Anda di halaman 1dari 6

I’ROB DALAM PERSFEKTIF IBRAHIM ANIS

Bilqis Aimmata Yahdun


Bahasa dan Sastra Arab- Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 200301110038 @student.uin-malang.ac.id

La Ode Zhafran
Bahasa dan Sastra Arab- Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 200301110107@student.uin-malang.ac.id

Ayu Indra Amalia


Bahasa dan Sastra Arab- Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 200301110196@student.uin-malang.ac.id

Rochma Aminatuz Zahro


Bahasa dan Sastra Arab- Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 200301110207@student.uin-malang.ac.id

Abstract
The purpose of this discussion is (1) to add insight into the importance of
grammar in Arabic, (2) to comment on I'rob in grammar in the perspective of Ibrahim
Anis. Conclusion: (1) in his work Ihya 'al-Nahwi Ibrahim Musthafa explains that the sign
of I'rab is only two; dhammah and kasrah. Dhammah serves as a marker of the word
that is marked as the subject (isnad), while kasrah as a marker that the word in question
is as the word majmu '(idhafah). (2) He rejects fathah as a sign of I'rab, according to him
light by the Arabs in communication and has no influence whatsoever in determining
meaning. (3) While the concept of I'rab found by Ibrahim Anis completely denies the
function of I'rab, in his view the sign of I'rab has no role in determining the meaning of
words, in his study of I'rab can be seen the concept of I'rab in Ibrahim Anis is one of the
changes of the sign I'rab does not have any function in determining the meaning of a
word. The dignity of I'rab such as dhammah, fathah or kasrah does not play a role in
determining that the word that bears it is in the position of fa'il.
Keywords:concept I'rob, Ibrahim Anis.

Abstrak
Adapun tujuan pembahasan ini adalah (1)untuk menambah wawasan tentang
pentingnya ilmu nahwu dalam Bahasa Arab, (2)untuk mengulas tentang I’rob dalam
Ilmu nahwu dalam perspektif Ibrahim Anis. Kesimpulan: (1)dalam karyanya Ihya’ al-
Nahwi Ibrahim Musthafa menjelaskan bahwa tanda I’rab itu hanya dua; dhammah dan
kasrah. Dhammah berfungsi sebagai penanda bawa kata yang ditandai berkedudukan
sebagai subjek (isnad), sedangkan kasrah sebagai penanda bahwa kata yang dimaksud
berkedudukan sebagai kata majmu’ (idhafah).(2)Ia menolak fathah sebagai tanda I’rab,
menurutnya fathah hanyalah baris yang dianggap ringan oleh orang Arab dalam
komunikasi dan tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam menentukan makna.
(3)Sementara konsep I’rab yang dikemukan Ibrahim Anis menafikan sama sekali fungsi
I’rab, dalam pandangannya tanda I’rab tidak memiliki peran apapun dalam
menentukan makna kata, Dalam kajiannya tentang I’rab bisa dilihat konsep I’rab dalam
pandangan Ibrahim Anis salah satunya perubahan tanda I’rab tidak memiliki fungsi
apa-apa dalam menentukan sebuah makna kata. Harkat I’rab seperti dhammah, fathah
atau kasrah tidaklah berperan menentukan bahwa kata yang menyandangnya
berkedudukan sebagai fa’il.

Kata Kunci: konsep I’rob, Ibrahim Anis.


Pendahuluan

Bahasa Arab merupakan salah satu mata pelajaran yang menempati posisi yang
penting dalam dunia pendidikan. Begitu juga dalam pemikiran Ibnu Khaldun. Menurutnya
“Bahasa adalah kecakapan” (Ismail, 2010:117). Salah satu karakteristik Bahasa Arab yang
sangat menjadi perhatian dan dijaga oleh bangsa Arab ketika berkomunikasi dengan I’rob
(Hidayat, 2002:47). I’rob adalah istilah yang mengacu pada perubahan bentuk akhir kata,
baik perubahan harokat (baris) atau perubahan harf (huruf akhir) (Al-Fakihi, 2009: 7).
I’rob menjadi salah satu standar tolak ukur bagi bangsa Arab untuk menilai fasih tidaknya
seseorang dalam berbahasa, adalah sebuah aib bila terdengar seseorang berkomunikasi
lalu tidak fasih (lahn) dalam komunikasinya (Musthafa, Ibrahim, 1992:9).

Ilmu nahwu merupakan salah satu bagian dari ilmu tata Bahasa Arab untuk
mengetahui jabatan kata dalam kalimat dan bentuk huruf atau harakat akhir suatu kata.
Dalam al Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun memandang “Ilmu Nahwu” sebagai integral
dari seluruh pilar linguistic Arab (Ulum al-Lisan al Arab) yang terdiri dari empat cabang
ilmu, yakni: Ilmu Bahasa (‘Ilm al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwu), Ilmu Bayan (‘Ilm
al Bayan) dan Ilmu Sastra (‘Ilm al Adab) (Khaldun, 1958:453). Di dalam ilmu nahwu pasti
ada kaitannya dengan I’rob, Para ulama’ Nahwu berbeda-beda dalam mendefinisikan
i’rab. Tetapi perbedaan pendapat tersebut antara ulama’ satu dengaan yang lainnya
mengarah kepada maksud yang sama. Salah satu pendapat yaitu Menurut Syekh Zaini
Dahlan dalam kitab Matan al-Jurumiyah menjelaskan, bahwa i’rab adalah perubahan
keadaan akhir kata karena perbedaan beberapa amil (penyebab perubahan akhir kata)
yang menyertainya, baik secara lafal maupun perkiraan (Dahlan, tanpa tahun:6).

Oleh karena itu mempelajari ilmu nahwu khususnya dalam memahami I’rob
sangat penting karena dalam konteks ilmu tata Bahasa Arab hal ini akan membantu
seseorang di dalam memahami perubahan akhir kata dalam Bahasa Arab. Dari sinilah
penulis tergugah untuk mengangkatnya judul tersebut, sebuah ilmu yang telah banyak
mengalami perkembangan makna dari masa ke masa. Dalam penulisan ini kami akan
membedah dan menjabarkan bagaimana pandangan Ibrahim Anis tentang I’rob.

A. I’rab Dalam Persfektif Ibrahim Anis

Ibrahim Anis sendiri merupakan salah seorang Ahli bahasa Arab kotemporer yang
memiliki perhatian besar terhadap kajian Ilmu Nahwu. Gagasan dan pemikirannya dalam
bidang ilmu Nahwu Ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Asrar al-Lughah. Dalam
bukunya Asrar al-Lughah Ibrahim Anis menegaskan bahwa karyanya itu bukan
dimaksudkan merombak ushul (prinsip-prinsip) atau Manhaj (metode) pengkajian Ilmu
Nahwu, tapi tulisannya itu dimaksudkan untuk menganalisa secara ilmiah sejarah irab,
periode kemunculannya dan prinsip-prinsipnya.

Dalam bukunya Asrar al-Lughah Ibrahim Anis menegaskan bahwa karyanya itu
bukan dimaksudkan merombak ushul (prinsip-prinsip) atau Manhaj (metode) pengkajian
Ilmu Nahwu, tapi tulisannya itu dimaksudkan untuk menganalisa secara ilmiah sejarah
I’rab, periode kemunculannya dan prinsip-prinsipnya. Ibrahim Anis mendasarkan
kajiannya pada sumber-sumber sejarah terkait dengan kemunculan I’rab, terutama
catatan-catatan sejarah yang berkaitan tentang maraknya praktek kesalahan berbahasa
(lahn) dalam membaca al-Quran di kalangan orang-orang non Arab. Ia sendiri banyak
meragukan dan terkesan memandang sebelah mata pada riwayat-riwayat yang
menceritakan sejarah kemunculan I’rab al-Quran berkaitan dengan lahn yang
berkembang di kalangan non Arab, dimatanya semuanya itu tak lebih dari kisah-kisah
drama yang menghanyutkan. Menurutnya riwayat-riwayat itu tak lain ciptaan para ahli
Nahwu, yang dikemas secara cerdas oleh para pujangga tentang fenomena bahasa yang
berkembang di tengah-tengah Jazirah Arab.

Sepeninggal rosul mulai banyak penduduk dari Persi, Romawi, dan india yang
berbondong-bondong masuk islam, hal ini secara tidak langsung mereka harus belajar
Bahasa Arab untuk mempelajari Al-Qur’an . Mulai pada masa inilah muncul gejaa-gejala
penyimpangan terhadap kaidah-kaidah Bahasa Arab yaitu dalam hal I’rob. Bagi mereka
menentukan I’rab setiap akhir kata dalam kalimat yang berbeda-beda tidaklah mudah
karena sangat berbeda dengan bahasa ibu yang mengenal I’rab .Di kalanga orang-orang
awam kesalahan dalam mengucapkan I’rab atau Lahn sudah menjadi hal yang biasa dan
terjadi diberbagai tempat .

Seperti telah menjadi kesepakatan dikalangan ulama Nahwu bahwa perubahan


tanda I’rab yang terdapat dalam bahasa Arab berfungsi untuk membedakan makna dalam
kalimat. Perbedaan yang muncul adalah pada ketidak setujuan sebagian ulama Nahwu
tentang peranan ‘amil dalam menentukan perubahan tanda I’rab, sejarah mencatat
bahwa terdapat seorang tokoh Nahwu bernama Abu Ali Muhammad bin al-Mustanir yang
populer dengan panggilan Qutrub (w. 206 H) yang menafikan peranan I’rab dalam
menentukan makna. Tentu pandangan ini banyak mendapatkan tantangan, seorang
ulama Nahwu lain Abu al-Qasim al-Zajaji dalam karyanya al-Idhah Fi Ilal al-I’rab
menguraikan: bahwa ketika sebuah kata (isim) teletak dalam sebuah kalimat, sangat sulit
untuk menentukan fungsinya bila tanda I’rab-nya seragam dengan isim yang lain yang
sama-sama terdapat dalam kalimat. Dalam kasus ini Ia membuat contoh kalimat ‫عمرا زيد‬
‫ ضرب‬tanda Rafa’ pada kata ‫ زيد‬berfungsi sebagai penanda bahwa kata tersebut subjek
(pelaku), dan tanda nasab berfungsi penanda bahwa kata tersebut berfungsi sebagai
objek (penderita).

Dalam sejarah perkembangan ilmu Nahwu, Qutrub adalah tokoh yang


pandangannya berbeda sama sekali dengan pendapat yang lazim dianut para ulama
Nahwu. Seperti di singgung di atas bahwa para ulama Nahwu secara mayoritas
berpandangan bahwa I’rab dalam bahasa Arab itu berfungsi sebagai penanda makna,
berbalik dengan pandangan umum itu Qutrub berpandangan bahwa tanda-tanda I’rab
tidak ada kaitannya dengan makna. Ibrahim Anis dalam paparannya tentang I’rab
berpandangan, bahwa kajian I’rab muncul didasarkan atas dominasi para ahli Nahwu
terhadap para penyair dan sastrawan. Dampaknya adalah dominasi pemikiran mereka
dalam tata bahasa Arab. Tidak banyak ulama seperti Ibnu Madha’ atau Ibrahim Musthafa
yang melakukan kritik terhadap pemikiran Nahwu yang dianggap sudah mapan dan tidak
perlu diganggu gugat lagi. Dalam kajiannya tentang I’rab bisa dilihat konsep I’rab dalam
pandangan Ibrahim Anis:

Pertama: perubahan tanda I’rab tidak memiliki fungsi apa-apa dalam menentukan
sebuah makna kata. Harkat I’rab seperti dhammah, fathah atau kasrah tidaklah berperan
menentukan bahwa kata yang menyandangnya berkedudukan sebagai fail, maful atau
mudhaf ilaih. Kedua: menurut Ibrahim Anis terdapat dua faktor yang berkontribusi
terhindarnya dari pertemuan dua huruf sakin. Faktor pertama yaitu di utamakannya
huruf atas baris tertentu, seperti diprioritaskannya huruf halaq dari baris fathah. Ketiga:
para ahli Nahwu Klasik meyakini fungsi harkat-harkat I’rab sebagai penanda sebuah
makna, atas dasar inilah menjadi sebuah kemestian dalam bahasa Arab untuk
memberikan harkat atau tanda I’rab sesuai kaidah-kaidah yang sudah mereka tetapkan.
Simpulan

Dalam sejarah perkembangan ilmu Nahwu, konsep I’rab sebagai ciri


khas yang dimiliki bahasa Arab telah diterima secara umum oleh para ulama.
Para ulama Nahwu secara umum meyakini bahwa perubahan tanda i‟rab itu
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang mereka istilahkan dengan ‘amil,
perubahan I’rab yang terjadi dalam bahasa Arab itu memiliki fungsi dalam
menentukan jabatan dan makna kata. Dimasa klasik ada dua tokoh yang
mengkritik tajam beberapa bagian dari konsep I’rab yaitu: Abu Ali Muhammad
bin al-Mustanir yang populer dengan panggilan Qutrub dan Ibnu Madha’ al-
Qurtubi. Pemikiran kedua tokoh ini dimasa kotemporer kembali diadopsi
beberapa ulama, terutama ulama pembaharu yang menginginkan pendekatan
baru dalam pengkajian ilmu Nahwu agar pembelajarannya lebih praktis dan
mudah. Di antara ulama yang mengadopsi pemikiran kedua tokoh ini salah
satunya adalah Ibrahim Anis.

Pemikiran Ibrahim Anis sangat bersesuaian dengan pemikiran ulama


Nahwu klasik Qutrub, dimana keduanya menolak konsep I’rab yang dianut
mayoritas ulama Nahwu. Ketika mayoritas ulama Nahwu berkeyakinan bahwa
perubahan tanda I’rab yang terdapat dalam bahasa Arab berfungsi untuk
menentukan makna dan jabatan sebuah kata, disaat bersamaan Ibrahim Anis
menganggap para ulama Nahwu telah melakukan kekeliruan dalam
menafsirkan perubahan I’rab yang terjadi dalam komunikasi orang-orang Arab.
Dalam pandangan Ibrahim Anis perubahan I’rab dalam bahasa Arab tidak
memiliki fungsi apapun dalam menentukan makna kata, yang jadi penentu
adalah posisi kata itu dalam struktur kalimat. Adapun harkat dhammah, fathah
atau kasrah dimunculkan hanya bertujuan untuk menghindari pertemuan dua
huruf yang mati sehingga pengucapannya lebih mudah.
Daftar Pustaka

Anis, Ibrahim, Asrar al-Lughah,Kairo,Dar al-Ma'rifat, 1968

Ibnu Malik, Abu Abdullah Badruddin Ibnu Imam Muhammad, Syarh Alfiah Ibnu
Malik, Beirut, Dar Shadir, 1979

Mustaha, Ibrahim, Mu'jam al-Wasith, Istanbul, aktabah Islamiyah, 1972

Kojin, Perkembangan Ilmu Nahwu Melalui Metode Kritik, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Tulungagung, 2013

D.Hidayat, Al-Balaghah li Al-Jami’ wa al-Syawahid min Kalam al-Badi’ (Jakarta:


PT. Karya Toha Putra)

Abdullah bin Ahmad Al-Fakihi, Syarah al-Fawakih al-Janiyah ‘ala Mutammimah


al-Jurumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma‟arif. t.t)

Musthafa, Ibrahim, Ihya’ Al-Nahwi ( Kairo, 1992)

Ibnu Khaldun, Al Muqoddimah, (Beirut:Dar Al-Fikr, t.t)

Anda mungkin juga menyukai