Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) menuntut adanya pola
kemitraan yang sinergis antara lembaga-lembaga baik di dalam maupun di luar birokrasi
pemerintahan. Lembaga tersebut meliputi private sector (sektor swasta) dan civil
society (masyarakat sipil).Kemitraan itu harus dibangun dalam sebuah lingkungan yang
transparan, komunikasi yang terbangun dengan baik terutama dalam setiap pengambilan
keputusan. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang dirumuskan memenuhi harapan
masyarakat. Dengan demikian maka pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat
mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan, pembangunandan pelayanan publik
yang lebih demokratis, lebih dekat dengan rakyat (desentralized) dan lebih profesional.
Langkah kongkrit dari penciptaan pembangunan yang berbasis kerakyatan ini adalah adanya
pembangunan yang berorientasi pada kapasitas lokal.
Secara teoritis yang dikemukan Tascereu dan Campos (Thoha, 2003:63), tata pemerintahan
yang baik ( terjemahan good governance) merupakan suatu kondisiyang menjamin adanya
proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta, adanya saling
mengontrol yang dilakukan oleh komponen yaitu pemerintahan (government), rakyat (citizen)
atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu
mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat itu tidak
sebanding atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan yang baik.
Oleh karena itu, dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator
atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan dan mengawal proses pelaksanaan
pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi kelompok-
kelompok private (dunia usaha) dan civil society yang meliputi kelompok-kelompok
infrastruktur politik (Lembaga Swadaya Masyarakat—LSM, kelompok penekan, partai
politik, Perguruan Tinggi dan organisasi kemasyarakatan lainnya.Atas dasar tersebut, untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik sesungguhnya adalah bagaimana membangun
kemitraan dan komunikasi yang baik antara ketiga aktor tersebut.
Dalam proses perencanaan pembangunan, aspek transparansi harus dibangun atas dasar
kebebasan mendapatkan kesempatan untuk ikut merumuskan kebijakan pembangunan di
tingkat daerah. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi informal dapat diberikan ruang
dalam menentukan arah pembangunan sehingga mereka merasakan dan ikut
bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Hal sesuai dengan karakteristik good governance yakni accountability, dimana para pembuat
keputusan dalam pemerintahan, sektor dan masyarakat (civil soceity) bertanggungjawa
kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Artinya, antara adalah publik
(pemerintah), swasta dan civil society harus duduk bersama dalam merumuskan kebijakan
publik.
Mengapa? Karena perumusan kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik. Perumusan
kebijakan bukan pekerjaan yang main-main tapi sebaliknya sebuah tugas berat karena
membutuhkan mengkajian dan keseriusan dari tim perumus. Atas dasar inilah, maka
perumusan kebijakan publik harus melibatkan stakeholder (pelakuyang terlibat dalam
perumusan kebijakanyaitu pemerintah, swasta dan civil society). Tiga aktor ini akan menjadi
penentu apakah finalisasi kebijakan yang dibuat atau dihasilkan dapat membantu
menyelesaikan masalah atau tidak dan atau kebijakan itu dapat memberikan arah baru dalam
kehidupan publik. Fase-fase dalam formulasi seperti problem search (pencarian
masalah), problem definition (pendefinisian masalah), problem specification (penyepesifikasi
masalah) dan problem sensing (pengenalan masalah) harus dilakukan pengkajian secara hati-
hati dan komprehensifdalam merumuskan masalah. Sehingga output (hasil akhir) dari
kebijakan yang ditetapkan minimal dapat menyelesaikan persoalan yang ditengah dihadapi
masyarakat dan sebaliknyapada tahap implementasinya tidak menimbulkan masalah baru
didalam kehidupan masyarakat.
Sebab kondisi saat ini dengan era reformasi, masyarakat semakin sadar terhadap apa yang
menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat semakin berani melakukan
gerakan bahkan secara frontasi mengajukan tuntutan, keinginan, kepentingan dan aspirasinya
kepada pemerintah (eksekutif maupun legislatif). Masyarakat semakin kritis dan semakin
berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan, oleh pemerintah. Ketika
langkah pemerintah keliru maka kelompok masyarakat akan membangun kekuatan dalam
bentuk class action turun kejalan mendesak atau mengingatkan pemerintah.
Paradigma pemikiran masyarakat dari tidak tahu menjadi tahun adalah sebuah perubahan
yang harus dijawab dengan kesiapan pemerintah. Ketika ada kebijakan yang dianggap tidak
memenuhi harapan masyarakat,sentral untuk pengaduan adalah birokrasi pemerintah.Bila hal
ini tidak diimbangi dengan kesiapan pemerintah maka yang terjadi adalah pelaksanaan
pembangunan yang sudah melalui proses pembahasan yang melelahkan, menguras tenaga,
pikiran dan material akan terkesan sia-sia karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat
maupun dari ”rekan” eksekutif yakni legislatif (DPRD).
Sebuah contoh bagaimana ketidakharmonisan hubungan antara DPRD dan eksekutif (kepala
daerah), yang belakangan ini menjadi ”hiasan” berita di media massa. Kedua lembaga ini
saling menyalahkan dalam pengambilankebijakan. DPRD sebagai mitra pemerintah yang
memiliki fungsi keterwakilan, anggaran, pengawasan dan legislasi selalu ”ditinggalkan”
eksekutif dalam perumusan kebijakan. Sehingga tidak sedikit anggota dewan meradang
dengan ulah eksekutif yang dianggap tidak melibatkan mereka. Ini adalah sebagian sebuah
dari beberapa fenomena nyata akibat dari kekeliruan dalam formulasi kebijakan. Eksekutif
dengan alasan tertentu, tergesa-gesa secepatnya mengeluarkan kebijakan tanpa memikirkan
ada lembaga lain yang harus dilibatkan. Akibatnya keputusan tersebut berdampak negatif dan
tidak memiliki manfaat terhadap daerah dan masyarakat. Apapun alasan eksekutif, harus
tetapmemperhatikan masukan dari legislatif karena kedua lembaga ini adalah sama-sama
penyelenggara pemerintahan di daerah.Coba saja, kedua lembaga publik iniduduk bersama-
sama untuk melakukan pengkajian kemudian melibatkan aktor swasta dan masyarakat saya
yakin akan tercipta sebuah produk kebijakan yang baik dan konsep good governance akan
bisa dicapai.
Padahal tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan untuk
dilayani. Tentunya wujud pelayanan yang diberikan itu harus sesuai sesuai harapan
masyarakat. Misalnya, bagaimana pemerintah merumuskan kebijakan penanggulangan
kemiskinan, kebijakan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), kebijakan penanganan
anak-anak jalanan, kebijakan penanganan krisis kelistrikan, kebijakan penanganan penyakit
masyakat, kebijakan penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) dan sebagainya.
Untuk menghasilkan kebijakan yang dapat memecahkan masalah, bukan pekerjaan mudah
akibatnya proses perumusannya harus menjadi perhatian yang serius. Misalnya, ketika
pemerintah membuat program tentang penanggulangan kemiskinan, maka yang harus
menjadi fokus perhatian adalah masalah yang menjadi penyebab dari kemiskinan itu. Kenapa
sampai si A dan si B miskin. Pemerintah harus menanyakan langsung kepada si A dan si B
dan bagaimana supaya si A dan si B dapat keluar dari lingkaran kemiskinan ini. Masalah-
masalahnya harus dikenali dan didefinisikan dengan baik baru kemudiandibuatkan kebijakan.
Karena penyebab kemiskinan bukan saja karena manusianya tapi karena faktor lingkungan.
Jangan sampai terjadi kebijakan penanggulangan kemiskinansi A dan si B disamakan. Bila
ini terjadi maka kebijakan penanggulangan kemiskinan hanya akan menjadi sebuah produk
“elit”. Sehingga kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia karena tidak menyentuh apa
yang menjadi tujuan kebijakan itu.
Karena tidak dapat dipungkiri, kebijakan dikeluarkan pasti memiliki nilai “politis”. Untuk
menghindari kebijakan yang memiliki nilai “politi” ini tentu dimulai dari proses formulasi
kebijakan yang harus melibatkan aktor swasta dan civil society. Di Indonesia pengaruh aktor-
aktor elit (eksekutif dan legislatif) dalam proses formulasi kebijakan sangat besar. Faktor ini
disebabkan karena proses perumusan kebijakan publik lebih kental dengan nuansa ”politis”
(bagaimana melanggengkan kekuasaan) dari pada bagaimana mensejahterakan masyarakat.
Menurut pandangan teori elite, kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan
pilihan-pilihan dari elite yang memerintah. Argumentasi pokok dari teori elite ini adalah
bahwa bukan rakyat yang menentukan kebijakan publik, tetapi berasal dari elite yang
memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah.
Atas dasar itulah, agar kebijakan publik tidak bersifat elistis hal yang perlu diperhatikan
adalah pelibatan aktor-aktor pembuat kebijakan, diluar aktor public (pemerintah) adalah perlu
pelibatan aktor private (swasta) dan civil society(masyarakat sipil). Sebab kebijakan publik
yang elistis sama sekali tidak memiliki dampak positif terhadap masyarakat justru sebaliknya
hanya menguntungkan sebagian kelompok untuk memperoleh kekuasaan atau hanya untuk
mempertahankan kekuasaan.
Salah satu hambatan eksternal yang dihadapi civil society di daerah adalah belum adanya
kesamaan pemikiran mengenai kemitraan dengan civil soceity. Oleh sebab itu, antusiasme,
inisiatif, dan inovasi yang diperlihatkan civil society untuk melibatkan diri tidak jarang
ditanggapi secara tidak simpatik atau bahkan dihadapi dengan resistensi terbuka dan sikap
defensif. Perbedaan presepsi inilah yang membuat civil society di daerah tidak memiliki
kekuatan untuk terlibat dalam formulasi kebijakan atau duduk bersama ikut dalam sebuah
forum bersama-sama legislative maupun eksekutif membicarakan bagaimana merumuskan
program pembangunan di daerah. Aktor publik seakan merasa takut dan khawatir bila civil
society dilibatkan dalam perumusan sebuah kebijakan seperti perumusan program
pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pendekatan realisme mendapatkan pertentangan keras terutama dari Presiden Wodrow Wilson
(1913-1921) dari Amerika Serikat, ketika beliau mengusulkan pembentukan Liga Bangsa-bangsa
(League of Nations) guna meredam potensi pecahnya PD II setelah PD I (Carr 1946).
Kegagalan League of Nations melahirkan pendekatan berikutnya yaitu neorealisme (Waltz 1959,
1979). Hampir mirip dengan pendahulunya, realisme, neorealisme memahami hubungan antara
negara di dunia dilandasi atas anarkisme (tanpa hirarki), namun memungkinkan terjadinya
kerjasama berdasarkan kepentingan militer dan pertahanan.
Bedanya pendekatan neorealisme dengan pendahulunya realisme terletak pada pandangannya
bahwa sistem internasional anarkis mempengaruhi tata hubungan antara negara-negara di dunia
yang akhirnya mempengaruhi perilaku aktor-aktor egoistik di dalam individu negara.
Pendekatan neorealisme ibarat bola biliar (Hobson 2000), satu bola membentur bola satu yang
akan membentur juga bola lainnya. Oleh karena itu, tidak seperti realisme yang sama sekali
alergi dengan kerjasama antara negara, neorealisme masih memungkinkan ruang terjadinya
hubungan bilateral atau multilateral di bidang militer dan pertahanan, misalnya OSCE, NATO,
ketimbang ekonomi. Namun perlu digarisbawahi, bahwa akar neorealisme sejatinya adalah
realisme sehingga kekuatan individu negara tetap merupakan komponen utama
menentukan world order atau tata dunia.
Neoliberal institutionalisme, perlu dibedakan dengan neoliberalisme dalam ekonomi politik,
merupakan pendekatan yang menekankan kerjasama multinasional setelah gagalnya hegemoni
kekuasaaan, semisal di era kekuasaan unipolar pimpinan Amerika paska kejatuhan Uni Soviet
1989 (Keohane and Nye 2000). Oleh karena periaku negara-negara beserta aktor negara sukar
diprediksi mengingat perilaku mereka diatur oleh hukum Hobessian, maka diciptakanlah wadah
kerjasama antar negara seperti halnya organisasi international seperti PBB, World Bank, IMF,
UNDP, UNESCO dan lainnya, dikenal sebagai rejim internasional (Rosenau 1992). Organisasi-
organisasi tersebut mewadahi berbagai isu internasional fokus pada kemampuan institusi
bertindak sebagai agen di bawah naungan kesepakatan anggota tentang prosedur, norma, dan
konvensi di bidang ekonomi politik (Hall et al. 1996). Neoliberal institusionalisme berpendapat
bahwa kerjasama internasional memungkinkan karena sistem internasional tidaklah anarkis
mengingat sistem internasional mempengaruhi bagaimana individu negara akan berperilaku,
bukan sebaliknya.
Sedangkan constructivisme merupakan pendekatan HI berorientasi pada norma-norma
mengatur hubungan internasional (Wendt 1992; Ruggie 1998a, 1998b) sebagai jawaban atas
kelemahan pendekatan terpusat pada negara atau state (realisme, neoliberalisme, dan neoliberal
institutionalisme). Norma-norma selalu berevolusi berdasarkan perkembangan hubungan antara
negara berpengaruh pada terbentuknya identitas, kepentingan antar aktor. Evolusi identitas dan
ide ini akan menentukan bagaimana kepentingan antar negara terbentuk. Pendekatan ini
mempercayai bahwa hubungan antara perilaku negara (state) berikut aktor negara (state actor)
diatur berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah disepakati para pemain (players) dalam
hubungan internasional.
Sebagai contoh, norma mengenai human rights (Finnemore 1996) berevolusi mulai dari masa
kolonial yang permisif pada perbudakan, sampai paska kolonial dimana negara menganut
perbudakan akan dihujat bahkan dijatuhkan sangsi oleh hukum internasional. Norma lainnya
seperti intervensi militer internasional terhadap bencana kemanusian semacam genosida
(Finnemore 1996), begitu juga dengan norma pemberantasan korupsi negara-negara demokratis
di dunia merupakan subyek pengaruh organisasi internasional (Grigorescu 2003).
REPORT THIS AD
Dengan demikian, kepentingan bersatu pada dalam sistem global ini memberikan ruang bagi
terbentuknya sentra-sentra politik pemerintahan melampaui batas kemampuan individu negara
(O’Brien et al. 2000). Kemunculan lembaga-lembaga membawahi kepentingan ekonomi, seperti
liberalisasi perdagangan, tidak terikat oleh satu aturan negara, merupakan perlambang
“governance without government” (Rosenau 1992) menggeser pendekatan negara statis menuju
integrasi.
Singkat kata dalam konsep global governance, terdapat beberapa landasan teoritis sebagai
komponen penyusun utama sebagai berikut: (1) terbangunnya arsitektur “world order” atau tata
dunia; (2) penekanan peran negara dalam hubungan internasional; (3) penekanan peran agen
melampaui kewenangan negara; (4) kemampuan beradaptasi, pertanggungjawaban, and
legitimasi dari global governance; dan (5) distribusi kekuasaan.
Ketiga, global governance melibatkan peran agen di atas atau di bawah negara yang beroperasi di
lingkup internasional. Sebagai contoh, NGOs dan pergerakan internasional melawan korupsi
atau penindasan hak asasi manusia akan menciptakan norma baru mendesak organisasi
internasional dan aktor-aktor negara untuk merubah tata acara kerja mereka. Pelibatan aktor-
aktor dan organisasi di luar batas kewenangan negara sedikit banyaknya dipengaruhi pendekatan
liberalism dalam payung pluralisme.
REPORT THIS AD
Keempat, sistem global governance berubah dan beradaptasi seiring dengan waktu. Oleh karena
itu, akuntabilitas dan legitimasi sistem ini sangatlah dipengaruhi oleh aktor-aktor yang terlibat
dalam pengambilan keputusan berpengaruh terhadap keberadaan masing-masing aktor.
Pendekatan global governance ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan constructivism. Terakhir,
berbeda halnya dengan realisme, neorealisme, dan neoiberal institutionalisme yang masing-
masing berorientasi pada kekuatan militer pertahanan dan ekonomi, global governance
berpandangan bahwa kekuatan atau power merupakan hasil konstruksi sosial. Kekuatan relatif
aktor dan distribusinya akan sangat bergantung dari kepentingan siapa yang akan dilayani dalam
tata global dan selalu akan berubah seiring dengan waktu.
Melihat begitu luasnya cakupan konsep global governance, pemerintahan tanpa pemerintah
“governance without government” (Rosenau 1992) dapat kita pahami bila kita memahami
konsep global order atau tata global. Tata global melibatkan berbagai tata hubungan berikut
dengan polanya antara berbagai wilayah, hubungan internasional, pergerakan sosial, dan
organisasi swasta yang berkecimpung dalam lingkup internasional. Tata global diatur melalui
keempat prinsip global governance akan memberikan peluang kerja sama lebih baik antara
negara, aktor lintas negara dan non-negara. Kerjasama internasional atau transnational
advocacy network bergerak dalam isu penegakan hukum antara lain kekerasan terhadap
perempuan, pelanggaran hak asasi manusia (Keck Sikkink 2012) merupakan salah satu bentuk
kerjasama global governance.
Namun demikian, konsep global governance belum sepenuhnya bisa dibuktikan dari segi
keefektifannya, karena terdapatnya pertentangan terus menerus antara negara, pemain, dan
agen lintas negara.
Sebagai contoh, lembaga-lembaga seperti OSCE, UNDP akan selalu mendefinisikan program
kerja di negara miskin berkembang atas dasar prinsip-prinsip demokrasi seperti menguatkan
lembaga pemilihan umum dan perwakilan, mempromosikan lembaga peradilan, adminisrasi
publik, demi memperbaiki kemampuan mereka menyelenggarakan layanan publik dasar.
Lahirnya open governance, tidak terlepas dari gerakan reformasi pemerintahan di tahun 50 dan
60an melahirkan “sunshine” laws atau aturan kebebasan informasi. Aturan ini lahir di daratan
Eropa bertujuan untuk membangun budaya pemerintahan transparan, aksesibel, dan akuntabel.
Semenjak itu, berbagai negara di belahan dunia telah mengadopsi aturan serupa di dalam hukum
pemerintahan terutama mengantisipasi derasnya laju informasi via internet.
Sejak internet meng-global, definisi open government menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi informasi yang ada. Definisi open government menjadi lebih sempit tertuju pada
penggunaan teknologi secara kolaboratif untuk membangun satu landasan dimana pemerintah
dan individu bisa bekerja sama meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah.
Di dalam open governance, transparansi informasi beserta aksesnya akan melibatkan para
pengambil keputusan level domestik (pemerintah) untuk selalu mengedepankan prinsip-prinsip
democratik governance seperti kebebasan berpendapat atau kebebasan memilih (contoh,
berafiliasi dengan partai politik). Pola pengambilan keputusan dalam open governance memaksa
pemerintah untuk selalu berkolaborasi, menjalin jejaring dengan pihak di bawah (domestic),
ataupun di atas (internasional), yang mungkin terorganisir dalam satu lingkup organisasi
pemerintah, non-pemerintah, ataupun pergerakan (movement).
Di sinilah letak singgungan antara landasan teoritis global governance, democratic governance,
dan open governance. Global governance menyediakan paradigma berpikir untuk mengantisipasi
perkembangan global membutuhkan tata dunia baru dengan melibatkan berbagai pendekatan
dalam keilmuan HI. Namun demikian, global governance mempersyaratkan penerimaan
(legitimasi) dari anggota-anggota penyusunnya untuk mematuhi prinsip-prinsip demokrasi
dalam mengatur hubungan antara pemerintah, rakyat, dan komponen pemangku kepentingan
lain baik domestic maupun internasional. Sedangkan prinsip democratic governance di era
keterbukaan informasi semakin mendesak pemerintah setiap negara untuk membuka diri dan
informasi kepada publik. Open governance merupakan manifestasi kedua konsep, global
governance dan democratic governance, dalam bentuk kerjasama melalui jejaring informasi
global. Oleh karena itu, ketiga konsep tersebut dapat dijabarkan secara terpisah menurut
epistemologi keilmuannya, namun dapat juga dipandang sebagai satu kesatuan konsep saling
dukung mendukung.
REPORT THIS AD
Pertama, penerimaan terhadap konsep global governance tentu akan memaksa individu negara
beserta aktornya untuk menerima keterlibatan aktor lain di luar institusi negara. Di dalam
lingkup domestik, para pemangku kepentingan terlibat dalam global governance seperti
kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, kelompok penekan, kelompok
kepentingan, masyarakat ekonomi swasta, akan turut serta dalam pengambilan keputusan
politik.
Konsekuensinya, pemerintahan dalam satu negara harus membuka diri dan meraih para
pemangku kepentingan lain dalam membahas agenda-agenda pemerintahan bersinggungan
dengan mereka. Letak permasalahan akan muncul, ketika pengambilan keputusan dead
locked (tersumbat) karena terdapatnya perbedaan persepsi antara pemerintah dan pemangku
kepentingan lain yang sulit diputuskan sehingga menghambat jalannya pemerintahan.
Hambatan dalam jalannya pemerintahan akan menghambat pelayanan terhadap masyarakat.
Pelayanan terhadap masyarakat terhaambat berakibat menurunnya legitimasi pemerintah.
Sebagai contoh, kecenderungan pemerintah Jokowi untuk mengantisipasi gangguan dalam
menjalankan pemerintahan “meniru” pola-pola pemerintahan Orde Baru, seperti penahanan
para pelaku dugaan makar, tentu akan menimbulkan pertanyaan di masyarakat akan komitmen
pemerintahan dalam nilai-nilai demokrasi bila tidak diklarifikasi lebih lanjut oleh aparat
kepolisian misalnya.
Di lingkup internasional, sebuah negara harus tunduk pada aturan internasional mengatur
hubungan antara negara satu dengan lainnya, demikian juga dengan aktor lain di luar batas
negara. Namun demikian, persoalan tata hubungan global lingkup internasional tidaklah mudah
karena lagi-lagi masalah legitimasi akan muncul ketika kedaulatan satu negara terusik akibat
tekanan masyarakat internasional. Legitimasi keputusan lembaga internasional misalnya dapat
saja dipertanyakan karena melanggar kedaulatan negara anggotanya. Sebagai contoh, persoalan
“petrus” ala Duterte, Presiden Filipina, menghabisi nyawa tersangka perdagangan narkotika,
sangat mengganggu masyarakat internasional menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Namun
demikian, Duterte seolah melawan masyarakat internasional, diwakili semisal Ban Ki Moon,
sebagai Sekretaris Jenderal PBB, ataupun Obama, Presiden Amerika, sekalipun, dengan alasan
mereka tidak punya hak mengganggu urusan kedaulatan negara Filipina.
Kedua, konsep democratic governance mengatur hubungan antara pemerintah dalam satu
negara dengan berbagai pemangku kepentingan di dalamnya berdasarkan prinsip demokratis
seperti akuntabilitas dan kebebasan berpendapat misalnya. Namun demikian persoalan
legitimasi juga akan muncul ketika keputusan pemerintah diambil ternyata tidak sejalan dengan
keinginan masyarakat. Sebagai contoh: keputusan Kemenkeu, berdasarkan pertimbangan Polri,
untuk menaikkan biaya administrasi pengurusan STNK dan dokumen kendaraan sampai 100%
tentu saja mendapat tanggapan miring dari masyarakat luas. Untuk menghadapi gejolak
ketidakpuasan masyarakat, pemerintah harus mampu menjelaskan dengan segala kemampuan
dan saluran komunikasi yang ada sehingga masyarakat paham dan layananpun lancar.
Dalam lingkup internasional, democratic governance semestinya dapat menjadi satu konsep
menaungi tata hubungan antar negara, organisasi, dan aktor-aktor penyusunnya. Sampai disini,
konsep democratic governance menghadirkan nilai-nilai demokratis dapat diterima oleh negara-
negara demokrasi. Namun, bagaimana halnya dengan negara-negara ataupun organisasi-
organisasi lintas negara tidak berpandangan bahwa demokrasi merupakan nilai harus dijunjung
tinggi. Beroperasinya organisasi lintas batas negara seperti ISIS tentu sangat menyulitkan
konsep democratic governance mencapai tujuannya.
Ketiga, konsep open governance merupakan norma mewajibkan seluruh pemerintah di dunia,
terutama pemerintah demokratis, membuka akses informasi dan transparansi terhadap publik.
Teknologi internet memungkinkan open bidding mulai dari proyek pemerintah, sampai dengan
penawaran jabatan tertentu dalam pemerintahan. Internet sudah mengubah wajah
pemerintahan dari sifatnya kaku menjadi dinamis. Terbentuknya, kelompok-kelompok maupun
organisasi-organisasi pengawas pemerintahan merupakan gejala umum terjadi di negara-negara
mengedepankan open governance. Namun demikian, open governance dengan mengandalkan
teknologi informasi di lingkup domestic dapat menjadi boomerang bagi pemerintahan. Seperti
kasus pilpres baru-baru ini di Amerika Serikat, teknologi informasi informasi sedemikian handal
ternyata memiliki cacat serius. Kasus penggunaan e-mail pribadi Hillary Clinton semasa
menjabat sebagai Secretary of State di era Obama menjadi perdebatan serius terhadap
kerahasiaan akses informasi dan persoalan transparansi.
Open governance di lingkup internasional tentu sangat baik untuk menjalin kerjasama di
berbagai bidang dengan mengikutsertakan berbagai komponen lintas batas negara. Namun
demikian, persoalan akan muncul ketika arus informasi demikian derasnya seiring dengan
kemampuan penguasaan teknologi untuk meretas dokumen-dokumen rahasia pemerintah.
Kasus seperti Wikileaks, Edward Snowden, dan masih banyak lainnya membutuhkan perhatian
dunia tentang bagaimana mencegah dampak buruk transparansi dan keterbukaan informasi
mengganggu stabilitas satu negara.
Singkat kata, saat ini tampaknya terjadi pertentangan nilai-nilai antara para pendukung
globalisasi dan nasionalisme. Pendukung globalisasi dikomandoi oleh lembaga-lembaga
internasional menginginkan seluruh anggota penyusunnya untuk menjalin kerja sama
berdasarkan kaidah dan aturan ditetapkan oleh lembaga-lembaga tersebut. Namun,
kecenderungan sekarang dimana negara-negara dan masyarakat di dunia semakin
“meninggalkan demokrasi” demi memperjuangkan kedaulatan negara masing-masing telah
menyuburkan ideologi populisme, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, yang tidak sejalan
dengan nilai-nilai ketiga konsep global tersebut.
Menjadi penting kiranya bagi kita untuk memahami bahwa konsep global governance,
democratic governance, dan open governance sedang mengalami cobaan. Di tengah-tengah tren
dunia mengadopsi semangat ultra-nasionalisme (contoh, Brexit, pilpres Amerika, Perancis,
Hungaria, dll), konsep open governance memungkinkan terciptanya jalinan kerja sama antar
pemerintah dan pemangku kepentingan di dalam negeri. Open governance memungkinkan pula
bagi pemerintahan satu negara untuk menjalin kerja sama efektif dengan rakyatnya, maupun
negara lain dan organisasi internasional.
Proteksionisme untuk beberapa urusan perlu mengingat kemampuan sumber daya setiap negara
berbeda, namun mengisolasi diri dari pergaulan dunia tentulah hanya menciptakan masyarakat
kerdil, jauh dari peradaban. Indonesia harus membuka diri dengan menerapkan open
governance, namun perlu mewaspadai informasi seperti apa yang hendak dibuka mengingat kita
belum bisa mengatakan diri kita mandiri dari eksploitasi asing. Penguatan sektor riil dengan
nilai tambah untuk dijual ke manca negara disertai penegakan hukum kuat sangat diperlukan
demi menjaga nilai kompetitif negara dan pemerintahan kita di mata global.
Referensi
Anderson, Benedict. 1983. Imagined communities: Reflections on the origin and spread of
nationalism. Verso Books.
Carr, Edward Hallett. 1946. “The Twenty Years’ Crisis, 1919-1939: An Introduction to the Study
of International Relations.”
______, J.G. 1998b. “What Makes the World Hang Together? Neo-Utilitarian and the Social
Constructivist Challenge”. International Organisations 52(4): 855-885.
Strange, Susan. 1996. “The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World
Economy.”.Cambridge: Cambridge University Press.