Anda di halaman 1dari 21

FORCE MAJEUR DI MASA PANDEMI COVID 19 DAN

PENGARUHNYA TERHADAP PERJANJIAN


PEMBIAYAAN DI INDONESIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas sebagai pengganti studi lapangan FH Unisbank

Disusun Oleh Kelompok 4:


Arfan Arsyad (17.02.51.2018)
Mega Asna Naqiyya (17.02.51.2020)
Rizky Adhi Bangkit P. (17.02.51.2022)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UNISBANK
SEMARANG

1
LEMBAR PENGESAHAN MAKALAH

Nama Lengkap : Arfan Arsyad, Mega Asna Naqiyya, Rizky Adhi Bangkit P.
NIM : 17.02.51.2018, 17.02.51.2020, 17.02.51.2022
Jurusan : Hukum
Perguruan Tinggi : Universitas Stikubank Semarang
Judul Makalah : Force Majeur Di Masa Pandemi Covid 19 Dan Pengaruhnya Terhadap
Perjanjian Pembiayaan Di Indonesia
Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah yang saya selesaikan
adalah benar. Dengan ini saya menyatakan penulisan makalah dengan judul Force Majeur Di
Masa Pandemi Covid 19 Dan Pengaruhnya Terhadap Perjanjian Pembiayaan Di Indonesia telah
memenuhi semua syarat serta ketentuan yang ditetapkan oleh bapak dosen.

Semarang, 20 September 2021

Yang Membuat Pernyataan,

 
(Arfan Arsyad) (Mega Asna Naqiyya) (Rizky Adhi Bangkit P.)

Yang Memberi Pengesahan,


 

(………………………………)

2
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Force Majeur Di Masa Pandemi Covid 19
Dan Pengaruhnya Terhadap Perjanjian Pembiayaan Di Indonesia dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas pengganti Studi Lapangan FH Unisbank.


Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu selesainya makalah
ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 20 September 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan
Ekonomi memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat yang mana kita ketahui
kehidupan manusia akan selalu berkaitan dengan kebutuhan ekonomi. Eksistensi dari ekonomi

4
memberikan kesempatan kepada manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya baik itu
kebutuhan primer sekunder maupun tersier. Untuk itu dapat disimpulkan ekonomi merupakan
bagian penting dalam kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu aturan yuridis dalam
mengatur mengenai pelaksanaan dalam sistem perekonomian khususnya di Indonesia.

Perjanjian atau kontrak merupakan sebuah upaya dari manusia untuk memenuhi berbagai
kepentingan dalam pemenuhan pergaulan hidupnya, baik yang berskala besar maupun kecil.
Tidak disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian atau kontrak dilakukan oleh
setiap manusia, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak
khususnya dibidang ekonomi tidak dapat dilepaskan dari peran hukum. Hukum telah
memberikan wadah bagi setiap kegiatan yang dilakukan manusia dalam kehidupannya
(Johannes Ibrahim Kosasih, 2019:16).

Dalam suatu perikatan yang melahirkan hubungan kontraktual dimana para pihak yang telah
bersepakat untuk mengikatkan diri melalui perjanjian yang dibuat maka segala klausul yang
tercantum pada perjanjian tersebut harus ditaati oleh para pihak baik kreditur maupun debitur.
Salah satu perjanjian yang ada di masyarakat adalah perjanjian pembiayaan konsumen
(consumer finance) yang mana merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang eksistensinya
tergolong masih baru di Indonesia. Consumer financeagreement merupakan perjanjian atau
kontrak yang timbul dalam praktik sehari-hari masyarakat luas. Perlu diketahui bahwa
perjanjian tersebut tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, akan tetapi dalam prakteknya
diperbolehkan oleh KUHPerdata.
Pembiayaan konsumen ini adalah salah satu jasa pembiayaan yang dapat diketahui
bersumber dari banyak aturan yuridis baik perjanjian itu sendiri maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dari aspek hukum perdata bahwa perjanjian merupakan sumber utama
pembiayaan konsumen tersebut dan peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum
yang utama pembiayaan konsumen dari perspektif public (Sunaryo, 2009:99).
Dalam praktik bisnis, pandemik Covid-19 menjadi titik perdebatan antara pelaku usaha
yang terikat dalam kontrak tersebut. Debitur yang pada dasarnya mempunyai kewajiban dalam
suatu kontrak yang telah disepakati, dengan adanya wabah covid-19 ini tidak sedikit yang ingin
mengambil kesempatan untuk membebaskan dirinya dalam pemenuhan prestasi dan juga
adanya sebagian pelaku-pelaku usaha yang menjadikan dasar bahwa keadaan pandemi sebagai
alasan untuk pembatalan kontrak yang sudah disepakati sebelumnya. Adapun bentuk-bentuk

5
dari wanprestasi, yaitu Muhammad Syaifuddin (2012:338):
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
3. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya;
4. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian
Perjanjian yang merupakan suatu instrumen yang memiliki unsur adanya hak dan
kewajiban tentu dapat diharapkan terjadi secara adil dan baik serta memiliki proporsionalitas
sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
adanya potensi terjadinya suatu hambatan dalam pelaksanaanya yang bahkan mengakibatkan
terjadinya kegagalan berkontrak yang disebabkan oleh faktor baik internal maupun eksternal.

2. Latar Belakang

6
Mengenai force majeure ketika pandemi Covid-19, sebelumnya Presiden Joko Widodo,
telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan
Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana
Nasional sebagai dasar hukum force majeure.

Dari keputusan presiden tersebut, Covid-19 dinyatakan sebagai bencana non-alam dan
Covid-19 juga dinyatakan sebagai force majeure. Namun dengan adanya keputusan tersebut,
tidak serta merta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian bisnis karena alasan
tersebut.

Dalam hukum perjanjian bisnis terdapat istilah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta
Sunt Servanda). Asas ini berarti pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian
tersebut. Dalam asas ini pula kesepakatan antar pihak saling mengikat laiknya undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya.

Dari asas tersebut, kedua belah pihak berhak melaksanakan perjanjian sesuai klausul yang
sudah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Ketentuan force majeure ditentukan oleh klausul
perjanjian dengan menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk di dalamnya.

Jika para pihak mencantumkan pandemi Covid-19 ke dalam klausul force majeure, maka


salah satu pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Apabila pademi Covid-19 tidak
termasuk dalam klausul, Covid-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure.

Mengenai Hukum Pembiayaan diindonesia, Consumer finance adalah salah satu lembaga
pembiayaan yang secara resmi masih tergolong baru di Indonesia. Perjanjian pembiayaan
konsumen merupakan perjanjian yang timbul dalam praktik sehari – hari masyarakat luas.

Dalam suatu hubungan kontraktual pandemi Covid - 19 menjadi titik perdebatan antara
pelaku usaha yang terikat dalam kontrak tersebut. Pihak debitur yang memiliki kewajiban
kontraktual menjadikan keadaan pandemi Covid - 19 sebagai dasar untuk membebaskan diri
dari kewajibannya memenuhi prestasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar hukum pengaturan perjanjian
pembiayaan konsumen dalam perspektif hukum kontrak dan mengetahui akibat hukum

7
force majeure bagi para pihak pada perjanjian pembiayaan konsumen dalam hal terjadi
pandemi Covid - 19.

Adapun masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah dasar hukum
pengaturan perjanjian pembiayaan konsumen dalam perspektif hukum kontrak serta
bagaimanakah akibat hukum force majeure bagi para pihak pada consumer finance agreement
dalam ketika terjadinya wabah virus corona.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian yang bersifat normatif dengan mana
memakai pendekatan undang – undan dan pendekatan secara konseptual. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulka bahwa pandemi Covid – 19 yang terjadi saat inihanya dapat
dikualifikasikan sebagai keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak atau relative atau dapat
dikatakan bahwa debitur tidak dapat menjadikan alasan pandemi ini sebagai alasan
pembatalan kontrak.

Keadaan memaksa yang bersifat relatif tersebut hanya sebatas menunda pelaksanaan
kewajiban memenuhi prestasi untuk sementara waktu dimana para pihak dapat melakukan
Negosiasi terhadap perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

8
3. Permasalahan
a. Bagaimana Hubungan antara Covid-19 dan Force Majeure (Keadaan Memaksa)?
b. Bagaimana Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dalam
Perspektif Hukum Kontrak?
c. Bagaimana Akibat Hukum Force Majeure bagi para Pihak pada Perjanjian
Pembiayaan Konsumen dalam Hal Terjadi Pandemi Covid-19?
d. Bagaimana Dampak Covid-19 pada Sewa Guna Usaha (Leasing) dan Pembiayaan
Konsumen?
e. Bagaimana bunyi Keppres No. 12 Tahun 2020 dan Force Majeur Dalam Perjanjian
Pembiayaan?

4. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dasar hukum pengaturan
perjanjian pembiayaan konsumen dalam perspektif hukum kontrak dan mengetahui
akibat hukum force majeure bagi para pihak pada perjanjian pembiayaan konsumen
dalam hal terjadi pandemi Covid-19 serta mengetahui perarturan pemerintah yang
mengatur tentang force majeur dalam hukum pembiayaan.

9
5. Pembahasan

1. Bagaimana Hubungan antara Covid-19 dan Force Majeure (Keadaan Memaksa)?

Force majeur atau Overmacht adalah suatu keadaan di luar kekua- saannya si berhutang,
suatu keadaan yang timbul tidak terduga atau tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat.
Istilah force majeure dalam perjanjian sering juga disebut dengan istilah Overmacht, Act of God,
Keadaan Memaksa, Keadaan Darurat, Keadaan Kahar, dan keadaan di luar kemam- puan
manusia. Force majeur terbagi 2, yaitu force majeur yang bersifat mutlak (absolut) yaitu si
berhutang (debitur) sama sekali tidak dapat melaksanakan perjanjian. Force majeur yang bersifat
relatif yaitu suatu keadaan dimana perjanjian masih dimungkinkan dilak- sanakan, walau dengan
pengorbanan/ usaha yg sangat besar. Tentang hal ini diatur dalam Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata.

Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidak- lah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila
lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berhutang berha- langan
memberikan atau berbuat se- suatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”. KUHPerda- ta mengatur tentang situasi keadaan memaksa
(force majeur) yang menyebabkan si berhutang tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

Menurut Subekti untuk dapat dikategorikan force majeur :

1) suatu keadaan di luar kekuasaan si berhutang; dan

2) keadaan yang timbul tersebut meru- pakan suatu keadaan yang tidak diketahui pada waktu
perjanjian itu dibuat. Jika si berhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan force
majeur, baik penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar
peng- gantian kerugian

2. Bagaimana Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dalam


Perspektif Hukum Kontrak?

Perjanjian atau yang disebut juga sebagai persetujuan ialah bersumber dari perikatan karena
adanya persetujuan dari pihak-pihak yang mengikatkan diri. Dapat disimpulkan bahwa relevansi
antara perikatan dan perjanjian tersebut ialah bahwa perjanjian yang disepakati melahirkan suatu

10
perikatan lalu istilah kontrak itu sendiri diartikan lebih sempit mengingat hanya bersifat tertulis
(Subekti, 1995).

Pembiayaan konsumen adalah suatu kegiatan dimana dilakukannya pembiayaan oleh


perusahaan atau lembaga keuangan non-bank yang dengan kata lain bahwa perusahaan ini
bergerak dibidang jasa pembiayaan dalam hal pengadaan barang yang sesuai dengan kebutuhan
para konsumen (Sembiring, 2001:114)

Perjanjian pembiayaan konsumen ini tidaklah diatur secara khusus atau spesifik dalam
KUHPerdata namun dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan
pembiayaan terdapat suatu aturan hukum yang dipakai dari aspek hukum perdata yaitu Pasal
1338 KUHPerdata mana pasal tersebut memuat asas kebebasan berkontrak sebagai dasar dalam
membuat perjanjian dan perundang- undangan dibidang hukum perdata.

Di dalam hal pembuatan kontrak pembiayaan konsumen, Pasal 1320 KUHPerdata digunakan
sebagai syarat sahnya sebuah kontrak yang nantinya akan dibuat atas dasar kesepakatan para
pihak yang mengikatkan diri dan menyepakati perjanjian tersebut layaknya undang-undang.
Kemudian konsekuensi yang harus diterima para pihak yang telah menyepakatinya adalah harus
melaksanakan seluruh klausul perjanjian tersebut dengan itikad baik dan tidak mungkin dapat
dibatalkan sepihak. Perjanjian yang dibuat secara tertulis tersebut menjadi dasar atau bukti jika
dikemudian hari terjadi permasalahan hukum.

Perjanjian pembiayaan konsumen tersebut dapat dimaknai sebagai perjanjian pinjam pakai
habis serta perjanjian jual beli bersyarat yang merupakan suatu bentuk perjanjian yang tunduk
pada KUHPerdata dan dapat disimpulkan bahwa kedua perjanjian tersebut merupakan sumber
hukum utama bagi kontrak pembiayaan konsumen.

3. Bagaimana Akibat Hukum Force Majeure bagi para Pihak pada Perjanjian
Pembiayaan Konsumen dalam Hal Terjadi Pandemi Covid-19?

Adanya wabah covid-19 tersebut mendorong pemerintah untuk membuat berbagai peraturan
yang terkait dengan adanya wabah Covid-19 ini salah satu diantaranya yaitu dimana Presiden
telah menerbitkan Perpu yang menyangkut tentang stabilitas sistem keuangan dalam hal
penanganan wabah virus corona.

11
Perpu dapat dibuat oleh Presiden dalam hal terjadi kegentingan memaksa, jadi dapat
disimpulkan bahwa wabah Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan suatu keadaan memaksa
yang mengancam sistem perekonomian dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Untuk itu
dapat dikatakan selain Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam
Penyebaran Wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, Perpu
nomor 1 Tahun 2020 tersebut juga relevan untuk dijadikan dasar telah terjadi keadaan memaksa.

Force majeure karena Pandemi Covid-19 tidak serta merta dapat dijadikan sebagai alasan
keadaan memaksa karena tidak semua debitur ketika terjadi pandemi ini terhalang untuk
melaksanakan kewajiban atau memenuhi prestasinya melainkan tergantung pada sektor usaha
yang dijalankan debitur.

Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini hanya dapat dikualifikasikan sebagai keadaan
memaksa yang bersifat tidak mutlak atau relative atau dengan kata lain debitur tidak dapat
menjadikan alasan pandemi ini sebagai alasan pembatalan kontrak. Keadaan memaksa yang
bersifat relatif tersebut hanya sebatas menunda pelaksanaan kewajiban memenuhi prestasi untuk
sementara waktu dimana para pihak dapat melakukan negosiasi terhadap perjanjian yang telah
dibuat sebelumnya dan hal ini pun didukung dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 14 Tahun 2020 dimana peraturan ini salah satu kententuannya menyangkut tentang
restrukturisasi kredit.

Dalam kaitannya dengan perjanjian pembiayaan konsumen, jika debitur tidak dapat
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam suatu perjanjian, maka debitur dapat
mengajukan permohonan kepada kreditur untuk dilakukannya restrukturisasi kredit dengan
alasan telah terjadi keadaan memaksa yang menyebabkan usaha atau bisnis si debitur terdampak
akibat adanya pandemi covid-19. Namun demikian kreditur juga tetap harus mengedepankan
prinsip kehati-hatian dalam mengabulkan permohonan restrukturisasi yang diajukan oleh debitur
sesuai dengan syarat-syarat restrukturisasi yang diatur dalam POJK Nomor 14 Tahun 2020
tersebut.

Akibat hukum bagi para pihak jika dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan konsumen
apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajiban memenuhi prestasinya yaitu kreditur tidak
dapat menuntut pelaksanaan kewajiban kepada debitur untuk memenuhi prestasinya namun
dengan catatan debitur mampu membuktikan bahwa memang pemenuhan prestasi tersebut tidak

12
dapat dilaksanakan karena terjadi keadaan memaksa. Akibat hukum bagi debitur yaitu dapat
menunda pelaksanaan kewajiban tersebut serta tidak wajib untuk membayar bunga ataupun
denda akibat keterlambatan pembayaran angsuran kredit tersebut.

4. Bagaimana Dampak Covid-19 pada Sewa Guna Usaha (Leasing) dan Pembiayaan
Konsumen?

Sewa Guna Usaha yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah ‘leasing’ adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan modal baik dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi,
dengan bentuk pembayaran angsuran. Leasing tidak dikenal dalam KUHPerdata. Leasing
merupakan bentuk perjanjian antara sewa me- nyewa dan jual beli. Dasar hukum secara
substantif adalah pasal 1338 KUHPerdata tentang kebebasan ber- kontrak. Bahwa para pihak
bebas untuk melakukan hubungan hukum dan menentukan model hubungan perikatan diantara
mereka, sepanjang itu memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Leasing tumbuh dalam praktek bisnis yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam melakukan kegiatan usaha, suatu perusahaan memerlukan barang mo- dal untuk
menjalankan usahanya, yang seringkali sulit diwujudkan ka- rena tidak adanya dana tunai untuk
membelinya.

Hubungan antara debitur de- ngan pihak kreditur pada umumnya kontraknya sudah dibuat
secara stan- dar oleh kreditur, sedangkan debitur tinggal menandatanganinya. Akibat- nya
seseorang menjadi terpaksa melakukan perjanjian, misalnya karena dalam keadaan butuh sekali
akan barang modal sehingga menandata- ngani perjanjian dengan bunga tinggi, atau jika suatu
perjanjian yang sudah dibuatkan konsepnya dan tinggal ditandatangani saja. Konsumen sendiri
tidak mengerti isinya secara jelas, namun tetap disetujui karena yang dihadapi adalah lawan
perikatannya yang memiliki posisi lebih tinggi, misalnya pengusaha besar, pejabat tinggi, dan
sebagainya. Dalam banyak kasus debitur tidak cermat dalam membaca klausul baku yang
termuat dalam perjanjian baku. Sehingga ketika terjadi gagal bayar misalnya seperti pada
peristiwa wabah Covid-19 dengan adanya penerapan PSBB yang berakibat pada tidak dapat
memenuhi prestasi. Hal ini banyak menimpa para debitur kecil yang nafkah hidupnya sangat

13
bergantung pada perputaran barang modal (seperti gojek, gocar, pedagang sayur, pedagang
makanan, dll), yang jum- lahnya tidak sedikit.

Karena penetapan penyebar- an Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam, pemberlakuan


PSBB sema- kin diperketat. Mall ditutup sampai batas yang ditentukan, hotel ditutup, pabrik
ditutup dan/atau karyawan masuk dengan penerapan social distancing (artinya sebagian dirumah-
kan bahkan PHK), restoran ditutup, sekolah/ universitas ditutup, pasar dibatasi pengunjung
dan/atau ditu- tup. Kebijakan Work From Home dan School From Home, semakin mening-
katkan terjadinya ‘gagal bayar’ konsumen/debitur perusahaan pembiayaan cq leasing maupun
pembiayaan kon- sumen. Karyawan pabrik yang terpaksa dirumahkan bahkan di PHK, sementara
masih berlangsung kewajiban membayar cicilan pada perusahaan pembiayaan. Karyawan hotel,
karyawan restoran, karyawan kantin sekolah, tukang sayur di pasar, para tukang ojek, yang tiba-
tiba kehilangan pelanggan karena aktivitas yang dibatasi melalui penerapan social distancing dan
PSBB, sementara kewajiban membayar cicilan barang modal (kendaraan atau lainnya) masih
berlangsung. Mereka tidak siap dengan keadaan tersebut, seketika tidak memiliki kemampuan
untuk melaksanakan kewajibannya.

Skim leasing secara hukum memiliki ciri khas yang membedakannya dengan pembiayaan
konsumen, yaitu pada saat perjanjian ditanda tangani para pihak, barang berada dalam
penguasaan debitur tetapi secara hukum pemilik barang masih berada pada kreditur (lessor).
Oleh karena itu perjanjian fidusia pada leasing tidak diperlukan, karena barang tetap milik lessor
sampai saat pelunasan.

Pembiayaan Konsumen pembiayaan diberikan untuk keperluan konsumerisme, pembiayaan


diberi-kan oleh kreditur bukan untuk barang modal, tetapi untuk kebutuhan kon- sumen. Berbeda
dengan leasing, skim pembiayaan konsumen pada saat kedua pihak bersetuju atau menan-
datangani kontrak/perjanjian, pada saat itu barang berada dalam pengu- asaan debitur sekaligus
pemilik ba- rang. Kepemilikan barang berpindah dari kreditur kepada debitur. Inilah yang butuh
perjanjian fidusia, karena secara hukum kepemilikan barang sudah berpindah kepada debitur.
Pembiayaan konsumen, pembiayaan yang dilakukan untuk memenuhi ke- butuhan konsumen
akan benda- benda ysng diinginkan konsumen, bukan untuk barang modal. Oleh karena itu
debitur pada skim pembiayaan konsumen, sudah mempersiapkan atau memperhitungkan
pembayaran kewajibannya.

14
Pembiayaan konsumen pada umumnya debitur dari masyarakat yang memiliki peng- hasilan
tetap bulanan. Berbeda dengan skim leasing, dimana barang modal itulah yang digunakan
untukan membayar kewajiban piutangnya se- tiap bulan. Era pandemi covid-19 prioritas
relaksasi seharusnya pada debitur skim leasing, karena barang modal itulah yang digunakan
untuk membayar cicilan angsuran yang menjadi kewajiban debitur.

Secara hukum putusnya perjanjian leasing dan/atau perjanjian pembiayaan konsumen, dapat
terjadi karena 3 (tiga) hal, yaitu:

a) konsensus, yang biasanya tercantum dalam perjanjian kapan berakhirnya perikatan


diantara para pihak;

b) wanprestasi; dan

c) force majeur.

Peristiwa force majeur sebagai alasan berakhirnya perjanjian, tidak mudah untuk
menafsirkannya. Ada yang bersifat absolut dan ada force majeur yang bersifat relatif. Pada
situasi dan kondisi saat ini, butuh kebijaksanaan dalam menafsirkan ketiga hal tersebut di atas
tentang putusnya perjanjian. Khususnya yang berkaitan dengan penerapan asas keseimbangan,
asas keadilan, itikad baik dan kepatutan sebagaimana tercantum dalam pasal 1338 dan pasal
1339 KUHPerdata. Pastinya bahwa Keppres No.12 tahun 2020 bukan penetapan tentang force
majeur tetapi penetapan bahwa penye- baran covid-19 merupakan bencana nasional non-alam.
Keppres No. 12 Tahun 2020 sangat dimungkinkan menjadi acuan dalam mempertim- bangkan
keberpihakan kepada debitur yang mengalami masalah karena kebijakan covid-19. Sehingga
debitur tidak dikategorikan gagal bayar karena wanprestasi.

5. Bagaimana bunyi Keppres No. 12 Tahun 2020 dan Force Majeur Dalam Perjanjian
Pembiayaan?

Keppres No. 12 Tahun 2020 adalah tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional. Keppres tersebut meru pakan kebijakan
Presiden Jokowi dalam menghadapi dampak dari wabah covid-19 yang sangat mempe- ngaruhi
perekonomian negara. Secara tidak langsung kegiatan bisnis yang dilakukan dengan perjanjian

15
pembi- ayaan (leasing dan pembiayaan kon- sumen usaha) di bidang kendaraan bermotor telah
menyumbang signi- fikan terhadap perekonomian Indonesia.

Pada tahun 2019 penyaluran pembiayaan industri multifinance (perusahaan pembiayaan)


meningkat 5,16% menjadi Rp 436,26 triliun. Hal ini diikuti oleh peroleh laba bersih yang
meningkat signifikan menjadi Rp 16,02 triliun pada tahun 2018 dimana pada tahun 2017
perolehan laba masih di angka Rp 13,26 triliun.11 Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan
pembiayaan memberikan kontribusi yang besar dan sangat mempengaruhi jalannya
perekonomian Indo- nesia saat ini.

Keppres No. 12 Tahun 2020 merupakan sebuah kebijakan pemerintah, yang dituangkan
dalam bentuk aturan hukum (regulasi). Suatu atur- an hukum memiliki akibat hukum yaitu:

1) Menimbulkan beberapa peru- bahan hak, kewajiban atau kewena- ngan yang ada;

2) Perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek yang ada; dan

3) Terdapat hak, kewajiban, kewenangan ataupun sta- tus tertentu yang ditetapkan.

Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan berkaitan dengan pandemi Covid-19 (Peraturan


Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan CoronaVirus Disease 2019 dan Keppres No. 12 Tahun 2020) yaitu
subordinate legislations yang merupakan peraturan yang didelegasikan oleh undang- undang
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan).

Peraturan perundang- undangan tersebut termasuk ke dalam kategori allgemeene


verbindende voor- schriften atau peraturan yang mengikat untuk umum. Pasal 100 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
Undangan menyebutkan “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur,
Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya yang sifatnya mengatur, yang sudah
ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini”.

16
Keppres No. 12 Tahun 2020 merupakan ketetapan pemerintah yang menegaskan bahwa
pandemi Covid-19 adalah bencana nasional dengan kategori non alam, bukan ketetapan tentang
force majeure (keadaan memaksa). Force majeure termasuk resiko yang didalam praktek
perjanjian para pihak menyerahkan beban resiko tersebut kepada pihak ketiga, dalam hal ini
perusahaan asuransi. Klausula force majeur pada umumnya termuat dalam perjanjian, walaupun
terbatas. Suatu perjanjian merupakan tuangan hak dan kewajiban dari para pihak, untuk
melakukan prestasi.

Adanya wabah Covid-19 yang antara lain berdampak pada gagalnya pelaksanaan prestasi
dari perjanjian pembiayaan yang telah berjalan. Gagalnya pelaksanaan prestasi karena ‘suatu hal
tak terduga’ sebagaimana dikuatkan dengan ketetapan pemerintah yang dituangkan dalam
Keppres No.12 Tahun 2020, seharusnya tidak dapat dikategorikan wanprestasi.

Keppres No. 12 Tahun 2020 relevan dan memenuhi unsur 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata.
Pandemi Covid-19 merupakan suatu keadaan yang terjadi di luar kesengajaan debitur, suatu
kondisi yang tidak diketahui saat perjanjian dibuat, suatu peristiwa yang tak terduga. Hal ini
sangat relevan dengan Pasal 1245 KUH- Perdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal
yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Bagaimana mengimplementasikan Pasal 1245 tersebut sehingga debitur tidak mengalami


putus kontrak dan pandemi Covid-19 merupakan ‘excuse’ untuk diringankan (relaksasi) dalam
melaksanakan kewajibannya. Force majeure pengaturannya di Indonesia terdapat dalam Pasal
1244 dan 1245 KUHPerdata, ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara
penggantian biaya, rugi dan bunga, namun demikian dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan
force majeure.

17
6. Penutup
a. Kesimpulan

1. Dasar hukum pengaturan consumer finance agreement dalam perspektif hukum kontrak yaitu
bahwa perjanjian ini tidak diatur secara spesifik maupun khusus di dalam ketentuan KUHPerdata
namun dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan perusahaan pembiayaan konsumen terdapat
aturan hukum yang digunakan bersifat umum dari segi hukum perdata yaitu Pasal 1320 yang
memuat syarat sahnya suatu perjanjian dan Pasal 1338 KUHPerdata yang mana dalam pasal itu
memuat asas kebebasan berkontrak sebagai dasar dalam membuat perjanjian dan perundang-
undangan dibidang hukum perdata. Perjanjian pembiayaan konsumen dapat dimaknai sebagai
perjanjian pinjam pakai habis yang diakomodir dalam Pasal 1754-1773 BW dan perjanjian jual
beli bersyarat ditentukan oleh Pasal 1457-1518 BW yang merupakan bentuk perjanjian yang
pada prinsipnya tunduk pada ketentuan buku III KUHPerdata bahwa kedua perjanjian tersebut
merupakan sumber hukum utama bagi perjanjian pembiayaan konsumen.
2. Akibat Hukum Force majeure bagi para pihak pada perjanjian pembiayaan konsumen dalam
hal terjadi pandemi Covid-19 yaitu dapat dijadikan alasan sebagai force majeure yang bersifat
relatif yang dapat diartikan sebagai keadaan memaksa yang tidak memiliki dampak mutlak tidak
dapat dilaksanakannya suatu perjanjian. Keadaan memaksa yang bersifat relatif tersebut hanya
sebatas menunda pelaksanaan kewajiban memenuhi prestasi untuk sementara waktu dimana para
pihak dapat melakukan negosiasi terhadap perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
3. Perpu dapat dibuat oleh Presiden dalam hal terjadi kegentingan memaksa, jadi dapat
disimpulkan bahwa wabah Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan suatu keadaan memaksa
yang mengancam sistem perekonomian dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Untuk itu
dapat dikatakan selain Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam
Penyebaran Wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, Perpu
nomor 1 Tahun 2020 tersebut juga relevan untuk dijadikan dasar telah terjadi keadaan memaksa.

18
4. Keppres No. 12 Tahun 2020, dapat memenuhi unsur adanya suatu kejadian tak disengaja yang
diatur dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Dengan demikian debitur yang menga- lami gagal bayar
karena adanya kon- disi yang disebabkan karena Covid-19, bukan kategori wanprestasi. Adanya
perjanjian baku/kontrak baku, memi- liki keterbatasan, terutama bagi de- bitur yang merupakan
pihak yang membutuhkan, yang dalam praktek- nya perjanjian dibuat oleh kreditur dan debitur
‘hanya’ menyetujuinya.

b. Saran

Berikut adalah beberapa saran yang penulis berikan untuk arah perkembangan selanjutnya:

1. Kepada Pemerintah dan regulator dalam hal ini OJK agar diharapkan tetap memberikan
keringanan tambahan pasca berakhirnya masa restrukturisasi karena mengingat masih akan ada
potensi risiko yang timbul yaitu kemampuan debitur untuk membayar hutang masih sulit setelah
berakhimya masa restrukturisasi tersebut.

2. Kepada para praktisi hukum khususnya di bidang hukum perdata agar dapat memberikan
sosialisasi mengenai pengertian force majeure dalam hal terjadi pandemi Covid-19 sehingga
tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat yang sedang mengalami permasalahan terkait
dengan hubungan kontraktual.

3. Bagi pihak lembaga pembiayaan konsumen (kreditur) dan pihak debitur yang melakukan
kontrak pembiayaan konsumen, dalam situasi saat ini dimana Pandemi covid-19 belum berakhir
hendaknya permasalahan wanprestasi dapat diselesaikan secara musyawarah untuk dapat
mencapai win-win solution sehingga tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak.

4. Peristiwa pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
khusus- nya perjanjian baku yang dibuat oleh kreditur (perusahaan pembiayaan de- ngan pengawasan
Otoritas Jasa Keu- angan) semestinya mampu menjang- kau segala kemungkinan yang akan terjadi di
masa depan. Perjanjian baku harus berdasarkan itikad baik dan kepatutan dengan mempertimbang- kan
keseimbangan kepentingan dan keadilan, sehingga perlu mengan- tisipasi dengan memasukkan klausul
yang berkeadilan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Aminah, SH, M. (2020). Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian.
Private Law Review, Vol.7 (1).

Hernoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial.

Prenamedia Group. Jakarta.

Kosasih, J. I. (2019). Kausa Yang Halal dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Hukum
Perjanjian. Sinar Grafika. Jakarta

Sutarjo, A. Y., & Djuwityastuti. (2018). Akibat Hukum Debitur Wanprestasi pada Perjanjian
Pembiayaan Konsumen dengan Obyek Jaminan Fidusia yang Disita. Privat Law, Vol. 6(1).

Chairunisa A, ‘Force Majeure Dalam Hukum Kontrak di Indonesia’ (2015) 1 (1) Jurnal
Veritas Et Justitia.

Pramono N, ‘Problematika Putusan Hakim Dalam Perkara Pembatal- an Perjanjian’ (2010) 22


(2) Mimbar Hukum.

Rongiyati S, ‘Perjanjian Penjaminan Kredit Antara UMKM dan Lembaga Penjaminan


Berdasar- kan UU No.1/2016 tentang Penjaminan’ (2016) 7 (1) Jurnal Negara Hukum.

Sutardjo AY, ‘Akibat Hukum Debitur Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen’
(2018) Privat Law.

20
21

Anda mungkin juga menyukai