Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Mengenai rahasia
bank merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka menegakkan
kepatuhan pajak sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. Pada prinsipnya rahasia bank
memang merupakan perlindungan yang diberikan oleh lembaga perbankan kepada tiap
nasabahnya. tetapi untuk kepentingan perpajakan pemeriksaan terhadap keterangan wajib
pajak dapat dilakukan apabila terhadap wajib pajak tersebut diduga melakukan pelanggaran
pajak. Oleh karena itu, sangat diperlukan ketentuan-ketentuan perbankan yang
mempermudah akses pemeriksa pajak dalam mendapatkan informasi wajib pajak nakal.
Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus tetap memperhatikan kepentingan
lembaga perbankan, sehingga dunia perbankan tidak dirugikan dan tetap dapat berkiprah
sesuai jalurnya. Disamping itu, ketentuan tersebut juga harus menekan seminimal mungkin
kemungkinan penyalahgunaan ketentuan penerobosan rahasia bank oleh aparat pajak itu
sendiri. 1
Maka ada beberapa kewajiban utama yang harus dilakukan oleh pihak bank tersebut.
Adapun kewajiban bank terhadap nasabahnya menurut Ronny Sautma Hotma Bako, S.H.,
M.H., dalam bukunya Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan
Deposito adalah sebagai berikut : 2
1
http://core.ac.uk/download/files/335/11060883.pdf
2
Ronny Sautma Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito,
Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Kerahasiaan informasi tentang nasabah sebenarnya lahir lebih banyak untuk
kepentingan bank itu sendiri. Rahasia bank (bank secrecy) dianggap sebagai “imbalan” dari
kepercayaan yang diberikan oleh nasabah demi kelangsungan hidup sebuah bank. Ini berarti
bahwa bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan
nasabahnya (duty of confidentiality). Sepatutnyalah bank menerapkan ketentuan rahasia bank
tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab. Rahasia bank menjadi menarik untuk
dibicarakan tatkala keberadaannya ada dalam persimpangan antara “tugasnya” dalam
melindungi nasabah dan dihadapkannya “tugas” tersebut dengan kepentingan diluar bidang
perbankan, dalam hal ini kepentingan dibidang perpajakan. Adanya ketentuan mengenai
rahasia bank kemudian menimbulkan kesan bahwa bank dapat saja dengan sengaja
menyembunyikan keadaan keuangan nasabah baik perseorangan atau perusahaan yang
sedang menjadi sorotan khususnya dalam hal kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban
pembayaran pajak.
Pada dasarnya ketentuan rahasia bank dalam dunia perbankan tidak bertentangan
dengan ketentuan perpajakan. Artinya bahwa ketentuan mengenai rahasia bank yang berlaku
adalah ketentuan rahasia bank yang diperlunak bagi alasan-alasan tertentu yang diizinkan
oleh undang-undang. Pelaksanaan prinsip menjaga kerahasiaan bank disatu sisi memang
merupakan suatu perlindungan yang harus diberikan oleh pihak bank kepada nasabahnya. Di
sisi lain perlindungan tersebut harus dikecualikan manakala seorang wajib pajak yang
menjadi nasabah dari suatu bank tertentu diduga melakukan pelanggaran terhadap kepatuhan
pajak dalam memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak.
Prinsip Kehati-hatian Bank
Dapat dilihat pengertian prinsip kehati-hatian dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) huruf b
PBI Nomor: 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset
Bagi Bank Umum, yaitu: ”Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku antara lain tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan
prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko”. Pada prinsipnya prinsip kehati-hatian itu tidak
dapat didefenisikan secara menyeluruh karena ruang lingkupnya sangat luas. Namun, dapat
dipahami bahwa sebenarnya prinsip ini menegaskan bagi bank agar bank wajib waspada
untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank.
3
Chatamarrasjid Ais, Loc. cit
bersifat self regulatory banking yang mewajibkan bank menyusun ketentuan internal
mengenai pedoman manajemen risiko.4
Berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian pada bank atau yang dikenal dengan
prudential banking dalam rangka mengatur lalu lintas kegiatan perbankan, salah satu upaya
agar prinsip tersebut dapat diterapkan Basel Committee dalam konteks penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) atau KYCP yaitu sebuah prinsip yang
diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan dan sudah menjadi kewajiban bank untuk
menerapkannya.5 Basel Committee merekomendasikan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai
salah satu bentuk prudential regulation di lingkungan industri perbankan. Saat ini Prinsip
Mengenal Nasabah diubah menjadi Customers Due Diligence yang sebenarnya bermuara
pada salah satu prinsip terpenting dan menjadi kewajiban bank yaitu prinsip kehati-hatian
(prudential principle).
Ruang lingkup aturan prinsip kehati-hatian untuk pembinaan dalam arti sempit meliputi
persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya,
batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap deposito maupun posisi luar
negeri, rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet),
transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit. 6
4
http://www.scribd.com/doc/24402673/Makalah-Manajemen-Risiko-RBS-Sertifikasi-Perbankan, diakses
tanggal 26 Januari 2016. Oleh: Scribd RBS, “Manajemen Risiko Perbankan dan Peranan Risk-Based Supervision
dalam Penilaian Efektivitas Penerapan Manajemen Risiko Perbankan”.
5
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrance dan Library, 2005),
hal. 43
6
Anwar Nasution, Op. cit, hal. 2
Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pelayanan jasa-jasa perbankan,
menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit
dinilai akan menurunkan kredit bermasalah Non Performing Loan) atau kerugian bagi bank
itu sendiri baik kerugian dalam kategori besar maupun kecil. Oleh karena itu, dalam
memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit
bermasalah. Pemberian kredit dari bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk
mendapatkan keuntungan, maka bank dalam menyalurkan simpanan masyarakat kepada
nasabahnya dalam bentuk kredit harus sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan kedua
belah pihak.Hal tersebut menunjukkan, debiktur dan kreditur perlu memperhatikan faktor
kemampuan dan kemauan debitur, sehingga tersimpul prinsip kehati-hatian dengan menjaga
unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan dari suatu kredit tersebut. 7
7
Iswi Hariyani, Op. cit, hal. 10
Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan
sumber dalam arti materil. Sumber hukum dalam arti materil adalah sumber hukum yang
menentukan isi hukum itu sendiri dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan
peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain
sebagainya. Sumber hukum materil baru diperhatikan jika dianggap perlu diketahui asal usul
hukum. Sumber hukum dalam arti formal adalah tempat ditemukannya ketentuan hukum dan
perundang-undangan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis8
3)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas devisa dan Sitem Nilai
Tukar;
6)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah undang-Undang lain yang mengatur
tentang hal lain;
8
Ibid.,hlm 5.
9)Faillis sement Verordening (Peraturan Kepailitan) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 1998 yang disahkan
menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998;
14)Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Asas Perbankan
Sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa
asas. Asas tersebut adalah asas hukum.Di dalam asas hukum maka terdapat norma hukum.
Norma hukum itu lahir dengan sendirinya, ia lahir dilatar belakangi oleh dasar-dasar filosofi
tertentu. Itulah yang dinamakan asas hukum, dan asas hukum dimaksud merupakan jantung
peraturan hukum, karena ia merupakan jantung atau jembatan suatu peraturan hukum yang
menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dan hukum positif dengan cita-cita sosial
dan pandangan etis masyarakat. Jadi suatu asas adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal
yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum yang konkret dan bersifat umum atau
abstrak. Mengenai asas perbankan yang dianut di Indonesia dapat diketahui bahwa,
perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
mengunakan prinsip kehati-hatian. Menurut penjelasan resminya yang dimaksud dengan
demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk terciptanya sistem perbankan Indonesia yang sehat dalam kegiatan perbankan,
maka berikut akan diuraikan asas hukum perbankan secara lebih rinci. Asas tersebut yaitu :
Asas Kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang
menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan.Prinsip kerahasian bank diatur
dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut
Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa
pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk
kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan
Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk
kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah,
dan dalam rangka tukar menukar informasi bank.9
c) Asas Kehati-hatian (Prudential Principle) Asas Kehati-hatian adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan
dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.Tujuan
dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan
usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang
berlaku di dunia perbankan.
9
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm 17
DAFTAR PUSTAKA
Imaniyati Sri Neni. 2010. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama
Nasution Bismar. 2005. Rezim Anti Money Laundering di Indonesia. Bandung: Books
Terrance dan Library
Scribd RBS , 2016. Manajemen Risiko Perbankan dan Peranan Risk-Based Supervision
dalam Penilaian Efektivitas Penerapan Manajemen Risiko Perbankan.
http://www.scribd.com/doc/24402673/Makalah-Manajemen-Risiko-RBS-Sertifikasi-
Perbankan
Pdf. http://core.ac.uk/download/files/335/11060883
Bako Hotma Sautama Ronny. 1995. Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan dan Deposito. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
TUGAS PERBANKAN
Nama :
Husnia Candra Pangesti 312012037