Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

PNEUMOTHORAX

DOSEN PENGAMPU:
Ns. M. Zul ‘Irfan, M.Kep

Oleh:
A. Kholik (19301001)
Anisa Safitri Azra ( 19301004)
Ayu Murnila Sari (19301005)
Dian Rahmadhani (19301008)
Lely Nurafriani (19301017)
Sindi Anggraini (19301036)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala rahmat-Nya yang senantiasa
tercurah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Pneumothorak” ini. Makalah
ini dibuat sebagai tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah. Harapan penulis, makalah ini
dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari tentang penyakit infeksi. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, makalah ini masih banyak kekurangan
dalam pembuatan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Bengkalis, 4 Oktober 2020

penulis
DAFTTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Defenisi..........................................................................................................
B. Etiologi .......................................................................................................
C. Klasifikasi .................................................................................................
D. Manifestasi klinik.......................................................................................
E. Patofisiologi dan WOC ..............................................................................
F. Klasifikasi..................................................................................................
G. Penatalaksanaan medis dan keperawatan....................................................
H. Pemeriksaan penunjang..............................................................................
I. Asuhan leperawantan...................................................................................

BAB III Anilisis Kasus.............................................................................................

A. Ringkasan kasus.............................................................................................
B. MCP kasus dan Rencana Intervensi kasus.....................................................

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi, jika tidak di
tangani dengan benar akan menyebabakan kematian, kejadian trauma dada terjadi sekitar
seperempat dari jumlah kematian akibat trauma yang terjadi, serta sepertiga dari kematian
yang terjadi antara lain, tension penumothorax, pneumothorax terbuka, flail chest,
hemathoorax, temponadde jantung. Kecelakaan kendaraan bermotor paling sering
menyebabakan terjadinya trauma pad thorax. Tingkat morbiditas mortalitas akan
meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua didunia pada tahun 2020 menurut
(World Health Organization) (Punarwba dan Suarjaya, 2013)
Sebuah penelitian mengatakan 5,4% dari seluruh pasien menderita trauma,
merupakan pasien yang mengalami pneumothorax. Kurangnya pengetahuan untuk
mengetahui tada dan gejala dari penumothorax terdesak menyebabakn banyak penderita
meninggal setelah atau dalam perjalanan menuju ke rumah sakit (Punarwaba dan
Suarjaya, 2013).
Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dla rongga pleura. Pada
keadaan normal rongga pleura tidak beri udara, supaya paru-paru leluasa mengembang
terhadap ronngga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan dan traumatik (Jansen
JP, 2013).
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara pleura
parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavm pleura normal berisi sedikit cairan
sercous jaringan. Tekanan intrapleural selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif
intrapleural membantu dalam proses respirasi (Henry M dan Arnold T, dkk., 2013).
Insiden pneumothorax sulit dikethui karena episode nya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1. Pnemuothorax spontan
primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit sebelumnya.
Pneumothorax primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4.
Salahh satu penelitian menyebutkan sekitar 811% kasus pneumothorax spontan primer
berusia kurang dari 45 tahun (Hisyam daan Budiono, 2009).
1.3 Tujuan
Berdasarkan Latar belakang di atas, tujuan masalah menjelaskan
A. Defenisib Pneumothorak
B. Etiologi Pneumothorak
C. Klasifikasi Pneumothorak
D. Manifestasi klinik Pneumothorak
E. Patofisiologi dan WOC Pneumothorak
F. klasifikasi Pneumothorak
G. Penatalaksanaan medis dan keperawatan Pneumothorak
H. Pemeriksaan penunjang Pneumothorak
I. Asuhan leperawantan Pneumothorak
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumothorax adalah adanya udara di dalam rongga pleura, sebuah ruangan antara
dinding dada dan paru (Afif dan Muhammad, dkk, 2018:216). Pneumothorax adalah suuatu
keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru (Anita,
2012). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penumothorax adalah keadaan
adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura.

2.2 Etiologi

Etiologi pneumothorax bervariasi. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan maupun


trauma. Pneumothorax spontan primer terjadi pada pasien tanpa riwayat penyakit paru.
Penyebabnya diduga pecahnya bleb/bulla. Sedangkan pneumothorax spontan sekunder
disebabkan oleh penyakit paru yang mendasari.

a. Pneumothorax Spontan Primer


Etiologi pneumothorax spontan primer adalah bleb dan bulla pleura.Bleb (kantongudara)
atau bulla merupakan kantong kecil berisi udara yang terbentuk antara jaringan paru dan pleura.
Pembentukan bleb diawali oleh pembesaran alveoli (diameter 1-2 cm).

Regio apeks paru sering kali terdapat bleb. Hal ini diduga akibat gradien tekanan.
Tekanan pleura pada apek lebih negatif dibanding bagian basal. Akibatnya tekanan alveolar pun
meningkat.

b. Pneumothorax SpontanSekunder
Etiologi pneumothorax spontansekunderdapatdisebabkanolehberbagaipenyakitparu,
misalnyapenyakitparuobstruktifkronik (PPOK), tuberkulosisparu, cystic fibrosis, pneumosistis
pneumonia, fibrosis pulmoneridiopatik, dan emboli paru (Rivass de Andres et al.,2008)
c. Pneumothorax Traumatik
Etiologi pneumothorax traumatic dapat disebbabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam yang
menembus dinding dada, esofagus, trakea dan bronkus, barotrauma (pemakaian ventilator
terutamadengan positive end-expiratory pressure tinggi) dan Frakturiga.

d. Pneumothorax Iatrogenik
Pneumothorax iatrogenik merupakan salah satu penyebab pneumothorax traumatik, dapat
terjadi pada prosedur diatrogenik maupun terapi seperti pemasangan CVC (Central Venous
Cattether), Torakoositesis, Ventilasi Mekanik tekanan positif, atau Biopsi transtorakal (Jackson
dan Louie, 2012; Slobodan et al.,2015).

Penyebab pneumothorax Iatrogenik antar lalin:

 Biopsiaspirasijarumtransthorakalnodulpulmoner
 Biopsi pleura atautransbronkial
 Thorakosentesis
 Pemasangan vena katetersentralpada vena subklaviaatau jugular interna
 Blok sarafinterkostal
e. FaktorRisiko
 Faktor risiko yang berhubungan dengan pneumothorax adalah sebagaiberikut:

 Merokok: merokok berhubungan dengan pneumothorax. Diduga dinding bleb dapat


menjadi tipis akibat paparan asap rokok

 Postur tubuh tinggi dan kurus: tekanan pleura pada lobus pulmoneratas individu yang
tinggi diduga semakin negative dan tekanan alveolar juga meningkat. Akibatnya risiko
pembentukan bulla dan pneumothorax pun meningkat

 Laki-laki

2.3Klasifikasi Pneumothorax
Pneumothorax dikelompokkan berdasarkan penyebabnya menjadi tiga, yaitu
pneumothorax artifisial, pneumothorax spontan, dan pneumothorax traumatik. Pneumothorax
artifisial adalah pneumothoraxx yang disengaja sebagai bagian dari terapi, misalnya terapi kolaps
untuk menghentikan perdarahan ata melindungi paru dari radioterapi. Pneumothorax artifisial
dapat juga sebagai tindakan diagnostik untuk menentukan lokasi tumor plleura (Alsagaff dan
Pradjoko, 2010).
Pneumothorax spontan dibagi menjadi pneumothorax spontan primer (PSP) dan
pneumothorax spontan sekunder (PSS) (Alsagaff dan Pradjoko, 2010; Slobodan et al.,2015).
Pneumothraks spontan primer apabila tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan pneumothorax
spontan sekunder apabila diketahui penyebab dasar yang menyebabkan terjadinya
pneumothorax. Pneumothorax katamenial terjadi saat menstruasi (Jackson dan Louie, 2012).
Pneumothorax traumatik disebabkan oleh jejas dinding dada baik tumpul maupun tajam.
Pneumathorax iatrogenik adalah pneumothoraks sebagai aibat dari prosedur medis (Jackson dan
Louie, 2012).
Berdasarkan lokasi pneumothoraks di bagi menjadi pneumothorax parietalis, medialis,
dan basilalis. Berdasarkan derajat kolaps dibagi menjadi totalis dan parsialis. Berdasarkan jenis
fistel, pneumothorax dibagi menjadi terbuka, tertutup, dan ventil. Pneumothorax terbuka bila
terdapat hubungan rongga pleura dan udara luar sehingga tekanannya sama. Pneumothorax
tertutup bila uara masuk dalam rongga pleura dan terjebak karena tidak ada hubungan dengan
udara luar (Alsagaff dan Pradjoko, 2010). Pneumothorax tension atau ventil terjadi apabila
tekanan intrapleura lebih besar dibandingkan tekanan atsmosfer sat ekspirasi dan inspirasi.
Tekanan dalam rongga pleura makin lama makin positif dan terus bertambah karena adanya
fistel yang bersifat ventil. Pneumothorax inilah yang mengancam nyawa seseorang (Jain et
al.,2008; Rodrigo et al.,2015).

2.4 Manifestasi Klinik


Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
a) Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
b) Nyeri dada, yang didapatkan pada 70-90% pasien
c) Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada
d) Batuk-batuk, yang di dapatkan pada 23-35% pasien
e) Tidak menenjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% dan biasanya pada
pneumothoraks sekunder spontan
Gejala-gejala tersebut dapat bediri sendiri maupun kombinasi dan menurt
Mills dan Luce derajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan
gangguan ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009).
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumothorax tersebut;
a. Pneumothorax tertutup atau terbuka, sering tidak berat.
b. Pneumothorax ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat.
c. Berat ringannya pneumthorax tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta
ada tidaknya jalan napas.
d. Nadi cepat dan pengsian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang

2.5 Patofisiologi dan WOC


a. Patofisiologi Narasi
Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui
mekanisme peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal.
Komunikasi abnormal ini dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara
ruang dan rongga pleura.
1. Kondisi Normal
Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga paru lebih besar dibanding tekanan di
dalam rongga pleura. Tekanan rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan tekanan
atmosfer selama seluruh siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan
alveolar dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami elastic recoil.

2. Peningkatan Tekanan Pleura


Komunikasi abnormal dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara
udara ruang dan rongga pleura. Saat terjadinya komunikasi abnormal, misalnya akibat
trauma, akan terjadi perpindahan udara dari rongga alveolus ke rongga pleura. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga pleura yang menyebabkan gangguan
recoil paru dan gangguan ekspansi lobus paru.
3. Efek Pneumothorax
Peningkatan tekanan pleura akan terus terjadi secara perlahan hingga tekanan
pleura menjadi nol atau komunikasi abnormal terputus. Hal ini akan menyebabkan efek-
efek sebagai berikut:

4. Penurunan Kapasitas Vital dan PaO2

Pneumothorax mengakibatkan penurunan kapasitas vital dan penurunan PaO2.


Penurunan kapasitas vital mengakibatkan insufisiensi respirasi dengan hipoventilasi
alveolar dan asidosis respiratorik. PaO2 berkurang akibat terjadi penurunan ventilasi
tetapi perfusi O2 terus berlanjut.

5. Gangguan Hemodinamik

Terkait sistem kardiovaskular, studi menunjukkan tension pneumothorax dapat


mengganggu hemodinamik yakni menurunkan curah jantung serta tekanan rerata arterial.
Peningkatan tekanan pleura dapat menggeser mediastinum, paru kontralateral tertekan
serta penurunan aliran balik vena sehingga curah jantung pun berkurang.
b. Patofisiologi Skema
2.6 Komplikasi
1. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai ke apeks.
2. Emfisema subkutan, biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum.
Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah di tembus udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan
sampai ke daerah dada dan belakang..
3. Piopneumothorax : berarti terdapatnya pneumothorax disertai dengan emfisema
secara bersamaan pada sisi paru.
4. Pneumohtorax kronik : menetap selama kurang lebih dari 3 bulan. Terjadi bila
fistula bronkopleura tetap membuka.
5. Hidro-pneumothorax : ditemukan adanya cairan dalam pleuranya. Cairan ini
biasanya bersifat serosa, serosageunea atau kemerahan (berdarah).

2.7 Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan


Tujuan utama penatalaksanaan pneumothorax adalah unntuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecendrungan untuh kambuh lagi.
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung beratnya, jika pasien dengan
pneumotoraks ukurannya kecil dan stabil, biasanya hanya diobservasi dalam beberapa hari
(minggu) dengan foto dada serial tanpa harus dirawat inap di RS, prinsipnya diupayakan
dengan pemasangan WSD.
Pasien pneumotoraks dengan klinis tidak sesak dan luas pneumotoraks <15% cukup
dilakukan observasi, bila didapatkan penyebab paru perlu dipasang WSD. Apabila ada batuk
dan nyeri dada, diobati secra simtomatis, evaluasi foto dada setiap 12-24 jam selama 2 hari.
Pneumotoraks ukuran kecil umumnya, secara spontan akan diresorbsi meskipun
kemungkinan terjadinya progresifitas pneumotoraknya tetap diperhatikan. Pasien dengan mas
pneumotoraks kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan jalan dalam 2-3 hari
pasien harus control lagi.
Pasien dengan tanda-tanda pneumotoraks berat yang nyata atau pneumotoraks ukuran
besar, pemasangan pipa dada harus dkerjakan dan dilakukan pula penyedotan hingga paru-
paru berkembang. Alat-alat infuse dan pipa emergensi pneumutoraks juga harus tersedia
untuk menghindari kegagalan.
Luas pneumotoraks >20% biasanya dibutuhkan waktu >10 hari untuk berkembangnya
paru kembali. Pasien dengan tanda-tanda pneumotoraks berat yang nyata atau pneumotoraks
ukuran besar, pemasangan pipa dada (tube tracheostomy) harus dikerjakan dan dilakukan
pula penyedotan higga paru-paru berkembang pasien dengan pneumotoraks spontan primer
sekitar 50% akan mengalami kekambuhan hampir 100%. Pada hampir semua pasien PSS
akhirnya diterapi dengan torakostomi disertai pemberian obat sklerosing.
2.8 Pemeriksaan Penunjang Atau Diagnostik
a. Laboratorium: Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Hasil analisis gas darah sering di dapati hipoksemia (PO2 turun) dan kadang di
sertai dengan hipokorbia (PCO2 turun) karena terjadinya hiperventilasi (frekuensi
nafas meningkat). Pada pasien PSP, hipoksemia biasanya ringan bila luas
pneumothorax tidak lebih dari 25%. Namun bila luas pneumothorax pada PSP lebih
dari 25% maka terjadi shuntparu yang menyebabkan hipoksemia lebih berat. Pada
kasus PSS telah terdapat penyakit paru yang mendasari menyebabkan hipoksemia
lebih berat dan mengancam nyawa karena cadangan oksigen paru telah berkurang
sebelum terjadi pneumothorax. Pasien dengan emfisema dapat terjadi PSS dengan
hasil analisis gas darah hipoksemia dan hiperkarbia (Rodrigo et al., 2015).
b. EKG (Electrocardiography)
Pasien dengan pneumothorax kiri dapat merubah pola EKG menyerupai infark
miokard anterolateral. Perubahan aksis QRS frontal dan rotasi searah jarum jam
menyebabkan penurunan voltase gelombang R-prekordial, penurunan amplitudo
QRS, dan inversi gelombang T-prokardial (Rodrigo et al., 2015).
c. Radiologi
1. Foto polos dada
Diagnosis pneumothorax secara klasik ditegakkan dari ftoto polos dada.
Gambaran yang terlihatadalah terpisahnya pleura viseralis (paru) dari peura paritelaris
( dinding dada) dan di isi oleh rongga kosong (lucent) tanpa adanya pembuluh darah
paru. Garis kolaps merupakan tanda terdapatnya pneumothorax, namun sering sulit
terlihat pada pneumothorax yang kecil (Rodrigo et al., 2015). Foto polos dada posisi
berdiri dengan inspirasi maksimal merupakan posisi ideal untuk mendiagnosis
pneumothorax menggunnakan foto polos dada (MacDuff et al.,2010). Tampilan
pneumothorax tergantung gravitasi, foto posisi supinasi (AP-Anterior Posterior) atau
pasen berbaring, maka pneumothorax hanya akan terlihat bila ukurannya luas (Kline
et al., 2013).

Gambar 1.1 Pneumothorax tension kanan, tampak pendorongan diafragma kanan, mediastinum
ke sisi kiri serta emfisema subcutis dada kanan (Rodrigo et al., 2015).

(a) (b)
Gambar 1.2Foto polos dada kasus pneumothorax (a) parsial, (b) total. Tampak panah putih
adalah garis kolaps paru (Rivas de Andres et al., 2008)

Penegakkan diagnosis pneumothorax ventil seriing sulit ditegakkan berdasarkan foto


polos dada karena sering kondisinya gawat dan mengancam nyawa. Kondisi klinis dan
pemeriksaan fisik cukup menjadi dasar penegakan diagnoosis pneumothorax ventil (Roberts et
al., 2014).
Luas permukaan dapat di ukur dari foto polos dada. Terdapat beberapa teknik untuk
mengukur luas permukaan pneumothorax. Pengukuran pneumothorax metode Light (1990)
dengan cara mengukur rata-rata diameter paru yang kolaps serta panjang rongga dada. Hasil
pengukuran terebut dimasukkan dalam rumus berikut (Rodrigo et al,2015).

2. CT scan
CT scan thorax merupakan gold standard penegakan diagnosis pneumothorax.
Namun hal itu sering sulit dilakukan karena beberapa alasan di antaranya :
transportasi pasien ke ruang CT scan, tingkat radiasi yang lebih tinggi, serta
harus di inteprestasi oleh dokter yang ahli (Kline et al., 2013). HRCT (High
Resolution Computed Tomography) lebih sensitive dibandingkan foto polos
dada dalam mendiagnosis lesi emfisema di puncak paru (De Menezes Lyra et
al., 2016). Meskipun CT scan lebih sensitif, namun tidak semua kasus
pneumothora spontan primer perllu pemeriksaan CT scan thorax. Pada pasien
pria muda sehat dan atletis yang terjadi PSP,CT chestjarang diindikasikan.
Namun, CT scan perlu dilakukan pada pasien perokok berat berusia lebih dari
50 tahun yang belum pernah dinyatakan sebagai pasienn PPOK. Selain itu ,
CT scan dapat membantu ahli bedah dalam menentukan jenis tindakan
terutama jika pneumothorax terlokalisir, bullae, kanker tersembunyi, atau
patologi paru lainnya (Jackson dan Louie, 2012).

Gambar 1.3 Cara mengukur luas pneumothorax metode light (Rodrigo et al., 2015)

3. USG Thirax
Ultrasonografi menjadi salah satu alternatif alat diagnosis pneumothorax.
Beberapa review literatur menyebutkan bahwa USG thorax lebih sensitif
dibandingkan foto polos dada posisi supinasi pada kasus pneumothorax
traumatik. Selain itu, USG thorax dapat digunakan juga untuk menilai luas
pneumothorax (Kline et al., 2013)
Gambar 1.4 USG thorax (a) normal tampak gambaran seashore sign, terlihat seperti pasir, (b)
pneumothorax tampak gambaran barcode sign, tidak terlihat adanya gambaran seperti pasir tapi
seperti barcode (Kline et al., 2013).

2.9 Asuhan Keperawatan

Pengkajian

1. Anamnesa
a. Identitas klien
b. Keluhan utama
Sesak napas, nyeri di sisi dada yang sakit.
c. RPS
Keluhan sesak napas seringkali dating mendadak dan semakin lama semakin
berat.nyeri di rasakan pada sisi yang sakit, ras berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerakan pernapasan.
Perlu dikaji apakah ada riwayat trauma tajam/tumpul yang mengenai rongga dada.
d. RPD
Apakah klien pernah menderita tb paru dimana sering terjadi pada pneumothoraks
spontan.
e. RPK
Apakah ada nggota keluiarga yang menderita penderita penyakit yang mungkin
menyebabkan penumothoraks seperti kanker paru, asma,TB paru, dll.
f. Psikososial
Meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku klien pada tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2. Pemeriksaan fisik
a. B1 (breathing)
 Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapaan serta penggunaan otot bantu
pernapasan gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan
dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (lebih
cembung di sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum
yang purulent. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
 Palpasi
Taktil fremitus menurun di sisi yang sakit. Disamping itu, pada palpasi juga di
temukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Pada
sisi yang sakit, ruang antar iga bisa saja normal atau melebar.
 Perkusi
Suara batuk pada sisi yang sakit hipersonor sampai timpani. Batas jantung
terdorong ke thoraks yang sehat apabila tekanan intrapleura tinggi.
 Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit
b. B2 (blood)
Perawat perlu memonitor dampak penumothoraks pada status kordiovaskuler yang
meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian kapiler
atau CRT.
c. B3 (brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Selain itu diperlukan juga pemeriksaan
GCS apakah composmentis, samnolen atau koma.
d. B4 (bladder)
Pengukuran vulome output urine berhubugan dengan intake cairan. Perawat perlu
memonitor adanya oliguria yang merupakan tanda awal dari syok.
e. B5 (bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mula dan muntah, penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan.
f. B6 (bone)
Pada terauma rusuk dada, sering didapatkan adanya kerusakan otot dan jaringan lunak
dada sehingga meningkatkan resiko infeksi. Klien sering di jumpai mengalami
gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari di sebabkan adanya sesak napas.
Kelemahan dan keletihan fisik secara umum.

Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif b.d Ketidakadekuatan ekspansi paru.


2. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan pemasukan O2.
3. Nyeri b.d trauma jaringan( luka tusuk/kecelakaan)

Intervensi Keperawatan

Dx 1: pola napas tidak efektif b.d ketidakadekutan ekspanasi paru

Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 jam maka, pola npas akan membaik dengan kriteria
hasil:

 Tekanan ekspirasi meningkat


 Penggunaan otot bantu napas menurun
 Frekuensi napas membaik

Intervensi:

Observasi

 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


 Monitor pola napas
 Palpasi kesimentrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen

Teraupetik

 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi ps.


 Dokumentasikan hasil pemantuan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.

Dx 2: gangguan pertukaran gas b.d penurunan pemasasukan o2

Setelah dilakukan intervensi selama 2x 24 jam, maka gangguan pertukaran gas akan meningkat
dengan kreteria hasil.

 Bunyi napas tambahan menurun


 Takikardia membaik
 Pola napas membaik

Intervensi:

Observasi

 Monitor kecepatan aliran oksigen


 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor terapi efektifitas oksigen
 Monitor tanda-tanda hi[poventilasi

Teraupetik

 Pertahankan kepatenan jalan napas


 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
Edukasi

 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah.

Dx 3: nyeri b.d trauma jaringan (luka tusuk/kecelakaan)

Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, maka nyeri akan menurun dengan kreteria hasil:

 Keluhan nyeri menurun


 Meringis menurun
 Sikap protektif menurun
 Gelisah menurun
 Frekuensi nadi membaik
 Tekanan darah membaik

Intervensi:

Observasi

 Identifikasi skala nyeri


 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

Teraupetik

 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode, dan pemucu nyeri


 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secra mandiri
BAB III

ANALISA KASUS
A. Ringksan Kasus

Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 6 hari yang
lalu yang dirasakan semakin memburuk. Pasien juga mengalami mual, muntah dan batuk.
Pasien mengatakab perokok aktif sejak SMA. Pada riwayat kesehatan dahulu ditemukan
riwayat batuk > 2 minggu, sesak napas, penurunan berat badan, dan keringat malam. Hasil
pemeriksaan fisik TD 110/70mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit dan teratur, frekuensi napas
44 kali/menit, suhu 36,50C, pergerakan dinding dan bentuk dada tidak simetris kanan dan kiri,
dada kanan terlihat lebih cembung, taktil fremitus dada kanan tertinggal dan fremitus vocal
getaran dada kiri lebih dominan, perkusi dada kanan hipersonor, dan terdengar ronkhi pada
kedua area paru. Hasil rontgen menunjukkan adanya bayangan lusen tanpa corakan paru lateral
tengah dan bawah pada hemithorak kanan dan dikelilingi bayangan opak berawan. Pemeriksaan
laboratorium MCV 76,8 fl, MCH 28,7 pg, MCHC 37,4 g/dl, eosinophil 0,5%, basophil 1,0%,
neutrophil 75,7%, limfosit 17%, monosit 4,1%, GDS 109 mg/dl.
b. Analisa data
Data subjektif Data objektif
Ps mengatakan hal-hal berikut Ttv:
 Sesak semakin memburuk  TD: 110/70 mmHg
 Mual  Pols: 120x/i
 Muntah  RR: 44x/i
 Batuk  Temp: 36.5oC
 Perokok aktif sejak SMA

Diagnosa Keperawatan

1. pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspanasi parusekunder terhadap peningkatan
tekanan di dalam rongga pleura.
2. gangguan pertularan gas b.d kolaps paru d.d. takikardia.
Intervensi Keperawatan

Dx 1: pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspanasi parusekunder terhadap peningkatan
tekanan di dalam rongga pleura.

Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 jam maka, pola npas akan membaik dengan
kriteria hasil:

 Tekanan ekspirasi meningkat


 Penggunaan otot bantu napas menurun
 Frekuensi napas membaik

Intervensi:

Observasi

 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


 Monitor pola napas
 Palpasi kesimentrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen

Teraupetik

 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi ps.


 Dokumentasikan hasil pemantuan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.

Dx 2: gangguan pertularan gas b.d kolaps paru d.d. takikardia

Setelah dilakukan intervensi selama 2x 24 jam, maka gangguan pertukaran gas akan
meningkat dengan kreteria hasil.

 Bunyi napas tambahan menurun


 Takikardia membaik
 Pola napas membaik

Intervensi:

Observasi

 Monitor kecepatan aliran oksigen


 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor terapi efektifitas oksigen
 Monitor tanda-tanda hi[poventilasi

Teraupetik

 Pertahankan kepatenan jalan napas


 Berikan oksigen tambahan, jika perlu

Edukasi

 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah.


MCP PNEUMOTHORAKS

DX: pola napas tidak efektif DX: Pneumoniathoraks DX: gangguan pertularan
b.d penurunan ekspanasi gas b.d kolaps paru d.d.
KA:
parusekunder terhadap takikardia.
peningkatan tekanan di  sesak napas
Data pendukung:
dalam rongga pleura.  batuk
 pergerakan dinding dada tidak Data sebjektif:
Data pendukung:
simentris kanan dan kiri
 Pasien mengeluh sesak
Data subjektif:  dada terlihat lebih cembung
 taktil fremitus dada kanan Data objektif:
 pasien mengatakan hal-
hal ia merasa sesak tertinggal dan taktil fremitus  Pols:120x/i
yang semakin getaran dada kanan lebih
 RR: 44x/i
memburuk dominan
 Adanya bunyi napas
 dada kanan hipersonor
tambahan.
Data objektif:
 hasil rongent mrnunjukkan
 dada kanan lebih adanya baying lusen tanpa
cembung corakan paru lateral tengah dan

 pernapasan dada kanan bawah pada hemithorak kanan

tertinggal
 pola napas cepat
 TTV:
Pols:120x/i
RR: 44x/i
 Getaran dada kanan
menurun
 Dada kanan hipersonor
 Hasil rongent
menunjukkan adanya
bayangan lusen tanpa
corakan paru lateral
tengah dan bawah pada
hemithoraks kanan.
PENUTUP
1. Kesimpulan

1) Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dla rongga pleura. Pada
keadaan normal rongga pleura tidak beri udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap ronngga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan
dan traumatik (Jansen JP, 2013).
2) Etiologi pneumothorax bervariasi.Pneumothorax dapat terjadi secara spontan
maupun trauma. Faktor resiko Pneumothorak yaitu merokok, jenis kelamin, dan
Postur tubuh tinggi dan kurus.
3) Pneumothorax dikelompokkan berdasarkan penyebabnya menjadi tiga, yaitu
pneumothorax artifisial, pneumothorax spontan, dan pneumothorax traumatik
4) Manifestasi klinik pada Pneumothorak yaitu, sesak nafas, nyeri dada, dan batuk
5) Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui
mekanisme peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal.
Komunikasi abnormal ini dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau
antara udara ruang dan rongga pleura.
6) Kompilkasi berupa Pneumomediastinum, Emfisema subkutan, Piopneumothorax,
Pneumohtorax kronik dan Hidro-pneumothorax.
7) Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung beratnya, jika pasien dengan
pneumotoraks ukurannya kecil dan stabil, biasanya hanya diobservasi dalam
beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tanpa harus dirawat inap di RS,
prinsipnya diupayakan dengan pemasangan WSD.
8) Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan berupa Pemeriksaan Analisis Gas Darah,
EKG, dan Radiologi.

2. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang  membangun  kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan- kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini  berguna bagi
penulis pada khususnya juga para  pembaca yang budiman pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai