Anda di halaman 1dari 108

MODEL PREDATOR-PREY

STUDI KASUS : BURUNG PELATUK DAN ULAT CEMARA

SKRIPSI

JOKO SANTOSO

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA DAN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2021

i
MODEL PREDATOR-PREY
STUDI KASUS : BURUNG PELATUK DAN ULAT CEMARA

SKRIPSI

JOKO SANTOSO

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA DAN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2021

ii
ABSTRAK

JOKO SANTOSO. Model Predator-Prey Studi Kasus : Burung Pelatuk dan Ulat
Cemara. Dibimbing oleh TRI WIDJAJANTI dan RIUM HILUM.

Interaksi predator-prey merupakan interaksi yang terjadi antara dua spesies


berbeda. Dalam penelitian ini predator adalah burung pelatuk, dan prey adalah
ulat cemara. Jika populasi burung pelatuk dibiarkan semakin bertambah maka
populasi ulat cemara akan terancam. Kemudian jika populasi ulat cemara
berkurang maka akan berakibat pada berkurangnyan populasi burung pelatuk itu
sendiri. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menentukan
model predator-prey dari burung pelatuk dan ulat cemara serta menyelesaikan
model predator-prey berdasarkan asumsi-asumsi yang ada, yaitu

dV (t)
dt (
=r 1 V ( t ) 1−
V (t )
K )
−δ 2 V ( t ) H ( t )

dH (t)
dt
=r 2 H (t) 1− (
sH (t)
K )
Titik kesetimbangan model matematika predator-prey dari ulat cemara dan burung
pelatuk adalah E1=(0,0) dan E2=( K , 0). Titik E1=(0,0) stabil asimtotik pada
saat r 2 >0> r 1 , sedangkan E2=( K , 0) stabil asimtotik pada saat r 1 >r 2 >0 , r 2 >r 1 >0 ,
dan r 1=r 2> 0.

Kata Kunci: Predator-Prey, Titik Kesetimbangan, Analisis Kestabilan.

iii
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : JOKO SANTOSO

NIM : 201536003

Program Studi : MATEMATIKA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul


“Model Predator-Prey Studi Kasus : Burung Pelatuk dan Ulat Cemara”, yang
disusun seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri. Adapun bagian-bagian
tertentu dalam penulisan Skripsi yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah
dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian Skripsi ini bukan
hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Manokwari, Januari 2022

JOKO SANTOSO
201536003

iv
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : MODEL PREDATOR-PREY STUDI KASUS: BURUNG


PELATUK DAN ULAT CEMARA

Nama : JOKO SANTOSO

NIM : 201536003

JURUSAN : MATEMATIKA DAN STATISTIKA

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Tri Widjajanti, S.Si, M.Si Rium Hilum, S.Pd, M.Si


NIP. 19730926 200012 2 001 NIP. 19710912 200312 2 001

Diketahui

Dekan Fakultas MIPA Ketua Jurusan


Matematika dan Statistika

Markus H. Langsa S.Si, M.Sc. Ph.D Ir. Surianto Bataradewa, M.Si


NIP. 19751018 200003 1 001 NIP. 19641123 199203 1 002

v
Tanggal Lulus : 10 Februari 2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala,


karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaiakan
penulisan skripsi yang berjudul Model Predator-Prey Studi Kasus Burung Pelatuk
dan Ulat Cemara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaiakan
pendidikan Sarjana Sains pada Jurusan Matematika dan Statistika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Papua.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulis skripsi ini adalah berkat
bantuan, doa, dukungan dan saran-saran dari berbagai pihak. Dengan demikian,
pada kesempatan ini peulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak diantaranya:
1. Ibu Tri Widjajanti, S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu
Rium Hilum, S.Pd., M.Si selaku pembimbing kedua yang telah memberikan
arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Indah Ratih Anggriyani, S.Si., M.Si sebagai dosen wali penulis.
3. Ketua Jurusan dan seluruh dosen Matematika dan Statistika yang telah
mendidik dan membekali ilmu pengetahuan kepada penulis.
4. Kedua orang tua dan kakak yang telah memberi doa, harapan, semangat, dan
dukungan baik moril maupun materil
5. Sahabat-sahabat Angkatan 2015 (Triono Wahyu Diamtoro, Irfan Jayadi,
Seprianus Ardianto Sutrisno, La Fajrin, Nur Komariah, Elok Devi Susanti,
Misyatik, Kukuh Silvia Anggraeni, Nurin Hidayah, Nazaretha Imanuela
Lekahena dan Febria Widia Cahyani).
6. Sahabat-sahabat Angkatan 2014 (Muhammad Abdi Antasari, Melkisedek
Sampari Koibur, Siti Muslikah, dan Hertalina A. Paiki).
7. Sahabat-sahabat keluarga Himpunan Mahasiswa Matematika dan Statistika
(HIMMASTA).

vi
8. Sahabat-sahabat KKN Syoubri 2018 (Kak Yunus, Kak Adrin, Kak Engel,
Kak Pilemon, Kak Rafles, Kak Arianto, Kak Cesar Martinus, Nolis, Yunita,
Intan, Fika dan Diana).
9. Sahabat-sahabat Alumni Angkatan 17 IPA 2 SMANDA NABIRE (Eko,
Arifin, Wasingto, Afrian, Andika, Ozzi, Irham, Trio, Reni, Bejo, Rizal, Ryan,
Sulis, Ria, Dewi, Paradila, Novia, Putri, Argewidya, Endang, Esti).
10. Sahabat-sahabat MEJOSA
11. Sahabat-sahabat remaja Masjid Nurul Qolbi.
12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan tulisan ini,
sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Manokwari, Januari 2022

Penulis

vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire, 08 April 1997 dari Bapak Sadin dan Ibu
Sudarsi. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.
Penulis mulai menempuh pendidikan dasar pada Tahun 2003 di SD Inpres
Bumi Mulia. Tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 4
Wanggar dan pada Tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri
01 Plus KPG Nabire dan ditahun yang sama penulis pindah sekoah ke SMA
Negeri 02 Nabire. Tahun 2015 penulis lulus dari SMA dan pada Tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Universitas Papua melalui Jalur Sesama Perguruan
Tinggi Negeri dan di terima sebagai mahasiswa Jurusan Matematika dan
Statistika, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuanAlam, Universitas Negeri
Papua
Selama mengikuti perkuliahan, penulis melakukan Praktek Lapangan Kerja
(PKL) pada Januari Tahun 2019 di instansi Kantor Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) pada Juni Tahun 2018 di Kampung Syoubri Distrik Warmare.
Penulis juga memperoleh beasiswa Bidik Misi.. Pada bidang organisasi
mahasiswa, penulis menjabat sebagai Seksi Minat dan Bakat Himpunan
Mahasiswa Matematika dan Statistika (HIMMASTA) Periode 2016-2017.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL....................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii
DAFTAR SIMBOL..............................................................................................xiv

I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................2
1.5 Prosedur Penelitian....................................................................................2

II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3


2.1 Fungsi........................................................................................................3
2.2 Fungsi Eksponensial .................................................................................4
2.3 Turunan.....................................................................................................5
2.4 Persamaan Diferensial...............................................................................6
2.5 Sistem Persamaan Diferensial...................................................................8
2.6 Model Matematika....................................................................................9
2.7 Model Predator Prey Leslie-Gower........................................................11
2.8 Matriks dan Nilai Eigen..........................................................................11
2.9 Linearisasi Sistem....................................................................................12
2.10 Titik Kesetimbangan dan Kestabilan......................................................13

III. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................18


3.1 Identifikasi Masalah................................................................................18
3.2 Asumsi Model.........................................................................................18
3.3 Pembentukan Model Matematika............................................................19
3.3.1 Pertumbuhan Ulat Cemara.............................................................19
3.3.2 Pertumbuhan Burung Pelatuk.........................................................21
3.4 Menentukan Titik Kesetimbangan..........................................................22

ix
3.5 Analisis Kestabilan..................................................................................22
3.6 Simulasi Numerik....................................................................................25

IV. PENUTUP....................................................................................................58
4.1 KESIMPULAN.......................................................................................58
4.2 SARAN...................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................59
LAMPIRAN...........................................................................................................60

x
DAFTAR TABEL

No Halaman
2.1 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen.............................................................14
3.1 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen dari E 1=(0,0)....................................24
3.2 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen dari E 2(K,0)......................................25
3.3 Kesimpulan Simulasi pada Titik Kesetimbangan E 1=(0,0).......................34
3.4 Kesimpulan Simulasi pada Titik Kesetimbangan E 2=(K , 0).....................44
3.5 Kesimpulan Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung
Pelatuk..........................................................................................................55

xi
DAFTAR GAMBAR

NO Halaman
1.1 Langkah-langkah Prosedur Penelitian........................................................... 2
2.2 Tipe Kestabilan Berdasarkan nilai eigen......................................................15
3.1 Kompartemen Model predator-prey.............................................................19
3.2 Potret Fase Kasus r 1 >r 2 >0 pada titik E1 (0,0).............................................26
3.3 Potret Fase Kasus r 2 >r 1 >0 pada titik E1 (0,0).............................................27
3.4 Potret Fase Kasus r 1=r 2> 0 pada titik E1 (0,0)............................................28
3.5 Potret Fase Kasus r 2=r 1< 0 pada titik E1 (0,0).............................................29
3.6 Potret Fase Kasus r 1 <r 2 <0 pada titik E1 (0,0).............................................30
3.7 Potret Fase Kasus r 2 <r 1 <0 pada titik E1 (0,0)..............................................31
3.8 Potret Fase Kasus r 1 >0> r 2pada titik E1 (0,0)..............................................32
3.9 Potret Fase Kasus r 2 >0> r 1pada titik E1 (0,0)..............................................33
3.10 Potret Fase Kasus r 1 >r 2 >0 pada titik E2 ( K , 0)............................................36
3.11 Potret Fase Kasus r 2 >r 1 >0 pada titik E2 ( K , 0)............................................37
3.12 Potret Fase Kasusr 1=r 2> 0 titik E2 (K , 0)....................................................38
3.13 Potret Fase Kasusr 1=r 2< 0titik E2 ( K , 0).....................................................39
3.14 Potret Fase Kasus r 1 <r 2 <0 titik E2 (K , 0).....................................................40
3.15 Potret Fase Kasus r 2 <r 1 <0 titik E2 (K , 0)....................................................41
3.16 Potret Fase r 1 >0> r 2 Kasus titik E2 (K , 0)....................................................42
3.17 Potret Fase r 2 >0> r 1 Kasus titik E2 (K , 0)....................................................43
3.18 Pertumbuhan Populasi Ulat Cemara.............................................................46
3.19 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk........................................................47
3.20 Hubungan Ulat Cemara dan Burung Pelatuk..............................................48

xii
3.21 Pertumbuhan Populasi Ulat Cemara.............................................................49
3.22 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk........................................................50
3.23 Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk.................................51
3.24 Hubungan Populasi Ulat Cemara.................................................................52
3.25 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk........................................................53
3.26 Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk.................................54

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Titik Kesetimbangan.....................................................................................61
2. Nilai Eigen dari Titik Kesetimbangan E1 (0,0) dan E2 (K , 0)......................62
3. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 >r 2 >0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0).............................................64
4. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 >r 1 >0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0).............................................65
5. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1=r 2> 0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)............................................66
6. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2=r 1> 0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)............................................67
7. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 <r 2 <0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)............................................68
8. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 <r 1 <0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)...........................................69
9. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 >0> r 2 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)..........................................70
10. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 >0> r 1 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0).............................................71
11. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 >r 2 >0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................72
12. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 >r 1 >0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................73

xiii
13. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1=r 2> 0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)..........................................74
14. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1=r 2< 0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)..........................................75
15. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 <r 2 <0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................76
16. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 <r 1 <0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................77
17. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 1 >0> r 2 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................78
18. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk Kasus
r 2 >0> r 1 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)...........................................79
19. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 1 >r 2 >0 ...........................80
20. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 1 >r 2 >0 ......................81
21. Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk pada Kasus
r 1 >r 2 >0 .........................................................................................................82
22. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 2 >r 1 >0 ...........................83
23. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 2 >r 1 >0 ......................84
24. Simulasi Hubungan PopulasiUlat Cemara dan Burung Pelatuk pada Kasus
r 2 >r 1 >0 .........................................................................................................85
25. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 1=r 2> 0..........................86
26. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 1=r 2> 0.....................87
27. Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk pada Kasus
r 1=r 2> 0........................................................................................................88

xiv
DAFTAR SIMBOL

SIMBOL ARTI

V Ulat Cemara
H Burung Pelatuk
β1 Angka rata-rata pertumbuhan ulat cemara.
δ1 Angka rata-rata kematian alami ulat cemara.
δ2 Angka kematian populasi ulat cemara akibat burung pelatuk.
γ Angka kematian tergantunng pada kepadatan ulat cemara.
β2 Angka rata-rata kelahiran burung pelatuk.
σ1 Angka rata-rata kematian alami burung pelatuk.
σ2 Angka rata-rata kematian burung pelatuk tergantung pada
kepadatan ulat cemara.
r Tingkat konsumsi maksimum pada ulat cemara
s Banyaknya ulat cemara yang dibutuhkan untuk mendukung
eksistensinya
K Daya tampung lingkungan.
A Matriks nxn
I Matriks Identitas
λ Nilai Eigen

xv
n
R Himpunan ruang Riil berdimensi n
dV
Rata-rata pertumbuhan prey persatuan waktu
dt
dH
Rata-rata pertumbuhan predator persatuan waktu
dt

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ulat cemara (budworm) adalah serangga yang sangat merusak yang
memakan hutan jenis konifera, khususnya cemara balsam. Ada sekitar selusin
spesies budworm, yang sebagian besar mampu menghancurkan seluruh hutan.
Wabah ulat cemara sangat merugikan dalam perkembangan hutan ini (Huang et
al, 2012).
Sejarah mencatat bahwa ulat cemara terjadi lebih sering pada abad ke-20.
Alasan peningkatan frekuensi dan keparahan wabah sebagian besar disebabkan
oleh manusia, antara penebangan habis tegakan kayu pulp, proteksi kebakaran,
dan penggunaan pestisida terhadap ulat cemara. Pengelolaan hutan jangka panjang
dilakukan untuk mengurangi wabah cemara dimasa depan, antara lain dengan
penanaman pohon cemara putih dalam skala besar, meningkatkan tegakan hutan
dan pembatasan penggunaan pestisida. Pengurangan wabah ulat cemara juga
dilakukan dengan secara alami dengan mendatangkan predator alami dari ulat
cemara yaitu burung pelatuk (J.R. Blais, 1983). Pelatuk merupakan burung dari
ordo Piciformes yang ditemukan di seluruh dunia dan populasi burung pelatuk
berjumlah 218 (termasuk Pelatuk Gading) (UNKRIS, 2005).
Fenomena mewabahnya ulat cemara yang diatasi dengan mendatangkan
burung pelatuk dapat di modelkan menurut Edwards & Penney (2008). Secara

xvi
matematis menjadi model predator-prey, predatornya burung pelatuk dan preynya
ulat cemara. Model predator-prey yang paling sederhana adalah model Lotka-
Volterra dengan asumsi pertumbuhan prey mengikuti pertumbuhan Malthus.
Akan tetapi, model tersebut memiliki kelemahan karena pada model pertumbuhan
Malthus, populasi tumbuh tidak terbatas seiring dengan pertambahan waktu. Pada
kenyataannya, suatu populasi tidak dapat bertambah secara terus menerus karena
adanya faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan populasi seperti ruang
hidup, makanan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, model Lotka-Volterra
kemudian dimodifikasi dengan mengasumsikan pertumbuhan prey mengikuti
logistik.
Penelitian sebelumnya yang terkait dengan ulat cemara, dilakukan oleh
Moh. Subadar tentang Analisis Model Ulat Cemara (budworm) dengan Metode
Euler. Penelitian ini membahas tentang Model Predator-Prey Studi Kasus Burung
Pelatuk dan Ulat Cemara.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana menentukan model Predator-Prey studi kasus Burung Pelatuk
dan Ulat Cemara ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan menentukan model Predator-Prey Studi Kasus
Burung Pelatuk dan Ulat Cemara.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah menambah wawasan tentang fenomena alam
yang dapat dimodelkan.

1.5 Prosedur Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan atau studi literatur. Adapun langkah-langkah dalam pembentukan
model matematika predator-prey sebagai berikut:

Membuat asumsi-
Mengidentifikasi Kontruksi model
asumsi yang
masalah sesuai dengan
berkaitan dengan
Predator-Prey asumsi xvii
Predator-Prey
Simulasi
numerik
menggunakan Menganalisis
Sofware Maple Kestabilan pada Menentukan
13 titik titik
Kesetimbangan kesetimbangan

Gambar 1.1 Langkah-langkah Prosedur Penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi
Fungsi dalam matematika adalah pemetaan setiap anggota sebuah himpunan
(domain) kepada anggota himpunan yang lain (kodomain). Anggota himpunan
yang dipetakan dapat berupa apa saja, namun pada penelitian ini yang dibahas
adalah pemetaan yang domain dan kodomain pada semua himpunan semua
bilangan R.

Definisi 2.1.1 (Purcell, et al., 2003)


Suatu fungsi f adalah suatu aturan yang menghubungkan dua himpunan, yakni
himpunan pertama yang memuat objek x disebut domain fungsi dan himpunan
kedua yang memuat nilai tunggal f(x) atau himpunan nilai yang diperoleh dari
nilai aturan fungsi f disebut kodomain fungsi.
Penamaan fungsi menggunakan notasi sebuah huruf tunggal seperti f
(atau g atau u). Fungsi f dengan aturan dibaca “f dari x’’ atau “f pada x’’ ,
menunjukkan nilai yang diberiksan oleh f terhadap x.
Contoh 2.1.2
1
Diketahui f ( x )= carilah domain dari nilai f(10).
( x −4)

xviii
Penyelesaian:
Daerah asal untuk f adalah{ x ∈ R : x ≠ 4 } dibaca “x adalah anggota R sedemikian
hingga x tidak sama dengan 4’’. Angka 4 dikecualikan untuk menghindari
pembagian dengan 0.
Selanjutnya untuk mencari nilai dari f(10) adalah
1 1
f ( 10 )= =
(10−4) 6
1
Jadi, adalah nilai dari f(10).
6
Definisi 2.1.3 (Purcell, et al., 2003)
Fungsi dua peubah atau lebih adalah fungsi f yang menghubungkan setiap
pasangan berurutan (x, y) pada suatu himpunan D dalam suatu bidang dengan
sebuah bilangan real dari f(x,y).
2.2 Fungsi Eksponensial (Purcell et al., 2003)
Fungsi eksponensial asli dengan notasi exp merupakan balikan dari
logaritma asli ¿. Sehingga diperoleh x = exp y⇔ y =In x. Akibatnya jika x dan y
adalah bilangan riil, maka diperoleh

i. exp ¿
ii. ln ( exp y ) ¿ y

Definisi 2.2.1 (Purcell et al., 2003)


x
Diberikan x bilangan riil dan a > 0 diperoleh hubungan a x =e lna atau a x =e xln a
Contoh 2.2.2
Misalkan a =3 dan x = 2, maka dapat diperoleh hubungan berikut.
2 2 ln 3 2 ( 1,0986123)
3 =e ≈ e ≈ 9.00000

Selanjutnya dibahas tentang sifat-sifat dari fungsi eksponensial dalam teorema


berikut

Teorema 2.2.3 (Purcell et al., 2003)


