Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT REFUND


TIKET PESAWAT DI TENGAH KONDISI PANDEMI COVID 19 (FORCE MAJEURE)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu

Hukum Udara dan Ruang Angkasa 2021/2022

Disusun Oleh:
Muhammad Ridwan Rasyid (1910611225)

Kelas D

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Bambang Widarto, S.H., M.H

Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional Veteran “Jakarta”

Jakarta

2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah hukum perorangan & perkawinan sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi nilai ulangan tengah semester (UTS) ini yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT REFUND TIKET
PESAWAT DI TENGAH KONDISI PANDEMI COVID 19 (FORCE MAJEURE)”.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bambang Widarto, S.H.,
M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Udara dan Ruang Angkasa atas bimbingannya
dalam proses pembuatan makalah ilmiah ini.

Karya ilmiah ini memberikan panduan dalam pembelajaran Hukum Udara dan Ruang
Angkasa . Bagi mahasiswa/i untuk memahami mata kuliah Hukum Udara dan Ruang Angkasa
indonesia yang baik dan benar dan juga memahami Bentuk pertanggungjawaban maskapai
penerbagan terkait refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini.

Penulis menyadari bahwa makalah hukum perorangan & perkawinan ini masih jauh dari
kata sempurna karena keterbatasan waktu yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang
bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan dapat digunakan sebaiknya
sebagai referensi memahami pembahasan terkait.

Tangerang Selatan, 27 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

BAB II

Pembahasan

1. Bagaimanakah Prinsip-prinsip dari pertanggungjawaban Pengangkutan yang mengacu pada


tanngungjawab maskapai penerbagan terkait refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic
covid-19 (Force Majeure) ?
2. Bagaimanakah Bentuk pertanggungjawaban hukum maskapai penerbagan terkait refund tiket
pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini?

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat ketika menjalankan kehidupan sehari-hari pasti memerlukan alat yang bisa
memindahkan dirinya dari satu tempat ke tempat yang lain, baik jaraknya dekat ataupun jauh.
Alat itu dinamakan transportasi, transportasi merupakan alat yang digunakan untuk
memindahkan manusia atau barang dengan memanfaatkan alat anjgkut yang dapat digerakan
oleh kekuatan manusia ataupun hasil kerja mesin.1

Moda transportasi umum terdiri dari Transportasi Darat, Transportasi Laut dan
Transportasi Udara dalam hal ini yakni pesawat. semua moda transportasi ini sangat penting
dalam menjalankan roda kehidupan manusia bahkan juga sangat penting untuk menjalankan
moda perekonomian. Pada abad ke-21 ini Seluruh dunia dihebohkan dengan mewabahnya
Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang mewabah ke seluruh dunia, Indonesia tentu saja juga
terkena dampak yang besar dari adanya wabah ini. Moda transportasi terkena dampak yang
signifikan diawal mewabahnya virus ini, Semua sarana transportasi umum mengalami penurunan
dalam dipakai untuk kehidupan sehari-hari.2

Salah satu bisnis transportasi umum yang mungkin mendapatkan efek buruk dari wabah
Covid-19 ini ialah bisnis transportasi udara, bisnis penerbangan di dalam negeri menjadi mati
suri karena wabah ini. Bukan hanya maskapai penerbangan yang menjadi korban disini, pihak
pengelola bandara juga merasakan dampak dari wabah ini. Penerbangan ke luar negeri juga
sampai ditutup karena banyak negara mengadakan lockdown negaranya karena adanya wabah

1
Andriansyah, Manajemen Transportasi Dalan Kajian dan Teori, (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, 2015), hlm 1
2
Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, “Analisis Upaya Pemerintah Dalam Menangani Mudik Melalui
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pada Masa Covid-19”, Media Iuris” Vol. 3 No. 3,
Oktober 2020, hlm 278
ini, dalam satu bulan mewabahnya virus ini ke Indonesia, jumlah korban yang meninggal
mencapai 157 jiwa.3

Pandemi covid 19 ini banyak memberikan implikasi nyata ataupu dampak yang nyata
terhadap keadaan kehidupan manusia. Salah satunya adalah yakni dalam hal pembelian tiket
pesawat. Banyaknya pembatasan-pembatasan di tengah kondisi pandemic covid 19 ini atau
banyaknya restriksi dalam hal penerbangan (travel bun) yang dilakukan baik dalam negeri
maupun luar negeri mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penerbangan. Akibatnya adalah
banyaknya penerbangan yang dibatalkan sehingga pemberian ganti rugi atau kompensasi dan
ataupun penggantian harus dilaksanakan oleh maskapai penerbangan.

Pengembalian uang tiket pesawat dalam hal ini adalah refund akan diberikan secara
penuh dan dilaksanakan secepatnya apabila ada pembatalan keberangkatan yang disebabkan oleh
wabah covid-19, hal ini sudah disampaikan langsung oleh Dirjen Perhubungan Udara
Kemenhub.4 Dikarenakan Melonjaknya pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak
maskapai dikarenakan wabah Covid-19 membuat pihak maskapai maupun pihak agen penjualan
tiket kewalahan dan tentu saja karena permintaan refund yang tinggi membuat segala proses
pengembalian dana ini menjadi lebih lama dari pada biasanya.5

3
Tauratiya, “Overmacht: Analisis Yuridis Penundaan Pelaksanaan Prestasi Akibat Pandemi Covid-19”,
Mizani: 1 | Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan” Volume 7, No. 1, 2020, hlm 1-2
4
Ahmad Efendi (2020, April 30). Cara Refund atau Pengembalian Tiket Lion Air Akibat Pandemi Corona.
[Halaman Web]. Diakses dari https://tirto.id/cara-refund-ataupengembalian-tiket-lion-air-akibat-pandemi-
corona-ffSa. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2021
5
Dani M Dahwilani (2020, Juni 19). Badan Perlindungan Konsumen Ungkap Banyak Aduan Penolakan
Refund Tiket Transportasi. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.inews.id/finance/makro/badan-
perlindungan-konsumen-ungkap-banyakaduan-penolakan-refund-tiket-transportasi/. Diakses pada
Tanggal 27 Oktober 2021
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Prinsip-prinsip dari pertanggungjawaban Pengangkutan yang mengacu


pada tanngungjawab maskapai penerbagan terkait refund tiket pesawat di tengah kondisi
pandemic covid-19 (Force Majeure) ?
2. Bagaimanakah Bentuk pertanggungjawaban hukum maskapai penerbagan terkait refund
tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Bagaimanakah Prinsip-prinsip dari pertanggungjawaban Pengangkutan yang


mengacu pada tanngungjawab maskapai penerbagan terkait refund tiket pesawat di
tengah kondisi pandemic covid-19 (Force Majeure)
2. Memahami apa itu presumption of liability principle
3. Mengetahui bagaimanakah Bentuk pertanggungjawaban maskapai penerbagan terkait
refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19
4. Memahani materi mata kuliah hukum udara dan ruang angkasa
BAB II

PEMBAHASAN

1. Bagaimanakah Prinsip-prinsip dari pertanggungjawaban Pengangkutan yang


mengacu pada tanngungjawab maskapai penerbagan terkait refund tiket pesawat
di tengah kondisi pandemic covid-19 (Force Majeure) ?

Mengenai istilah dari teanggung jawab yang dalam hal ini adalah liability dapat kita
artikan sebagai tanggung gugat yang merupakan arti atau terjemahan dari aansprakelijkheid,
dan merupakan bentuk spesifik atau bentuk yang merinci dari tanggung jawab hukum yang
dipandang harus dan wajib membayar suatu kompensasi atau ganti rugi setelah adanya
peristiwa hukum tersebut.6 Menurut Frans G. Von der Dunk dari International Institute of Air
and Space Law - Leiden University istilah liability yang dipersamakan dengan
aansprakelijkheid dapat menimbulkan berbagai penafsiran: “Perhaps it may be added, that
the Dutch language, although not an authentic language as far as the Outer Space Treaty is
concerned, is also confusing in this respect. Whereas ‘responsibility’ should be translated as
“verantwoordelijkheid” and ‘liability’ as “aansprakelijkheid”, ‘international state
responsibility’ turns out to be always translated as “staatsaanprakelijkheid”.7

Mengenai dengan tentang Pelayaran. Konsep dasar persoalan tanggung jawab apabila
dihubungkan dengan suatu perbuatan melawan hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam prinsip tanggung jawab, yaitu: prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan.8 Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
(fault liability principle) dapat lebih dirinci menjadi: Pertama, tanggung jawab berdasarkan
kesalahan karena melakukan wanprestasi (tanggung jawab berdasarkan wanprestasi Kedua,
tanggung jawab berdasarkan kesalahan karena melakukan perbuatan melawan hukum, baik
seperti yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata berdasarkan putusan Hoge Raad
6
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.
258
7
R. Frans G. von der Dunk, “Liability Versus Responsibility in Space Law: Misconception or
Misconstruction?”, http://digitalcommons.unl. edu/spacelaw/4. Diakses pada tanggal 27 November 2021
8
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 21.
dalam kasus lindenbum versus cohen sejak tahun 1919 (tanggung jawab berdasarkan
perbuatan melawan hukum), maupun karena melanggar peraturan perundang-undangan
lainnya, seperti vicarious liability principle, liability based on fault principle, presumption of
liability principle maupun presumption of non- liability principle. Sedangkan prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan (no fault liability principle) dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu; strict liability principle dan absolute liability principle.

Perbedaan yang mendasar dari kedua prinsip tanggung jawab tersebut terletak pada
unsur kesalahan, artinya apakah diperlukan adanya unsur kesalahan dalam menuntut
tanggung jawab seseorang. Jika disyaratkan adanya unsur kesalahan maka berlakulah fault
liability principle, sedangkan no fault liability principle diberlakukan apabila tidak disyaratkan
adanya unsur kesalahan. Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis dapat dikemukakan
bahwa ada beberapa macam prinsip tanggung jawab yang dapat diberlakukan, yaitu:

a. Prinsip Tannggung Jawab Berdasarkan Kesalahan Karena Melakukan


Wanprestasi

Mengenai Kategori melakukan wanprestasi menurut Malcolm Leder dan Peter


Shears merupakan implementasi doktrin privity of contract yang mengakui adanya
pertanggungjawaban hukum berdasarkan hubungan kontrak,9 seperti halnya
hubungan hukum antara pengangkut dengan penumpang. Berdasarkan doktrin ini
penumpang memiliki hak yang terkandung dalam perjanjian angkutan (contractual
rights), dan sebaliknya pengangkut memiliki kewajiban berdasarkan perjanjian
angkutan (contractual liability). Sebagai konsekuensinya, gugatan
pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadinya kerugian hanya dapat dilakukan
berdasarkan kontrak/janji mengenai warranty pengangkut (kewajiban menjamin
keselamatan angkutan). Janji tersebut dalam konsep hukum perikatan adalah prestasi.

KUH Perdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan debitur untuk
terbebas dari kewajiban bertanggung jawab, yaitu:

 Force Majeure;

9
Malcolm Leder et al., 1996, Frameworks Consumer Law, Financial Times Pitman Publishing, London,
hlm. 102.
 Kreditur sendiri telah lalai (ex
 ceptio non adimpleti contractrus), dan;
 Kreditur telah melepaskan haknya.

b. Prinsip Tanggung Jawab karena Melakukan Perbuatan Melawan Hukum


Vide Pasal 1365 KUH Perdata
Perbuatan melawan hukum lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa
melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang
yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut. Hal mana dapat dilihat dalam
Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa: tiap perbuatan melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan
perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Suatu perbuatan melawan hukum dan
dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk membayar ganti rugi apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
 Unsur Perbuatan

 Unsur Melawan Hukum

 Unsur Kesalahan

 Unsur Kerugian

 Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian

c. Prinsip Tanggung Jawab Pengganti (Vicarious Liability Principle)


Dalam situasi tertentu, seseorang dapat dibebani tanggung jawab untuk kesalahan
perdata yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah
kesalahannya. Hal semacam ini dikenal sebagai tanggung jawab atas kesalahan yang
dilakukan orang lain (tanggung jawab pengganti) atau vicarious liability.10 Teori
tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain,
dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut: (a) teori tanggung jawab atasan
(respondeat superior, a superior risk bearing theory); (b) teori tanggung jawab
pengganti yang bukan dari atasan atas orang-orang dalam tanggungannya; dan (c)

10
3 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 203
teori tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah
tanggungannya.

d. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Liability Based on Fault


Principle)
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dalam beberapa literatur di bidang
angkutan dikenal juga dengan istilah liabi-lity based on fault principle ataupun fault
liability principle. Berdasarkan prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim/penerima barang atau pihak ketiga,
karena kesalahannya dalam melaksanakan angkutan.11 Unsur kesalahan dalam prinsip
ini merupakan isu sentral yang harus diperhatikan, jika hendak menuntut
pertanggungjawaban pengangkut. Dimana diawali dengan konsepsi tentang
“kewajiban pengangkut” untuk menyelenggarakan angkutan sampai ke tempat tujuan
“dengan selamat”, yang merupakan tanggung jawab hukum pengangkut.12
Persoalan ini tidaklah sederhana, karena dalam praktek belum tentu setiap
pengangkut secara sukarela akan mengakui kesalahannya. Jika demikian, maka pihak
penumpang, pengirim/penerima barang atau pihak ketiga tidak boleh bertindak
sepihak dan harus dapat membuktikan bahwa kerugian terjadi karena kesalahan
pengangkut. Pembuktian tersebut dilakukan di pengadilan untuk diputus oleh hakim,
seperti yang disampaikan juga oleh Subekti bahwa wanprestasi mempunyai akibat-
akibat yang penting, oleh karena itu harus ditetapkan lebih dulu apakah seseorang itu
telah melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau disangkal olehnya harus dibuktikan
di muka hakim.13
Liability principle ini diterapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan dapat dilihat dalam UU tersebut pada Bab XIV
tentang Kecelakaan Lalu Lintas, Bagian Ketiga (Kewajiban dan Tanggung Jawab),
Paragraf 1 (Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan
Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan) Pasal 234 ayat (1). Tanggung jawab atas

11
Wiwoho Soedjono, 1980, Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta, hlm. 129
12
5 HMN. Purwosutjipto, 1987, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid III – Pengangkutan,
Djambatan, Jakarta, hlm. 52.
13
Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 5.
kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, kecuali
jika pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan tersebut sudah
diselenggarakan secara patut/layak.17 Apabila timbul kerugian dalam suatu
penyelenggaraan angkutan, maka berlakulah asumsi/anggapan bahwa pengangkut
berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Asumsi/anggapan
tersebut dapat ditiadakan/dikesampingkan apabila pengangkut dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut terjadi di luar kesalahannya atau di luar kesalahan
pegawainya, yang oleh Wiwoho Soedjono dikemukakan dalam kalimat kecuali
pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan telah diselenggarakan secara
patut/layak.

e. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga Bersalah (Presumption of


Liability Principle)
Menurut Wiwoho Soedjono, prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
bersalah adalah bahwa pengangkut harus ber tanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, kecuali jika pengangkut
dapat membuktikan bahwa pengangkutan tersebut sudah diselenggarakan secara
patut/layak.17 Apabila timbul kerugian dalam suatu penyelenggaraan angkutan, maka
berlakulah asumsi/anggapan bahwa pengangkut berkewajiban untuk bertanggung
jawab atas kerugian yang terjadi. Asumsi/anggapan tersebut dapat
ditiadakan/dikesampingkan apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian
tersebut terjadi di luar kesalahannya atau di luar kesalahan pegawainya, yang oleh
Wiwoho Soedjono dikemukakan dalam kalimat kecuali pengangkut dapat
membuktikan bahwa pengangkutan telah diselenggarakan secara patut/layak.

