Anda di halaman 1dari 24

Public Choice Theory dan Aplikasinya dalam Sistem Legislasi Indonesia

Pramudya A. Oktavinanda1

Abstrak

Makalah ini memperkenalkan konsep-konsep dasar Public Choice Theory dan berbagai

aplikasinya dalam konteks hukum Indonesia. Public Choice Theory adalah suatu teori hukum

yang menggabungkan pendekatan ilmu politik dan ekonomi dalam menganalisis perilaku

legislator, hakim dan pemerintah dalam suatu sistem hukum dan politik. Dalam Public Choice

Theory, para anggota legislator/pemain politik diasumsikan sebagai makhluk rasional yang

berpotensi untuk senantiasa mengutamakan kepentingannya sendiri (self interested) dengan

jalan memaksimalkan manfaat atau utilitas yang dapat ia terima sesuai dengan kondisi sumber

daya yang tersedia. Melalui asumsi dasar tersebut, Public Choice Theory kemudian menyusun

berbagai model yang dapat digunakan untuk memperkirakan pilihan-pilihan yang akan diambil

oleh legislator sesuai dengan institusi politik dimana mereka berada. Penulis berpendapat

bahwa penggunaan Public Choice Theory akan sangat membantu dalam mengembangkan

institusi politik (dalam hal ini DPR dan proses legislasi) di Indonesia. Alih-alih bertumpu pada

pendekatan normatif yang menafikan sifat dan perilaku dasar manusia, Public Choice

Theory ingin menunjukkan bahwa penyusunan suatu sistem legislasi yang rasional dan

bermanfaat bagi masyarakat dapat saja dilakukan sepanjang memperhitungkan dengan seksama

bagaimana legislator akan bertindak dan mengambil keputusan, hal mana dapat dilakukan
1
Advokat dan kandidat PhD di University of Chicago Law School. Untuk pertanyaan dan komentar lebih lanjut,
penulis dapat dihubungi melalui email di pramoctavy@uchicago.edu

1
misalnya melalui penyusunan mekanisme check and balance yang tepat antara berbagai

lembaga negara serta mekanisme pengambilan keputusan antar fraksi dalam penyusunan

peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Public Choice Theory, Law and Economics, Legislasi, Hubungan Antar Lembaga

Negara, Penyusunan Undang-Undang

A. Pendahuluan

Kita sering membaca atau mendengar berita mengenai partai politik yang mengalihkan

dukungannya secara tiba-tiba dari satu kandidat ke kandidat yang lain dalam proses pemilihan

pemimpin politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Salah satu contoh menarik adalah

ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada awalnya sempat menunjukkan dukungan

kepada pasangan Jokowi-Ahok (setelah mengalami kekalahan di putaran pertama), tiba-tiba

berbalik arah mendukung pasangan Foke-Nara pada Pilkada DKI Jakarta 2012.2

Lebih menarik lagi, PKS mengambil keputusan tersebut walaupun beberapa konstituen PKS

sendiri mengatakan bahwa kemungkinan pasangan Jokowi-Ahok memenangkan Pilkada DKI

lebih besar ketimbang Foke-Nara3 Belum lagi fakta bahwa di putaran pertama, PKS juga cukup

2
Dapat dilihat di artikel-artikel sebagai berikut: Bisnis Indonesia: “Jokowi Temui Hidayat, Pertanda Pilkada
Putaran Kedua”, 11 Juli 2012 (http://www.bisnis.com/articles/pilkada-dki-jokowi-temui-hidayat-pertanda-pilkada-
dua-putaran), Tempo: “PKS Mendukung Foke, Apa Kata Hidayat Soal Jokowi?”, 11 Agustus 2012
(http://www.tempo.co/read/news/2012/08/11/228422860/PKS-Dukung-Foke-Apa-Kata-Hidayat-Soal-Jokowi), dan
Viva News: "Konstituten Menengah Atas PKS Dukung Jokowi", 13 Agustus 2012
(http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).

Disarikan dari artikel Tribun News: “Pendiri PKS Prediksi Jokowi-Basuki Menang Pertarungan”, 17
3

September 2012 (http://m.tribunnews.com/2012/09/17/pendiri-pks-prediksi-jokowi-basuki-menang-pertarungan).

2
gencar menyerang kebijakan-kebijakan Foke sebagai petahana (dan serangannya pun cukup

pedas).4

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah partai politik besar yang

dipenuhi dengan kader-kader terdidik dapat membuat keputusan untuk mendukung calon

pemimpin yang merupakan mantan lawan mereka dan kemungkinan kalahnya cukup tinggi?

Mungkinkah PKS sebagai partai politik yang sudah cukup lama malang melintang di dunia

politik Indonesia membuat keputusan politik secara sembarangan tanpa mempertimbangkan

berbagai aspek? Seharusnya tidak. Jika suatu partai politik membuat aksi politik tanpa memiliki

pertimbangan yang matang, dapat dipastikan bahwa karir politik partai tersebut sudah lama

berakhir dikarenakan mismanajemen dalam pengambilan keputusan.

Dengan demikian, walau terlihat seperti sikap yang tidak konsisten, pilihan PKS seharusnya

bukanlah tanpa perhitungan. Bagi PKS, nampaknya mendukung pasangan Foke-Nara masih tetap

lebih bermanfaat bagi PKS dibandingkan harus mendukung pasangan Jokowi-Ahok.

Sebagaimana dikatakan Anis Matta, pilihan tersebut diambil karena basis massa terbesar PKS

mendukung Foke dan karena ada kontrak politik tertentu dengan Foke yang pada prinsipnya

menguntungkan PKS.5 Secara tidak langsung, hal ini berarti fokus PKS bukan memenangkan

pilkada, fokusnya justru menyenangkan konstituennya yang mungkin lebih menguntungkan

secara jangka panjang bagi PKS.

4
Berita lengkapnya dapat dilihat dalam Merdeka.com: "Dulu Sering Gempur Foke, Kini Hidayat Berbalik", 11
Agustus 2012 (http://www.merdeka.com/jakarta/dulu-sering-gempur-foke-kini-hidayat-berbalik.html).

5
Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Viva News: "Konstituten Menengah Atas PKS Dukung Jokowi", 13
Agustus 2012 (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).

3
Dari contoh singkat di atas, terlihat bahwa pertimbangan untung rugi memiliki peranan yang

sangat besar bagi suatu partai politik dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan

mengusung nilai-nilai normatif tertentu. Pertanyaan utamanya, mengapa demikian dan apakah

hal tersebut wajar?

B. Public Choice Theory

Pertimbangan untung rugi oleh para pelaku politik sesungguhnya merupakan hal yang wajar dan

sesuai dengan asumsi dasar dari Public Choice Theory sebagaimana akan dibahas di bawah ini.

Public Choice Theory secara sederhana bisa diartikan sebagai disiplin ilmu yang menganalisis

ilmu politik dengan kerangka berpikir ilmu ekonomi untuk kemudian diaplikasikan ke dalam

ilmu hukum (Stearns dan Zywicki, 2009: 1). Public Choice Theory dapat dikatakan sebagai

perkembangan lebih lanjut dari aliran Hukum & Ekonomi (Law & Economics), yang

memanfaatkan analisis ekonomi dalam menjawab tiga pertanyaan besar mengenai: (i) definisi

hukum; (ii) asal-muasal hukum dan cara hukum memperoleh keberlakuannya; dan (iii) kriteria

hukum yang baik (Mercuro dan Medema, 2006: 5).

Apabila Law & Economics menggunakan pendekatan ekonomi secara langsung dalam

menganalisis berbagai doktrin hukum, Public Choice Theory menerapkan pendekatan ekonomi

ke dalam institusi politik yang relevan sebelum kemudian digunakan untuk menganalisis doktrin

hukum (Stearns dan Zywicki, 2009: 2)

Asumsi ekonomi dasar yang digunakan dalam Public Choice Theory pada prinsipnya sama

dengan Law & Economics, yaitu bahwa setiap manusia, termasuk agen politik, bersifat rasional,

dalam artian setiap individu akan bertindak untuk memaksimalkan manfaat/utilitas pribadi

4
dengan meminimalisir biaya yang harus ia keluarkan (Stearns dan Zywicki, 2009: 5, dan Posner,

2011: 3 ). Dengan kata lain, setiap manusia akan memperhitungkan untung rugi dari

tindakannya.

Perhitungan untung rugi tersebut itu tidak selalu berarti setiap manusia secara sadar melakukan

perhitungan yang rumit dan mendalam untuk setiap tindakannya, melainkan dapat pula

diperhitungkan dalam bawah sadarnya (Becker, 1990: 7). Selain itu, tidak pula berarti setiap

manusia diharuskan memiliki informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan (Posner,

2011,. 4).

Untuk mencegah salah paham, penggunaan ilmu ekonomi yang dimaksud dalam makalah ini

tidak melulu berhubungan dengan uang, melainkan ekonomi dalam pengertian umum, yaitu

mengenai alokasi sumber daya yang terbatas secara efisien (Becker, 2008: 1).

Asumsi dasar mengenai rasionalitas ini merupakan dasar kerangka berpikir yang perlu dipahami

secara benar untuk memahami Public Choice Theory. Dengan menggunakan asumsi dasar

tersebut, kita dapat melihat kasus PKS di atas sebagai suatu gambaran umum bahwa para agen

politik terus berusaha untuk memaksimalkan manfaat (yang bisa berupa tambahan suara ketika

pemilu, keuntungan pribadi) dengan meminimalisir biaya yang dikeluarkan (bisa berupa reputasi,

ataupun biaya dalam arti umum).

C. Sistem Politik dan Ilmu Ekonomi

Dengan menggunakan prinsip rasionalitas di atas, kita memahami bahwa setiap agen politik

ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Salah satunya bisa berupa dalam bentuk

5
memperoleh kekuasaan politik yang sebesar-besarnya (Tullock dan Buchanan, 2004: 22). Untuk

itu, tentunya dibutuhkan suatu "mata uang", voting atau hak suara.

Dalam suatu sistem demokrasi, voting adalah mata uang yang sangat berharga bagi para agen

politik. Untuk bisa masuk dalam lembaga legislatif, dibutuhkan hak suara dari masyarakat

umum. Dalam lembaga legislatif pun hak suara menjadi penentu apakah suatu undang-undang

atau kebijakan akan berlaku secara sah dan mengikat masyarakat.

Tetapi proses pengambilan suara tidak lah semudah itu. Para agen politik harus bersaing keras

untuk memperoleh suara terbanyak di masyarakat dan menghadapi permasalahan yang lebih

rumit lagi ketika mencoba mengambil keputusan secara kolektif.

