Achmadnur40@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia dilalui cincin api yang menjadikan sebagian wilayahnya rentan akan potensi bencana
gunung api. Pada sisi yang lain, kearifan local yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan rentan dapat
dijadikan modal dalam mitigasi bencana yang berkembang dewasa ini. Sehingga, penelitian ini
menjadi penting untuk dilakukan dengan menggunakan konsep pengembangan kapasitas oleh Merilee
S. Grindle. Penelitian ini mendeskripsikan kearifan lokal masyarakat lereng selatan Gunung Merapi
serta kapasitas mitigasi bencana masyarakat di Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Metode
yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dari Juli hingga
Agustus 2019 dengan pengambilan data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Umbulharjo
merespon interaksi kearifan lokal yang sesuai dengan kebutuhan tindakan mitigasi diintegrasikan
dalam kerja-kerja mitigasi bencana bersama dengan masyarakat. Namun demikian, masih terdapat
masyarakat yang meyakini keyakinan mitos yang berkembang sedari dulu. Hal tersebut merupakan
tantangan disamping terdapat dukungan berupa kontribusi aktif pemuda desa.
ABSTRACT
Indonesia is traversed by a ring of fire which makes parts of its territory vulnerable to potential
volcanic disasters. On the other hand, the local wisdom of the people around vulnerable areas can
actually be used as capital for the current disaster mitigation efforts. So, this research is important to
do. In this research, it describes the local wisdom of the Merapi slope community and the disaster
mitigation capacity of the Merapi slope community precisely in Desa Ambharharjo, Cangkringan,
Sleman, DIY.
The method used is descriptive-qualitative. The study was conducted for 2 months from July to
August 2019 with primary data collection from informants and secondary data from the literature
collected by interview, observation and documentation.
Local wisdom and disaster management organizations from the government carry out synergy and
more important that the interaction of local wisdom on disaster mitigation efforts is inseparable from
the role of the Umbulharjo Regional Government and the elements in society. In addition, the use of
local wisdom is also carried out in accordance with the willingness that not all local wisdom can be
used as a sign that an eruption will occur or provide benefits in mitigation.
Keywords: volcanic disaster mitigation, local wisdom, volcanic disaster mitigation, capacity
development.
PENDAHULUAN
Secara geografis, Indonesia berada pada kawasan rawan bencana. Keberadaan
gunungapi sebagai konsekuensi ring of fire cukup menggambarkan bahwa potensi bencana
dapat terjadi kapan saja. Bencana tersebut dapat berupa gempa bumi maupun letusan gunung
api. Namun demikian, belum tentu, setiap masyarakat rawan bencana sadar dan memiliki
kapasitas untuk menyelamatkan diri ketika dalam situasi gaduh akibat bencana alam. Pada sisi
lain, penanggulangan bencana memerlukan kemapanan konsep dan keberterimaan secara
umum oleh masyarakat rawan bencana. Bencana datang tiba-tiba, sehingga Bogard (1988:
164) menyatakan bahwa ketidakpastian akan senantiasa ada pada proses mitigasi.
Masyarakat lereng selatan Gunung Merapi memiliki kearifan lokal berkenaan dengan
mitigasi bencana letusan gunungapi. Pasca erupsi tahun 2010, Purnomo dan Hariyono (2014:
20), menyatakan setidaknya dapat dibedakan menjadi dua pemaknaan mitigasi kultural dan
struktural. Secara kultural, titen, misalnya, berdasarkan pengalaman hidup menjadi kelemahan
pada proses mitigasi karena eksistensinya dibatasi waktu. Sedangkan, secara struktural, pada
masa lampau lebih bersifat top down yang seakan-akan mengesampingkan pemahaman
masyarakat, yang justru akan memperbesar potensi jatuhnya korban jiwa. Hal ini selaras
dengan pendapat Bogards (dalam Kusumawardhani, et. al., 2012: 222), bahwa tinggi
rendahnya ancaman bahaya dari bencana alam dan kerentanan di satu pihak dan kapasitas di
pihak lain, akan menentukan besar kecilnya risiko yang akan terjadi.
Kearifan lokal yang sudah turun-temurun terjadi secara alamiah. Kearifan lokal sebagai
sebuah kecerdasan tradisional menjadi modal yang berharga pada upaya pengembangan
pengelolaan kebencanaan yang efektif (Setyawati, et., al., 2015: 108). Disisi yang lain,
kecerdasan tradisional dapat menjadi kekayaan yang keberadaannya perlu dipertahankan.
Kecerdasan tradisional masyarakat lereng selatan gunung merapi yang cukup familiar dewasa
ini berupa semiotika faunal dan semiotika fisikal. Hal ini direpresentasikan oleh perilaku
hewan yang melakukan migrasi ke daerah yang lebih jauh dari puncak gunung. Sedangkan,
semiotika fisikal yang ditandai dengan peningkatan suhu udara pada saat akan terjadi bencana
erupsi. Namun demikian, generasi muda kurang memahami kecerdasan tradisional, tetapi
tetap antusias dalam penanggulangan bencana (Kusumawardhani, et. al., 2012: 234). Dengan
melihat fenomena sosial tersebut, maka aspek pengembangan kapasitas dalam mitigasi
bencana akan menjadi bahasan penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat sekitar dalam mitigasi bencana?
2. Bagaimana pembangunan kapasitas mitigasi bencana masyarakat berdasa pada kearifan
lokal yang dimiliki?
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif digunakan
untuk menjelaskan gejala-gejala yang dijumpai secara terperinci. Metode deskriptif
dikombinasikan dengan metode deskriptif, yang berusaha mengungkap sebab akibat yang
timbul secara empirik di lapangan (Sunarto, 2011: 7-8). Data didapatkan melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi. Subjek penelitian terdiri dari BPBD Kabupaten Sleman, Kaur
Pemerintahan Pemerintah Desa Umbulharjo dan Tokoh Masyarakat. Obyek penelitian ini
adalah kearifan lokal dalam bentuk mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat lereng Gunung
Merapi tepatnya di wilayah Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY.
Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi bencana dimaknai sebagai nilai-nilai
yang ada di lingkungan sosial masyarakat namun kini tidak lagi berwujud utuh tapi
masyarakat meyakini infomasi bencana dari apa yang dilihat. Ini merupakan hasil positif dari
intervensi ilmu pengetahuan modern dan teknologi jika kaitannya dengan upaya pengurangan
korban jiwa jika terjadi erupsi. Namun, jika pewarisan budaya tidak lagi dilakukan, generasi
masa depan tidak akan mengetahui nilai-nilai lama yang pernah berlaku di desa. Hal ini
dikatakan Pak Asih sebagai berikut.
“masyarakat kalau yang seperti itu tidak ada. Kalau secara langsung atau secara alami,
itu masyarakat kalau ada suara gemuruh atai dengar suara koyo batu ngglinding. Tapi
ndak kelihatanwong itu kabut. Itu ada sok gludak-gludak. Itu yang dipercaya
masyarakat tapi semisal pring gesekan, suoro jangkrik, sekarang sudah tidak dipercaya
lagi” (Wawancara pada 17 November 2019)
Pada dasarnya, menurut pendapat Pak Asih, nilai-nilai lokal sebagai konsensus akan
terjadi erupsi merapi sudah ada sejak dulu. Hanya saja masyarakat kini lebih realistis
memandang fenomena alam. Masyarakat tidak lagi mengambil tindakan hanya berdasar
intuisi melainkan mulai mencari bukti dari kabar berita yang diberikan lembaga publik. Akan
tetapi, bukan berarti tidak ada lagi kearifan lokal yang masih eksis di tengah-tengah
masyarakat Desa Umbulharjo.
Sumber pendapatan asli Desa Umbulharjo, seperti dikutip dari Pasal 3 Peraturan Daerah
Kabupaten Sleman Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Sumber Pendapatan Desa,
diperoleh dari:
1) Hasil usaha
2) Hasil aset desa
3) Swadaya dan partisipasi
4) Gotong royong
5) Lain-lain pendapatan asli desa
Alokasi penggunaan dana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, untuk pelaksanaan program
diarahkan, merujuk pada Pasal 9 ayat (3), sebagai berikut.
1) Pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur atau prasarana dan sarana
fisik untuk penghidupan termasuk ketahanan pangan dan permukiman.
2) Pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kesehatan.
3) Pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan prasarana dan sarana pendidikan, sosial
dan budaya.
4) Pemgembangan usaha ekonomi masyarakat, meliputi pembangunan dan pemeliharaan
prasarana dan sarana produksi dan distribusi.
5) Pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana energi terbarukan serta kegiatan
pelestarian lingkungan hidup.
Alokasi dana tersebut memiliki tujuan pemanfaatan yang sama, yaitu untuk mitigasi
bencana. Dana Desa akan lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan dana yang
diperoleh dari akumulasi swasaya masyarakat. Namun demikian, nominal yang
dipermasalahkan melainkan dengan adanya mekanisme patungan dari masyarakat nantinya
akan memberi rasa memiliki dari apa yang dihasilkan atas dana tersebut.
1. Pembahasan
a. Eksistensi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat lereng selatan Gunung Merapi
dalam mitigasi bencana
Masyarakat Desa Umbulharjo memiliki kearifan lokal yang bersandingan dengan
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Kearifan lokal tersebut menjadi pembeda
masyarakat Desa Umbulharjo dengan komunitas masyarakat lainnya. Pengaplikasian kearifan
lokal tersebut dilakukan mengelola komunikasi dengan stakeholder yang ada. Komunikasi
dilakukan dengan beberapa cara. Dalam lingkup pemerintahan, secara formal diakukan
dengan forum koordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Pemerintah Desa (Pemdes)
Umbulharjo mengikuti forum dengan sesama desa di Kecamatan Cangkringan. Tempat
tinggal tersebut, masyarakat meningkatkan kewaspadaan dengan lebih mempersiapkan diri
ketika kondisi darurat.
Pasalnya masyarakat merasa trauma dengan erupsi gunung merapi pada tahun 2010
silam. Berkaca dari kondisi tersebut kini masyarakPemdes Umbulharjo menggunakan dua
mekanisme dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Cara pertama dilakukan dengan
menggunakan mekanisme formal, yaitu dengan mengedepankan sarana dan prasarana publik
yang memungkinkan. Sebagai contoh, sisi jalan sebagai ruang publik digunakan untuk
meletakkan materi pendidikan mitigasi bencana. Penggunaan pendekatan ini dinilai cukup
efektif karena masyarakat akan dengan mudah mengetahui informasi berkenaan dengan
mitigasi bencana langsung dari otoritas yang dibenarkan oleh negara.
Kedua, yaitu menggunakan cara-cara nonformal. Cara ini mengedepankan kedekapan
hubungan dengan masyarakat. Masyarakat didekati dengan menjaga dan mewarat eksistensi
kebudayaan. Misalnya, penggunaan penanggalan jawa dalam sosialisasi .kebencanaan adalah
bentuk konkrit langkah menjalin kedekatan tersebut. Pasalnya masyarakat merasa lebih sesuai
dengan penanggalan jawa karena dinilai lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat desa.
Komunikasi seperti ini menjadi strategi dalam internalisasi semangat mitigasi bencana. Pada
sisi yang lain, kearifan lokal masyarakat senantiasa terjaga.
Masyarakat sadar bahwa tinggal di kawasan rawan bencana memerlukan kesiapsiagaan
untuk mengurangi kerentanan. Kenyataan ini diperparah dengan kondisi bahwa kubah merapi
lebih condong ke arah selatan, yang artinya kawasan Desa Umbulharjo merupakan kawasan
dengan tingkat kerentanan yang patut diperhitungkan. Dalam menyikapi kerawanan lokasi
temat menjadi lebih waspada. Masyarakat akan mengungsi ketika merasa tidak aman, dalam
artian tanpa ada pemberitahuan mereka dengan sigap segera mengungsi karena tidak ingin
menjadi korban bencana. Hal ini pada konteks peningkatan kapasitas mitigasi kebencanaan
mengandung dua makna. Pertama, bahwa masyarakat lebih berkapasitas karena sudah
mandiri dalam mitigasi bencana. Kedua, bagaikan sisi sebelah uang koin, hal tersebut
mengindikasikan bahwa masyarakat trauma dengan kondisi masa lalu, yaitu erupsi merapi
tahun 2010 menelan banyak korban jiwa.
Secara garis besar, kearifan lokal yang ada di Desa Umbulharjo memiliki andil dalam
mitigasi bencana. Kearifan lokal ini bahkan tidak jarang diketahui sejak kapan berlaku.
Namun keberadaan kearifan lokal tersebut kini mulai dipertentangkan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi. Hal tersebut memiliki dampak positif dalam
konteks upaya menyelamatkan manusia dari ganasnya erupsi Gunung Merapi pada era
modern. Kearifan lokal yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
akan tetap dipercayai. Sebaliknya, kearifan lokal yang tidak sesuai akan cenderung
ditinggalkan karena akan menghambat berlangsungnya mitigasi bencana itu sendiri.
Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi bencana dimaknai sebagai nilai-nilai
yang ada di lingkungan sosial masyarakat namun kini tidak lagi berwujud utuh tapi
masyarakat meyakini infomasi bencana dari apa yang dilihat. Ini merupakan hasil positif dari
intervensi ilmu pengetahuan modern dan teknologi jika kaitannya dengan upaya pengurangan
korban jiwa jika terjadi erupsi. Namun, jika pewarisan budaya tidak lagi dilakukan, generasi
masa depan tidak akan mengetahui nilai-nilai lama yang pernah berlaku di desa. Kearifan
lokal yang masih dipercayai hingga kini dan mendukung proses mitigasi bencana,
diantaranya:
a) Menjaga kelestarian tanaman bambu
Bambu merupakan tanaman yang banyak tumbuh di sekitar Desa Umbulharjo. Tanaman
bambu membantu dalam proses mitigasi bencana karena sifat alaminya yang dapat digunakan
dalam mendeteksi peningkatan suhu permukaan tanah akibat aktivitas vulkanik Gunung
Merapi. Tanaman bambu yang mengalami perubahan suhu akan mengeluarkan bunyi pletok-
pletok. Bunyi tersebut yang menjadi titen masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan mitigasi
bencana. Selain itu akar bambu akan mengarahkan arus aliran awan panas ketika terjadi erupsi.
Gambar 4.4 Keberadaan tanaman bambu di Desa Umbulharjo
Sumber: Peneliti
Dengan adanya bambu di sekitar Desa Umbulharjo akan semakin membantu Pemdes
Umbulharjo dalam proses mitigasi bencana. Keberadaan bambu tersebut setidaknya memiliki
tiga fungsi, yaitu diantaranya:
1) Sebagai pertanda datangnya awan panas saat terjadi erupsi (peringatan dini).
2) Sebagai “sabuk natural” yang mengalihkan arus awan panas dari erupsi gunug merapi yang
membawa material vulkanik
3) Melindungi bangunan masyarakat yang tinggal disekitar
b) Upacara Labuhan
Upacara Labuhan merupakan bentuk rasa syukur masyarakat lereng selatan gunung
merapi. Upacara ini rutin dilakukan setiap satu tahun sekali. Upacara labuhan merupakan
tradisi budaya dalam rangka peringatan Jumenengan Dalem (kenaikan tahta) Sri Sultan
Hamengku Bawono X yang digelar setiap tanggal 30 Rajab. Dalam pelaksanaannya upacara
ini mengandung ajakan untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Bukan hanya itu, upacara
tersebut juga dipercaya dapat menjaga kedekatan masyarakat dengan Raja.
c) Nyadran
Nyadran merupakan luapan kesyukuran masyarakat. Bentuk kegiatannya hampir
memiliki kesamaan dengan Upacara Labuhan. Akan tetapi nyadran lebih sederhana karena
lebih menitikberatkan kegiatan berdoa bersama di makan leluhur. Nilai yang diusung adalah
manusia harus bersyukur atas kondisi sekarang dan tidak lupa menjaga kelestarian alam untuk
kebahagiaan masa depan.
Masyarakat yang mulai selektif tidak lagi dengan mudah mempercayai hal-hal ghoib
yang belum tentu akan memberi keselamatan. Namun masyarakat lansia masih ada yang
percaya akan hal tersebut. Hal ini karena keterbatasan dalam memahami perkembangan
zaman serta melakukan perubahan perilaku. Berikut adalah klasifikasi kearifan lokal yang ada
dan relevansinya terhadap upaya mitigasi bencana.
Tabel 4.7 Relevansi Kearifan Lokal dengan Upaya Mitigasi Bencana di Desa Umbulharjo
No. Kearifan Lokal Relevansi Keterangan
dengan
Mitigasi
1. Upacara Labuhan Relevan dan Dilakukan setiap tahun sebagai
masih wujud syukur masyarakat serta
dilakukan komitmen untuk senantiasa
menjaga kelestarian alam
2. Kelestarian tanaman Relevan dan Sebagai pertanda peningkatan
bambu masih suhu udara dengan suara pletok-
dilakukan pletok dan dapat mengarahkan
arus material vulkanik
menghindari kerusakan pada
kawasan pemukiman
3. Suara Jangkrik Tidak relevan Suara jangkrik tidak dapat
dan tidak menjadi tanda akan terjadi erupsi
dilakukan
4. Gesekan Pring Tidak relevan Gesekan Pring (bambu) tidak
(bambu) dam tidak dapat menjadi tanda akan terjadi
dilakukan erupsi
5. Nyadran Relevan dan Dilakukan setiap tahun sebagai
masih wujud syukur masyarakat serta
dilakukan komitmen untuk senantiasa
menjaga kelestarian alam
6. Bersih Desa Tidak relevan Bersih desa tidak dapat menjadi
dan masih tanda akan terjadi erupsi
dilakukan
7. Dandan Kali Tidak Relevan Bersih-bersih sungai tidak dapat
(sungai) dan masih menjadi tanda akan terjadi erupsi
dilakukan
8. Suara gemericik air Tidak Relevan Suara gemericik air kali (sungai)
kali (sungai) dan Tidak tidak dapat menjadi tanda akan
dilakukan terjadi erupsi
9. Selapanan Tidak Relevan Selapanan tidak dapat menjadi
dan masih tanda akan terjadi erupsi
dilakukan
10. Erupsi terjadi di Hari Tidak relevan Hari-hari tertentu tidak dapat
Jumat dan tidak menjadi tanda akan terjadi erupsi
dilakukan
11. Gotong Royong Relevan dan Semangat gotong royong dapat
masih saling menguatkan satu sama
dilakukan lain ketika tertimpa musibah
Sumber: Data yang diolah Peneliti
Dalam praktiknya kerjasama antar pemangku kepentingan turut dilakukan dalam upaya
mitigasi bencana. Pemerintah dengan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) mendelegasikan
kewenangan sesuai dengan tugas pokok masing-masing lembaga. Sebagai contoh, BPBD
sebagai pusat informasi kebencanaan, BPPTKG sebagai institusi khusus pengamatan Gunung
Merapi, Dinas Kesehatan sebagai pelaksana pemberi perobatan, dan Dinas Pendidikan dengan
program Sekolah Siaga Bencana melalukan edukasi mitigasi bencana sedari dini di sekolah
dasar di Desa Umbulharjo. Pada sisi lain, LSM memberikan kontribusi sesuai dengan fokus
aktivitas organisasinya masing-masing. Masyarakat secara kolektif menjadi kader mitigasi
dan pendamping bagi sesama masyarakat.
b. Pembangunan kapasitas mitigasi bencana masyarakat lereng selatan Gunung Merapi
berdasarkan kearifan lokal
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Grindle, berikut adalah
penggambaran kondisi proses mitigasi di Desa Umbulharjo:
1) Human Resource Development
Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menokohkan seseorang sebagai role model.
Peranan Mbah Marijan adalah sosok sakral dalam melakukan mitigasi bencana di Desa
Umbulharjo. Mbah Marijan merupakan perpanjangan tangan kraton untuk menjaga kondisi
masyarakat di lereng Gunung Merapi. Penokohan dilakukan ini memberi pengaruh pada geliat
masyarakat untuk bertindak selama kondisi darurat. Hal ini merupakan salah satu kunci
keberhasilan proses mitigasi di Desa Umbulharjo.
Penguatan kapasita SDM dilakukan dengan mengadakan sosialisasi dan pelatihan bagi
masyarakat. Pelatihan dan sosialisasi dilakukan oleh Pemdes Umbulharjo dan OPD dengan
mengacu pada kebutuhan masyarakat sesuai dengan Rencana Kontijensi yang dibuat secara
bersama-sama dengan BPBD Kabupaten Sleman. Sosialisasi ini diikuti oleh seluruh kalangan,
dari remaja hingga orang tua. Namun, kaum remaja menjadi peserta paling banyak pada setiap
kegiatan pelatihan maupun sosialisai. Hal ini memiliki pengaruh yang baik dalam hal
penyaluran ilmu pengetahuan kepada generasi penerus, akan tetapi bagi lansia akan
menghambat karena keterbatasan kemampuan untuk memahami.
Strategi yang dilakukan di Desa Umbulharjo adalah dengan membetuk Kampung Siaga
Bencana (KSB) Desa Umbulharjo. KSB ini merupakan langkah nyata dalam pendayagunaan
segenap SDM yang dimiliki Desa Umbulharjo. SDM tersebut diberi pelatihan yang akan
membantu proses mitigasi. Melalui tindakan tersebut masyarakat akan menjadi lebih sadar
akan kerentanan. Kesadaran yang semakin membaik akan menjadikan Desa Umbulharjo
sebagai desa yang rentan tapi telah siap untuk menghadapi bencana yang datangnya tidak
dapat diprediksi secara akurat. Pembentukan KSB sesuai dengan Keputusan Kepala Desa
Umbulharjo Nomor 45/Kep.KD/2018 Tentang Pembentukan Kampung Siaga Bencana Desa
Umbulharjo Tahun 2018.
2) Organizational Strengthening
Penguatan kapasitas dilakukan dengan mendayagunakan SDM yang ada di Desa
Umbulharjo. SDM yang ada didorong untuk mengisi pos-pos perbantuan sesuai dengan
kebutuhan mitigasi bencana. Pendanaan dari setiap kegiatan mitigasi bencana di Desa
Umbulharjo didanai dari skema Dana Desa dan swadaya masyarakat. Pendayagunaan SDM
selaras dengan semangat gotong royong yang ada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat
tidak segan membantu sesama dengan dasar kemanusiaan. Hal ini menjadi kunci sukses
keberhasilan selain penokohan yang sudah disinggung dimuka.
- Posko
- Sarana dan Prasarana
- Seksi Logistik
- Seksi Dapur Umum
- Seksi Evakuasi
- Seksi Keamanan
3) Institusional Reform
Penguatan kapasitas dari sisi ini ditandai dengan adanya peraturan yang mengatur
proses mitigasi bencana. Dalam kaitannya dengan KSB, Keputusan Kepala Desa Umbulharjo
Nomor 45/Kep.KD/2018 Tentang Pembentukan Kampung Siaga Bencana Desa Umbulharjo
Tahun 2018 telah mengatur tentang struktur organisasi, peran, tugas dan tanggungkawab yang
jelas. Pada peraturan tersebut juga diatur bagaimana pola kerjasama antar elemen yaitu
bekerja secara kolaboratif. Artinya, setiap unsur penopang adalah penting sehingga tindak ada
pembedaan peran. Kebijakan publik tersebut masih dilaksanakan dan memberi dampak positif
berupa turut memberi edukasi dan transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Secara sederhana, hubungan antara kapasitas dan faktor penting dalam mitigasi bencana
di Desa Umbulharjo dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel .hubungan antara kapasitas dan faktor penting dalam mitigasi bencana di Desa
Umbulharjo