Jika x dan y adalah bilangan rill dan a> 0 , b>0 , maka
i. a x .a y =a x+ y
x
a x− y
ii. y
=a
a

xix
iii. (a ¿¿ x ) y =axy ¿
x x x
iv. (ab) =a b

v. ()
a x ax
b
= x
b

Bukti
x y x+ y
i. a .a =a
x y
Misalkan a x .a y =a ln a a berdasarkan definisi 2.2.1, diperoleh
x y
= e ln a +e ln a
=e x ln a +e y ln a
=e ( x+ y )ln a
x+ y
ln a x+ y
¿e =a
(x + y)
=a ∎
x
a x− y
ii. y
=a
a
x
a x− y

Misalkan y
=e ln a berdasarkan Definisi 2.2.1, diperoleh
a
x y
= e ln a −¿ a
= e x ln a− y ln a
=e ( x− y ) ln a
x− y
ln a
¿e
= a x− y ∎

iii. (a ¿¿ x ) y =axy ¿
Misalkan (a ¿¿ x ) y =e ln ¿¿ ¿ ¿ berdasarkan Definisi 2.2.1 , diperoleh
x
= e y ln a
= e yx ln a
= a xy ∎
iv. (ab) x =a x bx
Misalkan (ab) x =e x ln (ab ) berdasarkan Definisi 2.2.1 , diperoleh
= e x (ln a+ln b)
= e x ln a . e x ln b
x y
ln a ln a
¿e e
= a x bx ∎

xx
()
x x
a a
v. = x
b b
Misalkan ¿ berdasarkan Definisi 2.2.1 , diperoleh
a
= e x ln ( b )
= e x (ln a−ln b)
x ln a
e
=
e x ln b
ax
= x∎
b

2.3 Turunan (Purcel et al., 2007)


Subbab ini membahas tentang definisi turunan dan contohnya.

Definisi 2.3.1 Turunan


Turunan dari fungsi f adalah fungsi lain f’ (dibaca ‘‘f aksen’’) yang nilai pada
sebarang bilangan c adalah
f ( c +h ) −f (c)
f ' ( c)=lim
h →0 h
Asalkan limit ini ada, dikatakan bahwa f dapat diturunkan di c.
Contoh 2.3.2
Misalkan f(x) = x3 + 7x, carilah f’(x)
Penyelesaian:
f ( x +h )−f (x)
f’(x) = lim
h→ 0 h

= lim
[ ( x +h )3 +7 ( x +h ) ] −[ x 3+7 x ]
h→ 0 h
2 2 3
3 x h+ 3 xh + h + 7 h
= lim
h→ 0 h

= lim 3 x 2 +3 hx +h2 +7
h→ 0

= 3 x 2+7
Notasi turunan biasa disebut dengan Notasi Leibniz yang ditemukan oleh
Gottfried Wilhelm Leibniz. Berikut adalah penulisan notasi Leibniz

xxi
dy ∆y f ( x +∆ x )−f (x)
= lim = lim =f '(x )
dx ∆ x→ 0 ∆ x ∆ x→ 0 ∆x
dy
namun, adalah notasi standar untuk turunan dan untuk selanjutnya akan
dx
digunakan notasi tersebut.

2.4 Persamaan Diferensial


Menurut (Trench, William F. 2013) bahwa penerapan metode matematika
ke masalah fisik atau ‘’kehidupan nyata’’ dapat dilakukan dengan membuat model
matematika untuk masalah tersebut. Banyak masalah fisik atau ‘’kehidupan
nyata’’ yang berkaitan dengan perubahan kuantitas. Karena laju perubahan secara
matematis diwakili oleh turunan, model matematika sering melibatkan persamaan
yang berkaitan dengan fungsi yang tidak diketahui dari satu atau lebih turunannya
yang biasa disebut persamaan diferensial atau PD.
Definisi 2.4.1 Persamaan Diferensial (Boyce dan Diprima, 2001)
Persamaan diferensial adalah persamaan yang mengandung turunan satu atau
lebih fungsi yang diketahui.
Derajat atau orde (ordo) dan pangkat (degree) merupakan beberapa istilah
pada persamaan diferensial. Derajat atau ordo adalah bilangan yang menunjukkan
tingkat tertinggi dari turunan yang terdapat dalam PD tersebut. Sedangkan
pangkat atau degree adalah pangkat tertinggi dari turunan tingkat tertinggi yang
terdapat dalam PD tersebut.
Definisi 2.4.2 :
Orde dalam suatu persamaan diferensial adalah tingkat turunan tertinggi dalam
persamaan diferensial tersebut.

Contoh 2.4.3
Tentukan ordo dan pangkat dari PD

( )( )
3
d2 y dy 6
(i) + =x (PDB ordo 2 dengan pangkat 3)
dx 3 dx

xxii
3
d y
(ii) 3
+3 y=0 (PDB ordo 3 dengan pangkat 1)
dx
Persamaan diferensial dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1.) Persamaan Diferensial Biasa (Ordinary Differential Equation atau ODE)
Suatu persamaan diferensial disebut Persamaan Diferensial Biasa (PDB)
apabila PD tersebut memuat turunan dari fungsi satu peubah.
Contoh 2.4.4
Berikut ini merupakan contoh PDB
dy
(i) =4 x
dx
3
d y
(ii) 3
+3 y=0
d x
2.) Persamaan Diferensial Parsial (Partial Differential Equation atau PDE)
Suatu persamaan diferensial disebut Persamaan Diferensial Parsial (PDP)
apabila PD tersebut memuat turunan parsial dari fungsi dua atau lebih peubah
bebas.
Contoh 2.4.5
Berikut ini merupakan contoh PDP
∂u ∂2 u
(i) =k 2
∂y ∂x
∂2 u ∂ 2 u
(ii) 2
+ 2 =0
∂x ∂ y
Persamaan diferensial selain diklasifikasikan sebagai PDB dan PDP juga
diklasifikasikan PD linear atau PD nonlinear. Persamaan diferensial biasa
F(t, y, y’,…, y’’) disebut linear jika dan hanya jika F merupakan fungsi linear dari
variabel t, y, y’,…, yn. Secara umum persamaan diferensial biasa linier berorde n
adalah
a 0 ( t ) y ( n) +a 1 ( t ) y ( n−1 )+ …+a n ( t ) y =g (t)
Contoh 2.4.6
Berikut ini merupakan contoh PDB dan PDB yang linear.
2
d Q(t) dQ(t ) 1
(i) L +R + Q ( t ) =E ( t ) .
d
t
dt c

xxiii
2
2 ∂ u(x ,t) ∂ u( x ,t )
(ii) α 2
= 2 atau α 2 u xx =u t
∂x ∂t
2
(iii) α u xx =u tt
Berikut ini merupakan contoh PD nonlinear.
y ' ' ' +2 et y' ' ' + y y ' =t 4 .

2.5 Sistem Persamaan Diferensial


Persamaan diferensial berdasarkan kelinierannya dibedakan menjadi dua,
yaitu persamaan diferensial linear dan persamaan diferensial nonlinear.
a. Persamaan Diferensial Linear dan Persamaan Diferensial Non Linear
Persamaan Diferensial Biasa (PDB) dengan F(t, y, y’…, y n ¿ = 0 dikatakan
linear jika F adalah linear dalam variabel-variabel y , y ' … , y n . Dalam hal ini
berlaku juga untuk PDP. Sehingga persamaan umum PDP Linear orde n
diberikan dengan a 0 ( t ) y n+ a1 ( t ) y n−1+ …+an ( t ) y=g (t ) sedangkan PDP yang
tidak linear disebut persamaan diferensial non linear.
Contoh 2.5.2 :
2 2
∂ u ∂ u
Tentukan orde dari 2 + 2 =0 (2.1)
∂x ∂ y
Tentukan orde dari persamaan diferensial parsial tersebut.
Penyelesaian:
Persamaan (2.1) berorde 2, karena turunan tertinggi adalah dua.
Berikut merupakan contoh persamaan diferensial linear dan non linear
2
2 d y dy
1. t 2
+t + 2 y=¿ sin t (Persamaan diferensial linear)
dt d
dy 2
2. 4 + y x =0 (Persamaan diferensial non linear)
dt
Sistem Persamaan diferensial adalah kumpulan beberapa persamaan diferensial.
T
Diberikan vektor ∈ K , dimana K ⊆ Rn dengan x=( x 1 , x 2 , x 3 , … , x n ) dan

( x 1 , x 2 , x 3 , … , x n ) ∈ Rn. Fungsi f : K → R n dan f =( f 1 , f 2 , f 3 ,.. , f n) T , fϵ C 1 (K )

xxiv
(2.2)
dimana C 1( K )merupakan himpunan fungsi yang mempunyai turunan pertama
dx
yang kontinu di K , misalkan ẋ= , maka
dt
x˙1=f 1 ( x 1 , x 2 , x 3 , … , x n )
x˙2=f 2 ( x 1 , x 2 , x 3 , … , x n )
x˙3=f 3 ( x 1 , x 2 , x 3 , … , x n )

x˙n=f n ( x1 , x2 , x3 , … , x n)
Sistem pada (2.2) dapat ditulis
ẋ=f ( x)

2.6 Model Matematika (Subadar, Moh., 2013)


Model adalah representasi suatu realitas dari seorang pemodel. Dengan kata
lain model adalah jembatan antara dunia nyata dengan dunia berfikir untuk
memecahkan masalah. Proses penjabaran atau mempresentasikan ini disebut
dengan pemodelan yang tidak lain merupakan proses berfikir melalui urutan
kejadian yang logis. Model dibangun atas proses berfikir dari dunia nyata yang
kemudian diinterpretasikan melalui proses berfikir, sehingga menghasilkan
pengertian dan pemahaman mengenai dunia nyata.
Membangun sebuah model diperlukan beberapa tahapan agar dihasilkan
model yang realibel. Secara umum tahapan-tahapan tersebut meliputi identifikasi
masalah, membangun asumsi-asumsi, membuat kontruksi model, membangun
model, menginterpretasikan model, dan validasi model.
1. Identifikasi masalah
Pemodel harus mempunyai kemampuan masalah yang ada dirumuskan
sehingga dapat ditranslasikan kedalam bahasa matematika.

2. Membangun asumsi-asumsi

xxv
Hal ini diperlukan karena model adalah penyederhanaan realitas yang
kompleks. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan memerlukan asumsi,
sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang akan
dicari solusi atau jawabannya.
3. Membuat kontruksi model
Hal ini dapat dilakukan baik melalui hubungan fungsional dengan cara
membuat diagram, alur, maupun persamaan-persamaan matematika. Kontruksi
ini dapat dilakukan baik dengan bantuan komputer software maupun secara
analitik.
4. Membangun model
Membangun model adalah menentkan analisis yang tepat. Inti tahap ini adalah
mencari solusi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada
tahap identifikasi.
5. Menginterpretasikan model
Interpretasi ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah hasil tersebut
memang masuk akal atau tidak. Interpretasi juga diperlukan untuk
mengkomunikasikan keinginan si pemodel dengan hasil analisis yang
dilakukan oleh computer ataupun alat pemecah model lainnya.
6. Validasi model
Pada tahap ini tidak hanya menginterpretasikan model, tetapi juga melakukan
verifikasi atas keabsahan model yang dirancang dengan asumsi yang dibangun
sebelumnya. Model yang valid tidak hanya mengikuti kaidah-kaidah teoritis
yang shahih, namun juga memberikan interpretasi atas hasil yang di peroleh
mendekati kesesuaian dalam hal besaran, uji-uji standar seperti statistik, dan
prinsip-prinsip matematika lainnya, seperti first order conditional, second
order conditional , dan sebagainya. Jika sebagian besar standar verifikasi ini
bias di lalui, model dapat diimplementasikan. Sebaliknya, jika tidak kontruksi
model harus dirancang ulang.

xxvi
2.7 Model Predator Prey Leslie-Gower
Menurut (Resmawan, 2019) bahwa Leslie (1948) memperkenalkan model
sistem Lotka-Volterra yang dimodifikasi. Pada model Leslie, prey diasumsikan
bertumbuh secara logistik dengan daya dukung lingkungan, K dan berkurang
dengan fungsi respon Holling Tipe 1, sehingga
dx
dt (x
=ax 1− −rxy
K ) (2.3)

Pada model Leslie, predator diasumsikan bertumbuh secara logistik dengan


daya dukung lingkungan yang proporsional terhadap ketersediaan jumlah populasi
prey, sehingga
dy
dt (
=by 1−
sy
x ) (2.4)

Jika persamaan (2.3) dan (2.14), diperoleh Model Leslie-Gower


dx
dt ( ) x
=ax 1− −rxy
K
(2.5)
=by ( 1− )
dy sy
dt x

2.8 Matriks dan Nilai Eigen


Menurut ( Johnson dan Wichern, 2007) bahwa subbab ini membahas
tentang definisi matriks, vektor eigen dan contohnya.

Definisi 2.8.1
Matriks A betipe n x p atau di tulis A(nxp) adalah daftar bilangan riil yang terdiri
dari n baris dan p kolom, ditulis

[ ]
a11 a12 … a1 p
a a … a2 p
A(nxp)= 21 22
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
an 1 an 2 … anp

Definisi 2.8.2 (Anton dan Rorres, 2005)


Diberikan A adalah matriks n x n, taknol x di dalam Rn dinamakan eigen (eigen
vector) dari A jika
Ax = λx (2.6)

xxvii
dengan λ scalar.
Skalar λ dinamakan nilai eigen (eigen value) dari A dan x dikatakan vector
eigen yang bersesuaian dengan λ.
Nilai eigen matriks A yang berukuran n x n dirumuskan dengan
( λI − A ) x=0 (2.7)
Jika λ menjadi nilai eigen, maka harus ada pemecahan taknol. Sistem (2.7) akan
menjadi pemecahan taknol jika dan hanya jika
det ( λI −A ) x=0 (2.8)
Persamaan (2.8) disebut persamaan karakteristik A.
Contoh 2.8.3
Carilah nilai-nilai eigen dari matriks

[
A= 3 2
−1 0 ] (2.9)

Penyelesaian
Jika (2.9) disubstitusikan ke (2.7) dan diselesaikan, maka diperoleh persamaan
karakteristik sebagai berikut
λ 2−3 λ+2=0 (2.10)
Jika (2.10) difaktorkan, maka diperoleh nilai eigen dari matriks A adalah
λ 1=1 atau λ 2=2

2.9 Linearisasi Sistem


Linearisasi sistem menurut Boyce dan Diprima (2001), dapat dilakukan
dengan matriks Jacobi atau Jacobian. Jika ( x 0 , y 0 ) adalah titik kesetimbangan,
maka dapat dilakukan linearisasi sistem di titik kesetimbangan.
Misal fungsi kontinu f dan g dengan

dx
=f ( x , y )
dt
(2.11)
dy
=g(x , y ).
dt
Pendekatan fungsi kontinu f dan g, dapat ditentukan dengan menggunakan
ekspansi deret Taylor

xxviii
∂ f ( x0 , y0 ) ∂ f ( x0 , y0 )
f ( x , y ) ≈ f ( x0 , y0 )+ ( x−x 0 ) + ( y− y 0 ) (2.12)
∂x ∂y
dan

∂ g ( x0 , y0) ∂ g ( x0 , y 0 )
g ( x , y ) ≈ g ( x0 , y0 )+ ( x−x 0 ) + ( y− y 0 ) (2.13)
∂x ∂y
Karena ( x 0 , y 0 ) adalah titik kesetimbangan, maka f ( x 0 , y 0 )=g ( x 0 , y 0 )=0. sehingga
(2.11) dapat didekati dengan sistem linear

dx ∂ f ( x0 , y 0 ) ∂ f ( x0 , y0 )
= ∆ x+ ∆y (2.14)
dt ∂x ∂y
dan

dy ∂ g ( x 0 , y 0 ) ∂ g ( x0 , y0 )
= ∆ x+ ∆y (2.15)
dt ∂x ∂y

sistem linear pada (2.14) dan (2.15) dapat ditulis dalam bentuk

[ ][ ]
dx ∂ f ( x0 , y0 ) ∂ g ( x0 , y0 )
dt =
dy
∂x ∂x ∆x
∂ f ( x0 , y0 ) ∂ g ( x0 , y0 ) ∆ y [ ]
=J ( x )
∆x
∆y [ ] (2.16)
dt ∂y ∂y

dengan J ¿) adalah matriks Jacobian.

2.10 Titik Kesetimbangan dan Kestabilan


Menurut (Finizio dan Ladas, 1982) bahwa subbab ini membahas tentang
Titik Kesetimbangan dan Kestabilan dan contohnya.

Definisi 2.10.1 (Titik Kesetimbangan Populasi)


Titik kesetimbangan dari populasi merupakan titik dimana populasi tersebut
tidak mengalami perubahan sepanjang waktu.

Definisi 2.10.2 (Titik Kesetimbangan)


2
Diketahui fungsi kontinu f dan g, titik ( x 0 , y 0 ) ∈ R disebut titik kesetimbangan jika

xxix
f ( x 0 , y 0 )=0 dan g ( x 0 , y 0 )=0
(2.17)
Definisi 2.10.3 (Kestabilan)
Kestabilan adalah suatu perubahan kecil dalam syarat awal yang mempunyai
pengaruh besar pada penyelesaian.

Definisi 2.10.4
Jika x = x E dan f(x) = 0, maka system dikatakan stabil di x = x E dengan kriteria
kestabilan berdasarkan pada nilai eigen yaitu:
i. Jika λ 1> 0 dan λ 2> 0, maka sistem dikatakan tidak stabil.
ii. Jika λ 1< 0 dan λ2 <0 ,maka sistem dikatakan stabil.
iii. Jika λ 1< 0 dan λ2 >0 atau λ 1> 0 dan λ2 <0 , maka sistem dikatakan stabil
asimtotik.
iv. Jika λ = ± (a+bi) dengan a ≤ 0 maka sistem dikatakan stabil dengan
syarat
a. Jika a < 0, maka system dikatakan stabil dalam lintasan yang
berbentuk spiral
b. Jika a < 0 , maka sistem dikatakan stabil netral.

Kriteria kestabilan berdasarkan nilai eigen menurut Boyce dan Diprima (2001)
dapat di lihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen.


Nilai Eigen Tipe Jenis Kestabilan
λ 1> λ2 >0 Titik Simpul Sejati Tidak Stabil
λ 1< λ2 <0 Titik Simpul Sejati Stabil Asimtotik
λ 2< 0< λ1 Titik Pelana Tidak Stabil
λ 1=λ2 >0 Titik Simpul Sejati tidak sejati Tidak Stabil
λ 1=λ2 <0 Titik Simpul Sejati tidak sejati Stabil Asimtotik

xxx
a> 0 Titik Spiral Tidak Stabil
λ 1 , λ2 =a ± bi a> 0 Titik Spiral Stabil Asimtotik
b≠0 a=0 Titik Pusat Stabil

Titik Pusat Titik Spiral (stabil) Titik Pelana

Titik Spiral (tidak stabil) Titik Simpul (stabil) Titik Simpul (tidak stabil)

Gambar 2.2 Tipe Kestabilan Berdasarkan nilai eigen

Contoh 2.10.5
Tentukan titik kesetimbangan dan jenis kestabilan dari sistem berikut
dx
=x( a−βy )
dt (2.18)
dy
= y (−γ +δx)
dt

dengan α , β , γ , dan δ merupakan koefisien persaingan yang bernilai positif.


Variabel x menyatakan jumlah populasi dari prey dan y menyatakan populasi dari
predator .

xxxi
Penyelesaian :
Jika f ( x , y )=x (a−βy), maka menurut Definisi 2.10.2 diperoleh
a
x=0 atau y= .
β
Jika g ( x , y )= y (−γ + δx), maka menurut Definisi 2.10.2 diperoleh
γ
x= atau y = 0.
δ
Sehingga titik kesetimbangan dari (2.18) adalah

E1= ( 0,0 ) (2.19)

E2= ( δγ , aβ ) (2.20)

Jika (2.18) disubstitusi ke (2.16), maka diperoleh

J ¿) = [ a−βy
−βx
δy
−γ +δx]. (2. 11)

Jika (2.19) disubstitusi ke (2.21), maka diperoleh

J ¿ ¿) = [ a0 −γ0 ] (2.22)

Jika (2.20) disubstitusikan ke (2.21), maka diperoleh

[ ]
δa
0
β
J ¿ ¿) = (2.23)
−γβ
0
δ

Selanjutnya mencari nilai eigen dari Matriks (2.22) dengan menggunakan (2.7)

Jika I = [10 01] dan J ¿ ¿) = [ a0 −γ0 ] dan titik E = (0,0), maka diperoleh
1

|λ−α
0
0
λ +γ
=0. | (2.24)

xxxii
Jika (2.24) diselesaikan, maka diperoleh
( λ−α )( λ +γ )=0 .
Nilai eigen dari Matriks (2.33) adalah λ 1=α atau λ 2=−γ

λ 1> 0 atau λ 2< 0 . (2.25)


Nilai eigen pada (2.25) dari titik E1 menurut Definisi 2.10.4 disebut tidak
stabil.Selanjutnya akan dicari nilai eigen dari Matriks (2.23) dengan menggunakan
(2.7)

[ ]
δa
0
Jika I= [10 01] dan J ¿ ¿) = −γβ 0
β
dan titik E2= ( δγ , aβ ) maka diperoleh
δ
¿.

| |
−δa
λ
β =0
. (2.26)
γβ
λ
δ

Jika (2.26) diselesaikan, maka diperoleh


λ 2+ γa=0.
Nilai eigen dari Matriks (2.23) adalah
2
λ =−γa .

λ 1=√ γa i atau λ 2=−√ γa i . (2.27)


Nilai eigen pada (2.27) dari titik E2 menurut kriteria kestabilan disebut stabil netral.

xxxiii
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Masalah


Interaksi predator-prey merupakan interaksi yang terjadi antara dua spesies
berbeda. Laju pertumbuhan ulat cemara yang tidak terkendali mengakibatkan
pohon yang berdaun jarum seperti pinus atau cemara mengalami kerusakan
sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Penanggulangan kerugian tersebut,
jika menggunakan pestisida mengakibatkan kerusakan lingkungan, ulat cemara
memiliki predator alami yaitu burung pelatuk. Interaksi antara burung pelatuk dan
ulat cemara merupakan interaksi predasi dengan burung pelatuk sebagai predator
dan ulat cemara sebagai prey. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat model
predator-prey burung pelatuk dan ulat cemara dengan mensimulasikan parameter
sehingga diketahui kestabilan model tersebut.

3.2 Asumsi Model


Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Pertumbuhan ulat cemara dan burung pelatuk hanya dipengaruhi oleh
angka kelahiran dan angka kematian.
2. Populasi ulat cemara akan berkurang jika populasi burung pelatuk semakin
bertambah.

xxxiv
3. Pertumbuhan ulat cemara akan berkurang ketika populasi burung pelatuk
ada dalam komuniatas.
4. Populasi ulat cemara akan bertumbuh secara eksponen ketika tidak adanya
populasi burung pelatuk dalam suatu komunitas, sehingga pertumbuhan ini
akan dibatasi oleh kapasitas daya dukung lingkungan (K).
5. Angka kematian ulat cemara dan burung pelatuk karena faktor lingkungan
diabaikan.

3.3 Pembentukan Model Matematika


Pembentukan model matematika pada kasus burung dan ulat cemara
berdasarkan perumusan model predator prey dengan kapasitas batas dan
pertumbuhan yang tergantung pada kepadatan populasi.
Pembentukan model matematika dilakukan berdasarkan asumsi yang telah
dibuat dan dinyatakan dalam diagram kompartemen berikut

γ σ1
β1 δ2 β2
Ulat Cemara Burung Pelatuk
r
δ1 σ2

Gambar 3.1 Kompartemen Model predator-prey

3.3.1 Pertumbuhan Ulat Cemara


Pertumbuhan Ulat Cemara dirumuskan sebagai berikut:

{ }{ }{ }
Laju Angka kematian

}{
Angka Angka
perubahan = Ulat Cemara akibat
pertumbuhan − kematian − (3.1)
populasi aktifitas
Ulat Cemara Ulat Cemara
Ulat Cemara Burung Pelatuk

xxxv
Jika angka rata-rata pertumbuhan Ulat Cemara terhadap V (t ), maka diperoleh

{ }
Angka
Pertumbuhan = β1 V (t) (3.2)
Ulat Cemara

merupakan bentuk linear yang sebelumnya untuk kematian yang tergantung


populasi Ulat Cemara. Sehingga diperoleh angka kematian Ulat Cemara secara
menyeluruh merupakan perkalian angka kematian Ulat Cemara dengan populasi
Ulat Cemara dengan populasi Ulat Cemara saat itu atau V (t ).

{ }
Angka
2
kematian =δ 1 V ( t ) +γV (t) (3.3)
Ulat Cemara

merupakan bentuk linear yang sederhana untuk angka rata-rata kematian yang
tergantung populasi Ulat Cemara. Sehingga diperoleh angka kematian Ulat
Cemara secara keseluruhan merupakan perkalian angka rata-rata kematian Ulat
Cemara dengan populasi Ulat Cemara saat itu atau V (t ).

{ }
Angka
kematian
Ulat Cemara akibat =δ 2 V ( t ) H (t ) (3.4)
aktivitas Burung Pelatuk
danlingkungan

Jika (3.2), (3.3), dan (3.4) disubstitusikan ke (3.1), maka di peroleh

dV (t ) 2
=β 1 V ( t )−δ 1 V ( t ) +γ V ( t ) −¿ δ 2 V ( t ) H (t ) (3.5)
dt
atau
dV (t) 2
=V ( t ) ( β 1−δ 1 ) + γ V (t ) −δ 2 V ( t ) H (t) (3.6)
dt
Misalkan

xxxvi
r 1=( β1 −δ 1 ) (3.7)
dengan r 1 merupakan angka pertumbuhan populasi ulat cemara
Jika (3.7) disubstitusikan ke (3.6), maka diperoleh
dV ( t )
=r 1 V ( t ) + γ V (t )2−δ 2 V ( t ) H ( t )
dt (3.8)

( )
V (t )
¿ r 1 V ( t ) 1− −δ 2 V ( t ) H ( t )
r1
γ

Misalkan
r1
=K (3.9)
γ
Jika (3.9) disubstitusi ke (3.8), maka diperoleh model perubahan populasi ulat
cemara dengan kapasitas tampung lingkungan (K ) sebagai berikut

(
r 1 V ( t ) 1−
V (t )
K )−δ 2 V ( t ) H ( t ) (3.10)

3.3.2 Pertumbuhan Burung Pelatuk

Pertumbuhan Burung Pelatuk dapat dirumuskan sebagai berikut:

{ }{ }{ }
Kecepatan
Angka Angka
perubahan
kelahiran − kematian
populasi = (3.11)
Burung Burung
Burung
Pelatuk Pelatuk
Pelatuk

Jika angka rata-rata kelahiran Burung pelatuk proposional terhadap H (t) , maka
diperoleh

{ }
Angka
kelahiran =β H (t)
2 (3.12)
Burung
Pelatuk
merupakan bentuk linear yang sederhana untuk angka rata-rata kematian yang
tergantung populasi Burung pelatuk. Sehingga diperoleh angka kematian Burung

xxxvii
pelatuk secara keseluruhan merupakan perkalian angka rata-rata kematian Burung
pelatuk dengan populasi Burung pelatuk saat itu atau H (t) .

{ }
Angka
kematian =σ H ( t ) +σ sH (t)2
1 2 (3.13)
Burung
Pelatuk

Jika (3.12) dan (3.13) disubstitusikan ke (3.11), maka diperoleh


dH (t)
=β 2 H ( t )−σ 1 H ( t ) + σ 2 s H (t )2
dt

¿ ( β 2−σ 1 ) H ( t)+ σ 2 s H (t )2 (3.14)

Misalkan
r 2= ( β2 −σ 1 ) (3.15)
dengan r 2merupakan angka pertumbuhan populasi burung pelatuk.
Jika (3.15) disubstitusikan ke (3.14), maka diperoleh
dH (t)
=r 2 H ( t ) + σ 2 sH (t)2 (3.16)
dt

( )
dH (t) sH (t)
=r 2 H (t) 1−
dt r2 (3.17)
σ2

Misalkan
r2
=K (3.18)
σ2
Jika (3.18) disubstitusi ke (3.17), maka diperoleh model perubahan populasi
burung pelatuk dengan kapasitas tampung lingkungan (K ) s ebagai berikut

(
r 2 H (t) 1−
H (t )
K ) (3.19)

Sehingga diperoleh model matematika predator-prey, yaitu


dV (t)
dt
=r 1 V ( t ) 1−(V (t )
K )
−δ 2 V ( t ) H ( t )
(3.20)

xxxviii
dH (t)
dt
=r 2 H (t) 1− (
sH (t)
K )
3.4 Menentukan Titik Kesetimbangan

( )
r 1 V ( t ) 1−
V (t )
K
−δ 2 V ( t ) H ( t )=0
(3.21)

r H ( t ) (1−
K )
sH ( t )
2 =0

Sistem (3.21) terdapat dua titik kesetimbangan yaitu [ E1 ( 0,0 ) dan E2 ( K , 0)¿ .
Titik kesetimbangan ini diperoleh dari Software Maple 18, dapat dilihat pada
Lampiran 1.

3.5 Analisis Kestabilan


Subbab ini menganalisis atau membahas kestabilan titik kesetimbangan dari
(3.21), sehingga diperoleh:

(
f 1=( V , H )= r 1 V ( t )−
K )
r1 V ( t ) V ( t )
−δ 2 V ( t ) H ( t )
(3.22)

f =( V , H )=( r H ( t )− )
r sH ( t ) H (t)
2
2 2
K
dV
Kemudian dilakukan pelinearan pada Sistem (3.22) dengan = AV ,
dt
dengan A adalah matriks Jacobi :

[ ][ ]
∂f1 ∂f1 2 r1 V ( t )
r 1− −δ 2 H (t ) −δ 2 V (t )
K
A= ∂ V ∂H =
∂f2 ∂f2 2r 2 H (t )
0 r 2−
∂V ∂H K
(3.23)

a. Kestabilan Sistem di Titik Kesetimbangan E1


Jika titik kesetimbangan E1 = (0,0) disubstitusikan (3.23), maka diperoleh:

A1=
[ ]
r1 0
0 r2

xxxix
Selanjutnya nilai eigen dari A1 diperoleh dengan menyelesaikan persamaan
det ⁡[ λI − A1 ]=0 ,yaitu

[ [ ] [ ]]
0 1
r 0
det λ 1 0 − 1
0 r2
=0

[[ ] [ ]]
0 λ
r 0
det λ 0 − 1
0 r2
=0

det
[ 0 ]]
λ−r 1 0
λ−r 2
=0

Diperoleh persamaan karakteristik matriks A1 adalah (


λ−r 1)( λ−r 2 ¿ – 0 = 0. Sehingga nilai eigen pada A1, adalah

λ 1=r 1 atau λ 2=r 2 (3.24)


Selanjutnya untuk analisis kestabilan berdasarkan λ 1 dan λ 2 dapat dilihat pada
Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen dari E1=(0,0)


Kasus Nilai Eigen Jenis Kestabilan
r 1 >r 2 >0 λ 1> λ2> 0 Tidak Stabil
r 2 >r 1 >0 λ 2> λ 1 > 0 Tidak Stabil
r 1=r 2> 0 λ 1=λ2 > 0 Tidak Stabil
r 2=r 1< 0 λ 2=λ1 <¿ 0 Stabil

xl
r 1 <r 2 <0 λ1 < λ2 < 0 Stabil
r 2 <r 1 <0 λ 2< λ1 < 0 Stabil
r 1 >0> r 2 λ1 > 0 > λ2 Stabil Asimtotik
r 2 >0> r 1 λ2 > 0 > λ1 Stabil Asimtotik

b. Kestabilan Sistem di Titik Kesetimbangan E2


Jika titik kesetimbangan E2=( K , 0) disubstitusi pada (3.21), maka
diperoleh:

A2=
[ −r 1 −δ 2 K
0 r2 ]
Selanjutnya nilai eigen dari A2 diperoleh dengan menyelesaiakan persamaan
det [ λI −A 2 ]=0 , yaitu

[ 0 1 ]−[ 0
det λ
[ 1 0 −r 1 −δ 2 K
r2 ]]
=0

[[ 0 λ] [−r0
det λ 0 − 1 −δ 2 K
r2 ]]
=0

det ¿

Diperoleh persamaan karakteristik matriks A2 adalah

¿. Sehingga nilai eigen pada A2 adalah

λ 1=−r 1 dan λ 2=r 2

Langkah-langkah simulasi mencari nilai eigen pada titik E1(0,0) dan E2 (K,0)
dapat dilihat pada lampiran 2. Selanjutnya untuk analisis kestabilan berdasarkan
λ 1 dan λ 2 dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut

Tabel 3.2 Kestabilan Berdasarkan Nilai Eigen dari E2(K,0)

Kasus Nilai Eigen Jenis Kestabilan

xli
r 1 >r 2 >0
λ 1< λ2 >0 Stabil Asimtotik
r 2 >r 1 >0
λ 2> λ1 >0 Stabil Asimtotik
r 1=r 2> 0
λ 1> λ2 >0 Stabil Asimtotik
r 1=r 2< 0
λ 1> 0> λ2 Stabil Asimtotik
r 1 <r 2 <0
λ 1> 0< λ2 Stabil Asimtotik
r 2 <r 1 <0
λ 2> 0< λ1 Stabil Asimtotik
r 1 >0> r 2
λ 1< 0> λ2 Stabil
r 2 >0> r 1
λ 2< 0< λ1 Stabil Asimtotik

3.6 Simulasi Numerik


Simulasi numerik dilakukan Sofware Maple 13 yang bertujuan untuk
melihat arah trayektory pada bidang fase. Simulasi ini digunakan beberapa
parameter yang mempengaruhi populasi ulat cemara (V(t)) dan populasi burung
pelatuk (H(t)) dengan mengiputkan nilai-nilai parameter, seperti angka
pertumbuhan populasi ulat cemara (r ¿¿ 1)¿ , angka kematian ulat cemara akibat
burung pelatuk ( β ), kapasitas daya dukung lingkungan ( K ) , dan angka
pertumbuhan burung pelatuk ( r 2 ) . Simulasi ini dilakukan dengan mengubah nilai
parameter tersebut pada metode numerik yang dicobakan pada titik
kesetimbangan E1 ( 0,0 ) dan E2 ( K ,0 )

xlii
a. Simulasi pada titik kesetimbangan E1
Kasus 1. r 1 >r 2 >0
Misalkan nilai parameter r 1=0.25 , r 2=0.015 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.25 dan λ 2=0.015 ,
karena λ 1> λ2 >0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik tidak stabil.
Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada
Gambar 3.2. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus r 1 >r 2 >0
merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 3.

Gambar 3.2 Potret Fase Kasus r 1 >r 2 >0 pada titik E1 ( 0,0 )

xliii
Kasus 2. r 2 >r 1 >0
Misalkan nilai parameter r 1=0.04 , r 2=0.06 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.25 dan λ 2=0.015 ,
karena λ 2> λ1 >0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik tidak stabil.
Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada
Gambar 3.3. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasusr 2 >r 1 >0
merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 4.

Gambar 3.3 Potret Fase Kasus r 2 >r 1 >0 pada titik E1 ( 0,0 )

xliv
Kasus 3. r 1=r 2> 0
Misalkan nilai parameter r 1=r 2=24 , δ 2=0.03 , dan K=500 , disubstitusikan
ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=24 dan λ 2=24 , karena λ 1=λ2 >0 maka
berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik tidak stabil. Hal ini karena arah
trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada Gambar 3.4.
Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus r 1=r 2> 0 merupakan titik
tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 3.4 Potret Fase Kasus r 1=r 2> 0 pada titik E1 ( 0,0 )

Kasus 4. r 2=r 1< 0

xlv
Misalkan nilai parameter r 1=r 2=−0.006 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−0.006 dan
λ 2=−0.06 , karena λ 2=λ1 <0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
tidak stabil. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.5. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus
r 2=r 1< 0 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat
pada Lampiran 6.

Gambar 3.5 Potret Fase Kasus r 2=r 1< 0 pada titik E1 ( 0,0 )

Kasus 5.r 1 <r 2 <0

xlvi
Misalkan nilai parameter r 1=−0.008 ,r 2=−0.006 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−0.008 dan
λ 2=−0.006 , karena λ 1< λ2 <0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
tidak stabil. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.6. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus
r 1 <r 2 <0 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 7.

Gambar 3.6 Potret Fase Kasus r 1 <r 2 <0 pada titik E1 ( 0,0 )

Kasus 6. r 2 <r 1 <0

xlvii
Misalkan nilai parameter r 1=−0.003 ,r 2=−0.009 , δ 2 =0.03 , dan
K=500 , disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−0.003 dan
λ 2=−0.06 , karena λ 2< λ1 <0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
tidak stabil. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.7. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus
r 2 <r 1 <0 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 8.

Gambar 3.7 Potret Fase Kasus r 2 <r 1 <0 pada titik E1 ( 0,0 )

Kasus 7. r 1 >0> r 2

xlviii
Misalkan nilai parameter r 1=0.0080 ,r 2 =−0.0060 , δ2 =0.03 , dan
K=500 , disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.0080
dan λ 2=−0.0060 , karena λ 1> 0> λ2 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan
titik tidak stabil. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan
dapat dlihat pada Gambar 3.8. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan
kasus r 1 >0> r 2 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat
dilihat pada Lampiran 9.

Gambar 3.8 Potret Fase Kasus r 1 >0> r 2pada titik E1 ( 0,0 )

Kasus 8. r 2 >0> r 1

xlix
Misalkan nilai parameter r 1=−0.6 , r 2=0.9 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−0.6 dan λ 2=0.9 ,
karena λ 2> 0> λ1 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik stabil
asimtotik. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.9. Sehingga titik kesetimbangan E1=(0,0) dengan kasus
r 2 >0> r 1 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 10.

Gambar 3.9 Potret Fase Kasus r 2 >0> r 1pada titik E1 ( 0,0 )

l
Tabel 3.3 Kesimpulan Simulasi pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
Kasus Parameter Nilai Eigen Jenis Kestabilan Tipe Kestabilan Kesimpulan
r 1 >r 2 >0 r 1=0.25 ,r 2 =0.015 λ 1> λ2 >0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2 >r 1 >0 r 1=0.04 , r 2=0.06 λ 2> λ1 >0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 1=r 2> 0 r 1=24 , r 2=24 λ 1=λ2 >0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 sejati tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2=r 1< 0 r 1=−0.006 , r 2=−0.006 λ 2=λ1 <0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 sejati tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 1 <r 2 <0 r 1=−0.008 ,r 2=0.015 λ 1< λ2 <0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2 <r 1 <0 r 1=−0.003 ,r 2=−0.009 λ 2< λ1 <0 Tidak Stabil Titik simpul Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 tidak sejati menjauh dari titik
kesetimbangan
r 1 >0> r 2 r 1=0.0080 ,r 2 =0.0060 λ 1> 0> λ2 Tidak Stabil Tidak ada tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan

34
r 2 >0> r 1 r 1=−0.6 , r 2=0.9 λ 2> 0> λ1 Stabil Asimtotik Tidak ada Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan

35
b. Simulasi pada Titik Kesetimbangan E2

Kasus 1. r 1 >r 2 >0

Misalkan nilai parameter r 1=2, r 2=1 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,


disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−2 dan λ 2=1 , karena
λ 1< λ2 >0maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik stabil asimtotik. Hal
ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada
Gambar 3.10. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan kasus r 1 >r 2 >0
merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 11.

Gambar 3.10 Potret Fase Kasus r 1 >r 2 >0 pada titik E2 ( K ,0 )

36
Kasus 2. r 2 >r 1 >0
Misalkan nilai parameter r 1=4 , r 2=4.5 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,
disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−4 dan λ 2=4.5 , karena
λ 2> 0> λ1 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik stabil asimtotik. Hal
ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada
Gambar 3.11. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan kasus r 1 >r 2 >0
merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 12.

Gambar 3.11 Potret Fase Kasus r 2 >r 1 >0 pada titik E2 ( K ,0 )

37
Kasus 3. r 1=r 2> 0
Misalkan nilai parameter r 1=r 2=24 , δ 2=0.03 , dan K=500 , disubstitusikan
ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−24 , dan λ 2=24 ,karena
λ 1< 0< λ2 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik stabil asimtotik. Hal
ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat dlihat pada
Gambar 3.12. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan kasus r 1 >r 2 >0
merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 13.

Gambar 3.12 Potret Fase Kasusr 1=r 2> 0 titik E2 ( K ,0 )

38
Kasus 4. r 1=r 2< 0

Misalkan nilai parameter r 1=r 2=−0.01 , δ 2 =0.03 , dan K=500 ,


disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.01 , dan
λ 2=−0.01 ,karena λ 1> 0> λ2 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
stabil asimtotik. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan
dapat dlihat pada Gambar 3.13. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan
kasus r 1=r 2< 0merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat
dilihat pada Lampiran 14.

Gambar 3.13 Potret Fase Kasusr 1=r 2< 0titik E2 ( K ,0 )

39
Kasus 5. r 1 <r 2 <0
Misalkan nilai parameter r 1=−0.03 ,r 2=−0.01 , δ 2=0.03 , dan
K=500 , disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.03 , dan
λ 2=−0.01 ,karena λ 1> 0< λ2 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
stabil asimtotik. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan
dapat dlihat pada Gambar 3.14. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan
kasus r 1 <r 2 <0 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat
dilihat pada Lampiran 15.

Gambar 3.14 Potret Fase Kasus r 1 <r 2 <0 titik E2 ( K ,0 )

40
Kasus 6. r 2 <r 1 <0

Misalkan nilai parameter r 1=−80 , r 2=−200 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,


disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=80 , dan
λ 2=−200 ,karena λ 2< λ1 >0 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
stabil asimtotik. Hal ini karena arah trayektory menuju titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.15. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan kasus
. r 2 <r 1 <0 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat
pada Lampiran 16.

Gambar 3.15 Potret Fase Kasus r 2 <r 1 <0 titik E2 ( K ,0 )

41
Kasus 7. r 1 >0> r 2

Misalkan nilai parameter r 1=0.04 , r 2=−0.02 , δ 2=0.03 , dan K=500 ,


disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=−0.04 , dan
λ 2=−0.02 ,karena λ 1< 0> λ2 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
stabil. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan dapat
dlihat pada Gambar 3.16. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan kasus
r 1 >0> r 2 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 17.

Gambar 3.16 Potret Fase r 1 >0> r 2 Kasus titik E2 ( K ,0 )

42
Kasus 8. r 2 >0> r 1

Misalkan nilai parameter r 1=−0.008 ,r 2=0.009 , δ 2 =0.03 , dan K=500 ,


disubstitusikan ke (3.24), maka diperoleh nilai eigen λ 1=0.008 , dan
λ 2=−0.02 ,karena λ 2< 0< λ1 maka berdasarkan Definisi 2.10.4 merupakan titik
stabil asimtotik. Hal ini karena arah trayektory menjauh dari titik kesetimbangan
dapat dlihat pada Gambar 3.17. Sehingga titik kesetimbangan E2=( K , 0) dengan
kasus r 1 >0> r 2 merupakan titik tidak stabil. Langkah-langkah simulasi dapat
dilihat pada Lampiran 18.

Gambar 3.17 Potret Fase . r 2 >0> r 1 Kasus titik E2 ( K ,0 )

43
Tabel 3.4 Kesimpulan Simulasi pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
Kasus Parameter Nilai Eigen Jenis Kestabilan Tipe Kestabilan Kesimpulan
r 1 >r 2 >0 r 1=2, r 2=1 λ 1< λ2 >0 Stabil Asimtotik Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2 >r 1 >0 r 1=4 , r 2=4.5 λ 2> 0> λ1 Stabil Asimtotik Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan
r 1=r 2> 0 r 1=24 , r 2=24 λ 1< 0< λ2 Stabil Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2=r 1< 0 r 1=−0.01 ,r 2 =−0.01 λ 1> 0> λ2 Stabil Asimtotik Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan
r 1 <r 2 <0 r 1=−0.03 ,r 2=−0.01 λ 1> 0< λ2 Stabil Asimtotik Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan
r 2 <r 1 <0 r 1=−80 , r 2=−200 λ 2< λ1 >0 Tidak Stabil Tidak ada Tipe Karena arah trayektory menuju
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan titik kesetimbangan

r 1 >0> r 2 r 1=0.04 , r 2=−0.02 λ 1< 0> λ2 Stabil Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan

44
r 2 >0> r 1 r 1=−0.008 ,r 2=0.009 λ 2< 0< λ1 Stabil Asimtotik Tidak ada Tipe Karena arah trayektory
δ 2=0.03 ,dan K=500 Kestabilan menjauh dari titik
kesetimbangan

45
Namun dari keenam belas diatas, kasus, r 1 >r 2 >0 , r 2 >r 1 >0 , dan
r 1=r 2> 0 pada titik kesetimbangan E2=( K , 0) yang stabil dan sesuai dengan dunia
nyata. Sehingga titik kesetimbangan E2=(K , 0) dari Sistem (3.20) merupakan
titik yang stabil.

c. Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

Simulasi hubungan populasi ulat cemara V (t ) dan Bintang laut H (t) hanya
dilakukan yang sesuai dengan kehidupan nyata, yaitu kasus r 1 >r 2 >0 , r 2 >r 1 >0 ,
dan r 1=r 2> 0 pada titik kesetimbangan E2=( K , 0)

Kasus 1. r 1 >r 2 >0

1. Populasi Ulat Cemara

Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi burung pelatuk H (t )
dan diberikan syarat awal V ( 0 )=300 , maka populasi ulat cemara V (t ) terus
bertumbuh sampai mencapai kapasitas tampung lingkungan (K ) yaitu pada saat
± t=1.5 , seperti Gambar 3.18. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 19.

Gambar 3.18 Pertumbuhan Populasi Ulat Cemara

46
2. Populasi Burung Pelatuk

Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi ulat cemara V (t ) dan
diberikan syarat awal Y ( 0 )=300 , maka pertumbungan populasi ulat cemara Y (t )
mengalami penurunan dan punah, seperti Gambar 3.19. Langkah-langkah simulasi
dapat dilihat pada Lampiran 20.

Gambar 3.19 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk

47
3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk
Jika dalam suatu komunitas yang terdapat populasi ulat cemara V (t ) dan
populasi burung pelatuk H (t) serta terjadi interaksi Predator-Prey dan diberikan
syarat awal V ( 0 )=400 , Y ( 0 )=200 , maka pertumbuhan populasi burung pelatuk
H (t) menurun sedangkan populasi ulat cemara V (t ) menurun hingga V ( t ) =40
pada saat ± t=1, namun saat populasi burung pelatuk H (t) punah, pertumbuhan
populasi ulat cemara V (t ) terus bertumbuh dan stabil saat V ( t ) =500
sepeerti Gambar 3.20. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada lampiran 21.

Gambar 3.20 Hubungan Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

Kasus 2. r 2 >r 1 >0

48
1. Populasi Ulat Cemara

Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi burung pelatuk H (t )
dan diberikan syarat awal V ( 0 )=300 , maka populasi ulat cemara V (t ) terus
bertumbuh sampai mencapai kapasitas tampung lingkungan (K ) yaitu pada saat
± t=1.20 , seperti Gambar 3.21. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 22.

Gambar 3.21 Pertumbuhan Populasi Ulat Cemara

2. Populasi Burung Pelatuk

49
Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi ulat cemara V (t ) dan
diberikan syarat awal Y ( 0 )=300 , maka pertumbuhan populasi ulat cemara Y (t )
mengalami penurunan dan punah, seperti Gambar 3.22. Langkah-langkah simulasi
dapat dilihat pada Lampiran 23.

Gambar 3.22 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk

3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

50
Jika dalam suatu komunitas yang terdapat populasi ulat cemara V (t ) dan
populasi burung pelatuk H (t) serta terjadi interaksi Predator-Prey dan diberikan
syarat awal V ( 0 )=300 , Y ( 0 )=100 , maka pertumbuhan populasi burung pelatuk
H (t) menurun sedangkan populasi ulat cemara V (t ) menurun hingga V ( t ) =250
pada saat ± t=1, namun saat populasi burung pelatuk H (t) punah, pertumbuhan
populasi ulat cemara V (t ) terus bertumbuh dan stabil saat V ( t ) =500
sepeerti Gambar 3.23. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada lampiran 24.

Gambar 3.23 Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

Kasus 3. r 1=r 2> 0

1. Populasi Ulat Cemara

51
Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi burung pelatuk H (t )
dan diberikan syarat awal V ( 0 )=300 , maka populasi ulat cemara V (t ) terus
bertumbuh sampai mencapai kapasitas tampung lingkungan (K ) yaitu pada saat
± t=0.20 , seperti Gambar 3.24. Langkah-langkah simulasi dapat dilihat pada
Lampiran 25.

Gambar 3.24 Hubungan Populasi Ulat Cemara

2. Populasi Burung Pelatuk

52
Jika dalam suatu komunitas yang tidak ada populasi ulat cemara V (t ) dan
diberikan syarat awal Y ( 0 )=300 , maka pertumbuhan populasi ulat cemara Y (t )
mengalami penurunan dan punah, seperti Gambar 3.25. Langkah-langkah simulasi
dapat dilihat pada Lampiran 26.

Gambar 3.25 Pertumbuhan Populasi Burung Pelatuk

3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

53
Jika dalam suatu komunitas yang terdapat populasi ulat cemara V (t ) dan
populasi burung pelatuk H (t) serta terjadi interaksi Predator-Prey dan diberikan
syarat awal V ( 0 )=300 , Y ( 0 )=100 , maka pertumbuhan populasi burung pelatuk
H (t) menurun hingga punah, sedangkan populasi ulat cemara V (t ) terus
bertumbuh dan stabil saat V ( t ) =500 sepeerti Gambar 3.26. Langkah-langkah
simulasi dapat dilihat pada lampiran 27.

Gambar 3.26 Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk

54
Tabel 3.5 Kesimpulan Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk
Kasus Syarat Awal Kesimpulan

r 1 >r 2 >0 1. V ( t )=300 , H ( t ) =0 1. Populasi ulat cemara V (t ) terus


bertumbuh sampai mencapai
1. Populasi Ulat Cemara 2. V ( t )=0 , H ( t )=300
kapasitas tampung lingkungan
2. Populasi Burung Pelatuk 3. V ( t )=300 , H ( t ) =100 (K ) yaitu pada saat ± t=1.5
2. pertumbungan populasi ulat
3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung
cemara Y (t ) mengalami
Pelatuk
penurunan dan punah
3. pertumbuhan populasi burung
pelatuk H (t) menurun sedangkan
populasi ulat cemara V (t )
menurun hingga V ( t ) =40 pada
saat ± t=1, namun saat populasi
burung pelatuk H (t) punah,
pertumbuhan populasi ulat cemara
V (t ) terus bertumbuh dan stabil

55
saat V ( t ) =500

r 2 >r 1 >0 1. V ( t )=300 , H ( t ) =0 1. populasi ulat cemara V (t ) terus


1. Populasi Ulat Cemara 2. V ( t )=0 , H ( t )=300 bertumbuh sampai mencapai
2. Populasi Burung Pelatuk 3. V ( t )=300 , H ( t ) =100 kapasitas tampung lingkungan
3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung (K ) yaitu pada saat ± t=1.20
Pelatuk 2. pertumbuhan populasi ulat cemara
Y (t ) mengalami penurunan dan
punah
3. pertumbuhan populasi burung
pelatuk H (t) menurun sedangkan
populasi ulat cemara V (t )
menurun hingga V ( t ) =250 pada
saat ± t=1, namun saat populasi
burung pelatuk H (t) punah,
pertumbuhan populasi ulat cemara
V (t ) terus bertumbuh dan stabil
saat V ( t ) =500

56
Kasus Syarat Awal Kesimpulan
r 1=r 2> 0 . V ( t )=300 , H ( t ) =0 1. maka populasi ulat cemara V (t )
1. Populasi Ulat Cemara 2. V ( t )=0 , H ( t )=300 terus bertumbuh sampai mencapai
2. Populasi Burung Pelatuk 3. V ( t )=300 , H ( t ) =100 kapasitas tampung lingkungan
3. Hubungan Populasi Ulat Cemara dan (K ) yaitu pada saat ± t=0.20
Burung Pelatuk 2. pertumbuhan populasi ulat cemara
Y (t ) mengalami penurunan dan
punah
3. pertumbuhan populasi burung
pelatuk H (t) menurun hingga
punah, sedangkan populasi ulat
cemara V (t ) terus bertumbuh dan
stabil saat V ( t ) =500

57
IV. PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dari hasil pembahasan adalah
Model matematika predator-prey dari ulat cemara dan burung pelatuk adalah:
dV (t)
dt (
=r 1 V ( t ) 1−
K )
V (t )
−δ 2 V ( t ) H ( t )

=r H (t) ( 1−
K )
dH (t) sH (t)
2
dt

dengan,
r 1 : Angka pertumbuhan populasi ulat cemara
r 2 : Angka pertumbuhan populasi burung pelatuk
δ 2 : Angka kematian populasi ulat cemara akibat burung pelatuk
K : Daya tampung lingkungan

Titik kesetimbangan model matematika predator-prey dari ulat cemara dan


burung pelatuk adalah E1=(0,0) dan E2=( K , 0). Titik E1=(0,0) stabil asimtotik
pada saat r 2 >0> r 1 , sedangkan E2=( K , 0) stabil asimtotik pada saat r 1 >r 2 >0 ,
r 2 >r 1 >0 , dan r 1=r 2> 0.

4.2 SARAN
Penelitian ini hanya membahas satu prey dan satu predator. Saran untuk
penelitian selanjutnya yaitu membuat pemodelan Predator-Prey untuk dua prey
dan satu predator.

58
DAFTAR PUSTAKA

Blais, JR, 1983. Trends in the Frequency, Extent, and Severity of Spruce
Budworm outbreak in eastern Canada. Canada.

Boyce, William E dan DiPrima, Richard C. 2001. Elementary Differensial


Equations and Boundary Value Problem Seventh Edition. Jhon Wiley &
Sons , Inc. New York.

Edward, C. H., & Penney, D. E. (2008). Elementary Differential Equations (Sixth


Edition). New York : Pearson Education, Inc.

Finizio N, G. Ladas, 1982. Ordinary Differential Equations With Modern


Application Second Edition, Wadsworth Publising Company Belmont.
California

Johnson, Richard A and Wichern, Dean W. 2007. Applied Multivariate Statistical


Analysis Sixth Edition. Pearson Education, Inc. New Jersey.

Purcell, E., J.D Vanberg., S.E Rigdom. (2003). Kalkulus Jilid 1. Nyoman Susila,
Penerjemah. Erlangga. Jakarta.

Purcell, E.J., Dale., dan Rigdon, S.E. 2007. Calculus (9th Edition).
Pearson Prentice Hall. New Jersey.

Resmawan, 2019. Pemodelan Matematika. Universitas Negeri Gorontalo.

Subadar, Moh., 2013. Analisi Model Ulat Cemara (Spruce Budworm) dengan
Metode Euler, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,
Malang.

Trench, William F. 2013. Elementary Differential Equations. Trinity University.


Texas.

UNKRIS, 2005. Burung Pelatuk |UNKRIS| Pusat Ilmu Pengetahuan.


http://p2k.unkris.ac.id/id1/3065-2962/Pelatuk_22409_p2k-unkris.html
[22 November 2021].

White, Huang, 2012. Spruce Budworm Population Model in ODE. [12 April
2021].

59
Zhuraedah, A.M, 2021. Pemodelan Predator-prey Study Kasus: Bintang Laut
Berduri (Acanthaster planci) dan Terumbu Karang. Universitas Papua,
Manokwari.

LAMPIRAN

60
Lampiran 1 : Titik Kesetimbangan
>
>

>

>

>

61
Lampiran 2. Nilai Eigen dari Titik Kesetimbangan E1 (0,0) dan E2 ( K , 0)
>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

62
>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

63
Lampiran 3. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk
Kasus r 1 >r 2 >0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)

>

>

>

>

>

64
Lampiran 4. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk
Kasus r 2 >r 1 >0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

>

65
Lampiran 5. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk
Kasus r 1 ¿ r 2> 0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

>

66
Lampiran 6. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk
Kasus r 2 ¿ r 1> 0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

67
>

Lampiran 7. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1 <r 2 <0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

68
>

Lampiran 8. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 2 <r 1 <0 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

69
>

Lampiran 9. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1 >0> r 2 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>

>

>

>

70
>

>

Lampiran 10. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 2 >0> r 1 pada Titik Kesetimbangan E1=(0,0)
>
>

>

>

>

71
>

Lampiran 11. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1 >r 2 >0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

>

>

72
>

Lampiran 12. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 2 >r 1 >0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

>

>

73
>

Lampiran 13. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1=r 2> 0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

>

>

74
>

Lampiran 14. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1=r 2< 0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

>

75
>

>

Lampiran 15. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1 <r 2 <0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

76
>

>

>

Lampiran 16. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 2 <r 1 <0 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

77
>

>

>

Lampiran 17. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 1 >0> r 2 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

>

78
>

>

>

Lampiran 18. Simulasi Bidang Fase Model Matematika Predator-Prey untuk


Kasus r 2 >0> r 1 pada Titik Kesetimbangan E2=( K , 0)
>
>

79
>

>

>

>

Lampiran 19. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 1 >r 2 >0
>
>

80
>

>

>

>

>
>

Lampiran 20. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 1 >r 2 >0

>

81
>

>

>

>

>

>
>

82
Lampiran 21. Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk pada
Kasus r 1 >r 2 >0
>
>

>

>

>

>

>
>

83
Lampiran 22. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 2 >r 1 >0

>
>

>

>

>

>

>
>

84
Lampiran 23. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 2 >r 1 >0

>
>

>

>

>

>

>
>

85
Lampiran 24. Simulasi Hubungan PopulasiUlat Cemara dan Burung Pelatuk pada
Kasus r 2 >r 1 >0
>
>

>

>

>

>

>

86
>

Lampiran 25. Simulasi Pertumbuhan Ulat Cemara pada Kasus r 1=r 2> 0

>
>

>

>

>

>

87
>
>

Lampiran 26. Simulasi Pertumbuhan Burung Pelatuk pada Kasus r 1=r 2> 0

>
>

>

>

>

88
>

>
>

Lampiran 27. Simulasi Hubungan Populasi Ulat Cemara dan Burung Pelatuk pada
Kasus r 1=r 2> 0
>
>

>

>

89
>

>

>
>

90
91

Anda mungkin juga menyukai