Disusun Oleh :
Jl. Terusan Sekar Kemuning no. 199 Karya Mulya Cirebon 45135
2019
LATAR BELAKANG
Salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional adalah paradigma sehat. Dalam
perwujudan paradigma sehat yang diutamakan adalah upaya pencegahan penyakit
(preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif) tanpa mengabaikan pencegahan dan
penanganan penyakit menular termasuk HIV/AIDS. Menurut hasil survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994, jumlah penduduk usia 10-19 tahun mencakup
22,9% dari jumlah penduduk indonesia (DepkesRI, 2001) memerlukan informasi tentang
kesehatan reproduksi dan penting untuk disebarluaskan. Terutama Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) karena perempuan lebih mudah terkena infeksi saluran reproduksi
dibandingkan dengan pria.
Infeksi saluran reproduksi (ISR) adalah masuk dan berkembangbiaknya kuman
penyebab infeksi kedalam saluran reproduksi. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat
berupa bakteri, jamur, virus dan parasit.
Infeksi saluran reproduksi, termasuk infeksi menular seksual masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di Negara-negara berkembang (World Health
Organization, 2007)
Penyebab penyakit ISR diantaranya yaitu: imunitas lemah (10%), perilaku kurang
hygiene saat menstruasi (30%) dan lingkunga tidak bersih serta penggunaan pembalut
yang kurang sehat saat menstruasi (50%) (Rahmatika, 2010). Bila alat reproduksi lembab
dan basah, maka keasaman akan meningkat yang memudahkan pertumbuhan jamur
(Kasdu,2005). Orang yang mengalami ISR/IMS mempunyai resiko lebih tinggi tertular
HIV atau menularkan HIV kepada pasangannya, orang-orang yang terinfeksi HIV
pengobatan ISR/IMS akan lebih sulit, yaitu berarti dalam keadaan serentak akan
meningkatkan penyebaran HIV.
Istilah ISR/IMS mencakup 4 tipe infeksi yaitu :
1. Infeksi yang merusak saluran reproduksi
2. Infeksi pada saluran reproduksi perempuan yang tidak disebabkan karena
penularan melalui hubungan seks tetapi merupakan pertumbuhan berlebih dari
bakteri yang normal ada dalam vagina (bakteri vaginosis dan jamur)
3. Infeksi melalui hubungan seks yang memberi dampak lebih luas selain alat
reproduksi (HIV/AIDS dan Sifilis)
4. Infeksi pada saluran reproduksi perempuan akibat komplikasi dari tindakan yang
dilakukan untuk membantu kasus persalinan, keguguran dan pengguguran(aborsi),
insersi AKDR (IUD) .
Keseriusan pemerintah dalam memberi perhatian akan penanganan permasalahan
kesehatan reproduksi, dituangkan juga melalui kebijakan lain, seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menjamin pemenuhan hak
kesehatan reproduksi bagi setiap orang, dan menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi
agar melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas, serta mengurangi angka kematian ibu.
Ruang lingkup kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) meliputi 10 hal, yaitu :
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi saluran reproduksi (ISR) adalah masuk dan berkembangbiakan kuman penyebab
infeksi kedalam saluran reproduksi. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa bakteri,
jamur, virus dan parasit.
Gejala Umum :
Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) adalah terminologi umum yang digunakan untuk tiga
jenis infeksi pada saluran reproduksi :
1. ISR Endogen
Jenis ISR yang paling umum di dunia. Timbul akibat pertumbuhan tidak normal organisme
yang seharusnya tumbuh normal didalam vagina, antara lain vaginosis bakteri dan
kandidiasis yang mudah disembuhkan. ISR endogen juga dihubungkan dengan
persalinan premature dan bayi berat lahir rendah (BBLR)
2. ISR iatrogenik (yang berhubungan dengan prosedur medis)
Timbul ketika penyebab infeksi (bakteri atau mikroorganisme lainnya) masuk ke dalam
saluran reproduksi melalui prosedur medis yang kurang/tidak steril. Misalnya induksi
haid, aborsi, pemasangan AKDR (IUD), saat melahirkan atau bila infeksi yang sudah
ada di saluran reproduksi bagian bawah menyebar melalui mulut Rahim hingga ke
saluran reproduksi bagian atas.
ISR/IMS (Infeksi Menular Seksual) atau PMS (Penyakit Menular Seksual), dan
HIV/AIDS. IMS ini sering disebut juga penyakit kelamin atau penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Sebab IMS dan HIV sebagian besar menular melalui
hubungan seksual baik melalui vagina, mulut, maupun dubur. Untuk HIV sendiri bisa
menular dengan transfusi darah dan dari ibu kepada janin yang dikandungnya. Dampak
yang ditimbulkannya juga sangat besar sekali, mulai dari gangguan organ reproduksi,
keguguran, kemandulan, kanker leher rahim, hingga cacat pada bayi dan kematian.
Dari data yang di dapat mengenai HIV AIDS dan PIMS pada tahun 2014 dilaporkan
32.711 kasus HIV baru, sehingga sampai dengan desember 2014 secara kumulatif telah
teridentifikasi 160.138 orang yang terinfeksi HIV, meskipun sudah banyak yang
meninggal. Jumlah layanan yang ada hingga tahun 2014 meliputi 1583 layanan KTHIV ,
465 layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang aktif melaksaanakan
pengobatan ARV, 90 layanan PTRM 1290 layanan IMS dan 214 layanan PPIA.
Dari hasil modeling prevalensi HIV secara nasioanl sebesar 0,4% (2014), tetapi untuk
tanah papua 2,3% (STBP Tanah Papua 2013). Perkiraan prevaliansi HIV provinsi-
provinsi di Indonesia cukup bervariasi berkisaran antara <0,1% - 4% . Hal ini
menunjukan bahwa tingkat resiko infeksi HIV maupun beban terkait HIV ini berbeda
diantara provinsi-provinsi di Indonesia.
Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/
AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34
provinsi di Indonesia.
Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak
301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018
sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan
20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta
(55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa
Tengah (24.757).
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun, sementara jumlah
AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan bahwa semakin banyak orang
dengan HIV /AIDS (ODHA) yang diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi
(HIV positif) dan belum masuk dalam stadium AIDS. HIV hanya memiliki obat yang
berguna untuk menekan jumlah virus HIV tersebut, antiretroviral (ARV) namanya. Obat
ARV mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan tubuhnya
(CD4) tetap terjaga. Sama seperti penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, kolesterol,
atau DM, obat ARV harus diminum secara teratur, tepat waktu dan seumur hidup, untuk
meningkatkan kualitas hidup ODHA serta dapat mencegah penularan. ARV dijamin
ketersediaannya oleh pemerintah dan gratis pemanfaatannya. Pelayanan ARV sudah dapat
diakses di RS dan Puskesmas di 34 provinsi, 227kab/kota. Total saat ini terdapat 896
layanan ARV, terdiri dari layanan yang dapat menginisiasi terapi ARV dan layanan
satelit. Dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan terdekat sangat dibutuhkan agar
ODHA tetap semangat dan jangan sampai putus obat.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 mencatat dari 48.300 kasus HIV positif yang
ditemukan, tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS. Sementara data triwulan II tahun 2018
mencatat dari 21.336 kasus HIV positif, tercatat sebanyak 6.162 kasus AIDS. Adapun
jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai
dengan Juni 2018 tercatat sebanyak 108.829 kasus.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk mencegah
penularan HIV/AIDS yaitu: memberikan penyuluhan-penyuluhan atau informasi kepada
seluruh masyarakat tentang segala sesuatau yang berkaitan dengan AIDS, yaitu melalui
seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran brosur atau poster-poster yang berhubungan
dengan AIDS, ataupun melalui iklan diberbagai media massa baik media cetak maupun
media elektronik.penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan, kepada semua lapisan masyarakat, agar seluarh masyarakat dapat
mengetahui bahaya AIDS, sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu yang
bisa menimbulkan virus AIDS.
Strategi pemerintah terkait dengan program pengendalian HIV/AIDS :
1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini.
a. Daerah dengan epidemi meluas dilakukannya penawaran tes HIV perlu
dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat
jalan/rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6bulan 1x
b. Daerah dengan terkonsentrasi maka penawaran test HIV rutin dilakukan pada
ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis, warga binaan permasyarakatan, pasien
IMS pasangan tetap ataupun tidak tetap dan populasi kunci seperti WPS,
Waria, LSL dan Penasun
c. Kabupaten atau kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan
melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring dan
evaluasi serta surveilanse berkala
d. Memeperluas akses pelayanan KTHIV dengan cara menjadikan Test HIV
sebagai standart layanan di seluruh fasilitas kesehatan (Faskes) pemerintah
sesuai status epidemi dari tiap kabupaten/kota
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis/teknis laboratorium yang terlatih, maka
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan test HIV
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat puskesmas
g. Bekerjasama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan pengjangkauan dan memberikan edukasi tentang
manfaat test HIV dan terapi ARV
h. Bekerjasama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan
melalui layanan IMS dan PTRM
2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis
a. Menggunakan rezimen pengobtan ARV kombinasi dosisi tetap (KDT-Fixed
Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu
tablet setiap hari pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya
patuh dan tidak lupa meminum obat
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan
apapun stadium klinisnya:
- Kelompok populasi kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks, pengguna NAPZA
suntik, dan waria, dengan atau ttanpa IMS lainnya
- Populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi TB HIV,
pasien koinfeksi hepatitis (Hepatitis B) ODHA yang pasangannya HIV (negatif),
bayi atau anak dengan HIV (usia <5 tahun)
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viraload (VL), termasuk Early Infan
Diagnosis (EID) , hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah
ODHA yang termasuk dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV sesegera
mungkin, melalui sistem rujukan pasien/rujukan spesimen pemeriksaan
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes
dan pengobatan HIV-AIDS
DAFTAR PUSTAKA
dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10568/TESIS%20FULL%20FINAL.pdf
depkes.go.id/article/hari-aids-sedunia-momen-stop-penularan-hiv-saya-berani-saya-sehat.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
http://repository.upi.edu/15624/4/Ta_JKR_1205962_Chapter1.pdf