Menurut pendapat R. Soekardono, untuk membuktikan pengangkut telah


menyelenggarakan angkutan dengan patut/ layak, cukuplah dengan cara menunjukkan
dokumen-dokumen atau surat-surat yang berhubungan dengan keselamatan angkutan
seperti SIM pengemudi, Surat Layak Jalan bagi alat/armada angkutan, dan lain-
lain.19 Hal yang sama juga dikemukakan oleh E. Suherman berdasarkan Ordonansi
Pengangkutan Udara (Staatsblad Tahun 1939 No. 100) Pasal 29 ayat (1), bahwa
pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia
dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang
diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka
untuk mengambil tindakan-tindakan itu.14

Sehubungan dengan pemikiran beberapa sarjana tersebut di atas, yang memuat


penjelasan tentang prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah
(presumption of liability principle), maka dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan, yaitu: (a)
jika timbul kerugian selama dalam pelayanan angkutan, maka pengangkut dianggap
wajib untuk bertanggung gugat; dan (b) anggapan tersebut dapat digugurkan, apabila
pengangkut dapat membuktikan salah satu di antara hal-hal berikut, yaitu: (1) bahwa
pengangkutan sudah diselenggarakan secara layak;21 (2) bahwa kerugian itu terjadi
di luar kesalahan Pengangkut atau kesalahan pegawainya; (UULLAJR Nomor 3
Tahun 1965 Pasal 24 ayat 1); (3) bahwa pengangkut telah mengambil semua tindakan
yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian;22 dan (4) bahwa pengangkut tidak
mungkin mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan
kerugian.

f. Prinsip Dianggap Tidak Harus Bertanggung Jawab (Presumption of Non-


Liability Principle)
Prinsip tanggung jawab ini merupakansuatu bentuk tanggung jawab bersyarat,
artinya pihak penumpang harus membuktikankesalahan pihak pengangkut atau orang
yang dipekerjakannya. Apabila pihak penumpang tidak dapat membuktikan kesalahan
pengangkut, maka ganti rugi tidak akan diberikan.24 Dalam Undang-Undang Nomor
22Tahun 2009, penerapan prinsip ini dapat dilihat pada beberapa pasalnya, yaitu: (a)
Pasal 192 ayat (4) yang menentukan bahwa: pengangkut tidak bertanggung jawab
atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian
pengangkut; dan (2) Pasal 194 ayat(1) yang menentukan bahwa: Perusahaan
Angkutan Umum tidak bertanggung jawabatas kerugian yang diderita oleh pihak

14
E. Suherman, 1980, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 37.
ketiga. kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.

g. Prinsip Tanggung Jawab Tanpa Kesalahan (No Fault Liability Principle)


Berdasarkan prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan, bahwa seseorang harus
bertanggung jawab ketika kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan pada
dirinya, sehingga faktor kesalahan bukan lagi merupakan unsur yang harus dibuktikan
di pengadilan.No fault liability principle ini dapat diperinci menjadi 2 prinsip, yaitu
strict liability principle dan absolute liability principle. Dalam berbagai kepustakaan,
kedua istilah tersebut (absolute liability dan strict liability) sering dipergunakan
secara bergantian, seperti yang disampaikan oleh E. Saefullah Wiradipradja, yang
menyatakan bahwa dalam kepustakaan berbahasa Inggris penggunaan istilah strict
liability dan absolute liability (kadangkadang juga ‘no-fault liability’) sering tampak
secara bergantian. Meskipun baik secara teoritis maupun praktis sulit mengadakan
pembedaan yang tegas di antara kedua istilah tersebut, namun Bin Cheng
menunjukkan adanya perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut.

Istilah prinsip tanggung jawab mutlak sering dipadankan dengan istilah strict
liability principle dan/atau absolute liability principle, padahal menurut Bin Cheng
ada perbedaan pokok antara kedua prinsip liability tersebut. Penggunaan istilah
absolute liability untuk pertama kalinya disampaikan oleh John Salmond pada tahun
1907, sedangkan strict liability dikemukakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926.15
Pendapat W.H. Win field tersebut didukung oleh G.H.L. Fridman karena banyaknya
alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk membebaskan diri dari kewajiban
bertanggung jawab (usual defences) dalam pelaksanaan absolute liability, walaupun
tidak diperlukan adanya unsur kesalahan. Menurut G.H.L. Fridman seperti yang
dikutip oleh Carrie da Silva, bahwa suatu sistem tanggung jawab tanpa kesalahan
yang disertai dengan berbagai pengecualian yang sudah secara umum diakui sebagai

Carrie da Silva, 2006, The Continuing Life of Rylands v Fletcher: a Comparative Analysis of the
15

Development and Enduring Use of the Rule in Rylands v Fletcher in England and Wales and the
Common Law World, Wadham College, Oxford, hlm. 4.
alasan untuk membebaskan tanggung jawab (usual defenses), lebih tepat disebut
sebagai strict liability.

Adanya sanggahan terhadap penggunaan istilah absolute liability tidak


menyebabkan surutnya pemakaian istilah tersebut, pemakaian istilah ini tetap
berlangsung seperti yang dikemukakan oleh C. Conrad Claus: Absolute liability” is
the modern term for the type of liability that the Exchequer Chamber imposed on
Rylands. Courts and commentators frequently refer to this type of liability as “strict
liability. 29 Sehubungan dengan itu Thomas C. Gallig dalam salah satu tulisannya
menyatakan:

Some authorities, however, believe that the term “strict liability” more properly
applies to cases involving a case-specific risk-utility balance not called for in
Rylands. Thus, for the purposes of this Article, and with due respect for the courts
and commentators that have used the term “strict liability,” this author adopts the
“absolute liability” wording as more conceptually useful. Currently, most states
generally accept the Rylands doctrine either by name or by a statement of law that
was derived from Rylands. As of 1984, Rylands was rejected by name in only seven
American jurisdictions: Maine, New Hampshire, New York, Oklahoma, Rhode
Island, Texas, and, for all practical purposes, Wyoming.16

Sebenarnya persoalan yang mendasar dalam suatu istilah terletak pada makna
yang terkandung di dalamnya. Mircea Mateescomatte seorang sarjana Prancis seperti
yang dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, menggunakan istilah objective liability
sebagai padanan strict liability untuk membedakannya dengan absolute liability,
dimana dinyatakannya bahwa: […] dalam ‘objective liability’ dimungkinkan tergugat
membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal ‘force majeure’ atau
‘contributory negligence of a third party’ (kerugian disebabkan oleh kesalahan pihak
ketiga), sedangkan dalam ‘absolute liability’ hal itu tidak mungkin.17

16
Thomas C. Galligan Jr., “Strict Liability in Action: The Truncated Learned Hand Formula”, Louisiana
Law Review, Vol. 52, No. 2 , November 1991, hlm. 325.
17
E. Saefullah Wiradipradja, Op.cit., hlm. 37.
2. Bagaimanakah Bentuk pertanggungjawaban hukum maskapai penerbagan terkait
refund tiket pesawat di tengah kondisi pandemic covid-19 ini?

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya atau yang dalam hal ini
adalah maskapai penerbangan yang mana mempunyai tanggung jawab yang langsung
dilaksanakan olehnya. Tanggung jawab ini memiliki istilah tanggung gugat produk
(Product Liability). Product Liability ini ialah keadaan adanya kerugian yang dialami
oleh konsumen dan pihak produsen harus bertanggung jawab karena adanya kerugian
yang timbul.18 Dalam perusahaan penerbangan, kemungkinan adanya kerugian terhadap
penumpang merupakan hal yang sering terjadi. Risiko dalam industri jasa penerbangan
antara lain kecelakaan pesawat ataupun penundaan penerbangan sampai pembatalan
penerbangan. Yang dialami oleh penumpang akibat risiko-risiko ini antara lain kerugian
waktu yang dialami oleh penumpang, luka-luka, bahkan sampai hilangnya jiwa.19

