Anda di halaman 1dari 44

1

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN JENIS BAHAN BAKAR DAN LUAS KAMAR TIDUR

DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI DESA KROYA DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS AIKMEL TAHUN 2021

SA’DIYAH

NIM.31118026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN DAN KESEHATAN

MASYARAKAT

UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA MATARAM

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan pembunuh utama

anak dibawah usia lima tahun (balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan

dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria dan campak. Namun, belum

banyak perhatian terhadap penyakit ini. Di dunia, dari 9 juta kematian balita,

lebih dari 2 juta balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia atau sama

dengan 4 balita meninggal setiap menitnya. Dari lima kematian balita, satu

diantaranya disebabkan pneumonia (Kemenkes RI, 2014).

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan

penyebab utama kesakitan dan kematian balita di Indonesia yaitu sebesar 28%.

WHO memperkirakan kematian akibat pneumonia mencapai 10% sampai

dengan 20% pertahun dari seluruh jumlah bila tidak diberi pengobatan.

Kematian balita karena pneumoni secara nasional diperkirakan 6 per 1000

balita per tahun atau sekitar 150.000 balita pertahun. Salah satu sasaran

pemberantasan penyakit ISPA pada balita adalah menurunkan angka kematian

balita akibat pneumonia (Kemenkes RI, 2015).

Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena

menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1

dari 4 kematian yang terjadi. Menurut para ahli, daya tahan tubuh anak balita

sangat berbeda dengan daya tahan tubuh orang dewasa. Penyakit-penyakit

1
2

pernapasan pada masa balita dapat pula menyebabkan kecacatan sampai pada

masa dewasa (Nurrijal,2015).

Menurut Sukamawa et all (2011) Sanitasi rumah dan Sosial ekonomi dapat

mempengaruhi terjadinya ISPA karena sosial ekonomi merupakan satu unsur

lingkungan hidup yang berkaitan dengan penyebab ISPA pada anak balita,

faktor risiko lingkungan yang sangat mempengaruhi atau menentukan dapat

berupa kondisi fisik rumah dan kondisi sosial ekonomi keluarga. Menurut

Koes Rianto (2015), mengungkapkan bahwa faktor lain yang dapat

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu Usia anak yang usia lebih

muda, kemungkinan untuk menderita atau terkena penyakit ISPA lebih besar

bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih tua karena daya tahan

tubuhnya lebih rendah.Status imunisasi anak dengan status imunisasi yang

lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik dibandingkan dengan anak yang

status imunisasinya tidak lengkap. Lingkungan yang udaranya tidak baik,

seperti polusi udara di kota-kota besar dan asap rokok dapat menyebabkan

timbulnya ISPA pada anak.

Salah satu penyebab bahan bakar adalah polusi udara , polusi udara

merupakan hasil dari proses buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia

dalam memenuhi kebutuhannya, dari sektor produksi maupun sektor

transportasi. Dengan bertambahnya jumlah manusia menyebabkan terjadinya

pertambahan buangan yang mencemari udara, sehingga akan meningkatkan

zat pencemar dan akan berkorelasi dengan meningkatnya jumlah orang yang

mengalami gangguan dan penyakit akibat polusi udara. Masuk dan kontak
3

dengan polutan udara pada manusia terutama melalui inhalasi dan menelan,

sementara kontak kulit merupakan rute minor paparan. Polusi udara

memberikan kontribusi, untuk sebagian besar kontaminasi pada makanan dan

air, yang dikonsumsi dalam beberapa kasus rute utama asupan polutan.

Melalui saluran pencernaan dan pernafasan, penyerapan polutan dapat terjadi,

sementara sejumlah zat beracun dapat ditemukan dalam sirkulasi umum dan

tersimpan ke jaringan yang berbeda. Salah satu bentuk penyakit pernafasan

akibat polusi udara adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Penyakit sistem

pernafasan disebabkan terganggunya fungsi fisiologis paru dalam menyerap

oksigen dan mengeluarkan karbondioksida hasil metoabolisme tubuh.

Faktor yang menyebabkan penularan penyakit ISPA, yaitu faktor individu

dan faktor lingkungan. Faktor individu merupakan faktor yang berasal dari

dalam diri pasien. Terdapat beberapa aspek yang dinilai seperti status gizi,

status imunisasi dasar, dan berat lahir. Sedangkan faktor lingkungan

merupakan faktor yang berasal dari lingkungan luar pasien yang dapat

meningkatkan risiko penularan penyakit ISPA.

Bahan Bakar adalah bahan-bahan yang di gunakan dalam proses

pembakaran sehari-hari, bahan bakar sangat di perlukan untuk kebutuhan

sehari hari. Bahan bakar sudah menjadi kebtuhan bagi manusia, sedangkan

bahan bakar di Indonesia ini sudah semakin menipis persediaannya.Syarat

utama proses pembakaran adalah tersedia bahan-bakar yang bercampur

dengan baik dengan udara dan tercapainya suhu pembakaran. Bahan bakar

yang di pergunakan dapat di klasifikasikan dalam tiga kelampok yakni bahan


4

bakar berbentuk cair, gas dan padat. Bahan bakar gas sering digunakan di

tempat-tempat yang banyak menghasilkan gas yang ekonomis dipakai pada

motor, yakni gas alam, gas dapur kokas, gas dapur tinggi, dan gas dari pabrik

gas. Bahan bakar cair diperoleh dari minyak bumi yang dalam kelompok ini

ialah bensin dan minyak bakar, kemudian kerosin dan.bahan bakar padat.

Ada beberapa jenis bahan bakar yaitu, Bahan bakar padat adalahbahan

bakar yang secara fisik berupa padat dan biasanya menjadi sumber daya panas

atau bahan bakar cair yang diperoleh dari bumi yang dalam kelompok ini

adalah bensin dan minyak bakar kemudian dikerosin. contohnya kayu serta

batubara. Bahan bakar cair adalah bahan bakar yang strukturnya tak rapat,

berbeda dengan bahan bakar padat, seperti contoh Bensin/ gasolin, premium,

minyak tanah, ataupun minyak solar. Bahan bakar gas adalah bahan bakar

yang sering diguanakan di tempat – tempat yang banyak menghasilkan gas,

yang ekonomis dipakai yakni gas alam, gas dapur kokas, gas dapur tinggi dan

gas dari pabrik gas. ( Naif Fuhaid,2011 )

Penggunaan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap faktor resiko

kejadian ISPA yang dimana bahan bakarnya banyak mengeluarkan asap dan

konstruksi rumah yang tidak memiliki ventilasi di dapur yang menyebabkan

asap lama tinggal di dapur maupun perilaku ibu membawa anak ke dapur

sehingga anak yang berada bersama ibu di dapur anak tersebut sering terpapar

asap yang juga mengakibatkan gangguan pernapasan pada balita.

Selain faktor jenis bahan bakar ,ISPA juga dipengaruhi oleh luas kamar

tidur yang idealnya kamar tidur itu sifatnya relatif, tergantung berapa besar
5

dimensi mebel yang dibutuhkan. Tentu berbagai mebel yang ada di dalam

kamar harus memiliki jarak agar penghuni bisa bergerak dengan leluasa.

Apalagi di dalam kamar banyak perabotan seperti kasur, lemari pakaian, meja

rias, dan perabotan lainnya. Berdasarkan penghuni masing-masing kamar ada

ukurannya sendiri.

Untuk kamar tidur utama, idealnya memiliki luas minimal 11,15 m2 dan

memiliki panjang sisi terpendek kira-kira 2,85 m bersih dari dinding ke

dinding lain.Sedangkan untuk kamar tidur anak, idealnya memiliki ruang tidur

dengan luas 7,43 m2 dan memiliki panjang sisi paling pendek 2,50 m dari

dinding ke dinding.

Dampak masalah penyakit ISPA dapat terjadi di berbagai tempat di saluran

pernafasan mulai dari hidung sampai ke telinga tengah dan yang berat sampai

keparu. Kebanyakan ISPA muncul dari gejala yang ringan seperti pilek dan

batuk ringan tetapi jika imunitas anak rendah gejala yang ringan tersebut bisa

menjadi berat. Anak yang terkena infeksi saluran pernapasan bawah akan

berisiko tinggi kematian (Kemenkes ,2010)

Menurut data Puskesmas Aikmel tahun 2020 ada 6 wilayah kerja

Puskesmas dan jumlah data dari seluruh wilayah kerja Puskesmas Aikmel

sebanyak 1.602 kujungan balita dari bulan Januari sampai bulan Desember

dan terdapat sebanyak 1.180 balita yang terkena kasus ISPA. Sedangkan pada

tahun 2021 jumlah kunjungan pada balita 1.819 kunjungan dari 6 wilayah

kerja Puskesmas Aikmel dari Bulan Januari sampai dengan Bulan Desember

dan terdapat 1.340 balita yang terkena kasus ISPA pada 6 wilayah tersebut.
6

Desa Aikmel dengan jumlah kasus ISPA pada balita sebanyak 221 kasus,

Desa Aikmel Tengah dengan jumlah kasus ISPA pada balita sebanyak 115

kasus, Desa Aikmel Barat dengan jumlah kasus ISPA pada balita sebanyak

117 kasus, Desa Aikmel Lauk dengan jumlah kasus ISPA pada balita

sebanyak 345 kasus, Desa Kroya dengan jumlah kasus ISPA pada balita 365

kasus, Desa Bagek Nyaka dengan jumlah kasus ISPA pada balita sebanyak

173 kasus,sehingga dapat dilihat bahwa jumlah kasus ISPA pada balita

mengalami peningkatan.

Dan secara tidak langsung akan menghambat pencapain target dari

program ISPA yang di targetkan oleh Puskemas Aikmel yaitu seluruh

masyarakat Aikmel (174%) dan yang tercapai hanya ( 85%) sehingga belum

sesuai harapan.

B. Identifikasi Masalah

Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang di atas,

maka dapat di identifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Faktor sosial ekonomi mempengaruhi jenis bahan bakar dan luas

kamar tidur di Desa Kroya di wilayah kerja puskesmas aikmel tahun

2021.

2. Faktor usia mempengaruhi jenis bahan bakar dan luas kamar tidur di

Desa Kroya di wilayah kerja puskesmas aikmel tahun 2021

3. Pengguna bahan bakar sangat berpengaruh terhadap faktor resiko

kejadian ISPA yang dimana bahan bakarnya banyak mengeluarkan

asap.
7

C. Rumusan Masalah

Apakah ada Hubungan Bahan Bakar dan Luas Kamar Tidur Dengan

Kejadian ISPA di Desa Kroya di Wilayah Kerja Puskesmas Aikmel Tahun

2021?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganilis Hubungan Jenis Bahan Bakar dan Luas Kamar Tidur Dengan

Kejadian ISPA di Desa Kroya Wilayah Kerja Puskesmas Aikmel Tahun

2021.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi Jenis Bahan Bakar di Desa Kroya di Wilayah Kerja

Puskesmas Aikmel Tahun 2021.

b. Mengidentifikasi Luas Kamar Tidur di Desa Kroya di Wilayah Kerja

Puskesmas Aikmel Tahun 2021.

c. Mengidentifikasi kejadian ISPA Pada Balita di Desa Kroya di wilayah

kerja Puskemas Aikmel Tahun 2021.

d. Menganalisis Hubungan Jenis Bahan Bakar Dengan Kejadian ISPA

Pada Balita di Desa Kroya di Wilayah Kerja Puskesmas Aikmel

Tahun 2021.

e. Menganalisis Luas Kamar Tidur Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

di Desa Kroya di Wilayah kerja Puskesmas Aikmel Tahun 2021.


8

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Universitas Pendidikan Mandalika Mataram

Menambah bahan pustaka perpustakaan Universitas Pendidikan Mandalika

Mataram tentang hubungan jenis bahan bakar dan luas kamar tidur dengan

kejadian ISPA di Desa Kroya di Wilayah Kerja Puskesmas Aikmel Tahun

2021.

2. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk

puskemas aikmel dalam mengetahui hubungan jenis bahan bakar dan luas

kamar tidur dengan kejadian ISPA .

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan jenis bahan bakar dan luas

kamar tidur dengan kejadian ISPA di Desa Kroya di wilayah kerja

puskemas aikmel.
9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA )

1. Definisi ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah kelompok penyakit

heterogen dan kompleks yang disebabkan oleh berbagai patogen yang

menyerang saluran pernapasan mulai dari faring hingga ke alveoli

(Khalek & Salam, 2016). Pengertian akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai 14 hari (Rahajoe, et al., 2015). Infeksi pernapasan

akut adalah kombinasi dari infeksi saluran pernapasan atas dan bawah.

Anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan akut, setidaknya memiliki

tanda-tanda berikut; batuk, pilek, napas cepat, sulit bernapas dan retraksi

dinding dada (Taksande & Yeole, 2016). Saluran pernapasan secara

anatomis dibagi menjadi sistem pernapasan atas dan bawah, dengan pita

suara yang berfungsi sebagai garis pemisahnya. Sistem pernapasan atas

terdiri dari saluran udara dari lubang hidung sampai pita suara di laring

termasuk sinus paranasal dan telinga tengah. Infeksi pada saluran

pernapasan bagian atas diantaranya seperti rinitis, faringitis, tonsilitis,

rinosinusitis, dan otitis media. Saluran pernapasan bawah mencakup

kelanjutan saluran udara dari trakea dan bronkus ke bronkiolus dan

alveoli. Infeksi saluran pernapasan bagian bawah dapat melibatkan

saluran udara, 20 paru-paru parenkim, atau ruang pleura. Infeksi pada

saluran pernapasan bawah diantaranya seperti epiglotitis, croup

9
10

(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia (Khalek

& Salam, 2016).

2. Etiologi

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti virus,

bakteri, jamur, mycoplasma, dan lain-lain. Infeksi Saluran Pernapasan

Akut bagian atas umumnya disebabkan karena virus, sedangkan ISPA

bagian bawah dapat disebabkan karena bakteri , virus, dan mycoplasma.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian bawah yang disebabkan oleh

bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga

menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya (Ramani, et al.,

2016). Organisme yang paling umum diketahui menyebabkan ISPA pada

anak-anak termasuk bakteri seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus

pyogenes, Pneumococci, Haemophilus influenza, dan Klebsiella

pneumonia. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Adenovirus, Rhinovirus, Koronavirus, Influenza, Miksovirus,

Mikoplasma, Pikornavirus, dan lain-lain (Ramani, et al., 2016).

3. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan adanya interaksi antara

virus dengan tubuh. Virus masuk sebagai antigen ke dalam saluran

pernapasan menyebabkan silia pada permukaan saluran napas 21

bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan tangkapan

refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal, maka virus akan

merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernapasan. Iritasi


11

virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.

Kerusakan pada lapisan dinding saluran napas menyebabkan aktifitas

kelenjar mukus meningkat, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa

yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut

menimbulkan gejala batuk (Resch, et al., 2009). Infeksi virus merupakan

faktor predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi

virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan

mekanisme perlindungan pada saluran pernapasan terhadap infeksi

bakteri sehingga memudahkan bakteri patogen pada saluran pernapasan

atas seperti haemophylus influenza, streptococcus pneumonia, dan

staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Resch, et al.,

2009). Adanya infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus

bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran napas sehingga timbul

gejala sesak napas dan batuk. Invasi bakteri ini dipermudah oleh fakor-

faktor seperti malnutrisi dan kedinginan. Suatu laporan penelitian

menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada

saluran napas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak

(Resch, et al., 2009

Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran napas

bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan pada

saluran pernapasan atas, setelah terjadi infeksi virus, dapat menginfeksi

paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Resch, et al.,

2009).
12

4. Faktor resiko

Kesehatan balita dipengaruhi oleh empat faktor sesuai dengan teori

Hendrik L. Blum, yaitu faktor perilaku, biomedis, lingkungan, dan

pelayanan kesehatan. Faktor perilaku meliputi perilaku kebersihan dan

gaya hidup orang tua. Faktor biomedis meliputi kondisi kesehatan dari

tubuh balita. Faktor lingkungan meliputi pemukiman, limbah,

pencemaran, dan kebersihan daerah sekitar. Sedangkan faktor pelayanan

kesehatan meliputi akses pelayanan kesehatan, pengobatan, serta jaminan

kesehatan (Depkes RI, 2018). Sedangkan menurut Syahidi, (2016),

secara umum ada tiga faktor risiko penyebab terjadinya ISPA pada balita,

yaitu faktor lingkungan, faktor psikobiologi (karakteristik biologi) anak,

serta faktor perilaku orang tua/ keluarga. Faktor lingkungan meliputi

pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, kepadatan hunian

rumah, dan tinggal bersama orang yang menderita ISPA (droplet

infection). Pencemaran udara dalam rumah antara lain seperti asap rokok,

asap dari pembakaran kayu bakar untuk memasak, serta kebiasaan

menggunakan obat nyamuk bakar didalam rumah. Faktor lingkungan ini

juga mencakup lingkungan sosial seperti pendidikan orang tua,

pengetahuan orang tua, pekerjaan serta pendapatan keluarga (Tazinya, et

al., 2018). Faktor psikobiologi anak meliputi umur anak, berat badan

lahir, vitamin A, status imunisasi, dan status gizi. Usia disini

mempengaruhi host. Menurut penelitian, status kerentanan anak di bawah

2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit.
13

Berat badan lahir balita berpengaruh terhadap ISPA, karena bayi dengan

berat lahir rendah akan menyebabkan pembentukan zat anti kekebalan

kurang sempurna. Riwayat pemberian vitamin A juga mempengaruhi

ISPA, karena pemberian vitamin A dapat meningkatkan titer antibodi

yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi

(Taksande & Yeole, 2016). Anak yang diimunisasi lengkap dilindungi

terhadap berbagai infeksi pernapasan seperti difteri, pertusis dan

komplikasi campak. Anak-anak yang tidak diimunisasi lengkap beresiko

terkena ISPA (Taksande & Yeole, 2016). Malnutrisi telah terbukti

mempengaruhi perkembangan imunitas seluler dan humoral (Ujunwa &

Thecla, 2014). Penipisan timolimfatik dapat terjadi pada anak-anak yang

kekurangan gizi. Hal ini menyebabkan imunitas yang dimediasi sel yang

rusak menyebabkan infeksi gram negatif dan sepsis. Demikian aksi

bakterisida leukosit dapat dipengaruhi oleh penurunan enzim dan

imunoglobulin yang abnormal (Ramani, et al., 2016). Sedangkan faktor

perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit

ISPA pada bayi dan balita dalam hal 24 ini adalah praktek penanganan

ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga

lainnya (Syahidi, et al, 2016).


14

5. Klasifikasi

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

a. Rinitis

Rinitis disebut juga dengan common cold, salesma, coryza, atau

cold, merupakan penyakit ISPA tersering pada anak. Penyebab

tersering rinitis adalah Rhinovirus, virus Parainfluenza,

Respiratory syncytial virus (RSV), dan Coronavirus. Manifestasi

klinis rinitis berupa pilek, hidung tersumbat, bersin, nyeri

tenggorok, batuk, dan juga dapat disertai dengan atau tanpa

demam. Karena penyebab terseringnya dalah virus, rinitis dapat

sembuh spontan. Dapat diberikan tatalaksana

nonmedikamentosa berupa elevasi kepala saat tidur, dan terapi

suportif cairan yang adekuat. Apabila gejala yang ditimbulkan

terlalu mengganggu, dapat diberikan obat simtomatis, seperti

pemberian Asetaminofen atau ibuprofen untuk menghilangkan

demam, tetes hidung salin untuk mengurangi gejala pilek dan

hidung tersumbat (Rahajoe, et al., 2015).

b. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut

Faringitis akut adalah peradangan akut membran mukosa faring

atau sekitarnya yang berlangsung sampai 14 hari. Penyebab

faringitis bisa berasal dari bakteri maupun virus. Bakteri yang

paling sering menyebabkan faringitis adalah Streptokokus beta

hemolitikus grup A (SBHGA). Sedangkan virus yang dapat 25


15

menyebabkan faringitis adalah Adenovirus, Rhinovirus, dan

virus Parainfluenza (Rahajoe, et al., 2015). Faringitis akut yang

disebabkan virus memiliki gejala seperti rinorea, suara serak,

batuk, konjungtivitis, dan diare. Sedangkan gejala khas dari

faringitis akut yang disebabkan bakteri Streptokokus adalah

nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak disertai mual

muntah, disfagia, demam, faring hiperemis, tonsil bengkak

dengan eksudasi, kelenjar getah bening pada leher anterior

bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung

disertai lesi impetigo sekunder, ruam skarlatina, serta petekie

palatum mole (Rahajoe, et al., 2015). Diagnosis ditegakkan

berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri

atau virus adalah dari pemeriksaan kultur apusan tenggorok.

Terapi suportif yang dapat diberikan adalah istirahat cukup dan

pemberian cairan yang sesuai. Pemberian gargles (obat kumur)

dan lozenges (obat hisap) dapat meringankan keluhan nyeri

tenggorok. Apabila terdapat keluhan nyeri yang berlebih atau

demam, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Terapi

antibiotik hanya diberikan untuk faringitis akut akibat bakteri

(Rahajoe, et al., 2015).


16

c. Otitis Media

Otitis media merupakan suatu inflamasi pada telinga tengah

yang berhubungan dengan efusi telinga tengah. Otitis media

terjadi 26 karena aerasi telinga tengah yang terganggu, biasanya

disebabkan karena fungsi tuba eustasius yang terganggu

(Rahajoe, et al., 2015). Otitis media akut memiliki onset gejala

dan tanda klinis yang cepat, seperti nyeri telinga, demam,

gangguan pendengaran, iritabel, anoreksia, atau juga muntah.

Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pada

pemeriksaan membran timpani. Dari pemeriksaan otoskopi

didapatkan gerakan membran timpani yang berkurang,

cembung, kemerahan, dan keruh, dapat dijumpai sekret yang

purulen. Sebelum didapatkan hasil uji sensitivitas, amoksisilin

oral merupakan antibiotik pilihan awal. Terapi suportif lain

dapat diberikan antara lain analgetik, antipiretik, dan

dekongestan (Rahajoe, et al., 2015). Otitis media yang disertai

efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang

asimtomatik. Seringkali ditemukan membran timpani yang

retraksi, keruh, dan mobilitasnya yang terganggu. Efusi kronis

yang bilateral dan gangguan pendengaran dapat diberikan terapi

dekongestan dan antihistamin. Efusi akut dan sub akut dapat

diberikan antibiotik (Rahajoe, et al., 2015)


17

d. Rinosinusitis

Rinitis alergik merupakan faktor predisposisi pertama terjadinya

rinosinusitis paranasal, sedangkan ISPA atas lainnya merupakan

faktor predisposisi kedua.

Berikut adalah pembagian rinosinusitis (Rahajoe, et al., 2015):

1. Rinosinusitis akut, merupakan infeksi sinus dengan resolusi

gejala yang komplit dalam waktu 12 minggu. Akut apabila

gejala kurang dari 30 hari dan sub-akut bila gejala diantara

30- 90 hari (12 minggu).

2. Rinosinusitis kronik, merupakan infeksi sinus dengan gejala

ringan-sedang yang menetap lebih dari 12 minggu.

3. Rinosinusitis akut berulang, merupakan beberapa episode

akut yang diselingi masa sembuh di antara 2 episode.

2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bawah

a. Epiglotitis

Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglottis

dan struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas

akut dan menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis

hampir selalu disebabkan oleh Hemophilus influenza tipe b

(Hib). Gejala yang dapat ditemui berupa demam tinggi

mendadak dan berat, nyeri tenggorokan, sesak napas, dan diikuti


18

dengan gejala obstruksi saluran respiratori yang progesif

(Rahajoe, et al., 2015).

Diagnosis epiglotitis ditegakkan dengan ditemukannya epiglottis

yang besar, bengkak, dan berwarna merah ceri, dengan

pemeriksaan langsung atau pun laringoskopi. Pada pemeriksaan

radiologis dapat terlihat gambaran thumb sign (Rahajoe, et

al.,2015)

b. CROUP (Laringotrakeobronkitis Akut)

Croup mencakup suatu grup heterogen yang mengenai laring,

infra atau subglotis, trakea, dan bronkus. Virus tersering yang

menyebabkan croup adalah Human parainfluenza virus tipe 1

(HPIV-1), HPIV-2, 3, dan 4, Adenovirus, virus Influenza A dan

B, virus campak, dan RSV . Gejala yang dapat ditemukan adalah

suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau

tanpa adanya obstruksi jalan napas.

Croup dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Viral croup, terdapat gejala prodormal infeksi respiratori,

gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3

hingga 5 hari.

2. Spasmodic croup, terdapat faktor atopik tanpa gejala

prodormal, anak tiba-tiba mengalami gejala obstruksi

saluran pernapasan terutama pada malam hari menjelang

tidur. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah pemberian


19

terapi inhalasi berupa uap dingin atau nebulasi epinefrin,

dan kortikosteroid berupa Dexametason atau nebulisasi

Budesonid. Apabila dengan terapi tersebut tidak membaik,

untuk mengatasi obstruksi jalan napas dilakukan intubasi

endotrakeal atau pemberian kombinasi oksigen-helium

(Rahajoe, et al., 2015).

c. Bronkitis Akut

Bronkitis akut merupakan proses inflamasi selintas yang

mengenai trakea serta bronkus. Gejala utama yang paling

menonjol 30 adalah batuk. Batuk mulanya kering dan keras,

kemudian berkembang menjadi batuk ringan dan produktif, bisa

disertai keluhan nyeri dada pada keadaan yang lebih berat

(Rahajoe, et al., 2015). Bronkitis akut umumnya disebabkan

oleh virus dan akan membaik tanpa terapi dalam dua minggu.

Terapi suportif yang dapat diberikan untuk bronkitis akut virus

adalah istirahat yang cukup, cairan yang adekuat, serta

kelembaban udara yang cukup. Sedangkan untuk bronkitis akut

yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan antibiotik seperti

eritromisin (Rahajoe, et al., 2015).

d. Bronkiolitis

Bronkiolitis ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.

Penyebab terseringnya adalah Respiratory syncytial virus

(RSV). Gejala awal dari Bronkiolitis adalah batuk, pilek ringan,


20

dan demam. Kemudian akan timbul batuk dengan sesak napas

setelah satu hingga dua hari. Selanjutnya dapat ditemukan gejala

penurunan nafsu makan, wheezing, sianosis, merintih, dan

muntah setelah batuk. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan

takikardi, takipnea, suhu tubuh diatas 38,5o C, napas cuping

hidung, dan retraksi interkostal. Pada foto rontgen toraks

terdapat gambaran infiltrat, hiperinflasi, dan dapat ditemukan

gambaran atelektasis (Rahajoe, et al., 2015). Terapi suportif

yang dapat diberikan adalah pemberian oksigen, minimal

handling, cairan intravena, penyesuaian suhu 31 lingkungan, dan

nutrisi yang baik. Setelah itu dapat diberikan bronkodilator,

kortikosteroid, ribavirin, serta pencegahan dengan vaksin RSV,

humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab), atau RSV

immunoglobuline (Rahajoe, et al., 2015).

e. Pneumonia

Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai parenkim paru,

Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah

Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, dan

Hemophilus influenzae. Sedangkan virus yang terbanyak

ditemukan adalah RSV, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, yang

menunjukkan keterlibatan sistem pernapasan, serta gambaran

radiologis. Prediktor paling kuat pada pneumonia adalah


21

demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala berikut: batuk,

takipnea, napas cuping hidung, ronki, retraksi, dan suara napas

melemah. Tatalaksana yang dilakukan adalah diberikan

antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Untuk gejala

demam dan nyeri dapat diberikan antipiretik dan analgetik

6. Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Tindakan pencegahan ISPA dapat berupa upaya peningkatan daya

tahan tubuh dan perbaikan gizi yaitu dengan cara makan makanan

bergizi, minum air yang cukup, dan istirahat yang cukup. Kunjungi

pelayanan kesehatan atau beri pengobatan bila mulai muncul gejalagejala

ISPA. Tempat tinggal harus memiliki sirkulasi udara yang baik,

kepadatan hunian yang baik dan tidak terlalu sesak ataupun terasa 32

penuh, serta pastikan anak mendapatkan imunisasi yang lengkap

(Sukandarrumidi, 2010). Cara pencegahan lainnya adalah dengan

menghindari mikroorganisme pathogen dengan cara menjaga kebersihan

tangan, menggunakan alat pelindung diri misalnya masker untuk

menghindari droplet infection, menciptakan lingkungan yang bersih, dan

menghindarkan anak dari asap yang membuatnya sulit bernapas.

Sedangkan pada orang dewasa atau orang tua juga sebaiknya

menggunakan etika batuk dengan cara menutup mulut dengan sapu

tangan saat batuk (Kutter, et al., 2018). Pencegahan ISPA dengan

pendekatan keluarga juga diperlukan. Keluarga perlu diedukasi mengenai

pentingnya menjalankan fungsi keluarga yang baik dan mampu


22

menjalankan tugas keluarga dalam bidang kesehatan dengan maksimal

(Depkes RI, 2016).

7. Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita

Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita

adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau biasa

digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-59 bulan (Infodatin, 2014).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan penyakit utama penyebab

kematian bayi dan balita di Indonesia. Dari beberapa hasil survei

diketahui bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA

disebabkan karena Pneumonia (Syahidi, et al., 2016). Kelompok usia 6-

23 bulan adalah kelompok usia paling rentan untuk mengalami ISPA

(Nasution, et al., 2009). Sumber lain menyebutkan bahwa period

prevalence penyakit ISPA yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4

tahun (Depkes RI, 2013). Infeksi Saluran Pernapasan Akut menjadi salah

satu alasan tersering yang membuat balita dibawa ke rumah sakit atau

puskesmas untuk menjalani perawatan inap maupun rawat jalan. Sistem

kekebalan tubuh yang masih rentan merupakan faktor pemicu balita

mudah terserang penyakit (Danusantoso, 2012). Daya tahan tubuh yang

rentan ditambah dengan berbagai paparan seperti gangguan asap dari

pabrik dan lokasi rumah di daerah rawan banjir, serta berbagai faktor

risiko seperti status gizi, imunisasi, ASI, berat lahir bayi, dapat

mempermudah timbulnya penyakit ISPA pada balita (Nasution, et al.,

2009). Peran orang tua juga penting dalam penanganan penyakit ISPA
23

pada balita, termasuk peran orang tua dalam perawatan anak. Orang tua

harus mampu mengenali kondisi anak, menentukan sikap terkait kondisi

kesehatan anak, memahami dampak negatif maupun komplikasi yang

mungkin terjadi dari kondisi anak. Orang tua juga berperan dalam

pencegahan ISPA. Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dicegah

dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan balita,

menciptakan lingkungan yang nyaman, dan menghindari faktor pencetus

(Sukarto, et al., 2016).

B. Bahan Bakar

1. Definisi bahan bakar

Bahan bakar adalah suatu materi apapun yang bisa diubah menjadi energi.

Biasanya bahan bakar mengandung energi panas yang dapat dilepaskan

dan dimanipulasi. Kebanyakan bahan bakar digunakan manusia melalui

proses pembakaran (reaksi redoks) di mana bahan bakar tersebut akan

melepaskan panas setelah direaksikan denganoksigen di udara. Proses lain

untuk melepaskan energi dari bahan bakar adalah melalui reaksi

eksotermal dan reaksi nuklir (seperti Fisi nuklir atau Fusi nuklir).

Hidrokarbon(termasuk di dalamnya bensin dan solar) sejauh ini

merupakan jenis bahan bakar yang paling sering digunakan manusia.

Bahan bakar lainnya yang bisa dipakai adalah logam radioaktif. (wkipedia,

2016).
24

Calorific value (H, atau panas jenis) merupakan kandungan energi suatu

bahan per satuan massa yang dilepas saat bahan tersebut total terbakar.

Salah satu cara pengelompokan kualitas suatu BBM adalah dengan

tingkat research octane number-nya (RON, atau nilai oktan). Semakian

tinggi calorific value suatu bahan bakar maka energi yang dihasilkan pun

akan semakin efisein, karena menghasilkan panas yang lebih besar dengan

massa yang sedikit. (Ronaldo Izron ,2012) .

2. Jenis-jenis Bahan Bakar

1. Berdasarkan bentuk dan wujudnya

a) Bahan bakar padat

Bahan bakar padat merupakan bahan bakar berbentuk padat, dan

kebanyakan menjadi sumber energi panas. Misalnya kayu dan

batubara. Energi panas yang dihasilkan bisa digunakan untuk

memanaskan air menjadi uap untuk menggerakkan peralatan dan

menyediakan energi.

b) Bahan bakar cair

Bahan bakar cair adalah bahan bakar yang strukturnya tidak rapat,

jika dibandingkan dengan bahan bakar padat molekulnya dapat

bergerak bebas. Bensin/gasolin/premium, minyak solar, minyak

tanah adalah contoh bahan bakar cair. Bahan bakar cair yang

biasa dipakai dalam industri, transportasi maupun rumah tangga

adalah fraksi minyak bumi. Minyak bumi adalah campuran

berbagai hidrokarbon yang termasuk dalam kelompok senyawa:


25

parafin, naphtena, olefin, dan aromatik. Kelompok senyawa ini

berbeda dari yang lain dalam kandungan hidrogennya. Minyak

mentah, jika disuling akan menghasilkan beberapa macam fraksi,

seperti: bensin atau premium, kerosen atau minyak tanah, minyak

solar, minyak bakar, dan lain-lain. Setiap minyak petroleum

mentah mengandung keempat kelompok senyawa tersebut, tetapi

perbandingannya berbeda

c) Bahan bakar gas

Bahan bakar gas ada dua jenis, yakni Compressed Natural Gas

(CNG) dan Liquid Petroleum Gas (LPG. CNG pada dasarnya

terdiri dari metana sedangkan LPG adalah campuran dari

propana, butana dan bahan kimia lainnya. LPG yang digunakan

untuk kompor rumah tangga, sama bahannya dengan Bahan

Bakar Gas yang biasa digunakan untuk sebagian kendaraan

bermotor.

2. Berdasarkan materinya

A. Bahan bakar tidak berkelanjutan

Bahan bakar tidak berkelanjutan bersumber pada materi yang

diambil dari alam dan bersifat konsumtif. Sehingga hanya bisa

sekali dipergunakan dan bisa habis keberadaannya di alam.

Misalnya bahan bakar berbasis karbon seperti produk-produk

olahan minyak bumi.


26

B. Bahan bakar berkelanjutan

Bahan bakar berkelanjutan bersumber pada materi yang masih

bisa digunakan lagi dan tidak akan habis keberadaannya di alam.

Misalnya tenaga matahari (Wikipedia, 2016).

3. Faktor yang mempengaruhi jenis bahan bakar

a. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi menurut FS.Chapin (kaare,1989:26)

merupakan posisi yang ditempati individu atau keluarga

yang berkenan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku

tentang kepemilikan kultural ,pendapatan efektif, pemilikan

barang dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari

komunitasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa satus

sosial ekonomi adalah tinggi rendahnya prestise yang

dimiliki seseorang berdasarkan kedudukan yang

dipegangnya dalam suatu masyarakat berdasarkan pada

pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya atau keadaan yang

menggambarkan posisi kedudukan suatu keluarga masyrakat

berdasarkan kepemilikan materi.

b. Usia dan tahap siklus hidup

Individu yang membeli barang atau jasa biasanya beradatasi

dengan perubahan dalam kelompok umur yang


27

berbeda.setiap orang dari berabagi usia memiliki pola

konsumsi yang berbeda.

C. Kamar Tidur

1. Definisi kamar tidur

Kamar tidur yang nyaman merupakan dambaan setiap orang. Untuk

memperoleh kamar tidur yang nyaman dibutuhkan beberapa sentuhan

elemen interior yang dapat menunjang dan meningkatkan rasa nyaman

tersebut, salah satunya adalah dengan cara memilih warna cat dinding

kamar tidur yang cocok bagi individu yang menempati kamar tidur

tersebut.

Menurut Cahaya Lituhayu, ruang yang ditempati seseorang memiliki

pengaruh kuat terhadap kondisi psikologis orang tersebut. Menurut M.

Sahid Indraswara (2007), warna memiliki peran penting yang mendukung

terciptanya suasana nyaman dan dapat mempengaruhi psikologis

penghuni. Menurut Cahaya Lituhayu, ruang yang ditempati seseorang

memiliki pengaruh kuat terhadap kondisi psikologis orang tersebut.

Pemilihan warna yang salah dan pemakaian warna yang tidak serasi dapat

menyebabkan sebuah ruangan menjadi tidak nyaman (M. Sahid

Indraswara, 2007).

Menurut Kepmenkes RI No. 827 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan

digunakan lebih dari 2 orang dalam satu kamar tidur. Kepadatan hunian
28

adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota

keluarga dalam suatu rumah tangga.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasa dinyatakan

dalam m2 /orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana

minimum 10 m 2 /orang, jadi untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 orang

minimum 50 m 2 (Lubis 1989).

Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m 2 /orang dan utuk

mencegah penularan penyakit saluran jarak antara tepi tempat tidur yang

satu dengan yang lain minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.

Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit saluran

pernapasan sebaiknya tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga lain,

untuk menjamin volume udara yang cukup, disyaratkan juga tinggi langit-

langit minimum 2,75 m.

Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruang tidur

maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau

bakteri.Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan

menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2

dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan

(Cahyaningrum, 2011).

Menurut Anonim (2006) tingkat kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding


29

dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas bangunan rumah

yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak dapat

menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. 21

Kemungkinan hunian memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular

pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah yang

lainnya bahkan hingga ke anak-anak yang masih dibawah umur.

Dari hasil penelitian juga yang dilakukan oleh Mudehir (2002)

menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan presentase anak balita

terkena ISPA yang tinggal dirumah penghuni padat dengan anak balita

tinggal dirumah penghuni tidak padat. Anak balita yang tinggal dirumah

penghuni padat mempunyai resiko terkena ISPA 3x lebih besar

dibandingkan dengan anak balita yang tinggal dirumah tidak padat

penghuni.

Agar terhindar dari penyakit saluran pernafasan, maka luas / ukuran

kamar tidur minimal 9m2 untuk setiap orang yang berumur diatas 5 tahun

atau untuk orang dewasa dan 4,5m2 untuk anak-anak berumur dibawah 5

tahun. Luas lantai minimal 3,5m2 untuk setiap orang dengan tinggi langit-

langit tidak kurang dari 2,75m. Kelembaban dikamar tidur yang baik

adalah berkisar 40% - 70% ( PerMenKes, 1999 ).

Kamar tidur menjadi tempat istirahat yang nyaman diperlukan

beberapa hal antara lain: (Surowiyono, 2005: 80)


30

a) Suasana dalam ruang tenang dan tidak bising

b) Suhu udara sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia, tidak terlalu

panas dan dingin

c) Kelembaban udara normal, tidak terlalu basah dan kering

d) Tempat tidur berukuran normal agar cukup leluasa untuk bergerak

dan alad tidur (kasur) tidak terlampau keras atau terlalu lunak

2. Faktor resiko

a. Jenis dinding rumah

Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan

kelembaban dalam ruangan menjadi tidak normal. Kelembaban

tidak normal ini akan menjadi prakondisi pertumbuhan kuman

maupun bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi

penghuninya .

b. Suhu dan kelembaban kamar balita

Hal tersebut dapat terjadi karena suhu dan kelembaban di dalam

ruangan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

ISPA. Suhu dan kelembaban ini sangat erat kaitannya dengan

pertumbuhan dan perkembangbiakan faktor etiologipneumonia

yang berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi ini dapat

tumbuh dengan baik jika kondisi yang optimum. Virus, bakteri dan

jamur penyebab ISPA untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakannya membutuhkan suhu dan kelembaban yang


31

optimal. Pada suhu dan kelembaban tertentu memungkinkan

pertumbuhannya terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau

mati.Tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan

berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal inilah yang

membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan

dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka

anak terpapar faktor risiko tersebut.

c. Ventilasi kamar tidur

Tidak tersedianya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin

membahayakan kesehatan, jika kebetulan dalam ruangan tersebut

terjadi pula pencemaran oleh bakteri ataupun oleh berbagai zat kimia

(organik atauanorganik). Keberadaan bakteri di udara dikarenakan

adanya debu, uap air yang mengandung kuman. Setiap Gram debu

jalanan mengandung kira-kira 50 juta bakteri.


29

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konseptual

Gambar 3.1 Kerangka konsep

a) Status sosial
ekonomi

b) Usia dan tahap


siklus hidup

Jenis Bahan Bakar


Kejadian ISPA
Luas Kamar Tidur

a) Kondisi bangunan/ a) Faktor Perilaku


dinding rumah b) Faktor Biomedis
b) Suhu dan kelembaban c) Faktor Lingkungan
kamar tidur
c) Ventilasi kamar tidur

Sumber : ( Syahidi,2016 ) ( kaare,1989:26 ) (Heru,anny setiana dan trijoko,2012 )

Keterangan gambar 3.1

: Variabel Yang diteliti


: Variabel Yang Tidak diteliti
: Penghubung
30

Deskripsi Kerangka Konsep:


29

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA ) adalah kelompok penyakit

heterogen dan kompleks yang disebabkan oleh berbagai patogen yang

menyerang saluran pernapasan mulai dari faring hingga ke alveoli. ISPA

dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dalam penelitian ini yang di teliti

adalah jenis bahan bakar dan luas kamar tidur sehingga terjadi kejadian

ISPA pada balita. Faktor yang mempengaruhi ISPA yaitu,faktor perilaku

yang di mana faktor perilaku meliputi perilaku kebersihan dan gaya hidup

orang tua,faktor biomedis faktor yang meliputi kondisi kesehatan dari

tubuh balita,faktor lingkungan faktor yang meliputi

pemukiman,limbah,pencemaran,dan kebersihan daerah sekitar.faktor jenis

bahan bakar yaitu,status sosial ekonomi bahwa satus sosial ekonomi

adalah tinggi rendahnya prestise yang dimiliki seseorang berdasarkan

kedudukannya,usia dan tahap siklus hidup yang dimana individu yang

membeli barang atau jasa biasanya beradatasi dengan perubahan dalam

kelompok umur.faktor luas kamar tidur yaitu, jenis dindig rumah Dinding

rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kelembaban dalam

ruangan menjadi tidak normal,suhu dan kelembapan kamar tidur Suhu dan

kelembaban ini sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan

perkembangbiakan faktor etiologipneumonia yang berupa virus, bakteri

dan jamur,ventilasi kamar tidur Tidak tersedianya ventilasi yang baik pada

suatu ruangan makin membahayakan kesehatan.


31
32

B. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan jenis bahan bakar dan luas kamar tidur dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Kroya di wilayah kerja Puskesmas Aikmel tahun

2021.
33

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini dalah penelitian kuantitatif menggunakan desain

penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control.

Penelitian case control merupakan rancangan penelitian yang

membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok control untuk

mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya paparan.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

a) Populasi

Menurut ( sugiyono,2013 ) menyebutkan bahwa populasi adalah

wilayah generalisasi yang akan di teliti oleh peneliti dengan melakukan

investasi yang kemudian akan ditarik kesimpulan. Populasi kasus di

Desa Kroya 369 populasi periode dari bulan januari sampai

Desember,sedangkan populasi kontrolnya sebanyak 1.819 populasi

pada tahun 2021.

b) Sampel

Sampel adalah bagian atau sejumlah cuplikan tertentu yang dapat di

ambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci ( sujarweni,2015 ).

c) Besar Sampel

Untuk mencari sampel dihitung dengan menggunakan rumus slovin

sebagai berikut:

32
34

Rumus :

N0
n=
1+ N e 2

Keterangan:
n= Jumlah sampel yang dicari

N= Jumlah populasi

E= Margin of eror 10%

N0
n= 2
1+ N e

369
n=
1+ ( 369 )( 10 % ) 2 ¿
¿

369
¿
1+369 (0,1)

369
¿
1+369

369
¿
4,69

= 79

Jadi besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebanyak 79 orang.

d) Teknik pengambilan sampel

Teknikpengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik simpel random sampling atau sampel acak

sederhana.
35

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Kroya di wilayah kerja Puskesmas

Aikmel

2. Waktu penelitian

Penelitian akan dilaksanakan Maret 2022

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Independen atau Variabel Bebas

Variabel independen dalam penelitian ini adalah jenis bahan bakar dan

luas kamar tidur.

2. Variabel Dependen atau Variabel Tekait

Dalam penelitian ini variabel dependen adalah kejadian ISPA.

3. Definisi Operasional

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Cara Kategori Skala

Operasional Pengukuran Data

Independen Jenis bahan bakar Wawancara 1. Menggunakan Nominal

Jenis yang digunakan bahan bakar kayu

Bahan bakar masyarakat untuk bakar dan bahan

proses minyak tanah.

pembakaran 2. Tidak

/memasak untuk menggunakan

kebutuhan sehari- bahan bakar kayu


36

hari seperti bahan bakar dan bahan

bakar minyak tanah.

kayu,gas,dan lain-

lain

Independen Kamar tidur yang Wawancara 1. Memenuhi Nominal

Luas kamar nyaman dan syarat jika luas

tidur merupakan pengukuran kamar tidur<8m2

dambaan setiap Tidak memenuhi

orang. Untuk syarat jika luas

memperoleh kamar tidur

kamar tidur yang >8m2

nyaman

dibutuhkan

beberapa sentuhan

elemen interior

yang dapat

menunjang dan

meningkatkan rasa

nyaman tersebut
37

Dependen Infeksi saluran Wawancara 1. ISPA Nominal

Kejadian pernafasan akut 2. Tidak ISPA

ISPA adalah kelompok

penyakit neterogen

dan kompleks

yang disebabkan

oleh berbagai

patogen yang

menyerang saluran

pernafasan mulai

dari faring hingga

ke alveoli
38

4.5 Teknik dan Instrumen Penelitian

a.Teknik pengumpulan data

1. Data Primer

Data primer didapatkan melalui kuesioner dan pengukuran untuk

mengetahui hubungan bahan bakar dan luas kamar tidur dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa diwilayah kerja Puskesms Aikmel

tahun 2021.

2. Data Skunder

Data skunder didapatkan dari data tahunan Puskesmas Aikmel tentang

ISPA.

b.Instrumen penelitian

Adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat

ukur kuesioner pada responden yang disusun berdasarkan variable

penelitian.

4.6 Prosedur Penelitian

1. Meminta izin surat pengambilan data di secretariat fakultas ilmu

keolahragaan dan kesehatan masyarakat

2. Memasukkan surat izin penelitian Puskesmas Aikmel

3. Meminta data di Puskesmas Aikmel

4. Pengambilan data dengan cara wawancara langsung ke responden

mengenai Hubungan Jenis Bahan Bakar dan Luas Kamar Tidur


39

Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Kroya di wilayah kerja

Puskesmas Aikmel Tahun 2021.

4.7 Pengolahan data

Setelah data terkumpul, kemudian panduan data dengan cara

cleaning,editing,entry dan tabulating.

1. Cleaning

Data yang telah dikumpulkan dilakukan cleaning data

yang berarti sebelum data dilakukan pengecekan agar

tidak terdapat data yang kurang.

2. Editing

Setelah data yang dikumpulkan, lalu dikumpulkan

pengeditan untuk mengecek kelengkapan

data,kesinambungan data yang keragaman data.

3. Coding

Coding data dilakukan untuk memudahkan dalam

pengolahan data termasuk dalam pengelompokan

kategori dan pemberian skor.

4. Entry data

Memasukkan data ke program computer untuk

dianalisia.

5. Tabulating
40

Tabulating dimaksudkan untuk memasukkan data

kedalam table-tabel dan mengatur angka-angka serta

pengelompokkan data sesuai variabel dan kategori.

Tabulating juga dapat diartikan sebagai proses

penyajian data dalam bentuk tabel.

4.8 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan dengan cara menghitung menghitung

skor variabel dengan membuat tabel distribusi frekuensi dan

presentasi variabel dengan menggunakan program computer.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dengan uji chi-square digunakan utuk menguji

hipotesis hubungan yang signifikan antara variabel independen dan

dependen, cara pengujiannya dengan menggunakan teknik analisi uji

chi-square dengan tingkat kemaknaan α=0,05.

Anda mungkin juga menyukai