Anda di halaman 1dari 44

Depan

Beranda

Artikel»

Tenaga Kesehatan

Umum

Obat Baru

IONI

Info BPOM

Situs Terkait

Website POM

Obat Komparator

Anda di sini

Depan » IONI » BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT » 4.2 Psikosis dan Gangguan Sejenis » 4.2.1 Antipsikosis

4.2.1 Antipsikosis

Obat antipsikosis juga dikenal sebagai `neuroleptik` dan secara salah diartikan sebagai trankuiliser
mayor. Obat antipsikosis pada umumnya membuat tenang tanpa mempengaruhi kesadaran dan tanpa
menyebabkan efek kegembiraan paradoksikal (paradoxical excitement) namun tidak dapat dianggap
hanya sebagai trankuiliser saja. Untuk kondisi seperti skizofrenia, efek penenangnya merupakan hal
penting nomor dua.

Pada penggunaan jangka pendek, digunakan untuk menenangkan pasien yang mengganggu apapun
psikopatologi yang mendasarinya, bisa karena skizofrenia, kerusakan otak, mania, delirium toksik, atau
depresi teragitasi. Obat antipsikotik digunakan untuk meredakan ansietas berat tetapi ini juga hanya
untuk penggunaan jangka pendek. Hanya ada sedikit informasi tentang khasiat dan keamanan obat–
obat antipsikotik pada anak–anak dan remaja, dan kebanyakan informasi yang tersedia merupakan
ekstrapolasi data orang dewasa. Tidak mungkin membuat rekomendasi pengobatan untuk mengatasi
gangguan psikosis, sindrom Gilles de Tourette dan autisme. Pengobatan pada kondisi seperti itu harus
dilakukan hanya oleh dokter spesialis yang tepat.
Skizofrenia

Obat antipsikotik meringankan gejala psikotik florid (florid psychotic symptoms) seperti gangguan
berpikir, halusinasi, dan delusi serta mencegah kekambuhan. Walaupun seringkali efektifitasnya lebih
kecil pada pasien putus obat yang apatis, tetapi terkadang bermanfaat dalam memicu efeknya. Pasien
dengan skizofrenia akut memberikan respon yang lebih baik daripada pasien dengan gejala kronik.

Pasien dengan diagnosis pasti skizofrenia, mungkin memerlukan pengobatan jangka panjang dengan
tujuan untuk mencegah perubahan manifestasi penyakit menjadi kronik setelah episode pertama
penyakit. Penghentian pengobatan membutuhkan pengawasan karena pasien yang menampakkan hasil
yang baik terhadap pengobatan dapat mengalami kekambuhan yang lebih parah jika pengobatan
dihentikan dengan tidak tepat. Kebutuhan untuk melanjutkan terapi tidak dapat terlihat dengan segera
karena seringkali kekambuhan tertunda selama beberapa minggu setelah penghentian pengobatan.

Obat antipsikotik bekerja dengan menginterferensi transmisi dopaminergik pada otak dengan
menghambat reseptor dopamin D2, yang dapat meningkatkan efek ekstrapiramidal seperti dijelaskan di
bawah, serta efek hiperprolaktinemia. Obat antipsikosis dapat mempengaruhi reseptor kolinergik, alfa
adrenergik, histaminergik, serta serotonergik. Pemilihan obat dipengaruhi oleh potensi efek samping
dan sering dipandu berdasarkan kondisi perseorangan misalnya efek psikologis dari potensi
penambahan berat badan. Obat yang sering digunakan pada anak adalah haloperidol, risperidon dan
olanzapin.

Peringatan dan Kontraindikasi

Antipsikosis sebaiknya digunakan dengan hati–hati pada pasien dengan gangguan hati (lampiran 2),
gangguan ginjal (lampiran 3), penyakit kardiovaskular, penyakit parkinson (dapat diperburuk oleh
antipsikotik), epilepsi (dan kondisi yang mengarah ke epilepsi), depresi, miastenia gravis, hipertrofi
prostat, atau riwayat keluarga atau individu glaukoma sudut sempit (hindari klorpromazin, perisiazin,
dan proklorperazin pada kondisi ini). Perhatian juga diperlukan pada penyakit saluran napas yang berat
dan pada pasien dengan riwayat jaundice atau yang memiliki riwayat diskrasia darah (Lakukan hitung
darah jika timbul infeksi atau demam yang tidak diketahui penyebabnya).

Antipsikotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien lansia, terutama yang rentan terhadap
hipotensi postural serta hipertermi atau hipotermi pada kondisi cuaca yang sangat panas atau dingin.
Pertimbangan serius sebaiknya diberikan sebelum meresepkan obat ini pada pasien lansia.
Fotosensitisasi dapat timbul pada dosis yang lebih tinggi, pasien sebaiknya menghindari paparan sinar
matahari langsung.
Obat antipsikotik mungkin dikontraindikasikan pada keadaan tidak sadar (koma), depresi susunan saraf
pusat, dan paeokromositoma. Sebagian besar antipsikotik lebih baik dihindari selama kehamilan,
kecualli jika sangat diperlukan dan disarankan untuk berhenti menyusui selama menjalani pengobatan
(lampiran 5) dan interaksi (lampiran 1).

Mengemudi

Mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan dalam mengoperasikan sesuatu (misal mengemudi atau
menjalankan mesin), terutama pada awal terapi, dapat meningkatkan efek alkohol.

Penghentian Obat

Penghentian obat antipsikotik setelah terapi jangka panjang sebaiknya dilakukan secara bertahap dan
diawasi secara ketat untuk menghindari risiko sindroma putus obat yang akut atau kekambuhan yang
cepat.

Efek samping

Gejala ekstrapiramidal adalah masalah yang paling mengganggu. Gejala ini paling sering muncul pada
penggunaan piperazin, fenotiazin (flufenazin, perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin),
butiropenon (benperidol dan haloperidol) serta sediaan bentuk depot. Gejala ini mudah dikenali tetapi
tidak dapat diperkirakan secara akurat karena bergantung pada dosis, jenis obat, dan kondisi individual
pasien. Gejala ekstrapiramidal termasuk di antaranya:

- Gejala parkinson (termasuk tremor) yang akan timbul lebih sering pada orang dewasa atau lansia dan
dapat muncul secara bertahap.

- Distonia (pergerakan wajah dan tubuh yang tidak normal) dan diskinesia, yang lebih sering terjadi pada
anak atau dewasa muda dan muncul setelah pemberian hanya beberapa dosis.

- Akatisia (restlessness) yang secara karakteristik muncul setelah pemberian dosis awal yang besar dan
mungkin memperburuk kondisi yang sedang diobati.

- Tardive dyskinesia (ritmik, pergerakan lidah, wajah, rahang yang tidak disadari [invuntary movements
of tongue, face and jaw]) yang biasanya terjadi pada terapi jangka panjang atau dengan pemberian dosis
yang tinggi, tetapi dapat juga terjadi pada terapi jangka pendek dengan dosis rendah. Tardive dyskinesia
sementara dapat timbul setelah pemutusan obat.
Gejala parkinson tidak akan muncul jika obat dihentikan dan kemunculannya juga dapat ditekan dengan
pemberian obat antimuskarinik (bab 4.9.2). Bagaimanapun, pemberian secara rutin dari obat tersebut
tidak dibenarkan karena tidak semua pasien memberikan efek dan karena obat–obat tersebut dapat
memperburuk tardive dyskinesia.

Tardivedyskinesia sebaiknya menjadi perhatian utama karena mungkin dapat bersifat permanen walau
obat sudah dihentikan dan upaya pengobatan seringkali tidak efektif. Namun demikian, penghentian
obat pada tanda–tanda awal terjadinya tardive dyskinesia (gerakan motorik otot lidah yang halus [fine
vermicular movements of the tongue]) dapat menghentikan terjadinya tardive dyskinesia secara penuh.
Tardive dyskinesia muncul hampir sering, terutama pada lansia, dan pengobatan harus hati–hati dan
ditinjau ulang secara rutin.

Hipotensi dan gangguan pada pengaturan temperatur adalah efek samping terkait dosis dan dapat
menyebabkan jatuh yang berbahaya (dangerous falls) dan hipotermia atau hipertermia pada lansia.

Sindrom keganasan neuroleptik (hipertermia, fluktuasi tingkat kesadaran, kekauan otot, disfungsi
otonom dengan palort, takikardi, tekanan darah yang labil, berkeringat dan inkontinensia urin) jarang
terjadi tetapi merupakan efek samping dengan potensi yang fatal dari beberapa obat. Penghentian
pemberian antipsikotik merupakan hal yang penting karena tidak ada pengobatan yang terbukti efektif,
tetapi pendinginan/cooling, bromokriptin, dan dantrolen telah digunakan. Sindrom ini yang biasanya
terjadi selama 5–7 hari setelah penghentian pengobatan, mungkin terjadi setelah penggunaan sediaan
depot. Efek samping lainnya termasuk: mengantuk, agitasi, insomnia dan kegembiraan, konvulsi, pusing,
sakit kepala, bingung, gangguan gastro-intestinal, kongesti nasal, gejala anti muskarinik (seperti mulut
kering, konstipasi, micturition difficulty, dan pandangan kabur); gejala kardiovaskular (seperti hipotensi,
takikardi, dan aritmia); perubahan EKG (kasus kematian mendadak pernah terjadi); efek endrokin seperti
gangguan menstruasi, galaktorea, ginekomastia, impotensi, dan peningkatan berat badan; diskrasia
darah (seperti agranulositosis dan lekopenia), fotosensitisasi, sensitisasi kontak, dan ruam kulit serta
jaundice (termasuk kolestatik); kekeruhan kornea dan lensa mata, dan pigmentasi keunguan pada kulit,
kornea konjungtiva dan retina.

Dosis berlebihan: untuk keracunan fenotiazin dan senyawa sejenis lihat pada Penanganan Darurat pada
Keracunan.

KLASIFIKASI ANTIPSIKOSIS
Derivat fenotiazin dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar.

Kelompok 1: klorpromazin, levopromazin (metotrimeprazin), dan promazin, secara umum ditandai


dengan efek sedatif yang kuat, dan efek samping antimuskarinik sedang serta efek samping
ekstrapiramidal.

Kelompok 2: perisiazin dan pipotiazin, secara umum ditandai dengan sifat sedatif yang sedang, tetapi
efek samping efek esktrapiramidal yang lebih kecil dibanding kelompok 1 dan 3.

Kelompok 3: flufenazin, perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin, ditandai secara umum oleh efek
sedatif yang lebih sedikit, efek antimuskarinik yang kecil, tetapi efek ekstrapiramidal yang lebih besar
dibanding kelompok 1 dan 2.

Obat dari kelompok kimia yang lain cenderung menyerupai fenotiazin pada kelompok 3. Termasuk di
dalamnya butirofenon (benperidol dan haloperidol); difenilbutilpiperidin (pimozid), tioksantin
(flupentiksol dan zuklopentiksol) serta benzamid tersubtitusi (suliprid) Untuk rincian dari obat
antipsikotik terbaru amisulprid, klozapin, olanzapin, kuetiapin, risperidon, sertindol, dan zotepin, lihat
pada Antipsikosis atiptikal.

PEMILIHAN

Seperti diindikasikan di atas, berbagai obat berbeda pada efek utama dan efek sampingnya. Pemilihan
obat dipengaruhi oleh tingkat sedasi yang diinginkan, dan kerentanan pasien terhadap efek samping
ekstrapiramidal. Bagaimanapun, perbedaan antara obat antispikotik merupakan hal yang tidak begitu
penting dibanding variasi respon pasien terhadap obat; lebih lagi, toleransi terhadap efek sekunder
seperti sedasi biasa terjadi. Antipsikosis atipikal mungkin tepat jika efek samping ekstrapiramidal
menjadi pertimbangan utama yang diperhatikan (lihat pada Antipsikosis di bawah). Klozapin digunakan
pada skizofrenia jika antipiskosis lain tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi. Peresepan lebih dari satu
antipsikosis pada waktu yang bersamaan tidak direkomendasikan; karena dapat menimbulkan bahaya
dan tidak ada bukti nyata yang menyatakan efek samping dapat diminimalkan. Klorpromazin masih
digunakan secara luas meskipun efek samping yang luas terkait dengan penggunaan obat ini. Obat ini
memiliki efek sedasi dan berguna untuk mengendalikan pasien beringas (violent) tanpa menyebabkan
pasien kehilangan kesadaran. Keadaan agitasi pada lansia dapat dikendalikan tanpa menimbulkan
kebingungan, satu dosis 10 hingga 25 mg sekali atau dua kali sehari biasanya sudah memadai.

Flupentiksol dan pimozid efek sedatifnya lebih sedikit dibanding klorpromazin. Sulpirid pada dosis tinggi
dapat mengendalikan gejala positip florid, tetapi pada dosis yang lebih rendah memiliki efek jaga pada
pasien skizofrenia putus obat yang apatis. Flufenazin, haloperidol, dan trifluoperazin juga bermanfaat
namun penggunaannya dibatasi oleh tingginya kejadian gejala ekstrapiramidal. Haloperidol lebih disukai
karena mengendalikan psikosis hiperaktif dengan cepat. Obat ini menyebabkan hipotensi yang lebih
kecil dibanding klorpromazin dan oleh karena itu obat ini umum digunakan untuk agitasi dan
kegelisahan pada lansia, walaupun risiko terjadinya efek samping ekstrapiramidal tinggi.

Promazin tidak cukup aktif melalui oral untuk digunakan sebagai obat antipsikotik; obat ini telah
digunakan untuk mengatasi agitasi dan kegelisahan pada lansia (lihat kegunaan lainnya di bawah ini).

KEGUNAAN LAIN

Mual dan muntah (bab 4.6), khorea, tiks (bab 4.9.3), dan cegukan yang sulit diatasi (lihat pada
Klorpromazin HCl dan Haloperidol). Benperidol digunakan pada orang yang memiliki perilaku seksual
yang menyimpang tetapi efeknya ini belum diketahui dengan pasti; lihat juga pada bab 6.4.2 untuk
penggunaan siproteron asetat.

Agitasi psikomotor, agitasi dan kegelisahan pada lansia, sebaiknya diselidiki penyebab utamanya;
keadaan ini dapat diatasi dengan dosis rendah klorpromazin atau haloperidol jangka pendek.
Penggunaan promazin untuk agitasi dan kegelisahan pada lansia telah jarang dilakukan. Olanzapin dapat
efektif untuk agitasi dan kegelisahan pada lansia.

Kesetaraan dosis antipsikosis oral

Kesetaraan ini hanya dimaksudkan sebagai panduan umum; instruksi dosis individual juga sebaiknya
diperiksa; pasien sebaiknya dimonitor secara hati–hati terhadap setiap perubahan selama pengobatan.

Antipsikosis

Dosis per hari

Klorpromazin

100 mg
Klozapin

50 mg

Haloperidol

2–3 mg

Pimozid

2 mg

Risperidon

0.5–1 mg

Sulpirid

200 mg

Trifluoperazin

5 mg
Penting. Kesetaraan ini tidak boleh diekstrapolasikan melebihi dosis maksimum obat. Dosis yang lebih
tinggi membutuhkan titrasi yang sangat hati-hati oleh dokter spesialis dan kesetaraan dosis di atas ini
mungkin saja tidaklah sesuai

Dosis. Setelah periode awal stabilisasi, padakebanyakan pasien, dosis oral total selama satu hari
diberikan sebagai dosis tunggal.

Monografi:

ASENAPIN MALEAT

Indikasi:

pengobatan episode manik pada gangguan bipolar I.

Peringatan:

lansia dengan psikosis terkait demensia, neuroleptic malignant syndrome, kejang, pikiran atau tindakan
untuk bunuh diri, hipotensi ortostatik, tardive dyskinesia, hiperprolaktinemia, penyakit kardiovaskular
atau riwayat perpanjangan interval QT, hiperglikemia dan diabetes melitus, disfagia, gangguan
pengaturan suhu badan, demensia dengan Lewy Bodies, hati-hati pada gangguan fungsi hati sedang,
hati-hati pada gangguan fungsi ginjal dengan eGFR kurang dari 15 mL/min/1,73 m2, kehamilan,
disarankan tidak menyusui ketika meminum obat ini.

Interaksi:

hati-hati penggunaan bersama obat lainnya yang bekerja pada SSP, hindari konsumsi alkohol. Dapat
meningkatkan efek antihipertensi tertentu, dapat memberikan efek antagonis terhadap levodopa dan
memberikan efek agonis terhadap dopamin. Jika kombinasi ini diperlukan, gunakan dosis efektif
terendah dari masing-masing obat.
Kontraindikasi:

hipersensitivitas, anak di bawah 18 tahun, gangguan fungsi hati berat.

Efek Samping:

ansietas, mengantuk, peningkatan berat badan, peningkatan nafsu makan, distonia, akatisia, diskinesia,
parkinsonisme, sedasi, pusing, disgeusia, peningkatan alanin aminotransferase, kaku otot, kelelahan.

Dosis:

monoterapi, dewasa di atas 18 tahun, dosis awal 10 mg dua kali sehari, dosis dapat dikurangi hingga 5
mg dua kali sehari, sesuai respons klinis; terapi kombinasi, dewasa di atas 18 tahun, dosis awal 5 mg dua
kali sehari. Jika diperlukan dosis dapat ditingkatkan hingga 10 mg dua kali sehari, tergantung respons
klinis dan toleransi masing-masing pasien. Penggunaan tidak boleh ditelan langsung, namun diletakkan
di bawah lidah.

FLUFENAZIN HIDROKLORIDA

Indikasi:

lihat pada dosis.

Peringatan:

lihat Klorpromazin Hidroklorida.

Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin Hidroklorida.

Efek Samping:

lihat Klorpromazin Hidroklorida, akan tetapi kurang sedatif dan efek antimuskarinik atau hipotensif lebih
ringan. Efek ekstrapiramidal terutama distonia dan akatisia lebih sering. Hindari pada depresi.
Dosis:

skizofrenia dan psikosis lain, mania, dosis awal 2,5-10 mg/hari dalam 23 dosis bagi. Sesuaikan dengan
respons, sampai 20 mg/hari. Dosis di atas 20 mg/hari (LANSIA 10 mg) dengan perhatian khusus. ANAK:
tidak dianjurkan.Terapi tambahan jangka pendek pada ansietas berat, agitasi psikomotor, eksitasi, dan
perilaku kekerasan atau impulsif yang berbahaya: dosis awal 1 mg, 2 kali sehari, naikkan bila perlu
sampai 2 mg, 2 kali sehari. ANAK: tidak dianjurkan.

HALOPERIDOL

Indikasi:

lihat pada dosis.

Peringatan:

lihat Klorpromazin hidroklorida; hindari pada penyakit ganglia basalis.

Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin hidroklorida.

Efek Samping:

lihat Klorpromazin hidroklorida. Kurang sedatif, gejala antimuskarinik dan hipotensif lebih ringan. Jarang
terjadi fotosensitisasi dan pigmentasi. Gejala ekstrapiramidal terutama distonia dan akatisia lebih sering,
terutama pada pasien tirotoksik.

Dosis:

oral: Skizofrenia dan psikosis lain, mania, terapi tambahan jangka pendek untuk agitasi psikomotor,
eksitasi, perilaku kekerasan atau impulsif yang berbahaya: dosis awal 1,5-3 mg, 2-3 kali sehari atau 3-5
mg, 2-3 kali sehari pada kasus berat atau resisten. Pada skizofrenia resisten sampai 100 mg (jarang
sampai 120 mg) per hari mungkin diperlukan. Sesuaikan dengan respons, dosis pemeliharaan efektif
serendah mungkin (sampai serendah 5-10 mg/hari). LANSIA (atau debil) dosis awal setengah dosis
dewasa. ANAK: dosis awal 25-50 mcg/kg bb/hari dalam 2 dosis terbagi, maksimal 10 mg. Remaja sampai
30 mg/sehari. Terapi tambahan jangka pendek pada ansietas berat, DEWASA: 500 mcg, 2 kali sehari.
ANAK: tidak dianjurkan. Pada kasus cegukan yang sulit diobati: 1,5 mg, 3 kali sehari. Sesuaikan dengan
respons. ANAK tidak dianjurkan.Injeksi intramuskular 2-10 mg diberi tiap 4-8 jam sesuai respons (bila
perlu tiap jam) sampai total maksimum 60 mg. Kasus yang berat mungkin memerlukan dosis awal
sampai 30 mg. ANAK: tidak dianjurkan. Mual dan muntah: 0,5-2 mg.

KLORPROMAZIN HIDROKLORIDA

Indikasi:

lihat pada dosis; antiemetik, penggunaan prabedah.

Peringatan:

penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, penyakit pernapasan, parkinsonisme, epilepsi, infeksi akut,
hamil, menyusui, gangguan ginjal dan hati, riwayat sakit kuning, leukopenia, hipotiroidisme, miastenia
gravis, hipertrofi prostat, glaukoma sudut sempit, hati-hati pada lansia, hindari pemutusan obat tiba-
tiba, setelah injeksi intra muskular pasien sebaiknya tetap tiduran selama 30 menit. (Catatan: obat ini
dapat menyebabkan sensitisasi kontak. Hindari kontak langsung).

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (antipsikotik).

Kontraindikasi:

koma karena depresan SSP, depresi sumsum tulang, hindari pada feokromositoma, gangguan hati dan
ginjal berat.

Efek Samping:

gejala ekstra piramidal, tardive dyskinesia, hipotermia (kadang-kadang panas), mengantuk, apatis,
pucat, mimpi buruk, insomnia, depresi, agitasi, perubahan pola EEG, kejang, gejala anti muskarinik yang
terdiri atas: mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, kesulitan buang air kecil, dan pandangan kabur;
gejala kardiovaskular meliputi: hipotensi, takikardi dan aritmia. Terjadi perubahan EKG, pengaruh
endokrin seperti: gangguan menstruasi, galaktore, ginekomastia, impotensia, dan perubahan berat
badan. Terjadi reaksi sensitivitas seperti: agranulositosis, leukopenia, leukositosis dan anemia hemolitik,
fotosensitisasi, sensitisasi kontak dan ruam, sakit kuning dan perubahan fungsi hati, sindrom neuroleptik
maligna; sindrom menyerupai lupus eritematosus juga dilaporkan. Perubahan pada lensa dan kornea,
pigmentasi kulit, kornea, konjungtiva dan retina. Pigmentasi keunguan pada kulit, kornea, konjungtiva
dan retina. Injeksi intramuskular mungkin nyeri, menyebabkan hipotensi dan takikardi.

Dosis:

oral: skizofrenia dan psikosis lain, mania, tetapi tambahan jangka pendek pada ansietas berat, agitasi
psikomotor, eksitasi dan perilaku kekerasan dan impulsif yang berbahaya, dosis awal 25 mg 3 kali sehari
atau 75 mg malam hari yang disesuaikan dengan responsnya. Dosis penunjang biasanya 75-300 mg/hari
(akan tetapi sampai dosis 1 g/hari mungkin diperlukan pada kasus psikosis). LANSIA atau debil sepertiga
sampai setengah dosis dewasa. ANAK (skizoprenia dan autisme) 15 tahun 500 mcg/kg bb setiap 4-6 jam
(maksimal 40 mg/hari; 6-12 tahun sepertiga sampai setengah dosis dewasa (maksimal 75 mg/hari).
Cegukan yang sulit diobati: 25-50 mg 3-4 kali sehariInjeksi intramuskular yang dalam (untuk pengobatan
gejala akut) 25-50 mg setiap 6-8 jam. ANAK: 15 tahun 500 mcg/kg bb tiap 6-8 jam (maksimal 40 mg
sehari; 6-12 tahun 500 mcg/kg bb tiap 6-8 jam (maksimal 75 mg/hari).Rektal sebagai supositoria: 100 mg
tiap 6-8 jam.

LEVOMEPROMAZIN (METOTRIMEPRAZIN)

Indikasi:

lihat keterangan pada dosis.

Peringatan:

lihat keterangan di atas; pasien yang mendapatkan dosis besar, sebaiknya dalam kondisi berbaring.
Lansia, risiko hipotensi postural, tidak direkomendasikan untuk pasien rawat jalan dengan usia di atas 50
tahun kecuali risiko hipotensi dapat diatasi.

Kontraindikasi:

lihat keterangan di atas.

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; jarang, peningkatan laju endap darah.


Dosis:

Skizofrenia, oral, dosis awal 25-50 mg per hari dalam dosis terbagi yang dapat ditingkatkan jika perlu;
pasien rawat inap, dosis awal, 100-200 mg per hari dalam tiga dosis terbagi, dapat ditingkatkan hingga 1
gram,jika diperlukan; LANSIA, lihat peringatan.Terapi tambahan pada terapi paliatif (termasuk
penanganan nyeri dan rasa gelisah yang diakibatkannya, atau muntah), oral, 12,5-50 mg setiap 4-8 jam.
Lihat keterangan pada Terapi Paliatif. Injeksi intramuskular atau injeksi intravena (injeksi intravena
setelah diencerkan dengan volume yang sama menggunakan larutan natrium klorida 0,9%) 12,5-25 mg
(agitasi berat hingga 50 mg) setiap 6-8 jam jika diperlukan. Melalui infus subkutan (menggunakan jarum
suntik khusus), diencerkan dengan volume yang sama menggunakan natrium klorida 0,9%. Lihat
keterangan pada Terapi paliatif; Anak, 0,35 - 3 mg/kg bb/hari. (penggunaan masih jarang).

PALIPERIDON

Indikasi:

Skizofrenia.

Peringatan:

penggunaan dihentikan jika terjadi sindrom neuroleptik malignan (hipertermia, otot kaku, instabilitas
otonomik, kesadaran yang berkurang, dan kenaikan kadar fosfokinase kreatin serum, rabdomiolisis, dan
gagal ginjal akut), jika terjadi tardive dyskinesia (gerakan tanpa sadar dan ritmik, terutama pada lidah
dan/atau wajah), risiko meningkat pada pasien dengan riwayat penyakit parkinson dan demensia
dengan Lewy Bodies (DLB), gejala yang dapat dialami umumnya rasa bingung, obtundation, sering jatuh
karena ketidakstabilan postur fisik selain gejala ekstrapiramidal, menyebabkan hiperglikemia, monitor
kadar gula darah, menyebabkan hipotensi ortostatik, hati-hati penggunaan pada pasien dengan riwayat
penyakit kardiovaskular (misal: gagal jantung, infark miokard atau iskemia, abnormalitas konduksi),
penyakit serebrovaskular, atau kondisi yang menyebabkan pasien mengalami hipotensi (misal: dehidrasi,
hipovolemia dan pengobatan dengan obat antihipertensi), hati-hati penggunaan pada pasien dengan
riwayat kejang atau kondisi lain yang berpotensi menurunkan ambang kejang, pada lansia dengan
demensia, penggunaan paliperidon oral dapat menyebabkan priapism, hati-hati pada kondisi yang
menyebabkan peningkatan suhu tubuh, seperti menjalani aktivitas atau mengalami panas berlebih,
penggunaan bersamaan dengan antikolinergik, atau mengalami dehidrasi, menyebabkan efek
antiemesis, sehingga dapat menutupi gejala muntah pada kondisi overdosis akibat obat tertentu atau
dari kondisi seperti obstruksi intestinal, sindrom Reye, dan tumor otak, riwayat penyakit kardiovaskular
atau riwayat keluarga dengan perpanjangan QT, dan jika diberikan bersamaan dengan obat lain yang
dapat memperpanjang interval QT, gangguan fungsi ginjal diperlukan penyesuaian dosis, palperidon
palmitat tidak boleh diberikan untuk mengendalikan gelisah atau psikotik parah, peningkatan resiko
pada serebrovaskular ±3 kali lipat pada penderita demensia yang diberikan antipsikotik, risiko
tromboemboli vena, kehamilan, menyusui.

Interaksi:

memberikan efek antagonis pada efek levodopa dan agonis dopamin lain, kombinasi dengan obat yang
bekerja secara sentral dan alkohol dapat meningkatkan efek paliperidon pada sistem saraf pusat,
meningkatkan efek hipotensi ortostatik pada penggunaan bersamaan dengan obat lain yang memiliki
potensi tersebut, paliperidon merupakan metabolit aktif risperidon, hati-hati pada penggunaan
bersamaan keduanya.

Kontraindikasi:

Hipersensitif.

Efek Samping:

umum: infeksi saluran pernapasan atas, agitasi, insomnia, mimpi buruk, akatisia, pusing, gangguan
ekstrapiramidal, sakit kepala, somnolens/sedasi, hipertensi, nyeri abdomen atas, konstipasi, diare, mulut
kering, mual, muntah, sakit gigi, nyeri, astenia, letih, nyeri pada tempat injeksi, peningkatan berat
badan, hiperprolaktinemia, penurunan/peningkatan nafsu makan, gelisah, bingung, dizzines postural,
drooling, disartria, diskinesia, distonia, sindrom malignan neuroleptik, letargi, hipertonia,
distoniaoromandibular, parkinson, hiperaktif psikomotor, pingsan, oculogyric crisis, mata berputar,
penglihatan kabur, vertigo, bradikardi, bundle branch block, postural orthostatic tachycardia syndrome,
takikardi, hipotensi ortostatik, rasa tidak nyaman pada perut, hipersekresi saliva, pruritus, ruam,
amenore, disfungsi ereksi, galaktorea, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, disfungsi seksual,
peningkatan kolesterol, peningkatan gula darah; telah dilaporkan: reaksi anafilaktik, konvulsi grand mal,
tremor, atrioventricular block first degree, palpitasi, aritmia sinus, takikardi sinus, hipotensi, iskemia,
muscle rigidity, priapism, breast discharge, edema, EKG abnormal.

Dosis:

injeksi intramuskular deltoid: dosis awal 150 mg hari pertama dan 100 mg dosis kedua pada hari ke-8,
dosis dapat ditingkatkan atau diturunkan dengan rentang 25 sampai 150 mg tergantung tolerabilitas
individu, dosis pemeliharaan yang direkomendasikan 75 mg, setelah dosis kedua, obat dapat diberikan
melalui otot deltoid maupun gluteal. Jika dosis terlewat (1 bulan – 6 minggu) dosis sebelumnya harus
diberikan sesegera mungkin, dilanjutkan dengan injeksi tiap bulan. Jika dosis terlewat (> 6 minggu– 6
bulan) lanjutkan dengan dosis yangsama dimana pasien stabil dengan aturan 1) injeksi intramuskular
deltoid, dilanjutkan dengan 2) dosis yang sama intramuskular deltoid satu minggu setelahnya, dan 3)
dilanjutkan dengan dosis bulanan melalui deltoid maupun gluteal, jika dosis terlewat (> 6 bulan)
pemberian dimulai kembali dengan dosis awal, lanjut usia dengan fungsi ginjal normal (≥ 80 mL/menit)
sama dengan dosis orang dewasa dengan fungsi ginjal normal (lihat diatas), khasiat dan keamanan pada
anak dan remaja (< 18 tahun) belum diketahui pasti.

Gangguan fungsi ginjal: gangguan fungsi ginjal ringan (bersihan kreatinin ≥ 50 hingga < 80mL/menit):
dosis awal 100 mg pada hari pertama dan 75 mg seminggu setelahnya melalui intramuskular deltoid,
dilanjutkan dengan dosis 50 mg tiap bulan dapat melalui intramuskular deltoid maupun gluteal,
paliperidon palmitat tidak dianjurkan untuk pasien gangguan fungsi ginjal sedang hingga parah (bersihan
kreatinin < 50mL/menit).

PERFENAZIN

Indikasi:

lihat pada dosis; antiemetik.

Peringatan:

lihat pada Klorpromazin; Tidak dianjurkan pada agitasi dan gelisah pada lansia.

Kontraindikasi:

lihat pada Klorpromazin.

Efek Samping:

lihat pada Klorpromazin. Koma, diskrasia darah, depresi sumsum tulang, kerusakan hati berat. Dibanding
dengan klorpromazin, efek sedasi kurang, gejala ekstrapiramidal terutama distonia lebih sering,
terutama pada dosis tinggi.

Dosis:

Skizofrenia dan psikosis lain, mania, penggunaan jangka pendek sebagai terapi tambahan untuk ansietas
berat, agitasi psikomotor, eksitasi dan perilaku kekerasan atau impulsif berbahaya, dosis awal 4 mg, 3
kali sehari, dosis sesuaikan dengan respons. Maksimal 24 mg/hari. LANSIA seperempat sampai setengah
dosis dewasa. ANAK di bawah 14 tahun tidak dianjurkan.
PIMOZID

Indikasi:

lihat pada Dosis.

Peringatan:

lihat keterangan di atas. Dianjurkan untuk pemeriksaan EKG sebelum pengobatan. Direkomendasikan
pula, pasien yang menggunakan obat ini sebaiknya memiliki EKG tahunan (jika interval QT mengalami
perpanjangan, pengobatan harus ditinjau kembali dan pemutusan atau pengurangan dosis di bawah
pengawasan ketat). Pimozid tidak boleh diberikan dengan antipsikotik lainnya (termasuk sediaan depot),
antidepresan trisiklik atau obat lain yang memperpanjang interval QT, seperti anti malaria tertentu, obat
anti aritmia dan antihistamin tertentu dan jangan diberikan dengan obat yang menyebabkan gangguan
elektrolit (terutama diuretik); hati-hati penggunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi hati ;
penghentian obat secara bertahap; kehamilan (lihat Lampiran 4); pada pasien yang mengendarai motor
atau menjalankan mesin.

Interaksi:

Pimozid dapat mengganggu efek anti parkinson pada levodopa. Pimozid dimetabolisme terutama
melalui sistem enzim sitokrom P450 sub tipe 3A4 (CYP 3A4) dan lebih melalui sub tipe CYP 2D6. In vitro
data menunjukkan bahwa khususnya sistem enzim penghambat CYP3A4 yang kuat seperti antimikotik
azole, antiviral penghambat protease, antibiotik makrolid dan nefazodon dapat menghambat
metabolisme pimozid. Data in vitro menunjukkan bahwa kuinidin mengurangi ketergantungan CYP2D6
pada metabolisme pimozid. Penyimpangan kadar pimozid dapat meningkatkan resiko perpanjangan QT.
Obat-obat yang diketahui memperpanjang interval QT juga dikontraindikasikan. Contoh yang termasuk
anti aritmia tertentu; kelas I-A (kuinidin, disopiramid dan prokainamid) dan kelas III (amitriptilin),
tetrasiklik tertentu antidepresan (maprotilin), obat antipsikotik tertentu lainnya (fenotiazin dan
sertindol), antihistamin tertentu (astemizol dan terfenadin), cisaprid, bepridil, halofantrin dan
sparfloksasin. Minuman jus buah anggur dengan pimozid juga dihindari.

Kontraindikasi:

lihat keterangan di atas; riwayat menderita aritmia atau perpanjangan QT bawaan.

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; mengantuk; dilaporkan aritmia serius; glikosuria dan hiponatremia (jarang).
Dosis:

skizofrenia, dosis awal 2 mg per hari, dinaikkan sesuai dengan respons, bertahap 2-4 mg dengan interval
tidak kurang dari 1 minggu; dosis lazim 2-20 mg sehari; LANSIA: setengah dosis lazim awal. ANAK: tidak
dianjurkan.Psikosis hipokondria monosimtomatik, psikosis paranoid, dosis awal 4 mg per hari, dinaikkan
sesuai dengan respons, bertahap 2-4 mg dengan interval tidak kurang dari 1 minggu. Maksimal 16 mg
per hari. LANSIA: setengah dosis awal lazim. ANAK: tidak dianjurkan Mania, hipomania, terapi tambahan
jangka pendek untuk eksitasi dan agitasi psikomotor, dosis awal 10 mg/hari sesuaikan dosis dengan
respons, dinaikan 24 mg dengan interval tidak kurang dari 1 minggu, maksimal 20 mg/hari. LANSIA :
setengah dosis awal dewasa. ANAK: tidak dianjurkan.

PROKLORPERAZIN

Indikasi:

psikosis, psikoneurosis, tegang, agitasi. Lihat pada Dosis.

Peringatan:

lihat Klorpromazin; hindari pada anak (lihat antiemetik).

Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin.

Efek Samping:

lihat Klorpromazin, kurang sedatif, efek ekstrapiramidal terutama distonia lebih sering.

Dosis:

oral: skizofrenia dan psikosis lain, mania, proklorperazin maleat atau mesilat 12,5 mg, 2 kali sehari untuk
7 hari, sesuaikan dosis dengan interval mingguan sampai dosis lazim 75-100 mg/hari sesuai respons.
ANAK: tidak dianjurkan. Terapi tambahan jangka pendek untuk ansietas berat, 15-20 mg/hari dosis
terbagi, maksimal 40 mg/hari. ANAK: tidak dianjurkan.
SULPIRID

Indikasi:

skizofrenia.

Peringatan:

lihat Klorpromazin hidroklorida.

Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin hidroklorida.

Efek Samping:

lihat Klorpromazin hidroklorida, tapi kurang sedatif, tidak terkait dengan sakit kuning atau reaksi kulit;
porfiria, hindari pada menyusui, kurangi dosis (lebih baik hindari) pada gangguan faal ginjal.

Dosis:

skizofrenia: 200-400 mg, 2 kali sehari, maksimal 800 mg/hari pada pasien dengan predominan simtom
negatif, 2,4 g/hari pada pasien dengan predominan simtom positif. LANSIA dosis awal seperempat
sampai setengah dosis dewasa. ANAK di bawah 14 tahun tidak dianjurkan.

TIORIDAZIN

Indikasi:

lihat pada dosis.

Peringatan:

lihat Klorpromazin hidroklorida.


Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin hidroklorida.

Efek Samping:

lihat Klorpromazin hidroklorida, kurang sedatif. Gejala ekstrapiramidal dan hipotermi jarang terjadi,
lebih sering menyebabkan hipotensi dan mungkin meningkatkan risiko kardiotoksisitas dan
perpanjangan interval QT. Retinopati dengan pigmentasi jarang terjadi pada dosis tinggi. Dapat terjadi
disfungsi seksual, terutama ejakulasi retrograd; porfiria.

Dosis:

skizofrenia dan psikosis lain, mania: 150-600 mg/hari (dosis awal dalam dosis terbagi) maksimal 800
mg/hari (hanya pasien rawat inap) sampai 4 minggu. Terapi tambahan jangka pendek pada kasus agitasi
psikomotor, eksitasi, perilaku kekerasan atau impulsif berbahaya, 75-200 mg/hari. Terapi tambahan
jangka pendek pada ansietas berat, agitasi dan gelisah pada LANSIA : 30-100 mg/hari. ANAK (hanya pada
problem perilaku dan mental berat) 1-5 tahun: 1 mg/kg bb/hari, 5-12 tahun : 75-150 mg/hari (pada
kasus berat sampai 300 mg/hari).

TRIFLUOPERAZIN

Indikasi:

lihat pada dosis; antiemetik.

Peringatan:

lihat Klorpromazin hidroklorida; Hati-hati pada anak.

Interaksi:

Lampiran 1 (trifluoperazin).

Kontraindikasi:

lihat Klorpromazin hidroklorida.


Efek Samping:

lihat Klorpromazin hidroklorida, kurang sedatif. Lebih jarang terjadi hipotensi, hipotermia, dan efek
antimuskarinik. Gejala ekstrapiramidal, terutama reaksi distonia dan akatisia lebih sering terjadi.

Dosis:

Oral: kurangi dosis awal pada LANSIA sampai setengahnya. Skizofrenia dan psikosis lain, terapi
tambahan jangka pendek pada agitasi psikomotor, eksitasi, perilaku kekerasan atau impulsif berbahaya,
dosis awal 5 mg 2 kali sehari, naikkan 5 mg setelah 1 minggu, kemudian pada interval 3 hari, sesuai
respons. ANAK sampai 12 tahun, dosis awal sampai 5 mg/hari, dalam dosis terbagi, sesuaikan dengan
respons, umur dan berat badan. Terapi tambahan jangka pendek pada ansietas berat 2-4 mg/hari,
dalam dosis terbagi, naikkan bila perlu sampai 6 mg/hari. ANAK 3-5 tahun sampai 1mg/hari, 6-12 tahun
sampai 4 mg/hari.

ZIPRASIDON

Indikasi:

Untuk pengobatan skizofrenia, terkait psikosis, pencegahan kambuhan (relaps) dan untuk perawatan
(maintenance) peningkatan efek klinik selama terapi (continuation therapy).

Peringatan:

Kehamilan, gangguan fertilitas, hati?ati digunakan pada pasien dengan tumor pituitari, menyusui
(lampiran 5), tidak direkomendasikan untuk anak-anak di bawah 18 tahun.

Interaksi:

Ketokonazol, meningkatkan kadar ziprasidon sebesar 35-40%. Karbamazepin, menurunkan Cmax dari
ziprasidon. Hati-hati penggunaan bersamaan dengan obat yang bekerja secara sentral.

Efek Samping:

mengantuk (somnolence), waspada dalam mengendarai dan mengoperasikan mesin.


Dosis:

Dosis yang direkomendasikan adalah 40 mg, dua kali sehari dikonsumsi bersamaan dengan makanan.
Dosis total sehari dapat disesuaikan berdasarkan status klinik individu, hingga maksimum 80 mg, dua kali
sehari. Penyesuaian dosis jika dibutuhkan, tidak boleh kurang dari dari 2 hari. Dosis maksimum yang
direkomendasikan 80 mg, dua kali sehari, respons dapat diperoleh paling cepat pada hari ke-3
pengobatan.

Antipsikotik Atipikal

Injeksi Depo Antipsikosis

‹ 4.2 Psikosis dan Gangguan Sejeniske atasAntipsikotik Atipikal ›

DAFTAR ISI

IONI

PEDOMAN UMUM

BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA

BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER

BAB 3 SISTEM SALURAN NAPAS

BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT

4.1 Hipnosis dan Ansietas

4.2 Psikosis dan Gangguan Sejenis

4.2.1 Antipsikosis

Antipsikotik Atipikal

Injeksi Depo Antipsikosis

4.2.2 Antimanik

4.3 Depresi

4.4 Gangguan Pemusatan Perhatian

4.5 Obesitas
4.6 Mual dan vertigo

4.7 Analgesik

4.8. Epilepsi

4.9 Parkinsonisme dan Gangguan Sejenis

4.10 Ketergantungan

4.11. Demensia

BAB 5 INFEKSI

BAB 6 SISTEM ENDOKRIN

BAB 7 OBSTETRIK, GINEKOLOGIK, DAN SALURAN KEMIH

BAB 8 KEGANASAN DAN IMUNOSUPRESI

BAB 9 GIZI DAN DARAH

BAB 10 OTOT SKELET DAN SENDI

BAB 11 MATA

BAB 12 TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK

BAB 13 KULIT

BAB 14 PRODUK IMUNOLOGIS DAN VAKSIN

BAB 15 ANESTESIA

BAB 16 PENANGANAN DARURAT PADA KERACUNAN

BAB 17 MEDIA KONTRAS

BAB 18 RADIOFARMAKA

LAMPIRAN 1 : INTERAKSI OBAT

LAMPIRAN 2 : GAGAL HATI

LAMPIRAN 3 : GAGAL GINJAL

LAMPIRAN 4 : KEHAMILAN

LAMPIRAN 5 : MENYUSUI
LAMPIRAN 6 : PETUNJUK PRAKTIS PENGGUNAAN OBAT YANG BENAR

PENCARIAN

IONI

Monografi

Interaksi Obat

Gagal Hati

Gagal Ginjal

Kehamilan

Menyusui

Copyright © 2015, Pusat Informasi Obat Nasional, Badan POM RI

Depan

Beranda

Artikel»

Tenaga Kesehatan

Umum

Obat Baru

IONI

Info BPOM

Situs Terkait

Website POM

Obat Komparator

Anda di sini
Depan » IONI » BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT » 4.2 Psikosis dan Gangguan Sejenis » 4.2.1 Antipsikosis »
Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik atipikal seperti amisulprid, aripiprazol, klozapin, olanzapin, kuetiapin, risperidon dan zotepin
dapat ditoleransi lebih baik dan frekuensi gejala ekstrapiramidal lebih sedikit dibandingkan antipsikotik
generasi sebelumnya.

Aripiprazol, klozapin, kuetiapin, dan sertindol tidak menyebabkan peningkatan kadar prolaktin atau
hanya sedikit; jika menggantikan antipsikotik lain, pengurangan kadar prolaktin dapat meningkatkan
fertilitas. Klozapin digunakan untuk pengobatan skizofrenia hanya pada pasien yang tidak memberi
respon, atau intoleransi pada obat antipsikotik konvensional. Obat ini dapat menyebabkan
agranulositosis sehingga penggunaannya terbatas hanya pada pasien yang dipantau khusus (lihat
keterangan pada sediaan klozapin).

Sertindol digunakan kembali setelah terkait kejadian aritmia; obat ini digunakan terbatas pada pasien
dalam studi klinik dan pasien yang intoleransi minimal pada satu macam antipsikotik lain.

Rekomendasi untuk antipsikotik atipikal pada pasien skizofrenia:

Penggunaan antipsikotik atipikal (amisulprid, olanzapin, kuetiapin, risperidon, dan zotepin) dapat
dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk pasien yang baru didiagnosa skizofrenia.

Antipsikotik atipikal dipertimbangkan sebagai terapi pilihan untuk mana- ngani episoda skizofrenia akut
bila pasien tidak memungkinkan untuk diajak berdiskusi.

Antipsikotik atipikal dapat dipertimbangkan untuk pasien yang tidak tahan pada efek samping
antipsikotik konvensional.

Antipsikotik atipikal dapat dipertimbangkan untuk pasien kambuhan di mana gejala-gejala sebelumnya
tidak cukup terkontrol.

Penggunaan antipsikotik atipikal tidak diperlukan jika antipsikotik konvensional dapat mengontrol gejala
dan pasien dapat mentoleransi efek samping yang tidak diinginkan.

Klozapin dapat diberikan jika skizofrenia tidak cukup terkontrol. Walau sudah digunakan dua atau lebih
antipsikotik secara berselang (dimana salah satunya adalah antipsikotik atipik) masing-masing digunakan
paling tidak selama 6-8 minggu.
Peringatan dan Kontraindikasi.

Bila antipsikotik atipikal secara umum tidak menyebabkan pada perpanjangan interval QT, obat ini tetap
sebaiknya digunakan secara hati-hati bila diresepkan bersama obat lain yang dapat meningkatkan
interval QT. Antipsikotik atipikal sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien penyakit
kardiovaskular atau pasien dengan riwayat epilepsi, serta pada pasien lansia; interaksi Lampiran 1
(antipsikotik).

Antipsikotik atipikal dan stroke

Olanzapin dan risperidon dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke pada pasien lansia yang menderita
demensia. Disarankan:

Risperidon dan olanzapin tidak boleh digunakan untuk mengatasi gangguan tingkah laku pada demensia;

Digunakan pada pasien lansia yang menderita demensia dengan kondisi psikotik akut; risperidon hanya
diberikan untuk penggunaan jangka pendek dan di bawah pengawasan dokter spesialis; olanzapin tidak
digunakan pada psikosis akut;

Sebelum memberikan pengobatan pada pasien dengan riwayat stroke atau transient ischaemic attack
sebaiknya dipertimbangkan dengan hati-hati kemungkinan mengalami serangan
serebrovaskular;sebaiknya dipertimbangkan juga faktor risiko penyakit serebrovaskular (misal
hipertensi, diabetes melitus, merokok dan atrial fibrillation)

Mengemudi

Antipsikotik atipikal dapat mempengaruhi kemampuan melakukan tugas yang membutuhkan keahlian
dan konsentrasi (misal mengemudi); alkohol dapat meningkatkan pengaruh antipsikotik atipikal.

Penghentian obat

Penghentian penggunaan obat antipsikotik setelah pengobatan jangka panjang sebaiknya dilakukan
secara bertahap dengan pemantauan yang ketat untuk mencegah risiko sindrom putus obat akut atau
gejala kambuh yang terjadi secara cepat.

Efek samping

Efek samping antipsikotik atipikal adalah bertambahnya berat badan, pusing, hipotensi postural
(terutama selama titrasi dosis awal) yang dapat menyebabkan syncope atau refleks takikardi pada
beberapa pasien, gejala ekstrapiramidal (biasanya ringan, dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis
atau obat antimuskarinik), dan kadang-kadang tardive dyskinesia pada pemberian jangka panjang
(hentikan pemakaian obat bila terlihat gejala awal). Dapat terjadi hiperglikemia dan kadang-kadang
diabetes melitus, terutama pada penggunaan klozapin dan olanzapin; pemantauan berat badan dan
kadar glukosa dalam plasma dapat mengidentifikasi perkembangan hiperglikemia. Kadang- kadang
dilaporkan terjadi sindrom keganasan neuroleptik.

Monografi:

AMISULPRID

Indikasi:

skizofrenia akut dan kronis (dengan gejala positif dan/atau negatif).

Peringatan:

penyesuaian dosis pada insufisiensi ginjal, riwayat kejang, lansia; pada pasien penyakit parkinson, hanya
diberikan jika sangat diperlukan.

Interaksi:

tidak boleh dikombinasi dengan obat agonis dopaminergik (amantadin, apomorfin, bromokriptin,
kabergolin, entakapon, lisurid, pergolid, priribedil, pramipeksol, kuinagolid, ropinirol) kecuali pada
pasien penyakit Parkinson. Pada kondisi harus mengatasi gejala ekstrapiramidal akibat neuroleptik,
jangan diatasi dengan agonis dopaminergik tapi gunakan antikolinergik. Kombinasi dengan sultoprid,
meningkatkan risiko aritmia ventrikel, terutama torsades de pointes.

Kontraindikasi:

hipersensitif pada amilsuprid atau komponen obat, feokromositoma yang sedang menggunakan obat
antidopaminergik; kehamilan, menyusui; anak usia di bawah 15 tahun.
Efek Samping:

peningkatan kadar prolaktin serum sehingga menyebabkan galaktorea, amenorea, ginekomastia,


payudara membengkak, impotensi, frigiditas; berat badan meningkat, gejala ekstrapiramidal (tremor,
hipertonia, hipersalivasi, akatisia, hipokinesia); mengantuk, gangguan saluran cerna seperti konstipasi,
mual, muntah, mulut kering.

Dosis:

Oral, 50-300 mg/hari, Dosis disesuaikan dengan kebutuhan individual, dosis optimum 100 mg/hari.
Untuk gejala campuran (gejala positif dan negatif), awal terapi 400-800 mg/hari. Dosis maksimal 1200
mg. Jika dosis harian kurang dari 400 mg, diberikan sebagai dosis tunggal. Dan dosis dua kali sehari jika
lebih dari 400 mg.

ARIPIPRAZOL

Indikasi:

skizofrenia, gangguan bipolar (terapi tunggal atau terapi tambahan terhadap litium atau valproat untuk
episode mania akut akibat gangguan bipolar), terapi tambahan pada gangguan depresi mayor, iritabilitas
akibat gangguan autisme, agitasi akibat skizofrenia atau gangguan bipolar.

Peringatan:

lihat catatan di atas, riwayat kejang, geriatri (kurangi dosis awal), gangguan fungsi hati, kehamilan.

Interaksi:

Hati-hati jika diberikan dalam kombinasi dengan obat yang bekerja sentral dan alkohol. Dapat
meningkatkan efek antihipertensi tertentu karena sifatnya sebagai antagonis reseptor adrenergik alfa 1.

Kontraindikasi:

lihat catatan di atas, menyusui.


Efek Samping:

umum pada pasien dewasa: mual, muntah, konstipasi, sakit kepala, pusing, akatisia, ansietas, insomnia,
gelisah, penglihatan kabur, dispepsia, mulut kering, sakit gigi, rasa tidak nyampan pada perut, letih,
nyeri, kekakuan pada muskuloskeletal, nyeri ekstremitas, mialgia, spasme otot, sedasi, gangguan
ekstrapiramidal, tremor, somnolens, agitasi, insomnia, ansietas, gelisah, nyeri faringolaringeal, batuk;
umum pada anak dan remaja: somnolen, sakit kepala, muntah, gangguan ekstrapiramidal, letih,
peningkatan nafsu makan, insomnia, mual, nasofaringitis dan peningkatan berat badan; jarang:
takikardia, kejang; sangat jarang: salivasi meningkat, pankreatitis, nyeri dada, agitasi, gangguan bicara,
kekakuan, rhabdomiolisis.

Dosis:

skizofrenia: dewasa, oral 10 atau 15 mg/hari, peningkatan dosis tidak boleh dilakukan sebelum 2
minggu, dosis lebih tinggi tidak lebih efektif, remaja: 10 mg/hari, gangguan bipolar: dewasa 30 mg/hari,
anak dan remaja 10 mg/hari, gangguan depresi mayor: dewasa 2-15 mg/hari, pada anak dan remaja
belum ada data, agitasi terkait skizofrenia atau mania bipolar: injeksi intramuskular 9,75 mg.

KLOZAPIN

Indikasi:

skizofrenia (termasuk psikosis pada penyakit Parkinson) pada pasien yang tidak respon atau intoleran
dengan obat antipsikotik konvensional.

Peringatan:

lihat catatan di atas; monitor jumlah leukosit dan hitung jenis (lihat agranulositosis, di bawah); hentikan
bertahap neuroleptik konvensional sebelum memulai terapi; kelainan hati; kelainan ginjal; hipertrofi
prostat, glaukoma sudut tertutup.

PENGHENTIAN. Penghentian yang direncanakan kurangi dosis dalam 1-2 minggu untuk menghindari
risiko psikosis rebound. Jika penghentian tiba-tiba dibutuhkan, observasi pasien dengan seksama.

AGRANULOSITOSIS. Dilaporkan neutropenia dan agranulositosis berpotensi fatal. Jumlah leukosit dan
hitung jenis harus normal sebelum memulai terapi, monitor leukosit dan hitung jenis selama 18 minggu
setelah itu minimal tiap 2 minggu, dan jika klozapin tetap diberikan dan hasil hitung darah stabil selama
1 tahun maka pemeriksaan minimal tiap 4 minggu (dan 4 minggu setelah dihentikan); jika jumlah
leukosit <3000/mm3 atau jika hitung neutrofil absolute <1500/ mm3 hentikan sementara dan rujuk ke
hematolog. Hindari pemberian obat-obatan yang menekan leukopoesis; pasien harus segera
melaporkan gejala infeksi, terutama penyakit mirip influenza.

MIOKARDITIS DAN KARDIOMIOPATI

Dilaporkan miokarditis fatal (sering pada 2 bulan pertama) dan kardiomiopati. Disarankan:

Pemeriksaan fisik dan riwayat medis sebelum mulai menggunakan klozapin.

Jika dari pemeriksaan oleh spesialis ditemukan adanya abnormalitas jantung atau riwayat penyakit
jantung-pemberian klozapin hanya bila tidak ada penyakit jantung berat dan bila manfaat yang
diperoleh lebih besar daripada risikonya.

Takikardi menetap terutama 2 bulan pertama membutuhkan observasi seksama untuk miokarditis atau
kardiomiopati lainnya.

Jika dicurigai ada miokarditis atau kardiomiopati, pemberian klozapin harus dihentikan dan pasien
segera dievaluasi oleh dokter ahli jantung.

Penghentian menetap bila terjadi miokarditis atau kardiomiopati yang diinduksi oleh pemberian
klozapin.

OBSTRUKSI GASTROINTESTINAL. Dilaporkan reaksi yang menggambarkan obstruksi gastrointestinal.


Hati-hati bila memberikan klozapin bersamaan dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi
(contoh: obat antimuskarinik) atau riwayat penyakit kolon atau operasi usus besar. Monitor untuk
konstipasi dan berikan laksan bila perlu.

Kontraindikasi:

kelainan jantung berat (contoh: miokarditis; lihat Miokarditis dan Kardiomiopati, di atas); penyakit hati
aktif, kerusakan ginjal berat,; riwayat neutropenia atau agranulositosis; kelainan sumsum tulang; ileus
paralitik (lihat obstruksi gastrointestinal, di atas); psikosis alkoholik dan psikosis toksik; riwayat kolaps
sirkulasi; keracunan obat; koma atau depresi SSP berat; epilepsi tidak terkontrol; kehamilan dan
menyusui.

Efek Samping:

lihat catatan di atas; konstipasi (lihat obstruksi gastrointestinal, di atas), hipersalivasi, mual, muntah;
takikardia, perubahan pada EKG, hipertensi; mengantuk, pandangan kabur, sakit kepala, tremor,
rigiditas, gejala ekstrapiramidal, kejang, fatigue, gangguan pengaturan suhu, demam; hepatitis, jaundice
kolestatik, pankreatitis; inkontinensia urin dan retensi urin; agranulositosis (penting: lihat
Agranulositosis, di atas), leukopenia, eosinofilia, leukositosis; jarang: disfagia, kopars sirkulasi, aritmia,
miokarditis (penting: lihat Miokarditis dan Kardiomiopati, di atas), perikarditis, tromboemboli, bingung,
delirium, gelisah, agitasi, diabetes melitus; juga dilaporkan, obstruksi usus halus, ileus paralitik (lihat
obstruksi gastrointestinal, di atas), pembesaran kelenjar parotis, nekrosis heptatis fulminan,
trombositopenia, trombositemia hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, kardiomiopati, henti jantung,
henti nafas, nefritis interstisial, priapismus, reaksi kulit.

Dosis:

skizofrenia, DEWASA > 16 tahun (pengawasan medis ketat saat inisiasi/awal-risiko kolaps sehubungan
dengan hipotensi) 12,5 mg 1 atau 2 kali pada hari pertama lalu 25-50 mg pada hari ke 2 dan dinaikkan
bertahap (jika ditoleransi dengan baik) pada 25-50 mg sehari selama 14-21 hari hingga 300 mg sehari
dengan dosis terbagi (dosis malam lebih besar, hingga 200 mg sehari dapat dikonsumsi sebagai dosis
tunggal menjelang tidur); jika perlu dapat ditingkatkan hingga 50-100 mg sekali (dianjurkan)-dua kali
seminggu; dosis lazim 200-450 mg sehari (maksimal 900 mg sehari). CATATAN: memulai setelah interval
lebih dari 2 hari, 12,5 mg 1-2 kali sehari pada hari pertama (namun dosis dapat ditingkatkan lebih cepat
daripada saat inisasi)- perhatian ekstrim jika sebelumnya terjadi henti nafas atau henti jantung dengan
pemberian dosis awal. GERIATRI DAN KELOMPOK RISIKO KHUSUS. Pada geriatri, 12,5 mg sekali pada hari
pertama- penyesuaian berikutnya terbatas hingga 25 mg sehari.Psikosis pada penyakit Parkinson,
dewasa >16 tahun, 12,5 mg sebelum tidur malam ditingkatkan menjadi 12,5 mg hingga 2 kali seminggu
hingga 50 mg sebelum tidur malam; rentang dosis lazim 25-37,5 mg sebelum tidur malam; pengecualian,
dosis mungkin ditingkatkan hingga 12,5 mg tiap minggu sampai maksimal 100 mg sehari dalam 1-2 dosis
terbagi.

OLANZAPIN

Indikasi:

lihat pada Dosis.

Peringatan:

Lihat keterangan di atas (termasuk anjuran pada antipsikotik atipik dan stroke); hipertrofi prostat, ileus
paralitik, diabetes melitus (risiko eksaserbasi atau ketoasidosis), angka leukosit dan neutrofil rendah,
depresi sumsum tulang, kelainan hipereosinofil, myeloproliferatif, penyakit parkinson, gangguan fungsi
hati; gangguan fungsi ginjal (Lampiran 3); kehamilan (Lampiran 4).

Interaksi:
Lampiran 1 ( Antipsikotik). Depresi pernapasan dan sistem saraf pusat. Tekanan darah, kecepatan
pernapasan dan denyut nadi harus dimonitor selama paling tidak 4 jam setelah injeksi intramuskular,
terutama yang juga mendapat antipsikotik lain atau benzodiazepin.

Kontraindikasi:

glaukoma sudut sempit; wanita menyusui (Lampiran 5); untuk infeksi, infark miokardiak akut, angina tak
stabil; hipotensi atau bradikardi berat; sick sinus syndrome; pasca bedah jantung.

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; efek antimuskarinik ringan dan sementara; mengantuk, kesulitan bicara;
memburuknya penyakit parkinson; gaya berjalan abnormal, halusinasi, akathisia, asthenia, nafsu makan
meningkat, sutu tubuh meningkat, konsentrasi trigleserida meningkat, udem, hiperprolaktin (tetapi
manifestasi klinik jarang); inkontinensia urin; eosinofilia; hipotensi, bradikardi, fotosensitif; kadang
tromboembolisme, kejang, retensi urin, priapismus, leukopenia, neutropenia, trombositoenia,
rhabdomiolisis, ruam kulit, hepatitis, pankreatitis; dengan injeksi, reaksi lokasi injeksi: sinus pause,
hipoventilasi.

Dosis:

skizofrenia, kombinasi terapi mania, mencegah kambuhnya kelainan bipolar, oral, DEWASA : lebih dari
18 tahun, 10 mg sehari disesuaikan dengan dosis umumnya 5-20 mg per hari; dosis lebih dari 10 mg
sehari hanya setelah penilaian kembali; maksimal 20 mg sehari.Monoterapi untuk mania, oral, DEWASA:
lebih dari 18 tahun, 15 mg sehari disesuaikan dengan dosis umumnya 5-20 mg sehari; dosis lebih besar
dari 15 mg hanya setelah penilaian kembali; maksimal 20 mg sehari. Kontrol agitasi dan gangguan
perilaku pada skizofrenia atau mania, dengan injeksi intramuskular, DEWASA : lebih dari 18 tahun, dosis
awal 5-10 mg (dosis biasa 10 mg) sebagai dosis tunggal diikuti 5-10 mg setelah 2 jam apabila diperlukan;
LANSIA: dosis awal 2,5 -5 mg sebagai dosis tunggal diikuti 2,5-5 mg setelah 2 jam apabila diperlukan;
maksimal 3 kali pemberian injeksi setiap hari untuk 3 hari; dosis maksimal kombinasi sediaan oral dan
parenteral 20 mg Catatan: Jika ada satu atau lebih faktor yang dapat memperlambat metabolisme
(seperti jenis kelamin wanita, lansia dan bukan perokok) pertimbangkan dosis awal yang lebih rendah
dan peningkatan dosis sedikit demi sedikit.

QUETIAPIN

Indikasi:
skizofrenia; pengobatan episode mania yang disertai gangguan bipolar.

Peringatan:

lihat keterangan di atas; kehamilan (lihat Lampiran 4), gangguan hati, gangguan ginjal (lihat Lampiran 3),
penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan yang mengarah pada hipotensi, obat-obatan yang
diketahui dapat memperpanjang interval QT, terutama pada lansia.

Interaksi:

penggunaan quetiapin dengan kombinasi obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan alkohol harus
hati-hati.; farmakokinetik litium tidak berubah apabila digunakan bersama quetiapin; farmakokinetik
quetiapin tidak diubah secara signifikan jika diberikan bersama anti depresan impiramin (inhibitor
CYP2D6) atau fluoksetin (inhibitor CYP3A4 dan CYP2D6); Penggunaan bersama dengan inhibitor CYP3A4
seperti antijamur azol dan antibiotik golongan makrolid harus hati-hati.

Kontraindikasi:

menyusui (lihat Lampiran 5).

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; mengantuk, dispepsia, konstipasi, mulut kering, asthenia ringan, rhinitis,
takikardi; leukopenia, neutropenia dan kadang-kadang dilaporkan eosinofilia; peningkatan plasma
trigliserida; dan kadar kolesterol, penurunan kadar plasma hormon tiroid; kemungkinan perpanjangan
interval QT; udem (jarang); priapismus (sangat jarang).

Dosis:

skizoprenia 25 mg 2 kali sehari pada hari ke-1, 50 mg 2 kali sehari pada hari ke-2, 100 mg 2 kali sehari
pada hari ke-3, 150 mg 2 kali sehari pada hari ke-4, kemudian disesuaikan dengan respon, dosis lazim
300-450 mg per hari dalam dosis terbagi 2; maksimal 750 mg sehari; LANSIA: dosis awal 25 mg per hari
sebagai dosis tunggal, dinaikkan 25-50 mg per hari dalam dosis terbagi 2; ANAK dan REMAJA : tidak
dianjurkanMania, 50 mg 2 kali sehari pada hari ke-1, 100 mg 2 kali sehari pada hari ke-2, 150 mg 2 kali
sehari pada hari ke-3, 200 mg 2 kali sehari pada hari ke-4, kemudian disesuaikan dengan respons, secara
bertahap hingga 200 mg per hari sampai maksimal 800 mg per hari; dosis lazim 400-800 mg per hari
dalam dosis terbagi 2; LANSIA: dosis awal 25 mg per hari sebagai dosis tunggal, dinaikkan bertahap 25-
50 mg per hari dalam dosis terbagi 2; ANAK dan REMAJA tidak dianjurkanUntuk pasien yang menderita
gangguan hati dan ginjal, dosis awal 25 mg sehari. Dosis dapat ditingkatkan perhari dengan kenaikan 25-
50 mg sampai dosis efektif.

RISPERIDON

Indikasi:

psikosis akut dan kronik, mania.

Peringatan:

Lihat keterangan di atas (termasuk saran pada antipsikotik atipikal, dan stroke); penyakit parkinson,
kehamilan (lampiran 4), gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal (lampiran 3).

Interaksi:

lihat lampiran 1.

Kontraindikasi:

Menyusui (Lampiran 5).

Efek Samping:

Lihat keterangan di atas; insomnia, agitasi, ansietas, sakit kepala. Kurang umum terjadi: Mengantuk,
gangguan konsentrasi, lelah, pandangan kabur, konstipasi, mual dan muntah, dispepsia, nyeri
abdominal, hiperprolaktinemia (dengan galaktorea, gangguan menstruasi, ginekomastia), disfungsi
seksual, priapisme, inkontinensia urin, takikardi, hipertensi, udem, ruam kulit, rhinitis, trauma
serebrovaskular, dilaporkan juga terjadinya neutropenia dan trombositopenia. Jarang terjadi: kejang,
hiponatremia, pengaturan temperatur yang abnormal, serta epitaksis.

Dosis:

Psikosis, 2 mg dalam 1-2 dosis terbagi pada hari pertama, kemudian 4 mg dalam 1-2 dosis terbagi pada
hari kedua (titrasi dosis yang lebih lambat dibutuhkan dibutuhkan pada beberapa pasien). Dosis lazim 4-
6 mg per hari. Dosis di atas 10 mg per hari hanya jika manfaatnya lebih besar daripada risikonya
(maksimum 16 mg per hari). Lansia (atau pada gangguan fungsi hati atau ginjal) dosis awal 500 mcg dua
kali sehari dan naikkan bertahap sebesar 500 mcg hingga mencapai 1-2 mg, dua kali sehari. Anak-anak di
bawah 15 tahun tidak direkomendasikan. Mania, Dosis awal 2 mg, satu kali sehari, naikkan dosis jika
perlu secara bertahap sebanyak 1 mg per hari. Dosis lazim 1-6 mg per hari; lansia (atau pada gangguan
fungsi hati atau ginjal) dosis awal 50 mcg dua kali sehari, naikkan dosis bertahap sebesar 500 mcg dua
kali sehari hingga mencapai 1-2 mg dua kali sehari.

ZOTEPIN

Indikasi:

Skizofrenia.

Peringatan:

Lihat keterangan di atas; riwayat epilepsi pada pasien atau keluarganya; penghentian obat depresan SSP
yang diberikan secara bersamaan, QT interval prolongation- diperlukan pemeriksaan EKG (pada awal
terapi dan setiap peningkatan dosis) pada pasien memiliki risiko aritmia; monitor kadar elektrolit,
terutama pada awal terapi dan setiap peningkatan dosis; gangguan fungsi hati (lampiran 2); gangguan
fungsi ginjal (lampiran 3); hipertrofi prostat, retensi urin, cenderung untuk mengalami glaukoma sudut
sempit, ileus paralisis, kehamilan (lampiran 4).

Kontraindikasi:

Intoksikasi akut dengan depresan SSP, penggunaan bersamaan antipsikosis dosis tinggi; gout akut
(hindari selama 3 minggu setelah serangan membaik); riwayat nefrolitiasis; menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:

lihat keterangan di atas, konstipasi, dispepsia, mulut kering, takikardia, QT interval prolongation, rinitis,
agitasi, ansietas, depresi, astenia, sakit kepala, abnormalitas EEG, insomnia, mengantuk, hipertermia
atau hipotermia, salivasi meningkat, diskrasia darah (termasuk leukositosis, leukopenia), peningkatan
laju endap darah, penglihatan kabur, berkeringat; kurang sering, anoreksia, diare, mual dan muntah,
nyeri abdomen, hipertensi, sindrom mirip influenza, batuk, dispnea, rasa bingung, kejang, penurunan
libido, gangguan berbicara, vertigo, hiperprolaktinemia, anemia, trombositemia, edema, rasa haus,
impotensi, inkontinensia urin, artralgia, mialgia, konjungtivitis, akne, kulit kering, ruam kulit; jarang,
bradikardi, epistaksis, pembesaran abdomen, amnesia, ataksia, koma, delirium, hipaestesia, mioklonik,
trombositopenia, ejakulasi abnormal, retensi urin, menstruasi yang tidak teratur, miastenia, alopesia,
fotosensitivitas; sangat jarang, glaukoma sudut sempit.

Dosis:

Awal, 25 mg, tiga kali sehari, dapat ditingkatkan berdasarkan respons, dengan interval waktu 4 hari
hingga maksimal 100 mg tiga kali sehari; LANSIA, dosis awal 25 mg dua kali sehari ditingkatkan
berdasarkan respons, hingga maksimal 75 mg dua kali sehari; ANAK dan REMAJA di bawah 18 tahun,
tidak direkomendasikan.

‹ 4.2.1 Antipsikosiske atasInjeksi Depo Antipsikosis ›

DAFTAR ISI

IONI

PEDOMAN UMUM

BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA

BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER

BAB 3 SISTEM SALURAN NAPAS

BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT

4.1 Hipnosis dan Ansietas

4.2 Psikosis dan Gangguan Sejenis

4.2.1 Antipsikosis

Antipsikotik Atipikal

Injeksi Depo Antipsikosis

4.2.2 Antimanik

4.3 Depresi

4.4 Gangguan Pemusatan Perhatian

4.5 Obesitas

4.6 Mual dan vertigo


4.7 Analgesik

4.8. Epilepsi

4.9 Parkinsonisme dan Gangguan Sejenis

4.10 Ketergantungan

4.11. Demensia

BAB 5 INFEKSI

BAB 6 SISTEM ENDOKRIN

BAB 7 OBSTETRIK, GINEKOLOGIK, DAN SALURAN KEMIH

BAB 8 KEGANASAN DAN IMUNOSUPRESI

BAB 9 GIZI DAN DARAH

BAB 10 OTOT SKELET DAN SENDI

BAB 11 MATA

BAB 12 TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK

BAB 13 KULIT

BAB 14 PRODUK IMUNOLOGIS DAN VAKSIN

BAB 15 ANESTESIA

BAB 16 PENANGANAN DARURAT PADA KERACUNAN

BAB 17 MEDIA KONTRAS

BAB 18 RADIOFARMAKA

LAMPIRAN 1 : INTERAKSI OBAT

LAMPIRAN 2 : GAGAL HATI

LAMPIRAN 3 : GAGAL GINJAL

LAMPIRAN 4 : KEHAMILAN

LAMPIRAN 5 : MENYUSUI

LAMPIRAN 6 : PETUNJUK PRAKTIS PENGGUNAAN OBAT YANG BENAR


PENCARIAN

IONI

Monografi

Interaksi Obat

Gagal Hati

Gagal Ginjal

Kehamilan

Menyusui

Copyright © 2015, Pusat Informasi Obat Nasional, Badan POM RI

Gambaran Pola Peresepan dan Alasan Perubahan Terapi Pada Pasien Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa
RSCM

Alvina - Personal Name

No image available for this title

Ketersediaan

Kode EksemplarNo. Panggil Tipe Koleksi Lokasi Status Eksemplar

T13502fk T13502fk Tesis Perpustakaan FKUI Tersedia

Tautan: Tidak tersedia.

Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berpotensi berlangsung dalam jangka waktu
yang panjang dengan prognosis yang tidak terlalu baik, sehingga diperlukan tata laksana yang tepat guna
memperbaiki keluaran pada pasien-pasien dengan Skizofrenia. Penelitian ini berupaya untuk
mencermati pola peresepan dan alasan perubahan terapi pasien-pasien dengan Skizofrenia di Indonesia
khususnya di Poli Jiwa Dewasa RSCM dengan merujuk pada Konsensus Penatalaksanaan Gangguan
Skizofrenia 2011. Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain kohort
retrospektif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data mengenai pola peresepan sejak awal
pasien tersebut mendapatkan terapi farmakologi hingga waktu kunjungan yang ditentukan serta alasan
perubahan terapi farmakologi bila terjadi perubahan terapi. Penelitian ini menggunakan data rekam
medik pasienpasien dengan Skizofrenia di Poli Jiwa Dewasa RSCM yang melakukan kunjungan pada
bulan Juli 2013 hingga jumlah sampel terpenuhi. Hasil: Pada 53 (65,4%) rekam medik digunakan
antipsikotik monoterapi pada awal terapi. Untuk pengobatan awal, 79 (97,5%) pasien mendapatkan
jenis obat yang rasional dan 75 (92,6%) pasien mendapatkan dosis obat yang rasional. Pada pasien yang
awalnya mendapatkan monoterapi, sebanyak 14 (43,8%) pasien kemudian mengalami switching ke
antipsikotik lain dan sebanyak 18 (56,3%) pasien kemudian mendapatkan antipsikotik kombinasi. Pada
pasien yang awalnya mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi, sebanyak 7 (26,9%) pasien kemudian
mengalami switching, 4 (15,4%) pasien mendapatkan penambahan jenis obat, 1 (3,8%) pasien
mengalami pengurangan jenis obat dan 14 (53,8%) pasien mendapatkan antipsikotik monoterapi. Alasan
perubahan terapi terbanyak sulit dianalisis karena sebanyak 441 dari 780 (56.5%) perubahan terapi tidak
tercantum alasannya. Simpulan: Penggunaan kombinasi antipsikotik pada awal pengobatan pasien
dengan Skizofrenia masih didapatkan di Poli Jiwa Dewasa walaupun tidak direkomendasikan oleh
panduan tata laksana yang ada. Ketidaklengkapan pencatatan rekam medik menjadikan analisis
rasionalitas terapi dan alasan perubahan terapi sulit dilakukan.

Kata kunci: pola peresepan, alasan perubahan terapi, Skizofrenia

Background: Schizophrenia is a mental disorder that could potentially progress to a long term disorder
with a not very good prognosis, so it requires an adequate treatment in order to improve the outcome.
This study aims to examine the prescribing pattern and the reason of therapy changing of patients with
Schizophrenia in Indonesia especially in Poli Jiwa Dewasa RSCM regarding the Konsensus
Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia 2011. Methodology: This study is a descriptive study with
retrospective cohort design that conducted by collecting data on prescribing pattern since the beginning
of patients’ pharmacological treatment until the determined time of visit and the reason of therapy
changing. This study uses the medical record data of patients with Schizophrenia in Poli Jiwa Dewasa
RSCM who visited in July 2013 until the number of samples provided. Result: In the beginning of
Schizophrenia treatment, monotherapy was used in 53 (65,4%) medical records. For the initial
treatment, 79 (97,5%) patients received the rational drug and 75 (92,6%) patients received the rational
drug dosage. In patients who received monotherapy as initial treatment, 14 (43,8%) patients underwent
switching to another antipsychotic and 18 (56,3%) patients received antipsychotic combination. In
patients who received antipsychotic combination as initial treatment, 7 (26,9%) patients underwent
switching to another antipsychotic, 4 (15,4%) patients received added number of antipsychotic,1 (3,8%)
patient received reduced number of antipsychotic and 14 (53,8%) patients received monotherapy. The
analysis of reason of therapy changing was difficult to conduct since there was no reason of therapy
changing written in 441 of 780 (56.5%) antipsychotic treatment changing. Conclusion: Antipsychotic
combination as initial treatment in patient with Schizophrenia is still found in Poli Jiwa Dewasa
eventhough the use of antipsychotic combination is not recommended by the available guidelines.
Incomplete documentation in medical record makes the treatment rationality analysis difficult.

Keyword: prescription pattern, reason of medication changing, Schizophrenia


Informasi Detil

Judul Seri

No. Panggil

T13502fk

Penerbit

Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Kedokteran Jiwa : Jakarta., 2013

Deskripsi Fisik

xiii, 64 hlm., lamp. 2

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

Klasifikasi

NONE

Tipe Isi

-
Tipe Media

Tipe Pembawa

Edisi

Subyek

Info Detil Spesifik

Pernyataan Tanggungjawab

Alvina

Tidak tersedia versi lain

Komentar

Latar belakang. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik
pada ODGJ. ODGJ yang taat dengan pengobatan baik taat akan medikasi maupun perjanjian kontrol
dapat mengalami pengurangan gejala psikopatologi, penurunan tingkat admisi rumah sakit, dan
menurunnya tingkat kekambuhan gejala. Banyak faktor yang memengaruhi ketaatan pengobatan yang
berasal dari ODGJ dan keluarga, tenaga kesehatan, dan layanan kesehatan. Faktor layanan kesehatan
yang dimaksud adalah kompleksitas regimen obat, pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada layanan
kesehatan. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo
cenderung kompleks dan jenis obat yang terdapat pada rumah sakit ini lebih bervariasi dibandingkan
fasilitas kesehatan lain. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor layanan
kesehatan dengan ketaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Metode. Penelitian
ini menggunakan pendekatan mixed methods, pendekatan kuantitatif ditujukan untuk melihat
hubungan regimen pengobatan dengan ketaatan pengobatan dan kualitatif untuk melihat pengaruh
pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto
Mangunkusumo. Desain yang digunakan untuk metode kuantitatif adalah repeated measures, data
ketaatan pengobatan ODGJ diambil tiap bulan dengan menggunakan instrumen self-report MARS
selama 3 bulan berturut-turut dan jenis obat yang digunakan diambil dari catatan rekam medis.
Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan rerata skor MARS dan rerata skor MARS per domain antara
regimen obat I (antipsikotik tunggal maupun kombinasi antipsikotik) dan regimen obat II (antipsikotik
kombinasi dengan psikotropika lainnya). Penelitian kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode
wawancara mendalam dengan subjek yang sudah menyelesaikan pengambilan data MARS selama 3
bulan. Data yang diperoleh kemudian dibuat transkrip dan dimasukkan ke dalam matriks. Matriks yang
dibuat kemudian divalidasi dengan metode triangulasi isi, metode, maupun investigator. Hasil. Pada
penelitian kuantitatif ditemukan ODGJ dengan regimen obat II dalam 3 bulan cenderung memiliki skor
MARS lebih tinggi dibandingkan dengan regimen I meskipun secara statistik tidak bermakna. Akan
tetapi, pada analisis domain MARS terdapat hubungan bermakna antara skor sikap bulan II dan III pada
regimen obat I (p=0,03). Pada penelitian kualitatif ditemukan bahwa biaya pengobatan, biaya
transportasi, biaya kebutuhan non medis, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke layanan
kesehatan dapatmemengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Simpulan. Regimen pengobatan memengaruhi sikap ODGJ pengobatan. Demikian pula biaya untuk
pengobatan, dan non-pengobatan, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke fasilitas kesehatan
memengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ.

Kata Kunci: ketaatan pengobatan, regimen obat, orang dengan gangguan jiwa, layanan kesehatan,
pembiayaan kesehatan, akses kesehatan, sistem rujukan kesehatan

Background. Adherence to treatment is an important factor to provide good outcomes in people living
with mental disorder (PLWMD). PLWMD who are adherent to both medication and doctor’s
appointment can experience a reduction in psychopathological symptoms, decreased hospital
admissions, and decreased rates of symptom recurrence. Factors influencing adherence to treatment
originate from PLWMD and their families, health workers, and health services. The health service factors
that can affect adherence include the complexity of drug regimen, cost, access, and the referral system
of health services. As a national referral hospital, case at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo tends
to be complex and the types of drugs available at this hospital are more varied than other health
facilities. This research was conducted to determine the relationship between health service factors and
medication adherence in RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Method. This study used a mixed-
methods approach. A quantitative approach aimed at seeing the relationship between treatment
regimens and adherence and a qualitative approach to see the effect of cost, access, and referral
systems on PLWMD treatment adherence at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. The design used
for the quantitative method was repeated measurements. Treatment adherence was taken monthly
using the MARS self-report instrument for 3 consecutive months and the types of drugs used were taken
from medical records. Furthermore, a comparative analysis of the MARS score’s mean per domain was
carried out between drug regimen I (single antipsychotic or combination antipsychotic) and drug
regimen II (combination antipsychotic with other psychotropic drugs). Qualitative research in this study
used indepth interviews with subjects who have completed the MARS data collection for 3 months. The
obtained data were transcribed and entered into a matrix. The matrix was validated using the content,
method, and investigator triangulation. Results. In the quantitative study, it was found that PLWMD with
drug regimen II within 3 months tended to have a higher MARS score than regimen I although it was not
statistically significant. However, in the MARS domain analysis, there was a significant relationship
between month II and III attitude scores on drug regimen I (p = 0.03). In qualitative research, it was
found that medical costs, transportation costs, costs for nonmedical needs, access, distance, time,
motivation, and refusal to health services could affect compliance with PLWMD treatment at RSUP
Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Conclusion. The treatment regimen influences attitudes towards
treatment of PLWMD. Likewise, costs for treatment and non-treatment, access, distance, time,
motivation, and refusal to go to health facilities affect compliance of PLWMD.

Keyword: treatment adherence, drug regimen, people living with mental disorder, helath service, health
cost, health access, health referral system

Informasi Detil

Judul Seri

No. Panggil

T20244fk

Penerbit

Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Kedokteran Jiwa : Jakarta., 2020
Deskripsi Fisik

xvi, 103 hlm. ; 21 x 30 cm

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

Klasifikasi

NONE

Tipe Isi

Tipe Media

Tipe Pembawa

Edisi

-
Subyek

treatment adherence

drug regimen

people living with mental disorder

helath service

health cost

health access

health referral system

Info Detil Spesifik

Pernyataan Tanggungjawab

Rayinda Raumanen

Tidak tersedia versi lain

Komentar

Anda mungkin juga menyukai