Anda di halaman 1dari 8

RANGKAIAN INOVASI SOLUSI UNTUK MASALAH POLUSI

UDARA AKIBAT INDUSTRI PERTAMBANGAN DALAM


RANGKA MENGHADAPI ERA SOCIETY 5.0

ITS SUSTAINABLE OF MINING ENGINEERING


ENRICHMENT 2021
“Innovation in Optimizing the Development and Management of
the Mining Industry in Preparing for the Era of Society 5.0”

Disusun Oleh :

1. R.D.A. Besya Fairdian 15019043 ITB


2. Bram Sandika Tarigan 15019002 ITB
3. Ammar Asyraf 15019069 ITB
Industri pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya
pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan
bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, dan migas). Cadangan sumber daya
alam Indonesia melimpah dan berperan penting dalam peningkatan pendapatan
ekspor hingga pembukaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2020, Indonesia
memperkirakan ekspor batubara setidaknya bisa mencapai 392,4 juta ton pada awal
tahun. Sedangkan untuk tahun 2021, Kementerian ESDM memproyeksikan volume
ekspor batubara Indonesia pada kisaran sebesar 406,3 juta-427 juta ton.
Batubara masih menjadi salah satu daya tarik dalam pemenuhan kebutuhan
energi dunia, termasuk Indonesia, dan juga krusial untuk kebutuhan pengembangan
infrastruktur. Di dunia, energi yang berasal dari batubara dialokasikan sebesar 38%
untuk sumber listrik dan 71% untuk baja. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan
batubara mencapai 155 juta ton pada tahun 2020 dan energi yang berasal dari
batubara tersebut dialokasikan sebesar 70% untuk sumber listrik dan 30% untuk
kebutuhan lainnya (Kementerian ESDM RI, 2021). Hal ini tidak terlepas dari
ketersediaan yang melimpah dan harga yang terjangkau dari batubara.
Dalam skala global, Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan total
kepemilikan cadangan batubara sebesar 3,5 persen dari cadangan batubara global
(BP Statistical Review of World Energy, 2019). Jumlah cadangan yang tinggi
membuat batubara menjadi salah satu komoditas energi yang menjanjikan pada
masa depan. Hal ini didukung oleh proyeksi yang dilakukan Badan Energi Dunia
bahwa hingga tahun 2030 akan terjadi peningkatan permintaan energi dunia yang
menyentuh angka 45 persen atau setara dengan terjadinya kenaikan rata-rata
pertahun sebesar 1,6 persen (esdm.go.id, 2008). Di Indonesia, batubara juga akan
dijadikan 33% dari total energi pada tahun 2025 (Irwandi Arif, 2014).
Data di atas menunjukkan kebutuhan batubara di dunia sangat tinggi,
termasuk Indonesia. Hal ini mendorong para pengusaha tambang batubara bersaing
untuk mendapatkan batubara sebanyak mungkin. Permasalahan terkait efisiensi dan
efektivitas dalam proses pengambilan batubara dijawab oleh Industri 4.0 yang kita
kenal pada era ini. Industri 4.0 memberikan kemudahan dalam kegiatan
pertambangan dengan alat-alat yang serba canggih seperti excavator dan bulldozer.
Di sisi lain, Industri ini juga meninggalkan banyak jejak dalam degradasi yang
terjadi pada lingkungan seperti isu pencemaran air dan udara yang disebabkan oleh
tahap pemrosesan tambang dan juga penggunaan produk batubara.
Salah satu masalah besar pada bumi yang mendapat perhatian dunia adalah
bentuk ketidakmampuan bumi dalam menghadapi polusi, salah satunya polusi
udara. Tidak dapat dipungkiri bahwa polusi udara mengganggu banyak orang,
bahkan dapat menyebabkan kematian. Polusi udara juga dinilai sebagai masalah
yang menyumbang kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kematian yang
disebabkan oleh asap rokok. Peneliti dari Max Planck Institute for Chemistry
membuktikan hal ini dengan menunjukkan bahwa polusi udaralah yang
melatarbelakangi terjadinya sembilan juta kelahiran secara prematur setiap
tahunnya. Selain itu, pencemaran udara juga berperan dalam kasus 8,8 juta
kematian yang ada di dunia.
Beberapa wilayah yang ada di Indonesia terutama Kota Jakarta memiliki
kualitas udara yang sangat berbahaya dan tidak ramah untuk kesehatan. Hal ini
disebabkan oleh jumlah konsentrasi udara di Jakarta jauh di atas standar yang sudah
ditetapkan oleh WHO. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Greenpace yang
merupakan salah satu NGO lingkungan, salah satu penyebab buruknya kondisi
udara Jakarta adalah akibat aktivitas dari PLTU. PLTU di Indonesia diperbolehkan
mengeluarkan emisi SO2 yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan Cina dan
India (Ruhiat,et al,2019). Hal ini terjadi karena regulasi dan penerapan standar
emisi untuk polutan utama sangatlah lemah. Sehingga, PLTU merasa bebas
melakukan hal tersebut tanpa menyadari risiko yang akan dihadapi.
Proses produksi batubara yang dimulai dari kegiatan pembukaan lahan dan
kegiatan lain seperti pengambilan, pengangkutan, hingga batubara tersebut dibakar
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Pertama, dalam proses pembukaan
dan alih fungsi hutan masyarakat cenderung membakar lahan karena dirasa
merupakan cara yang lebih murah sehingga proses pembukaan lahan tidak
terhindarkan dari penciptaan polusi udara (Purnomo dan Suhendri, 2017).
Seharusnya, penebangan pohon sesuai dengan aturan dapat menjadi alternatif lain.
Kedua, dalam kegiatan pengambilan dan pengangkutan batubara digunakan alat-
alat besar untuk mempermudah kegiatan penambangan. Alat-alat tersebut
berkontribusi dalam menyumbang gas-gas polutan di udara.
Batubara adalah sumber tunggal terbesar dari emisi gas rumah kaca yang
mendorong terjadinya perubahan iklim (Health Effect Institute, 2018). PLTU
menggunakan batubara sebagai bahan bakar utama. Batubara digunakan dalam
proses pemanasan air pada boiler untuk menghasilkan uap air dengan tekanan
tertentu yang akan dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin. Pembakaran batubara
dapat menghasilkan zat berbahaya seperti, As, Se, Hg, NOx, CO2, dan SO2 yang
dapat membawa kerusakan pada lingkungan dan juga masalah bagi kesehatan
(Setiawan, et al., 2018).
Menurut WHO, setiap tahun sekitar 3 juta orang meninggal karena polusi
udara atau sekitar 5 % dari 55 juta orang meninggal setiap tahun di dunia. Dengan
adanya kegiatan pertambangan batubara akan muncul polusi udara yang
menyebabkan penyakit pada manusia, terutama pada sistem pernapasan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vita Sasmiari (2013) didapatkan hasil
bahwa terdapat pengaruh kadar debu batubara terhadap ISPA dengan kadar debu
sebesar 2,2 mg/m3 pada unit kerja boiler dan 0,9 mg/m3 pada unit kerja filling.
Penyakit tersebut muncul ketika masyarakat yang berada di lokasi tambang atau di
kawasan lalu lintas pengangkutan batubara menghirup debu batubara secara terus
menerus. Terlebih lagi, penambang batubara memiliki risiko terkena penyakit
pernapasan yang lebih tinggi. Misalnya, di PT. Kalimantan Prima Persada
ditemukan hasil bahwa terjadi gangguan pernapasan yang dialami oleh pekerja
lapangan saat kadar debu di angka 2,19 mg/m3 (Sholihah dkk, 2008). Gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara akan memengaruhi daya kerja
seseorang yang mengakibatkan turunnya nilai produktivitas, kerugian ekonomis
jangka panjang, dan timbulnya permasalahan sosial ekonomi keluarga dan
masyarakat (Afif Budiyono, 2001).
Aktivitas penambangan yang dilakukan saat ini dapat memberikan efek
yang sangat berbahaya bagi lingkungan maupun manusia. Hal ini bertentangan
dengan era society 5.0 yang memiliki tujuan untuk memberikan “rasa nyaman”
kepada manusia. Untuk menjawab tantangan pada era ini, terdapat beberapa inovasi
solusi dalam mengatasi polusi udara. Pertama, gas emisi hasil pembakaran batubara
khususnya SO2 dapat diminimalisir sebelum proses pembakaran batubara
dilakukan. Secara sederhana, sulfur pada batubara dibersihkan sebelum batubara
dibakar atau disebut biodesulfurisasi.
Proses biodesulfurisasi batubara pada dasarnya dilakukan dengan cara
mengoksidasi sulfur pada batubara menjadi bahan organik maupun anorganik
dengan menggunakan bantuan dari bakteri tertentu seperti bakteri T. ferroxidans.
Bakteri ini sangat bermanfaat dalam industri pertambangan khususnya mengurangi
sulfur pada batubara untuk mereduksi jumlah emisi gas pada saat dilakukan
pembakaran. Kinerja dari biodesulfurasi sudah dioptimalkan menggunakan kultur
gabungan dari dua bakteri dan terbukti membuahkan hasil yang lebih baik. Salah
satu alternatif paling aman dan juga ramah lingkungan untuk proses desulfurisasi
ini adalah dengan memanfaatkan perpaduan dari bakteri T.ferroxidans dan
T.thiooxidans. Desulfurisasi menggunakan kombinasi dari kedua bakteri tersebut
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan desulfurisasi kimiawi, yaitu lebih
efisien, ekonomis, dan ramah lingkungan. Namun, gas emisi dari pembakaran
batubara bukan hanya SO2 melainkan terdapat juga gas-gas berbahaya lainnya.
Maka dari itu, salah satu alat yang dapat diterapkan untuk mengurangi gas-gas
berbahaya tersebut adalah Catalytic Converter.
Catalytic Converter merupakan alat yang memiliki fungsi mengubah
Polutan dalam reaksi kimia oleh converter sebagai katalis (untuk meningkatkan laju
reaksi) menjadi polutan yang tidak beracun dalam reaksi reduksi dan oksidasi.
Catalytic Converter digunakan untuk mengurangi gas emisi yang dihasilkan
kendaraan, yaitu karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan NOx. Ketiga gas
emisi ini akan melewati Catalytic Converter yang mengandung rhodium,
palladium, dan platinum. Ketika melewati Catalytic Converter, terjadi reaksi
reduksi gas NOx dan oksidasi oksigen (O2) di udara dengan gas karbon monoksida
(CO) dan hidrokarbon yang tidak terbakar (HC) untuk menghasilkan karbon
dioksida (CO2) dan air (H2O), sehingga emisi gas buang kendaraan relatif lebih
aman. Namun, dengan cara kerja Catalytic Converter, sebenarnya alat ini juga
dapat digunakan untuk mengurangi gas emisi hasil pembakaran batubara seperti
NOx dan CO.
Umumnya Catalytic Converter pada kendaraan hanya bisa digunakan rata-
rata selama 10 tahun. Dengan gas emisi dan prinsip kerja yang hampir sama,
seharusnya masa optimum penggunaan alat tidak jauh berbeda ketika Catalytic
Converter diterapkan pada proses pembakaran batubara. Meskipun sudah melewati
tahap biodesulfurisasi dan dilengkapi dengan alat Catalytic Converter, gas emisi
pembakaran batubara tidak hilang secara keseluruhan. Namun, masih ada gas sisa
yang akan dilepaskan ke udara. Untuk memastikan Catalytic Converter masih
bekerja dengan baik dan kualitas udara masih tergolong aman dibutuhkan suatu alat
tambahan yang dapat memastikan hal tersebut.
Industri 4.0 mendorong munculnya teknologi pemantauan udara yang
menjadi konsep penting untuk memeriksa apakah udara sekitar kita layak untuk
sistem pernapasan. Teknologi ini didasarkan pada converter mikro sensor pintar
suatu aplikasi dengan bantuan jaringan yang mengunduh level polutan untuk
menyampaikan informasi pada komputer untuk diproses lebih lanjut. Kamera web
pengawasan resolusi tinggi akan digunakan untuk memantau kualitas udara melalui
internet (Sirsikar & Karemore, 2015). Selain teknologi, keketatan regulasi juga
dapat digunakan untuk memastikan terjaganya kualitas udara. Misalnya dengan
mewajibkan semua perusahaan pertambangan batubara untuk memberikan subsidi
air purifier kepada masyarakat sekitar yang terkena polusi udara dari kegiatan
pertambangan batubara. Air purifier ini berfungsi untuk membersihkan udara dari
polutan yang berbahaya. Lalu, pelaku tambang juga diwajibkan untuk membuat air
purifier alami dengan cara menanam aloe vera di sekitar area pembakaran
batubara. Rangkaian inovasi solusi ini menjadi jawaban untuk mempersiapkan
industri pertambangan dalam mengoptimasi pengembangan dan manajemen
industri untuk menghadapi era society 5.0.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D, S, 2020, 10 Fungsi Air Purifier yang Bermanfaat untuk Kesehatan,
diakses 23 Juni 2021, <https://bacaterus.com/fungsi-air-purifier/>.
Arif, I, 2014, Batubara Indonesia, PT Gramedia, Jakarta.
Aziz, S dan Faturohman,T, 2021, Cost and Environmental Impact Analysis of Waste
Oil Utilization in Coal Mining Industry: A Case Study of PT Berau Coal,
diakses 8 Juni 2021, <http://sibresearch.org/uploads/3/4/0/9/34097180/
riber_10-s1_24_u20-076_254-282.pdf>.
Budiyono, A, 2001, Pencemaran Udara: Dampak Pencemaran Udara Pada
Lingkungan, diakses 15 Juni 2021, <http://jurnal.lapan.go.id/index.php/
berita_dirgantara/article/view/687/605>.
Bunga, 2019, 5 Jenis Tanaman yang Ampuh Bersihkan Udara di Ruangan, diakses
23 Juni 2021, <https://www.idntimes.com/science/discovery/ruru-
2/tanaman-ampuh-bersihkan-udara-di-ruangan-c1c2/2>.
Eka, R, 2019, Polusi Udara Bunuh Lebih Banyak Orang Dibanding Merokok,
diakses 12 Juni 2021,<https://sains.kompas.com/read/2019/03
/14/173500423/polusi-udara-bunuh-lebih-banyak-orang-dibanding-
merokok?page=all>.
ESDM, K, 2020, Konferensi Pers: Perkembangan Kebijakan Sub Sektor
Pertambangan Mineral dan Batubara, diakses 12 Juni 2021,
<https://www.minerba.esdm.go.id/berita/minerba/detil/20200312-konferen
si-pers-perkembangan-kebijakan-sub-sektor-pertambangan-mineral-dan-ba
tubara>.
Ferindra, M, 2014, Gambaran Peran Serta Masyarakat Dalam Mengurangi
Dampak Polusi Udara Terhadap Kesehatan Studi di RT.02 RW.01 Desa
Krebet Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang, diakses 16 Juni 2021,
<http://repository.stikeskepanjen-pemkabmalang.ac.id:8080/xmlui/bitstrea
m/handle/123456789/29/Manuskrip.pdf?sequence=1&isAllowed=y>.
Hafsari, D, Ricky Ramadhian, M, dan Saftarina, F, 2015, Debu Batubara dan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Pekerja Pertambangan
Batubara, diakses 15 Juni 2021, <http://juke.kedokteran.unila.ac.id
/index.php/majority/article/view/1405/1247>.
Lata Tripathi, K dan Kumar Srivastava, M, 2020, An Assessment Of Environmental
Impact Of A Prominent Contributor In Coalmining Industry Of India,
diakses 7 Juni 2021, <http://psychologyandeducation.net/pae/index.php
/pae/article/view/1231/1032>.

Maidi, S dan Yunasril, 2016, Desulfurisasi Batubara dengan Metode Leaching


Menggunakan Pelarut Asam Klorida (HCl), diakses 23 Juni 2021,
<http://ejournal.unp.ac.id/index.php/mining/article/viewFile/108021/10312
0>.
Rudakov, M, Gridina, E, dan Kretschmann, J, 2021, Risk-Based Thinking as a Basis
for Efficient Occupational Safety Management in the Mining Industry,
diakses 8 Juni 2021, <https://www.mdpi.com/2071-1050/13/2/470>.
Rahma, A, 2020, Terus Naik, Kebutuhan Batubara Nasional Diproyeksi Capai 277
Juta Ton pada 2040, diakses 12 Juni 2021 , <https://www.liputan6.com/
bisnis/read/4415743/terus-naik-kebutuhan-batu-bara-nasional-diproyeksi-
capai-277-juta-ton-pada-2040>.
Taufik Arifin Anziif, M, 2021, Prospek Pertambangan Batubara Indonesia di 2021
cerah!, diakses 12 juni 2021, <https://ligaasuransi.com/prospek-
pertambangan-batubara-indonesia-di-2021-cerah/>.
Team, NMAA, 2021, Begini Cara Kerja Catalytic Converter di Mobil, diakses 23
Juni 2021, <https://nmaa.co.id/2021/01/begini-cara-kerja-catalytic-
converter-di-mobil/>.
Trianisa, K, Priyo Purnomo, E, dan Nur Kasiwi, A, 2020, Pengaruh Industri
Batubara Terhadap Polusi Udara dalam Keseimbangan World Air Quality
Index in India, diakses 23 Juni 2021, <https://pdfs.semanticscholar.
org/d937/c86e5853af2a3116da864999a98e7878b775.pdf>.
Van der Schaar Investments B, V, 2018, Batubara, diakses 11 Juni 2021,
<https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/ite
m236>.

Anda mungkin juga menyukai