Bayangkan sebuah skenario fiktif dari pemilihan ketua RT 07 yang terdiri dari 3 calon yaitu

Amin, Bahri, dan Chairul. Pemilihan ketua RT ini ternyata hanya dihadiri oleh 3 orang warga

yaitu, Daud, Effendi, dan Fakhri. Ketika hendak memilih, masing-masing warga memiliki

gambaran tentang calon yang dipilih dan membuat prioritas pilihan dari masing-masing kandidat.

Daud memilih Amin sebagai pilihan pertamanya, lalu Bahri sebagai pilihan kedua, dan Chairul

sebagai pilihan terakhir.

Effendi memiliki pemikiran lain, bagi Effendi, Bahri adalah calon ketua RT ideal, kemudian

diikuti oleh Chairul dan Amin sebagai pilihan terakhir.

Sedangkan Fakhri adalah pendukung setia Chairul. Bagi Fakhri, memilih Chairul lebih baik

daripada Bahri dan Amin, walaupun kalau terpaksa, Amin tetap lebih baik daripada Bahri bagi

Fakhri.

6
Skema di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:

1. Daud: Amin > Bahri > Chairul

2. Effendi: Bahri > Chairul > Amin

3. Fakhri: Chairul > Amin> Bahri

Setelah memilih (pemilihan ketua RT ini menggunakan sistem demokrasi di mana suara

mayoritas menang), panitia tidak bisa memutuskan siapa pemenang dalam pemilihan ketua RT

ini, dikarenakan masing-masing kandidat memperoleh satu suara.

Panitia pun mengusut dan mempertanyakan secara musyawarah mufakat, dan Daud, Effendi, dan

Fakhri pun berdebat soal siapa pemimpin yang paling tepat menurut mereka. tetapi dengan posisi

sebagaimana disebutkan di atas, panitia tidak berhasil menemukan titik temu di antara para

pemilih. Mengapa?

Karena apabila disarikan, ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Amin lebih baik dari Bahri,

ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Bahri lebih baik dari Chairul, dan ada 2 pendukung

yang menyatakan bahwa Chairul lebih baik dari Amin. Dengan sendirinya telah terjadi suatu

lingkaran setan.

Prinsip dasar konsistensi preferensi adalah apabila opsi A lebih diutamakan dari opsi B (A > B),

dan opsi B lebih diutamakan dari opsi C (B > C), maka seharusnya opsi A juga lebih diutamakan

dari opsi C (A > C). Namun hal ini tidak terjadi dalam kasus pemilihan ketua RT di atas karena

sekalipun A > B dan B > C, tetapi C > A.

7
Contoh di atas adalah salah satu pembahasan utama dalam Public Choice Theory, yaitu Voting

Paradox (Levmore, 1999: 260-261). Voting Paradox adalah situasi dimana masing-masing

pemilih berada dalam lingkaran yang tidak berujung diakibatkan dari sistem voting itu sendiri.

Formalisasi teori ini sudah ada dari abad ke-18 dan diajukan pertama kali oleh Marquis de

Condorcet. Oleh karena itu Voting Paradox juga dikenal sebagai Condorcet’s Paradox (Katz,

2011: 4-5).

Mari kita kembali kepada pemilihan ketua RT 07. Dikarenakan ricuh dari pemilihan tersebut,

maka RT 07 masih belum memiliki ketua, dan berita ini terdengar oleh petinggi RT dari RT 08,

Ghafur dan Halim. Ghafur menginginkan agar persatuan antara RT 07 dan RT 08 terjaga, dan

bagi dia, Amin adalah kandidat yang tepat dikarenakan Amin memiliki rencana membangun

jembatan lintas sungai agar kegiatan ekonomi antara RT 07 dan RT 08 bisa terbangun.

Di lain pihak, Halim adalah pemilik usaha kapal yang khawatir bahwa agenda Amin untuk

membangun jembatan, bisa mematikan usaha sekoci penyebrangan miliknya. Dia mendengar

bahwa Bahri dan Chairul bukanlah kandidat yang menginginkan persatuan RT 07 dan RT 08.

Dengan agenda tersebut Ghafur dan Halim, mulai mendatangi RT 07 dan mencari tahu preferensi

warga terhadap calon pemimpin mereka sambil berusaha mempengaruhi Daud, Effendi dan

Fakhri untuk mengubah preferensi mereka. Dari perspektif Public Choice Theory, tindakan yang

dilakukan oleh Ghafur dan Halim adalah tindakan yang disebut sebagai Rent-Seeking, dan

mereka berdua disebut sebagai Interest Group.

Secara singkat, Rent-Seeking Behavior dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh

suatu pihak untuk memperoleh manfaat tertetu dengan jalan mempengaruhi para pembuat

8
keputusan politik (Tullock, 2005: 9-10),6 sedangkan Interest Group diartikan sebagai kelompok

tertentu di luar pengambil keputusan politik yang membawa dan memperjuangkan kepentingan

kelompok tersebut secara terorganisir (Tullock, 2005: 46-47).

Interest Group tidak melulu berusaha mencari keuntungan berupa uang. Kepentingan tertentu

yang diwakili oleh Interest Group juga bersifat netral dan tidak selalu berkonotasi negatif. Bisa

saja permintaan tersebut berupa permintaan monopoli dari suatu perusahaan, ataupun permintaan

penutupan pabrik rokok oleh suatu LSM kesehatan.

Kasus fiktif di atas memberikan pengantar ringkas mengenai dua topik utama dari Public Choice

Theory yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu Voting Paradox dan Rent-Seeking/Interest

Group. Public Choice Theory akan menjelaskan dari sudut pandang ekonomi dan politik,

bagaimana dua fenomena yang acapkali muncul di dunia politik bisa terjadi dan bagaimana cara

menanggulangi permasalahan yang bisa timbul dikarenakan kedua fenomena tersebut.

D. Voting Paradox

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, konsep Voting Paradox menunjukkan

bahwa dalam suatu proses voting selalu terbuka kemungkinan terjadi permasalahan dalam

hierarki preferensi yang mengakibatkan tidak tercapainya kesepakatan baik secara mutlak

maupun secara mayoritas.

6
Dalam bukunya, Gordon Tullock menggunakan contoh sebuah perusahaan pembuat besi baja yang berusaha
mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat untuk melarang impor besi dari Korea Selatan dengan alasan merusak
lingkungan. Tujuannya? Membatasi jumlah besi yang beredar di Amerika Serikat dan menaikkan harga besi baja
sehingga meningkatkan profit perusahaan yang bersangkutan.

9
Konsep Voting Paradox kemudian diformalkan oleh Kenneth Arrow, salah satu penerima hadiah

Nobel di bidang Ekonomi, melalui Arrow’s Impossibility Theorem. Teorema yang telah

dibuktikan secara matematis ini (Geanakoplos, 2005: 212-215 dan Nambiar, Varma, dan Saroch,

1992: 61-62) pada prinsipnya menunjukkan bahwa pengambilan keputusan secara kolektif tidak

dapat memenuhi secara bersamaan seluruh syarat yang diperlukan untuk memiliki suatu institusi

politik yang baik (Stearns dan Zywicki, 2009: 138).

Syarat-syarat tersebut adalah: (i) kebebasan setiap pemilih untuk mengeluarkan hak suaranya

sesuai dengan preferensi/pilihan mereka masing-masing (absence of domain restriction); (ii)

hierarki preferensi berjalan secara ordinal, yaitu dari yang paling tinggi ke paling rendah

(transitivity); (iii) hierarki preferensi merujuk kepada preferensi dari lebih dari satu pemilih dan

tidak ditentukan oleh salah satu pihak saja (non-dictatorship); (iv) suatu opsi dinilai semata-mata

berdasarkan nilai intrinsiknya dan bukan dari opsi lain yang sebenarnya tidak relevan

(independence of irrelevant alternatives); dan (v) opsi yang mendapatkan preferensi lebih tinggi

dari masing-masing pemilih tidak mendapatkan prioritas yang ternyata lebih rendah ketika

keputusan diambil secara kolektif (positive responsiveness) (Grofman, 2008: 86).

Prinsip absence of domain restriction berarti setiap pihak bisa mengutarakan pilihannya secara

tegas dan bebas serta tidak dibatasi oleh berbagai hambatan administratif. Prinsip transitivity

berarti setiap urutan prioritas dari suatu pilihan berjalan secara logis baik dalam pengambilan

keputusan secara individu maupun kolektif, yaitu senantiasa dari yang paling tinggi ke paling

rendah.

Prinsip non-dictatorship berusaha memastikan bahwa keputusan memang merefleksikan pilihan

dari semua atau kebanyakan pihak dan bukan hasil keputusan salah satu pihak atau dipengaruhi

10
oleh kepentingan salah satu pihak saja. Prinsip independence of irrelevant alternatives

menunjukkan bahwa jangan sampai suatu opsi dipilih karena adanya aspek lain yang sebenarnya

tidak ada hubungannya dengan opsi itu, misalnya karena suap atau politik tukar guling/dagang

sapi.

Terakhir, prinsip positive responsiveness terkait erat dengan konsep condorcet winner. Dalam

hal ini lebih mudah menunjukkan dengan contoh di bawah ini:

Bayangkan dalam sebuah pemilihan, terdapat hasil sebagai berikut

Pemilih D: A > B > C

Pemilih E: B > C > A

Pemilih F: C > B > A

Apabila kita sarikan dari hasil di atas, tampak bahwa sekali pun opsi B tidak memperoleh suara

mayoritas, tetapi apabila dirata-rata dari preferensi D, E dan F, opsi B sebenarnya lebih diminati

daripada Opsi A dan C. Dalam hal ini, 2 dari 3 orang (yaitu D dan E) berpendapat bahwa opsi B

lebih baik dari C dan 2 dari 3 orang (yaitu E dan F) berpendapat bahwa opsi B lebih baik dari

opsi A.

Dengan demikian B sebenarnya adalah pemenang dari voting tersebut, walaupun tidak terlihat

secara tegas kalau kita tidak mencari tahu preferensi dari para pihak secara lebih terperinci.

Prinsip positive responsiveness ingin memastikan bahwa dalam situasi dimana condorcet winner

dimungkinkan terjadi, jangan sampai kemudian opsi tersebut tidak tercapai secara kolektif

karena berarti yang menang justru adalah suara minoritas.

11
Kita akan melihat aplikasi dari konsep di atas dalam sistem pengambilan keputusan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat ("DPR") di Indonesia.

D.1 Voting Paradox dalam Pengambilan Keputusan Legislator Indonesia

Merujuk pada Bab XVII dari Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan

("Tata Tertib"), proses pengambilan keputusan di DPR menggunakan prinsip musyawarah

mufakat. Apabila prinsip musyawarah mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan, maka

berdasarkan Pasal 275 jo 245 dan 277 Tata Tertib, pengambilan keputusan akan didasarkan pada

suara terbanyak dimana kuorum rapat adalah minimum dihadiri lebih dari separuh anggota rapat

yang terdiri atas separuh unsur fraksi, dan disetujui oleh lebih dari separuh anggota yang hadir

dalam rapat.

Mari kita asumsikan bahwa dalam DPR hanya terdapat 3 partai. Partai A, berideologi religius,

Partai B, berideologi sekuler dan pro-kebebasan, Partai C, berideologi ekonomi kerakyatan. Pada

saat itu DPR sedang membahas mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Setelah

berembuk cukup lama dan tidak ditemukannya kata sepakat, maka munculah tiga pilihan yang

meminta masing-masing anggota sidang untuk memilih salah satu dari tiga pilihan berikut:

1. menaikkan harga BBM saat ini juga;

2. menolak kenaikan harga BBM sama sekali; atau

3. menunda kenaikkan BBM sampai jangka waktu tertentu.

Masing-masing kader partai berembuk dan tentunya menggunakan berbagai perhitungan politik

untuk menentukan pilihan paling tepat sehingga masing-masing partai bisa memaksimalkan

utilitas mereka. Hasilnya adalah: Partai A memiliki preferensi Opsi 3 > Opsi 1 > Opsi 2, Partai

12
B memiliki preferensi Opsi 1 > Opsi 3 > Opsi 2, dan Partai C memiliki preferensi Opsi 2 > Opsi

3 > Opsi 1. Jelas bahwa musyawarah untuk mufakat tidak akan tercapai.

Apabila DPR memutuskan untuk melakukan pemungutan suara secara bersamaan terhadap 3

opsi tersebut (dan dengan demikian mempertahankan absence of domain restriction), dapat

dipastikan bahwa suara mayoritas tidak akan tercapai karena terjadi Voting Paradox dimana Opsi

1 > Opsi 2, Opsi 2 > Opsi 3, tapi Opsi 3 > Opsi 1. Dengan sendirinya, proses pengambilan

keputusan itu telah melanggar unsur transitivity.

Dalam prakteknya, sangat jarang bagi kita (atau malah tidak pernah) melihat terjadinya Voting

Paradox dalam pengambilan keputusan DPR. Mengapa? Pasal 277 Ayat (2) dan (3) Tata Tertib

menyatakan bahwa dalam hal suatu masalah tidak dapat diputuskan melalui pemungutan suara,

maka dapat dilakukan pemungutan suara secara berjenjang.

Proses tersebut menghilangkan kemungkinan terjadinya Voting Paradox, tetapi sayangnya

terdapat pelanggaran terhadap persyaratan absence of domain dan potensi pelanggaran terhadap

persyaratan non-dictatorship.

Bayangkan misalnya Partai C menjadi pemimpin sidang dan berhak untuk menentukan agenda

sidang. Partai C mengetahui bahwa secara mayoritas, Opsi 3 tidak akan bisa mengalahkan Opsi

2, tetapi mereka tahu bahwa Opsi 1 akan mengalahkan Opsi 2. Partai C dapat meminta

dilakukannya pemungutan suara terlebih dahulu terhadap Opsi 1 versus Opsi 2 dimana

setelahnya baru diadakan pemungutan suara terhadap Opsi 3.

Karena Opsi 2 kalah di pemungutan suara tahap pertama, Partai C hampir dapat memastikan

bahwa Opsi 3 yang kemudian akan menjadi pemenang dalam pemungutan suara tahap 2. Partai

13
C dalam perspektif Public Choice Theory, disebut sebagai Agenda-Setter yang memanfaatkan

kondisi Voting Paradox untuk mendukung posisinya sendiri dalam pengambilan keputusan

(Mueller, 2008: 36 dan Romer dan Rosenthal, 2009: 105). Keberadaan Agenda-Setter ini

tentunya membahayakan proses demokrasi karena suatu opsi dapat disabotase sepanjang

informasi mengenai preferensi setiap pihak diketahui dan agenda rapat dapat diatur.

Contoh kasus di atas kemudian dapat kita gunakan untuk menganalisis setiap jenis pengambilan

keputusan di DPR, termasuk ketika mereka membahas berbagai jenis rancangan undang-undang

dan menentukan prioritas pembahasan suatu RUU.

D.2 Kesimpulan Voting Paradox dan Arrow’s Impossibility Theorem

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Voting Paradox (yang kemudian diformalisasikan

dengan Arrow’s Impossibility Theorem) menunjukkan bahwa demokrasi ideal yang diasumsikan

akan menunjukkan "kehendak rakyat" tidak akan dapat dicapai secara sempurna (Levmore,

2005: 779). Hal tersebut sayangnya merupakan konsekuensi logis dari perilaku rasional masing-

masing agen politik dimana pilihan yang muncul akan didasarkan atas pertimbangan biaya dan

manfaat.

Voting Paradox juga menunjukkan bahwa sistem demokrasi memiliki celah inheren yang dapat

dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Hal inilah

yang juga menyebabkan munculnya perilaku Rent-Seeking dari para Interest Group sebagaimana

akan kita bahas di bawah ini.

Ada banyak mekanisme yang dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan

sebagaimana disebutkan di atas, misalnya melalui mekanisme voting untuk menentukan urutan

14
agenda sidang, menciptakan sistem proses pengambilan keputusan secara bertahap melalui dua

institusi yang berbeda guna meningkatkan check and balance (misalnya seperti sistem bikameral

di Amerika Serikat), dan peningkatan kuorum untuk pengambilan keputusan tertentu. Hal ini

akan dibahas oleh penulis di lain kesempatan.

Satu hal yang jelas perlu diperhatikan: sangatlah naif jika kita berpikir bahwa demokrasi melulu

soal suara terbanyak. Demokrasi (dan juga seluruh institusi politik lainnya di dunia ini) adalah

institusi yang memiliki berbagai kelemahan struktural. Hal tersebut menjadi alasan utama

mengapa kita harus mempelajari kelemahan-kelemahannya dan mencoba untuk terus menerus

memperbaikinya.

E. Rent-Seeking dan Interest Group

Perilaku Rent-Seeking dan munculnya Interest Group adalah konsekuensi logis dari sebuah

sistem yang demokratis dimana perang pengaruh antar para pihak memiliki posisi yang sangat

penting dalam mencapai suatu keputusan politik.

Hal ini yang selalu ditakutkan oleh James Madison, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat.

Madison mengkhawatirkan munculnya faksi-faksi terorganisir yang akan beraliansi dengan

pemangku kekuasaan demi memuaskan kepentingan mereka sendiri sambil mengorbankan

mayoritas masyarakat (Hamilton, Madison, dan Jay , 2008: 49).

Apa yang ditakutkan oleh James Madison sering terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di

negara demokrasi dimana proses pembentukan undang-undang melibatkan proses pengambilan

keputusan politik yang cukup rumit.

15
Kisah RT 07 yang disebutkan di awal merupakan penggambaran yang sangat sederhana dari

keberadaan Interest Group dan Rent-Seeking. Dalam skala yang lebih besar, kasus lobi

perusahaan di bidang industri tertentu, seperti misalnya rokok atau farmasi, terhadap proses

penyusunan undang-undang dapat menjadi contoh yang baik.

E.1 Mengapa Rent-Seeking dan Interest Group Bisa Ada?

Alih-alih menganggap Rent-Seeking dan Interest Group sebagai perilaku menyimpang, penulis

berpendapat bahwa keberadaan kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan

seharusnya senantiasa dipertimbangkan oleh para penggiat perbaikan kinerja legislasi.

Bagaimana perilaku Rent-Seeking dan Interest Group bisa muncul? Pertama, sebagaimana telah

dibahas sebelumnya, kita telah berasumsi bahwa setiap agen politik akan berusaha untuk

memaksimalkan manfaat yang ia terima dan manfaat itu termasuk juga keuntungan yang bisa

didapatkan dengan jalan menggunakan kekuasaan politik yang dimiliki oleh agen politik yang

bersangkutan untuk memenuhi keinginan Interest Group tertentu. Mengingat proses persaingan

mendapatkan suara sangat sulit, keberadaan Interest Group menjadi sangat penting bagi para

politisi.

Kedua, dari sudut pandang Voting Paradox, terdapat celah inheren dalam proses demokrasi yang

memungkinkan perang pengaruh berjalan secara alamiah. Terlebih lagi, dalam proses

pertarungan politik pun sebetulnya terdapat Policy Paradox, suatu kondisi dimana dalam tiap

penyusunan suatu kebijakan terdapat pertentangan nilai-nilai dasar/abstrak yang sama kuat

(Stone, 2002: 12).

16
Contoh sederhana: rokok membahayakan kesehatan masyarakat, namun di sisi lain memberikan

penghidupan bagi masyarakat tertentu dan memberikan pendapatan yang sangat besar bagi

pemerintah dalam bentuk bea dan cukai untuk dapat digunakan bagi pembangunan. Nilai-nilai

mana yang harus didahulukan ketika kita menyusun kebijakan terhadap rokok? Siapkah kita

sekedar menghitung untung rugi saja (mana yang lebih besar, biaya kesehatan karena rokok atau

pendapatan dari cukai dan penghidupan tenaga kerja)? Atau kah kita berpendapat bahwa

perlindungan kesehatan adalah hak asasi terpenting di atas hak mencari penghidupan yan layak?

Kebingungan dalam menentukan prinsip mana yang harus didahulukan dapat menciptakan

instabilitas di level pengambilan keputusan, khususnya ketika tidak ada dukungan mayoritas

terhadap preferensi tertentu. Hal tersebut dapat menarik minat Interest Group untuk berinvestasi

mencari dukungan bagi kepentingan mereka karena berarti potensi untuk mempengaruhi suatu

fraksi politik akan lebih besar (Levmore, 1999: 261-262). Logikanya, ketika preferensi suatu

pihak tidak terlalu menonjol, maka akan lebih mudah untuk mempengaruhi pihak tersebut

dengan iming-iming tertentu dibandingkan dengan mempengaruhi pihak yang sudah memiliki

posisi dasar yang kokoh atas suatu permasalahan.

Ketiga, Interest Group memiliki keunggulan sebagai pihak yang terorganisir, sehingga biaya

untuk berkoordinasi di antara mereka menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat

secara keseluruhan yang tersebar dan sulit untuk berkoordinasi (yang sering juga disebut sebagai

collective action problem) (Wheelan, 2002: 138).7

7
Charles Wheelan menggunakan contoh petani-petani dalam grup kecil di Amerika yang berhasil
mempertahankan subsidi untuk sebuah produk yang sebenarnya sudah hampir tidak dipakai lagi. Semua karena
mereka lebih kecil dan dengan demikian sangat gigih memperjuangkan kepentingannya. Sementara itu, masyarakat
kebanyakan yang tidak merasa dibebani (karena jumlah subsidi itu menjadi sangat kecil nilainya apabila

17
Permasalahan koordinasi di atas juga dapat dimanfaatkan oleh Interest Group untuk mengambil

kesempatan dari Free Riders. Dalam konteks ini, Free Riders adalah pemilik suara yang berpikir

bahwa dirinya kemungkinan besar berada dalam posisi mayoritas, sehingga merasa tidak perlu

untuk memberikan suara karena akan ada orang lain yang akan melakukan hal tersebut untuk

mewakili mereka (Stearns dan Zywicki, 2009: 14 – 15).

Contoh sederhana di dunia nyata: dalam suatu pemilihan penyanyi idola, salah satu kandidat

yang sangat dijagokan ternyata kalah karena ternyata kebanyakan pendukungnya berasumsi

bahwa si kandidat sudah pasti menang dan akan ada orang lain yang memilih kandidat tersebut

sehingga mereka tidak mau meluangkan waktu untuk memilih si kandidat.

E.2 Rent-Seeking, Interest Group dan Proses Legislasi

Untuk menggambarkan secara lebih akurat konsekuensi dari keberadaan Rent-Seeking dan

Interest Group, khususnya terhadap perilaku legislator dalam mengambil keputusan dan

dampaknya terhadap masyarakat, penulis akan menggunakan model Wilson-Hayes, yang sering

juga disebut sebagai Static Model: Wilson-Hayes Matrix.

Secara singkat, Wilson-Hayes Matrix menggambarkan pola distribusi biaya dan manfaat dari

suatu proses legislasi terhadap berbagai kelompok dalam masyarakat dan prediksi perilaku

legislator sehubungan dengan distribusi biaya dan manfaat tersebut. Dalam hal ini, terdapat 4

kategori sebagai berikut:

didistribusikan biayanya kepada seluruh penduduk Amerika), tidak terlalu peduli sehingga membiarkan subsidi itu
berlangsung untuk waktu yang sangat lama.

18
1. kondisi dimana manfaat dan biaya legislasi akan sama-sama terdistribusi secara luas

terhadap masyarakat;

2. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan didistribusikan kepada golongan tertentu

namun biayanya akan terdistribusi secara luas kepada masyarakat umum;

3. kondisi dimana manfaat legislasi akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat

umum namun biayanya akan dibebankan hanya kepada golongan tertentu; serta

4. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan terdistribusi kepada kelompok tertentu dan

biayanya akan ditanggung oleh kelompok lainnya.

Berikut adalah tabel lengkap dari Wilson-Hayes Matrix (Stearns dan Zywicki, 2009: 69):

Widely Distributed Benefits Narrowly Conferred Benefits


(Manfaat yang Terdistribusi Secara (Manfaat yang Terdistribusi Secara
Luas) Sempit)
Widely-Distributed Costs (Biaya Karakter Legislasi: Karakter Legislasi:
yang Terdistribusi Secara Luas)
Legislasi paling ideal di mana Terdapat kelompok yang terorganisir
tekanan dari berbagai pihak sangat yang mempengaruhi proses
kecil dan keputusan yang diambil pengambilan keputusan yang
memang bermanfaat bagi menyebabkan kerugian bagi
masyarakat umum. masyarakat (widely distributed cost)
dan manfaat hanya bagi pihak
tertentu (narrowly conferred
benefits)

Contoh: pemberian subsidi khusus


Contoh:
pada industri-industri tertentu atau
restriksi impor untuk produk-produk
Undang-undang jaminan sosial
tertentu
Narrowly Conferred Costs (Biaya Karakter Legislasi: Karakter Legislasi:
yang Terdistribusi Secara Sempit)
Bisa diartikan sebagai tirani Pengambilan keputusan hanya

19
mayoritas, di mana manfaat menguntungkan sekelompok orang
dirasakan oleh banyak pihak, dan dan merugikan sekelompok orang
ada sekelompok masyarakat yang yang lain.
menanggung akibatnya.

Contoh: aturan distribusi


kepemilikan lahan kepada publik Contoh: organisasi buruh versus

yang merugikan pihak tertentu organisasi pengusaha

Wilson-Hayes Matrix memprekdisikan bahwa dalam banyak kasus, mayoritas peraturan yang

dibuat oleh suatu badan legislatif akan paling banyak berada di zona: Narrowly Conferred

Benefits - Widely-Distributed Costs. Sebaliknya zona Widely Distributed Benefits - Widely-

Distributed Costs justru mendapatkan porsi yang kecil dikarenakan kurang menarik bagi para

legislator (manfaat pribadi bagi agen politik tidak jelas, apalagi jika misalnya kebanyakan

pemilik suara bersikap acuh tak acuh).

Kembali pada kasus RT 07 di mana misalnya lobi Halim berhasil dan Bahri menjadi ketua RT

07. Hal ini menyebabkan jembatan penghubung antara RT 07 dan RT 08 tidak terbangun

sehingga menguntungkan bisnis Halim. Halim berhasil mendapatkan Economic-Rent dengan

mempengaruhi proses voting dari RT 07, namun biayanya harus ditanggung oleh warga RT 07

dan RT 08 yang tidak memperoleh jembatan yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi kegiatan

perekonomian mereka.

Apabila biaya yang kemudian dibebankan kepada warga RT 07 dan RT 08 sebagai akibat dari

ketiadaan jembatan ternyata tidak terlalu besar jika dibagi bersama-sama, insentif bagi para

warga untuk mempertahankan haknya akan menjadi sangat rendah dan dengan sendirinya

memberikan kesempatan bagi Halim untuk terus menarik keuntungan.

20
Hal ini dapat diaplikasikan pula ke dalam konteks yang lebih besar, khususnya ketika kita

berbicara mengenai penyusunan peraturan perundang-undangan dan bagaimana cara menyusun

insentif yang tepat kepada masyarakat sehingga mereka akan lebih berminat untuk berpartisipasi

dalam proses politik, termasuk menciptakan Interest Group sendiri yang menyokong

kepentingan masyarakat pada umumnya..

F. Kesimpulan

Sekalipun terdapat banyak topik menarik lainnya yang menjadi pembahasan Public Choice

Theory, seperti misalnya interpretasi undang-undang, peranan lembaga kehakiman dan eksekutif,

dan sebagainya, dua topik sentral yang menjadi pondasi dasar dari Public Choice Theory dan

harus dipahami terlebih dahulu adalah: fenomena Voting Paradox dan keberadaan perilaku Rent-

Seeking dan Interest Group.

Public Choice Theory berusaha untuk membahas kedua permasalahan tersebut dalam kerangka

berpikir ekonomi yang menekankan pada aspek perilaku rasional dari agen politik. Dibandingkan

dengan membahas perilaku politik dari sudut pandang normatif (dimana kita mengharapkan

perilaku ideal dari agen politik), Public Choice Theory lebih berkonsentrasi pada bagaimana kita

dapat menyusun suatu suatu sistem politik yang sehat dan memenuhi kriteria check and balance

berdasarkan pada realitas yang ada.

Penulis berharap bahwa Public Choice Theory akan menjadi ide yang berpengaruh dalam

pendidikan hukum dan politik di Indonesia. Makalah ini hanya merupakan pengantar yang masih

bersifat umum dengan harapan dapat menarik minat para sarjana hukum untuk mengeksplorasi

ranah ini secara lebih mendalam.

21
Akhir kata, penulis ingin mengingatkan mengapa pendekatan Public Choice Theory dapat

mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh pendekatan normatif semata dalam memahami

perilaku legislator dengan mengambil kutipan dari James Madison dalam Federalist Paper, “If

men were angels, no government would be necessary” (Hamilton, Madison, dan Jay , 2008: 257).

Kalau semua orang adalah malaikat, sedari awal kita mungkin tidak memerlukan pemerintah.

Dengan kata lain, berkutat hanya pada hal ideal dan normatif sebenarnya tidak banyak

membantu.

22
Daftar Pustaka

Becker, Gary, 1990, The Economic Approach to Human Behavior, Chicago, The University of

Chicago Press.

Becker, Gary, 2008, Economic Theory, New Brunswick, Transaction Publishers.

Geanakoplos, John, 2005, “Three Brief Proofs of Arrow’s Impossibility Theorem”, Economic

Theory, Vol. 26.

Grofman, Bernard, 2008, "Kenneth Arrow" dalam Charles K. Rowley dan Friedrich Schneider

(ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New York, Springer.

Hamilton, Alexander, James Madison, dan John Jay, 2008, The Federalist Papers, New York,

Oxford University Press.

Katz, Leo, 2011, Why The Law is So Perverse, Chicago, University of Chicago Press.

Levmore, Saul, 1999 “Voting Paradoxes and Interest Group”, Journal of Legal Studies, Vol 28.

Levmore, Saul, 2005 “Public Choice Defended”, University of Chicago Law Review, Vol 72.

Mueller, Dennis C., 2008, "Public Choice: An Introduction" dalam Charles K. Rowley dan

Friedrich Schneider (ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New

York, Springer.

Nambiar, K.K., Pramod K. Varma, dan Vandana Saroch, 1992, “A Graph-Theoretic Proof of

Arrow’s Dictator Theorem”, Applied Mathematic Letters, Vol.5, No. 6.

23
Posner, Richard, 2011, Economic Analysis of Law, 8th ed, New York, Aspen Publisher.

Romer, Thomas dan Howard Rosenthal, 1999, "Political Resource Allocation, Controlled

Agendas, and the Status Quo" dalam James M. Buchanan dan Robert D. Tollison (ed.), The

Theory of Public Choice II, Ann Arbor, The University of Michigan Press.

Stearns, Maxwell L. dan Todd J. Zywicki, 2009, Public Choice Concepts and Applications in

Law, St. Paul, West – Thomson Reuters.

Stone, Deborah, 2002, Policy Paradox: The Art of Political Decision Making, New York, W.W

Norton & Company.

Tullock, Gordon dan James M. Buchanan, 2004, The Calculus of Consent: Logical Foundations

of Constitutional Democracy, Indianapolis, Liberty Fund.

Tullock, Gordon, 2005, The Rent-Seeking Society, Indianapolis, Liberty Fund.

Wheelan, Charles, 2002, Naked Economics: Undressing the Dismal Science, New York, W.W

Norton & Company.

24

Anda mungkin juga menyukai