Pramudya A. Oktavinanda1
Abstrak
Makalah ini memperkenalkan konsep-konsep dasar Public Choice Theory dan berbagai
aplikasinya dalam konteks hukum Indonesia. Public Choice Theory adalah suatu teori hukum
yang menggabungkan pendekatan ilmu politik dan ekonomi dalam menganalisis perilaku
legislator, hakim dan pemerintah dalam suatu sistem hukum dan politik. Dalam Public Choice
Theory, para anggota legislator/pemain politik diasumsikan sebagai makhluk rasional yang
jalan memaksimalkan manfaat atau utilitas yang dapat ia terima sesuai dengan kondisi sumber
daya yang tersedia. Melalui asumsi dasar tersebut, Public Choice Theory kemudian menyusun
berbagai model yang dapat digunakan untuk memperkirakan pilihan-pilihan yang akan diambil
oleh legislator sesuai dengan institusi politik dimana mereka berada. Penulis berpendapat
bahwa penggunaan Public Choice Theory akan sangat membantu dalam mengembangkan
institusi politik (dalam hal ini DPR dan proses legislasi) di Indonesia. Alih-alih bertumpu pada
pendekatan normatif yang menafikan sifat dan perilaku dasar manusia, Public Choice
Theory ingin menunjukkan bahwa penyusunan suatu sistem legislasi yang rasional dan
bermanfaat bagi masyarakat dapat saja dilakukan sepanjang memperhitungkan dengan seksama
bagaimana legislator akan bertindak dan mengambil keputusan, hal mana dapat dilakukan
1
Advokat dan kandidat PhD di University of Chicago Law School. Untuk pertanyaan dan komentar lebih lanjut,
penulis dapat dihubungi melalui email di pramoctavy@uchicago.edu
1
misalnya melalui penyusunan mekanisme check and balance yang tepat antara berbagai
lembaga negara serta mekanisme pengambilan keputusan antar fraksi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci: Public Choice Theory, Law and Economics, Legislasi, Hubungan Antar Lembaga
A. Pendahuluan
Kita sering membaca atau mendengar berita mengenai partai politik yang mengalihkan
dukungannya secara tiba-tiba dari satu kandidat ke kandidat yang lain dalam proses pemilihan
pemimpin politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Salah satu contoh menarik adalah
ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada awalnya sempat menunjukkan dukungan
berbalik arah mendukung pasangan Foke-Nara pada Pilkada DKI Jakarta 2012.2
Lebih menarik lagi, PKS mengambil keputusan tersebut walaupun beberapa konstituen PKS
lebih besar ketimbang Foke-Nara3 Belum lagi fakta bahwa di putaran pertama, PKS juga cukup
2
Dapat dilihat di artikel-artikel sebagai berikut: Bisnis Indonesia: “Jokowi Temui Hidayat, Pertanda Pilkada
Putaran Kedua”, 11 Juli 2012 (http://www.bisnis.com/articles/pilkada-dki-jokowi-temui-hidayat-pertanda-pilkada-
dua-putaran), Tempo: “PKS Mendukung Foke, Apa Kata Hidayat Soal Jokowi?”, 11 Agustus 2012
(http://www.tempo.co/read/news/2012/08/11/228422860/PKS-Dukung-Foke-Apa-Kata-Hidayat-Soal-Jokowi), dan
Viva News: "Konstituten Menengah Atas PKS Dukung Jokowi", 13 Agustus 2012
(http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).
Disarikan dari artikel Tribun News: “Pendiri PKS Prediksi Jokowi-Basuki Menang Pertarungan”, 17
3
2
gencar menyerang kebijakan-kebijakan Foke sebagai petahana (dan serangannya pun cukup
pedas).4
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah partai politik besar yang
dipenuhi dengan kader-kader terdidik dapat membuat keputusan untuk mendukung calon
pemimpin yang merupakan mantan lawan mereka dan kemungkinan kalahnya cukup tinggi?
Mungkinkah PKS sebagai partai politik yang sudah cukup lama malang melintang di dunia
berbagai aspek? Seharusnya tidak. Jika suatu partai politik membuat aksi politik tanpa memiliki
pertimbangan yang matang, dapat dipastikan bahwa karir politik partai tersebut sudah lama
Dengan demikian, walau terlihat seperti sikap yang tidak konsisten, pilihan PKS seharusnya
bukanlah tanpa perhitungan. Bagi PKS, nampaknya mendukung pasangan Foke-Nara masih tetap
Sebagaimana dikatakan Anis Matta, pilihan tersebut diambil karena basis massa terbesar PKS
mendukung Foke dan karena ada kontrak politik tertentu dengan Foke yang pada prinsipnya
menguntungkan PKS.5 Secara tidak langsung, hal ini berarti fokus PKS bukan memenangkan
4
Berita lengkapnya dapat dilihat dalam Merdeka.com: "Dulu Sering Gempur Foke, Kini Hidayat Berbalik", 11
Agustus 2012 (http://www.merdeka.com/jakarta/dulu-sering-gempur-foke-kini-hidayat-berbalik.html).
5
Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Viva News: "Konstituten Menengah Atas PKS Dukung Jokowi", 13
Agustus 2012 (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).
3
Dari contoh singkat di atas, terlihat bahwa pertimbangan untung rugi memiliki peranan yang
sangat besar bagi suatu partai politik dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan
mengusung nilai-nilai normatif tertentu. Pertanyaan utamanya, mengapa demikian dan apakah
Pertimbangan untung rugi oleh para pelaku politik sesungguhnya merupakan hal yang wajar dan
sesuai dengan asumsi dasar dari Public Choice Theory sebagaimana akan dibahas di bawah ini.
Public Choice Theory secara sederhana bisa diartikan sebagai disiplin ilmu yang menganalisis
ilmu politik dengan kerangka berpikir ilmu ekonomi untuk kemudian diaplikasikan ke dalam
ilmu hukum (Stearns dan Zywicki, 2009: 1). Public Choice Theory dapat dikatakan sebagai
perkembangan lebih lanjut dari aliran Hukum & Ekonomi (Law & Economics), yang
memanfaatkan analisis ekonomi dalam menjawab tiga pertanyaan besar mengenai: (i) definisi
hukum; (ii) asal-muasal hukum dan cara hukum memperoleh keberlakuannya; dan (iii) kriteria
Apabila Law & Economics menggunakan pendekatan ekonomi secara langsung dalam
menganalisis berbagai doktrin hukum, Public Choice Theory menerapkan pendekatan ekonomi
ke dalam institusi politik yang relevan sebelum kemudian digunakan untuk menganalisis doktrin
Asumsi ekonomi dasar yang digunakan dalam Public Choice Theory pada prinsipnya sama
dengan Law & Economics, yaitu bahwa setiap manusia, termasuk agen politik, bersifat rasional,
dalam artian setiap individu akan bertindak untuk memaksimalkan manfaat/utilitas pribadi
4
dengan meminimalisir biaya yang harus ia keluarkan (Stearns dan Zywicki, 2009: 5, dan Posner,
2011: 3 ). Dengan kata lain, setiap manusia akan memperhitungkan untung rugi dari
tindakannya.
Perhitungan untung rugi tersebut itu tidak selalu berarti setiap manusia secara sadar melakukan
perhitungan yang rumit dan mendalam untuk setiap tindakannya, melainkan dapat pula
diperhitungkan dalam bawah sadarnya (Becker, 1990: 7). Selain itu, tidak pula berarti setiap
manusia diharuskan memiliki informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan (Posner,
2011,. 4).
Untuk mencegah salah paham, penggunaan ilmu ekonomi yang dimaksud dalam makalah ini
tidak melulu berhubungan dengan uang, melainkan ekonomi dalam pengertian umum, yaitu
mengenai alokasi sumber daya yang terbatas secara efisien (Becker, 2008: 1).
Asumsi dasar mengenai rasionalitas ini merupakan dasar kerangka berpikir yang perlu dipahami
secara benar untuk memahami Public Choice Theory. Dengan menggunakan asumsi dasar
tersebut, kita dapat melihat kasus PKS di atas sebagai suatu gambaran umum bahwa para agen
politik terus berusaha untuk memaksimalkan manfaat (yang bisa berupa tambahan suara ketika
pemilu, keuntungan pribadi) dengan meminimalisir biaya yang dikeluarkan (bisa berupa reputasi,
Dengan menggunakan prinsip rasionalitas di atas, kita memahami bahwa setiap agen politik
ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Salah satunya bisa berupa dalam bentuk
5
memperoleh kekuasaan politik yang sebesar-besarnya (Tullock dan Buchanan, 2004: 22). Untuk
itu, tentunya dibutuhkan suatu "mata uang", voting atau hak suara.
Dalam suatu sistem demokrasi, voting adalah mata uang yang sangat berharga bagi para agen
politik. Untuk bisa masuk dalam lembaga legislatif, dibutuhkan hak suara dari masyarakat
umum. Dalam lembaga legislatif pun hak suara menjadi penentu apakah suatu undang-undang
Tetapi proses pengambilan suara tidak lah semudah itu. Para agen politik harus bersaing keras
untuk memperoleh suara terbanyak di masyarakat dan menghadapi permasalahan yang lebih
Bayangkan sebuah skenario fiktif dari pemilihan ketua RT 07 yang terdiri dari 3 calon yaitu
Amin, Bahri, dan Chairul. Pemilihan ketua RT ini ternyata hanya dihadiri oleh 3 orang warga
yaitu, Daud, Effendi, dan Fakhri. Ketika hendak memilih, masing-masing warga memiliki
gambaran tentang calon yang dipilih dan membuat prioritas pilihan dari masing-masing kandidat.
Daud memilih Amin sebagai pilihan pertamanya, lalu Bahri sebagai pilihan kedua, dan Chairul
Effendi memiliki pemikiran lain, bagi Effendi, Bahri adalah calon ketua RT ideal, kemudian
Sedangkan Fakhri adalah pendukung setia Chairul. Bagi Fakhri, memilih Chairul lebih baik
daripada Bahri dan Amin, walaupun kalau terpaksa, Amin tetap lebih baik daripada Bahri bagi
Fakhri.
6
Skema di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:
Setelah memilih (pemilihan ketua RT ini menggunakan sistem demokrasi di mana suara
mayoritas menang), panitia tidak bisa memutuskan siapa pemenang dalam pemilihan ketua RT
Panitia pun mengusut dan mempertanyakan secara musyawarah mufakat, dan Daud, Effendi, dan
Fakhri pun berdebat soal siapa pemimpin yang paling tepat menurut mereka. tetapi dengan posisi
sebagaimana disebutkan di atas, panitia tidak berhasil menemukan titik temu di antara para
pemilih. Mengapa?
Karena apabila disarikan, ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Amin lebih baik dari Bahri,
ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Bahri lebih baik dari Chairul, dan ada 2 pendukung
yang menyatakan bahwa Chairul lebih baik dari Amin. Dengan sendirinya telah terjadi suatu
lingkaran setan.
Prinsip dasar konsistensi preferensi adalah apabila opsi A lebih diutamakan dari opsi B (A > B),
dan opsi B lebih diutamakan dari opsi C (B > C), maka seharusnya opsi A juga lebih diutamakan
dari opsi C (A > C). Namun hal ini tidak terjadi dalam kasus pemilihan ketua RT di atas karena
7
Contoh di atas adalah salah satu pembahasan utama dalam Public Choice Theory, yaitu Voting
Paradox (Levmore, 1999: 260-261). Voting Paradox adalah situasi dimana masing-masing
pemilih berada dalam lingkaran yang tidak berujung diakibatkan dari sistem voting itu sendiri.
Formalisasi teori ini sudah ada dari abad ke-18 dan diajukan pertama kali oleh Marquis de
Condorcet. Oleh karena itu Voting Paradox juga dikenal sebagai Condorcet’s Paradox (Katz,
2011: 4-5).
Mari kita kembali kepada pemilihan ketua RT 07. Dikarenakan ricuh dari pemilihan tersebut,
maka RT 07 masih belum memiliki ketua, dan berita ini terdengar oleh petinggi RT dari RT 08,
Ghafur dan Halim. Ghafur menginginkan agar persatuan antara RT 07 dan RT 08 terjaga, dan
bagi dia, Amin adalah kandidat yang tepat dikarenakan Amin memiliki rencana membangun
jembatan lintas sungai agar kegiatan ekonomi antara RT 07 dan RT 08 bisa terbangun.
Di lain pihak, Halim adalah pemilik usaha kapal yang khawatir bahwa agenda Amin untuk
membangun jembatan, bisa mematikan usaha sekoci penyebrangan miliknya. Dia mendengar
bahwa Bahri dan Chairul bukanlah kandidat yang menginginkan persatuan RT 07 dan RT 08.
Dengan agenda tersebut Ghafur dan Halim, mulai mendatangi RT 07 dan mencari tahu preferensi
warga terhadap calon pemimpin mereka sambil berusaha mempengaruhi Daud, Effendi dan
Fakhri untuk mengubah preferensi mereka. Dari perspektif Public Choice Theory, tindakan yang
dilakukan oleh Ghafur dan Halim adalah tindakan yang disebut sebagai Rent-Seeking, dan
Secara singkat, Rent-Seeking Behavior dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
suatu pihak untuk memperoleh manfaat tertetu dengan jalan mempengaruhi para pembuat
8
keputusan politik (Tullock, 2005: 9-10),6 sedangkan Interest Group diartikan sebagai kelompok
tertentu di luar pengambil keputusan politik yang membawa dan memperjuangkan kepentingan
Interest Group tidak melulu berusaha mencari keuntungan berupa uang. Kepentingan tertentu
yang diwakili oleh Interest Group juga bersifat netral dan tidak selalu berkonotasi negatif. Bisa
saja permintaan tersebut berupa permintaan monopoli dari suatu perusahaan, ataupun permintaan
Kasus fiktif di atas memberikan pengantar ringkas mengenai dua topik utama dari Public Choice
Theory yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu Voting Paradox dan Rent-Seeking/Interest
Group. Public Choice Theory akan menjelaskan dari sudut pandang ekonomi dan politik,
bagaimana dua fenomena yang acapkali muncul di dunia politik bisa terjadi dan bagaimana cara
D. Voting Paradox
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, konsep Voting Paradox menunjukkan
bahwa dalam suatu proses voting selalu terbuka kemungkinan terjadi permasalahan dalam
hierarki preferensi yang mengakibatkan tidak tercapainya kesepakatan baik secara mutlak
6
Dalam bukunya, Gordon Tullock menggunakan contoh sebuah perusahaan pembuat besi baja yang berusaha
mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat untuk melarang impor besi dari Korea Selatan dengan alasan merusak
lingkungan. Tujuannya? Membatasi jumlah besi yang beredar di Amerika Serikat dan menaikkan harga besi baja
sehingga meningkatkan profit perusahaan yang bersangkutan.
9
Konsep Voting Paradox kemudian diformalkan oleh Kenneth Arrow, salah satu penerima hadiah
Nobel di bidang Ekonomi, melalui Arrow’s Impossibility Theorem. Teorema yang telah
dibuktikan secara matematis ini (Geanakoplos, 2005: 212-215 dan Nambiar, Varma, dan Saroch,
1992: 61-62) pada prinsipnya menunjukkan bahwa pengambilan keputusan secara kolektif tidak
dapat memenuhi secara bersamaan seluruh syarat yang diperlukan untuk memiliki suatu institusi
Syarat-syarat tersebut adalah: (i) kebebasan setiap pemilih untuk mengeluarkan hak suaranya
hierarki preferensi berjalan secara ordinal, yaitu dari yang paling tinggi ke paling rendah
(transitivity); (iii) hierarki preferensi merujuk kepada preferensi dari lebih dari satu pemilih dan
tidak ditentukan oleh salah satu pihak saja (non-dictatorship); (iv) suatu opsi dinilai semata-mata
berdasarkan nilai intrinsiknya dan bukan dari opsi lain yang sebenarnya tidak relevan
(independence of irrelevant alternatives); dan (v) opsi yang mendapatkan preferensi lebih tinggi
dari masing-masing pemilih tidak mendapatkan prioritas yang ternyata lebih rendah ketika
Prinsip absence of domain restriction berarti setiap pihak bisa mengutarakan pilihannya secara
tegas dan bebas serta tidak dibatasi oleh berbagai hambatan administratif. Prinsip transitivity
berarti setiap urutan prioritas dari suatu pilihan berjalan secara logis baik dalam pengambilan
keputusan secara individu maupun kolektif, yaitu senantiasa dari yang paling tinggi ke paling
rendah.
dari semua atau kebanyakan pihak dan bukan hasil keputusan salah satu pihak atau dipengaruhi
10
oleh kepentingan salah satu pihak saja. Prinsip independence of irrelevant alternatives
menunjukkan bahwa jangan sampai suatu opsi dipilih karena adanya aspek lain yang sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan opsi itu, misalnya karena suap atau politik tukar guling/dagang
sapi.
Terakhir, prinsip positive responsiveness terkait erat dengan konsep condorcet winner. Dalam
Apabila kita sarikan dari hasil di atas, tampak bahwa sekali pun opsi B tidak memperoleh suara
mayoritas, tetapi apabila dirata-rata dari preferensi D, E dan F, opsi B sebenarnya lebih diminati
daripada Opsi A dan C. Dalam hal ini, 2 dari 3 orang (yaitu D dan E) berpendapat bahwa opsi B
lebih baik dari C dan 2 dari 3 orang (yaitu E dan F) berpendapat bahwa opsi B lebih baik dari
opsi A.
Dengan demikian B sebenarnya adalah pemenang dari voting tersebut, walaupun tidak terlihat
secara tegas kalau kita tidak mencari tahu preferensi dari para pihak secara lebih terperinci.
Prinsip positive responsiveness ingin memastikan bahwa dalam situasi dimana condorcet winner
dimungkinkan terjadi, jangan sampai kemudian opsi tersebut tidak tercapai secara kolektif
11
Kita akan melihat aplikasi dari konsep di atas dalam sistem pengambilan keputusan oleh Dewan
Merujuk pada Bab XVII dari Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan
mufakat. Apabila prinsip musyawarah mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan, maka
berdasarkan Pasal 275 jo 245 dan 277 Tata Tertib, pengambilan keputusan akan didasarkan pada
suara terbanyak dimana kuorum rapat adalah minimum dihadiri lebih dari separuh anggota rapat
yang terdiri atas separuh unsur fraksi, dan disetujui oleh lebih dari separuh anggota yang hadir
dalam rapat.
Mari kita asumsikan bahwa dalam DPR hanya terdapat 3 partai. Partai A, berideologi religius,
Partai B, berideologi sekuler dan pro-kebebasan, Partai C, berideologi ekonomi kerakyatan. Pada
saat itu DPR sedang membahas mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Setelah
berembuk cukup lama dan tidak ditemukannya kata sepakat, maka munculah tiga pilihan yang
meminta masing-masing anggota sidang untuk memilih salah satu dari tiga pilihan berikut:
Masing-masing kader partai berembuk dan tentunya menggunakan berbagai perhitungan politik
untuk menentukan pilihan paling tepat sehingga masing-masing partai bisa memaksimalkan
utilitas mereka. Hasilnya adalah: Partai A memiliki preferensi Opsi 3 > Opsi 1 > Opsi 2, Partai
12
B memiliki preferensi Opsi 1 > Opsi 3 > Opsi 2, dan Partai C memiliki preferensi Opsi 2 > Opsi
3 > Opsi 1. Jelas bahwa musyawarah untuk mufakat tidak akan tercapai.
Apabila DPR memutuskan untuk melakukan pemungutan suara secara bersamaan terhadap 3
opsi tersebut (dan dengan demikian mempertahankan absence of domain restriction), dapat
dipastikan bahwa suara mayoritas tidak akan tercapai karena terjadi Voting Paradox dimana Opsi
1 > Opsi 2, Opsi 2 > Opsi 3, tapi Opsi 3 > Opsi 1. Dengan sendirinya, proses pengambilan
Dalam prakteknya, sangat jarang bagi kita (atau malah tidak pernah) melihat terjadinya Voting
Paradox dalam pengambilan keputusan DPR. Mengapa? Pasal 277 Ayat (2) dan (3) Tata Tertib
menyatakan bahwa dalam hal suatu masalah tidak dapat diputuskan melalui pemungutan suara,
terdapat pelanggaran terhadap persyaratan absence of domain dan potensi pelanggaran terhadap
persyaratan non-dictatorship.
Bayangkan misalnya Partai C menjadi pemimpin sidang dan berhak untuk menentukan agenda
sidang. Partai C mengetahui bahwa secara mayoritas, Opsi 3 tidak akan bisa mengalahkan Opsi
2, tetapi mereka tahu bahwa Opsi 1 akan mengalahkan Opsi 2. Partai C dapat meminta
dilakukannya pemungutan suara terlebih dahulu terhadap Opsi 1 versus Opsi 2 dimana
Karena Opsi 2 kalah di pemungutan suara tahap pertama, Partai C hampir dapat memastikan
bahwa Opsi 3 yang kemudian akan menjadi pemenang dalam pemungutan suara tahap 2. Partai
13
C dalam perspektif Public Choice Theory, disebut sebagai Agenda-Setter yang memanfaatkan
kondisi Voting Paradox untuk mendukung posisinya sendiri dalam pengambilan keputusan
(Mueller, 2008: 36 dan Romer dan Rosenthal, 2009: 105). Keberadaan Agenda-Setter ini
tentunya membahayakan proses demokrasi karena suatu opsi dapat disabotase sepanjang
informasi mengenai preferensi setiap pihak diketahui dan agenda rapat dapat diatur.
Contoh kasus di atas kemudian dapat kita gunakan untuk menganalisis setiap jenis pengambilan
keputusan di DPR, termasuk ketika mereka membahas berbagai jenis rancangan undang-undang
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Voting Paradox (yang kemudian diformalisasikan
dengan Arrow’s Impossibility Theorem) menunjukkan bahwa demokrasi ideal yang diasumsikan
akan menunjukkan "kehendak rakyat" tidak akan dapat dicapai secara sempurna (Levmore,
2005: 779). Hal tersebut sayangnya merupakan konsekuensi logis dari perilaku rasional masing-
masing agen politik dimana pilihan yang muncul akan didasarkan atas pertimbangan biaya dan
manfaat.
Voting Paradox juga menunjukkan bahwa sistem demokrasi memiliki celah inheren yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Hal inilah
yang juga menyebabkan munculnya perilaku Rent-Seeking dari para Interest Group sebagaimana
Ada banyak mekanisme yang dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana disebutkan di atas, misalnya melalui mekanisme voting untuk menentukan urutan
14
agenda sidang, menciptakan sistem proses pengambilan keputusan secara bertahap melalui dua
institusi yang berbeda guna meningkatkan check and balance (misalnya seperti sistem bikameral
di Amerika Serikat), dan peningkatan kuorum untuk pengambilan keputusan tertentu. Hal ini
Satu hal yang jelas perlu diperhatikan: sangatlah naif jika kita berpikir bahwa demokrasi melulu
soal suara terbanyak. Demokrasi (dan juga seluruh institusi politik lainnya di dunia ini) adalah
institusi yang memiliki berbagai kelemahan struktural. Hal tersebut menjadi alasan utama
mengapa kita harus mempelajari kelemahan-kelemahannya dan mencoba untuk terus menerus
memperbaikinya.
Perilaku Rent-Seeking dan munculnya Interest Group adalah konsekuensi logis dari sebuah
sistem yang demokratis dimana perang pengaruh antar para pihak memiliki posisi yang sangat
Hal ini yang selalu ditakutkan oleh James Madison, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat.
Apa yang ditakutkan oleh James Madison sering terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di
15
Kisah RT 07 yang disebutkan di awal merupakan penggambaran yang sangat sederhana dari
keberadaan Interest Group dan Rent-Seeking. Dalam skala yang lebih besar, kasus lobi
perusahaan di bidang industri tertentu, seperti misalnya rokok atau farmasi, terhadap proses
Alih-alih menganggap Rent-Seeking dan Interest Group sebagai perilaku menyimpang, penulis
berpendapat bahwa keberadaan kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan
Bagaimana perilaku Rent-Seeking dan Interest Group bisa muncul? Pertama, sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, kita telah berasumsi bahwa setiap agen politik akan berusaha untuk
memaksimalkan manfaat yang ia terima dan manfaat itu termasuk juga keuntungan yang bisa
didapatkan dengan jalan menggunakan kekuasaan politik yang dimiliki oleh agen politik yang
bersangkutan untuk memenuhi keinginan Interest Group tertentu. Mengingat proses persaingan
mendapatkan suara sangat sulit, keberadaan Interest Group menjadi sangat penting bagi para
politisi.
Kedua, dari sudut pandang Voting Paradox, terdapat celah inheren dalam proses demokrasi yang
memungkinkan perang pengaruh berjalan secara alamiah. Terlebih lagi, dalam proses
pertarungan politik pun sebetulnya terdapat Policy Paradox, suatu kondisi dimana dalam tiap
penyusunan suatu kebijakan terdapat pertentangan nilai-nilai dasar/abstrak yang sama kuat
16
Contoh sederhana: rokok membahayakan kesehatan masyarakat, namun di sisi lain memberikan
penghidupan bagi masyarakat tertentu dan memberikan pendapatan yang sangat besar bagi
pemerintah dalam bentuk bea dan cukai untuk dapat digunakan bagi pembangunan. Nilai-nilai
mana yang harus didahulukan ketika kita menyusun kebijakan terhadap rokok? Siapkah kita
sekedar menghitung untung rugi saja (mana yang lebih besar, biaya kesehatan karena rokok atau
pendapatan dari cukai dan penghidupan tenaga kerja)? Atau kah kita berpendapat bahwa
perlindungan kesehatan adalah hak asasi terpenting di atas hak mencari penghidupan yan layak?
Kebingungan dalam menentukan prinsip mana yang harus didahulukan dapat menciptakan
instabilitas di level pengambilan keputusan, khususnya ketika tidak ada dukungan mayoritas
terhadap preferensi tertentu. Hal tersebut dapat menarik minat Interest Group untuk berinvestasi
mencari dukungan bagi kepentingan mereka karena berarti potensi untuk mempengaruhi suatu
fraksi politik akan lebih besar (Levmore, 1999: 261-262). Logikanya, ketika preferensi suatu
pihak tidak terlalu menonjol, maka akan lebih mudah untuk mempengaruhi pihak tersebut
dengan iming-iming tertentu dibandingkan dengan mempengaruhi pihak yang sudah memiliki
Ketiga, Interest Group memiliki keunggulan sebagai pihak yang terorganisir, sehingga biaya
untuk berkoordinasi di antara mereka menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
secara keseluruhan yang tersebar dan sulit untuk berkoordinasi (yang sering juga disebut sebagai
7
Charles Wheelan menggunakan contoh petani-petani dalam grup kecil di Amerika yang berhasil
mempertahankan subsidi untuk sebuah produk yang sebenarnya sudah hampir tidak dipakai lagi. Semua karena
mereka lebih kecil dan dengan demikian sangat gigih memperjuangkan kepentingannya. Sementara itu, masyarakat
kebanyakan yang tidak merasa dibebani (karena jumlah subsidi itu menjadi sangat kecil nilainya apabila
17
Permasalahan koordinasi di atas juga dapat dimanfaatkan oleh Interest Group untuk mengambil
kesempatan dari Free Riders. Dalam konteks ini, Free Riders adalah pemilik suara yang berpikir
bahwa dirinya kemungkinan besar berada dalam posisi mayoritas, sehingga merasa tidak perlu
untuk memberikan suara karena akan ada orang lain yang akan melakukan hal tersebut untuk
Contoh sederhana di dunia nyata: dalam suatu pemilihan penyanyi idola, salah satu kandidat
yang sangat dijagokan ternyata kalah karena ternyata kebanyakan pendukungnya berasumsi
bahwa si kandidat sudah pasti menang dan akan ada orang lain yang memilih kandidat tersebut
Untuk menggambarkan secara lebih akurat konsekuensi dari keberadaan Rent-Seeking dan
Interest Group, khususnya terhadap perilaku legislator dalam mengambil keputusan dan
dampaknya terhadap masyarakat, penulis akan menggunakan model Wilson-Hayes, yang sering
Secara singkat, Wilson-Hayes Matrix menggambarkan pola distribusi biaya dan manfaat dari
suatu proses legislasi terhadap berbagai kelompok dalam masyarakat dan prediksi perilaku
legislator sehubungan dengan distribusi biaya dan manfaat tersebut. Dalam hal ini, terdapat 4
didistribusikan biayanya kepada seluruh penduduk Amerika), tidak terlalu peduli sehingga membiarkan subsidi itu
berlangsung untuk waktu yang sangat lama.
18
1. kondisi dimana manfaat dan biaya legislasi akan sama-sama terdistribusi secara luas
terhadap masyarakat;
2. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan didistribusikan kepada golongan tertentu
3. kondisi dimana manfaat legislasi akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat
umum namun biayanya akan dibebankan hanya kepada golongan tertentu; serta
4. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan terdistribusi kepada kelompok tertentu dan
Berikut adalah tabel lengkap dari Wilson-Hayes Matrix (Stearns dan Zywicki, 2009: 69):
19
mayoritas, di mana manfaat menguntungkan sekelompok orang
dirasakan oleh banyak pihak, dan dan merugikan sekelompok orang
ada sekelompok masyarakat yang yang lain.
menanggung akibatnya.
Wilson-Hayes Matrix memprekdisikan bahwa dalam banyak kasus, mayoritas peraturan yang
dibuat oleh suatu badan legislatif akan paling banyak berada di zona: Narrowly Conferred
Distributed Costs justru mendapatkan porsi yang kecil dikarenakan kurang menarik bagi para
legislator (manfaat pribadi bagi agen politik tidak jelas, apalagi jika misalnya kebanyakan
Kembali pada kasus RT 07 di mana misalnya lobi Halim berhasil dan Bahri menjadi ketua RT
07. Hal ini menyebabkan jembatan penghubung antara RT 07 dan RT 08 tidak terbangun
mempengaruhi proses voting dari RT 07, namun biayanya harus ditanggung oleh warga RT 07
dan RT 08 yang tidak memperoleh jembatan yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi kegiatan
perekonomian mereka.
Apabila biaya yang kemudian dibebankan kepada warga RT 07 dan RT 08 sebagai akibat dari
ketiadaan jembatan ternyata tidak terlalu besar jika dibagi bersama-sama, insentif bagi para
warga untuk mempertahankan haknya akan menjadi sangat rendah dan dengan sendirinya
20
Hal ini dapat diaplikasikan pula ke dalam konteks yang lebih besar, khususnya ketika kita
insentif yang tepat kepada masyarakat sehingga mereka akan lebih berminat untuk berpartisipasi
dalam proses politik, termasuk menciptakan Interest Group sendiri yang menyokong
F. Kesimpulan
Sekalipun terdapat banyak topik menarik lainnya yang menjadi pembahasan Public Choice
Theory, seperti misalnya interpretasi undang-undang, peranan lembaga kehakiman dan eksekutif,
dan sebagainya, dua topik sentral yang menjadi pondasi dasar dari Public Choice Theory dan
harus dipahami terlebih dahulu adalah: fenomena Voting Paradox dan keberadaan perilaku Rent-
Public Choice Theory berusaha untuk membahas kedua permasalahan tersebut dalam kerangka
berpikir ekonomi yang menekankan pada aspek perilaku rasional dari agen politik. Dibandingkan
dengan membahas perilaku politik dari sudut pandang normatif (dimana kita mengharapkan
perilaku ideal dari agen politik), Public Choice Theory lebih berkonsentrasi pada bagaimana kita
dapat menyusun suatu suatu sistem politik yang sehat dan memenuhi kriteria check and balance
Penulis berharap bahwa Public Choice Theory akan menjadi ide yang berpengaruh dalam
pendidikan hukum dan politik di Indonesia. Makalah ini hanya merupakan pengantar yang masih
bersifat umum dengan harapan dapat menarik minat para sarjana hukum untuk mengeksplorasi
21
Akhir kata, penulis ingin mengingatkan mengapa pendekatan Public Choice Theory dapat
mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh pendekatan normatif semata dalam memahami
perilaku legislator dengan mengambil kutipan dari James Madison dalam Federalist Paper, “If
men were angels, no government would be necessary” (Hamilton, Madison, dan Jay , 2008: 257).
Kalau semua orang adalah malaikat, sedari awal kita mungkin tidak memerlukan pemerintah.
Dengan kata lain, berkutat hanya pada hal ideal dan normatif sebenarnya tidak banyak
membantu.
22
Daftar Pustaka
Becker, Gary, 1990, The Economic Approach to Human Behavior, Chicago, The University of
Chicago Press.
Geanakoplos, John, 2005, “Three Brief Proofs of Arrow’s Impossibility Theorem”, Economic
Grofman, Bernard, 2008, "Kenneth Arrow" dalam Charles K. Rowley dan Friedrich Schneider
(ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New York, Springer.
Hamilton, Alexander, James Madison, dan John Jay, 2008, The Federalist Papers, New York,
Katz, Leo, 2011, Why The Law is So Perverse, Chicago, University of Chicago Press.
Levmore, Saul, 1999 “Voting Paradoxes and Interest Group”, Journal of Legal Studies, Vol 28.
Levmore, Saul, 2005 “Public Choice Defended”, University of Chicago Law Review, Vol 72.
Mueller, Dennis C., 2008, "Public Choice: An Introduction" dalam Charles K. Rowley dan
Friedrich Schneider (ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New
York, Springer.
Nambiar, K.K., Pramod K. Varma, dan Vandana Saroch, 1992, “A Graph-Theoretic Proof of
23
Posner, Richard, 2011, Economic Analysis of Law, 8th ed, New York, Aspen Publisher.
Romer, Thomas dan Howard Rosenthal, 1999, "Political Resource Allocation, Controlled
Agendas, and the Status Quo" dalam James M. Buchanan dan Robert D. Tollison (ed.), The
Theory of Public Choice II, Ann Arbor, The University of Michigan Press.
Stearns, Maxwell L. dan Todd J. Zywicki, 2009, Public Choice Concepts and Applications in
Stone, Deborah, 2002, Policy Paradox: The Art of Political Decision Making, New York, W.W
Tullock, Gordon dan James M. Buchanan, 2004, The Calculus of Consent: Logical Foundations
Wheelan, Charles, 2002, Naked Economics: Undressing the Dismal Science, New York, W.W
24