Anda di halaman 1dari 12

KRIPTORKISMUS/UNDESCENDED TESTIS

A. DEFINISI

Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis (latin) yang
berarti testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah undescended testis, tetapi harus dijelaskan
lanjut apakah yang di maksud kriptorkismus murni, testis ektopik, atau pseudokriptorkismus.
Kriptorkismus murni adalah suatu keadaan dimana setelah usia satu tahun, satu atau dua testis
tidak berada didalam kantong skrotum, tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur
penurunan testis yang normal. Sedang bila diluar jalur normal disebut testis ektopik, dan yang
terletak di jalur normal tetapi tidak didalam skrotum dan dapat didorong masuk ke skrotum
serta naik lagi bila dilepaskan disebut pseudokritorkismus atau testis retraktil.

B. EPIDEMIOLOGI

Besar insidensi UDT berbeda pada tiap-tiap umur. Bayi baru lahir (3 – 6%), satu bulan (1,8%), 3
bulan (1,5%), Satu tahun (0,5 – 0,8%). Bayi lahir cukup bulan 3% diantaranya kriptorkismus,
sedang lahir kurang bulan sekitar 33% . Pada berat badan bayi lahir (BBL) dibawah 2000 gram
insidensi UDT 7,7% BBL 2000-2500 (2,5%), dan BBL diatas 2500 (1,41%) Insidensi kriptorkismus
unilateral lebih tinggi dibanding kriptorkismus bilateral. Sedang insidensi sisi kiri lebih besar (kiri
52,1% vs kanan 47,9%). Di Inggris, insidensinya meningkat lebih dari 50% pada kurun waktu
1965 – 1985. di FKUI – RSUPCM kurun waktu 1987 – 1993 terdapat 82 anak kriptorkismus,
sedang di FKUSU – RSUP. Adam Malik Medan kurun waktu 1994 – 1999 terdapat 15 kasus.

C. ETIOLOGI

Penyebab  pasti kriptorkismus belum jelas. Beberapa hal  yang berhubungan adalah:
1. Abnormalitas gubernakulum testis
Penurunan testis dipandu oleh gubernakulum. Massa gubernakulum yang besar akan
mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan
menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong skrotum
gubernakulum akan diresorbsi (Backhouse, 1966) Bila struktur ini tidak terbentuk atau
terbentuk abnormal akan menyebabkan maldesensus testis.

2. Defek intrinsik testis


Maldesensus dapat disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini membuat testis
tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin. Teori ini merupakan penjelasan terbaik pada
kasus kriptorkismus unilateral. Juga untuk menerangkan mengapa pada pasien dengan
kriptorkismus bilateral menjadi steril ketika diberikan terapi definitif pada umur yang
optimum. Banyak kasus kriptorkismus yang secara histologis normal saat lahir, tetapi
testisnya menjadi atrofi / disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan jumlah sel germinalnya
sangat berkurang pada akhir usia 2 tahun.

3. Defisiensi stimulasi hormonal / endokrin


Hormon gonadotropin maternal yang inadequat menyebabkan desensus inkomplet. Hal ini
memperjelas kasus kriptorkismus bilateral pada bayi prematur ketika perkembangan
gonadotropin maternal tetap dalam kadar rendah sampai 2 minggu terakhir kehamilan.
Tetapi teori ini sulit diterapkan pada kriptorkismus unilateral.  Tingginya kriptorkismus
pada prematur diduga terjadi karena tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan
testosteron masa fetus akibat dari imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-
hipofisis-testis. Dilaporkan suatu percobaan menunjukkan desensus testis tidak terjadi
pada mamalia yang hipofisenya telah diangkat .

Rasfer et al (1986) memperlihatkan penurunan testis dimediasi oleh androgen yang diatur
lebih tinggi oleh gonadotropin pituitary. Proses ini memicu kadar dihidrotestotsteron yang
cukup tinggi, dengan hasil testis mempunyai akses yang bebas ke skrotum . Toppari &
Kaleva menyebut defek dari aksis hipotalamus-pituitary-gonadal akan mempengaruhi
turunnya testis. Hormon utama yang mengatur testis adalah LH dan FSH yang doproduksi
oleh sel basofilik di pituitary anterior yang diatur oleh LHRH. FSH akan mempengaruhi sel
sertoli, epitel tubulus seminiferus. Kadar FSH naik pada kelainan testis.

Kriptorkismus yang disertai defisiensi gonadotropin dan adrenal hipoplasia kongenital


mungkin berhubungan dengan sifat herediter. Corbus dan O’Connor, Perreh dan O’Rourke
melaporkan beberapa generasi kriptorkismus dalam satu keluarga. Juga ada penelitian
yang menunjukkan tak aktifnya hormon Insulin Like Factor 3 ( Insl3) sangat mempengaruhi
desensus testis . Insl3 diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi gubernakulum. Faktor
lain yang diduga berperan ialah berkurangnya stimulating substances yang diproduksi oleh
nervus genitofemoralis.

Faktor  Resiko
Karena penyebab pasti kriptorkismus tidak jelas, maka kita hanya dapat mendeteksi faktor
resikonya, antara lain:
 BBLR (kurang 2500 mg)
 Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama
 Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
 Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)
 Berat janin yang dibawah umur kehamilan
 Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT

D. PATOGENESIS

Skrotum adalah regulator suhu yang efektif untuk testis, dimana suhu dipertahankan sekitat 1
derajat Celsius (1,8 derajat Fahrenheit) lebih dingin dibanding core body temperature. Sel
spermatogenesis sangat sensitif terhadap temperatur badan. Mininberg, Rodger dan Bedford
(1982) mempelajari ultrastruktur kriptorkismus dan mendapatkan perubahan pada kurun satu
tahun kehidupan. Pada umur 4 tahun didapatkan deposit kolagen masif. Kesimpulan mereka
adalah testis harus di skrotum pada umur 1 tahun.
Penelitian biopsi testis kriptorkismus menunjukkan bukti yang mengagetkan dimana epitel
germinativum dalam testis tetap dalam ukuran normal untuk 2 tahun pertama kehidupan.
Sementara umur 4 tahun terdapat penurunan spermatogonia sekitar 75 % sehingga menjadi
subfertil / infertil.
Setelah umur 6 tahun tampak perubahan nyata. Diameter tubulus seminiferus mengecil, jumlah
spermatogonia menurun, dan tampak nyata fibrosis di antara tubulus testis. Pada kriptorkismus
pascapubertas mungkin testis berukuran normal, tetapi ada defisiensi yang nyata pada
komponen spermatogenik sehingga pasien menjadi infertil. Untungnya sel leydig tidak
dipengaruhi oleh suhu tubuh dan biasanya ditemukan dalam jumlah normal pada kriptorkismus.
Sehingga impotensi karena faktor endokrin jarang terjadi pada kriptorkismus  Penelitian dengan
biopsi jaringan testis yang mengalami kriptorkismus menunjukkan tidak terjadi abnormalitas
kromosom. Maldescensus dan degenerasi maligna tidak dapat disebabkan karena defek genetik
pada testis yang mengalami UDT.
E. KLASIFIKASI

Kriptorkismus dapat diklasifikasikan berdasar etiopatogenesis dan lokasi.


1. Berdasarkan Etiopatogenesis
 Mekanik/anatomik : perlekatan, kelainan kanalis inguinalis
 Endokrin/hormonal: kelainan aksis hipotalamus-hipofise-testis
 Disgenesis: kelainan interseks multipel
 Herediter/genetik
2. Berdasarkan lokasi :
 Skrotum tinggi (supraskrotal): 40%
 Intrakanalikuli (inguinal): 20 %
 Intraabdominal (abdomen): 10 %
 Terobstruksi: 30%

Major , 1974  membagi kriptorkismus (dalam pengertian umum) membagi menjadi:


1. Retensio Testis (dystopy of testicle)
Diklasifikasikan sesuai tempatnya:
 Abdominal testicle (retensi abdominal)
 Canalicular testicle ( retensio canalicularis superior et inferior ): testis benar-benar tak
teraba.
 Inguinal testicle ( retensio inguinalis): testis teraba di depan anulus inguinalis
eksternus.
 Testis reflexus (superfisial inguinal ectopy): bentuk paling umum. Testis sebenarnya
tidak melenceng dari alur normal. Gubernakulum memandu testis menuju bagian
bawah skrotum. Testis hanya bertempat di anterior aponeurosis muskulus obliquus
abdominis eksternus dan sesungguhnya ini bukan suatu testis ektopik.
2. The True Ectopic Testis
Di sini testis melewati canalis inguinalis tetapi kemudian menempati daerah perineum,
suprapubic dorsal pangkal penis, bawah kulit pangkal femur sisi medial.
3. The Floating Testicle
Pada anak-anak kontraksi muskulus kremaster dapat mengangkat testis dari posisis normal
menuju kanalis inguinalis. Refleks ini dipicu oleh rangsang dingin atau sentuhan. Jangan
keliru menganggap posisi ini dengan retensi testis. Tipe ini dibagi menjadi :
 The Slidding Testicle ( Uper retractile type)
Testis dapat teraba dengan baikdari midskrotum ke atas sampai di depan aponeurosis
muskulus obliquus abdominis eksternus di atas anulus inguinalis eksternus.
 The Pendulant testicle (Lower Retractile Type)
Testis bergerak bolak-balik antar bagian terbawah skrotum dan anulus inguinalis
eksternus.

F. DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Diagnosis UDT dapat dibuat oleh orangtua anak atau dokter pemeriksa pertama. Umumnya
diawali orangtua membawa anak ke dokter dengan keluhan skrotum anaknya kecil. Dan
bila disertai dengan hernia inguinalis akan dijumpai pembengkakan atau nyeri berulang
pada skrotum.  Anamnesis ditanyakan:
 Pernahkah testis diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum.
 Ada tidaknya kelainan kongenital yang lain, seperti hipospadia, interseks,  prunne belly
syndroma, dan kelainan endokrin lain
 Ada tidaknya riwayat UDT dalam keluarga

Tanda kardinal UDT ialah tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat
mengeluh nyeri testis karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis pubis. Pada
dewasa keluhan UDT sering dihubungkan dengan infertilitas.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Penentuan lokasi testis
Beberapa posisi anak saat diperiksa : supine, squatting, sitting. Pemeriksaan testis
harus dilakukan dengan tangan hangat. Pada posisi duduk dengan tungkai dilipat atau
keadaan relaks pada posisi tidur. Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah skrotum
dengan cara milking. Bisa juga dengan satu tangan di skrotum sedangkan tangan yang
lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior superior  menyusuri inguinal
sampai kantong skrotum. Hal ini mencegah testis retraksi karena pada anak refleks
muskulus kremaster cukup aktif yang menyebabkan testis bergerak ke atas / retraktil
sehingga menyulitkan penilaian.

b. Penentuan apakah testis palpabel


Bila testis palpable beberapa kemungkinan antara lain : (1) testis retraktil  (2) UDT  (3)
Testis ektopik  (4). Ascending Testis Syndroma .   Ascending Testis Syndroma ialah
testis dalam skrotum /retraktil, tetapi menjadi lebih tinggi karena pendeknya funikulus
spermatikus. Biasanya baru diketahui pada usia 8 -10 tahun. Bila testis teraba maka
tentukan posisi, ukuran, dan konsistensi. Bandingkan dengan testis kontralateralnya.
Bila impalpable testis, Kemungkinannya ialah : (1) intrakanalikuler, (2)
intraabdominal,  (3) Atrofi testis , (4) Agenesis. Kadang di dalam skrotum terasa massa
seperti testis atrofi. Jaringan ini biasanya gubernakulum atau epididimis dan vas
deferens yang bisa bersamaan dengan testis intraabdominal.  Impalpable testis
biasanya disertai hernia inguinal. Pada bilateral impalpable testis sering berkaitan
dengan anomali lain seperti interseksual, prone belly syndrome.

3. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan bila testis impalpable atau meragukan beberapa modalitas penunjang
diperlukan.
 Ultrasonografi (USG)
Merupakan modalitas pertama dalam menegakkan kriptorkismus.
Pada USG testis prepubertas mempunyai gambaran ekhogenitas derajat ringan sampai
sedang, dan testis dewasa ekhogenitas derajat sedang.
USG hanya efektif untuk mendeteksi testis di kanalis inguinalis ke superfisial, dan tidak
dapat mendeteksi testis di intraabdominal. Di luar negeri keberhasilannya cukup tinggi
(60-65%), sementara FKUI hanya 5,9% 3. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman operator.
 CT Scan
Merupakan modalitas kedua setelah USG. CT Scan dapat mendeteksi testis
intraabdominal. Akurasi CT Scan sama baiknya dengan USG pada testis letak inguinal.
Sedang testis letak intraabdominal CT Scan lebih unggul ( CT Scan 96% vs USG 91%).
False positif / negatif biasanya akibat pembesaran limfonodi. Dapat dibedakan dengan
testis karena adanya lemak di sekeliling limfonodi.
 MRI
Dapat mendeteksi degenerasi maligna pada kriptorkismus. Kelemahannya loop usus
dan limfonodi dapat menyerupai kriptorkismus.
 Angiografi
Akurat tetapi invasif sehingga tidak disukai. Venografi Gadolium dengan MRI lebih
akurat dibanding MRI tunggal.

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan dari penanganan UDT adalah:


 Meningkatkan vertilitas
 Mencegah torsio testis
 Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik
 Mengkoreksi kelainan lain yang menyertai, seperti hernia
 Mencegah / deteksi awal dari keganasan testis
 Membentuk body image

1. Terapi  non Bedah


Berupa terapi hormonal. Terapi ini dipilih untuk UDT bilateral palpabel inguinal. Tidak
diberikan pada UDT unilateral letak tinggi atau intraabdomen. Efek terapi berupa
peningkatan rugositas skrotum, ukuran testis, vas deferens, memperbaiki suplay darah,
dan diduga meningkatkan ukuran dan panjang vasa funikulus spermatikus, serta
menimbulkan efek kontraksi otot polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis.
Dianjurkan sebelum anak usia 2 tahun , sebaiknya bulan 10 – 24. Di FKUI terapi setelah usia
9 bulan karena hampir tidak dapat lagi terjadi penurunan spontan.
Hormon yang diberikan:

a. HCG
Hormon ini akan merangsang sel Leydig menproduksi testosteron. Dosis: Menurut
Mosier (1984): 1000 – 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri (1982):
500 -1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari. Ahli lain memberikan 3300 IU, 3 kali
selang sehari untuk UDT unilateral dan 500 IU  20 kali dengan  3 kali seminggu. Injeksi
HCH tidak boleh diberikan tiap hari untuk mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap
HCG yang akan menyebabkan steroidogenic refractoriness.
Hindari dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap HCG, udem
interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar testosteron diperiksa
pre dan post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang 6 bulan berikutnya.
Kontraindikasi HCG ialah  UDT dengan hernia, pasca operasi hernia, orchydopexy, dan
testis ektopik.  Miller (16) memberikan HCG pada pasien sekaligus untuk membedakan
antara UDT dan testis retraktil. Hasilnya 20% UDT dapat diturunkan sampai posisi
normal, dan 58% retraktil testis dapat normal.

b. LHRH
Dosis 3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis secara komplet
sebesar 30 – 64 %.

c. HCG kombinasi LHRH


Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal, 4 minggu . Dilanjutkan HCG intramuskuler 5 kali
pemberian selang sehari. Usia kurang 2 tahun : 5 x 250 ug,  3 -5 tahun : 5 x 500 ug, di
atas 5 tahun : 5 x 1000 ug.

Respon terapi : penurunan testis 86,4%, dengan follow up 2 tahun kemudian


keberhasilannya bertahan 70,6%.
Evaluasi terapi
Berdasar waktu : akhir injeksi, 1 bulan, 3 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Berdasar posisi : respon komplet bila testis berada di skrotum, sedang respon inkomplet
bila testis posisi inguinal rendah  Efek samping bersifat reversibel. Ujud kelainan berupa
bertambah ukuran testis, pembesaran penis, ereksi, meningkatnya rugositas skrotum,
tumbuhnya rambut pubis hiperpigmentasi dan gangguan emosi.

2. Terapi Bedah
Tujuan pembedahan adalah memobilisasi testis, adequatnya suplay vasa spermatika, fiksasi
testis yang adequat ke skrotum, dan operasi kelainan  yang menyertainya seperti hernia.
Indikasi pembedahan  :
 Terapi hormonal gagal
 Terjadi hernia yang potensial menimbulkan komplikasi
 Dicurigai torsio testis
 Lokasi intraabdominal atau di atas kanalis inguinalis
 Testis ektopik

Tahapan: satu tahap atau 2 tahap tergantung vasa spermatika apakah panjang atau
pendek.

Teknik operasi pada UDT  :


I. Orchydopexy Standar
Prinsip dari orchidopexy meliputi 3 tahap
a. Funikulolisis
Adalah pelepasan funikulus spermatikus dari musculus kremester dan
memungkinkan dapat memperpanjang ukurannya. Vasa testicularis di bebaskan
sejauh mungkin ke retroperitoneal dan dimobilisasi lebih ke medial yang akan
meluruskan dan memperpanjang vasa.
b. Pemindahan testis ke dalam skrotum (transposisi)
Bagian skrotum yang akan ditempati testis telah kosong dan menjadi lebih kecil
dibanding ukuran normal. Regangkan dinding skrotum dengan diseksi jari-jari
sehingga menciptakan suatu ruangan. Traksi ditempatkan pada gubernakulum
Testis yang telah bebas dan funikulus spermatikusnya cukup panjang, ditempatkan
pada skrotum, bukan ditarik ke skrotum.
c. Fiksasi testis dalam skrotum
Adalah hal prinsip bahwa testis berada di skrotum bukan karena tarikan dan testis
tetap berada di habitat barunya, sehingga menjadi kurang tepat bila keberadaan
testis di skrotum itu karena tarikan dan fiksasi testis.

II. Stephen Flower Orchidopexy


Merupakan modifikasi orchidopexy standar. Ketika arteri testikulariss tak cukup panjang
mencapai skrotum, arteri testikularis diligasi. Jadi testis hanya mengandalkan arteri vas
deferens.

III. Orchydopexy bertahap


Bedah : Testis dibungkus dengan lembaran silastic dan difiksasi ke pubis pada tahap I. 
Setelah 6-8 bulan dilakukan tahap II berupa eksplorasi dan memasukkan testis ke
skrotum.
Laparoskopi : Menjepit arteri testikularis  dengan laparoskopi dikerjakan  pada tahap I
intuk UDT tipe abdomen. Setelah 6-8 bulan dikerjakan Stephen Flower Orchydopexy.
H. KOMPLIKASI
Praoperasi
 Hernia Inguinalis
Sekitar 90% penderita UDT mengalami hernia inguinalis lateralis ipsilateral yang
disebabkan oleh kegagalan penutupnan processus vaginalis. . Hernia repair dikerjakan saat
orchydopexy . Hernia inguinal  yang menyertai UDT segera dioperasi untuk mencegah
komplikasi.
 Torsio Testis
Kejadian torsio meningkat pada UDT, diduga dipengaruhi oleh dimensi testis yang
bertambah sesuai volume testis. Juga dipengaruhi abnormalitas jaringan penyangga testis
sehingga testis lebih mobil.
 Trauma testis
Testis yang terletak di superfisial tuberkulum pubik sering terkena trauma.
 Keganasan
Insiden tumor testis pada populasi normal 1 : 100.000, dan pada UDT 1 : 2550. Testis yang
mengalami UDT pada dekade 3-4 menpunyai kemungkinan keganasan 35-48 kali lebih
besar . UDT intraabdominal 6 kali lebih besar terjadi keganasan dibanding letak
intrakanalikuler. Jenis neoplasma pada umumnya ialah seminoma. Jenis ini jarang muncul
sebelum usia 10 tahun. Karena alasan ini maka ada pendapat yang mengatakan UDT usia
diatas 10 tahun lebih baik dilakukan orchydectomy dibandingkan orchydopexy(4). Menurut
Gilbert & Hamilton sekitar 0,2 – 0,4 % testis ektopik menjadi ganas. Sedang testis dystopik
angka keganasannya 8-15%. Campbell menyebut 0,23% untuk ektopik testis dan 11% untuk
dystopik testis. Sementara UDT intrabdominal keganasan 5% dan inguinal 1,2%.
 Infertilitas
Penyebabnya ialah gangguan antara germ cell . Infertilitas UDT bilateral 90%, sedang UDT
unilateral 50% (2). Lipschultz, 1976 menunjukkan adanya spermatogenesis yang abnormal
post orchydopexy pada laki-laki umur 21-35 tahun UDT unilateral. Dan menduga bahwa
ada abnormalitas bilateral testis pada  UDT unilateral
 Psikologis
Timbul perasaan rendah diri fisik atau seksual akibat body image yang muncul. Biasanya
terjadi saat menginjak usia remaja (adoloscence) orang tua biasanya mencemaskan akan
fertilitas anaknya.

Pasca Operasi
 Infeksi
Sangat jarang bila tindakan a/antiseptik baik, diseksi yang smooth dan gentle akan 
meminimalkan terjadinya hematom.
 Atropi Testis
Karena funikulolisis tak adequat, traksi testis berlebihan, atau torsio funikulus spermatikus
saat tranposisi testis ke skrotum.

I. PROGNOSIS
Menurut Docimo, kesuksesan operasi UDT letak distal anulus inguinalis internus sebesar 92%,
letak inguinal (89%), orchidopexy teknik mikrovaskuler (84%), orchidopexy abdominal standar
(81%) staged Fowler-Stephens orchidopexy (77%), Fowler-Stephens orchidopexy   standar
(67%).
UDT biasanya turun spontan tanpa intervensi pada tahun pertama kehidupan. Resiko terjadinya
keganasan lebih tinggi di banding testis normal. Fertilitas pada UDT bilateral: 50% punya anak,
sedang UDT unilateral 80%.
Sumber:
Sadler TW.Langman Embriologi Kedokteran: EGC;2002. Hlm 276-279.
Elert A, Jahn K, Heidenreich A, et al. [The familial undescended testis]. Klin
Padiatri. Jan 2003;215(1):40-5. 
Hutson JM, Watts LM. Both gonadotropin and testosterone fail to reverse estrogen-induced
cryptorchidism in fetal mice: Further evidence for nonandrogenic control of testicular descent in the
fetus. Pediatr Surg Int. 1990;5:13-18.
Heyns CF, Hutson JM. Historical review of theories on testicular descent. J Urol. Mar 1995;153(3 Pt
1):754-67. 

TORSIO TESTIS
A. DEFINISI
Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan
aliran darah pada testis. Keadaan ini diderita oleh I diantara 4000 pria yang berumur kurang dari
25 tahun, paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Disamping  itu,
tak jarang  janin yang masih berada dalam uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis
yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral maupun
bilateral.
Torsio testis atau terpeluntirnya funikulus spermatikus yang dapat menyebabkan terjadinya
strangulasi dari pembuluh darah, terjadi pada pria yang jaringan di sekitar testisnya tidak
melekat dengan baik ke scrotum. Testis dapat infark dan mengalami atrophy jika tidak
mendapatkan aliran darah lebih dari enam jam.

B. ETIOPATOGENESIS

Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas. Pergerakan yang bebas
tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
 Mesorchium yang panjang
 Kecenderungan testis untuk berada pada posisi horizontal.
 Epididimis yang terletak pada salah satu kutub testis.

Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis juga dapat menyebabkan
terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan pergerakan berlebihan itu
antara lain ; perubahan suhu yang mendadak (seperti saat berenang), ketakutan, latihan yang
berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai scrotum.

Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus dartos masih belum
banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis dan tunika vaginalis mudah sekali
bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir pada sumbu funikulus spermatikus.
Terpeluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan sistem penyangga
testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan
anterior dan lateral testis, pada keadaan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis
sehingga mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan
epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada
funikulus spermatikus. Keadaan ini dikenal sebagai anomali bell clapper. Keadaan ini
menyebabkan testis mudah mengalami torsio intravaginal.

C. GAMBARAN KLINIS
Pasien-pasien dengan torsio testis dapat mengalami gejala sebagai berikut:
 Nyeri hebat yang mendadak pada salah satu testis, dengan atau tanpa faktor predisposisi
 Scrotum yang membengkak pada salah satu sisi
 Mual atau muntah
 Sakit kepala ringan
Pada awal proses, belum ditemukan pembengkakan pada scrotum. Testis yang infark dapat
menyebabkan perubahan pada scrotum. Scrotum akan sangat nyeri kemerahan dan bengkak.
Pasien sering mengalami kesulitan untuk menemukan posisi yang nyaman.
Selain  nyeri pada sisi testis yang mengalami torsio, dapat juga ditemukan nyeri alih di daerah
inguinal atau abdominal. Jika testis yang mengalami torsio merupakan undesendensus testis,
maka gejala yang yang timbul menyerupai hernia strangulata.

D. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah pertanyaan-pertanyaan seputar keluhan yang
dapat dialami oleh pasien torsio testis.

2. Pemeriksaan Fisik
Dalam physical examination, Testis yang mengalami torsio letaknya lebih tinggi dan lebih
horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-kadang pada torsio testis yang baru
terjadi, dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini
biasanya tidak disertai dengan demam.
Testis kanan dan testis kiri seharusnya sama besar. Pembesaran asimetris, terutama jika
terjadi secara akut, menandakan kemungkinan adanya keadaan patologis di satu testis.
Perubahan warna kulit scrotum, juga dapat menandakan adanya suatu masalah.  Hal
terakhir yang perlu diwaspadai yaitu adanya nyeri atau perasaan tidak nyaman pada testis.
Reflex cremaster secara umum hilang pada torsio testis. Tidak adanya reflex kremaster,
100% sensitif dan 66% spesifik pada torsio testis. Pada beberapa anak laki-laki, reflex
kremaster dapat menurun atau tidak ada sejak awal, dan reflex kremaster masih dapat
ditemukan pada kasus-kasus torsio testis, oleh karena itu, ada atau tidak adanya reflex
kremaster tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya acuan mendiagnosis atau
menyingkirkan diagnosis torsio testis.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan
akut scrotum yang lain adalah dengan menggunakan stetoskop Doppler, ultrasonografi
Doppler, dan sintigrafi testis, yang kesemuanya bertujuan untuk menilai aliran darah ke
testis. Sayangnya, stetoskop Doppler dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu
bermanfaat dalam menilai aliran darah ke testis. Penilaian aliran darah testis secara nuklir
dapat membantu, tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus bisa terlambat
ditangani.  Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan pemeriksaan noninvasif yang
keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.
Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran darah, dan dapat membedakan
aliran darah intratestikular dan aliran darah dinding scrotum. Alat ini juga dapat digunakan
untuk memeriksa kondisi patologis lain pada scrotum.

Diagnosis torsio testis dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Secara umum, digambarkan  pada bagan Alogaritma dan Clinical Pathway Torsio
Testis / Testicular Torsion:
Prot
ocol for the diagnosis and treatment of the acute scrotum.

Diagnosis Banding
1. Epididimitis akut
Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri scrotum akut biasanya
disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah dari uretra, adanya riwayat coitus
suspectus (dugaan melakukan senggama dengan selain isterinya), atau pernah menjalani
kateterisasi uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio testis, dapat
dibedakan dengan Prehn’s sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan, pada epididmis
akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign positif), sedangkan pada torsio testis
nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih
dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan
bakteriuria.
2. Hernia scrotalis incarserata
Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang dapat keluar masuk ke dalam scrotum.
3. Hidrokel
4. Tumor testis
Benjolan dirasakan tidak nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam testis
5. Edema scrotum
Hal ini dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya sumbatan saluran limfe
inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya
(idiopatik).

E. PENATALAKSANAAN

1. Non operatif
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus dapat
mengembalikan aliran darah.
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan
memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke
medial, maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu, kemudian
jika tidak ada perubahan, dicoba detorsi ke arah medial.
Metode tersebut dikenal dengan metode “open book” (untuk testis kanan), Karena
gerakannya seperti membuka buku. Bila berhasil, nyeri yang dirasakan dapat menghilang
pada kebanyakan pasien. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang
waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur
pembedahan.
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit gawat darurat,
pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini sulit dilakukan tanpa
anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali
menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke
arah mana testis mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan
tindakan detorsi manual akan memperburuk derajat torsio.

2. Operatif
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk
mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya
iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk
pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang
mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan. Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu :
 Untuk memastikan diagnosis torsio testis
 Melakukan detorsi testis yang torsio
 Memeriksa apakah testis masih viable
 Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis masih viable
 Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan oleh kecilnya
kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung lama (>24-48 jam).
Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi
dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis,
untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi
pada testis kontralateral.
Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal ini
dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain waktu.
Jika testis masih viable, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan
menggunakan benang yang tidak diserap pada tiga tempat untuk mencegah agar testis
tidak terpuntir kembali. Sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis,
dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi
kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap berada di scrotum dapat
merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan
fertilitas di kemudian hari.

F. KOMPLIKASI
 Atropi testis
 Torsio rekuren
 Wound infection

Sumber
Blandy, John. Lecture Notes on Urology. Third edition. Oxford : Blackwell Scietific Publication. 1982.
277.
Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2003. 8,145-148.
Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated. London and New York : Churchill Livingstone. 1975.
324-325.
Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
– EGC. 2004. 799.

Anda mungkin juga menyukai