Disusun Oleh:
Muhammad Ridwan Rasyid (1910611225)
Kelas D
Fakultas Hukum
Jakarta
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah hukum perorangan & perkawinan sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi nilai ulangan tengah semester (UTS) ini yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT REFUND TIKET
PESAWAT DI TENGAH KONDISI PANDEMI COVID 19 (FORCE MAJEURE)”.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bambang Widarto, S.H.,
M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Udara dan Ruang Angkasa atas bimbingannya
dalam proses pembuatan makalah ilmiah ini.
Karya ilmiah ini memberikan panduan dalam pembelajaran Hukum Udara dan Ruang
Angkasa . Bagi mahasiswa/i untuk memahami mata kuliah Hukum Udara dan Ruang Angkasa
indonesia yang baik dan benar dan juga memahami Bentuk pertanggungjawaban maskapai
penerbagan terkait refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini.
Penulis menyadari bahwa makalah hukum perorangan & perkawinan ini masih jauh dari
kata sempurna karena keterbatasan waktu yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang
bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan dapat digunakan sebaiknya
sebagai referensi memahami pembahasan terkait.
Penulis
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
BAB II
Pembahasan
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat ketika menjalankan kehidupan sehari-hari pasti memerlukan alat yang bisa
memindahkan dirinya dari satu tempat ke tempat yang lain, baik jaraknya dekat ataupun jauh.
Alat itu dinamakan transportasi, transportasi merupakan alat yang digunakan untuk
memindahkan manusia atau barang dengan memanfaatkan alat anjgkut yang dapat digerakan
oleh kekuatan manusia ataupun hasil kerja mesin.1
Moda transportasi umum terdiri dari Transportasi Darat, Transportasi Laut dan
Transportasi Udara dalam hal ini yakni pesawat. semua moda transportasi ini sangat penting
dalam menjalankan roda kehidupan manusia bahkan juga sangat penting untuk menjalankan
moda perekonomian. Pada abad ke-21 ini Seluruh dunia dihebohkan dengan mewabahnya
Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang mewabah ke seluruh dunia, Indonesia tentu saja juga
terkena dampak yang besar dari adanya wabah ini. Moda transportasi terkena dampak yang
signifikan diawal mewabahnya virus ini, Semua sarana transportasi umum mengalami penurunan
dalam dipakai untuk kehidupan sehari-hari.2
Salah satu bisnis transportasi umum yang mungkin mendapatkan efek buruk dari wabah
Covid-19 ini ialah bisnis transportasi udara, bisnis penerbangan di dalam negeri menjadi mati
suri karena wabah ini. Bukan hanya maskapai penerbangan yang menjadi korban disini, pihak
pengelola bandara juga merasakan dampak dari wabah ini. Penerbangan ke luar negeri juga
sampai ditutup karena banyak negara mengadakan lockdown negaranya karena adanya wabah
1
Andriansyah, Manajemen Transportasi Dalan Kajian dan Teori, (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, 2015), hlm 1
2
Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, “Analisis Upaya Pemerintah Dalam Menangani Mudik Melalui
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pada Masa Covid-19”, Media Iuris” Vol. 3 No. 3,
Oktober 2020, hlm 278
ini, dalam satu bulan mewabahnya virus ini ke Indonesia, jumlah korban yang meninggal
mencapai 157 jiwa.3
Pandemi covid 19 ini banyak memberikan implikasi nyata ataupu dampak yang nyata
terhadap keadaan kehidupan manusia. Salah satunya adalah yakni dalam hal pembelian tiket
pesawat. Banyaknya pembatasan-pembatasan di tengah kondisi pandemic covid 19 ini atau
banyaknya restriksi dalam hal penerbangan (travel bun) yang dilakukan baik dalam negeri
maupun luar negeri mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penerbangan. Akibatnya adalah
banyaknya penerbangan yang dibatalkan sehingga pemberian ganti rugi atau kompensasi dan
ataupun penggantian harus dilaksanakan oleh maskapai penerbangan.
Pengembalian uang tiket pesawat dalam hal ini adalah refund akan diberikan secara
penuh dan dilaksanakan secepatnya apabila ada pembatalan keberangkatan yang disebabkan oleh
wabah covid-19, hal ini sudah disampaikan langsung oleh Dirjen Perhubungan Udara
Kemenhub.4 Dikarenakan Melonjaknya pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak
maskapai dikarenakan wabah Covid-19 membuat pihak maskapai maupun pihak agen penjualan
tiket kewalahan dan tentu saja karena permintaan refund yang tinggi membuat segala proses
pengembalian dana ini menjadi lebih lama dari pada biasanya.5
3
Tauratiya, “Overmacht: Analisis Yuridis Penundaan Pelaksanaan Prestasi Akibat Pandemi Covid-19”,
Mizani: 1 | Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan” Volume 7, No. 1, 2020, hlm 1-2
4
Ahmad Efendi (2020, April 30). Cara Refund atau Pengembalian Tiket Lion Air Akibat Pandemi Corona.
[Halaman Web]. Diakses dari https://tirto.id/cara-refund-ataupengembalian-tiket-lion-air-akibat-pandemi-
corona-ffSa. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2021
5
Dani M Dahwilani (2020, Juni 19). Badan Perlindungan Konsumen Ungkap Banyak Aduan Penolakan
Refund Tiket Transportasi. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.inews.id/finance/makro/badan-
perlindungan-konsumen-ungkap-banyakaduan-penolakan-refund-tiket-transportasi/. Diakses pada
Tanggal 27 Oktober 2021
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
PEMBAHASAN
Mengenai istilah dari teanggung jawab yang dalam hal ini adalah liability dapat kita
artikan sebagai tanggung gugat yang merupakan arti atau terjemahan dari aansprakelijkheid,
dan merupakan bentuk spesifik atau bentuk yang merinci dari tanggung jawab hukum yang
dipandang harus dan wajib membayar suatu kompensasi atau ganti rugi setelah adanya
peristiwa hukum tersebut.6 Menurut Frans G. Von der Dunk dari International Institute of Air
and Space Law - Leiden University istilah liability yang dipersamakan dengan
aansprakelijkheid dapat menimbulkan berbagai penafsiran: “Perhaps it may be added, that
the Dutch language, although not an authentic language as far as the Outer Space Treaty is
concerned, is also confusing in this respect. Whereas ‘responsibility’ should be translated as
“verantwoordelijkheid” and ‘liability’ as “aansprakelijkheid”, ‘international state
responsibility’ turns out to be always translated as “staatsaanprakelijkheid”.7
Mengenai dengan tentang Pelayaran. Konsep dasar persoalan tanggung jawab apabila
dihubungkan dengan suatu perbuatan melawan hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam prinsip tanggung jawab, yaitu: prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan.8 Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
(fault liability principle) dapat lebih dirinci menjadi: Pertama, tanggung jawab berdasarkan
kesalahan karena melakukan wanprestasi (tanggung jawab berdasarkan wanprestasi Kedua,
tanggung jawab berdasarkan kesalahan karena melakukan perbuatan melawan hukum, baik
seperti yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata berdasarkan putusan Hoge Raad
6
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.
258
7
R. Frans G. von der Dunk, “Liability Versus Responsibility in Space Law: Misconception or
Misconstruction?”, http://digitalcommons.unl. edu/spacelaw/4. Diakses pada tanggal 27 November 2021
8
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 21.
dalam kasus lindenbum versus cohen sejak tahun 1919 (tanggung jawab berdasarkan
perbuatan melawan hukum), maupun karena melanggar peraturan perundang-undangan
lainnya, seperti vicarious liability principle, liability based on fault principle, presumption of
liability principle maupun presumption of non- liability principle. Sedangkan prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan (no fault liability principle) dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu; strict liability principle dan absolute liability principle.
Perbedaan yang mendasar dari kedua prinsip tanggung jawab tersebut terletak pada
unsur kesalahan, artinya apakah diperlukan adanya unsur kesalahan dalam menuntut
tanggung jawab seseorang. Jika disyaratkan adanya unsur kesalahan maka berlakulah fault
liability principle, sedangkan no fault liability principle diberlakukan apabila tidak disyaratkan
adanya unsur kesalahan. Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis dapat dikemukakan
bahwa ada beberapa macam prinsip tanggung jawab yang dapat diberlakukan, yaitu:
KUH Perdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan debitur untuk
terbebas dari kewajiban bertanggung jawab, yaitu:
Force Majeure;
9
Malcolm Leder et al., 1996, Frameworks Consumer Law, Financial Times Pitman Publishing, London,
hlm. 102.
Kreditur sendiri telah lalai (ex
ceptio non adimpleti contractrus), dan;
Kreditur telah melepaskan haknya.
Unsur Kesalahan
Unsur Kerugian
10
3 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 203
teori tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah
tanggungannya.
11
Wiwoho Soedjono, 1980, Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta, hlm. 129
12
5 HMN. Purwosutjipto, 1987, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid III – Pengangkutan,
Djambatan, Jakarta, hlm. 52.
13
Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 5.
kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, kecuali
jika pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan tersebut sudah
diselenggarakan secara patut/layak.17 Apabila timbul kerugian dalam suatu
penyelenggaraan angkutan, maka berlakulah asumsi/anggapan bahwa pengangkut
berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Asumsi/anggapan
tersebut dapat ditiadakan/dikesampingkan apabila pengangkut dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut terjadi di luar kesalahannya atau di luar kesalahan
pegawainya, yang oleh Wiwoho Soedjono dikemukakan dalam kalimat kecuali
pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan telah diselenggarakan secara
patut/layak.
14
E. Suherman, 1980, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 37.
ketiga. kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.
Istilah prinsip tanggung jawab mutlak sering dipadankan dengan istilah strict
liability principle dan/atau absolute liability principle, padahal menurut Bin Cheng
ada perbedaan pokok antara kedua prinsip liability tersebut. Penggunaan istilah
absolute liability untuk pertama kalinya disampaikan oleh John Salmond pada tahun
1907, sedangkan strict liability dikemukakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926.15
Pendapat W.H. Win field tersebut didukung oleh G.H.L. Fridman karena banyaknya
alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk membebaskan diri dari kewajiban
bertanggung jawab (usual defences) dalam pelaksanaan absolute liability, walaupun
tidak diperlukan adanya unsur kesalahan. Menurut G.H.L. Fridman seperti yang
dikutip oleh Carrie da Silva, bahwa suatu sistem tanggung jawab tanpa kesalahan
yang disertai dengan berbagai pengecualian yang sudah secara umum diakui sebagai
Carrie da Silva, 2006, The Continuing Life of Rylands v Fletcher: a Comparative Analysis of the
15
Development and Enduring Use of the Rule in Rylands v Fletcher in England and Wales and the
Common Law World, Wadham College, Oxford, hlm. 4.
alasan untuk membebaskan tanggung jawab (usual defenses), lebih tepat disebut
sebagai strict liability.
Some authorities, however, believe that the term “strict liability” more properly
applies to cases involving a case-specific risk-utility balance not called for in
Rylands. Thus, for the purposes of this Article, and with due respect for the courts
and commentators that have used the term “strict liability,” this author adopts the
“absolute liability” wording as more conceptually useful. Currently, most states
generally accept the Rylands doctrine either by name or by a statement of law that
was derived from Rylands. As of 1984, Rylands was rejected by name in only seven
American jurisdictions: Maine, New Hampshire, New York, Oklahoma, Rhode
Island, Texas, and, for all practical purposes, Wyoming.16
Sebenarnya persoalan yang mendasar dalam suatu istilah terletak pada makna
yang terkandung di dalamnya. Mircea Mateescomatte seorang sarjana Prancis seperti
yang dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, menggunakan istilah objective liability
sebagai padanan strict liability untuk membedakannya dengan absolute liability,
dimana dinyatakannya bahwa: […] dalam ‘objective liability’ dimungkinkan tergugat
membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal ‘force majeure’ atau
‘contributory negligence of a third party’ (kerugian disebabkan oleh kesalahan pihak
ketiga), sedangkan dalam ‘absolute liability’ hal itu tidak mungkin.17
16
Thomas C. Galligan Jr., “Strict Liability in Action: The Truncated Learned Hand Formula”, Louisiana
Law Review, Vol. 52, No. 2 , November 1991, hlm. 325.
17
E. Saefullah Wiradipradja, Op.cit., hlm. 37.
2. Bagaimanakah Bentuk pertanggungjawaban hukum maskapai penerbagan terkait
refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini?
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya atau yang dalam hal ini
adalah maskapai penerbangan yang mana mempunyai tanggung jawab yang langsung
dilaksanakan olehnya. Tanggung jawab ini memiliki istilah tanggung gugat produk
(Product Liability). Product Liability ini ialah keadaan adanya kerugian yang dialami
oleh konsumen dan pihak produsen harus bertanggung jawab karena adanya kerugian
yang timbul.18 Dalam perusahaan penerbangan, kemungkinan adanya kerugian terhadap
penumpang merupakan hal yang sering terjadi. Risiko dalam industri jasa penerbangan
antara lain kecelakaan pesawat ataupun penundaan penerbangan sampai pembatalan
penerbangan. Yang dialami oleh penumpang akibat risiko-risiko ini antara lain kerugian
waktu yang dialami oleh penumpang, luka-luka, bahkan sampai hilangnya jiwa.19
Situs web dan/atau Aplikasi dapat terganggu oleh peristiwa di luar wewenang
atau kendali kami ("Force Majeure"), yang mencakup tetapi tidak terbatas pada bencana
alam, cuaca ekstrem, gangguan listrik, kerusakan telekomunikasi, pelanggaran keamanan
18
Muhammad Taufik Hidayat, Op.Cit, hlm 86
19
Retno Puspandari, “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan Pada
Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan,” Privat Law Vol.
V No. 1 Januari-Juni 2017 95, hlm 96-97
20
Lion Air (2), Ketentuan Pemakaian Kelompok Lion Air. [Halaman Web]. Diakses dari
https://www.batikair.com/id/Terms#five
dunia maya, berjangkitnya suatu jenis virus atau penyakit, kerusuhan, serangan teroris,
perselisihan antara pemberi kerja dan pekerja, kebijakan pemerintah atau peristiwa
lainnya. Anda dengan ini setuju akan membebaskan kami dari segala tuntutan dan
tanggung jawab jika kami tidak dapat memfasilitasi layanan apa pun, yang mencakup
untuk memenuhi instruksi yang telah anda minta melalui Situs Web dan/atau Aplikasi,
baik sebagian atau seluruhnya, karena Force Majeure. Kami tidak akan memberi ganti
rugi kepada anda jika kami tidak dapat memfasilitasi atau mendapatkan bagi anda
layanan sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi karena Force Majeure.
Tetapi hal tersebut hanya sebatas untuk mengatur klausula force majeure Ketika
mengakses informasi yang diperlukan penumpang melalui website atau aplikasi maskapai
penerbangan tersebut. Sedangkan klausula force majeure dalam hal ganti rugi yang
diberikan ketika ada kondisi kahar terdapat pada bagian syarat dan ketentuan perubahan
jadwal yang menjelaskan bahwa :21
21
Lion Air (3), Syarat dan Ketentuan Bagian Perubahan Jadwal. [Halaman Web]. Diakses dari
https://www.lionair.co.id/syarat-ketentuan
Seperti yang kita ketahui force majeure merupakan kejadian yang biasanya di
akibatkan oleh bencana alam, perang, kerusuhan, adanya penyerangan teroris, dan lain-
lain yang menyebabkan terhalangnya pihak pelaku usaha untuk menjalankan prestasinya
terkait tentang suatu perjanjian. Salah satu penyebab terjadinya wanprestasi yang
dilakukan oleh pelaku usaha terhadap suatu perjanjian disaat ini ialah dengan adanya
Covid-19.22
Klausula force majeure dalam industri jasa penerbangan dapat dilihat dalam SE
No.15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force
majeure). Industri jasa penerbangan memang ada memasukkan klausula force majeure
dalam menjalankan perjanjian bakunya dengan pihak penumpang, tetapi hanya
menyatakan jika adanya kejadian kahar seperti bencana alam. Untuk bencana non alam
seperti Covid-19 ini, pihak maskapai penerbangan tidak menyatakan Covid-19 sebagai
force majeure karena mereka masih bisa mempertanggung jawabkan isi dari kontrak
mereka. Tetapi mereka melakukan renegosiasi terhadap kontrak mereka terkhususnys di
bagian perubahan jadwal dan refund tiket, di setiap syarat dan ketentuan masing-masing
maskapai penerbangan telihat jelas bahwa pihak maskapai memberikan kesempatan
kepada pihak penumpang untuk melakukan pengubahan jadwal penerbangan sebanyak 1
sampai 2 kali tanpa adanya biaya tambahan, serta mengembalikan dana penumpang
sebanyak 100 % (Seratus Persen) tanpa ada potongan tetapi dikembalikan dalam bentuk
voucher penerbangan yang dapat digunakan kembali jika ingin terbang dalam jangka
waktu satu tahun kedepan.
24
Dona Budi Kharismai, “Pandemi Covid-19 Apakah Force Majeure?”, RechtsVinding Online 29 Juni
2020, hlm 4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka