Anda di halaman 1dari 278

POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU

DI INDONESIA
Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan

Editor

Raudatul Ulum

Litbangdiklat Press
Tahun 2019
POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU
DI INDONESIA

Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan

Hak cipta dilindungi Undang-undang

All Rights Reserved

Editor: Raudatul Ulum

Penulis:

AHMAD ROSIDI; ANIK FARIDA; ASNAWATI; EDI JUNAEDI;M.


TAUFIK HIDAYATULLAH; R. ADANG NOFANDI; RAUDATUL
ULUM;RESLAWATI; WAKHID SUGIYARTO; ZAENAL ABIDIN EKO
PUTRO

Desain Cover dan Layout:


Fajar Anbya

Diterbitkan oleh:

LITBANGDIKLAT PRESS

JL. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat


Telepon: 021-3920688
Fax: 021-3920688
Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id
Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan:

Pertama Oktober 2019

ISBN: 978-602-51270-7-6

ii
PRAKATA EDITOR

Salam kebajikan, kami bersyukur kehadirat Tuhan


Yang Maha Kuasa atas selesainya proses perbaikan naskah
buku Potret Umat Konghucu di Indonesia. Topik yang cukup
unik, meskipun juga bukanlah kajian baru di lingkungan
studi keagamaan di Indonesia. Satu hal yang melekat pada
Konghucu, selalu identik dengan etnis Tionghoa, baik dalam
perspektif budaya maupun praktek keagamaan. Lalu, sejak
kapan keberadaan agama Konghucu di Indonesia, bisa
saja diasumsikan hadir bersama dengan kedatangan etnis
Tionghoa sejak ratusan tahun yang lalu.

Kenapa agama hadir di sepanjang kehidupan


manusia, untuk apa juga dipelajari. Tuhan dikenal dalam
berbagai bentuk dan nama seiring perkembangan sejarah.
Bermacam ragam manusia mengenali Tuhan dan menjadi
penganut agama, dengan caranya sendiri, serta acapkali
berbuat baik atas namanya. Pada perkembangannya agama
hadir turun melalui wahyu dan perenungan manusia sendiri
sehingga menjadi tata nilai, untuk mengasah budi dan sisi
baik manusia. Agama bagi pemeluk agama Konghucu
adalah serangkaian pembelajaran, tidak hanya ketuhanan,
etika dan moralitas, spiritualitas dan jalan hidup untuk
mencari kesejatian. Mereka sebut dengan watak sejati.

Kilas balik atas jalan suci dan damai itu, disamping


memberi inspirasi bagi jalan spiritual dan kedamaian,
menyisakan begitu banyak cerita di Indonesia. Hubungan
negara dengan agama di negeri ini kerap pasang surut.

iii
Politik seringkali berkelindan dengan identitas keagamaan.
Identitas keberagamaan dapat pula diseret-seret atas
ketidaksukaan kepada yang lain. Secara horisontal,
pemeluk agama Konghucu tidak mengalami benturan,
jika di lain tempat seringkali terjadi kasus gesekan antar
penganut agama, seakan api dalam sekam, sewaktu waktu
akan tampak pijarnya di permukaan. Namun pemeluk
agama Konghucu jarang mengalami intensi konflik secara
terbuka dan intimidatif ke arah kekerasan atas nama agama.
Pasang surut hubungannya justru terjadi dengan negara,
rezim pemerintahan sempat melarang, saat itu segala hal
yang berbau China dilarang, dianggap sebagai budaya
asing, sehingga berdampak sangat masif terhadap identitas
Konghucu. Sampai kemudian dipulihkan pasca reformasi
1998.

Bagi Indonesia, agama adalah hal penting dalam


kehidupannya. Banyak hasil riset mengatakan hal tersebut,
sehingga urusan apapun tidak bisa dilepaskan dari unsur
agama. Sebagai negara, Indonesia memiliki perangkat
lengkap untuk menjamin kehidupan warganya. Termasuk
pada aspek pelayanan sipil keagamaan. Kepentingan
manausia modern terhadapa agama juga masih berkaitan
dengan pendidikan agama, perkawinan sampai dengan
urusan pemulasaraan jenasah. Isu keagamaan di beberapa
negara sekuler dianggap sebagai urusan pribadi, padahal
beberapa praktek keagamaan juga akhirnya tidak bisa
dilepaskan dari negara. Di Indonesia agama menyatu dengan
kehidupan sosial masyarakatnya. Hal yang disebutkan
tersebut yang menjadi area pembahasan sepanjang naskah
ini ditulis.

iv
Banyak narasi yang dihadirkan di dalam buku ini,
mulai dari hal yang kontroversial menyangkut jumlah
pemeluk agama Konghucu yang tidak pernah bisa definitif.
Begitu juga konflik rumah ibadah dengan penganut agama
Buddha. Jumlah penduduk tidak akurat disebabkan karena
identitas penganut juga tidak pernah tuntas. Banyak faktor
kenapa identitas tidak tuntas, sudut pandang psikologis
terhadap dinamika politik Indonesia serta alasan lainnya
muncul berdasarkan hasil wawancara. Konghucu menjadi
topik menarik di dalam buku ini, di samping kesahihan
argumentasi karena diurai dari hasil penelitian, beberapa hal
menyangkut kosmologi, religiusitas, etika dan spiritualitas
juga menjadi sorotan penting.

Penerbitan hasil penelitian tentang umat Konghucu


ini merupakan bentuk kedua setelah sebelumnya dicetak
diterbitkan dalam bentuk utuh sebagai laporan penelitian.
Memang bukanlah hal mudah dalam hal mengedit naskah
ini, karena bekerja dengan menjaga jarak yang cukup dengan
naskah aslinya sama dengan membiarkan apa adanya,
tetapi jika banyak mengubah memilah memilih khawatir
menghilangkan unsur emik dari hasil penelitiannya.
Akhirnya jadilah rupa sedemikian ini, susunan sistim
penyajiannya dibuat selentur mungkin, meskipun beberapa
data masih dihadirkan apa adanya untuk menjaga keaslian
dari tulisan para peneliti.

Semoga buku ini dapat memberikan informasi dan


bacaan yang baik bagi seluruh pemerhati Konghucu, berguna
bagi yang tertarik karena keinginan memahami Konghucu
dan pemeluknya saat ini, ataupun karena kepentingan studi

v
keagamaan. Sebagai sebuah karya, tulisan dari beberapa
orang ini telah berusaha menghadirkan beberapa hal
yang dipandang penting dan menjadi perhatian banyak
kalangan. Baik, kalangan internal pemeluk Konghucu
sendiri, kalangan yang memiliki ikatan tradisi tetapi bukan
pemeluk, maupun mereka pembaca di luar umat. Selamat
membaca!

Sanzhai

Jakarta, 7 September 2019

Raudatul Ulum
Editor

vi
Daftar Isi

Halaman Sampul........................................................ i

Prakata Editor............................................................. iii


Bagian I........................................................................ 1
Pendahuluan
POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU
DI INDONESIA............................................................ 1
Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan

Bagian II....................................................................... 22
UMAT KHONGHUCU DI BALI................................... 22
Oleh: Reslawati

Bagian III..................................................................... 42
UMAT KHONGHUCU SURABAYA............................ 43
Oleh: Raudatul Ulum

Bagian IV..................................................................... 72
KHONGHUCU DAN PROBLEM IDENTITAS.............. 72
DI KEPULAUAN RIAU................................................ 72
Oleh: Edi Junaedi

Bagian V...................................................................... 80
UMAT KHONGHUCU PURWOKERTO...................... 80
Oleh: Zaenal Abidin Eko Putro

Bagian VI..................................................................... 114


UMAT KHONGHUCU PANGKAL PINANG.............. 114
Oleh: R. Adang Nofandi

vii
Bagian VII.................................................................... 147
UMAT KHONGHUCU KOTA SOLO........................... 147
Oleh: Wakhid Sugiyarto

Bagian VIII................................................................ 199


UMAT KHONGHUCU DI BOGOR...................... 199
Oleh: Achmad Rosidi

Bagian IX................................................................... 211


UMAT KHONGHUCU DI JAKARTA.................. 211
Oleh: Taufik Hidayatulllah dan Anik Farida

Bagian X..................................................................... 239


UMAT KHONGHUCU SEMARANG................... 239
Oleh: Suhanah dan Asnawati

Daftar Pustaka.......................................................... 249


Biodata Penulis......................................................... 255
Indeks......................................................................... 261
SUSUNAN ANGGOTA REVIEWER
LITBANGDIKLAT PRESS................................................... 270

viii
Bagian I
Pendahuluan
POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU
DI INDONESIA

Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan

Pendahuluan

T
ien Shie muncul dalam bentuk agama di beberapa
negara seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong
dan Tiongkok, setidaknya kultur dan etika negara
tersebut sangat dipengaruhi oleh Kongfusionisme1. Dalam
bahasa Tionghoa, agama Khonghucu seringkali disebut
sebagai Kongjiao (孔教) atau Rujiao (儒教)2. Di zaman Orde
Baru, rezim pemerintahan saat itu melarang segala bentuk
aktivitas kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia3.
Hal tersebut menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan
tradisional Tionghoa tidak memiliki status sebagai pemeluk

1
Kaplan, Robert D. (6 February 2015). “Asia’s Rise Is Rooted in
Confucian Values”. Wall Street Journal.
2
Feuthwang, Stephan (2016). Chinese religions”, in Woodhead,
Linda; Kawanami, Hiroko; Partridge, Christopher H. (eds.), Religions
in the Modern World: Traditions and Transformations (3nd ed.), London:
Routledge, pp. 143–172, ISBN 978-1-317-43960-8
3
Produk pembatasan terhadap simbol dan budaya tionghoa setidaknya
enam peraturan: 1) Inpres 14/76 tentang larangan kegiatan keagamaan, adat
dan kebudayaan tionghoa; 2) SE 60/Preskab/6/67 pengubahan nama tionghoa
ke Indonesia; 3) SK Mendag Kop 286/78 pelarangan impor, penjualan dan
penjualan berbahasa Cina; 4) SE Mendagkop 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, melarang
penggunaan aksara di muka umum; 5) Permen Perumahan 455.2-360/1988 larangan
mengembangkan Kelenteng; 6) Kepres 56/96 tentang penghapusan persyaratan
SBKRI.

1
agama yang dilayani oleh negara dalam melaksanakan
aktifitas keagamaan dan kebutuhan layanan sipil lainnya,
seperti pemeluk lima agama lainnya.
Kondisi tersebut memunculkan opini negara hanya
mengakui lima agama saja dan mengabaikan keberadaan
yang lain. Pada masa yang sama represi terhadap komunisme
yang dianggap memiliki sisi lain atheisme, mengakibatkan
pemeluk kepercayaan mencantumkan satu dari lima
agama yang ada, maka menyasar juga terhadap pemeluk
Khonghucu unyuk memilih antara agama Buddha, Islam,
Katolik, atau Kristen. Hanya sebagian yang bertahan, sabar
memerjuangkan pengakuan Khonghucu sebagai agama
tersendiri. Imbas dari kebijakan tersebut juga menyasar
Klenteng tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa
terpaksa mengubah nama menjadi vihara, serta mau tidak
mau menaungkan diri di bawah pelayanan keagamaan
Buddha. Perayaan penting bagi umat Khonghcu, yaitu Imlek,
secara resmi Imlek pada masa Orde Baru melalui instrumen
Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 dibatasi
meskipun tidak sama sekali dilarang. Alasan pembatasan
tersebut adalah anggapan bahwa “Manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang
kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga
merupakan hambatan terhadap proses asimilasi.”
Berbagai istilah melekat pada ajaran ini secara
tradisional melekat di kalangan Tiong Hoa, mulai dari
Konfusianisme yang didasarkan pada pengucapan Eropa
sejak Matteo Ricci, atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze
atau Konfusius), istilah aslinya adalah Rujiao (儒教) berarti
agama orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan

2
berbudi luhur4. Meskipun ajaran Khonghucu diidentikkan
dengan Kongzi, namun beliau bukanlah pencipta agama
ini melainkan dia hanya menyempurnakan agama yang
sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang dia
sabdakan: “Aku bukanlah pencipta tetapi Aku suka akan
ajaran-ajaran kuno tersebut”5.
Khonghucu kerap dianggap sebagai pengajaran
filsafat, hyanya berfungsi meningkatkan moralitas dan
membangun etika manusia, terutama di Tiongkok dan
keturunan yang tersebar di seluruh dunia. Namun, jika
penelusuran ajaran secara utuh dan menyeluruh bagaimana
Ru Jiao lebih tepat dikatakan sebagai agama. Ru Jiao
memiliki serangkaian ritual yang terstruktur seperti halnya
agama lain. Begitu juga dengan aspek etik, Khonghucu
mengajarkan hubungan antarsesama manusia atau disebut
“Ren Dao” dan bagaimana kita melakukan hubungan
dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao)
yang disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”. Ajaran
falsafah ini diasaskan oleh Khong Hu Cu sendiri tercatat
muncul sejak tahun 551 SM. Dikenal sebagai seorang yang
bijak sejak masih kecil kemudian berkembang menyebar
ilmu-ilmunya ketika berumur 56 tahun, Khong Hu Cu telah
banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan
dan falsafah sampai beliau meninggal dunia pada tahun 479
SM.

4
Setio Kuncoro Ongky (2016). Matteo Ricci merupakan orang
yang mengenalkan Konghucu di Eropa setelah mengalami pengalaman
panjang di Tiongkok berdialog dengan penganut Konghucu.
5
Sebelum Kongzi, nilai dan ajaran tersebut sudah berkembang
sampai 2500 tahun sebelum Sang Guru lahir, semua narasumber di
berbagai daerah selama penelitian mengungkapkan hal yang sama.

3
Sebagai ajaran yang mengedepankan pembinaan
perilaku mulia dengan menjaga hubungan antara manusia
dengan langit serta hubungan manusia di bumi dengan baik.
Penganutnya dalam hal ini memercayai dan menjunjung
tinggi penghormatan kepada leluhur, sebagai bagian tak
terpisahkan dari kehidupan etika dan spiritual. Meninggikan
kedudukan nenek moyang dalam ruhani seolah-olah roh
hadir bersama di dunia, adalah nilai dan susunan falsafah
kehidupan manusia.
Khonghucu mengalami polemik besar si Indonesia
pasca kemerdekaan, berawal dari Kota Surabaya,
perkawinan Budi Wijaya dengan Lanny Guito ditolak
catatan sipil Kota Surabaya (1995), memicu polemik sampai
ke meja pengadilan. Surabaya menjadi kunci kesejarahan
pelayanan negara terhadap agama Khonghucu. Satu dari
sekian kota yang dipilih untuk dijadikan lokasi penelitian,
Surabaya cukup pantas untuk ditelusuri sebagai rumah
agama Khonghucu. Militansi pemeluk, serta peran tokoh
Tiong Hoa dalam perjalanan kota Surabaya, begitu juga
dengan Klenteng Boen Bio yang dianggap satu dari sekian
yang tertua di Asia Tenggara adalah ikon perjuangan dan
artefak penting.
Sehubungan dengan kelembagaan, sepanjang
sejarah bangsa Indonesia, sesungguhnya keberadaan agama
Khonghucu sudah ada ketika sebelum zaman kemerdekaan.
Pada zaman orde lama telah berdiri Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN). Majelis ini
sebagai organisasi yang menjadi wadah perkembangan
agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini didirikan
pada tahun 1955.

4
Seiring tekanan di zaman Orde Baru, secara de jure
keberadaan umat agama Khonghucu kurang mendapat
tempat di negeri ini. Misalnya, dalam mendapatkan hak-
hak sipil mereka selalu diperlakukan dengan aturan-aturan
mengikut pada agama yang mereka bernaung didalamnya.
Beberapa hambatan yang dialami hampir semua
penganut Khonhucu adalah ketika mau menikah, mencatat
akte kelahiran, mendaftar sekolah, identitas mereka tidak
diakui dengan alasan Khonghucu bukan agama, melainkan
sebuah aliran kepercayaan, kebudayaan atau filsafat. Mereka
harus bergabung dengan dan memilih agama yang hanya
dilayani oleh pemerintah. Padahal beragama merupakan
hak asasi setiap individu menurut agama yang diyakininya.
Seiring dengan waktu, pasca Orde Baru agama Khonghucu
mulai dikenal sebagian masyarakat Indonesia dan pasca
reformasi mulai dihidupkan kembali, sebab pada masa
Orde Baru agama Khonghucu ada tapi seolah-olah mati.
Kemudian secara perlahan seiring pergantian
presiden, umat Khonghucu semakin mendapatkan tempat
dan memiliki hak yang sama dengan agama-agama lain
di Indonesia. Keberadaan agama Khonghucu juga sudah
termuat dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam Pasal
1 disebutkan bahwa Agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan Khonghucu. Seusai Orde Baru, pemeluk
kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan
kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa
kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
mendasarkan undang undang dimaksud yang menyatakan
agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain

5
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.
6 Tahun 2000, menjadikan Imlek sebagai hari libur fakultatif
yang berlaku bagi mereka yang merayakannya.
Menyusul dikeluarkannya Keputusan Presiden
No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 tahun
1967 tentang larangan terhadap Agama Kepercayan dan
Adat istiadat, serta hal-hal yang berbau China secara
terbuka di muka umum. Seiring dengan waktu umat agama
Khonghucu mulai dapat membuka diri dimasyarakat dan
berinteraksi layaknya warga negara Indonesia lainnya.
Dengan keberadaan umat Khonghucu secara administrasi
negara, sehingga negarapun berkewajiban memenuhi
kebutuhan umat Khonghucu secara administratif pula. Dan
wajib diberikan pelayanan secara administratif berdasarkan
agamanya oleh negara.
Untuk memberikan pelayanan keagamaan bagi umat
Khonghucu pemerintah melalui Kementerian Agama telah
melakukan upaya secara struktural pelayanan administrasi
keagamaan dengan membentuk struktur organisasi setingkat
kepala Bidang Bimas Agama Khonghucu dalam Struktur
Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Menempatkan
pelayanan di Pusat Kerukunan Umat Beragama membentuk
Pusat Kerukunan Agama Khonghucu di bawah Kemenag.
Dalam hal pendidikan pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 5 tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan bagi Umat Agama
Khonghucu dan memasukan pendidikan agama Khonghucu
dalam kurikulum nasional.Peraturan Menteri Pendidikan
nasional Bo. 47 tahun 2008 tentang standarisasi Isi mata
pelajaran Agama Khonghucu dan PP Menteri Pendidikan

6
Nasional Nomor 48 Tahun 2008 tentang standar Kompetensi
Lulusan mata Pelajaran Agama Khonghucu, Pada pasal
45 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan Khonghucu
diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan
formal, non formal, dan informal.
Beberapa regulasi lainnya yang dikeluarkan oleh
pemerintah bagi umat agama Khonghucu, seperti Intruksi
Menteri Agama No. 1 tahun 2006 tentang sosialisasi Status
Perkawinan, Pendidikan dan Pelayan terhadap penganut
agama Khonghucu. Pada PMA No. 10 tahun 2010 tentang
Organisasi dan tata kerja membentuk Bidang Bimas Agama
Khonghucu pada Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB)
pada Sekretariat Jenderal Kementerian Agama. Juga PMA
No. 13 tahun 2012 tentang Organisasi dan tata Kerja Instansi
vertikal Kementerian Agama, yang menyebutkan Sub Bagian
Hukum dan KUB mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan penyusunan peraturan perundang-undangan
bantuan hukum, dan pelaksanaan urusan kerukunan umat
beragama serta pelayanan masyarakat Khonghucu. Begitu
juga Surat Mendagri No. 470/336/SJ, tertanggal 24 Februari
2006, perihal Pelayanan Administrasi kependudukan
penganut Agama Khonghucu.
Dengan dibukanya keran kebebasan dan kesetaraan
tersebut pengaruhnya sangat terasa pada kehidupan
beragama umat Khonghucu, termasuk yang tinggal di Kota
Solo. Seperti diketahui Kota Solo merupakan salah satu
kota bersejarah bagi perkembangan agama Khonghucu di
Indonesia. Sebab beberapa kali kongres umat Khonghucu
dilaksanakan di kota ini, tokoh-tokoh dan rohaniawan
Khonghucu banyak yang lahir di Kota Solo dan berbagai
organisasi umat Khonghucu juga lahir di Kota Solo ini. Salah

7
satu rohaniawan terkemuka agama Khonghucu Indonesia
adalah Haksu Tjhie Tjay Ing yang meninggal pada bulan 29
Mei tahun 2016 lalu.
Haksu Tjhie Tjay Ing inilah tokoh utama umat
Khonghucu yang terus membimbing umatnya untuk
terus mempertahankan semua hal yang berkaitan dengan
umat Khonghucu di tengah ketertindasan dan berbagai
diskriminasi yang menimpa etnis Tionghoa. Saat ini umat
Khonghucu di Kota Solo merupakan umat minoritas
ditengah mayoritas umat Islam, Katolik dan Kristen.
Bagaimana secara teknis kebijakan melepaskan
diskriminasi terhadap pemeluk Khonghucu di beberapa
kota dan kabupaten setelah kembali menjadi agama yang
dilayani, proses pemulihan hak-hak sipil maupun layanan
keagamaan lainnya belum dievaluasi secara baik. Karena
beberapa keluhan yang muncul dari kalangan umat
Khonghucu sendiri setelah pengakuan kembali sebagai
agama menyisakan beberapa masalah. Keterputusan
generasi telah menyebabkan umat Khonghucu hanya
memiliki sedikit kader-kader rohaniawan, bahkan KTP-nya
juga masih banyak diisi dengan agama lain dalam kolom
agama. Dalam berbagai pertemuan dengan Kemendagri,
Kemenkumham, Kemenag dan Matakin terjadi diskusi
yang cukup dalam, dimana menempatkan posisi struktur
organisasi agama Khonghucu, yang pada akhirnya di
tempatkan di Kementerian Agama. Dalam struktur
Kementerian Agama, Khonghucu awalnya ditempatkan
dibawah pembinaan Bimas Agama Buddha. Namun dari
pihak Agama Khonghucu lebih memilih untuk dibina oleh
Bimas Agama Islam.

8
Selanjutnya dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya agama Khonghucu dibina oleh sekretaris jenderal
yang langsung secara khirarki membawahi Pusat Kerukunan
Umat Beragama (PKUB). Seiring dengan waktu guna
pengembangan pembinaan maka Pusat Kerukunan Umat
Beragama melakukan strukturisasi dengan membentuk
organ tersendiri yaitu Bidang Bimas Agama Khonghucu.
Dari sinilah dimulai merumuskan beberapa program yang
dilakukan untuk agama Khonghucu, mulai dilakukan
pendataan Umat Agama Khonghucu, jumlah siswa, guru
agama Khonghucu, sosialisasi terkait dengan keberadaan
agama Khonghucu, dll.
Setelah hampir 11 tahun dari diakuinya Khonghucu
secara administratif sebagai sebuah agama di Indonesia,
maka keberadaan agama Khonghucu mulai mendapat
tempat di masyarakat. Meskipun terjadi problematika
internal umat agama Khonghucu, dimana mereka tetap
ingin bertahan pada agama yang selama ini mereka sudah
bernaung didalamnya dan tidak menginginkan untuk
secara administrasi (KTP) mereka diubah menjadi agama
Khonghucu, dengan berbagai alasan, diantaranya merasa
masih trauma dengan zaman orde baru.
Disinyalir masih tersimpan ketakutan dari umat
agama Khonghucu, jika mereka mengubah jadi agama
Khonghucu di KTP mereka, dan tiba-tiba suatu saat muncul
kembali larangan oleh pemerintah, hal tersebut dapat
menimbulkan kesusahan kembali. Meskipun begitu, ada
juga yang merasa tidak perlu mengubah KTP mereka jadi
agama Khonghucu, karena hal itu tidak terlalu penting,
masuk di agama mana saja tidak menjadi soal buat mereka,
yang penting ritual-ritual yang mereka lakukan sehari-

9
sehari adalah ritual ajaran Khonghucu. Yang terpenting
buat mereka adalah bagaimana mereka menjadi manusia
yang baik, sehingga agama tidak terlalu begitu menjadi
persoalan buat mereka.
Dengan keadaan seperti ini muncul hambatan dalam
pendataan umat agama Khonghucu secara administratif,
sehingga menghambat proses pendataan bahkan bagi
kalangan mereka sendiri tidak mempunyai data jumlah
umat yang akurat. Konsekuesinya, dalam hal melaksanakan
struktur organisasi yang diamanatkan regulasi, menyulitkan
pengembangan organisasi dan pembangunan, karena
struktur dalam lingkup program dan kegiatan pelayanan
mengukur dengan angka-angka nyata, terutama berkaitan
dengan penganggaran. Informasi rasio pemeluk agama
Khonghucu yang tidak secara signifikan tersebut akan
mengakibatkan kebijakan yang timpang, pelayanan
keagamaan secara administratif akan terus mengalami
kendala.
Selain persoalan hak-hak sipil dan struktur
organisasi dan upaya memenuhi kebutuhan umat agama
Khonghucu, penelitian juga diarahkan untuk memotret
relasi sosial umat agama Khonghucu dengan yang lainnya,
yaitu dengan pemerintah, masyarakat dan umat agama
lainnya. Selama ini umat agama Khonghucu seakan terisolasi
dan terkesan eksklusif ditengah-tengah masyarakat
Indonesia, walaupun ada dan tidak banyak mereka yang
melakukan hubungan sosial cukup baik dengan yang
lainnya. Dalam perkembangan pasca pemulihan pelayanan
agama Khonghucu sebagai sebuah agama, diharapkan
memberikan peluang perubahan, sikap keterbukaan dapat
dirasakan bersama ditengah masyarakat Indonesia. Selain

10
itu, perlu dicermati kembali, pemulihan pelayanan terhadap
agama Khonghucu memunculkan pekerjaan rumah baru
baru bagi pemerintah, satu tugas tambahan adalah transisi
hubungan dengan umat agama lainnya. Terutama pasca
“perpisahan”umat agama Khonghucu dari agama Buddha.
Hal ini perlu penggalian lebih dalam.
Dari deskripsi di atas dipandang perlu untuk
menyusun suatu gambaran kualitatif tentang dinamika umat
Khonghucu di Indonesia. Setidaknya melihat sedari awal,
keberadaan Khonghucu sebagai nilai yang memengaruhi
jalan hidup bagi sebagian penganutnya. Tulisan yang
disajikan berdasarkan hasil pengumpulan data analisis
peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Mereka adalah tim peneliti Puslitbang Bimas Agama dan
Layanan Keagamaan bekerja efektif kurang lebih tiga bulan
selama tahun 2017. Secara khusus hasil yang dimaksud
digunakan sebagai masukan (input) berbasis riset tentang
model layanan keagamaan layanan umat. Model layanan
berbasis kebutuhan umat ini bisa menjadi rumusan bagi
umat agama Khonghucu dan pemerintah dapat menetapkan
kebijakan dan merumuskan program kegiatan.
Kenapa Riset dilakukan
Kajian komprehensif tentang keberadaan Khonghucu
sebagai agama, dapat dikatakan tidak sebanyak agama besar
lainnya di Indonesia, terutama menyangkut tentang layanan
keagaman sipil yang terkait dengan urusan keagamaan.
Sejatinya pelayanan terhadap umat agama Khonghucu
telah dilakukan oleh pemerintah sejak dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan
Inpres No. 14 tahun 1967. Namun pelayanan yang diberikan
belum sepenuhnya dapat menyelesaikan berbagai persoalan

11
yang dihadapi oleh umat agama Khonghucu, sehingga
keberadaan pemerintah di tengah-tengah umat agama
Khonghucu belum sepenuhnya dapat dirasakan. Untuk itu
dalam tulisan ini, beberapa hal permasalahan dibahas yang
dimulai dari: Bagaimana bentuk layanan keagamaan yang
sudah dan belum diberikan oleh pemerintah?; Seperti
apakah bentuk layanan keagamaan yang dibutuhkan?;
Bagaimana hubungan sosial umat agama Khonghucu
dengan umat lainnya, masyarakat dan negara?
Secara umum tujuan penelitian yang telah dilakukan
adalah untuk memetakan model layanan terbaik bagi umat
agama Khonghucu melalui pengembangan kebijakan
berbasis pada hasil penelitian dan melihat kondisi psikologis
umat agama Khonghucu saat ini setelah keberadaannya
diterima ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Pemeluk
Khonghucu masih merasa belum percaya diri, tetapi
sangat berharap benar-benar diakui oleh pemerintah dan
masyarakat secara sosial secara utuh. Dengan identitasnya
beragama Khonghucu tersebut diharapkan akan menjadikan
mereka lebih survive. Di dalam tulisan ini beberapa hal
yang akan dinarasikan adalah: Mendeskripsikan bentuk
layanan keagamaan yang sudah dan belum diberikan oleh
pemerintah; Mendeskripsikan bentuk layanan keagamaan
yang dibutuhkan oleh umat agama Khonghucu; Untuk
mengetahui hubungan sosial umat agama Khonghucu
dengan umat lainnya, masyarakat dan negara.

Batasan Pembahasan
Tulisan ini berdasarkan penelitian berkaitan dengan
beberapa aspek, sebagai berikut: gambaran kehidupan umat

12
agama Khonghucu di berbagai daerah, memahami rumah
ibadatnya, bagaimana persoalan pendidikan dan guru
agama, rohaniawan, penyuluh agama, lembaga-lembaga
pendidikan, lembaga sosial, struktur organisasi, model
layanan yang dibutuhkan umat agama Khonghucu.
Landasan Konseptual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian
umat adalah para penganut (pemeluk, pengikut) suatu
agama; penganut nabi; makhluk manusia; manusia sekalian
(bangsa) manusia.
Agama dari segi etimologi terdiri atas dua kata
dari bahasa sansekerta yaitu A dan Gama. A berarti tidak
dan Gama itu berarti kacau jadi agama adalah tidak kacau.
Arti lain dari Agama juga adalah Tidak Lari/pergi. Agama
menjadi dasar sikap manusia yang seharusnya kepada
Tuhan, bagaimana membangun hubungan. Dalam hal ini,
agama mengungkapkan diri di dalam sembah dan bakti
sepenuh hati hanyalah kepada Tuhan. Menurut J. Milton
Yinger (1957), seorang sosiolog menyatakan bahwa agama
adalah suatu sistim kepercayaan dan praktik dimana suatu
masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga untuk
menghadapi masalah, juga suatu cara terakhir dari hidup
ini (O.C, Hendropuspito, 1983:35). Dunlop6 juga melihat
agama dapat menjadi sarana terakhir yang dapat membantu
manusia jika lembaga lain tidak lagi memberikan pertolongan.
Sedangkan menurut Joachim Wach (Yinger, 1957:12), bahwa
aspek yang butuh diperhatikan dengan khusus ialah pertama
unsur teoritisnya, bahwa agama adalah sistim kepercayaan.

6
Knight Dunlop, melalui buku religion, its function in human life,
hal. 9.

13
Kedua, unsur praktis bahwa agama adalah suatu sistim
kaidah yang dapat mengikat yang menjadi penganutnya.
Ketiga, pada aspek sosiologisnya bahwa agama memiliki
hubungan dan interaksi sosial. Pada hematnya bahwa
jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi maka orang
tersebut tidak bisa berbicara mengenai agama, akan tetapi
hanya ada kecenderungan religius .
Menarik kembali pembahasan di atas tentang
Konfusianisme sebagai ajaran dari seorang filsuf terkemuka,
sangat berpengaruh di belahan dunia Korea, Jepang, Taiwan,
Hongkong dan Tiongkok. Di Indonesia Agama Khonghucu
adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan
politik saat itu. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa umat Agama Khonghucu di Indonesia adalah orang-
orang atau para penganut/pemeluk/pengikut dari sebuah
agama yang bernama Agama Khonghucu yang berdomisili
di negara Indonesia dan sudah menjadi warganegara
Indonesia serta tertulis di KTPnya beragama Khonghucu
yang bernaung dibawah Majelis Tinggi Agama Khonghucu
(Matakin) atau Makin dan komunitas lainnya.

Model Pelayanan dan KebutuhanUmat


Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi
yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep,
yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi.
Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk
prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer),
atau rumusan matematis. Model dapat diartikan sebagai
acuan yang mendasar atau rujukan dari hal tertentu. Model
merupakan gambaran sederhana yang dapat menjelaskan

14
obyek, sistimatau suatu konsep.
Menurut para ahli seperti Simamarta (1983),
model adalah gambaran inti yang sederhanah serta dapat
mewakili sebuah hal yang ingin ditujukan. Jadi model ini
merupakan abstraksi dari sistim tersebut. Kementerian P
dan K (kemendikbud), model merupakan pola atau contoh
dari sebuah hal yang akan dihasilkan (rancang model
pembelajaran). Menurut Gordon (March 11, 1918 – August
26, 2002), pembuat Model Gordon, mengilustrasikan bahwa
model adalah sebuah kerangka informasi tentang suatu
hal yang disusun untuk mempelajari dan membahas hal
tersebut.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
model adalah gambaran rancangan atau rumusan yang
sederhana sebagai kerangka informasi tentang sesuatu hal
untuk mempelajari dan membahas sesuatu tersebut secara
terkonsep yang dipakai sebagai saran atau referensi untuk
tindaklanjut berikutnya.
Adapun model yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah untuk mengeksplorasi gambaran atau model
layanan yang dibutuhkan oleh umat agama Khonghucu dan
menjadi dukungan data bagi Kementerian Agama dalam
merumuskan model apa yang tepat untuk melayani umat
agama Khonghucu sesuai dengan hasil riset yang ditemukan
di lapangan, yang nantinya akan menjadi rujukan dan
referensi umat agama Khonghucu atau kepentingan lainnya
dalam memahami dan melaksakanakan struktur organisasi
yang sudah disiapkan oleh pemerintah.

15
Hubungan Sosial
Pengertian hubungan sosial, kita dapat memahami
dari pendapat para ahli. Hubungan Sosial Menurut
Astrid. S. Susanto (1983:33) adalah hubungan antar
manusia yang menghasilkan hubungan tetap dan pada
akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.
Hasil hubungan sangat ditentukan oleh nilai dan arti
serta interpretasi yang diberikan oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam hubungan ini. Menurut Bonner, adalah
suatu hubungan antara dua individu atau lebih yang saling
memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain atau sebaliknya.
Hubungan Sosial menurut Kimball Young &
Raymond W. Mack (Soekanto, 2000:67) adalah hubungan
yang dinamis menyangkut relasi antarindividu, antara
individu dengan kelompok, maupun antara kelompok
dengan kelompok lainnya. Adapun pengertian Hubungan
Sosial menurut Soerjono Soekanto (2000) sendiri, dikatakan
sebagai dasar proses sosial yang terjadi karena adanya
hubungan-hubungan sosial yang dinamis mencakup
hubungan antarindividu, antarkelompok, atau antara
individu dan kelompok.
Dari pendapat para ahli tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa hubungan sosial merupakan
hubungan antarindividu, kelompok satu sama lainnya
yang menghasilkan hubungan tetap dan dapat membentuk
struktur sosial dan hubungan keterkaitan sosial satu sama
lainnya. Adapun hubungan sosial yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah hubungan sosial yang dibangun umat
agama Khonghucu baik dengan pemerintah, masyarakat
dan agama lainnya. Baik dalam bidang sosial, maupun

16
dibidang lainnya. Hal ini dapat mengungkapkan bahwa
apakah umat agama Khonghucu telah terjadi sosialisasi
diri secara terbuka atau masih bersifat esklusif pasca
diterimanya Khonghucu sebagai sebuah agama ditengah-
tengah masyarakat, pemerintah dan agama lainnya.

Kajian Sebelumnya
Tulisan tentang Khonghucu sebagai agama, yang
didasarkan pada tindakan ilmiah sesungguhnya sudah
banyak sekali dilakukan oleh yang lainnya, termasuk
dilakukan di lingkungan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama. Pembahasan khonghucu bukanlah
barang baru lagi dilingkungan Kementerian Agama.
Sulaiman dari Balai Agama Semarang, melakukan
penelitian berjudul “ Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran,
dan Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan Barat”.
Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan antara lain:
Pola kehidupan keagamaan penganut agama Khonghucu di
Pontianak lebih bersifat tradisional karena lebih menonjolkan
tradisi-tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya. Agama
Khonghucu ini bermula dari kepercayaan tradisional yang
bernama Ru Jiao, yang disempurnakan oleh Khongzi (sebagai
nabi dari Khonghucu). Kedatangan agama Khonghucu di
daerah ini tidak diketahui secara pasti, akan tetapi banyak
tokoh agama yang mengaitkannya dengan datangnya etnis
Tionghoa di Kalimantan Barat, sekitar abad ke 17. Karena
itu,di Pontianak sudah ada bangunan tua sebagai tempat
pemujaan umat agama Khonghucu, yangdikenal dengan
Pekhong atau Klenteng (Jurnal “Analisa” Volume XVI, No.
01, Januari - Juni 2009).

17
Joko Tri Haryanto dalam Jurnal Analisa Volume XVII,
No. 01, Januari - Juni 2010, telah melakukan penelitian yang
berjudul: Pembinaan Keagamaan Rohaniawan Khonghucu
di Tuban Jawa Timur. Adapun hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa pola pembinaan Umat Agama
Khonghucu oleh Tokoh Agama Khonghucu meliputi aspek-
aspek kepercayaan, ritual dan sosial. Ketiga dimensi atau
aspek tersebut membentuk suatu sistim keagamaan yang
utuh, oleh karena itu pembinaan tokoh agama Khonghucu
dalam pembinaan kehidupan beragama dalam masyarakat
Tionghoa pada dasarnya tidak dapat dibagi-bagi secara
parsial.
Ketiga dimensi ini saling terkait dan berhubungan.
Pola pembinaan dalam bidang kepercayaan pada
umumnya dilakukan secara konvensional dalam khutbah
kebaktian. Sedangkan kajian dan diskusi masih terbatas
dengan kelompok umat tertentu. Pola yang dilakukan oleh
rohaniawan dalam bidang sosial adalah memberi anjuran
dan pendekatan secara pribadi terhadap umat Agama
Khonghucu untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial
tersebut, namun demikian rohaniawan menyadari posisi
dirinya sebagai tokoh sentral dalam bidang keagamaan.
Setidaknya selama tahun 2005 ditebitkan buku Boen
Bio yang ditulis oleh Shinta Devi ISR sebagai pengembangan
hasil penelitian tentang Klenteng tertua di Indonesia
dimaksud. Adapun penelitian secara partial, bagian dari
beberapa penelitian di lingkungan Puslitbang Kehidupan
Keagamaan sebelumnya, cukup memberikan gambaran
dasar sebagai pijakan dalam mengembangkan Khonghucu.
Penelitian tentang Aktualisasi Ajaran Konfusianisme
Dalam Membangun Nasionalisme Etnis Tionghoa (Perspektif

18
Etnis Tionghoa Surakarta) oleh Achmad Rosidi Tahun 2015.
Hasil kajian menunjukkan bahwa ajaran Konfusianisme
memuat nilai-nilai cinta tanah air sejak kecil, bermula dari
penanaman moral yang luhur, berbakti pada orang tua,
leluhur, dan hormat kepada orang yang lebih tua. Proses
aktualisasi nilai-nilai cinta tanah air dalam Konfusianisme
adalah penguatan moral generasi muda agar tidak mudah
terkikis oleh perilaku yang merusak tatanan sosial dan
tatanan bernegara dan penguatan integrasi etnis Tionghoa
dalam kerangka NKRI dengan struktur masyarakat yang
majemuk.

Metode
Tulisan ini merupakan bentuk lain dari pelaporan
hasil penelitian yang diramu antara kajian ilmiah dengan
narasi terbuka, cenderung populer. Penelitianya sendiri
dilakukan dengan metode deskiriptif analisis kualitatif. Data
yang diperoleh bersifat naturalistik atau alamiah, informasi
yang daisajikan berdasarkan pertemuan dan diskusi dengan
para tokoh kelompok agama, umat agama Khonghucu,
maupun pemahaman observasi terhadap lingkungan sosial
informan dimaksud.

Penggalian Data
Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan,
ulasan dalam buku ini adalah gambaran upaya memetakan
kondisi umat agama Khonghucu di Indonesia. Beberapa
daerah yang penting dan signifikan tidak hanya jumlah
pemeluk tetapi berkaitan dengan histori pemeluk
Khonghucu. Daerah yang memiliki peran besar terhadap

19
eksistensi agama tersebut di Indonesia. Data dimaksud
dikumpulkan, didalami, dipilah dan dijelaskan dalam
gambaran yang cukup berkaitan dengan sejarah singkat
agama Khonghucu di wilayah penelitian, termasuk
berapa umat agama Khonghucu yang eksis di wilayah
tersebut; bagaimana dengan sistim pengorganisasiannya,
serta bagaimana mereka hidup bertahan dengan identitas
agama, budaya, serta perjuangan mendapatkan hak-hak
sipil; hubungan sosial di masyarakat, dengan pemerintah
setempat; terpenting bagaimana membangun model ideal
terkait pelayanan yang dibutuhkan.
Sasaran penelitian ini adalah umat, rohaniawan,
akademisi, cendikiawan, guru agama dan penyuluh agama
Khonghucu yang ada dibawah pengampuan Majelis Tinggi
Agama Khonghucu (MATAKIN) dan MAKIN. Mereka
disasar tidak hanya karena beragama Khonghucu, tetapi
diyakini memahami problematika, kebutuhan dan model
apa yang sesuai dengan mereka inginkan.

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa wilayah
di Indonesia. Pemilihan lokasi diambil berdasarkan
pertimbangan bahwa selain layak dari sisi jumlah, perannya
kuat terhadap keberadaan agama Khonghucu, juga
disyaratkan haruslah memiliki karateristik dan kultur yang
kuat. Sejumlah kota seperti Denpasar (Bali), Surabaya (Jawa
Timur), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Purwokerto
(Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Solo
(Jawa Tengah), Bogor (Jawa Barat), DKI Jakarta, Semarang
(Jawa Tengah).

20
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalampenelitian ini
adalah sebagai berikut: Observasi. Observasi sebagai
metode yang digunakan adalah untuk menghimpun data
tentang kegiatan obyek penelitian baik secara terlibat
(participant observation) maupun observasi tidak terlibat
(non participant). Dengan demikian peneliti dapat
memahami benar bagaimana kondisi umat Khonghucu dan
pola pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka. Wawancara:
Wawancara dilakukan dengan informan Kunci yang
dianggap memahami pokok persoalan, yaitu penyelenggara
agama Khonghucu di Kementerian Agama setempat, bila
ada; Umat Agama Khonghucu, Tokoh agama, guru agama,
pengurus organisasi atau yayasan umat Agama Khonghucu,
akademisi, praktisi dan pemerintah setempat. Dokumen:
Pengkajian terhadap dokumen berupa tulisan, baik itu
dokumen resmi, hasil wawancara dan dokumen pribadi
yang berkaitan dengan aspek-aspek penelitian dihimpun
sebagai sumber data primer dalam bentuk catatan harian.

21
22
BAGIAN II
UMAT KHONGHUCU DI BALI
Oleh: Reslawati

Sejarah Khonghucu Di Bali


Sejarah Masuknya Agama Khonghucu di Provinsi Bali
Merunut pada rentetan sejarah di Tiongkok, agama
Khonghucu/Kongzi atau Ru Jiao pernah menjadi sebagai
agama Negara, bertahan sampai pada masa dinasti Han (206
SM-220 M), yang bersumber pada kitab klasik Khonghucu
atau Wu Jing. Sepenuhnya berakhir saat berdirinya Republik
Tiongkok 1912, agama Khonghucu tidak lagi dijadikan
sebagai agama Negara, tetapi dijadikan sebagai budi pekerti
dan ajaran ideologi. Sejarah masuknya agama Khonghucu
di Indonesia dimulai dari Kalimantan melalui raja-raja
Mataram dan Cengho pada abad ke-15, sedangkan masuk
ke Bali tidak tercatat secara jelas, demikian disampaikan
Wonse Candra Wiantara dan pengurus Matakin Provinsi
Bali lainnya. Mereka menduga masuknya agama Khonghucu
di Bali ada kemungkinan berbarengan dengan masuknya
Khonghucu di Indonesia. Sejak Dinasti Han memerintah
selama 400 tahun (206-220 SM), dimana waktu itu zaman
keemasan di Tiongkok. Namun demikian walaupun
makmur, pada masa pemerintahan dinasti Qin keturunan
dinasti Han, saat itu rakyatnya susah karena rajanya
lalim, sehingga rakyatnya lari kemana-mana termasuk ke
Indonesia. Sedangkan masuk ke Bali di duga abad ke-2 SM.

23
Adapun bukti adanya Khonghucu di Bali yaitu di
Buleleng ada Klenteng Ling Uan Kiong yang berdiri sejak
tahun 1839,. Di Tanjung Benoa ada Klenteng Co Ing Bio
berdirinya belum jelas kapan. Di Batur ada Klenteng di
dalam Pura, menurut sejarahnya putri China nikah dengan
Raja Srijaya Pangus, ini berpengaruh sampai sekarang,
dimana orang-orang Bali menganggap orang-orang China
(karena waktu itu Khonghucu berbaur dengan China)
adalah saudara tua mereka, begitu juga umat Khonghucu
menganggap orang-orang Bali adalah saudara mereka.
Kenapa diyakini Klenteng tersebut milik Khonghucu?
Sebab bangunan dan ritualnya murni Khonghucu. Apalagi
umat Khonghucu sejak dulu sudah berbaur dengan umat
agama Hindu di Bali. Selain itu uang logam bolong tengah
bertuliskan huruf Mandarin yang dipakai umat Hindu Bali
untuk ritual, baik ngaben dan lain-lain. Ini menunjukan
bahwa orang-orang China, yang identik dengan Khonghucu
sudah ada sejak lama di Bali.

Berdirinya MATAKIN Bali


Berdirinya Matakin di Bali, diawali dengan adanya
pendekatan Suryo Utomo, Aksu The Thay Ing, dan Junaidi
Abdurrahman ke Matakin Solo supaya merintis Matakin
di Denpasar Bali. Pertama kali diadakan kebaktian dengan
menggunakan Kitab Si Shu di rumah salah satu jemaat
waktu itu, karena minggu ketiga diadakan kebaktian jemaat
semakin banyak, maka dibuatlah Klenteng Khoise Bio pada
tahun 1977, dan diresmikan pada 8 Oktober 1977 oleh Suryo
Utomo, yang waktu itu sebagai Ketua Matakin Pusat yang
berpusat di Solo. Peresmian itu dihadiri Dirjen Agama
Hindu dan Buddha, bernama Surko, DPRD Bali.

24
Belum sampai satu tahun di resmikan, keluar Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri tahun 1978, bahwa tidak
dibenarkan China menggunakan simbol-simbol dan tradisi
China, maka tidak ada lagi kegiatan umat Khonghucu di
Bali, kecuali melakukan kegiatan purnama tilem. Bahkan
dari agama Buddha memengaruhi Klenteng Khonghucu
Bio untuk mengganti merk menjadi Vihara, namun pihak
Klenteng tidak mau dan bertahan tetap sebagai Klenteng,
demikian diungkapkan Darsana pengurus Matakin Provinsi
Bali. Begitu juga dengan Klenteng Tao Ing Bio di tanjung
Benoa Nusa Dua Bali juga tidak berubah, tetap Klenteng,
sementara Klenteng lainnya banyak berubah jadi Vihara.
Setelah berubah jadi Vihara, banyak orang-orang
Khonghucu memeluk Agama Buddha, namun ritual ibadah
mereka tetap menggunakan ritual agama Khonghucu.
Namun dapat dipastikan, umat Khonghucu di Bali, sekalipun
beragama Buddha, Hindu, mereka tetap menjalankan ritual-
ritual agama Khonghucu. Berbeda dengan yang memeluk
Islam, mereka tidak menjalankan ritual Khonghucu,
kecuali ikut merayakan hari raya Imlek, karena ada yang
menganggap imlek itu adalah tradisi China. Padahal dalam
agama Khonghucu, imlek merupakan ritual agama dan ada
dalam ajaran kitab suci agama Khonghucu. Dimana hari
imlek ini, dihitung sejak kelahiran nabi Khonghucu tahun
551 SM + 2017 = 2568 M, sehingga pada tahun 2586 diadakan
Imlek untuk tahun 2017 bagi umat Khonghucu.
Setelah agama Khonghucu “diresmikan” (dilayani
kembali sebagai agama) di Indonesia, banyak umat
Khonghucu masih beragama Buddha, dengan KTP
Buddha, walaupun mereka mengaku agama Khonghucu
dan menjalankan ritual ajaran agama Khonghucu, hal ini

25
karena mereka masih trauma, akibat pernah dibubarkan
pemerintah. Terdapat kekuatiran di kalangan (etnis
Tionghoa) mereka, kalau nanti memeluk agama Khonghucu,
tiba-tiba dibubarkan lagi, mereka harus kemana lagi, jadi
lebih baik tetap dalam agama Buddha atau Hindu atau
agama lainnya namun tetap menjalankan ritual agama
Khonghucu.

Pokok Ajaran Agama Khonghucu


Konsep Ketuhanan (Tien/TuhanYang Maha Esa)
Dalam agama Khonghucu, dalam kitab sucinya
disebutkan firman Tuhan atau sifat-sifat Tuhan ada empat,
yaitu:
 Yuan, mengandung makna Maha Besar, Maha Mulia,
Maha Esa, dan Maha Sempurna, yang menjadikan sifat
khalik, dimana sifat ini diturunkan kepada manusia
artinya juga ada dalam diri manusia.
 Hung, menjadi Ren, yaitu ajaran cinta kasih, mengandung
makna maha menembusi, maha menjalin, maha meliputi,
yang menjadikan sifat akbar.
 Li, mengandung makna Maha Pemberkah, Maha
Pengasih yang menjadikan sifat rakhmat.
 Zheng, sifat kebenaran, mengandung makna Maha Benar,
maha abadi hukum Nya, Maha Bijak yang menjadikan
sifat kekal.

Umat Khonghucu meyakini ada 8 iman, yaitu:


 Cheng Xin Huang Tian artinya sepenuhnya iman percaya
terhadap Tuhan Yang maha Esa
 Cheng Zubjue De artinya sepenuhnya iman menjunjung

26
kebajikan
 Cheng Li Mingming artinya sepenuh iman menegakan
firman gemilang
 Cheng Zhiguishein artinya sepenuh iman menyadari
adanya nyawa dan roh
 Cheng Yang Xiaosi artinya sepenuh iman memupuk cita
berbakti
 Cheng Shun Mu Duo artinya sepenuhnya iman mengikuti
genta rohani Nabi Khongzi
 Cheng qin jing shu artinya sepenuhnya memuliakan
kitab Shi Su dan Wu Jing
 Cheng Xing Da Dao artinya sepenuh iman menempuh
jalan suci.

Hak Sipil Pemeluk Khonghucu di Bali


Dengan dikembalikannya keberadaan Khonghucu
sebagai agama yang dilayani di Indonesia, maka secara
otomatis semua yang menyangkut kebutuhan umat agama
Khonghucu harus dipenuhi negara, terutama dalam hal
pemenuhan hak-hak sipil mereka secara administratif, baik
itu pelayanan kependudukan, KTP, kelahiran, perkawinan,
kematian, serta bentuk ritual lainnya. Pelayanan diberikan
agar umat Khonghucu dalam kehidupannya tidak
mengalami kesulitan dalam berurusan keberbagai pihak,
juga dalam hal pemenuhan kebutuhannya sebagai warga
negara.
Dengan dipenuhinya hak-hak sipil umat agama
Khonghucu, maka secara langsung maupun tidak langsung
negara hadir di sana untuk menyelesaikan persoalan
yang sedang mereka hadapi. Untuk itu, pemerintah telah
melakukan pelayanan kepada umat Khonghucu di Provinsi

27
Bali sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, baik
dari segi sumberdaya manusia yang mereka miliki, maupun
dari segi anggaran dan sesuai dengan tugas dan fungsi
mereka masing-masing, seperti yang dilakukan pemerintah
Provinsi Bali dalam hal ini Kemenag dan Pemda setempat.

Layanan data oleh Dukcapil dan Kementerian Agama


Layanan pencatatan data kependudukan
berdasarkan agama Khonghucu sudah dilakukan oleh
pemerintah, instansi yang langsung berhubungan adalah
Dinas Kependukan dan Catatan Sipil dan Kementerian
Agama kepada umat Khonghucu yang ada di Provinsi
Bali. Dalam hal jumlah, diperoleh informasi bahwa jumlah
penduduk beragama Khonghucu mengalami perbedaan
jumlah antara yang dikeluarkan Dukcapil Kota Denpasar
dengan data yang dikeluarkan oleh Matakin Provinsi Bali.
Informasi dari Dukcapil Kota Denpasar, bahwa Dukcapil
tingkat provinsi baru saja terbentuk dan baru penataan
sekretariat, sehingga jumlah pegawainya pun masih belum
sesuai dengan kebutuhan sebuah lembaga, sehingga data-
data kependudukan semua berada di Dukcapil Kota
Denpasar.
Hal senada juga disampaikan oleh pihak Dukcapil
Kota Denpasar, namun data yang ada hanya untuk tingkat
Kota saja, tidak tingkat provinsi, sehingga data demografi
kependudukan ini dilihat dari jumlah pendistribusian
ditingkat kota Denpasar. Berdasarkan data demografi yang
ada di Dukcapil Kota Denpasar tahun 2015 yang dikelolah
Desember tahun 2016, terlihat bahwa penduduk Denpasar
dilihat dari keberagaman agama sangatlah beragam, yaitu

28
terdiri dari Agama Hindu (423.876 jiwa), Islam (152.192
Jiwa), Kristen (30.601 jiwa), Katolik (14.827 jiwa), Buddha
(14.869 jiwa), Khonghucu (212 Jiwa), dan Kepercayaan (22
jiwa), total jumlah 636.599 Jiwa. Sedangkan menurut data
Matakin Provinsi Bali jumlah penduduk umat Khonghucu
di Provinsi Bali sebanyak 595 jiwa, yang terdiri dari: Kota
Denpasar 418 jiwa, Jembaran 22 jiwa, tabanan 18 jiwa,
Badung 12 jiwa, Gianyar 22 jiwa, Klungkung 8 Jiwa, Bangli
Nol (0) jiwa, Buleleng 95 jiwa.
Sedangkan data umat Khonghucu yang ada di Kanwil
Kementerian Agama sama dengan yang ada di Matakin
Provinsi Bali, dimana pihak Kanwil Kementarian Agama,
dalam hal ini PKUB mendapatkan data dari pengurus
Matakin Provinsi Bali. Hal yang menarik soal data ini, di
data aplikasi milik pihak kepolisian di Polda Bali, untuk
pendataan keagamaan umat Khonghucu tidak ada agama
Khonghucu dalam data aplikasi sistim mereka, walaupun
kerapkali soal agama ini selalu ditanyakan saat wawancara
pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), padahal pada SIM
sendiri tidak ada kolom agama.
Dari keterangan di atas menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara data
yang dikeluarkan oleh Matakin Provinsi Bali dengan
Dukcapil Kota Denpasar. Hal ini juga terlihat ditingkat
Kota Denpasar, dimana data Matakin menunjukan jumlah
umat agama Khonghucu sebanyak 595 jiwa, sedangkan
data Dukcapil sebanyak 212 jiwa. Menurut informasi Kabid
Kependudukan Dukcapil, data jumlah umat yang dimiliki,
terdaftar di Dukcapil berdasarkan akte kelahiran umat
Khonghucu. Sementara saat dikonfirmasi kepada pihak
Matakin, mereka menyampaikan data dicatat berdasarkan
laporan umat ke pengurus Matakin.

