Latar Belakang
Status hukum dari rokok elektronik (vapor) ini memang menjadi kontroversi di
berbagai belahan dunia dan khusuhnya di indonesia, hal itu disebabkan teknologinya
yang cenderung baru, sehingga konsumen atau penggunan vapor tersebut mengimpor
barang tersebut dari luar negeri.
Rokok elektronik diciptakan oleh salah satu perusahaan di Cina pada tahun 2003 dan
dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai nama dagang seperti NJOY,
Epuffer, blu cig, green smoke, smoking everywhere, dan lain-lain. Secara umum
sebuah rokok elektronik terdiri dari 3 bagian yaitu : battery (bagian yang berisi
baterai), atomizer (bagian yang memanaskan dan menguapkan larutan nikotin) dan
catridge (berisi larutan nikotin) (Electronic Cigarette Association, 2009). Pada saat ini,
terdapat lebih dari 460 nama dagang produk ENDS dengan lebih dari 7.700 rasa di
internet. Produk yang dapat diisi ulang dan dibuang merupakan generasi pertama
electronic cigarette, sedangkan sistem tangki dan personal vaporizer merupakan
generasi kedua dan ketiga electronic cigarette (Zhu, 2014).
Rokok elektronik juga pernah digunakan sebagai alat bantu program berhenti merokok
dengan cara mengurangi kadar nikotin secara bertahap namun praktek tersebut kini
sudah tidak dianjurkan oleh electronic cigarette association (ECA) dan food and drug
association (FDA) (Cobb dkk., 2010). Meskipun demikian berdasarkan hasil survei di
Amerika, mayoritas (65% responden) memilih 2 alasan menggunakan rokok
elektronik (vapor) sebagai alternatif untuk berhenti merokok (Etter, 2010).
Pada tahun 2010, kesadaran terhadap keberadaan rokok elektronik di Indonesia
mencapai 10,9% dengan laki-laki lebih banyak mendengar tentang rokok elektronik
yaitu 16,8% dibandingkan dengan perempuan yaitu 5,1%, sedangkan berdasarkan usia
kesadaran tentang keberadaan rokok elektronik pada usia 15–24 tahun lebih besar
yaitu 14,4% dibandingkan dengan pada usia 25–44 tahun yaitu 12,4%. Kesadaran
tentang keberadaan rokok elektronik pada masyarakat Indonesia lebih banyak pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu sebesar 29,4%, selain itu
kesadaran tentang keberadaan rokok elektronik pada masyarakat Indonesia lebih
banyak pada masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan yaitu sebesar 15,3%.
Berdasarkan pengguna rokok elektronik di Indonesia yaitu di antara pengguna baru
dan mantan perokok pada tahun 2010– 2011 mencapai 0,5% (Bam dkk, 2014).
Bahwa keberadaan rokok elektronik (vapor) agar dapat dikategorikan sebagai produk
hasil olahan tembakau haruslah merujuk pada definisi produk tembakau pada pasal (1)
angka (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan (yang selajutnya disebut PP No. 109 Tahun 2012 ), yang merumuskan
sebagai berikut :
“Produk tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat
dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara
dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah.”
Berdasarkan ketentuan tersebut jika melihat rokok elektronik (vapor), maka cara kerja
rokok elektronik (vapor) adalah dengan membakar cairan yang terdiri atas campuran
berbagai zat seperti nikotin, propilen glicol, atau vegetable oil menjadi uap dan
mengalirkannya ke paru-paru, sehingga secara sederhana rokok elektronik (vapor)
dapat digolongkan sebagai produk tembakau.
Bahwa untuk urgensi pengaturan rokok elektronik (vapor) dapat dikategorikan
dikenakan cukai atau justru rokok elektronik (vapor) merupakan suatu produk baru
yang tak kena cukai harusalah merujuk pada pasal (2) ayat (1) huruf (d) dan pasal (4)
ayat (1) huruf (c), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai (untuk selanjunya disebut UU
No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai), yang dirumuskan sebagai berikut pada pasal (2)
ayat (1) huruf (d) yang berbunyi:
“Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan” Berdasarkan ketentuan tersebut jika melihat rokok elektronik (vapor),
pada hakikatnya dapat digolongkan sebagai produk tembakau dan untuk mencapai
kedailan dan keseimbangan maka negara wajib dikenakannya (pengenaan) cukai
terhadap rokok elektrnoik (vapor) seperti halnya rokok-rokok biasa yang ada dalam
indonesia. 4 Pada pasal (4) ayat (1) huruf (c) UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai,
yang dirumuskan sebgai berikut :
“Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil
pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak
bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya”
Berdasarkan ketentuan tersebut mengenai hasil pengolahan tembakau, pada
hakikatnya rokok elektronik (vapor) adalah hasil dari olahan tembakau lainnya dilihat
dari cara kerja rokok elektronik (vapor) tersebut, maka secara sederhana rokok
elektronik dapat di kenakan cukai menurut pasal diatas tersebut.
