Anda di halaman 1dari 16

A.

Konsep Post Partum


1. Pengertian
Post partum adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta serta selaput, yang diperlukan untuk
memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Rukiyah, 2010).
Post partum adalah masa yang dimulai setelah  partus selesai dan berakhir kira-kira 6 minggu. Akan tetapi, seluruh
alat genital baru pulih kembali seperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan. Batasan waktu nifas yang paling
singkat tidak ada batas waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu relatif pendek darah sudah keluar sedangkan
batasan maksimumnya adalah 40 hari (Anggraini, 2010).
Post Partum (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil. Wanita melalui puerperium disebut peurpura. Puerperium (nifas) berlangsung selama 6
minggu atau 42 hari, merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat kandungan pada keadaan normal
(Ambarawati wulandari, 2010).
Jadi masa post partum (puerperium) adalah masa setelah keluarnya plecenta sampai alat-alat reproduksi pulih
seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsumg selama 6 minggu atau 40 hari.  Asuhan masa
nifas dipelukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan 60%
kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama.

Tahapan post partum


Menurut Ambarwati (2010), post partum dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
a. Puerperium dini
Merupakan masa pemulihan awal dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan. Ibu yang melahirkan
pervaginam tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama setelah kala IV dianjurkan untuk mobilisasi segera.
b. Puerperium intermedial
Suatu masa pemulihan dimana organ-organ reproduksi berangsur- angsur akan kembali ke keadaan sebelum hamil.
Masa ini berlangsung selama kurang lebih 6 minggu atau 42 hari.
c. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna terutama apabila ibu selama hamil
atau waktu persalinan mengalami komplikasi. Rentang remote puerperium berbeda untuk setiap ibu, tergantung dari
berat ringannya komplikasi yang dialami selama hamil atau persalinan.
2. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Menurut Wulandari dan Handayani (2011), perubahan fisiologis yang terjadi pada masa nifas meliputi:
a. Perubahan Sistem Reproduksi
1) Uterus
Pangerutan uterus atau involusi merupakan suatu  proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan
berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus.
2) Bekas implantasi plasenta
a) Bekas implantasi plasenta segera setelah plasenta lahir seluas 12x5 cm, permukaan kasar, dimana pembuluh
darah besar bermuara.
b) Pada pembuluh darah terjadi pembentukan trombosis disamping pembuluh darah tertutup karena kontraksi otot
rahim.
c) Bekas luka implantasi dengan cepat mengecil, pada minggu ke 2 sebesar 6-8  cm dan pada  akhir masa nifas
sebesar      2 cm.
d) Lapisan  endometrium  dilepaskan  dalam  bentuk   jaringan nekrosis bersama dengan lochea.
e) Luka bekas implantasi plasenta akan sembuh karena pertumbuhan endometrium yang berasal dari tepi luka dan
lapisan basalis endometrium.
f) Luka sembuh sempurna pada 6-8 minggu post partum.
3) Lochea
Lochea adalah sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina selama masa nifas. Proses keluarnya lochea terdiri
dari  4 tahapan:
a) Lochea rubra (cruenta)
Lochea ini muncul pada hari ke 1-4 masa post partum. Berisi darah segar sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
verniks kaseosa, lanugo (rambut bayi) dan meconium.
b) Lochea sanguinolenta
Berwarna merah kuning merah kecoklatan dan berlendir. Berlangsung selama hari ke 4-7 pasca persalinan.
c) Lochea serosa
Berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit dan robekan atau laserasi plasenta. Muncul pada
hari ke 7-14 pasca persalinan.
d) Lochea alba
Mengandung leukosit sel desidua, sel epitel, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati. Berlangsung
selama 2-6 minggu pasca persalinan.
4) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama dengan uterus. Warna serviks sendiri merah kehitaman karena penuh
pembuluh darah. Konsistensinya lunak, kadang-kadang terdapat laserasi (perlukaan kecil). Karena robekan kecil
yang terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah kembali pada keadaan sebelum hamil.

Bentuknya seperti corong karena disebabkan oleh korpus uteri yang mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi terdapat perbatasan antara korpus uteri dan serviks berbentuk cincin.
Muara serviks yang berdilatasi 10cm pada waktu persalinan, menutup secara bertahap. Setelah bayi lahir, tangan
masih bisa masuk rongga Rahim, setelah 2 jam dapat dimasuki  2-3 jari dan pada minggu ke 6 pasca persalinan
serviks menutup.
5) Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses persalinan dan akan
kembali secara bertahap dalam waktu 6-8 minggu postpartum. Penurunan hormon estrogen pada masa pasca
persalinan berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Rugae akan terlihat kembali sekitar
minggu ke 4.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Setelah kelahiran plasenta, maka terjadi penurunan  produksi progesteron. Sehingga hal ini dapat menyebabkan
heartburn dan konstipasi terutama pada hari pertama. Hal ini terjadi karena inaktifitas motilitas usus menyebabkan
kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan dan adanya refleks hambatan defekasi akibat rasa nyeri pada
perineum karena pasca episiotomi, pengeluaran cairan yang berlebihan waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan,
hemoroid. Supaya buang air besar kembali teratur dapat diberikan makanan yang mengandung serat dan pemberian
cairan yang cukup. Bila usaha ini tidak berhasil dalam waktu 2-3 hari dapat dibantu dengan pemberian huknah atau
spuit gliserin atau pemberian obat laksatif atau pencahar.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Deuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari pasca persalinan. Hal ini merupakan salah satu pengaruh selama kehamilan
dimana saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali normal setelah 4 minggu postpartum. Pada awal
pasca persalinan kandung kemih akan mengalami edema, kongesti dan hipotonik. Hal ini disebabkan karena adanya
overdistensi pada saat kala II persalinan dan pengeluiaran urin yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatan
pada uretra disebabkan karena adanya trauma saat persalinan yang berlangsung dan trauma ini dapat berkurang
setelah 24 jam pasca persalinan.
d. Perubahan Sistem Endokrin
Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar Hormon Chrinonis Gonadotropin (HCG), Human Plasental Lactogen
(HPL), secara berangsur menurun dan normal setelah 7 hari postpartum.

1) Hormon plasenta
Selama periode pasca persalinan terjadi perubahan hormon yang signifikan. Pengeluaran plasenta menyebabkan
penurunan signifikan hormon-hormon yang diproduksi oleh plasenta. Penurunan hormon human plasental lactogen
(HPL), estrogen dan progesteron serta plsenta enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga
kadar gula darah menurun. Human Chrinonis Gonadotropin (HCG) menurun dan menetap sampai 10 % dalam 3 jam
hingga hari ke 7 pasca persalinan  dan sebagai pemenuhan mamae pada hari ketiga pasca persalinan
2) Hormone pituitary
Prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) meningkat pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke
3 dan Leutinizing Hormon (LH) tetap rendah hingga ovulasi terjadi.
3) Hormon oksitoksin
Oksitoksin di keluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang (posterior), bekerja terhadap otot uterus dan  
jaringan payudara. Selama tahap ke tiga persalinan, oksitoksin menyebabkan pemisahan plasenta. Kemudian
seterusnya bertindak otot yang menahan kontraksi, mengurangi tempat plasenta dan mencegah perdarahan. Pada
wanita yang memilih menyusui bayinya, isapan sang bayi merangsang keluarnya oksitoksin lagi dan ini membantu
uterus kembali ke bentuk normal dan pengeluaran air susu.
4) Hormone pituitary ovarium
Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan mempengaruhi lamanya ia mendapatkan menstruasi.
Seringkali menstruasi pertama bersifat anovulasi yang dikarenakan rendahnya kadar estrogen dan progesteron.
Diantara wanita laktasi sekitar15% memperoleh menstruasi selama 6 minggu dan 45% setelah 12 minggu. Di antara
wanita yang tidak laktasi 40% menstruasi setelah 6 minggu, 65% setelah 12 minggu dan 90% setelah 24 minggu.
Untuk wanita laktasi 80% menstruasi pertama anvolusi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50% siklus pertama
menstruasi.

e. Perubahan Tanda Tanda Vital


1) Suhu badan
Selama 24 jam post partum suhu badan akan naik (37,5 - 38°C.) karena kerja keras waktu melahirkan, kehilangan
cairan dan kelelahan. Pada hari ke 3 suhu badan akan naik lagi karena ada pembentukan ASI, buah dada menjadi
bengkak.

2) Nadi
Denyut nadi nadi normal 60-100 x/menit. Setelah melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat.
3) Tekanan darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah. Tekanan darah menjadi turun setelah melahirkan karena ada perdarahan
dan tekanan darah akan tinggi pada postpartum dapat menandakan pre eklamsia.
4) Pernafasan
Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Apabila suhu dan denyut nadi tidak
normal pernafasan juga akan mengikuti kecuali ada gangguan pernafasan.
f. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Kardiac output meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai kala III ketika volume darah uterus
dikeluarkan. Penurunan terjadi pada beberapa hari pertama post partum dan akan kembali normal pada akhir minggu
ke tiga post partum.
g. Perubahan Hematologi
Terjadi peningkatan sel darah putih berkisar antara 15.000-30.000 merupakan adanya infeksi pada persalinan. Pada
hari 2-3 post partum konsentrasi hematokrit menurun sekitar 2% atau lebih.
h. Perubahan sistem muskuluskeletal
Ligamen fasia dan diagfragma pelvis yang meregang pada waktu kehamilan dan persalinan beangsur-angsur pulih
kembali seperti sediakala. Setelah persalinan tidak jarang ligamen rotundum mengendur. Fasia jaringan penunjang
alat genetalia yang mengendur dapat diatasi dengan latihan tertentu. Mobilitas sendi yang berkurang dan posisi
lordosis akan kembali secara perlahan.
i. Perubahan Pada Payudara
Selama kehamilan, hormone prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI belum keluar karena masih dihambat oleh
hormon esterogen yang tinggi. Pada hari kedua sampai hari ketiga pasca persalinan, kadar esterogen dan
progesteron menurun sehingga hormone prolactin meningkat pada saat inilah terjadi sekresi ASI. Dengan
menyusukan lebih dini perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga ASI semakin lancar.
Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi  yaitu refleks prolactin dan refleks aliran timbul akibat
perangasangan putting oleh hisapan bayi.

3. Tahap Adaptasi Psikologis Ibu Masa Post Partum


Menurut Ambarwati (2010), tahap adaptasi psikologis yang terjadi pada ibu masa nifas yaitu:
a. Fase taking in
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari hari 1-2 setelah melahirkan. Fokus perhatian  ibu
terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang diceritakannya. Kelelahan
membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung.
b. Fase taking hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Wanita post partum ini berpusat pada kemampuan dalam
mengontrol diri, fungsi tubuh. Berusaha untuk menguasai kemampuan merawat bayinya, menimang, menyusui dan
mengganti popok. Ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya merawat bayinya. Selain
itu sangat sensitif sehingga mudah tersinggung
c. Fase letting go
Pada fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu mengambil tanggung jawab dalam merawat bayinya. Ibu
harus menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada
fase ini.

4. Kebutuhan Dasar Ibu Masa Nifas


Menurut Maritalia (2012), kebutuhan dasar ibu masa nifas adalah:
a. Nutrisi dan cairan
Nutisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh untuk keperluan metabolisme. Kebutuhan gizi pada masa nifas
meningkat 25% karena berguna untuk proses kesembuhan karena setelah melahirkan dan untuk memproduksi air
susu yang cukup untuk bayi.
b. Ambulansi
Ambulansi dini disebut juga early ambulation adalah kebijakan untuk secepat mungkin membimbing klien keluar dari
tempat tidurnya dan membimbing klien secepat mungkin untuk berjalan. Klien sudah diperbolehkan bangun dari
tempat tidur setelah 24-48 jam setelah  melahirkan. Kontra indikasi ambulansi dini yaitu pada klien dengan penyulit
misalnya anemia, penyakit jantung, penyakit paru dll. Keuntungannya ambulansi dini adalah:
1) Klien merasa lebih baik, lebih sehat dan lebih kuat
2) Faal usus dan kandung kemih lebih baik
3) Dapat lebih cepat untuk mengajari ibu untuk merawat bayinya

c. Eliminasi
1) Miksi
Buang air kecil normal apabila setiap 3-4 jam. Ibu diusahakan untuk buang air kecil sendiri, bila tidak bisa dilakukan
tindakan:
a) Dirangsang dengan air mengalir di dekatkan ke klien
b) Mengompres air hangat diatas simpisis pubis. Apabila tidak behasil bisa dilakukan pemasangan kateter.
2) Defekasi
Biasanya 2-3 hari setelah melahirkan masih sulit utuk buang air besar. Jika pasien pada hari ke 3 belum buang air
besar maka diberikan laksan supositoria dan minum air hangat. Agar bisa buang air besar teratur maka perlu
dilakukan diet, pemberian cairan, serta olahraga.
d. Kebersihan diri
1) Perawatan perineum
Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil perineum dibersihkan secara rutin. Caranya dibersihkan dengan
air  sabun yang lembut minimal sekali sehari. Dimulai dari simphisis sampai anus sehingga tidak terjadi infeksi. Ibu
juga diberi tahu untuk mengganti pembalut minimal 4 kali sehari.

2) Perawatan payudara
a) Menjaga payudara tetap bersih dan kering terutama puting susu dengan menggunakan BH menyokong payudara.
b) Apabila puting susu lecet, oleskan kolostrum atau ASI yang keluar pada sekitar puting susu setiap kali menyusui.
Menyusui tetap di lakukan di mulai dari puting yang tidak lecet.
c) Apabila lecet sangat berat dapat di istirahatkan selama 24 jam, ASI dikeluarkan dan di minumkan dengan sendok.
d) Untuk menghilangkan nyeri ibu dapat di berikan tablet analgetik 4-6 jam.
e. Istirahat
Anjurkan ibu untuk istirahat yang cukup untuk mengurangi kelelahan, istirahat selagi bayi masih tidur, kembali ke
kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan, mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu
untuk istirahat pada siang hari kira-kira 2 jam dan malam hari 7-8 jam. Kurang istirahat pada ibu nifas dapat
mengakibatkan kurangnya produksi ASI, memperlambat involusi, yang berakhirnya bisa menyebabkan perdarahan
serta depresi
f. Seksual
Apabila perdarahan telah berhenti dan  epsiotomi sudah sembuh maka coitus bisa dilakukan pada 3-4 minggu
setelah melahirkan.
Hasrat seksual pada bulan pertama akan berkurang baik kecepatanya maupun lamanya, juga orgasme pun akan
menurun. Ada juga yang berpendapat bahwa coitus dapat dilakukan setelah masa nifas berdasarkan teori proses
penyembuhan luka post partum sampai dengan 6 minggu. Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri
begitu darah merah berhenti.
5. Komplikasi
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam yang melibihi 500 ml setelah bersalin didefinisikan sebagai perdarahan pasca persalinan.
b. Infeksi masa nifas
Beberapa bakteri menyebabkan infeksi setelah persalinan. Infeksi masa nifas masih merupakan penyebab tertinggi
AKI. Infeksi alat genital merupakan komplikasi masa nifas. Infeksi yang meluas ke saluran urinaria, payudara dan
pembedahan merupakan penyebab terjadinya AKI tinggi. Gejala umum infeksi dapat dilihat dari temperature atau
suhu pembengkakan takikardi dan malaise. Sedangkan gejala lokal dapat berupa uterus lembek, kemerahan, dan
rasa nyeri pada payudara atau adanya disuria. Ibu beresiko terjadi infeksi post partum karena adanya luka pada
bekas pelepasan plasenta, laserasi pada saluran genital termasuk episiotomi pada perineum, dinding vagina dan
serviks, infeksi post SC yang mungkin terjadi. Penyebab infeksi bakteri endogen dan bakteri eksogen.
c. Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti
bahwa beberapa galur E. Coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya. Pada masa nifas dini, sensitivitas,
kandung kemih terhadap tegangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan serta
analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak
nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra atau hematoma dinding vagina. Setelah
melahirkan terutama saat infus oksitosin di hentikan terjadi diuresis yang di sertai peningkatan produksi urine dan
distensi kandung kemih. Overdistensi yang di sertai kateterisasi untuk mengeluarkan air yang sering menyebabkan
infeksi saluran kemih.
d. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan terasa sakit
Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat dapat menyebabkan payudara menjadi merah, panas, terasa
sakit, akhirnya terjadi mastitis. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadinya payudara bengkak.
BH yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement.ibu yang diit jelek, kurang istirahat, anemia akan
mudah terkena infeksi.
e. Rasa sakit, merah, lunak dan pembengkakan di kaki
Selama masa nifas dapat terbentuk trhombus sementara pada vena-vena manapun di pelvis yang mengalami dilatasi
dan mungkin lebih sering mengalaminya.

B. Episiotomi
1. Pengertian
Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin himen,
jaringan septum rektovagianal, otot-otot dan fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum untuk melebarkan
jalan lahir sehingga mempermudah kelahiran.
Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus
memperpendek jalan lahir. Dengan demikian persalinan dapat lebih cepat dan lancar.
Episiotomi biasanya dikerjakan pada hampir semua primipara atau pada perempuan dengan perineum kaku.
Episiotomi bertujuan mencegah ruptur perineum dan mempermudah pemulihan luka. Episiotomi dilakukan saat
perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina.
Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat jaringan lunak akibat daya regang yang
melebihi kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut. Oleh sebab itu, pertimbangan untuk melakukan
episiotomi harus mengacu pada penilaian klinik yang tepat dan tekhnik yang paling sesuai dengan kondisi yang
sedang dihadapi. Dengan demikian, tidak dianjurkan untuk melakukan prosedur episotomi secara rutin karena
mengacu pada pengalaman dan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh beberapa pakar dan klinisi, ternyata tidak
terdapat bukti bermakna tentang manfaat episotomi rutin. Episiotomi mediolateralis dan medialis, tidak menurunkan
risiko cedera pada sfingter ani. Episiotomi medialis, dianggap dapat meningkatkan risiko ini.
Episiotomi yang dikerjakan tanpa dasar dan alasan yang jelas dapat menyebabkan peningkatan kejadian dan
beratnya kerusakan perineum yang terjadi di bandingkan dengan laserasi yang terjadi secara spontan. Selain itu,
penerapan episiotomi secara bebas dan kurang tepat, dapat meningkatkan jumlah perdarahan yang terjadi pada
persalinan. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah robekan perineum, antara lain :
1) Aplikasi handuk hangat pada perineum
2) Fasilitasi fleksi kepala bayi agar tidak menyebabkan regangan mendadak
3) Mengarahkan kepala agar perineum dilalui oleh diameter terkecil saat ekspulsi
4) Menahan perineum dengan regangan telunjuk dan ibu jari.
2. Tujuan episiotomi
1) Mengurangi tekanan terhadap kepala bayi sehingga mengurangi terjadinya asfiksia akibat kekurang oksigen
2) Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum, jika elastisitasnya tidak mendukung proses persalinan
3) Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi kemungkinan asfiksia
4) Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga persalinan dapat dipercepat
3. Keuntungan episiotomi bagi ibu mencakup hal-hal berikut :
a. Luka insisi yang lurus (rata) lebih mudah diperbaiki dan lebih cepat sembuh dibanding luka laserasi yang
compang-camping serta tidak terkendali.
b. Dengan melakukan episiotomi sebelum otot dan fascia teregang berlebihan, kekuatan pada dasar panggul dapat
dipertahankan.
c. Struktur disebelah depan maupun disebelah belakang akan terlindungi. Dengan menambah ruang yang ada
disebelah posterior, peregangan dan kerusakan akan menjadi lebih kecil pada bagian anterior dinding vagina,
kandung kemih, dan urethra
d. Robekan kedalam rektum dapat dielakan
4. Keuntungan episiotomi bagi anak, episiotomi yang dilakukan pada saat yang tepat tidak hanya memudahkan
kelahiran tetapi juga mengurangi penekanan kepala pada perineum sehingga membantu mencegah kerusakan otak.
Ini berlaku untuk setiap bayi tetapi terutama penting untuk bayi dengan daya tahan rendah terhadap trauma, seperti
bayi prematur.
5. Kerugian episiotomi
a. Mungkin tidak diperlukan karena elastisitas perineum baik
b. Pada primigravida sebagai besar terjadi robekan spontan yang tidak teratur sehingga melakukan adaptasinya lebih
sulit saat menjahitnya.
6. Indikasi melakukan episiotomi
Episiotomi pada primigravida, kejadiannya antara 0-95% sedangkan pada multigravida lebih kecil karena jaringan
perineum sudah semakin elastis. Dalam beberapa kasus, perlu ditetapkan indikasi untuk melakukan episiotomi
sebagai berikut :
a. Profilaktik : untuk melindungi integritas dasar panggul
b. Halangan kemajuan persalinan akibat perineum yang kaku
1) Jaringan perineum tebal dan sangat berotot
2) Ada jaringan parut bekas operasi
3) Ada bekas episiotomi yang sudah diperbaiki
c. Untuk mengelakan robekan yang tak teratur, termasuk robekan yang melebar kedalam rectum
1) Kalau perineumnya sempit, antara bagian belakang vagina dan bagian depan rectum hanya terdapat sedikit
ruangan
2) Padea keadaan laserasi yang lebar tidak akan bisa dihindari
d. Alasan fetal
1) Bayi yang prematur dan lemah
2) Bayi-bayi yang besar
3) Posisi abnormal seperti presentasi muka dan presentasi bokong
4) Bayi harus dilahirkan dengan cepat pada keadaan gawat janin dan dilaatsi perineum tidak dapat ditunggu.
7. Macam-macam episiotomi
1) Episiotomi medialis, hanya sedikit perdarahan, perbaikan yang lebih mudah, dan nyeri penyembuhan yang jauh
lebih ringan dibandingkan dengan episiotomi posterolateral, namun episiotomi medialis memiliki resiko tinggi untuk
meluas ke rektum.
2) Episiotomi mediolateralis, adalah suatu kompromi yang dapat diterima. Kebanyakan operator menggunakan
gunting pada pelaksanaan tindakan ini meskipun skalpel dapat menghasilkan insisi yang rapi dan terekendali
ditangan orang yang berpengalaman.
3) Episiotomi lateral, tidak dianjurkan karena hanya dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih
banyak dan sukar direparasi.
8. Teknik
a. Episiotomi medialis
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani.
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1-2 % atau larutan
lidonest 1-2% atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian anestesi, dilakukan insisi dengan mempergunakan
gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi tidak sampai memotong pinggir
atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral, (episiotomi medio lateralis).
2) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa
jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit pula dengan beberapa
jahitan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputus-putus
(interrupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan
selaput lendir adalah catgut khromik, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
b. Episiotomi mediolateralis
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah
insisi ini dapat dilakukan kearah kanan ataupun kiri, tergantung oada kebiasaan orang yang melakukannya, panjang
insisi kira-kira 4 cm.
2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama denga teknik menjahit episiotomi medialis.
Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.
c. Episiotomi lateralis
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar
ke arah di mana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang menggangu penderita.
9. Komplikasi episiotomi
Komplikasi yang umum terjadi pada episiotomi adalah
a. Kehilangan darah :
1) Pada episiotomi mediolateral
2) Melakukan episiotomi terlalu dini, sedangkan persalinan masih jauh
3) Perdarahan merembes yang tidak diketahui sehingga menimbulkan hematoma lokal
b. Infeksi
1) Lokal akibat terkontaminasi dengan feses atau urin
2) Dapat terjadi jahitan terbuka kembali
10. Luka episiotomi menurut derajat luka
a. Tingkat I . Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum
b. Tingkat II. Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai otot
sfingter ani
c. Tingakat III. Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani
d. Tingakat IV. Robekan mengenai perineum sampai dengan otot
sfingter ani dan mukosa rektum
Robekan sekitar klitoris dan uretra dapat menimbulkan perdarahan hebat dan mungkin sangat sulit untuk diperbaiki.
Penolong harus melakukan penjahitan reparasi dan hemostatis.
11. Teknik menjahit luka episiotomi menurut derajat luka
a. Tingkat 1. Penjahitan robekan perineum tingkat 1 dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan
secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight)
b. Tingkat II. Sebelum dilakukan penjahitan luka pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai
pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang beregrigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.
Inggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir
robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina diajahit dengan catgut secara terputus-
putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit
dengan sutera secara terputus-putus
c. Tingkat III. Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum
rektrovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung sfingter ani yang terpisah oleh
karena robekan di klem dengan klem pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga
bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit di lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.
d. Tingkat IV
1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan
2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke dalam vagina (sebaiknya
di gunakan tampon berekor benang)
3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang jarum
4) Pasang benang jahit (kromik no 2/0) pada mata jarum
5) Tentukan dengan jelas batas luka robekan perineum
6) Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit dengan jahitan jelujur menggunakan catgut kromik no.2/0
7) Jahit fasia perirektal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali
8) Jahit fasia septum rektrovaginal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali
9) Ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan, di klem dengan menggunakan pean lurus
10) Kemudian tautkan ujung otot sfingter ani dengan melakukan 2-3 jahitan angka 8 (figure of eight) catgut kromik no
2/0 sehingga bertemu kembali
11) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan perineum tingkat II.
12. Bentuk Penyembuhan Luka
a. Luka sembuh Baik
Di katakan luka sembuh dengan baik, apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh < 5 hari, dan
luka dalam keadaan menutup dan kering.
b. Luka sembuh Sedang
Di katakan luka sembuh sedang apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh > 5 hari dan
kondisi luka menutup dan masih basah.
c. Luka sembuh Kurang Baik
Di katakan luka sembuh sedang apabila setelah dilakukan perawatan, luka perineum bisa sembuh > 7 hari dan
kondisi luka belum kering dengan jahitan masih membuka ( Helen, 2009 ).
13. Perawatan pada tindakan episiotomi
Jika persalinan normal sampai memerlukan tindakan episiotomi ada beberapa hal yang harus dilakukan agar proses
pemulihan berlangsung seperti yang diharapkan
Inilah cara perawatan setelah episotomi :
a. Untuk menghindari rasa sakit kala buang air besar, ibu dianjurkan memperbanyak konsumsi serat seperti buah-
buahan dan sayuran. Dengan begitu tinja yang dikeluarkan menjadi tidak keras dan ibu tak perlu mengejan. Kalau
perlu, dokter akan memberikan obat untuk melembekkan tinja.
b. Dengan kondisi robekan yang terlalu luas pada anus, hindarkan banyak bergerak pada minggu pertama karena
bisa merusak otot-otot perineum. Banyak-banyaklah duduk dan berbaring. Hindari berjalan karena akan membuat
otot perineum bergeser.
c. Jika kondisi robekan tidak mencapai anus, ibu disarankan segera melakukan mobilisasi setelah cukup beristirahat.
d. Setelah buang air kecil dan besar atau pada saat hendak mengganti pembalut darah nifas, bersihkan vagina dan
anus dengan air seperti biasa. Jika ibu benar-benar takut untuk menyentuh luka jahitan disararankan untuk duduk
berendam dalam larutan antiseptik selama 10 menit. Dengan begitu, kotoran berupa sisa air seni dan feses juga
akan hilang
e. Bila memang dianjurkan dokter, luka dibagian perineum dapat diolesi salep antibiotik.
14. Bila terjadi infeksi
Infeksi bisa terjadi karena ibu kurang telaten melakukan perawatan pasca persalinan. Ibu takut menyentuh luka yang
ada di perineum sehingga memilih tidak membersihkannya. Padahal, dalam keadaan luka, perineum rentan didatangi
kuman dan bakteri sehingga mudah terinfeksi.
Gejala-gejala infeksi yang dapat diamati adalah :
a. Suhu tubuh melebihi 37,5˚C
b. Menggigil, pusing, dan mual.
c. Keputihan
d. Keluar cairan seperti nanah dari vagina
e. Cairan yang keluar disertai bau yang sangat
f. Keluarnya cairan disertai dengan rasa nyeri
g. Terasa nyeri di perut
h. Perdarahan kembali banyak padahal sebelumnya sudah sedikit-sedikit. Misalnya, sseminggu sesudah melahirkan,
perdarahan mulai berkurang tapi tiba-tiba darah kembali banyak keluar.
Bila ada tanda-tanda seperti diatas, segera periksakan diri kedokter. Infeksi vagina yang ringan biasanya di tindak
lanjuti dengan penggunaan antibiotik yang adekuat untuk membunuh kuman-kuman yang ada di situ.

C. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Post Partum


Asuhan keperawatan merupakan bentuk pelayanan keperawatan professional kepada klien dengan menggunakan
metodelogi proses keperawatan. Asuhan keperawatan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan  dasar  klien  pada
semua  tingkatan  usia  dan  tingkatan fokus.

Proses keperawatan merupakan metode ilmiah sistematik yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien guna mencapai dan mempertahankan keadaan bio-sosio-spiritual yang optimal (Asmadi, 2008)
1. Pengkajian (pengumpulan data dasar)
Pengkajian atau pengumpulan data dasar adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi
keadaan pasien. Merupakan langkah pertama untuk mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua
sumber yang berkaitan dengan kondisi pasien.
a. Data Subyektif
1) Biodata yang mencakup identitas pasien
a) Nama
Nama jelas dan lengkap, bila perlu nama paggilan sehari-hari agar tidak keliru dalam memberikan penanganan.
b) Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko seperti kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum
matang, mental dan psikisnya belum siap. Sedangkan umur lebih dari 35 tahun rentan sekali untuk terjadi
perdarahan dalam masa nifas.
c) Agama
Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdo’a.
d) Pendidikan
Berpengaruh dalam tindakan keperawatan dan untuk mengetahui sejauh mana intelektualnya, sehingga Perawat
dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya.
e) Suku/bangsa
Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.
f) Pekerjaan
Gunanya untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya, karena ini juga mempengaruhi dalam gizi
pasien tersebut.
g) Alamat
Ditanyakan untuk mempermudah kunjungan rumah bila diperlukan.
2) Keluhan Utama
Untuk mengetahui masalah yang di hadapi yang berkaitan dengan masa nifas, misalnya pasien merasa mules, sakit
pada jalan lahir karena adanya jahitan pada perineum.
3) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan yang lalu
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat atau penyakit akut, kronis seperti: Jantung, DM,
Hipertensi, Asma yang dapat memepengaruhi pada masa nifas ini.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Data-data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang diderita pada saat ini yang ada
hubungannya dengan masa nifas dan bayinya.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga terhadap gengguan
kesehatan pasien dan bayinya, yaitu apabila ada penyakit keluarga yang menyertainya.
4) Riwayat Perkawinan
Yang perlu dikaji adalah berapa kali menikah, status menikah sah atau tidak, karena bila melahirkan tanpa status
yang jelas akan berkaitan dengan psikologisnya singga akan mempengaruhi proses nifas.
5) Riwayat Obstetrik
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu.
6)   Pemeriksaan fisik
a) Rambut
Kaji kekuatan rambut klien karena sebab diet yang baik selama masa hamil mempunyai rambut yang kuat dan segar.
b) Muka
Kaji adanya edema pada muka yang di manifestasikan dengan kelopak mata yang bengkak atau lipatan kelopak
mata bawah menonjol.
c) Mata
Kaji warna konjungtiva bila berwarna merah dan basah berarti normal, sedangkan bila berwarna pucat berarti ibu
mengalami anemia, dan jika konjungtiva kering maka ibu mengalami dehidrasi.
d) Payudara
Kaji pembesaran, ukuran, bentuk, konsistensi, warna payudara, dan kaji kondisi puting, kebersihan puting, dan
adanya ASI.
e) Uterus
Inspeksi bentuk perut ibu menegtahui adanya distensi pada perut, palpasi juga tinggi fundus uterus, konsistensi serta
kontraksi uterus.
Normal : kokoh, berkontraksi baik, tidak berada di atas ketinggian fundal saat masa nifas segera.
Abnormal : lembek, di atas ketinggian fundal saat masa post partum segera.
f) Lochea
Kaji lochea yang meliputi karakter, jumlah warna, bekuan darah yang keluar, dan baunya.
Normal : merah hitam (lochea rubra), bau biasa, tidak ada bekuan darah atau butir-butir dsrah beku, jumlah
perdarahan yang ringan atau sedikit (hanya perlu mengganti pembalut 3-5 jam)
Abnormal : merah terang, bau busuk, mengeluarkan darah beku
g) Sistem perkemihan
Kaji kandung kemih dengan palpasi dan perkusi untuk menentukan adanya distensi pada kandung kemih yang
dilakukan pada abdomen bagian bawah.
h) Perineum
Pengkajian dilakukan pada ibu dengan menempatkan ibu pada posisi sinus inspeksi adanya tanda-tanda
“REEDA”(Rednes atau kemerahan, Eclymosis atau perdarahan bawah kulit, Edema atau bengkak, Discharge atau
perubahan lochea, approximation atau pertautan jaringan), bekas luka episiotomi/robekan, heacting.

i) Ekstremitas atas dan bawah


Ektremitas atas dan bawah dapat bergerak bebas, kadang ditemukan edema, varises pada tungkai kaki, ada atau
tidaknya tromboflebitis karena penurunan aktivitas dan refleks patella baik.
j) Tanda-tanda vital
Kaji tanda-tanda vital meliputi suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah selama 24 jam pertama masa nifas atau
post partum.
7) Uji laboraturium dan pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan darah lengkap, hemoglobin, hematokrit: mengkaji kehilangan darah selama persalinan
Urinalis: kultur urine, darah, vaginal, dan lokea: pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individu
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah
kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan
kewenangan perawat. Diagnosa keperawatan terdiri dari 3 komponen yaitu respon, faktor berhubungan, tanda dan
gejala (Setiadi, 2012).
Menurut NANDA (2015), Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan postpartum normal adalah:
1) Nyeri berhubungan agen cidera fisik
2) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan edema jaringan
3) Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot
4) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan
5) Resiko tinggi  perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatic
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman
untuk mengarahakan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan maslah atau untuk
memenuhi kebutuhan klien. Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan
kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat dan rasional dari  intervensi  dan  mendokumentasikan rencana perawat
(Hidayat, 2008).
Kriteria hasil adalah batasan karakteristik atau indicator keberhasilan dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
menentukan kriteria hasil berorientasi pada SMART yaitu Spesifik, berfokus pada pasien, singkat dan jelas, M :
Measurable, dapat diukur, A:  Achieveble, realistis, R: Reasonable, ditentukan oleh perawat dan klien, Time: Kontrak
waktu (Walid, 2012).
Menurut NANDA (2015), intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa diatas yaitu:
1) Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan
Nursing Outcome Classification (NOC):
a) Mampu mengontrol nyeri
b) Melaporkan nyeri berkurang  dengan manajemen nyeri

c) Mampu mengenali nyeri


d) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70- 120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit,
pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C
Intervensi NIC:
a) Kaji skala nyeri (PQRST) pasien
Rasional: untuk mengetahui tingkat nyeri
b) Pantau tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui keadaan umum klien dan merencanakan intervensi selanjutnya
c) Berikan posisi nyaman
Rasional: Memberikan posisi nyaman untuk menurunkan spasme otot
d) Ciptakan lingkungan yang nyaman
Rasional: meningkatkan kenyamanan pasien
e) Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
Rasional: Membantu pasien meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri
f) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
Rasional : Menurunkan atau menghilangkan nyeri

2) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan edema jaringan.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan
Nursing Outcome Classification (NOC) yaitu:
a) Kandung kemih kosong
b) Intake cairan dalam rentang normal 1-2 liter/hari
c) Bebas infeksi saluran kemih
d) Berkemih > 150 cc setiap kali
e) Klien mampu berkemih secara mandiri
Intervensi NIC:
a) Pantau eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna urin.
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pada  sistem perekemihan
b) Palpasi kandung kemih
Rasional: untuk  mengetahui  ada  tidaknya distensi kandung kemih
c) Bantu pasien untuk berkemih secara berkala 6-8 jam post partum
Rasional: untuk merangsang atau memudahkan berkemih
d) Ajarkan pasien untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi saluran kemih

Rasional: untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi saluran kemih
e) Anjurkan klien untuk minum 6-8 gelas perhari
Rasional: mencegah dehidrasi dan mengganti cairan yang hilang waktu melahirkan
f) Kolaborasi dengan dokter pemasangan kateter
Rasional: untuk mengurangi distensi kandung, memungkinkan involusi uteri, dan mencegah atonia kandung kemih
secara berlebihan.
3) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan masalah konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil
berdasarkan Nursing Outcome Classification (NOC) yaitu:
a) Pola eliminasi dalam rentang normal, feses lembut dan berbentuk
b) Klien mampu mengeluarkan feses tanpa bantuan
c) Tidak terjadi penyalahgunaan alat bantu
d) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit
e) Mengintesti cairan dan serat dengan adekuat
Intervensi NIC:
a) Kaji warna, konsistensi dan ferkuensi feses pasca post partum
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya gangguan dari pencernaan klien
b) Auskultasi adanya bising usus
Rasional: untuk mengevaluasi fungsi usus
c) Berikan informasi diet yang tepat tentang peningkatan makan dan cairan dan upaya untuk membuat pola
pengosongan normal Rasional: peningkatan makanan dan cairan akan merangsang defekasi
d) Anjurkan klien untuk meningkatkan aktivitas dan ambulansi Rasional: membantu meningkatkan peristaltik
gastrointestinal
e) Kolaborasi dengam dokter pemberian laksatif
Rasional: untuk meningkatkan kebiasaan defekasi normal dan mencegah mengejan.
4) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah ketidakefektifan pemberian ASI teratasi dengan kriteria
hasil:
a) Ibu dan bayi mengalami pemberian ASI yang efektif yang ditunjukkan dengan pengetahuan menyusui,
mempertahankan menyusui, dan penyapihan menyusui
b) Bayi menunjukkan kemantapan menyusui ditandai dengan sikap dan penempelan sesuai, menghisap  dan
menempatkan lidah yang benar, mencengkram aerola dengan tepat, menelan dapat didengar, minimal menyusui 8
kali sehari.
c) Mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera
d) Mengindikasikan kepuasaan terhadap menyusui
e) Tidak mengalami nyeri tekan pada payudara
Intervensi NIC :
a) Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi pada putting Rasional: Posisi dan perlekatan yang tidak benar
pada payudara dapat menyebabkan lecet pada putting susu.
b) Pantau integritas kulit putting
Rasional: mengetahui apakah ada mastitis,putting susu lecet, putting susu terbenam, dan payudara bengkak yang
merupakan masalah dalam pemeberian ASI.
c) Demonstrasikan perawatan payudara sesuai dengan kebutuhan Rasional: dengan melakukan perawatan
payudara, payudara menjadi bersih, melancarkan sirkulasi darah serta mencegah tersumbatnya saluran susu
sehingga memperlancar pengeluaran ASI
d) Instruksikan kepada ibu tentang teknik memompa payudara Rasional: memudahkan pemberian ASI apabila ibu
bekerja di luar. Dengan penegluaran ASI membuat ibu merasa nyaman dan mengurangi ASI menetes.

e) Ajarkan teknik menyusui yang meningkatkan keterampilan dalam menyusui bayinya


Rasional: teknik menyusui yang benar dengan adanya isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya
oksitoksin oleh kelenjar hipofise. Oksitoksin membantu involusi uterus dan mencegah perdarahn pasca persalinan.
5) Risiko tinggi perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatic.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi perdarahan dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
a) Kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc
b) Kandung kemih kosong
c) Kontraksi uterus baik
d) Klien tidak pucat
e) Kadar hemoglobin dan hematokit dalam batas normal
f) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70- 120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit,
pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C
Intervensi:
a) Kaji jumlah lokea pasca persalinan
Rasional: untuk mengukur kehilangan darah pasca persalinan
b) Kaji kepenuhan kandung kemih dan kebersihan perineum

Rasional: kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontrksi uterus dan untuk mengetahui episiotomi dan
kebersihan perineum
c) Pantau tanda-tanda vital pasien
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien dan menentukan intervensi selanjutnya
d) Kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien
Rasional: hemoglobin dan hematokrit turun menendakan pasien kehilangan pasien
e) Catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus
f) Lakukan masase uterus
Rasional: mempercepat penurunan fundus uterus
g) Berikan cairan intravena jenis isotonik
Rasional: untuk mencegah kekurangan cairan dan meningkatkan volume darah
h) Kolaborasi dengan dokter mengganti kehilangan darah Rasional: pengganti cairan yang hilang diperlukan untuk
meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah syok.
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma mekanis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil
berdasrkan NOC:
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi

b) Leukosit dalam batas normal(3,6-11 10ˆ3/uL)


c) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70- 120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit,
pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C
d) Pasien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi
Intervensi NIC:
a) Kaji tanda infeksi
Rasional: dugaan adanya infeksi
b) Kaji leukosit pasien
Rasional: leukosit meningkat menandakan terjadi infeksi
c) Pantau tanda-tandaa vital
Rasional: untuk mengetahui keaadaan umum klien dan merencanakan intervensi selanjutnya
d) Lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene
Rasional: mencegah terjadinya infeksi.
e) Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
Rasional: meningkatkan kemampuan pasien untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
f) Ajarkan pasien untuk mencegah infeksi
Rasional: meningkatkan kemampuan pasien untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi
g) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik
Rasional: menurunkan mikroorganisme didalam tubuh

h) Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet


Rasional: untuk menjaga daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencanan tindakan disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008).
Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010), komponen tahap implementasi terdiri dari:
1) Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan tanpa instruksi dari dokter
2) Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktik American nurses association: undang-
undang praktik keperawatan negara bagian dan kebijakan institusi perawatan kesehatan
3) Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif di lakukan apabila perawat bekerja dengan anggota tim perawat kesehatan yang
lain dalam membantu keputusan bersama yang bersetujuan untuk mengatasi masalah-masalah klien.

4) Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan


5) Frekuensi dokumentasi terganung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahapan akhir dari proses keperawatan yang menyediakan nilai informasi mengenai
pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan hasil yang diamati dengan kriteria hasil
yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Hidayat, 2008).
Pada evaluasi klien dengan post partum normal kriteria evaluasi adalah sebagai berikut:
1) Mampu mengontrol nyeri, Melaporkan nyeri berkurang dengan manajemen nyeri, Mampu mengenali nyeri, Tanda-
tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70-120/80 mmhg, nadi   60-100 kali permenit, pernapasan 16-20
kali permenit, suhu 36,5- 37,50C
2) Kandung kemih kosong, Intake cairan dalam rentang normal 1-2 liter/hari, Bebas infeksi saluran kemih, Balance
cairan seimbang
3) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit, Tidak ada hemoroid,Klien mampu defekasi
4) Kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc, Kandung kemih  kosong,  Kontraksi  uterus  baik,  Klien
tidak  pucat, Kadar hemoglobin dan hematokit dalam batas normal, Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan
darah110/70-120/80 mmhg, nadi   60-100 kali permenit,pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5- 37,50CTidak ada
tanda-tanda infeksi, Leukosit dalam batas normal (3,6-11 10ˆ3/uL), Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan
darah110/70-120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C, Pasien
mampu mengetahui tanda-tanda infeksi, Pasien mampu melaporkan rasa nyaman.

D. Perawatan Luka Perineum


1. Pengertian
Perawatan adalah proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual) dalam
rentang sakit sampai dengan sehat. Perineum adalah daerah antara kedua belah paha yang dibatasi oleh vulva dan
anus. Post partum adalah selang waktu antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti
pada waktu sebelum hamil. Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan daerah antara
paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya
organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil.
2. Tujuan Perawatan Perineum
Tujuan perawatan perineum adalah mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhna jaringan.
Tenaga kesehatan berperan dalam menjelaskan pada ibu dan suaminya tentang perawatan perineum selama masa
nifas.
a. Anjurkan ibu untuk tidak menggunakan tampon pasca partum karena resiko infeksi.
b. Jelaskan perkembangan perubahan lochea dari rubra ke serosa hingga menjadi lochea alba.
c. Anjurkan ibu untuk menyimpan dan melaporkan bekuan darah yang berlebihan serta pembalut yang dipenuhi
darah banyak
d. Ajari ibu cara mengganti pembalut setiap kalli berkemih atau defekasi dan setelah mandi pancuran atau rendam.
e. Ibu dapat menggunakan kompres es segera mungkin dengan menggunakan sarung tangan atau bungkus es untuk
mencegah edema.
f. Ajari ibu untuk menggunakan botol perineum yang diisi air hangat
g. Ajari pentingnya membersihkan perineum dari arah depan ke arah belakang untuk mencegah kontaminasi.
h. Ajari langkah-langkah membersihkan rasa nyaman pada area hemoroid.
i. Jelaskan pentingnya mengosongkan kandung kemih secara adekuat.
j. Identifikasi gejala ISK. Jelaskan pentingnya asupan cairan adekuat setiap hari.
3. Bentuk Luka Perineum
Bentuk luka perineum setelah melahirkan ada 2 macam, yaitu :
a. Rupture
Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan
kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan. Bentuk rupture biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang
robek sulit dilakukan penjahitan.
b. Episiotomi
Episiotomi adalah sebuah irisan bedah pada perineum untuk memperbesar muara vagina yang dilakukan tepat
sebelum keluarnya kepala bayi.
Episiotomi, suatu tindakan yang disengaja pada perineum dan vagina yang sedang dalam keadaan meregang.
Tindakan ini dilakukan jika perineum diperkirakan akan robek teregang oleh kepala janin, harus dilakukan infiltrasi
perineum dengan anastesi lokal, kecuali bila pasien sudah diberi anestesi epiderual. Insisi anatomi dapat dilakukan di
garis tengah atau mediolateral. Insisi garis tengah mempunyai keuntungan karena tidak banyak pembuluh darah
besar dijumpai disini dan daerah ini lebih mudah diperbaiki.
4. Lingkup Perawatan
Lingkup perawatan perineum ditujukan untup pencegahan infeksi organ-organ reproduksi yang disebabkan oleh
masuknya mikroorganisme yang masuk melalui vulva yang terbuka atau akibat dari perkembangbiakan bakteri pada
peralatan penampung lochea (pembalut).
Lingkup perawtaan perineum adalah :
a. Mencegah kontaminasi dari rektum
b. Menangani dengan lembut pada jaringan yang terkena trauma
c. Bersihkan semua keluaran yang menjadi sumber bakteri dan bau.
5. Waktu perawatan
Waktu perawatan perineum adalah :
a. Saat mandi
Pada saaat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi
kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan penggantian
pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.
b. Setelah buang air kecil
Pada saat buang air kecil, kemungkinan besar terajdi kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu
pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum.
c. Setelah buang air besar
Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya
kontaminasi bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus
dan perineum secara keseluruhan.
6. Penatalaksanaan
a. Persiapan
1) Ibu post partum
Perawatan perineum sebaiknya dilakukan di kamar mandi dengan posisi ibu jongkok jika ibu telah mampu atau
berdiri dengan posisi kaki terbuka.
2) Alat dan bahan
Alat yang digunakan adalah botol, baskom dan gayung atau shower air hangat dan handuk bersih. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah air hangat.
b. Penatalaksanaan
Perawatan khusus perineal bagi wanita setelah melahirkan anak mengurangi rasa ketidaknyamanan, kebersihan,
mencegah infeksi, dan meningkatkan penyembuhan dengan prosedur adalah sebagai berikut :
1) Mencuci tangannya
2) Mengisi botol plastik yang dimiliki air hangat
3) Buang pembalut yang telah penuh dengan gerakan ke bawah mengarah ke rectum dan letakkan pembalut
tersebut ke dalam kantung plastik.
4) Berkemih dan BAB ke toilet.
5) Semprotkan ke seluruh perineum dengan air.
6) Keringkan perineum dengan menggunakan tissue dari depan ke belakang.
7) Pasang pembalut dari depan ke belakang.
8) Cuci kembali tangan.
c. Evaluasi
Parameter yang digunakan dalam evaluasi hasil perawatan adalah:
1) Perineum tidak lembab.
2) Posisi pembalut tepat.
3) Ibu merasa nyaman.

7. Faktor yang mempengaruhi perawatan perineum


a. Gizi
Faktor gizi terutam protein  akan sangat mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada perineum kanrena
penggantian jaringan sangat membutuhkan protein.
b. Obat-obatan
1) Steroid : Dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respon inflamasi normal.
2) Antikoagulan  : Dapat menyebabkan hemoragi
3) Antibiotik spektrum luas/ spesifik : Efektif bila diberikan  segera  sebelum pembedahan untuk patologi spesifik atau
kontaminasi bakteri. Jika diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif karena koagulasi intravaskular.
c. Keturunan
Sifat genetik seseorang akan  mempengaruhi kemampuan dirinya dalam penyembuhan luka. Salah satu sifat genetik
yang mempengaruhi adalah kemampuan dalam sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan glukosa
darah meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-kalori.
d. Sarana prasarana
Kemampuan ibu dalam menyediakan sarana dan prasarana dalam perawatan perineum akan sangat mempengaruhi
penyembuhan perineum, misalnya : kemampuan ibu dalam menyediakan antiseptik.
e. Budaya dan keyakinan
Budaya dan keyakinan akan mempengaruhi penyembuhan perineum, misalnya kebiasaan tarak telur, ikan dan
daging ayam, akan mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat mempengaruhi penyem buhan luka.
8. Dampak dari perawatan luka perineum
Perawatan perineum yang dilakukan dengan baik dapat menghindarkan hal berikut ini :
a. Infeksi
Kondisi perineum yang terkena lokia dan lembab akan sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat
menyebabkan timbulnya infeksi pada perineum.
Perasaan terganggu akibat luka pada perineum akan menjadi semakin parah dan kesembuhan akan berlangsung
lebih lambat jika terkena infeksi. Infeksi pada perineum dapat disebabkan oleh hematom atau ketidakberhasilan
penerapan teknik aseptik.
Sediaan apus harus dibuat dari setiap sekret yang keluar dari luka dan kemudian kemudian dikirim untuk
pemeriksaan kultur serta tes sensitivitas. Terapi antibiotik dilakukan dan pasien diingatkan agar mengahabiskan
antibiotik yang diberikan. Lampu inframerah digunakan tiga kali sehari setelah dilakukan perianal toilet dengan
cermat, kecuali jika terdapat edema atau meamar. Sitz baths dapat dimintakan. Obat oles antiseptik untuk
mengeringkan dapat dipakai setelah pengunaan lampu inframerah.
b. Komplikasi
Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat
berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada jalan lahir.
c. Kematian ibu post partum
Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian pada ibu post partum mengingat
kondisi fisik ibu post partum masih lemah.
9. Fase-fase penyembuhan luka
Fase-fase penyembuhan luka menurut Smeltzer (2002 : 490) adalah sebagai berikut :
a. Fase inflamasi, berlangsung selama 1-4 hari
Respon vaskular terjadi ketika jaringan terpotong atau mengalami cedera. Vasokontriksi pembuluh terjadi dan
pembekuan fibrinoplatet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol perdarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit
sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vaasokontriksinya
karena norepinefrin dirusak oleh enzim intraselular. Juga, histamin dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas
kapiler.
Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen,
dan air menebus spasium vaskular selama 2 sampai 3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemeraharan dan
nyeri.
b. Fase proliferatif, berlangsung selama 5-20 hari.
Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk
kuncup pada pinggiran luka: kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan
granulasi yang baru.
Setelah 2 mingggu, luka hanya memiliki 3% sampai 5% dari kekuatan aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35%
sampai 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak
vitamin , terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
c. Fase Maturasi, berlangsung 21 hari samapi sebulan atau bahkan tahunan
Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibril
kolagen menyusun kedalam posisi yang lebih padat. Hal ini, sejalan dengan dehidrasi, mengurang jaringan parut
seperti ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10-12 minggu, tetapi tidak pernah mencapai
kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka.
Dalam penatalaksanaan bedah penyembuhan luka, luka digambarkan sebagai penyembuhan melalui intensi
pertama, kedua atau ketiga.
Penyembuhan melalui intensi pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat secara aseptik,  dengan  pengrusakan
jaringan minimum, dan penutupan dengan baik, seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan
melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui intensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan
pembentukan jaringan parut minimal.
Penyembuhan melalui intensi kedua (Granulasi). Pada luka dimana terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana
tepi luka tidak saling merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.
Penyembuhan melalui intensi ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam baik yang belum disuture atau terlepas dan
kemudian di suture kembali nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini
mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas.
10. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Vaskularisasi, mempengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan peredaran darah yang baik untuk
pertumbuhan atau perbaikan sel.
b. Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel membutuhkan kadar protein yang
cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin daalm darah akan mengalami proses
penyembuhan lama.
c. Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau kematangan usia seseorang.
Namun selanjutnya, proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses
penyembuhan luka.
d. Penyakit lain, mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya penyakit, sseperti diabetes melitus dan ginjal,
dapat memperlambat proses penyembuhan luka.
e. Nutrisi, merusakan unsur utama dalam mebanntu perbaikan sel, terutama karena kandungan zat gizi yang
terdapat didalamnya. Sebagai contoh, vitamin A diperlukan untuk membatu proses epitelisasi atau penutupan luka
dan sintesis kolagen: vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzim yang mengatur metabolisme protein,
karbohidrat dan lemak: vitamin C dapat berfungsi sebagai fibroblas, dan mencegah adanya infeksi, serta membentuk
kapiler-kapiler darah: dan vitamin K yang membantu sintesis prtombin dan berfungsi sebagai zat pembekuan darah.
f. Kegemukan, obat-obatan, merokok, dan stress, mempengaruhi proses penyembuhan luka yang lebih lama .

Anda mungkin juga menyukai