, (**): Cefotaxime 50 µg/ml

Tumbuhan lain yang telah dikenal memiliki aktivitas antibakteri seperti


sirih (Piper betel) dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi
100 mg/ml, dengan indeks daya hambat sebesar 2.13 (Khan dan Kumar 2011).
Smania et al. (2007) melaporkan bahwa Baccharis pseudotenuifolia juga memiliki
daya hambat terhadap bakteri S. aureus dengan indeks 0.57. Kemampuan T.
16

diversifolia sebagai antibakteri tergolong dalam kelompok moderat dengan indeks


penghambatan yang lebih besar dibanding tumbuhan Baccharis pseudotenuifolia.
Alkaloid, terpenoid dan fenol yang dikandung T. diversifolia diduga berperan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Kunyit mengandung komponen
fenolik berupa kurkumin yang berperan sebagai antimikrob dan antioksidan
(Goel 2009).
Ekstrak A. inulifolium memiliki daya hambat bakteri paling lemah jika
dibandingkan dengan keempat tumbuhan lainnya. Faktor cara ekstraksi serta jenis
pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi senyawa bioaktif yang diperoleh.
Pemilihan metanol sebagai pelarut disebabkan sifatnya yang universal yakni
mampu menarik senyawa polar dan nonpolar karena keberadaan gugus (-OH) dan
(-CH3) (Astarina et al. 2013). Namun senyawa nonpolar akan lebih baik diisolasi
dengan pelarut yang juga bersifat nonpolar. Hal yang sama juga berlaku untuk
senyawa semi polar. Pengujian sifat antibakteri dapat menunjukkan hasil yang
tepat dengan penggunaan pelarut yang sesuai sehingga dapat menarik komponen
bioaktif yang terkandung dalam jaringan tumbuhan secara maksimal.
Pemanfaatan T. diversifolia di Telaga Warna ialah sebagai obat gatal, obat
luka luar dan antiinflamasi. Tumbuhan T. diversifolia berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan obat antiinfeksi ditinjau dari pemanfaatanya di
negara lain dan setelah diuji secara ilmiah. Studi terhadap tanaman obat
menunjukkan sesquisterpene lactones yang dikandung T. diversifolia merupakan
komponen aktif untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diare, luka bakar,
influenza, kerusakan syaraf serta berperan sebagai antimikrob (Chadwick et al.
2013). Sesquisterpene lactones merupakan metabolit sekunder yang
bertanggungjawab terhadap proses farmakologis dan aktivitas toksik seperti
antiinflamasi akibat oedema (Chagas et al. 2011).
17

+
+

2 1 2
1

3
3 4 4

_ _

+
+

1 2 1 2

3 3
4 4

_ _

Gambar 8 Hasil penghambatan ekstrak tumbuhan obat terhadap bakteri S. aureus.


(A) T. diversifolia; (B) A. fuliginosa; (C) T. orientalis; (D) A.
inulifolium. Konsentrasi 25 mg/ml (1); 50 mg/ml (2); 75 mg/ml (3); 100
mg/ml (4); kontrol positif Cefotaxime 50 µg/ml (+); kontrol negatif
akuades steril (-).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Struktur sekretori yang terdapat pada tumbuhan obat T. diversifolia, A.


fuliginosa, T. orientalis, A. inulifolium adalah trikoma peltat, trikoma kapitat,
trikoma uniseriat, trikoma berisi kristal, dan sel idioblas. Trikoma kelenjar jenis
peltat ditemukan pada tumbuhan T. diversifolia dan A. inulifolium. Kerapatan
terbesar struktur sekretori terdapat pada trikoma uniseriat T. orientalis bagian
abaksial. Uji histokimia dan fitokimia menunjukkan keberadaan senyawa bioaktif
berupa flavonoid, alkaloid, dan terpenoid dalam tumbuhan obat yang diteliti.
Pengujian antibakteri menunjukkan ekstrak metanol T. diversifolia menghambat S.
aureus dengan daya hambat paling besar.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tumbuhan obat asal Telaga
Warna serta komponen fitokimianya secara lebih spesifik melalui uji kuantitatif.
Ekstraksi tumbuhan obat perlu dilakukan dengan pelarut nonpolar dan semi polar
sehingga dapat diketahui keterwakilan dari masing-masing jenis pelarut terhadap
kemampuannya menarik senyawa bioaktif dalam tumbuhan.
18

DAFTAR PUSTAKA

Accra.1992. Ghana Herbal Pharmacopeia. Ghana (ZA): The Adventist Pr.


Ambrosio SR, Oki Y, Heleno VC, Chaves JS, Naschimento PG, Lichston JE,
Costantino MG, Varanda EM, Da Costa FB. 2008. Constituents of
glandular trichomes of Tithonia diversifolia: relationships to herbivory and
antifeedant activity. J Phytochem. 69(10): 52-60.
Ardiningsih P, Sumarni, Nofiani R, Jayuska R. 2012. Phythochemical screening
and antimicrobial activity of sub fractions asam kandis (Garcinia diocia
Blume). J Pharm Appl Sci. 2(12): 172-174.
Ascensao L, Marques N, Salome MP. 1997. Peltate glandular trichomes of
Leonotis leonurus leaves: ultrastructure and histochemical
characterizations of secretions. Int J Plant Sci. 158(3): 249-258.
Astarina NWG, Astuti KW, Warditiani NK. 2013. Skrinning fitokimia ekstrak
metanol rimpang bangle (Zingiber purpureum Roxb.). J Farm Udayana.1:
5-10.
Audu SA, Taiwo AE, Ojuolape AR. 2012. A study review of documented
phytochemistry of Vernonia amygdalina (family Asteraceae) as the basis
of pharmacology plant extract. 2012. J Nat Sci Res. 2(7): 1-5.
Bajaj YPS. 1997. Biotechonology in Agriculture and Forestry 41: Medicinal and
Aromatic Plant X. New Delhi (IN): Springer.
Baughman DC dan Hackley JC. 2002. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddrath. Yasmin A, penerjemah; Ester M, editor.
Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran EGC. Terjemahan dari Handbook
for Brunner and Suddrath’s Textbook of Medical-Surgical Nursing.
Boix YF, Victoria CP, Defaveri ACA, Arruda RCO, Sato A, Lage CLS.2013.
Glandular trichomes of Rosmarinus officinalis anatomical and
phytochemical analyses of leaf volatiles. Plant Biosyst. 145(4): 848-856.
Chadwick M, Trewin H, Gawthrop F, Wagstaff C. 2013. Sesquisterpene lactones:
benefit to plants and people. Int J Mol Sci. 14: 12780-12805.
Chagas-Paula DA, Rejane B, Vanessa CDS, Leothnardo GN. 2011. Chlorogenic
acids from Tithonia diversifolia demonstrate better anti-inflammatory
effect than indomethacin and its sesquisterpene lactones. J
Ethnopharmacol. 136: 355-362.
Cutler DF, Botha T, Stevenson DW. 2007. Plant Anatomy An Applied Approach.
Oxford (GB): Blackwell Pub.
Craig WA. 1995. Interrelationship between pharmacokinetics and
pharmacodynamics in determining dosage regimens for broad-spectrum
cephalosporins. Diagn Microbiol Infect Dis. 22(1): 89-96.
Facchini PJ. 2001. Alkaloid biosynthesis in plants: biochemistry, cell
biology,molecular regulation, and metabolic engineering applications.
Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 52: 29-66.
Fahn A. 1979. Secretory Tissue in Plant. New York (US): Academic Pr.
Fasola TR, Iyamah PC. 2014. Comparing the phytochemical composition of some
plant parts commonly used in the treatment of malaria. Int J Pure Appl Sci
Technol. 21(1): 1-11.
19

Fuhr Y, Mahlberg PG. 1981. Histochemical analysis of laticifers and glandular


trichomes in Cannabis sativa. J Nat Prod. 44(2): 153-159.
Goel S. 2009. Bioprotective of properties of turmeric an investigation of the
antioxidant and antimicrobial activities. J Young Investigat. 16:12.
Gebby AE, Oktavia, Ibrahim M, Lisdiana L. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak
etanol biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap penghambatan
pertumbuhan Escherichia coli dengan metode difusi cakram. J Lentera Bio.
2(3): 239-243.
Gersbach PV, Wyllie SG, Sarafis V. 2001. A new histochemichal method for
localization of the site of monoterpene phenol accumulation in plant
secretory structures. Ann Bot. 88: 521-525.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan Ed 2. Padmawinata K, Soedira L, penerjemah; Nikosolihin S,
editor. Bandung (ID): Penerbit ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemical
Methods.
Hartanto LN. 2014. Memanfaatkan produk jaringan sekretori pada tumbuhan. Di
dalam Hartanto LN, Satria, editor. Peran Biologi dalam Kesejahteraan
Manusia. Peringatan Dies Natalis Fakultas Biologi ke-59 Fakultas Biologi
UGM. [internet]. [Yogyakarta, 19 September 2014]. Yogyakarta (ID):
Universitas Gadjah Mada; [diunduh 2014 Desember 20]. Tersedia pada:
http://ugm.ac.id/id/berita/9294memanfaatkan.produk.jaringan.sekretori.pa
da.tumbuhan.
Heinrich G, Pfeifhofer HW, Stabentheiner E, Sawidis T. 2001. Glandulars hairs of
Sigesbeckia jorullensis Kunth (Asteraceae): Morphology, histochemistry
and composition of essential oil. Ann Bot. 89: 459-469.
Hodges S. 2002. Pharmaceuticals Applications Of Microbiological Techniques In
Pharmaceutics: The Science Of Dosage Design. London (GB): Harcout.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York (US): McGraw-Hill.
Juliarni. 2007. Karakter anatomi daun dari kultur tunas Artemisia annua L. Bul
Agron. 35 (3): 225-232.
Katande AB. 1995. Useful trees and shrubs for Uganda: identification,
propagation and management for agricultural and pastoral communities.
Stockholm (SE): Swedish International Development Authority (SIDA).
Khafagi IK. 2007. Generation of alkaloid containing idioblast during cellular
morphogenesis of Peganum harmala L. cell suspension cultures. Am J
Plant Physiol. 2(1): 17-26.
Khan JA, Kumar N. 2011. Evaluation of antibacterial properties of Piper betel
leaf. J Pharm Biomed Sci. 11(1): 1-3.
Martin D, Tholl D, Gershenzon J, Bohlmann J . 2002. Methyl jasmonate induces
traumatic resin ducts, terpenoid resin biosynthesis, and terpenoid
accumulation in developing xylem of norway spruce stems. Plant Physiol.
129: 1003-1018.
Mulyani ESS. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Nostro A, Germano MP, Angelo VD, Marino A dan Cannatelli MA. 2000.
Extraction methods and bioautobiography for evaluation of medicinal
plants antimicrobial activity. J Appl Microbiol. 30: 379-384.
Ogundare AO. 2007. Antimicrobial effect of Tithonia diversifolia and Jatropha
gossypifolia leaf extracts. Trends Appl Sci Res. 2(2): 145-150.
20

Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa (US): Iowa State College Pr.
Shah G, Shri R, Panchal V, Sharma N, Singh B, Mann AS. 2011. Scientific basis
for the therapeutic use of Cymbopogon citratus stapf (lemon grass). J Adv
Pharm Technol Res. 2(1): 3-8.
Smania AJ, Cleidson V, Simone MS, Elza FAS. 2007. Screening methods to
determine antibacterial activity of natural products. Braz J Microbiol. 38:
369-380.
Suhaya DD. 2014. Efektivitas ekstrak ki pahit (Tithonia diversifolia) dan kirinyuh
(Eupatorium inulifolium) untuk pencegahan dan pengobatan penyakit
akibat infeksi Aeromonas hydrophila pada ikan lele Clarias sp. melalui
pakan [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rieseberg, LH, Raymond OD, Rosenthal M, Lai KZ. Livingstone T, Nakazato JL,
Durphy AE, Schwarzbach LA, Donovan CL. 2003. Major ecological
transitions in wild sunflowers facilitated by hybridization. Science. 301:
1211-1216.
Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia
Tenover FC. 2006. Mechanism of antimicrobial resistance in bacteria. Am J Med.
119: S3-S10.
Wagner GJ, Wang E, Shepherd RW. 2004. New approaches for studying and
exploting an old protuberence, the plant trichome. Ann Bot. 93: 3-11.
[WHO] World Health Organization. 2014. Diarrhoea. [internet]. [Diunduh 2014
Desember 29]. Tersedia pada: http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/.
Wiart C. 2006. Medicinal Plants of Asia and Pacific. Boca Raton (US): Taylor
and Francis Group CRC Pr.
Werker E. 2000. Trichome diversity and development. Adv Bot Res. 31: 2-10.
Zobel Am. 1985. Localizations of phenolic compounds in tannin secreting cells
from Sambuscus racemosa L. shoots. Ann Bot. 57(6): 801-810.
21

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengukuran data lingkungan TWA Telaga Warna Bogor

Kelembapan udara Intensitas Suhu udara


Tumbuhan pH tanah
relatif (%) cahaya (Lx) (ºC)

T. diversifolia 5.8 92 338 22


A. fuliginosa 5.1 92 38 22
T. orientalis 5.2 89.5 270 22
A. inulifolium 6.8 72 102 22

Lampiran 2 Penampang paradermal sayatan adaksial tumbuhan obat

TP

TU

T. diversifolia A. fuliginosa

TK

TP

T. orientalis A. inulifolium
Keterangan: TK (trikoma kapitat); TP (trikoma peltat); TU (trikoma uniseriat).
Bar berukuran 50 µm.
22

Lampiran 3 Penampang paradermal sayatan abaksial tumbuhan obat

TP SI

TU
TP
TBK

Keterangan: TP (trikoma peltat); SI (sel idioblas); TU (trikoma uniseriat); TBK


(trikoma berisi kristal). Bar berukuran 50 µm.
23

RIWAYAT HIDUP

Fifi Kurniawan lahir di Jakarta pada 10 Juli 1992. Penulis merupakan anak
perempuan pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Jenny Mulyawan (almh)
dan Edyson. Penulis menempuh pendidikan di SMPK Mater Dei Pamulang pada
tahun 2004-2007 dan melanjutkan ke SMAN 74 Jakarta. Lulus SMA pada tahun
2010, penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui progam
USMI. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis melaksanakan kegiatan praktik
lapangan di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM IPB pada Juli-Agustus 2012
dengan topik “Pemeliharaan Kultur Sel Kanker pada Mamalia sebagai Persiapan
Uji Senyawa Bioaktif” dibawah bimbingan Dr Ibnul Qayim, MSi dan Silmi
Mariya, MSi.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di
antaranya Gugus Disiplin Asrama (GDA) TPB IPB pada tahun 2010, Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) FMIPA 2012/2013, unit kegiatan mahasiswa
(UKM) Persekutuan Mahasiwa Kristen serta berbagai kegiatan kepanitiaan pernah
diikuti penulis. Berberapa di antaranya panitia IPB political School, panitia Masa
Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) angkatan 48, panitia
MORFOLOGI angkatan 49 serta panitia Lomba Cepat Tepat Biologi (LCTB)
tahun 2012. Selain itu dalam bidang akademik sendiri, penulis juga merupakan
asisten praktikum untuk mata kuliah Biologi Dasar, Biologi Cendawan, Anatomi
dan Morfologi Tumbuhan serta Pertumbuhan Perkembangan Tumbuhan.

Anda mungkin juga menyukai