Mukidi ( 19106112020)
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jakarta
ABSTRAK
Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu badan sebagai tempat warga masyarakat mencari
keadilan dan harapan dapat memperoleh keadilan itu. Sebab adakalanya aparat pemerintah
dalam menyelenggarakan pemerintahan, membuat keputusan yang melampaui batas
wewenangnya (Detournement de pouvior) atau ada kekeliruan dalam menerapkan peraturan
hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang konkret (Abus de droit), sehingga
akibatnya ada warga masyarakat yang dirugikan oleh keputusannya itu. Peradilan tata usaha
negara ini mempunyai wewenang yudikatif, yaitu menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu akses
keadilan yang melayani manusia, tentunya sekedar mesin hukum yang di bentuk oleh
ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan merupakan satu intuisi, yang nampak
sebagai suatu organisasi yang mempunyai sifat interdepensi dengan banyak faktor kehidupan
hukum dari lembaga peradilan itu sendiri, mapun faktor-faktor sosial lainnya. tulisan ini akan
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian untuk
memahami kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, substansi artikel ini memberikan
petunjuk dan contoh bagaimana sistem hukum Peradilan Tata Usaha Negara menjadi bagian
dalam penyelenggaraan negara. Tujuan penulisan ini dibuat untuk mengetahui bagaimana
Peradilan Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan maksimal untuk melaksanakan
penyelenggaraan negara serta pelayanan publik yang optimal.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu badan sebagai tempat warga masyarakat
mencari keadilan dan harapan dapat memperoleh keadilan itu 1. Sebab adakalanya aparat
pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, membuat keputusan yang melampaui
batas wewenangnya (Detournement de pouvior) atau ada kekeliruan dalam menerapkan
peraturan hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang konkret (Abus de droit),
sehingga akibatnya ada warga masyarakat yang dirugikan oleh keputusannya itu.
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia,
tentunya sekedar mesin hukum yang di bentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga
peradilan merupakan satu intuisi, yang nampak sebagai suatu organisasi yang mempunyai
sifat interdepensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dari lembaga peradilan itu sendiri,
mapun faktor-faktor sosial lainnya4
Dalam eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara telah dinyatakan dengan terang dan
jelas dalam peraturan perundang-undangan yakni:
1
Mustafa Barchan, SH “SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA” PT. CITRA ADITYA BAKTI,
Bandung. Cetakan Pertama 2001. Hal 109
2
Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
3
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
4
Mustafa Barchan, SH “SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA” PT. CITRA ADITYA BAKTI,
Bandung. Cetakan Pertama 2001. Hal 110
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
b. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan KeDua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara dapat memberikan kepastian hukum, kebenaran, dan
ketertiban dan keadilan melalui putusan-putusannya, serta dari putusan-putusan Peradilan
Tata Usaha Negara dapat memberikan manfaat kepada pencari keadilan (orang/ badan hukum
perdata) dan Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara.
Pada tingkat praksis, idea atau harapan tentang akses ke keadilan, adalah sebagaimana
tertera pada ketentuan UU No 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yo
UU No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat 2, dimana peradilan
(sebagai lorong/ akses ke keadilan) yang diharapkan adalah “Sederhana,cepat dan biaya
ringan” 7 Makna dari credo peradilan yang “Sederhana,cepat dan biaya ringan” tersebut,
dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 2 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
nyatakan sebagai berikut:
Berdasar kepada credo lembaga peradilan di atas, seharusnya setiap sistem peradilan
harus mampu menyediakan satu sistem, yang mampu memberikan jaminan, agar credo
jaminan biaya ringan, cepat dan sederhana tersebut dapat terwujud. Setiap sistem yang ada di
peradilan, harus disusun sedemikian rupa, sehingga masyarakat dapat menikmati akses
peradilan ,dengan kualitas sebagaimana dijanjikan dalam credo tersebut.
PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia, tentunya bukan sekadar
mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan
merupakan satu institusi, yang nampak sebagai suatu organisasi, yang mempunyai sifat
interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial. Peradilan merupakan
kesatuan dari konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya,
serta gerak pelaksanaan dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial
lainnya. PTUN sebagai suatu lembaga yang lahir pada masa perkembangan sistem. hukum
modern, telah dikembangkan berdasarkan kebutuhan sistem hukum modern yang terdiri
proses-proses formal. Proses-proses formal ini (bersama-sama dengan proses informal) 7,
diantaranya adalah birokrasi,administrasi, transformasi, maupun sub-sub sistem, membentuk
jalinan prosedur yang merupakan jantung dari hukum8. Keberadaan subsistem dalam PTUN
ini meliputi banyak hal di antaranya:
Sub-sub sistem tersebut ,secara sinergis membentuk satu jalinan sistem PTUN, oleh
karenanya di antara subsistem tersebut harus bersifat integratif, dan tidak boleh bersifat
kontradiktif satu dengan lainnya. Sifat integratif ini, didukung dengan kebutuhan untuk
6
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2007, Jakarta, hal 14
7
Lev,Daniel, Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia “Dalam Hukum dan Perkembangan
Sosial” , (Jakarta ,Sinar Harapan, 1988) halaman 38
8
Nonet, Philipe dan Selznick,Philip, “Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi”, (Jakarta, HuMa, 2003)
halaman 35
mencapai tujuan akhir, dari sistem itu sendiri .yaitu berhasil memproses perkara yang masuk
dan menghasilkan produk putusan sesuai norma yang dianut oleh sistem9.
Dalam sistem peradilan yang birokratik, pencari keadilan selalu diminta menyesuaikan
diri dengan mesin hukum peradilan. Akibatnya paradigma peradilan yang seharusnya sebagai
“Pelayan atau abdi dari Masyarakat Hukum”, untuk mendapatkan keadilan hukum, justru
memposisikan sebagai “Tuan atau majikan dari Masyarakat Hukum”, pencari keadilan harus
tunduk dan mengikuti sistem peradilan yang ada. Padahal seharusnya apapun yang dilakukan
oleh sistem hukum , tidak dapat mengabaikan kedudukan manusia, yang berada di pusat
sistem. Prinsip utama peradilan, harus didasarkan kepada prinsip hukum ,yang berperan
melayani manusia, sehingga seharusnya “hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya.10
Dalam melakukan proses berjalannya Peradilan Tata Usaha Negara ada beberapa
asas-asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
1. Asas praduga rechtmatig, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan selalu
harus dianggap benar rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan
tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang digugat.
2. Asas pembuktian bebas hakim, yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan Pasal 1865 BW dengan ketentuan Pasal 100 UU No.5/1986
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis), keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah
badan atau pejabat tata usaha negara yang menguasai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar dikeluarkan keputusan yang
digugat. Sedangkan pihak penggugat adalah orang perorangan atau badan hukum
perdata yang dalam posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui betul
peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya
keputusan yang digugat.
4. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat (ergo omnes).
Sengketa TUN adalah sengketa diranah publik, dimana akibat yang timbul dari
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap akan mengikat
9
Amirin,Tatang ,”Pokok-Pokok Teori Sistem”, (Jakarta ,Rajawali Pers, 1996) halaman 23-24
10
Yos Johan Utama, “Peradilan Tata Usaha Yang berwibawa Universitas Diponogoro”, 2010, hlm. 7
tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan asas putusan tersebut
akan mengikat siapa saja11
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang-undang ini diberikan kemudahan bagi
warga masyarakat penacari keadilan, antara lain12:
a. Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan
untuk merumuskan gugatannya.
b. Warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan
kesempatan untuk berperkara secara cuma-suma
c. Apabila terdapat kepentingan tergugat yang cukup mendesak, atas permohonan
pengingat, Ketua Pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan dengan
acara cepat
d. Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang paling dekat dengan kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan
yang berwenang mengadilinya.
Dalam kaitannya dengan PTUN, masalah lingkungan sosial politik ini menjadi sangat
penting pengaruhnya. Hal ini mengingat pihak yang dihadapi oleh PTUN, adalah pejabat atau
badan tata usaha negara, yang notabene adalah penguasa. Pengadilan dalam menghadapi
penguasa, tentu membutuhkan suatu perangkat sistem khusus, yang mampu untuk mengatasi
unsur kekuasaan itu sendiri. Apabila pengadilan tidak mampu mengatasi kekuasaan tersebut,
sangat besar kemungkinan fungsi pengadilan tersebut akan mengalami kegagalan
menjalankan fungsinya.13
Mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di indonesia sejak awal mulanya dan merupakan
tonggak sejarah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan adanya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan
perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya
11
Darda Syahrizal, SH “Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara” Pustaka Yustisia,
Yogyakarta. Cetakan Pertama 2012. Hal 81-82
12
Rozali Abdullah, SH “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” CV Rajawali. Jakarta Utara . Cetakan
Kedua, Juli 1992. Hal 3
13
Yos Johan Utama, “Peradilan Tata Usaha Yang berwibawa Universitas Diponogoro”, 2010, hlm. 8
dilakuakan perubahan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan KeDua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. mengenai konsep rancangan undang-undang tentang hukum acara peradilan tata
usaha negara sebenarnya sudah lama dibahkan pada tahun 1948 sudah dibicarakan tentang
konsep rancangan hukum acara ini. Pada waktu itu, Rancangan Undang-undang ini disusun
oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH., kira-kira pada tahun 1948 atas perintah Menteri
Kehakiman Drs. Susanto Tirtoprodjo, SH di Yogyakarta sebelum ada penyerahan kedaulatan
oleh belanda pada penghabisan tahun 194914.
Lebih lanjut Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto mengirim surat pada
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Jakarta dengan Nomor:
R.07/PU/V/1982, tanggal 13 Mei 1982 perihal Rancangan Undang-undang tentang peradilan
dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana isi surat tersebut pada pokoknya “
untuk mohon dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan
persetujuan pada sidang 1981-1982. Selanjutnya untuk keperluan pembicaraan dalam
persidangan mengenai rancangan undang-undang tersebut, kami persilahkan Saudara
menghubungi Saudara Menteri Kehakiman “. Dan dalam surat tersebut tembusannya
disampaikan kepada Wakil Presiden, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman15.
Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tersebut
kepada DPR dan pada waktu itu DPR menyetujui.
Mengenai objek sengketa di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Keputusan fiktif
negatif berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1986. Subjek sengketa di Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu penggungat, tergugat, dan pihak ke-3 yang berkepentingan. Alur
atau proses di persidangan pengadilan tinggi tata usaha negara yaitu:
a. Pemeriksaaan pendahuluan:
1. Pemeriksaaan administarasi di kepaniteraan perkara di PTUN
2. Dismissal prosedur oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 62
Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
3. Pemeriksaaan persiapaan (Pasal 63 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
b. Pemeriksaan persidangan
1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
3. Replik (Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
5. Pembuktian (Pasal 100 Undang-Undang No.5 Tahun 1986) yang dapat
dijadikan alat bukti dalam persidangan adalah sebagai berikut: Surat atau
tulisan, Keterangan Ahli, Keterangan Saksi, Pengakuan Para Pihak,
Pengetahuan Hakim
17
Keppres Nomor 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
18
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
6. Kesimpulan (Pasal 97 aya Undang-Undang No.5 Tahun 1986t 1 Undang-
Undang No.5 Tahun 1986)
7. Putusan (Pasal 108 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)19
Dalam hal prosedur pemeriksaaan persiapan itu dilakukan Hakim sebelum memeriksa
pokok perkara dan dilakukan tidak dimuka sidang dimuka umum. Dalam periode
pemeriksaan persiapaan itu, dilakukan pengumpulan dokumen-dokumen atau informasi-
informasi resmi yang diperlukan berkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa dari para
pihak20
Jadi ada kalanya penggugat atau kuasa hukum penggugat dalam membuat gugatan
kurang jelas, maka hakim dalam hal ini mempunyai kewaiban untuk menyampaikan kepada
penggugat atau kuasa hukum penggugat untuk melengkapi atau memperbaiki gugatannnya
sehingga gugatannya menjadi terang dan jelas. Mengenai jangka waktu untuk memperbaiki
gugatan tersebut diberikan oleh Undang-Undang adalah 30 hari , namun jika dalam jangka
waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sedangkan penggugat tidak melakukan
perbaikam terhadap gugatan dan bahkan penggugat entah kemana perginya maka dalam hal
yang keadaan demikian itu hakim dapat menyatakan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima maka penggugat tidak dapat melakukan upaya hukum namun langkah yang dapat
ditempuh oleh penggugat adalah dengan mengajukan gugatan baru.
Adapun tata cara pembayaran ganti rugi yang menjadi beban APBN, berdasarkan.
Keputusan Menteri Keuangan RI No 1129/KM.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti
Rugi Pelaksanaan Putusan PTUN, prosedurnya dimulai dengan pengajuan permohonan Ketua
PTUN atas permohonan Penggugat kepada Menteri Sekretaris Jenderal atau Ketua Lembaga
yang bersangkutan yang dikenakan ganti rugi, dilampiriputus an Pengadilan. Atas
permohonan Ketua PTUN tersebut, maka Menteri atau Sekretaris Jenderal atau Ketua
19
http://ptun-jambi.go.id/index.php?option=com
20
Nur Yanto, SH., MH. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Mitra Wacana Media,Jakarta. 2014.
Halaman 55
Lembaga yang dikenai ganti rugi, mengajukan permohonan Surat Kuasa Otorisasi (SKO)
kepada Menteri Keuangan Direktur Jenderal Anggaran. Menteri Keuangan cq Direktur
Jenderal Anggaran memeriksa permohonan berkas permohonan SKO tersebut. Apabila tidak
ada keberatan atau kekurangan berkas, Menteri keuangan RI Direktur Jenderal Anggaran
menerbitkan SKO atas beban Bagian Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran Belankja
Negara Rutin. SKO Asli disampaikan kepada yang berhak21
E. METODE
F. STUDI KASUS
1. Direktur PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok
F Sirait
2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang
MELAWAN :
21
Hadjon, “ Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks UU Nomor 3o Tahun 2014 Tentang Administrasi
Negara” Universitas Airlangga, 2015, hlm. 15
22
Nida Zahra Hana, Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatur Transportasi Umum Berbasis Teknologi Di Era
Industrialisasi, Prosiding Seminar Nasional Hukum Transendental 2019. Hlm. 83
Menurut S. Prajudi Atmosudidjo, birokrasi (bureavcracy) atau Administrasi Negara atau tata
Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu:
Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas pejabat
birokrasi atau aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan
keputusan-keputusan administratif yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis
penyelenggaraan, dan tindakan administratif, yang bersifat organisasional, manajerial,
informasional, atau operasional. Keputusan maupun tindakan pejabat birokrasi itu dapat
dilawan melalui berbagai bentuk peradilan Administrasi Negara.
Adapun yang dikategorikan pejabat birokrasi atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN)
menurut ketentuan pasal I angka 8 UU No 51 tahun 2009, adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian yang menjadi
patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran
pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintah, maka
oleh Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara/ pejabat birokrasi.
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud diatas adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
per-undang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Maka dengan hal itu, Penggugat mengajukan sengketa ini ke PTUN Jakarta.
Kompetensi Pengadilan TUN terdapat dua macam kompetensi, yaitu:
Dalam kasusu ini, penetapannya yaitu Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/
BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa
Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam Kasus pihak yang mengeluarkan keputusan adalah Kepala BPN tentang Pembe-
rian Jangka Waktu HGU atas tanah. Sehingga dalam Kasus unsur ini terpenuhi.
Dalam Kasus isi dari keputusan yang dikeluarkan Kepala Surat Keputusan Kepala BPN
tergugat I yang mengeluarkan keputusan tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah
yang terletak di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sehingga dalam Kasus unsur ini telah terpenuhi.
d. Bersifat Konkrit
Dalam Kasus Keputusan Tata Usaha Negara yang dilahirkan oleh Tergugat I bersifat
konkrit karena berwujud yaitu Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 ten-
tang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa
e. Bersifat individual
Dalam Kasus keputusan yang dilahirkan oleh Tergugat I bersifat individual karena tidak
ditujukan kepada umum melainkan hanya kepada objek tanah yang terletak di desa
Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga unsur ini
terpenuhi.
f. Bersifat Final
Dalam Kasus, keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat I bersifat final karena tidak
memerlukan per-setujuan dari instansi atasan maupun instansi lain mengingat kapasitas
Tergugat I selaku Kepala BPN.
Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka jelas dan tepat apabila atas keputusan
yang dilahirkan Tergugat I. Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN.
Setelah merasa terpenuhi kewenangan untuk mengajukan perkara ini ke PTUN, maka
Drs. Dolok F Sirait mengajukan gugatan terhadap Kepala BPN. Pasalnya, Kepala BPN
tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan secara sepihak
SK, karena penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas
2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah
obyek Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah
yang terletak di Ka-bupaten Bogor atas nama PT Buana Estate. Penggugat juga
menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena telah
memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang telah menguasai dan
menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.
Pada sidang ini dihadiri oleh penggugat dan tergugat. Berdasarkan pasal 109 ayat 1 UU
No. 5 Tahun 1986 maka Putusan Pengadilan harus memuat:
1. Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
2. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pi-
hak yang bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas.
Dalam putusan kasus ini, terhadap ketiga hal diatas telah terpenuhi. Majelis hakim
memutuskan dalam perkara ini sebagai berikut:
2. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14 hari
untuk menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut.
Hal ini dikarenakan pihak penggugat dalam perkara ini merupakan pihak yang kalah,
maka sesuai dengan Pasal 110 UU No. 9 Tahun 2004, yaitu Pihak yang dikalahkan untuk
seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara. Yang termasuk dalam biaya
perkara ialah :
G. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Mustafa Barchan, SH “Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia” PT. CITRA ADITYA
BAKTI, Bandung. Cetakan Pertama 2001. Hal 109
2. Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
3. Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
4. Mustafa Barchan, SH “Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia” PT. CITRA ADITYA
BAKTI, Bandung. Cetakan Pertama 2001. Hal 110
5. Tjandra, “Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara”
Universitas Gajah Mada, 2011, hlm 85
6. Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2007, Jakarta, hal 1
7. Lev,Daniel, Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia “Dalam Hukum dan
Perkembangan Sosial” , (Jakarta ,Sinar Harapan, 1988) halaman 38
8. Nonet, Philipe dan Selznick,Philip, “Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi”, (Jakarta, HuMa,
2003) halaman 35
9. Amirin,Tatang ,”Pokok-Pokok Teori Sistem”, (Jakarta ,Rajawali Pers, 1996) halaman 23-24
10. Yos Johan Utama, “Peradilan Tata Usaha Yang berwibawa” Universitas Diponogoro, 2010, hlm.7
11. Darda Syahrizal, SH “Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara” Pustaka
Yustisia, Yogyakarta. Cetakan Pertama 2012. Hal 81-82
12. Rozali Abdullah, SH “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” CV Rajawali. Jakarta Utara .
Cetakan Kedua, Juli 1992. Hal 3
13. Yos Johan Utama, “Peradilan Tata Usaha Yang berwibawa” Universitas Diponogoro, 2010, hlm. 8
14. Benjamin Mangkoedilaga, SH. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Orientasi
Pengenalan” Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. 1983. Halaman 81
15. Benjamin Mangkoedilaga, SH. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Orientasi
Pengenalan” Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. 1983. Halaman 138
16. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang.
17. Keppres Nomor 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
18. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
19. http://ptun-jambi.go.id/index.php?option=com
20. Nur Yanto, SH., MH. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Mitra Wacana Media,Jakarta.
2014. Halaman 55
21. Hadjon, “ Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks UU Nomor 3o Tahun 2014 Tentang
Administrasi Negara” Universitas Airlangga, 2015, hlm. 15
22. Nida Zahra Hana, Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatur Transportasi Umum Berbasis Teknologi
Di Era Industrialisasi, Prosiding Seminar Nasional Hukum Transendental 2019. Hlm. 83