2. Studi pustaka.
Studi ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan data yang tidak langsung yang
ditujukan pada subyek penelitian, dalam hal ini data didapat dari literatur-literatur
yang dianggap membantu permasalahan penelitian.
3. Dokumentasi
Yaitu penulis mengumpulkan data-data yang berkenaan dengan proses penelitian di
lokasi yang mana dapat membantu permasalahan penelitian yang penulis angkat,
seperti halnya foto,setruktur organisasi dll. 5 Nazir.Moh,2005, Metode Penelitian,
cetakan ke enam, Penerbit Ghalia Indonesia, bogor. Hal. 87.
5. Analisi data.
Seluruh data yang terkumpul baik, primer, sekunder, maupun tersier dianalisis
mengunakan analisis Deskriptif Kualitatif kemudian diambil kesimpulan yang relevan
sehingga mendapatkan data yang akurat dengan demikian untuk memberikan suat
gambaran yang jelas tentang pengenan Cukai terhadap Rokok Elektronik (Vapor).
1.7 Sistematika Penelitian.
Untuk membarikan gambaran terhadap isi skripsi yang dibuat oleh penulis, maka
secara garis besar sistematika skipsi terdiri dari berbagi bab yaitu :
BAB I PENDAHULUHAN
Dalam bab ini menyajikan dan menguraikan mengenai garis-garis besar permasalahan
dari skripisi ini, harapanya akan mengetahui tentang permasalahan yang penulis
angakat dalam skripsi ini yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tinjauan
penelitian, manfaat dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian,dan
sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang kajian-kajian teoritis (pustaka) yang berkaitan dengan
permasalahaan yang di angkat, antara lain : tinjaunan umum efektifitas hukum
meliputi faktor hukumnya seniri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas
yang medukung penegakan hukum, faktor masyarakat, faktor kebudayaan,tinjauan
umum tentang cukai, sifat atau karakteristik cukai, objek cukai, tujuan pengenaan
cukai, tarif cukai, tinjauan umum tentang rokok dan rokok elektronik (vapor).
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab III ini akan membahas berdasarkan rumusan masalah penulis angkat, dengan
melakukan interview/wawancara kepada Raden Pandam Prihandarko Hambodo selaku
kepala seksi pelayanan pabeanan dan cukai di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea
dan Cukai Tipe Madya Malang, di JL Surabaya No 2 Malang, Jawa Timur, mengenai
bagaimana pengenaan, kedala, dan penyelesaiannya tentang pengenana cukai tehadap
rokok elektronik (vapor) menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. BAB IV
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisi
kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulis dalam
menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kaji.
Sejak 1930 Dikutip dari Consumer Advocates for Smoke Free Alternative, rokok
elektrik sendiri sudah ada sejak tahun 1930. Bukti adanya rokok elektrik pada tahun
tersebut berdasarkan sebuah dokumen berisi hak paten rokok elektrik yang diberikan
kepada Joseph Robinson. Namun, rokok tersebut tidak pernah dipasarkan dan tak jelas
apakah benda tersebut telah dibuat. Pada 1960-an, Herbert A Gilbert dianggap sebagai
pencipta pertama sebuah perangkat yang mirip dengan rokok elektrik. Gilbert disebut
telah menerima hak paten atas rokok elektrik itu pada 1965. Akan tetapi, rokok
ciptaannya tersebut gagal dikomersialkan. Ia tidak menyebut secara pasti
kegagalannya itu. Akan tetapi, mengaitkanya dengan perusahaan-perusahaan yang
mungkin telah mengomersilkannya. Nama "vape" dipopulerkan Pada 1979-1980-an,
salah satu pelopor komputer, Phil Ray bekerja sama dengan ahli fisika Norman
Jacobson untuk menciptakan variasi komersil pertama pada rokok elektrik. Mereka
melakukan riset formal pertama untuk menciptakan alat penghantar nikotin. Tapi,
adanya kesalahan bawaan membuat alat itu tidak pernah menjadi teknologi yang
menjanjikan. Meski dalam prosesnya menemukan jalan buntu, kedua orang ini
berhasil mempopulerkan kata "vape". Pada tahun 1990-an, baik perusahaan tembakau
maupun individu mulai banyak melirik industri rokok elektronik ini. Baca juga: Masih
Gunakan Vape Setiap Hari? Kenali 4 Bahayanya... Sebuah perusahaan tembakau asal
AS mengeluarkan sebuah produk yang mirip dengan rokok elektronik modern pada
tahun-tahun itu. Mereka kemudian mengurus izin kepada FDA (Food and Drug
Administration) untuk membawa rokok elektrik itu ke pasar pada 1998. Namun, FDA
menolaknya dengan alasan alat tersebut dianggap sebagai perangkat yang belum
disetujui. Pada 2003, seorang farmasi dan perokok bernama Hon Lik berhasil
membuat rokok elektrik dan mengomersilkannya. Hon Lik membuat alat itu karena
ayahnya meninggal dunia akibat kanker paru-paru. Ayahnya merupakan seorang
perokok berat. Perusahaan tempat Lik bekerja, Golden Dragon Holdings,
mengembangkan alat tersebut dan mengganti namanya menjadi "Ruyan" yang
memiliki arti "seperti rokok".
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah Vape di Dunia, dari
1930 hingga Dipasarkan pada
2003", https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/20/112756165/sejarah-vape-
di-dunia-dari-1930-hingga-dipasarkan-pada-2003?page=all.
Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
Pada abad 20 salah satu obat yang paling populer menjadi favorit orang adalah
nikotin, berbagai cara untuk mengkonsumsinya. Mencoba dihisap, disentuh,
dikunyah, atau dioleskan (diadaptasi dari sumber berita www.vebma.com).
Rokok elektrik terpopuler dan menjadi trend saat ini adalah jenis vape, atau bisa
disebut E-ciggarette. Sekitar tahun 2010, rokok jenis vape masuk ke Indonesia dengan
membawa label sebagai rokok alternatif menggantikan rokok konvensional (rokok
sigaret). Promosinya ditonjolkan sebagai rokok yang lebih aman dari pada rokok
konvensional.
Memaknai pilihan diksi lebih aman, kira- kira urutannya begini, awalnya rokok
konvensional aman, kemudian keberadaan rokok elektrik jenis vape lebih aman.
Rokok elektrik adalah inovasi rokok konvensioanal.
Perlu diketahui, sistem pembakaran pada rokok elektrik memakai listrik berupa battre
dengan memakai elemen pemanas atomizer atau cartomizer, bahan utamanya berbasis
proses kimia. Rokok konvensional memakai pembakaran berupa api, bahan utamanya
memakai tumbuhan asli berupa tembakau dan cengkeh. Inilah yang membedakan
keduanya. Saya beri contoh sebagai pembanding, air minum dari hasil proses
memakai alat heater pemanas listrik, dengan air minum dari hasil pemanas
konvensional (pakai api), kira-kira lebih aman, lebih sehat mana? Kira-kira anda pilih
yang elektrik atau konvensiobal, silahkan anda memilih dan menilai sesuai
pengalaman masing-masing.
Kembali kepersoalan promosi rokok vape di Indonesia, saat vape mulai naik daun
banyak lembaga riset melakukan studi kelayakan. Hasilnya pun terjadi perdebatan,
ada lembaga yang dipimpin Profesor David Thickett dari Universitas Birmingham
mengatakan, mengisap rokok elektrik atau yang lebih dikenal dengan
istilah vaping bisa merusak sel-sel sistem kekebalan tubuh dan amat mungkin lebih
berbahaya dari yang semula diperkirakan. Ada pula yang mengatakan merokok vape
menghindarkan dari risiko penyakit jantung dan kanker.
Anehnya, Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, juga ikut
melakukan uji dengan hasilnya bahwa vape dinilai memiliki risiko kesehatan yang
lebih rendah dibandingkan rokok yang dikonsumi dengan dibakar. Disini tidak akan
membahas berlarut larut tentang perbedaan hasil uji rokok vape (elektrik), bahkan
tidak akan membahas pertanyaan ada apa lembaga penguji tersebut. .
Logika sederhana, memakan dan minum dari bahan natural proses konvensional,
dibanding bahan kimia dengan proses pemanas listrik, baik mana? Air proses natural
(air mineral) dengan air kemasan lain beraroma (proses kimia) sehat yang mana?. Dua
pertanyaan ini sebagai pembanding dalam mengambil keputusan dan penilaian antara
rokok elektrik (vape) dengan rokok konvensioanl.
Usaha promosi rokok vape, dengan membangun cerita opini, bahwa penemu rokok
elektrik/vape (e-ciggarette) bernama Hon Lik seorang pecandu rokok konvensional
berat yang menderita penyakit infeksi pernafasan, sering batuk batuk dan bersin
sehingga kesulitan untuk tidur. Kemudian pada tahun 2003 menciptakan rokok
elektrik sebagai pengganti rokok konvensional.
Opini yang dibangun seakan-akan akibat rokok konvensioanl, Hon Lik menderita
penyakit, yang kemudian dengan hasil ciptaannya (rokok elektrik), Hon Lik tidak
sakit lagi. Pertanyaan pertama, jenis rokok konvensional apa yang dikonsumsi Hon
Lik? dugaan terkuat bukan rokok kretek yang saat itu dikonsumsi. Jika rokok kretek
yang dikonsumsi keadaan Hon Lik jadi lain, karena rokok kretek awal mulanya
diciptakan sebagai obat batuk, sesak nafas dan lain-lain. Masih ingat dahulu ada rokok
kretek yang bungkusnya tertulis “dapat meredekan batuk”. Tidak lain adalah rokok
kretek Dji Sam Soe. Tulisan tersebut, masih diyakini banyak orang, saat batuk mereka
akan merokok Dji Sam Soe, saat batuk reda, mereka merokok selera semula.
Pertanyaan kedua, apakah benar hanya gara-gara merokok konvensioanl Hon Lik
menderita sakit? jangan-jangan ada faktor lain menjadi penyebab. Bisa jadi penyakit
turunan/genetik, akibat kerusakan pada gen dalam tubuh. Buktinya diceritakan bahwa
ayah Hon Lik mengidap penyakit kanker paru paru. Dan mungkin bapak dari
bapaknya Hon Lik dan seterusnya, juga demikian mengidap penyakit yang sama.
Fakta sejarah berkata lain, teknik vaping sudah dikenal sejak Mesir kuno, kemudian
tahun 1927 Joseph Robinson menggagas “merokok tanpa rokok”, hingga populer.
Baru pada tahun 2003, Hon Lik membuat perusahan e-cig modern di Tionghoa (Cina).
Jadi Hon Lik bukanlah orang yang pertama atau pencipta teknik vaping untuk rokok,
hanya saja Hon Lik bisa membaca peluang tersebut, apa lagi ia adalah seorang
apoteker. Ia pasti mengetahui mafaat nikotin untuk tubuh manusia, sehingga ia
memproduksi massal rokok bernikotin yang inovatif dengan kombinasi teknik vaping.
Dilansir dari www. Vebma.com, bahwa salah satu obat yang paling populer dan
favorit bagi orang adalah nikotin. Dengan demikian, orang telah mencoba berbagai
cara untuk mengkonsumsinya. Mereka mencoba mengisapnya, menyentuhnya,
mengunyahnya, atau mengoleskannya di kulit mereka. Anda bisa menemukan nikotin
di tembakau. Banyak perangkat telah diciptakan untuk memuaskan obsesi orang
terhadap nikotin. Kita hidup dalam masyarakat teknologi, Itu sebabnya baru-baru ini,
vaporizers menjadi tren keren dengan berbagai selera dan bentuknya.
Penguapan memiliki sejarah panjang. Herodotus menjelaskan, di Mesir (abad ke 5
SM) orang memanaskan ramuan dan minyak pada batu panas untuk vape. Oleh
karena itu, kita harus mempercayai tentang asal mula vaping kuno. Kemudian, lebih
dari 1500 tahun yang lalu, Irfan Shiekh menemukan shisha pertama.
Cerita opini saat ini tentang rokok elektrik (vape) hanya bagian dari promosi semata.
Dengan menjatuhkan rokok konvensional (rokok kretek), berharap penikmat rokok
beralih ke elektrik (vape). Dengan dalil yang diwacanakan, lebih aman
(menyehatkan). Cerita opini yang dibangun menafikan sejarah yang sesungguhnya,
bahwa nikotin adalah salah satu obat, zat nikotin ada di daun tembakau. Hanya pada
rokok konvensional (rokok kretek), bahan baku daun tembakau dan cengkeh dan
proses pembakaran natural, lebih aman dan menyehatkan.
Pengusaha vape wajib tunduk pada aturan tersebut, mengingat bahan bakunya berasal dari
likuid vape yang termasuk salah satu jenis HPTL. Sebelumnya, tarif cukai tidak dikenakan
bagi produk likuid vape.
Bisnis vape di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Prospek bisnis
vape juga semakin menjanjikan seiring dengan meningkatnya pengguna vape. Asosiasi
Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mencatat bahwa jumlah toko vape di dalam negeri
mencapai tidak kurang dari 3.500 toko.
Di Jakarta saja, diperkirakan ada lebih dari 40.000 pengguna vape, dengan tingkat konsumsi
likuid vape sebanyak 40.000 botol per bulan. Bisnis vape juga memiliki dampak positif
terhadap perekonomian, karena membuka lapangan kerja baru bagi lebih dari 10.000 tenaga
kerja.
Di sisi lain, penetapan tarif cukai akan berdampak pada meningkatnya harga jual vape secara
signifikan. Tekanan paling tinggi diprediksi akan dialami oleh pengusaha vape skala kecil,
mengingat adanya keterbatasan modal untuk menjaga kontinuitas produksinya.
Hal ini dikhawatirkan akan membuat bisnis vape menjadi layu sebelum berkembang, dan
berdampak kontradiktif terhadap pengembangan ekonomi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM).
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), berkewajiban untuk
memastikan pengendalian konsumsi barang kena cukai, disamping harus menjaga
iklim ekonomi yang kondusif dan berkeadilan.
Oleh karena itu, timbul satu pertanyaan penting yang perlu segera dijawab. Bagaimana peran
DJBC dalam menyeimbangkan antara kelangsungan industri dan pengendalian konsumsi
vape pasca diberlakukannya penetapan tarif cukai HPTL, guna menjadikan Indonesia
semakin baik?
Secara filosofis, cukai merupakan salah satu instrumen pemerintah dalam rangka membatasi
konsumsi suatu barang tertentu di suatu negara. Sifat dan karakteristik barang kena cukai
biasanya berdampak merugikan bila dikonsumsi oleh masyarakat luas, sehingga
peredarannya perlu dibatasi.
Sebagaimana UU No.15 Tahun 1995 tentang Cukai, ada tiga jenis barang kena cukai yang
diatur oleh pemerintah, yaitu etanol, minuman beralkohol, dan hasil tembakau.
Pembatasan konsumsi vape oleh pemerintah sejatinya memang diperlukan. Sama seperti
produk tembakau lainnya, likuid vape juga memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan.
Hasil penelitian University of North Carolina menunjukkan bahwa kandungan nikotin yang
dimiliki likuid vape akan memberikan dampak buruk bagi paru-paru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2013 telah merilis rekomendasi terkait konsumsi
vape, yang intinya membatasi penggunaan, penjualan, dan promosi vape, serta melarang
penyebutan vape lebih sehat dibandingkan dengan rokok.
Sejalan dengan rekomendasi tersebut, berbagai negara di dunia seperti Rusia, Portugal, Italia,
Latvia, Irlandia Utara, Korea Selatan, Skotlandia, dan Wales mulai menetapkan pajak
terhadap konsumsi vape.
Awas bahaya vape | Sumber gambar : vaping.com (diolah dan disajikan kembali dalam bentuk infografis).
Di lain sisi, pemerintah tidak bisa menafikan kenyataan bahwa bisnis vape memang tengah
berkembang dengan sangat pesat. Research and Market (2017) dalam laporannya
memproyeksikan tingkat pertumbuhan penjualan rata-rata vape per tahun di seluruh dunia
akan berkisar di angka 20,8% per tahun, hingga mencapai 61,4 juta Dolar AS pada tahun
2025.
Tidak terkecuali di Indonesia, geliat bisnis vape juga tumbuh subur, terutama
didorong oleh tingginya minat kaum millennial dalam mengonsumsi vape.
Dengan memperhatikan berbagai fakta tersebut, kebijakan penetapan tarif cukai likuid vape
akhirnya diambil sebagai jalan tengah oleh pemerintah. Ini menegaskan langkah nyata
pemerintah bahwa bisnis vape harus tetap berjalan, namun memerlukan pengaturan yang
lebih ketat agar risiko kesehatan masyarakat dapat diminimalkan.
Peran DJBC selaku otoritas cukai, menjadi sangat penting guna memastikan agar kebijakan
tersebut mampu diimplementasikan sesuai dengan tujuannya.
Menjaga Keseimbangan
Sejumlah langkah lanjutan telah ditempuh DJBC untuk memastikan kebijakan penetapan tarif
cukai vape, mampu memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh pihak. Tidak hanya bagi
pelaku bisnis vape, namun juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Pertama, DJBC telah memberikan pemahaman kepada pelaku bisnis vape, bahwa penetapan
tarif cukai sebesar 57%, dilakukan berdasarkan empat parameter, yaitu aspek kesehatan,
industri, daya beli masyarakat, serta potensi menjadi barang ilegal. Artinya, penentuan tarif
telah dilakukan dengan pertimbangan yang lengkap dan komprehensif.
Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif cukai likuid vape di Indonesia relatif lebih
rendah. Misalnya Rusia dengan tarif sebesar 81,17% atau Portugal dengan tarif sebesar
62,92%. Selain itu, tarif cukai vape telah mempertimbangkan tarif cukai produk tembakau
lainnya seperti sigaret mesin yang dipatok sebesar 54%-56%.
Besaran tarif cukai vape yang sedikit lebih tinggi dibanding sigaret mesin, ditetapkan dengan
pertimbangan bahwa sebagian besar konsumen vape merupakan kelas menengah. Dengan
demikian, besaran tarif cukai vape diharapkan mampu menjadi titik keseimbangan yang adil
antara kelangsungan industri vape dengan kesehatan masyarakat.
Tarif pajak/cukai vape di berbagai negara | Sumber informasi : CNBC Indonesia, sumber gambar : iconarchive.com (diolah
dan disajikan kembali dalam bentuk infografis).
Kedua, DJBC memberikan relaksasi bagi pabrikan likuid vape berupa perpanjangan waktu
pengenaan tarif cukai likuid vape hingga 1 Oktober 2018 mendatang. Langkah ini ditempuh
agar tidak terjadi market shock.
Serta memberikan waktu bagi pabrikan vape untuk melakukan penyesuaian guna mematuhi
aturan tarif cukai baru. Setelah masa relaksasi berakhir, maka seluruh likuid vape yang
mengandung tembakau sudah dijual dengan kemasan yang berpita cukai.
Ketiga, DJBC melakukan langkah 'jemput bola' dengan memberikan izin perdana berupa
Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) kepada sejumlah pengusaha pabrik
likuid vape pada 18 Juli 2018. Ini merupakan sinyal yang jelas bagi pelaku usaha likuid vape,
bahwa peredaran vape kini telah diatur oleh pemerintah berdasarkan ketentuan hukum.
Langkah ini diapresiasi oleh industri vape. Dalam keterangan pers yang dikutip dari laman
resmi DJBC, asosiasi vape seperti Asosiasi Pengusaha e-Liquid Mikro (APeM) dan APVI
menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi kepada DJBC.
Dengan adanya izin NPPBKC, keberadaan industri vape kini telah diakui. Mereka
memandang optimis prospek bisnis vape di Indonesia, serta siap menyukseskan
program pemerintah.
Pemberian izin perdana bagi pemilik pabrik likuid vape merupakan puncak dari sebuah
gunung es. Sebelumnya, DJBC telah melakukan upaya sosialisasi ketentuan penetapan tarif
cukai likuid vape secara intensif. DJBC juga membimbing pelaku usaha agar mengetahui dan
mematuhi setiap persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan NPPBKC. Inisiatif DJBC
tersebut akhirnya berbuah manis.
Keempat, penetapan tarif cukai likuid vape yang dilakukan DJBC memberikan jaminan
perlindungan bagi masyarakat dari konsumsi barang yang berdampak buruk bagi kesehatan.
Langkah penetapan tarif cukai likuid vape menegaskan bahwa DJBC akan selalu ada untuk
melindungi masyarakat dari bahaya likuid vape.
Terutama bagi kaum millennial yang berperan sebagai generasi penerus bangsa. Masa depan
bangsa Indonesia berada di pundak mereka, sehingga perlu terus dijaga demi masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Terakhir, penetapan cukai likuid vape yang dilakukan DJBC merupakan sumber penerimaan
negara baru. Dalam keterangannya kepada media, DJBC menjelaskan bahwa potensi
penerimaan cukai likuid vape cukup besar, yaitu mencapai Rp2 triliun per tahun.
Penerimaan negara ini dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. Seperti pembangunan infrastruktur yang kini sedang menjadi prioritas utama. Sebagai
contoh, anggaran sebesar Rp2 triliun mampu digunakan untuk membangun Bandar Udara
Internasional Jawa Barat di Kertajati yang baru diresmikan bulan Juni 2018 lalu.
Artinya, dengan tambahan sumber penerimaan negara yang berasal dari cukai likuid
vape, pemerintah memiliki ruang gerak yang lebih longgar untuk memastikan
berjalannya pembangunan ekonomi demi kemajuan rakyat Indonesia.
Peran Dirjen Bea dan Cukai pasca diterbitkannya regulasi cukai likuid vape | Sumber gambar : beacukai.go.id (diolah dan
disajikan kembali dalam bentuk infografis).
Kebijakan penetapan tarif cukai likuid vape merupakan wujud nyata DJBC untuk menjadikan
Indonesia lebih baik. Melalui berbagai langkah lanjutan yang telah ditempuh, DJBC
memberikan keyakinan bahwa penetapan cukai likuid vape, mampu menjadi titik tengah yang
seimbang antara kontinuitas bisnis likuid vape, kesehatan masyarakat, sumber penerimaan
negara baru, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Akhir kata, sudah sepantasnya kita patut mengapresiasi dan mendukung upaya DJBC untuk
mewujudkan Indonesia makin baik.
Analisis
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, FDA pada Mei 2009 lalu melakukan
analisis terhadap rokok tersebut dan menguji kandungan e-cigarette dari dua perusahaan.
Hasilnya adalah ditemukan adanya kandungan dietilen glikol dan nitrosamin yang spesifik dalam
tembakau.[15]
Studi FDA juga menunjukkan ketidakkonsistenan kadar nikotin dalam wadah dengan label yang
sama. Bahkan, dalam wadah ENDS berlabel tidak mengandung nikotin masih ditemukan nikotin.
[15]
"The World Health Organization" (WHO) pada September 2008 telah menyatakan bahwa
mereka tidak menyetujui dan tidak mendukung rokok elektronik dikonsumsi sebagai alat untuk
berhenti merokok.[15]
Pada 6-7 Mei 2010 lalu, WHO kembali mengadakan pertemuan membahas mengenai peraturan
terkait keselamatan ENDS dan menyatakan bahwa produk tersebut belum melalui pengujian
yang cukup untuk menentukan apakah aman dikonsumsi. Atas pertimbangan itu, maka Badan
POM menyarankan agar produk tersebut dilarang beredar, dan kepada masyarakat agar tidak
mengonsumsi produk alternatif rokok tersebut.[15]
Pada tahun 2012, sebuah penelitian diadakan untuk melihat efek merokok dengan rokok elektrik
terhadap fungsi jantung. Para peneliti ini telah menemukan bahwa rokok elektrik tidak terbukti
memiliki efek samping akut terhadap kesehatan jantung.[18]
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memberlakukan cukai
sebesar 57 persen bagi likuid vape atau rokok elektrik. Menteri
Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan aturan yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tersebut telah
ditandatanganinya.
Pria yang akrab disapa Enggar itu hanya mengatakan diawasi adalah
rekomendasi impor dari cairan atau liquid rokok elektrik. Untuk bisa
mendapatkan izin impor, perlu ada rekomendasi dari Kementerian
Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kita mau membuat anak muda, anak-anak kita sekarang lebih sehat.
Dia boleh saja, cuma minta izin dari Menkes, minta ke BPOM bahwa
itu tidak beracun, itu sehat, kemudian SNI. Itu lihat anak SD, sudah
diviralkan, bagaimana itu anak SD dengan vapenya, dan kita tidak
tahu isi cairan itu apa," tuturnya, dikutip dari detikFinance.
Di sisi lain, produk tembakau dan rokok dikenakan pajak yang cukup
besar. Sehingga harga vape lebih murah sekitar 15 sampai 20 persen
daripada harga rokok di Eropa.
Menghisap rokok elektrik memang menjadi tren baru-baru ini. Pasalnya, rokok elektrik
dipercayai sebagai subtitusi rokok tembakau yang lebih aman. Nyatanya keamanan dan
tingkat keberbahayaan rokok elektrik dibanding rokok tembakau masih diperdebatkan hingga
saat ini.
Namun hal tersebut tidak mengurangi minat para vaper (sebutan bagi orang yang merokok
elektrik) untuk tetap ngebul. Ini terbukti dari alat isap beserta liquid rokok elektrik atau juga
biasa disebut vape; yang harganya cukup mahal, tetapi mampu mereka beli.
Sayangnya, harga mahal yang dibayar oleh para pecinta vape kini kisaran harganya akan
bertambah. Ini karena pemerintah berencana mengenakan cukai rokok elektrik pada Juli 2018
mendatang sebesar 57%. Kebayang dong betapa makin mahanya biaya yang dikeluarkan
nantinya untuk menghisap rokok elektrik.
Cukai sebenarnya bukan hal yang dikenakan pada rokok saja. Ini mengacu pada penjelasan
Bea Cukai dalam lama resminya beacukai.go.id, bahwa “cukai adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang
ditetapkan dalam Undang-undang Cukai”
Barang-barang Kena Cukai
Merujuk penjelasan di atas, barang kena cukai itu tentunya punya karakteristik sendiri
sehingga dikenakan pungutan agar penggunaannya terkendali. Selain itu, barang kena cukai
juga diawasi penggunaannya karena dianggap berbahaya jika beredar bebas di masyarakat.
Barang-barang kena cukai antara lain; minuman yang mengandung etil alkohol dan metanol
(sering dijumpai pada minum-minuman keras) dan hasil tembakau. Yang terakhir tentu saja
merujuk pada rokok tembakau, rokok daun, tembakau iris, cerutu, serta sigaret.
Lalu mengapa rokok elektrik kena cukai? Ini karena rokok elektrik juga dianggap berbahaya
jika beredar di masyarakat. Misalnya, ada anak di bawah umur ikutan menghisap rokok
elektrik. Tentu saja ini membahayakan kesehatan.
Cukai pada Rokok Elektrik
liquid vape dikenakan cukai
Sebagai barang yang tergolong barang kena cukai, rokok elektrik tentu saja dibatasi
penggunaannya. Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa yang kena cukai adalah liquid
atau cairan pada rokok elektrik, bukan alat penghisapnya atau biasa disebut mod.
Hal ini dilakukan karena cairan inilah yang dianggap berbahaya dan harus diawasi
penggunaannya. Cukai yang dikenakan pada rokok elektrik adalah 57%. Jumlah ini
mengimbangi cukai yang dikenakan pada tembakau (rokok) yang juga dikenakan dengan
jumlah sama.
Harga Liquid Rokok Elektrik
Harga yang dikenakan untuk sebotol kecil liquid (33-60ml) bervariatif bergantung rasa,
merek, dan produsen liquid. Secara keseluruhan harga liquid vape berkisar Rp40.000-
300.000. Untuk liquid impor biasanya dihargai di atas Rp100.000. Sedangkan
untuk liquid local dapat dijangkau dengan harga Rp40.000-80.000.
Cukai pada Rokok Tembakau Mengalami
Kenaikan
Pada tahun 2018 mendatang, pemerintah menetapkan cukai rokok tembakau naik 10.08%. hal
ini tentunya bukan tanpa sebab. Dilansir dari kompas.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani
menegaskan bahwa ada 4 aspek mengapa cukai rokok biasa naik, antara lain.
1. Aspek kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan
2. Mencegah beredarnya rokok ilegal
3. Aspek lapangan kerja petani tembakau
4. Untuk meningkatkan pendapatan negara
Dalam aturan yang mulai berlaku pada 1 Juli 2018, liquid vape merupakan hasil pengolahan
tembakau lainnya (HPTL). Pengenaan tarif tersebut merupakan upaya intensifikasi cukai
hasil tembakau dan merupakan instrumen pemerintah untuk mengendalikan konsumsi serta
melakukan pengawasan terhadap peredaran vape. Meski begitu, Ariyo menilai vape
merupakan alat alternatif bagi perokok lantaran lebih aman bagi kesehatan. Produk alternatif
semestinya dibebankan cukai lebih rendah agar dapat disukai oleh konsumen.“Jadi orang
mau beralih ke vape,” ujarnya.) Ia pun mengatakan, tarif cukai vape di Indonesia paling
tinggi di antara negara Asean lainnya. Sebagai contoh, Filipina mengenakan cukai vape
sebesar 30%. Sementara Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo
Andriyanto meminta vape tidak dikenakan cukai berdasarkan persentasenya. “Misalnya
nominal berapa ribu untuk setiap satu mililiter likuidnya,” ujar Aryo. Sebelumnya, Direktur
Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi sempat mengatakan beberapa negara menarik pajak
dari setiap penjualan vape, seperti Inggris Raya dan Wales dikenakan 20%. Negara lainnya,
Italia mengenakan pajak likuid sebesar 0,393 Poundsterling per mililiter atau setara Rp
377.280 per 60 mililiter; Latvia 0,01 Poundsterling per mililiter atau 0,005 Poundsterling per
kilogram nikotin dan PPN 21%. Sedangkan Irlandia menerapkan aturan yang serupa dengan
Inggris. Kemudian di Korsel tarif sebesar 1,799 Won Korea per mililiter cairan nikotin, 24
Won per 20 catridge, dan PPN 10%, serta Togo dan Wales mengenakan tarif maksimum
45%.
Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Cukai Vape Diharapkan Hanya 20%,
Lebih Rendah dari Rokok Kretek" , https://katadata.co.id/berita/2019/09/08/cukai-vape-
diharapkan-hanya-20-lebih-rendah-dari-rokok-kretek
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ratna Iskana https://katadata.co.id/berita/2019/09/08/cukai-vape-diharapkan-hanya-
20-lebih-rendah-dari-rokok-kretek