Oleh :
Muhamad Syafrudin
Raja Syauqi Al-Fansyuri
penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengenai perkembangan tafsir tentu tidak lepas dari peran mufassir
yang membuahkan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang bermacam-macam
metode, corak dan karakteristiknya. Perbedaan tersebut didasari dengan
berbedanya latar belakang masing-masing mufassir. Mulai dari metode
tahlily (keseluruhan) dan maudhi’i (tematik), baik yang menggunakan
pendekatan bil ma’tsur (riwayat) ataupun bil ra’yi (penalaran) dan masing-
masing kitab mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tersendiri dalam
menyampaikan isi kandungan Al-Qur’an.
Dan disini penulis ingin menguraikan sekedarnya untuk membuka
sudut pandang pengetahuan para pembaca, bahwa mufassir Pada Periode
Modern - Kontemporer itu bukan hanya menguasai ilmu tafsir, tapi beliau
mengusai hampir semua bidang ilmu. Sehingga penafsirannya sangat luas
pembahasan dan ruang lingkupnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi tokoh mufassir Periode Modern -
Kontemporer?
2. Bagaimana corak penafsiran tokoh Periode Modern -
Kontemporer?
3. Bagaimana karakteristik penafsiran Periode Modern -
Kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUHAMMAD ‘ABDUH
1. Biografi Muhammad ‘Abduh
Nama lengkap beliau Muhammad Ibn‘Abduh Ibn Hasan
Khairullah dilahirkan pada 1266 H, bertepatan dengan 1848 M dari
kedua orang tua yang sederhana. Menurut istilah mukti Ali, ia berasal
dari keluarga yang miskin sebagaimana umumnya orang-orang desa
di Mesir.1 Ayahnya berasal dari desa Mahallaf Nasr di daerah al-
Bahîrah, sedangkan ibunya yang disebut-sebut dari keluarga Utsmân
adalah dari desa Hashaq Syabsyir di daerah al-Gharbiyah. Keluarga
dari pihak ibunya berasal dari kalangan bani ‘Adi salah satu suku
bangsa Arab.2 Kedua orang tuanya dikenal berakhlak baik dan mulia.
Ayahnya, di samping pemurah dan pemberani, juga sebagai orang
yang terpandang dan besar wibawanya. Sedangkan ibunya dikenal
penyantun dan pengasih pada orang-orang miskin.
Perjalanan pendidikan syaikh Muhammad ‘Abduh dimulai
dengan belajar menulis dan membaca di rumah. Kemudian ia
menghafal Alquran di bawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab
suci itu. Dalam masa dua tahun ia telah mempu menghafal Alquran.
Kemudian, pada 1279 H/1863 M, ia dikirim orang tuanya ke Thantha
untuk meluruskan bacaan Alqurannya (belajar ilmu tajwid) di Masjid
al-Ahmadi. Setelah berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti
pelajaran-palajaran yang diberikan di mesjid itu, tetapi karena metode
pengajaran yang tidak tepat, setelah satu setengah tahun belajar,
Muhammad ‘Abduh kecil belum mengerti apa-apa. Menurut
pernyataannya sendiri, guru-gurunya cenderung mencekoki para
3
siswa dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang nahwu atau
fikih yang tidak dimengerti arti-artinya. Mereka seakan tidak peduli
apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-istilah itu.1
Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju Kairo untuk belajar
di Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Namun sistem
pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut
Abduh, “Kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-
pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada
usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.” Namun Demikian,
di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen
yang dikaguminya.
Karya-karya syaikh Muhammad ‘Abduh dalam bidang tafsir
terbilang sedikit jika diukur dengan kemampuan tokoh ini. Karya-
karya tersebut adalah:
(1) Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan
para guru mengaji di Marokko pada tahun 1321 H.
(2) Tafsir surat al-’Ashr, karya ini berasal dari kuliah atau
pengajian-pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan
pemuka-pemuka masyarakat di Aljazair,
(3) Tafsir ayat-ayat surat al-Nisâ’: 77—78, al-Hajj: 52 dan 54, dan
al-Ahzâb: 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-
tanggapan negatif terhadap Islam dan nabinya.
(4) tafsir Alquran bermula dari al-Fâtihah sampai dengan ayat 129
surat al-Nisâ’ yang disampaikan di mesjid al-Azhar, sejak awal
Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1323.
1
Thahir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh (Cairo: Dar al-Hilâl,
2003),
29.
Meskipun penafsiiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh
syaikh Muhammad ‘Abduh, namun dapat dikatakan sebagai hasil
karya beliau, karena muridnya, Rasyid Ridha, yang menulis kuliah-
kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada
Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan
pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan
dalam majalah al-manâr.
B. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ
1. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkap beliau Muhammad Rasyîd Bin Ali Ridhâ Bin
Syamsudin Bin Bahaudin Al-Qolmuni Al-Husaini dilahirkan di Qalmun,
suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula
1282 H. Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturuna langsung dari Husein, putera Ali dan Fatimah putri Rasulullah
Saw.2 Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa
diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridhâ dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang
sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka
juga dikenal dengan sebutan “syaikh”.
Mengenai riwayat pendidikan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ, di
samping orang tuanya sendiri, ia juga belajar kepada sejumlah guru. Di
masa kecilnya ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang
ketika itu bernama al-Kuttâb; di sana diajarkan membaca Alquran,
menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat Sayyid Muhammad
Rasyîd Ridhâ kecil diutus oleh orang tuanya ke Tripoli (Libanon) untuk
belajar di madrasah Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu Nahwu, sharaf,
2
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manâr karya Muhamad
Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. I, 2004), 59.
5
Aqidah, fikih, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang
digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Libanon
ketika itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Utsmaniah. Mereka yang
belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai
pemerintahan.
Oleh karenanya Ridhâ sangat tidak tertarik untuk terus belajar di
sana. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke
sekolah Islam negeri, yang merupakan sekolah terbaik saat itu dengan
bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping dianjarkan pula
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh seorang ulama besar
Syam saat itu, yakni syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak
memiliki andil yang sangat besar terhadap perkembanagan pikiran
Ridhâ, karena hubungan antara keduanya berhenti walaupun kemudian
sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husein al-Jisr juga
yang memberi kesempatan kepada Ridhâ untuk menulis di beberapa surat
kabar Tripoli—kesempatan ini kelak mengantarnya memimpin majalah
al-Manâr.3
Pada 22 Syawal 1315H/17 Maret 1898M majalah al-Manâr terbit
untuk kali pertama—meski pada mulanya tidak mendapat persetujuan dari
syaikh Muhammad ‘Abduh—berupa mingguan sebanyak delapan
halaman dan mendapat sambutan yang hangat, bukan hanya di Mesir atau
negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa, bahkan ke
Indonesia. Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ berhasil menulis sekian
banyak karya ilmiah antara lain sebagai berikut:
1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhakkamat al- Dardiriyah wa al-
Rifa’iyyah.
3
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manâr…, 60.
2. Al-Azhar dan Al-manâr.
3. Târîkh al-Ustâdz al-Imâm.
4. majalah al-Manâr (1315—1354H).
5. Tafsîr al-Manâr.
2. Corak Penafsiran Dalam Tafsir Al- Manar
Dari penafsirannya terhadap Alquran, Muhammad ‘Abduh dan
Rasyîd Ridhâ , dikenal sebagai mufassir yang memelopori pengembangan
tafsir yang bercorak al-Adab al-Ijtimâ’i, atau tafsir yang berorientasi pada
sastera, budaya, dan kemasyarakatan. Dengan penegasan lain, menurut
Muhammad Quraish Shihab, yang dimaksud dengan tafsir bercorak al-
Adab al-Ijtimâ’i ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat
Alquran pada segi-segi ketelitian redaksi Alquran, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama dari tujuan diturunkannya Alquran, yakni
sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian
ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.
Dengan demikian, corak penafsiran Tafsîr al-Manâr mengandung ciri-
ciri utama yaitu adanya penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat Alquran,
menguraikan makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang
menarik hati, dan adanya upaya untuk menggabungkan ayat-ayat Alquran
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.4
Kehidupannya berakhir ketika dalam perjalanan pulang dari kota
Suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faishal, mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak.
Selama dalam perjalanan, ia hanya membaca Alquran, walau ia telah
4
Ahmad Tholabi Kharlie, “Metode Tafsir Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ
dalam Tafsîr Al-Manâr”. TAJDID. Vol. 25, No. 2, 2018. Hlm 132
7
sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh
orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang
sangat cerah disertai senyuman, pada 23 Jumâdil ‘Ulâ 1354H, bertepatan
dengan 22 Agustus 1935 M.
C. MUHAMMAD ALI AL-SHABUNI
1. Biografi Muhammad Ali Al-Shabuni
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Jamil Al-
Shabuni. Beliau lahir di Kota Helb Syiria pada tahun 1928 M/1347 H. al-
Shabuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar, Ayah beliau,
Syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Al-
Shabuni memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab,
ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang
ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan
kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih
belia, Al-Shabuni sudah hafal Alquran. Tak heran bila kemampuannya ini
membuat banyak ulama di tempatnya belajar sangat menyukai
kepribadian al-Shabuni. Selain ayah beliau, al-Shabuni juga berguru pada
ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin,
Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh
Muhammad Raghib al-Tabbakh dan Syekh Muhammad Najib Khayatah.
Untuk menambah pengetahuannya, al-Shabuni juga kerap mengikuti
kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai
masjid.5
Setelah menamatkan pendidikan dasar, al-Shabuni melanjutkan
pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah al-
Tijariyyah. Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun.
5
Fahd Abd Rahman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi‟ al-„Asr
( Saudi Arabia: Idarah al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟, 1987) jilid 2, h.
446.
Kemudian, ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus syariah,
Khasrawiyyah, yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiyyah,
ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata
pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyyah
dan lulus tahun 1949.
Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan
pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai strata satu
dari Fakultas Syariah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di
universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister pada konsentrasi
peradilan Syariah (Qudha‟ al-Syariyyah) 1954 M. Studinya di Mesir
merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria. Selepas dari Mesir,
Al-Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai
sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru
sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955
hingga 1962.6
Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas
Syariah Universitas Ummu al-Qura‟ dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam
Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada di Kota
Makkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua
perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan
kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm
al-Qura, al-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syariah.
Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan
Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu
Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
6
Fahd Abd Rahman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir , jilid 2, h. 446. Lihat juga: Muhammad Ali
Ayazi, al-Mufasirun Hayatuhum wa Manhajuhum ( Teheran: Wujarah al-Tsaqafah al-Islami,
1313 H), h. 608.
9
Di samping mengajar di kedua universitas itu, al-Shabuni juga
kerap memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat
di Masjidil Haram. Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di
salah satu masjid di Kota Jeddah. Kegiatan ini berlangsung selama sekitar
delapan tahun.Setiap materi yang disampaikannya dalam kuliah umum
ini, oleh al-Shabuni, direkam-nya dalam kaset. Bahkan, tidak sedikit dari
hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program
khusus di televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum al-
Shabuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998.
Al-Shabuni dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur‟an, Bahasa Arab,
Fiqh, dan Sastra Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsir
wa al-Mufassirun fi al-Ashri al-hadits” menyebutnya sebagai akademisi
yang ilmiah dan banyak menelurkan karya-karya bermutu”. Di antara
karya-karya beliau: “Al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah”, “ al-
Nubuwwah wa al-Anbiya”, “min Kunuz as-Sunnah”, “Risalah as-
Shalah”,. Nama besar Muhammad Ali al-Shabuni begitu mendunia.
Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan
keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara‟-nya.24
Menurut penilaian Abdullah Khayyat, khatib Masjidil Haram dan
penasehat kementrian pengajaran Arab Saudi, al- Shabuni adalah seorang
ulama yang memiliki banyak pengetahuan, salah satu cirinya adalah
aktivitasnya yang mencolok dalam bidang ilmu dan pengetahuan, Ia
banyak menggunakan kesempatan berlomba dengan waktu untuk
menelurkan karya ilmiahnya yang bermanfaat dengan member konteks
pencerahan, yang merupakan buah penelaahan, pembahasan dan
penelitian yang cukup lama. Dalam menuangkan pemikirannya, al-
Shabuni tidak tergesa-gesa, dan tidak berorientasi mengejar banyak karya
tulis, namun menekankan segi ilmiah ke dalam pemahaman serta aspek-
aspek kualitas dari sebuah karya ilmiah, untuk mendekati kesempurnaan
dan segi kebenaran.
Selain mengajar, al-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga
Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasihat
pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-Qur‟an dan Sunnah. Ia
bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia
mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan
penelitian. Berkat kiprahnya dalam dunia pendidikan Islam, pada tahun
2007, panitia penyelenggara Dubai International Qur‟an Award
menetapkan al-Shabuni sebagai Personality of the Muslim World. Ia
dipilih dari beberapa orang kandidat yang diseleksi langsung oleh
Pangeran Muhammad ibn Rashid Al-Maktum, Wakil Kepala
Pemerintahan Dubai. Penghargaan serupa juga pernah diberikan kepada
sejumlah ulama dunia lainnya, di antaranya Syekh Yusuf Al Qaradhawi.
Di penghujung tahun 2011, beliau melakukan rihlah dakwah di sejumlah
negara di Asia Tenggara, diantaranya adalah Malaysia dan Indonesia.
Selain berdakwah, beliau juga membahas krisis yang terjadi di
Suriah saat ini yang menurutnya merupakan pertempuran antara
Mujahidin Islam dengan pemerintah Suriah yang Syiah Alawi dibantu
Hizbullah Libanon dan Syiah 12 Imam Iran
2. Karya Ali Al-Shabuni
Di sela-sela kesibukannya mengajar dan berdakwah, Muhammad
Ali al-Shabuni, juga seorang ulama yang produktif menulis buku yang
mencapai kurang lebih 40 kitab dalam berbagai disiplin ilmu, baik di
bidang tafsir, hadits maupun syariah. Di antara karya-karya beliau:
1. Rawa‟i al Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min Al Qur‟an.
2. Al-Tibyan fi „Ulum Al Qur‟an
3. Al Nubuwah wa Al Anbiya‟
11
4. Qabasun min Nur Al Qur‟an
5. Min Kunuz al-Sunnah; Dirisat Adabiyah wa Lughawiyyah
min al-Hadis al-Syarif)
6. Al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah
7. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
8. Al-Tibyan fi „Ulum al-Qur‟an
9. Shafwah al-Tafasir.
3. Metode Dan Corak Penafsiran Dalam Kitab Shafwah Al-Tafasir.
Metode penafsiran al-Shabuniy dalam Safwah al-Tafâsîr
adalah metode tahlîlî. Pembuktiannya dengan menggunakan dua
indikator: Pertama, penggunaan langkah-langkah metode tahlîlî
dalam penafsirannya yaitu: Menetapkan kelompok ayat yang akan
ditafsirkan, menganalisis kosa kata dari sudut pandang bahasa Arab,
menjelaskan asbâb al-nuzûl, mengungkap kajian aspek kebahasaan
al-Qur‟an dari segi balaghah, melakukan kajian munâsabah suatu
ayat dengan ayat-ayat sekitarnya, memaparkan kandungan ayat secara
umum, manafsirkan ayat (al-tafsîr wa al-bayân), melakukan istinbâth
hukum dalam artian menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat
yang luas. Kedua, pembahasan dalam tafsir tersebut runtut sesuai
dengan urutan mushaf al-Qur‟an, yaitu dari awal surah al-Fâtihah
sampai akhir surah al-Nâss.
Corak penafsiraan dalam Safwah al-Tafâsîr adalah adabi al-
ijtima’i, hal tersebut terlihat dari penafsiran al-Shabuniy yang selalu
mengkaji setiap ayat dengan menggunakan pendekatan sastra atau
kebahasaan. Kemudian al-Shabuniy menjelaskan faedah atau hikmah
ayat yang ditafsirkan.7
D. SAYYID QUTHB
1. Biografi Sayyid Quthb
Sayyid Quthb lahir di kampung Musyah, salah satu provinsi Asyuth,
di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906 M. Nama lengkap
beliau adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain al-Shazili. Sayyid Quthb
tumbuh dalam keluarga yang taat pada ajaran Islam. Sayyid Quthb
mempunyai empat saudara kandung, saudara kandung pertamanya adalah
Nafisah, saudara perempuannya ini lebih tua tiga tahun darinya. Berbeda
dengan saudara-saudaranya yang lain yang berprofesi sebagai penulis,
Nafisah lebih memilih menjadi aktivis Islam dan menjadi syahidah.
Ayah Sayyid Quthb bernama Al-Haj Quthb ibn Ibrahim, beliau
seorang petani terhormat yang relatif berada dan menjadi anggota
Komisaris Partai Nasional di desanya. Rumahnya dijadikan markas bagi
kegiatan politik partainya. Di sana dijadikan juga sebagai tempat rapat-
rapat penting yang diselenggarakan baik yang dihadiri oleh semua orang,
maupun yang sifatnya rahasia dan hanya dihadiri oleh orang-orang
tertentu.8
Ibunya berasal dari keluarga yang terkemuka dan taat beragama.
Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelebihan sekaligus kaya dan
berpendidikan tinggi. Ibu Sayyid Quthb mempunyai empat orang
saudara, dua diantaranya adalah alumnus-alumnus al-Azhar. Salah
7
Rahmad Sani, “karakteristik penafsiran Muhammad ‘ali al-shabuniy dalam kitab shafwah
al-tafâsîr”. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No. 1,
2018. Hlm 38
8
Nuim Hidayat, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta:GEMA INSANI PRESS
2005),15-17.
13
seorang diantaranya adalah Ahmad Husain Utsman, yang meninggalkan
pengaruh besar pada diri Sayyid Quthb, karena Sayyid Quthb pernah
tinggal bersamanya di Kairo.
Sayyid Quthb bersekolah di daerahnya selama empat tahun dan ia
mampu menghapal Alquran ketika berusia sepuluh tahun.
Pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang Alquran dalam konteks
pendidikan agama, tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat pada
hidupnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, lalu melanjutkan
ke Kairo di Madrasah Sanawiah pada tahun 1921 dengan tinggal bersama
pamannya, Ahmad Husain Utsman. Selanjutnya Sayyid Quthb
melanjutkan studinya di Madrasah Mu’allimin Kairo tahun 1925 selama
tiga tahun dan alumninya mendapat ijazah kafa’ah (kelayakan mengajar).
Pada tahun 1933, dia masuk kuliah ke Dār al-Ulūm dan memperoleh
gelar sarjana dalam bidang sastra sekaligus gelar diploma dalam bidang
pendidikan. Pendidikan dalam bidang sastra inilah yang kelak
menjadikan Sayyid Quthb, selain sebagai seorang pemikir juga
merupakan seorang sastrawan. Hal ini dapat dilihat dari buku-bukunya
yang banyak diwarnai dengan gaya bahasa dan sastra. Ketika kuliah ia
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Abbas Mahmud al-‘Aqad yang
cenderung pada pendekatan pemikiran barat.
Sejak masuk sekolah dasar, Sayyid Quthb telah menghafal Alquran
dengan tekun. Ia juga mengikuti lomba hafalan Alquran di desanya,
Musyah. Ia dengan kemampuannya yang menakjubkan mampu
menghafal Alquran dengan akurat dalam waktu tiga tahun. Ia mulai
menghafal umur delapan tahun dan menyelesaikan hafalan Alquran
dengan sempurna pada umur sebelas tahun.
Dari pengetahuannya yang mendalam tentang Alquran dan sastra,
akhirnya Sayyid Quthb membuat karya at-Tashwir al-Fanni al-Qur’an.
Dalam bukunya ini, Quthb mengemukakan tentang keindahan atau
ilustrasi artistik dalam Alquran (at-Tashwir al-Fanni), Sayyid Quthb
berkata, “Ia adalah sebuah instrumen yang terpilih dalam gaya Alquran
yang memberikan ungkapan dengan suatu gambaran yang dapat
dirasakan dan dikhayalkan mengenai konsep akal pikiran, kondisi
kejiwaan, peristiwa nyata, adegan yang dapat ditonton, tipe manusia dan
juga tabiat manusia. Kemudian ia meningkat dengan gambaran yang
dilukiskan itu untuk memberikan kehidupan yang menjelma atau aktivitas
(gerak) yang progresif.9
Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya al-‘Adâlah
al-Ijtimâ’iyah fî al-Islam (Keadilan Sosial di dalam Islam) kemudian
disusul Fî Zhilâl al-Qur’an (Di bawah Naungan al-Qur’an) yang
diselesaikan di dalam penjara.
2. Metode Penafsiran Dalam Kitab Fi Zhilal Al-Qur’an
Secara umum, metode penafsiran yang digunakan oleh Sayyid
Quthb adalah metode tafsîr bi ar-ra'yi, di mana corak pemikiran dan
pemahaman Sayyid Quthb terlihat lebih dominan dalam upayanya
menafsirkan al-Qur'an. Sayyid Quthb masih memperhatikan batasan-
batasan syari'ah dalam menafsirkan al-Qur'an. Ia tidak lantas
mengesampingkan apa yang telah menjadi aturan tetap Allah swt. dan
tuntunan Rasulullah saw. sehingga tafsirnya tidak bertentangan
dengan kaidah agama.
Hanya saja, sesuai dengan latar belakang kehidupan beliau
yang notabene merupakan pengikut aktif/ pimpinan gerakan ikhwanul
muslimin, maka tak heran jika pembahasan mengenai jihad lebih
banyak ia tekankan dalam buku tafsirnya tersebut. Sayyid Quthb
9
Asep rohmat, Teknik Taswir Sayyid Quthb dan Penerapannya pada Ayat-ayat Sedekah
dalamTafsir Fi> Zhil>l al-Qur‟an, (Bandung: 2012), 67.
15
menganggap bahwa Allah swt. menciptakan manusia semata-mata
untuk selalu berjuang di jalan-Nya. Apapun yang dilakukan oleh
manusia selain jihad adalah sia-sia.
Adapun sistematika penulisan tafsir yang digunakan dalam
buku Fî zhilâl al-Qur'an adalah sebagai berikut.
a. Sayyid Quthb memulai tafsirnya dengan menyusun,
mengelompokkan, dan mengaitkan ayat-ayat yang
berhubungan terlebih dahulu.
b. Menjelaskan maksud dari ayat secara global, biasanya
dengan menyebutkan sebab turunnya ayat jika ada.
c. Menafsirkan kandungan ayat dengan menyebutkan ayat
lain/ hadits yang senada, membahas arti ayat dari segi
bahasa, menegaskan hal-hal yang dianggap penting dan
berhubungan dengan perilaku manusia, meluruskan
interpretasi keliru yang berkembang di masyarakat,
diakhiri dengan mencoba memaparkan bentuk aplikasi ayat
dalam kehidupan sosial masyarakat
E. WAHBAH AZ-ZUHAYLI
1. Biografi Wahbah Az- Zuhayli
Wahbah az-Zuhayli lahir di Dair ‘Atiyah yang terletak dipelosok kota
Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/1932 M. Nama Lengkapnya
Wahbah bin Mustafa az-Zuhayli. Ia putera syaikh Musthafa az-Zuhayli,
seorang petani sederhana nan alim, hafal al-Qur’an, rajin beribadah, dan
gemar berpuasa. Dibawah bimbingan ayahnya , Wahbah mengenyam
dasar-dasar agama Islam . Setelah itu, ia bersekolah di Madrasah
Ibtidaiyah di kampungnya, hingga jenjang pendidikan formal berikutnya.
Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas Shari’ah
Universitas Damaskus. Tahun 1956 M. ia meraih gelar doktor dalam
bidang Shari’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo. 10
2. Karya-karyanya
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika
dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah.
Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia
merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini,
mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti.
diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut :
1. Athar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dar
al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2. Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadithah,
Damsyiq, 1967.
4. Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsiq,
1969.
5. Nazariat al-Daman, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970.
10
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 2008, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani), 174
11
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/sekilas-tentang-tafsir-munir.
html
17
6. Al-Ushul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-
Abassiyah, Damsyiq, 1972.
7. Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, Beirut,
1981.
8. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (9 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq,
1984.
9. Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq,
1986.
10. Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami, (Muassasah al-Risalah, Beirut,
1987.
11. Tafsir al munir
3. Metode Penulisan Tafsir Al- Munir
Tafsir Munir pada metode pembahasannya yang secara merata,
urut dan tuntas mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nas,
berdasarkan urutan surah dalam al-Mushaf al-Usmani. Hal ini sangat
mempermudah dalam memahami maksud dan penjelasan setiap surah
yang ada didalam tafsir Munir.
Tafsir Munir menggunakan metodologi bi al-Ma’tsur dan al-
Ra’yi. Bi al-Ma’tsur yakni menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-
Qur’an, menafsirkan dengan hadith Nabi, riwayat dari para Sahabat,
Tabi’in, dan Tabi’u at-Tabi’in. Metodologi ini adalah metodologi
terbaik dalam manafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan
oleh Shaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Ibnu Kathur, dan Imam al-
Zarkashi. Beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang
sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang
berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat.12
12
Moch. Yunus, “Kajian Tafsir Munir Karya wahbah Az-Zuhayli”, .Humanistika, Volume
4, Nomor 2, Juni 2018. Hlm 65.
F. AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI
1. Biografi Ahmad Musthafa Al- Maraghi
13
Abdul Jalal, H.A, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,
Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1985, hal.109
19
menjadi ulama dan intelektual yang senantiasa mengabdikan dirinya
untuk masyarakat bahkan mendapat kedudukan penting di jajaran
pemerintah Mesir. Hal itu terbukti pada 4 (empat) orang puteranya
yaitu,
1. Ulum al-Balaghah
2. Hidayahnya al-Thalib
3. Tahzib al-Taudhih
14
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal 696
21
4. Buhut wa Ara’
6. Mursyid al-Tullab
9. Al-Diyanat wa al-Akhlak
10. Tafsir al-Maraghi, merupakan karyanya yang terbesar
3. Metode Dan Corak Penafsiran Dalam Tafsir Al- Maraghi
1) Segi Sumber Tafsirnya
Dari segi sumber penafasirannya, metode yang digunakan oleh
al- Maraghi untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam tafsirnya
ialah dengan menggabungkan antara metode bil Ma’tsur dan
metodebi Ra’yi atau disebut juga dengan metode bil Iqtirani.
2) Segi Cara Penjelasannya
Dari segi cara penjelasannya metode yang digunakan oleh al-
Maraghi dalam tafsirnya adalah Muqarin. Dalam menafsirkan ayat
beliau seringkali mengemukakan penafsiran yang dikemukakan
oleh ulama mengenai lafadz atau ayat, yang terkadang menguatkan
salah satu dari pendapat tersebut.
3) Segi Keluasannya Penjelasannya
Dari segi keluasan penjelasannya Al-Maraghi menggunakan
metode Itnabi Tafsili. Yakni, dengan caramenafsirkan ayat al-
Qur’an secara mendetail rinci, dengan uraian-uraian yang panjang
lebar, sehingga cukup jelas dan terang.
4) Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan Sedangkan dari
segi sasaran dan tertib ayatnya, al-Maraghi menggunakan
metodebi al-Tahlili. Yakni dengan mendeskripsikan dan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengikuti tata tertib dan
urutan ayatayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al-
Fatihah hingga akhir surat an-Nass.
5) Corak Penafsiran
Dari aspek kecenderungan atau corak yang paling dominan al-
Maraghi memeberikan warna tafsirnya dengan al-Adabi al-
Ijtima’i. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Maraghi dalam
penafsiran al-Qur’an mengikuti corak yang digagas oleh
Muhammad Abduh yaitu al-Adabī al- Ijtimā’ī.15
G. THANTAWI JAUHARI
1. Biografi Thantawi Jauhari
Syeikh Thantāwī bin Jauhārī al-Misri lahir pada tahun 1287
H/ 1862 M, di desa’Iwadhillah Hijazi bagian Timur Mesir.1Adapun
kondisi social ekonomi desa tersebut berjalan sebagaimana layaknya
desa di sekitar kota Mesir, begitu juga aktifitas yang dilakukan oleh
penduduknya, yaitu dengan bekerja keras membanting tulang untuk
mencukupi kehidupan mereka masing-masing. Di antara mata
pencarian yang menonjol pada saat itu adalah profesi sebagai petani.
Thanthawi Jauhari dilahirkan dalam sebuah keluarga petani, sehingga
aktifitas masa kecilnya sering membantu oaring tuanya sebagai
petani. dan wafat pada tahun 1358/1940 M, ia adalah salah seorang
15
Fithrotin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa Al Maraghi Dalam
Kitab Tafsir Al Maraghi” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Volume 1
Nomor 2 Desember 2018. Hlm 117
23
pemikir dan cendekiawan Mesir ada yang menyebutnya sebagai
seorang filosof Islam.
Dalam kehidupannya, sejak kecil beliau dikenal sebagai sosok
yang sangat rajin dan juga mencintai agamanya. Meskipun dilahirkan
dari kalangan keluarga petani yang bisa dikatakansangat sederhana,
namun tidak mengundurkan semangatnya untuk terus berjuang dalam
menuntut ilmu. Pendidikannya dimulai di Desa al-Ghar, dan bahkan
semangat untuk belajarnya dari waktu ke waktu semakin menggebu.
Di sisi lain beliau turut membantu orang tuanya sebagai petani di
desanya. Thanthawi tidak hanya belajar di sekolahnya saja, melainkan
juga belajar kepada orang tuanya sendiri beserta pamannya, yakni
Syaikh Muhammad Syalabi
25
Pada tahun 1912, Thanthāwī Jauhārī diangkat sebagai dosen
di al-Jami‘ah al-Mishriyyah dalam mata kuliah filsafat Islam. Selain
itu, dia juga aktif menulis dalam rangka menunjang dan memberikan
semangat terhadap gerakan kebangkitan dan kehidupan umat, dan
tulisan-tulisannya tersebut banyak dimuat di Koran Al-Liwa.
a. Jawāhir al-Ulūm.
b. Al-Nidhām wa al-Islam.
c. Al-Tāj wa al-Marsha.
e. Aina al-Insān.
f. Ashlu al-Ālam.
g. Al-Hikmah wa al-Hukamā.
3. Metode Penafsiran
27
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Tanthawi menggunakan metode
tahlili dengan corak/nuansa penafsiran‘ilmi, karya tafsirnya berbeda
dengan yang lain, karena kebanyakan penafsiran yang berkembang
pada masanya adalah penafsiran yang lebih menekankan aspek
kebahasaan(penjelasan kosa kata, struktur bahasa, dan gramatikanya),
sehingga terpaku pada analisa lafaz.
4. Karakteristik Tafsir al-Jawahir
1. Secara metodologi penafsiran, banyak menekankan pada analisis
spirit dan pandangan dunia al-Qur’an.
2. Dari metode penafsiran di atas memberikan karakteristik pada
tafsir ini yang lebih menampilkan aspek ilmiah (saintifik) dan
dikarenakan hal tersebut Thantawi banyak merujuk pada
pemikiran dan karya filosof klasik-modern, muslim-non muslim,
dan juga hasil-hasil penelitian para ilmuwan Barat modern,
bahkan Injil sekalipun.
3. Tidak banyak terlibat dalam perdebatan teologis, fiqhiyah,
ataupun kebahasaan.
4. Memberikan gambaran yang transparan atas fakta-fakta ilmiah
kepada pembaca dengan meletakkan ilustrasi gambar-gambar,
tumbuhan, hewan, pemandangan alam, eksperimen ilmiah, peta
serta tabel ilmiah. 16
16
Armainingsih, “STUDI TAFSIR SAINTIFIK: Al-Jawahir Fi Tafsr Al-Qur’an Al-Karim
Karya Syeikh Thantawi Jauhari”. Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016.hlm 172
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
29
pembahasannya yang secara merata, urut dan tuntas mulai dari surah al-
Fatihah sampai dengan surah an-Nas, Tafsir Munir menggunakan
metodologi bi al-Ma’tsur dan al-Ra’yi.
Al-Maraghi bernama lengkap Ahmad Musthafa bin
Muhammad bin Abdul Mun’in al-Qadhi al-Maraghi. Dari segi sumber
penafasirannya, metode yang digunakan oleh al- Maraghi untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam tafsirnya ialah dengan
menggabungkan antara metode bil Ma’tsur dan metodebi Ra’yi atau
disebut juga dengan metode bil Iqtirani.
Syeikh Thantāwī bin Jauhārī al-Misri lahir pada tahun 1287
H/ 1862 M, di desa’Iwadhillah Hijazi bagian Timur Mesir. Dalam
menyusun kitab tafsirnya, Tanthawi menggunakan metode tahlili
dengan corak/nuansa penafsiran‘ilmi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jalil, H.A. DR, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi
Perbandingan, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1985
Ahmad Tholabi Kharlie, “Metode Tafsir Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Manâr”. TAJDID. Vol. 25, No. 2,
2018
Al- Tanahi, Thahir (ed.). Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh.
Kairo: Dar al-Hilal, t.t.
Ali, A. Mukti. Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan,
dan Mohammad Iqbal. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XII, 2000.
Al-Rumi, Fahd Abd Rahman al-Rumi. Ittijah al-Tafsir fi al-Qarn
al-Rabi‟ „Asara (Saudi Arabia: t.th)
Armainingsih, “STUDI TAFSIR SAINTIFIK: Al-Jawahir Fi Tafsr Al-Qur’an
Al-Karim Karya Syeikh Thantawi Jauhari”. Jurnal At-Tibyan Vol. I
No.1 Januari–Juni 2016
Fithrotin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa Al
Maraghi Dalam Kitab Tafsir Al Maraghi” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al
Qur’an dan Tafsir, Volume 1 Nomor 2 Desember 2018
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani. 2008.
Sani, Rahmad. “karakteristik penafsiran Muhammad ‘ali al-shabuniy dalam
kitab shafwah al-tafâsîr”. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran
Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No. 1, 2018
Shihab, Muhammad Quraish. Studi Kritis Tafsîr al-Manâr Karya Muhammad
Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Jakarta: Pustaka Hidayah,
2004.
31
Yunus, Moch. “Kajian Tafsir Munir Karya wahbah Az-Zuhayli”,
.Humanistika, Volume 4, Nomor 2, Juni 2018.