Mengacu pada asas kebebasan berkontrak tersebut, maka dalam pelaksanaan


penerbangan di Indonesia beberapa maskapai ada yang memasukkan klausula force
majeure tersebut ke dalam syarat dan ketentuan penerbangan masing -masing maskapai
yang berbeda antara maskapai yang satu dengan maskapai yang lain. Syarat dan
ketentuan akan force majeure tersebut tentu berbeda dengan yang ada sekarang karena
mewabahnya pandemi Covid-19. Seperti Batik Air dan Lion Air yang merupakan
maskapai dari Lion Group yang menyatakan bahwa :20

Situs web dan/atau Aplikasi dapat terganggu oleh peristiwa di luar wewenang
atau kendali kami ("Force Majeure"), yang mencakup tetapi tidak terbatas pada bencana
alam, cuaca ekstrem, gangguan listrik, kerusakan telekomunikasi, pelanggaran keamanan
18
Muhammad Taufik Hidayat, Op.Cit, hlm 86
19
Retno Puspandari, “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan Pada
Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan,” Privat Law Vol.
V No. 1 Januari-Juni 2017 95, hlm 96-97
20
Lion Air (2), Ketentuan Pemakaian Kelompok Lion Air. [Halaman Web]. Diakses dari
https://www.batikair.com/id/Terms#five
dunia maya, berjangkitnya suatu jenis virus atau penyakit, kerusuhan, serangan teroris,
perselisihan antara pemberi kerja dan pekerja, kebijakan pemerintah atau peristiwa
lainnya. Anda dengan ini setuju akan membebaskan kami dari segala tuntutan dan
tanggung jawab jika kami tidak dapat memfasilitasi layanan apa pun, yang mencakup
untuk memenuhi instruksi yang telah anda minta melalui Situs Web dan/atau Aplikasi,
baik sebagian atau seluruhnya, karena Force Majeure. Kami tidak akan memberi ganti
rugi kepada anda jika kami tidak dapat memfasilitasi atau mendapatkan bagi anda
layanan sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi karena Force Majeure.

Tetapi hal tersebut hanya sebatas untuk mengatur klausula force majeure Ketika
mengakses informasi yang diperlukan penumpang melalui website atau aplikasi maskapai
penerbangan tersebut. Sedangkan klausula force majeure dalam hal ganti rugi yang
diberikan ketika ada kondisi kahar terdapat pada bagian syarat dan ketentuan perubahan
jadwal yang menjelaskan bahwa :21

“Lion Air berhak membatalkan atau mengubah rencana keberangkatan, jadwal,


rute, pesawat terbang atau tempat transit penerbangan manapun yang tiketnya telah
dibayarkan, kapanpun dan dari waktu ke waktu, untuk alasan apa pun, tanpa
pemberitahuan kepada penumpang yang terkena dampak dari perubahan tersebut, dan
oleh karena itu, perusahaan pengangkut tidak bertanggung jawab kepada Penumpang atas
pembatalan atau perubahan tersebut, baik yang disebabkan oleh Force Majeure (kejadian
yang berada di luar kuasa manusia), dengan syarat bahwa perusahaan pengangkut dapat
dan berhak memberikan hal-hal berikut secara sepihak kepada Penumpang yang terkena
dampak pembatalan atau perubahan tersebut: Mengatur ulang rute ke tempat tujuan yang
tertera pada Tiket Penumpang dalam jangka waktu yang wajar dengan menggunakan jasa
Perusahaan Pengangkut itu sendiri dan Mengembalikan uang tiket ke Penumpang dengan
sejumlah yang tidak lebih besar dari apa yang telah dibayar oleh Penumpang untuk
penerbangan yang bersangkutan.

21
Lion Air (3), Syarat dan Ketentuan Bagian Perubahan Jadwal. [Halaman Web]. Diakses dari
https://www.lionair.co.id/syarat-ketentuan
Seperti yang kita ketahui force majeure merupakan kejadian yang biasanya di
akibatkan oleh bencana alam, perang, kerusuhan, adanya penyerangan teroris, dan lain-
lain yang menyebabkan terhalangnya pihak pelaku usaha untuk menjalankan prestasinya
terkait tentang suatu perjanjian. Salah satu penyebab terjadinya wanprestasi yang
dilakukan oleh pelaku usaha terhadap suatu perjanjian disaat ini ialah dengan adanya
Covid-19.22

Transportasi udara mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian timbal balik


secara lisan maupun tertulis dengan perusahaan penerbagan, penumpang, dan pengirim
barang. Perusahaan penerbangan memiliki kewajiban untung mengangkut penumpang
ataupun barang. Jika penumpang ataupun barang tidak sampai ke tujuan yang dituju
dengan selamat, perusahaan penerbangan bertanggung jawab memberi ganti kerugian
yang diderita oleh penumpang ataupun barang. Seperti saat ini di masa Covid-19,
Sebagian perusahaan penerbangan gagal dalam memenuhi kewajibannya tersebut
dikarenakan batalnya penerbangan.

Bisa dikatakan bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan pelanggaran


keterlambatan udara. Presiden Joko Widodo dalam masa pandemi ini sempat
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana
Nasional. Pandemi Covid-19 dapat dimasukkan sebagai keadaan kahar tergantung dari
definisi keadaan kahar apabila dicantumkan dalam kontrak . Jika pihak debitur sebagai
pihak yang terdampak akan keadaan ini bisa membuktikan bahwa kondisi kahar
terpenuhi, pihaknya dapat menyatakan bahwa pandemi ini merupakan keadaan kahar.
Berdasarkan keadaan tersebut maka bisa dikatakan Covid-19 ialah force majeure relatif,
dimana pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi hanya
untuk sementara waktu, setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat
dipenuhi kembali. Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan
hanya bersifat sementara waktu saja, yaitu selama terjadinya wabah pandemi Covid19.23
22
Kunarso, Op.Cit., hlm 35
23
Cyntia Hutagalung. (2020, Desember 15). Pandemi Covid-19 sebagai Force Majeure Dalam Kontrak
Bisnis. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.pphbi.com/pandemicovid-19-sebagai-force-majeure-
dalam-kontrak-bisnis/
Akibat hukum yang timbul karena force majeure bersifat relatif ialah para pihak
tidak bisa menyatakan bahwa pandemi merupakan alasan pembatalan kontrak. Relatif di
sini memiliki maksud untuk menunda prestasi untuk sementara saja, bukan untuk
membatalkan kontrak bisnis yang ada. Kontrak bisnis tetap sah dan mengikat para pihak
yang berjanji. Covid-19 hanya bersifat menunda terlaksananya sebuah prestasi dan tidak
menghapuskan kewajibannya. Untuk melindungi kepentingan para pihak yang
melakukan kontrak bisnis, maka renegosiasi kontrak perlu dilakukan agar para pihak
dapat mengatur apa saja yang perlu diubah agar kepentingan para pihak yang melakukan
kontrak bisnis tetap terlindungi.24

Klausula force majeure dalam industri jasa penerbangan dapat dilihat dalam SE
No.15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force
majeure). Industri jasa penerbangan memang ada memasukkan klausula force majeure
dalam menjalankan perjanjian bakunya dengan pihak penumpang, tetapi hanya
menyatakan jika adanya kejadian kahar seperti bencana alam. Untuk bencana non alam
seperti Covid-19 ini, pihak maskapai penerbangan tidak menyatakan Covid-19 sebagai
force majeure karena mereka masih bisa mempertanggung jawabkan isi dari kontrak
mereka. Tetapi mereka melakukan renegosiasi terhadap kontrak mereka terkhususnys di
bagian perubahan jadwal dan refund tiket, di setiap syarat dan ketentuan masing-masing
maskapai penerbangan telihat jelas bahwa pihak maskapai memberikan kesempatan
kepada pihak penumpang untuk melakukan pengubahan jadwal penerbangan sebanyak 1
sampai 2 kali tanpa adanya biaya tambahan, serta mengembalikan dana penumpang
sebanyak 100 % (Seratus Persen) tanpa ada potongan tetapi dikembalikan dalam bentuk
voucher penerbangan yang dapat digunakan kembali jika ingin terbang dalam jangka
waktu satu tahun kedepan.

24
Dona Budi Kharismai, “Pandemi Covid-19 Apakah Force Majeure?”, RechtsVinding Online 29 Juni
2020, hlm 4
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai