Materi Postpasrtum
Materi Postpasrtum
Bentuknya seperti corong karena disebabkan oleh korpus uteri yang mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi terdapat perbatasan antara korpus uteri dan serviks berbentuk cincin.
Muara serviks yang berdilatasi 10cm pada waktu persalinan, menutup secara bertahap. Setelah bayi lahir, tangan
masih bisa masuk rongga Rahim, setelah 2 jam dapat dimasuki 2-3 jari dan pada minggu ke 6 pasca persalinan
serviks menutup.
5) Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses persalinan dan akan
kembali secara bertahap dalam waktu 6-8 minggu postpartum. Penurunan hormon estrogen pada masa pasca
persalinan berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Rugae akan terlihat kembali sekitar
minggu ke 4.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Setelah kelahiran plasenta, maka terjadi penurunan produksi progesteron. Sehingga hal ini dapat menyebabkan
heartburn dan konstipasi terutama pada hari pertama. Hal ini terjadi karena inaktifitas motilitas usus menyebabkan
kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan dan adanya refleks hambatan defekasi akibat rasa nyeri pada
perineum karena pasca episiotomi, pengeluaran cairan yang berlebihan waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan,
hemoroid. Supaya buang air besar kembali teratur dapat diberikan makanan yang mengandung serat dan pemberian
cairan yang cukup. Bila usaha ini tidak berhasil dalam waktu 2-3 hari dapat dibantu dengan pemberian huknah atau
spuit gliserin atau pemberian obat laksatif atau pencahar.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Deuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari pasca persalinan. Hal ini merupakan salah satu pengaruh selama kehamilan
dimana saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali normal setelah 4 minggu postpartum. Pada awal
pasca persalinan kandung kemih akan mengalami edema, kongesti dan hipotonik. Hal ini disebabkan karena adanya
overdistensi pada saat kala II persalinan dan pengeluiaran urin yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatan
pada uretra disebabkan karena adanya trauma saat persalinan yang berlangsung dan trauma ini dapat berkurang
setelah 24 jam pasca persalinan.
d. Perubahan Sistem Endokrin
Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar Hormon Chrinonis Gonadotropin (HCG), Human Plasental Lactogen
(HPL), secara berangsur menurun dan normal setelah 7 hari postpartum.
1) Hormon plasenta
Selama periode pasca persalinan terjadi perubahan hormon yang signifikan. Pengeluaran plasenta menyebabkan
penurunan signifikan hormon-hormon yang diproduksi oleh plasenta. Penurunan hormon human plasental lactogen
(HPL), estrogen dan progesteron serta plsenta enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga
kadar gula darah menurun. Human Chrinonis Gonadotropin (HCG) menurun dan menetap sampai 10 % dalam 3 jam
hingga hari ke 7 pasca persalinan dan sebagai pemenuhan mamae pada hari ketiga pasca persalinan
2) Hormone pituitary
Prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) meningkat pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke
3 dan Leutinizing Hormon (LH) tetap rendah hingga ovulasi terjadi.
3) Hormon oksitoksin
Oksitoksin di keluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang (posterior), bekerja terhadap otot uterus dan
jaringan payudara. Selama tahap ke tiga persalinan, oksitoksin menyebabkan pemisahan plasenta. Kemudian
seterusnya bertindak otot yang menahan kontraksi, mengurangi tempat plasenta dan mencegah perdarahan. Pada
wanita yang memilih menyusui bayinya, isapan sang bayi merangsang keluarnya oksitoksin lagi dan ini membantu
uterus kembali ke bentuk normal dan pengeluaran air susu.
4) Hormone pituitary ovarium
Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan mempengaruhi lamanya ia mendapatkan menstruasi.
Seringkali menstruasi pertama bersifat anovulasi yang dikarenakan rendahnya kadar estrogen dan progesteron.
Diantara wanita laktasi sekitar15% memperoleh menstruasi selama 6 minggu dan 45% setelah 12 minggu. Di antara
wanita yang tidak laktasi 40% menstruasi setelah 6 minggu, 65% setelah 12 minggu dan 90% setelah 24 minggu.
Untuk wanita laktasi 80% menstruasi pertama anvolusi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50% siklus pertama
menstruasi.
2) Nadi
Denyut nadi nadi normal 60-100 x/menit. Setelah melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat.
3) Tekanan darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah. Tekanan darah menjadi turun setelah melahirkan karena ada perdarahan
dan tekanan darah akan tinggi pada postpartum dapat menandakan pre eklamsia.
4) Pernafasan
Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Apabila suhu dan denyut nadi tidak
normal pernafasan juga akan mengikuti kecuali ada gangguan pernafasan.
f. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Kardiac output meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai kala III ketika volume darah uterus
dikeluarkan. Penurunan terjadi pada beberapa hari pertama post partum dan akan kembali normal pada akhir minggu
ke tiga post partum.
g. Perubahan Hematologi
Terjadi peningkatan sel darah putih berkisar antara 15.000-30.000 merupakan adanya infeksi pada persalinan. Pada
hari 2-3 post partum konsentrasi hematokrit menurun sekitar 2% atau lebih.
h. Perubahan sistem muskuluskeletal
Ligamen fasia dan diagfragma pelvis yang meregang pada waktu kehamilan dan persalinan beangsur-angsur pulih
kembali seperti sediakala. Setelah persalinan tidak jarang ligamen rotundum mengendur. Fasia jaringan penunjang
alat genetalia yang mengendur dapat diatasi dengan latihan tertentu. Mobilitas sendi yang berkurang dan posisi
lordosis akan kembali secara perlahan.
i. Perubahan Pada Payudara
Selama kehamilan, hormone prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI belum keluar karena masih dihambat oleh
hormon esterogen yang tinggi. Pada hari kedua sampai hari ketiga pasca persalinan, kadar esterogen dan
progesteron menurun sehingga hormone prolactin meningkat pada saat inilah terjadi sekresi ASI. Dengan
menyusukan lebih dini perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga ASI semakin lancar.
Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu refleks prolactin dan refleks aliran timbul akibat
perangasangan putting oleh hisapan bayi.
c. Eliminasi
1) Miksi
Buang air kecil normal apabila setiap 3-4 jam. Ibu diusahakan untuk buang air kecil sendiri, bila tidak bisa dilakukan
tindakan:
a) Dirangsang dengan air mengalir di dekatkan ke klien
b) Mengompres air hangat diatas simpisis pubis. Apabila tidak behasil bisa dilakukan pemasangan kateter.
2) Defekasi
Biasanya 2-3 hari setelah melahirkan masih sulit utuk buang air besar. Jika pasien pada hari ke 3 belum buang air
besar maka diberikan laksan supositoria dan minum air hangat. Agar bisa buang air besar teratur maka perlu
dilakukan diet, pemberian cairan, serta olahraga.
d. Kebersihan diri
1) Perawatan perineum
Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil perineum dibersihkan secara rutin. Caranya dibersihkan dengan
air sabun yang lembut minimal sekali sehari. Dimulai dari simphisis sampai anus sehingga tidak terjadi infeksi. Ibu
juga diberi tahu untuk mengganti pembalut minimal 4 kali sehari.
2) Perawatan payudara
a) Menjaga payudara tetap bersih dan kering terutama puting susu dengan menggunakan BH menyokong payudara.
b) Apabila puting susu lecet, oleskan kolostrum atau ASI yang keluar pada sekitar puting susu setiap kali menyusui.
Menyusui tetap di lakukan di mulai dari puting yang tidak lecet.
c) Apabila lecet sangat berat dapat di istirahatkan selama 24 jam, ASI dikeluarkan dan di minumkan dengan sendok.
d) Untuk menghilangkan nyeri ibu dapat di berikan tablet analgetik 4-6 jam.
e. Istirahat
Anjurkan ibu untuk istirahat yang cukup untuk mengurangi kelelahan, istirahat selagi bayi masih tidur, kembali ke
kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan, mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu
untuk istirahat pada siang hari kira-kira 2 jam dan malam hari 7-8 jam. Kurang istirahat pada ibu nifas dapat
mengakibatkan kurangnya produksi ASI, memperlambat involusi, yang berakhirnya bisa menyebabkan perdarahan
serta depresi
f. Seksual
Apabila perdarahan telah berhenti dan epsiotomi sudah sembuh maka coitus bisa dilakukan pada 3-4 minggu
setelah melahirkan.
Hasrat seksual pada bulan pertama akan berkurang baik kecepatanya maupun lamanya, juga orgasme pun akan
menurun. Ada juga yang berpendapat bahwa coitus dapat dilakukan setelah masa nifas berdasarkan teori proses
penyembuhan luka post partum sampai dengan 6 minggu. Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri
begitu darah merah berhenti.
5. Komplikasi
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam yang melibihi 500 ml setelah bersalin didefinisikan sebagai perdarahan pasca persalinan.
b. Infeksi masa nifas
Beberapa bakteri menyebabkan infeksi setelah persalinan. Infeksi masa nifas masih merupakan penyebab tertinggi
AKI. Infeksi alat genital merupakan komplikasi masa nifas. Infeksi yang meluas ke saluran urinaria, payudara dan
pembedahan merupakan penyebab terjadinya AKI tinggi. Gejala umum infeksi dapat dilihat dari temperature atau
suhu pembengkakan takikardi dan malaise. Sedangkan gejala lokal dapat berupa uterus lembek, kemerahan, dan
rasa nyeri pada payudara atau adanya disuria. Ibu beresiko terjadi infeksi post partum karena adanya luka pada
bekas pelepasan plasenta, laserasi pada saluran genital termasuk episiotomi pada perineum, dinding vagina dan
serviks, infeksi post SC yang mungkin terjadi. Penyebab infeksi bakteri endogen dan bakteri eksogen.
c. Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti
bahwa beberapa galur E. Coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya. Pada masa nifas dini, sensitivitas,
kandung kemih terhadap tegangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan serta
analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak
nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra atau hematoma dinding vagina. Setelah
melahirkan terutama saat infus oksitosin di hentikan terjadi diuresis yang di sertai peningkatan produksi urine dan
distensi kandung kemih. Overdistensi yang di sertai kateterisasi untuk mengeluarkan air yang sering menyebabkan
infeksi saluran kemih.
d. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan terasa sakit
Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat dapat menyebabkan payudara menjadi merah, panas, terasa
sakit, akhirnya terjadi mastitis. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadinya payudara bengkak.
BH yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement.ibu yang diit jelek, kurang istirahat, anemia akan
mudah terkena infeksi.
e. Rasa sakit, merah, lunak dan pembengkakan di kaki
Selama masa nifas dapat terbentuk trhombus sementara pada vena-vena manapun di pelvis yang mengalami dilatasi
dan mungkin lebih sering mengalaminya.
B. Episiotomi
1. Pengertian
Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin himen,
jaringan septum rektovagianal, otot-otot dan fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum untuk melebarkan
jalan lahir sehingga mempermudah kelahiran.
Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus
memperpendek jalan lahir. Dengan demikian persalinan dapat lebih cepat dan lancar.
Episiotomi biasanya dikerjakan pada hampir semua primipara atau pada perempuan dengan perineum kaku.
Episiotomi bertujuan mencegah ruptur perineum dan mempermudah pemulihan luka. Episiotomi dilakukan saat
perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina.
Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat jaringan lunak akibat daya regang yang
melebihi kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut. Oleh sebab itu, pertimbangan untuk melakukan
episiotomi harus mengacu pada penilaian klinik yang tepat dan tekhnik yang paling sesuai dengan kondisi yang
sedang dihadapi. Dengan demikian, tidak dianjurkan untuk melakukan prosedur episotomi secara rutin karena
mengacu pada pengalaman dan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh beberapa pakar dan klinisi, ternyata tidak
terdapat bukti bermakna tentang manfaat episotomi rutin. Episiotomi mediolateralis dan medialis, tidak menurunkan
risiko cedera pada sfingter ani. Episiotomi medialis, dianggap dapat meningkatkan risiko ini.
Episiotomi yang dikerjakan tanpa dasar dan alasan yang jelas dapat menyebabkan peningkatan kejadian dan
beratnya kerusakan perineum yang terjadi di bandingkan dengan laserasi yang terjadi secara spontan. Selain itu,
penerapan episiotomi secara bebas dan kurang tepat, dapat meningkatkan jumlah perdarahan yang terjadi pada
persalinan. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah robekan perineum, antara lain :
1) Aplikasi handuk hangat pada perineum
2) Fasilitasi fleksi kepala bayi agar tidak menyebabkan regangan mendadak
3) Mengarahkan kepala agar perineum dilalui oleh diameter terkecil saat ekspulsi
4) Menahan perineum dengan regangan telunjuk dan ibu jari.
2. Tujuan episiotomi
1) Mengurangi tekanan terhadap kepala bayi sehingga mengurangi terjadinya asfiksia akibat kekurang oksigen
2) Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum, jika elastisitasnya tidak mendukung proses persalinan
3) Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi kemungkinan asfiksia
4) Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga persalinan dapat dipercepat
3. Keuntungan episiotomi bagi ibu mencakup hal-hal berikut :
a. Luka insisi yang lurus (rata) lebih mudah diperbaiki dan lebih cepat sembuh dibanding luka laserasi yang
compang-camping serta tidak terkendali.
b. Dengan melakukan episiotomi sebelum otot dan fascia teregang berlebihan, kekuatan pada dasar panggul dapat
dipertahankan.
c. Struktur disebelah depan maupun disebelah belakang akan terlindungi. Dengan menambah ruang yang ada
disebelah posterior, peregangan dan kerusakan akan menjadi lebih kecil pada bagian anterior dinding vagina,
kandung kemih, dan urethra
d. Robekan kedalam rektum dapat dielakan
4. Keuntungan episiotomi bagi anak, episiotomi yang dilakukan pada saat yang tepat tidak hanya memudahkan
kelahiran tetapi juga mengurangi penekanan kepala pada perineum sehingga membantu mencegah kerusakan otak.
Ini berlaku untuk setiap bayi tetapi terutama penting untuk bayi dengan daya tahan rendah terhadap trauma, seperti
bayi prematur.
5. Kerugian episiotomi
a. Mungkin tidak diperlukan karena elastisitas perineum baik
b. Pada primigravida sebagai besar terjadi robekan spontan yang tidak teratur sehingga melakukan adaptasinya lebih
sulit saat menjahitnya.
6. Indikasi melakukan episiotomi
Episiotomi pada primigravida, kejadiannya antara 0-95% sedangkan pada multigravida lebih kecil karena jaringan
perineum sudah semakin elastis. Dalam beberapa kasus, perlu ditetapkan indikasi untuk melakukan episiotomi
sebagai berikut :
a. Profilaktik : untuk melindungi integritas dasar panggul
b. Halangan kemajuan persalinan akibat perineum yang kaku
1) Jaringan perineum tebal dan sangat berotot
2) Ada jaringan parut bekas operasi
3) Ada bekas episiotomi yang sudah diperbaiki
c. Untuk mengelakan robekan yang tak teratur, termasuk robekan yang melebar kedalam rectum
1) Kalau perineumnya sempit, antara bagian belakang vagina dan bagian depan rectum hanya terdapat sedikit
ruangan
2) Padea keadaan laserasi yang lebar tidak akan bisa dihindari
d. Alasan fetal
1) Bayi yang prematur dan lemah
2) Bayi-bayi yang besar
3) Posisi abnormal seperti presentasi muka dan presentasi bokong
4) Bayi harus dilahirkan dengan cepat pada keadaan gawat janin dan dilaatsi perineum tidak dapat ditunggu.
7. Macam-macam episiotomi
1) Episiotomi medialis, hanya sedikit perdarahan, perbaikan yang lebih mudah, dan nyeri penyembuhan yang jauh
lebih ringan dibandingkan dengan episiotomi posterolateral, namun episiotomi medialis memiliki resiko tinggi untuk
meluas ke rektum.
2) Episiotomi mediolateralis, adalah suatu kompromi yang dapat diterima. Kebanyakan operator menggunakan
gunting pada pelaksanaan tindakan ini meskipun skalpel dapat menghasilkan insisi yang rapi dan terekendali
ditangan orang yang berpengalaman.
3) Episiotomi lateral, tidak dianjurkan karena hanya dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih
banyak dan sukar direparasi.
8. Teknik
a. Episiotomi medialis
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani.
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1-2 % atau larutan
lidonest 1-2% atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian anestesi, dilakukan insisi dengan mempergunakan
gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi tidak sampai memotong pinggir
atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral, (episiotomi medio lateralis).
2) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa
jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit pula dengan beberapa
jahitan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputus-putus
(interrupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan
selaput lendir adalah catgut khromik, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
b. Episiotomi mediolateralis
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah
insisi ini dapat dilakukan kearah kanan ataupun kiri, tergantung oada kebiasaan orang yang melakukannya, panjang
insisi kira-kira 4 cm.
2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama denga teknik menjahit episiotomi medialis.
Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.
c. Episiotomi lateralis
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar
ke arah di mana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang menggangu penderita.
9. Komplikasi episiotomi
Komplikasi yang umum terjadi pada episiotomi adalah
a. Kehilangan darah :
1) Pada episiotomi mediolateral
2) Melakukan episiotomi terlalu dini, sedangkan persalinan masih jauh
3) Perdarahan merembes yang tidak diketahui sehingga menimbulkan hematoma lokal
b. Infeksi
1) Lokal akibat terkontaminasi dengan feses atau urin
2) Dapat terjadi jahitan terbuka kembali
10. Luka episiotomi menurut derajat luka
a. Tingkat I . Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum
b. Tingkat II. Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai otot
sfingter ani
c. Tingakat III. Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani
d. Tingakat IV. Robekan mengenai perineum sampai dengan otot
sfingter ani dan mukosa rektum
Robekan sekitar klitoris dan uretra dapat menimbulkan perdarahan hebat dan mungkin sangat sulit untuk diperbaiki.
Penolong harus melakukan penjahitan reparasi dan hemostatis.
11. Teknik menjahit luka episiotomi menurut derajat luka
a. Tingkat 1. Penjahitan robekan perineum tingkat 1 dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan
secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight)
b. Tingkat II. Sebelum dilakukan penjahitan luka pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai
pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang beregrigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.
Inggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir
robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina diajahit dengan catgut secara terputus-
putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit
dengan sutera secara terputus-putus
c. Tingkat III. Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum
rektrovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung sfingter ani yang terpisah oleh
karena robekan di klem dengan klem pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga
bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit di lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.
d. Tingkat IV
1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan
2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke dalam vagina (sebaiknya
di gunakan tampon berekor benang)
3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang jarum
4) Pasang benang jahit (kromik no 2/0) pada mata jarum
5) Tentukan dengan jelas batas luka robekan perineum
6) Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit dengan jahitan jelujur menggunakan catgut kromik no.2/0
7) Jahit fasia perirektal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali
8) Jahit fasia septum rektrovaginal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali
9) Ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan, di klem dengan menggunakan pean lurus
10) Kemudian tautkan ujung otot sfingter ani dengan melakukan 2-3 jahitan angka 8 (figure of eight) catgut kromik no
2/0 sehingga bertemu kembali
11) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan perineum tingkat II.
12. Bentuk Penyembuhan Luka
a. Luka sembuh Baik
Di katakan luka sembuh dengan baik, apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh < 5 hari, dan
luka dalam keadaan menutup dan kering.
b. Luka sembuh Sedang
Di katakan luka sembuh sedang apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh > 5 hari dan
kondisi luka menutup dan masih basah.
c. Luka sembuh Kurang Baik
Di katakan luka sembuh sedang apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh > 7 hari dan
kondisi luka belum kering dengan jahitan masih membuka ( Helen, 2009 ).
13. Perawatan pada tindakan episiotomi
Jika persalinan normal sampai memerlukan tindakan episiotomi ada beberapa hal yang harus dilakukan agar proses
pemulihan berlangsung seperti yang diharapkan
Inilah cara perawatan setelah episotomi :
a. Untuk menghindari rasa sakit kala buang air besar, ibu dianjurkan memperbanyak konsumsi serat seperti buah-
buahan dan sayuran. Dengan begitu tinja yang dikeluarkan menjadi tidak keras dan ibu tak perlu mengejan. Kalau
perlu, dokter akan memberikan obat untuk melembekkan tinja.
b. Dengan kondisi robekan yang terlalu luas pada anus, hindarkan banyak bergerak pada minggu pertama karena
bisa merusak otot-otot perineum. Banyak-banyaklah duduk dan berbaring. Hindari berjalan karena akan membuat
otot perineum bergeser.
c. Jika kondisi robekan tidak mencapai anus, ibu disarankan segera melakukan mobilisasi setelah cukup beristirahat.
d. Setelah buang air kecil dan besar atau pada saat hendak mengganti pembalut darah nifas, bersihkan vagina dan
anus dengan air seperti biasa. Jika ibu benar-benar takut untuk menyentuh luka jahitan disararankan untuk duduk
berendam dalam larutan antiseptik selama 10 menit. Dengan begitu, kotoran berupa sisa air seni dan feses juga
akan hilang
e. Bila memang dianjurkan dokter, luka dibagian perineum dapat diolesi salep antibiotik.
14. Bila terjadi infeksi
Infeksi bisa terjadi karena ibu kurang telaten melakukan perawatan pasca persalinan. Ibu takut menyentuh luka yang
ada di perineum sehingga memilih tidak membersihkannya. Padahal, dalam keadaan luka, perineum rentan didatangi
kuman dan bakteri sehingga mudah terinfeksi.
Gejala-gejala infeksi yang dapat diamati adalah :
a. Suhu tubuh melebihi 37,5˚C
b. Menggigil, pusing, dan mual.
c. Keputihan
d. Keluar cairan seperti nanah dari vagina
e. Cairan yang keluar disertai bau yang sangat
f. Keluarnya cairan disertai dengan rasa nyeri
g. Terasa nyeri di perut
h. Perdarahan kembali banyak padahal sebelumnya sudah sedikit-sedikit. Misalnya, sseminggu sesudah melahirkan,
perdarahan mulai berkurang tapi tiba-tiba darah kembali banyak keluar.
Bila ada tanda-tanda seperti diatas, segera periksakan diri kedokter. Infeksi vagina yang ringan biasanya di tindak
lanjuti dengan penggunaan antibiotik yang adekuat untuk membunuh kuman-kuman yang ada di situ.
Proses keperawatan merupakan metode ilmiah sistematik yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien guna mencapai dan mempertahankan keadaan bio-sosio-spiritual yang optimal (Asmadi, 2008)
1. Pengkajian (pengumpulan data dasar)
Pengkajian atau pengumpulan data dasar adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi
keadaan pasien. Merupakan langkah pertama untuk mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua
sumber yang berkaitan dengan kondisi pasien.
a. Data Subyektif
1) Biodata yang mencakup identitas pasien
a) Nama
Nama jelas dan lengkap, bila perlu nama paggilan sehari-hari agar tidak keliru dalam memberikan penanganan.
b) Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko seperti kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum
matang, mental dan psikisnya belum siap. Sedangkan umur lebih dari 35 tahun rentan sekali untuk terjadi
perdarahan dalam masa nifas.
c) Agama
Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdo’a.
d) Pendidikan
Berpengaruh dalam tindakan keperawatan dan untuk mengetahui sejauh mana intelektualnya, sehingga Perawat
dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
e) Suku/bangsa
Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.
f) Pekerjaan
Gunanya untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya, karena ini juga mempengaruhi dalam gizi
pasien tersebut.
g) Alamat
Ditanyakan untuk mempermudah kunjungan rumah bila diperlukan.
2) Keluhan Utama
Untuk mengetahui masalah yang di hadapi yang berkaitan dengan masa nifas, misalnya pasien merasa mules, sakit
pada jalan lahir karena adanya jahitan pada perineum.
3) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan yang lalu
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat atau penyakit akut, kronis seperti: Jantung, DM,
Hipertensi, Asma yang dapat memepengaruhi pada masa nifas ini.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Data-data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang diderita pada saat ini yang ada
hubungannya dengan masa nifas dan bayinya.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga terhadap gengguan
kesehatan pasien dan bayinya, yaitu apabila ada penyakit keluarga yang menyertainya.
4) Riwayat Perkawinan
Yang perlu dikaji adalah berapa kali menikah, status menikah sah atau tidak, karena bila melahirkan tanpa status
yang jelas akan berkaitan dengan psikologisnya singga akan mempengaruhi proses nifas.
5) Riwayat Obstetrik
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu.
6) Pemeriksaan fisik
a) Rambut
Kaji kekuatan rambut klien karena sebab diet yang baik selama masa hamil mempunyai rambut yang kuat dan segar.
b) Muka
Kaji adanya edema pada muka yang di manifestasikan dengan kelopak mata yang bengkak atau lipatan kelopak
mata bawah menonjol.
c) Mata
Kaji warna konjungtiva bila berwarna merah dan basah berarti normal, sedangkan bila berwarna pucat berarti ibu
mengalami anemia, dan jika konjungtiva kering maka ibu mengalami dehidrasi.
d) Payudara
Kaji pembesaran, ukuran, bentuk, konsistensi, warna payudara, dan kaji kondisi puting, kebersihan puting, dan
adanya ASI.
e) Uterus
Inspeksi bentuk perut ibu menegtahui adanya distensi pada perut, palpasi juga tinggi fundus uterus, konsistensi serta
kontraksi uterus.
Normal : kokoh, berkontraksi baik, tidak berada di atas ketinggian fundal saat masa nifas segera.
Abnormal : lembek, di atas ketinggian fundal saat masa post partum segera.
f) Lochea
Kaji lochea yang meliputi karakter, jumlah warna, bekuan darah yang keluar, dan baunya.
Normal : merah hitam (lochea rubra), bau biasa, tidak ada bekuan darah atau butir-butir dsrah beku, jumlah
perdarahan yang ringan atau sedikit (hanya perlu mengganti pembalut 3-5 jam)
Abnormal : merah terang, bau busuk, mengeluarkan darah beku
g) Sistem perkemihan
Kaji kandung kemih dengan palpasi dan perkusi untuk menentukan adanya distensi pada kandung kemih yang
dilakukan pada abdomen bagian bawah.
h) Perineum
Pengkajian dilakukan pada ibu dengan menempatkan ibu pada posisi sinus inspeksi adanya tanda-tanda
“REEDA”(Rednes atau kemerahan, Eclymosis atau perdarahan bawah kulit, Edema atau bengkak, Discharge atau
perubahan lochea, approximation atau pertautan jaringan), bekas luka episiotomi/robekan, heacting.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman
untuk mengarahakan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan maslah atau untuk
memenuhi kebutuhan klien. Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan
kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat dan rasional dari intervensi dan mendokumentasikan rencana perawat
(Hidayat, 2008).
Kriteria hasil adalah batasan karakteristik atau indicator keberhasilan dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
menentukan kriteria hasil berorientasi pada SMART yaitu Spesifik, berfokus pada pasien, singkat dan jelas, M :
Measurable, dapat diukur, A: Achieveble, realistis, R: Reasonable, ditentukan oleh perawat dan klien, Time: Kontrak
waktu (Walid, 2012).
Menurut NANDA (2015), intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa diatas yaitu:
1) Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan
Nursing Outcome Classification (NOC):
a) Mampu mengontrol nyeri
b) Melaporkan nyeri berkurang dengan manajemen nyeri
Rasional: untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi saluran kemih
e) Anjurkan klien untuk minum 6-8 gelas perhari
Rasional: mencegah dehidrasi dan mengganti cairan yang hilang waktu melahirkan
f) Kolaborasi dengan dokter pemasangan kateter
Rasional: untuk mengurangi distensi kandung, memungkinkan involusi uteri, dan mencegah atonia kandung kemih
secara berlebihan.
3) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan masalah konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil
berdasarkan Nursing Outcome Classification (NOC) yaitu:
a) Pola eliminasi dalam rentang normal, feses lembut dan berbentuk
b) Klien mampu mengeluarkan feses tanpa bantuan
c) Tidak terjadi penyalahgunaan alat bantu
d) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit
e) Mengintesti cairan dan serat dengan adekuat
Intervensi NIC:
a) Kaji warna, konsistensi dan ferkuensi feses pasca post partum
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya gangguan dari pencernaan klien
b) Auskultasi adanya bising usus
Rasional: untuk mengevaluasi fungsi usus
c) Berikan informasi diet yang tepat tentang peningkatan makan dan cairan dan upaya untuk membuat pola
pengosongan normal Rasional: peningkatan makanan dan cairan akan merangsang defekasi
d) Anjurkan klien untuk meningkatkan aktivitas dan ambulansi Rasional: membantu meningkatkan peristaltik
gastrointestinal
e) Kolaborasi dengam dokter pemberian laksatif
Rasional: untuk meningkatkan kebiasaan defekasi normal dan mencegah mengejan.
4) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah ketidakefektifan pemberian ASI teratasi dengan kriteria
hasil:
a) Ibu dan bayi mengalami pemberian ASI yang efektif yang ditunjukkan dengan pengetahuan menyusui,
mempertahankan menyusui, dan penyapihan menyusui
b) Bayi menunjukkan kemantapan menyusui ditandai dengan sikap dan penempelan sesuai, menghisap dan
menempatkan lidah yang benar, mencengkram aerola dengan tepat, menelan dapat didengar, minimal menyusui 8
kali sehari.
c) Mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera
d) Mengindikasikan kepuasaan terhadap menyusui
e) Tidak mengalami nyeri tekan pada payudara
Intervensi NIC :
a) Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi pada putting Rasional: Posisi dan perlekatan yang tidak benar
pada payudara dapat menyebabkan lecet pada putting susu.
b) Pantau integritas kulit putting
Rasional: mengetahui apakah ada mastitis,putting susu lecet, putting susu terbenam, dan payudara bengkak yang
merupakan masalah dalam pemeberian ASI.
c) Demonstrasikan perawatan payudara sesuai dengan kebutuhan Rasional: dengan melakukan perawatan
payudara, payudara menjadi bersih, melancarkan sirkulasi darah serta mencegah tersumbatnya saluran susu
sehingga memperlancar pengeluaran ASI
d) Instruksikan kepada ibu tentang teknik memompa payudara Rasional: memudahkan pemberian ASI apabila ibu
bekerja di luar. Dengan penegluaran ASI membuat ibu merasa nyaman dan mengurangi ASI menetes.
Rasional: kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontrksi uterus dan untuk mengetahui episiotomi dan
kebersihan perineum
c) Pantau tanda-tanda vital pasien
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien dan menentukan intervensi selanjutnya
d) Kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien
Rasional: hemoglobin dan hematokrit turun menendakan pasien kehilangan pasien
e) Catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus
f) Lakukan masase uterus
Rasional: mempercepat penurunan fundus uterus
g) Berikan cairan intravena jenis isotonik
Rasional: untuk mencegah kekurangan cairan dan meningkatkan volume darah
h) Kolaborasi dengan dokter mengganti kehilangan darah Rasional: pengganti cairan yang hilang diperlukan untuk
meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah syok.
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma mekanis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil
berdasrkan NOC:
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi