Anda di halaman 1dari 34

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX DISEASE

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian SMF Ilmu THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Abulyatama/Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh

Oleh:

Misra Laila/20174061

Pembimbing:

dr. Azwar Abdullah, Sp. THT-KL

BAGIAN/SMF ILMU THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA/

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA

BANDA ACEH

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Tinjauan Pustaka ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, tabiuttabiin, dan
mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya.

Seiring dengan berakhirnya penyusunan Tinjauan Pustaka ini, penulis


mengucapkan terima kasih atas berbagai bimbingan dr. Azwar Abdullah, Sp.
THT-KL yang telah turut membantu dalam penyusunan Tinjauan Pustaka ini.

Penulis juga menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan


Tinjauan Pustaka ini, oleh karena itu Penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan atau kekurangan. Penulis berharap adanya kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar Tinjauan Pustaka ini menjadi lebih baik. Semoga
Tinjauan Pustaka ini dapat bermanfaat bagi Penulis maupun pembaca.

Banda Aceh, 20 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1 LATAR BELAKANG.................................................................................1

BAB 2 KASUS........................................................................................................3

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................10

3.1 Anatomi........................................................................................................10

3.2 Definisi.........................................................................................................13

3.3 Epidemiologi................................................................................................14

3.4 Etiologi.........................................................................................................14

3.5 Patofisiologi.................................................................................................14

3.6 Manifestasi Klinis........................................................................................16

3.7 Diagnosis......................................................................................................18

3.8 Diagnosis banding........................................................................................23

3.9 Penatalaksanaan...........................................................................................24

3.10 Komplikasi.................................................................................................26

3.11 Prognosis....................................................................................................26

BAB 4 KESIMPULAN..........................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

iii
BAB 1
LATAR BELAKANG

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) merupakan kerusakan pada mukosa laring


yang disebabkan oleh asam lambung dan enzim pepsin naik dari lambung menuju
esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Gejala dari LPR dapat berupa suara serak,
mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan menelan, batuk setelah makan atau
saat berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorokan.

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) banyak ditemukan sekitar 20% dari


populasi dewasa di belahan bumi bagian barat dengan usia diatas 40 tahun, rata-rata
berusia 57 tahun. Prevalensi pria lebih banyak dibandingkan wanita yaitu 55%:45%
dan meningkat pada usia 44 tahun. Tidak ada predileksi ras tertentu. Penyebab yang
menimbulkan hal ini belum secara pasti, tetapi diduga berhubungan dengan pola
konsumsi masyarakat, olahraga genetik dan kebiasaan berobat.

Laryngopharyngeal reflux (LPR) termasuk dari salah satu manifestasi refluks


ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa GERD tidak sama dengan LPR.
Gastroesophageal Reflux (GERD) kejadian refluks terjadi pada malam hari, nyeri
pada epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih lama, serta adanya
gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat disfungsi dari sfingter bawah
esophagus (lower esophageal spinchter). Pada pasien LPR kejadian refluks terjadi
siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung
lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus, dan terdapat
disfungsi sfingter atas esophagus (upper esophageal spinchter). Tujuh puluh satu
persen penderita LPR mengeluhkan suara serak yang disertai rasa pebuh di
tenggorokan. Perbedaan ini kemungkinan karena mekanisme dan pola gejala serta
manifestasi yang berbeda sehingga beberapa pasien LPR tidak mempunyai gejala
GERD atau beberapa pasien mempunyai kedua gejala tersebut.

Pada setiap penderita yang dicurigai menderita LPR harus dilakukan 2


penilaian untuk melihat skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System Indtex
(RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk
menegakkan diagonosis dari LPR. Keterlambatan ataupun kesalahan dalam

1
menegakkan diagnosis LPR dapat menyebabkan biaya pengobatan yang tidak perlu,
selain itu dapat memicu terjadinya keadaan overdiagnosis dikarenakan gejala-gejala
LPR antara lain; batuk, suara serak, dan globus pharyngeus (sensasi tenggorok terasa
mengganjal) tidaklah spesifik dan juga dapat disebabkan karena infeksi, vocal abuse,
alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, dan alcohol abuse.

Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup dan


edukasi pasien, terapi medikamentosa dan terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan
dari LPR adalah skreening untuk menilai adanya kanker esofagal dan esofagus Barret,
karena LPR merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya esophageal
adenocarcinoma (EAC).

2
BAB 2
KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A.S
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bangsa/Suku : Indonesia/Aceh
No RM :-
Agama : Islam
Pekerjaan : Operator di sekolahan
Alamat : Darussalam
Tanggal Masuk : 10 Mei 2022

2.1.1 Anamnesis
1) Keluhan Utama
Suara parau

2) Keluhan Tambahan
Sulit menelan, rasa tidak nyaman di tenggorokan, bau mulut tak sedap,
batuk
3) Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan suara parau sejak ± 1
minggu yang lalu, awalnya pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman di
tenggorokan setelah meminum es sehari sebelumnya, kemudian pasien
merasakan sulit menelan, bau mulut tak sedap dan disertai batuk sesekali
namun tidak berdahak. Batuk (-), gatal tenggorokan (-), demam (-)

4) Riwayat Penyakit Dahulu :


 ± 1 tahun yang lalu keluhan tenggorokan tidak nyaman namun
tidak sampai serak
 Diabetes mellitus (+)

3
5) Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada

2.1.2 Status Lokalis


Aurikula

Pinna kanan Kiri

 Kelainan kongenital : (-) (-)


 Othematome : (-) (-)
 Perikondritis : (-) (-)
 Fistel retroaurikular : (-) (-)
 Lainnya : (-) (-)

Kanalis Aurikularis kanan kiri

 Hiperemis : (-) (-)


 Edema : (-) (-)
 Furunkel : (-) (-)

4
 Tragus sign : (-) (-)
 Serumen : minimal minimal
 Sekret : (-) (-)
 Corpus alienum : (-) (-)
 Lainnya : (-) (-)

Membrane timpani

Kanan Kiri

Bentuk : intak intak

Warna : Merah muda Merah muda

Reflek Cahaya: arah jam 5 arah jam 7

Bulging : (-) (-)

Retraksi : (-) (-)

Ruptur : (-) (-)

Periorasi : (-) (-)

Tes Pendengaran Fungsional (Tes Penala)

Tes Garpu Tala Telinga Kiri Telinga Kanan

Tes rinne BC<AC (+) BC<AC (+)

5
Tes Webber Tidak lateralisasi Tidak lateralisasi

Tes Swchwabach Pasien = pemeriksa Pasien = pemeriksa

Kesan : Normal

Nasal

a. Eksternus
 Deformitas : (-)
 Fraktur : (-)
 Tumor : (-)

b. Kavum nasi
 Rhinoskopi Anterior
 Mukosa : merah muda merah muda
 Krusta : (-) (-)
 Secret : (-) (-)
 Massa : (-) (-)
 Konka inferior : normal normal
 Septum : tidak deviasi tidak deviasi
 Pasase udara : baik baik
 Lain-lain : (-) (-)
 Rhinoskopi posterior
 Mukosa nasofaring : normal normal
 Massa : (-) (-)
 Post nasal drip : (-) (-)
 Lain-lain : (-) (-)
Cavum Oris

 Bibir : sianosis (-), lesi(-)

6
 Lidah : paralisis (-), tremor (-)
Lidah kotor (-)
 Gigi : karies (-)
 Orofaring : hiperemis

Tonsil palatine

 Besar tonsil : T2 T2
 Kripta : (-) (-)
 Dendritus : (-) (-)
 Perlengketan : (-) (-)
 Lain-lain : (-) (-)

Faring

 Mukosa : hiperemis
 Granul : tidak dijumpai
 Bulging : tidak dijumpai
 Reflek muntah : baik
 Palatum : tidak ada kelainan
 Uvula : tidak deviasi

Laring

7
 Laringoskop indirect
o Epiglotis : tidak ada kelainan
o Valekula : tidak ada kelainan

Maksilo Fasial

 Simetris : simetris
 Massa : tidak dijumpai
 Parese N. Cranialis : tidak dijumpai
 Hematoma : tidak dijumpai

Colli

 Pembesaran KGB
o Upper jugular : (-) (-)
o Mid jugular : (-) (-)
o Lower jugular : (-) (-)
o Submental : (-) (-)
o Submandibular : (-) (-)
o Colli anterior : (-) (-)
o Supra clavikula : (-) (-)
 Kaku kuduk : (-)
 Retraksi suprasternal : (-)
 Lain-lain : (-)
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
 Laringoskopi
 Endoskopi

8
2.1.4 Diagnosis banding
 Laryngopharyngeal Reflux Disease
 Faringitis
 Laryngitis
 Tonsillitis
2.1.5 Diagnosis
 Laryngopharyngeal Reflux Disease
2.1.6 Terapi
Non-medikamentosa
 Hindari makanan pedas dan asam
 Atur pola makan teratur
 Hindari minuman seperti kopi
 Hindari minum es
 Upayakan berbaring/tidur 2-3 jam setelah makan
 Tidak merokok

Medikamentosa

 Lansoprazole 30mg 2x1 sebelum makan


 Dexamethasone 2x0,5mg sesudah makan

2.1.7 Komplikasi
 Laryngitis
 Faringitis kronik
 Edema plikavokalis
2.1.8 Prognosis
Dubia ad bonam

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi

Faring

Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang


merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus. Faring adalah
kontong fibrous yang membentuk seperti corong dimana kantong ini dimulai dari
dasar tengkorang dan menyambung dengan esofagus setinggi vertebre servikal ke
enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana.
Kedepan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): 1. Selaput lendir; 2.
Fasia faringobasiler; 3. Pembungkus otot; 4. Sebagian fasia bukofaringeal.
Berdasarkan letaknya faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).

10
Gambar 1. Anatomi Faring

Laringofaring

Daerah ini dimulai dari perpaduan nasofaring dan orofaring pada daerah
setinggi os hyoid. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari
laring dan berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring.
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas inferior
ialah esophagus , serta batas posterior adalah vetebra servikal.

Gambar 2. Bagian-bagian Faring

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak


beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a. maksila interna yakni cabang
palatina superior.

11
Gambar 3. Anatomi Laring

Gambar 4. Anatomi Laring

Esofagus

Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan


hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang
terletak setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal
enam, dari daerah sevikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks, dan berada di
mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum
posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi vertebra
torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra, akhirnya sampai di
rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di daerah kardia.

12
13
Gambar 5. Anatomi Esofagus

Berdasarkan letak anatominya, esophagus dibagia menjadi 3 bagian yaitu


pars servikal (mulai dari krikofaringeal sampai suprasternal), pars torasik (mulai
dari suprasternal sampai diafragma), dan pars abdominal (mulai dari diafragma
sampai kardiak lambung). Penyempitan ketiga terletak pada hiatus esofagus
diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada kardia lambung. Lower
Esophageal Sphincter (LES) terletak pada bagian ini dan otot polos pada bagian
ini murni bersifat sfingter.

3.2 Definisi
Laryngopharyngeal Reflux (LPR) merupakan kerusakan pada mukosa
laring yang disebabkan oleh asam lambung dan enzim pepsin naik dari lambung
menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Beberapa sinonim untuk LPR
antara lain : Reflux Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux,
Pharyngoesophageal Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux,
Atypical Reflux.

3.3 Epidemiologi
Kejadian LPR sering ditemukan di negara barat dengan angka kejadian 10-
15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun. Beberapa penelitian yang di
lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD,
dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal reflux
(EER).

Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi,
anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering
terlewatkan. Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik menurut studi
epidemiologi terhadpat lima belas penelitian didapatkan bahwa 8-27% pada
populasi kelompok western mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi
asam satu atau lebih perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup
rendah yaitu 3-5 %.

14
3.4 Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan cedera
mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia yang
menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis
akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi. Selain itu, LPR dapat disebabkan
karena faktor fisik yaitu adanya gangguan fungsional dari Upper Esophageal
Sphincter (UES), hiatal hernia, abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya
pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi,
vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, alkohol dan gaya hidup,
misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas,
merokok, minuman beralkohol.

3.5 Patofisiologi
Patofisiologi LPR mengacu pada rusaknya sistem pertahanan fisiologis
(sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa
esofagus dan sfingter atas esofagus) yang dapat mengakibatkan masuknya cairan
asam lambung kedalam laring, faring, dan saluran aerodigestive atas. Pada
individu normal, UES dan LES berkerja sama untuk mencegah refluks isi
lambung tersebut sampai ke esofagus.

Ketikan terjadi reflux pada UES, menyebabkan isi lambung tersebut


memungkinkan untuk melakukan kontak dengan segmen laringofaringeal. Asam
lambung dan enzim pepsin aktif (enzim proteolitik) menyebabkan kerusakan
langsung pada mukosa laring. Hal ini menyebabkan gangguan pembersihan
mukosiliar, menyebabkan lendir stasis yang selanjutnya memperburuk iritasi
mukosa dan memberikan kontribusi untuk gejala pasien seperti post nasal drip,
pembersihan tenggorokan, dan sensasi globus.

15
Gambar 6. How Reflux Affects Your Throat

Disfungsi dari UES bukan penyebab satu-satunya LPR, beberapa studi


telah menemukan aspek biokimia, mencatat korelasi antara LPR dan penurunan
kadar isoenzim karbonik anhidrase III (CA-III) di samping akibat adanya enzim
pepsin dalam analisis histologis jaringan laring dipengaruhi oleh kejadian LPR.
Penurunan kadar CA-III, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi enzim pepsin, hal ini penting untuk dipertimbangkan sebagai kondisi
yang menyebabkan penurunan jumlah anion bikarbonat untuk menetralkan sifat
asam dari isi lambung. Penurunan jumlah isoenzim CA-III serta kurangnya dapar
kimia pada laring yang bertujuan untuk melindungi mukosa laring menyebabkan
timbulnya gejala klinis dari LPR.

3.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan LPR memiliki gejala yang tidak spesifik seperti globus
sensation (sensasi benjolan ditenggorokan), kelelahan vocal, suara serak, batuk

16
kronis, tenggorokan terasa kering, sakit tenggorokan dan disfagia. Gejala tersebut
bukan merupakan gejala yang harus ada pada LPR, namun gejala lain yang
biasanya menyertai adalah: eksaserbasi asma, otalgia, lender tenggorakan
berlebihan, halitosis (bauk mulut), sakit leher, odinofagia, post nasal drip dan
gangguan pada suara. Gejala-gejala ini tidak khas pada LPR dan dapat disebabkan
oleh alergi, penyakit neurologis degeneratif, infeksi, gangguan perilaku, obat, dan
neoplasia.

Gambar 7. Manifestasi Klinis LPR

Salah satu aspek yang dapat digunakan untuk memastikan etiologi keluhan
pasien berhubungan atu tidak dengan LPR adalah dengan membedakan keluhan
LPR dengan gejala klasik pada GERD seperti nyeri ulu hati, rasa terbakar pada
dada (heart burn), regurgitasi, dan esophangitis. Disfagia ditemukan pada LPR
dan GERD, namun masalah suara dan pernapasan lebih sering ditemukan pada
LPR.14 Gastroenterologis menggolongkan pasien yang tidak memilki gejala
gastrointestinal sebagai atypical refluxers.

Tabel 1. Gejala dan kondisi laring yang terkait laryngopharyngeal reflux


Gejala dan Kondisi Laring yang Berkaitan Dengan
Laryngopharyngeal Reflux

Gejala Kondisi

17
Disponia kronik Refluks laringitis
Disponia intermiten Stenosis subglottic
Vocal fatigue Karsinoma laring
Perubahan suara Cedera endotrakeal intubasi
Chronic throat clearing Ulkus kontak dan granuloma
Produksi mukus berlebihan Stenosis glottic posterior
ditenggorokan
Post nasal drip Fiksasi kartilago arytenoid
Batuk kronik Paroxysmal laryngospasm
Disfagia Paradoxical vocal fold movement
Globus Globus pharyngeus
Obstruksi saluran nafas intermiten Nodul vocal
Obstruksi saluran nafas kronik Degenerasi polypoid
Laryngomalacia
Pachydermia laryngis
Leukoplakia rekuren
Sindrom kematian bayi mendadak

Tabel 2. perbedaan GERD dan LPR


Perbedaan Gerd Dengan Laryngopharyngeal Reflux (LPR)
Gejala GERD LPR
Rasa terbakar pada dada dan/ atau +++++
regurgitasi
Suara serak, disfagia dan globus + ++++
Temuan
Esofagitis endoskopik +++++
Inflamasi laring + ++++
Hasil diagnosis
Biopsi esofagus +++++
Abnormal radiografi esofagus ++ -
Abnormal monitoring Ph esofagus +++++
Abnormal monitoring Ph faring - +++
Pola refluks
Posisi supinasi (berbaring) +++++

18
Posisi berdiri + ++++
Respon pengobatan
Diet dan modifikasi gaya hidup ++ +
Antagonis histamin 2 +++ ++
Pump proton inhibitor +++++++ +++

Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata,
terutama pada siang hari. Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan
kondisi lain seperti keeadaan alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradoks
pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga perlu
ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan perubahan suara.
Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering dianggap
sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma.

3.7 Diagnosis
Diagnosis LPR dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh American


Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien yang
dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing (98%),
batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).

Gejala-gejala LPR dapat dijadikan patokan untuk dilakukan sistem skoring


dalam mendiagnosa LPR. Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam
menentukan diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding
score (RFS).

Tabel 3. Skor Reflux Symptom Index (RSI)


Apakah Beberapa Permasalahan 0 = tidak mengganggu
Berikut Mengganggu Anda ?
5 = sangat mengganggu
1. Suara serak atau terdapat 0 1 2 3 4 5
permasalahan dengan suara anda

19
2. Sering membersihkan dahak anda 0 1 2 3 4 5
3. Lendir berlebihan di tenggorokan 0 1 2 3 4 5
atau post nasal drip

4. Kesulitan menelan makanan, 0 1 2 3 4 5


minuman, atau pil

5. Batuk setelah anda makan dan 0 1 2 3 4 5


berbaring
6. Kesulitan bernafas atau sering tersedak 0 1 2 3 4 5
7. Batuk yang sangat mengganggu 0 1 2 3 4 5
8. Sensasi sesuatu menempel di 0 1 2 3 4 5
tenggorokan atau benjolan di tenggorokan
anda
9. Dada seperti terbakar (heartburn), 0 1 2 3 4 5
nyeri dada, gangguan pencernaan,
atau refluks asam lambung

TOTAL SKOR

Penilaian skor RSI didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada


pasien, setiap pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan
tidak ada masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total
dari RSI adalah 45, skor RSI ≤ 10 dikatakan normal, sedangkan skor RSI ≥ 13
dikatakan sugestif LPR serta dianjurkan untuk pemeriksaan monitor pH 24 jam,
dan dilakukan pemeriksaan penunjang.

Tabel 4. Skor Reflux Finding Score (RFS)


KONDIS SKO
I R
1. Edema subglotis 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
2. Obliterasi ventrikular 2 = sebagian
4 = komplit
3. Erithema/hiperemia 2 = hanya pada
arythenoid 4 = tersebar
difus
1 = ringan
4. Edema vocal cord 1 = edema
ringan 2 =
edema sedang 3
= edema berat
4 = polipoid
5. Edema laring difus 1 = edema

20
ringan 2 =
edema sedang 3
= edema berat
4 = obstruksi
6. Hipertrofi komissura-P 1 = edema
ringan 2 =
edema sedang 3
= edema berat
4 = obstruksi
7. Jaringan granulasi/granuloma 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
8. Lendir endolaryngeal tebal 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
TOTAL SKOR

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang


berhubungan dengan gejala LPR dengan menggunakan laringoskop fleksibel.
Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor 26. Apabila skor
yang ditemukan ≥ 7 dengan tingkat keyakinan 95% maka dapat di diagnosa
sebagai LPR.

Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti


hipertrofi komissura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme,
stenosis subglotik, dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring
dan pita suara perlu pemeriksaan laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti
adanya eritema, edema, dan hipertrofi komissura posterior. Laringitis posterior
dapat ditemukan pada 74% kasus begitu juga udema serta eritema laring dijumpai
60% kasus LPR. Dapat juga terjadi hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada
kasus lanjutan dapat berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada komissura
posterior. Granuloma dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang
tidak diobati.

21
(A) posterior pharyngeal wall cobblestoning,
(B) interarytenoid bar with erythema,
(C) posterior commissure with erythema and surface irregularity,
(D) posterior cricoid wall edema,
(E) arytenoid complex with apex edema, erythema, and medial wall erythema,
(F) true vocal folds with edema,
(G) false vocal folds erythema,
(H) anterior commissure erythema,
(I) epiglottis erythema, and
(J) aryepiglottic fold edema.

Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap


kasus yang dicurigai LPR, yaitu:

1 Laringoskopi

Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu


laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel
(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan

22
hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan
kerusakan pada ventrikular band.

Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya
edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun
sudah dapat menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan lain yang
sering adalah granuloma, sekitar 65-75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan
monitoring pH akan tampak granuloma pada pemeriksaan laringoskopi.
Gambaran pseudokulkus juga merupakan salah temuan fisik lain yang sering,
sekitar 90% pasien yang terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran
pseudokulkus.

2 Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dengan menggunakan esofagoskop biasanya tidak
dilakukan saat awal, namun pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari
perubahan mukosa pada esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi. Gambaran yang dapat dicurigai LPR adalah bila
ditemukan garis melingkar “barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
Pemeriksaan videotoboskopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan
endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara,
gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang
mengeluhkan masalah pada suaranya saat diperiksan dengan pemeriksaan
videotoboskopi ditemukan adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria
diagnostik, pemeriksaan ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang
sedang dalam pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan
antireflux yang diberikan berhasil atau tidak.

23
Gambar 8. Mukosa esophagus LPR

3.8 Diagnosis banding


Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut atau kronik,
stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi
pada laring yang tidak lebih dari 3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri.
Penyebab dari laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului
oleh infeksi saluran nafas atas.

Tabel 5. Perbedaan gejala klinik LPR dan penyebab suara serak lainnya
Rhinoinusit Benign Malignan
LPR Infectio is Allergy Vocal t Vocal
n (postnasal Fold Fold
drip) Lesion Lesion
Hoarseness Acute, Acute/chronic
characteristic Fluctuates resolves or recurrent Fluctuates Constant Progressive
Common From
Throat pain (wiyh Yes Uncommon No secondar Late (local
cough, y muscle and
throat tension referred)
clering)
Edema, Secretions Edema, Nodules, Elcerative or
Laryngal granulom Erytema (thick, clear polyps, exophytic
findings a, , discolored), secretions,
edema cysts, (red- white
erytema, edema bluish
pseudosulcu mucos scars mass)
s a
Systemic Smokin Smoking
Smoking,
Aggravatin infection, LPR, Environmen g, vocal (common)
obesity, t
diet/lifestyl immunisu
g allergy, trauma, , LPR,
factors p smoking , seasonal LPR ethanolis

24
pression m
e

3.9 Penatalaksanaan
Terdapat tiga kategori utama dalam pengobatan LPR yaitu edukasi pasien
dan perubahan gaya hidup, terapi medikamentosa, dan terapi bedah. Hal yang
perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik
yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan
proses penyembuhan yang cepat.

Edukasi dan Perubahan Gaya Hidup


Edukasi dan perubahan gaya hidup dimana pemeriksa harus menasehati
pasien mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan aliran refluks asam lambung.
Pasien diinstruksikan untuk mengurangi atau hentikan merokok, kurangi berat
badan, tidak makan 2-3 jam sebelum berbaring dan meninggikan kepala tempat
tidur, sebaiknya elevasi dengan memposisikan tempat tidur bukan dengan
menambah bantal, tidur dengan sisi kiri sesuai arah krura diafragma agar tidak
menyebabkan kekakuan alami persimpangan gastroesophageal ketika seseorang
berada dalam posisi dekubitus lateral kiri. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan yang dapat mengiritasi
lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi, coklat, jus citrus,
alkohol, tomat, makanan berlemak, gorengan, maupun makanan pedas.

Medikamenstosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau
Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat
proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai
pengobatan utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks terutama
LPR. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20mg perhari
(terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis
30mg per hari. PPI baik diminum 30-60 menit sebelum makan. Obat PPI dapat
menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas
obat ini tidak seefektivitas pada kasus GERD. Pengobatan PPI ini diberikan
selama 6 bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau
tidak. Apabila terjadi penurunan gejala, dosis PPI dapat diturunkan menjadi 1 kali

25
sehari. Apabila hasil tidak ada perbaikan pada gejala, dapat dilakukan pH
monitoring (terapi diberhentikam selama 1 minggu), jika hasil yang didapatkan
abnormal maka dikatakan resisten PPI.
Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan
golongan antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari.
Obat proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik
yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4
kali dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta
mengurangi kerusakan dari mukosa serta mencegah aktivitas pepsin.

Terapi Bedah
Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi
mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Terapi pembedahan
dilakukan dengan memperbaiki barier pada daerah pertemuan esofagus dan
lambung sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi lambung kearah esofagus.
Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau
dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung.

Ada beberapa operasi bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication


(komplit) atau Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk
memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus bawah (SEB). Laparoscopic
Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam
pengobatan LPR. Namun semua tindakan pembedahan memiliki risiko sehingga
tindakan pembedahan bukan merupakan pilihan utama dalam menangani LPR.

26
Bagan 1. Alur Penatalaksanaan LPR

3.10 Komplikasi
Laryngopharyngeal Reflux (LPR) yang tidak diobati akan menyebabkan
komplikasi seperti odinofagia, batuk-batuk kronis, sinusitis, infeksi telinga,
pembengkakakn pita suara, ulkus pada plika vokalis, pembentukan granoloma
(massa) di tenggorokan, dan perburukan asma, emfisema, bronchitis, spasme
laring serta stenosis laring. Laryngopharyngeal Reflux (LPR) yang dibiarkan saja
juga kemungkinan berperan dalam perkembangan kanker oada daerah laring.

3.11 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup.
Angka keberhasilan pasien dengan laryngitis posterios berat sekitar 83% setelah

27
diberikan 6 minggu dengan omeprazole, dan sekitar 79% kasus alami
kekambuhan setelah berhenti berobat, sedangkan prognosis keberhasilan dengan
menggunakan lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu memberikan
angka keberhasilan 86%.

28
BAB 4
KESIMPULAN

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) merupakan kerusakan pada mukosa


laring yang disebabkan oleh asam lambung dan enzim pepsin naik dari lambung
menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Gejala dari LPR dapat berupa
suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan menelan, batuk
setelah makan atau saat berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan
mengganjal di tenggorokan. Kejadian LPR sering ditemukan di negara-negara
barat umumnya pada usia diatas 40 tahun yang dihubungkan dengan pola
konsumsi makanan, olahrga genetik, dan kebiasaan berobat.

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat disebabkan karena faktor fisik


yaitu adanya gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia,
abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung,
sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok,
iritasi dari polusi udara, alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet makanan
berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.

Refluks laring faring dapat ditegakkan berdsarkan gejala klinis dan


pemeriksaan fisik menggunakan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding
Score (RFS) merupakan parameter yang berguna. RSI didisain untuk memastikan
kecurigaan klinis dari RLF pada pasien dengan keluhan telinga, hidung, dan
tenggorokan. RFS digunakan untuk melihat karakteristik lesi morfologis yang
diperkirakan berkaitan dengan RLF. Skor RSI > 13 dikatakan abnormal dan
dipikirkan kemungkinan RLF sebagai diagnosis, sementara pada RFS > 7
dinyatakan sebagai abnormal.

Penatalaksanaan LPR yaitu medikamentosa dengan obat-obatan anti


refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan
operasi funduplikasi. Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%,
dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya
hidup.

29
DAFTAR PUSTAKA

1 Lechien, J.R.; Bobin, F.; Mouawad, F.; Zelenik, K.; Calvo-Henriquez, C.;
Chiesa-Estomba, C.M.; Enver, N.; Nacci, A.; Barillari, M.R.; Schindler, A.;
et al. Development of scores assessing the refluxogenic potential of diet of
patients with laryngopharyngeal reflux. Eur. Arch. Oto-Rhino-Laryngology
2019
2 Bobin, F.; Journe, F.; Lechien, J.R. Saliva pepsin level of laryngopharyngeal
reflux patients is not correlated with reflux episodes. Laryngoscope 2019
3 Dinc, A.S.K.; Cayonu, M.; Sengezer, T.; Sahin, M.M. Smoking Cessation
Improves the Symptoms and the Findings of Laryngeal Irritation. Ear Nose
Throat J. 2019
4 [-PLee, J.S.; Jung, A.R.; Park, J.M.; Park, M.J.; Lee, Y.C.; Eun, Y.-G.
Comparison of Characteristics According to Reflux Type in Patients with
Laryngopharyngeal Reflux. Clin. Exp. Otorhinolaryngol. 2018
5 Carroll, T.L.; Werner, A.; Nahikian, K.; Dezube, A.; Roth, D.F. Rethinking
the laryngopharyngeal reflux treatment algorithm: Evaluating an alternate
empiric dosing regimen and considering up-front, pH-impedance, and
manometry testing to minimize cost in treating suspect laryngopharyngeal
reflux disease. Laryngoscope 2017
6 Dolina, J.; Koneˇcný, Š.; Durˇc, P.; Laˇcn ˇ á, J.; Greguš, M.; Foret, F.;
Skˇriˇcková, J.; Doubková, M.; Kindlová, D.; Pokojová, E.; et al. Evaluation
of Important Analytical Parameters of the Peptest Immunoassay that Limit its
Use in Diagnosing Gastroesophageal Reflux Disease. J. Clin. Gastroenterol.
2019
7 De Corso, E.; Baroni, S.; Salonna, G.; Marchese, M.; Graziadio, M.; Di
Cintio, G.; Paludetti, G.; Costamagna, G.; Galli, J. Impact of bile acids on the
severity of Laryngo-Pharyngeal reflux. Clin. Otolaryngol. 2020
8 Zalvan, C.H.; Hu, S.; Greenberg, B.; Geliebter, J. A Comparison of Alkaline
Water and Mediterranean Diet vs Proton Pump Inhibition for Treatment of
Laryngopharyngeal Reflux. JAMA Otolaryngol. Neck Surg. 2017,

30
9 Imhann, F.; Vila, A.V.; Bonder, M.J.; Manosalva, A.G.L.; Koonen, D.P.; Fu,
J.; Wijmenga, C.; Zhernakova, A.; Weersma, R.K. The influence of proton
pump inhibitors and other commonly used medication on the gut microbiota.
Gut Microbes 2017
10 Wang, A.M.; Wang, G.; Huang, N.; Zheng, Y.Y.; Yang, F.; Qiu, X.; Chen,
X.M. Association between laryngopharyngeal reflux disease and autonomic
nerve dysfunction. Eur. Arch. Oto-Rhino-Laryngology 2019

31

Anda mungkin juga menyukai