29
Informasi yang diperoleh dari Adinata Lie, Ketua
Matakin Provinsi Bali bahwa sebenarnya pelayanan
terhadap umat Khonghucu oleh pemerintah sudah cukup,
tetapi ada beberapa saja yang masih tertunda. Misalnya,
beliau pernah mengurus KTP, tiba saatnya mencantumkan
kolom agama dengan agama Khonghucu, karena data
aplikasi kependudukan pembuatan KTP tidak terdapat
agama Khonghucu, maka harus dikosongkan atau tanda
strip. Hal tersebut membuat beliau protes, hal senada juga
terjadi pada umat Khonghucu lainnya. Kondisi tersebut
membuat orang berdebat terus menerus dengan petugas
dan tidak menemukan jalan keluarnya, maka jadi enggan
mengurusnya. Pada sisi lain, mereka umat yang selama ini
beragama Khonghucu juga mengalami trauma atas kebijakan
politik orde baru yang melarang penggunaan simbol-simbol
berbau adat istiadat China, maka mereka lebih memilih
untuk tidak mengurus KTP, dan membiarkan diisi agama
lain, walaupun dalam keseharian mereka memegang teguh
ajaran agama Khonghucu.
Jika melihat adanya perbedaan data kependudukan
seperti tersebut diatas, ada beberapa faktor yang
mengakibatkan hal tersebut terjadi, yaitu: pertama,
kemungkinan umat yang meyakini beragama Khonghucu,
hanya memberikan informasi (lisan) saja kepada pihak
Matakin kalau mereka beragama Khonghucu, tetapi di KTP
mereka masih beragama lain. Kedua, Bisa juga mereka yang
sudah berusia tua sudah tidak ingin mengurus KTP, karena
menganggap sudah tidak diperlukan lagi dan tidak begitu
mementingkan KTP dan urusan lainnya. Ketiga, selain itu
mereka masih trauma dengan masa lalu, akan terulang
kembali, jika sekarang tertera agama Khonghucu di KTP,
setelah itu bubar, menyulitkan, jadi lebih aman jika mereka

30
berada di dalam agama yang lain. Hal berbeda terjadi
terhadap umat Khonghucu yang pindah ke agama Islam.
Jika umat Khonghucu sudah pindah ke agama Islam,
maka semua ajaran Khonghucu tidak dilaksanakan lagi,
karena sangat jauh berbeda, namun beberapa tradisi umat
Khonghucu mereka biasanya tetap ikut melaksanakan,
misalnya menggunakan lampion di rumah mereka, serta
ikut merayakan imlek. Padahal lampion-lampion tersebut
dalam ajaran Khonghucu bukan tradisi, tapi sebuah ritual
seperti melaksanakan Imlek. Namun bagi mereka yang
pindah ke agama Islam hal ini menjadi tradisi/kebudayaan
saja, bukan ritual lagi, semuanya kembali pada niat masing-
masing, begitu diungkapkan Adinata Lie dan pengurus
Matakin lainnya saat dilakukan wawancara di Klenteng
Khongcu Bio.
Terlepas dari itu semua, terkait masalah KTP umat
Khonghucu tersebut, menurut Dukcapil, mereka menerima
pendaftaran bagi umat Khonghucu sesuai dengan data
di KTP mereka yang mau menyantumkan beragama
Khonghucu, dan aplikasi data yang ada di Dukcapil sudah
clearens artinya data sudah valid, tidak ada kesalahan lagi.
Adapun data terkait umat yang melakukan
perkawinan berdasarkan agama Khonghucu sampai
dilakukannya wawancara penelitian ini, belum ada umat
Khonghucu melaporkannya ke Dukcapil, demikian
disampaikan Kasubdit Kependudukan Dukcapil Kota
Denpasar. Sementara itu menurut informasi dari Pengurus
Matakin Provinsi Bali bahwa ada beberapa umat Khonghucu
yang melakukan perkawinan menurut agama Khonghucu,
karena di nikahkan oleh pendeta di Klenteng Khongcu
Bio tersebut, dimana klenteng tersebut merupakan pusat

31
kegiatan bagi umat Khonghucu yang ada di Provinsi Bali.
Termasuk dilaksanakannya perkawinan menurut ajaran
agama Khonghucu. Menurutnya juga, bisa saja yang
menikah berdasarkan agama dimaksud tidak mengurus
administrasi ke Dukcapil, namun selama ini yang melakukan
pengurusan adalah dari pengurus Matakin sendiri. Saat
wawancara, bertemu dengan sepasang calon mempelai
yang sedang mengurusi berkas-berkas persiapan untuk
melakukan perkawinan di Klenteng tersebut. Sedangkan
terkait masalah kelahiran dan kematian Dukcapil pun
belum menerima pendaftaran dari umat Khonghucu.
Adapun jumlah tempat ibadah umat Khonghucu
berupa Klenteng sebanyak 17 buah, yang terdapat di Kota
Denpasar sebanyak 5 buah (Khoncu Bio, Kwan Kwo Bio, Cau
Fuk Mio, Konco Griya Dwipayana, Pon An Kiong), Jembrana
1 buah (Cung Li Bio), Tabanan nol (0) buah, Badung 5 buah
(Cao Ing Bio, Ling Guan Bio, Konco Kwan Im campuhan
Giri Putri), Gianyar 2 buah (Kim Say Bio, Cong Poo Kong),
Klungkung1 buah (Cong Ing Miao), Bangil 1 buah (cong
Po Kong), Karang asem Nol (0) buah dan Buleleng 2 buah
(Ling Guan Kiong, Seng Hong Bio). Beberapa rumat ibadat
umat Khonghucu juga masih belum sepenuhnya dapat
diselesaikan dengan agama Buddha.
Sedangkan jumlah pemuka agama umat Khonghucu/
Rohaniawan berjumlah 15 orang, tersebar di: Kota Denpasar
sbanyak 12 orang, Jembrana Nol (o), Tabanan nol (0), Tabanan
Nol (0), Badung sebanyak 2 orang, Gianyar sebanyak Nol
(0), Klungkung Nol (0), Bangli Nol (0), Karang Asem Nol
(0), Buleleng sebanyak 1 orang. Dengan terbatasnya jumlah
pemuka agama/rohaniawan agama Khonghucu, yang tidak
sebanding dengan jumlah umat Khonghucu sebanyak

32
595 Jiwa (perhitungan Matakin), maka menjadi persolan
tersendiri bagi pengurus Matakin dalam melakukan
pembinaan umat di Provinsi Bali, karena dengan umat yang
sebanyak itu, tidak mungkin dapat dijangkau oleh pemuka
agama yang hanya berjumlah 12 orang.
Dalam hal pendidikan, menurut pengurus Matakain
jumlah pendidik atau guru formal di Provinsi Bali tahun
20016-2017, sebanyak 5 orang, dimana 5 orang tersebut
merangkap mengajar di SD dan di SMP. Yaitu Ni Kadek
Lista Sudiantari, Adventina Puspitangari, WS Made
Sudiasih, Vivi Selvia dan Erna Liemena. Adapun jumlah
murid Sekolah Agama Khonghucu di SD Formal sebanyak
23 orang, SMP sebanyak 11 orang, SMA sebanyak 8 orang.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah
formal ini tersebar di beberapa sekolah di Provinsi Bali,
sehingga dengan jumlah guru hanya 5 orang tersebut
mereka mengalami kesulitan untuk menyebar mengajar ke
beberapa sekolah tersebut. Apalagi adanya syarat tertentu
bagi guru untuk menjadi guru agama yang diperbolehkan
mengajar di sekolah formal. Misalnya guru yang mengajar
harus tamatan guru agama dan ahli pada bidang keagamaan
dan minimal berpendidikan S1. Sementara itu tidak ada guru
agama Khonghucu yang saat ini berpendidikan lulusan S1
agama Khonghucu.
Namun guru-guru yang ada walau pun tidak tamat
S1 Khonghucu, mereka memahami soal agama Khonghucu.
Syarat seperti ini sangat menghambat untuk kelangsungan
guru-guru agama Khonghucu. Dimana dengan jumlah
murid yang cukup banyak maka mereka kekurangan guru
untuk mengajar.

33
Apalagi ada beberapa syarat standardisasi yang
ditetapkan pemerintah untuk menjadi guru Agama, cukup
memersulit keadaan. Guru-guru harus mendatangi sekolah-
sekolah yang ada murid Khonghucunya untuk mengajar
ke sekolah tersebut, mereka mengajar menggunakan
kurikulum tahun 2013.
Sedangkan bagi murid pada sekolah yang tidak
dihadiri guru dimaksud, maka mereka mendatangi guru
agama Khonghucu di sekolah minggu. Dengan cara tersebut,
siswa mendapatkan nilai agama dari sekolah minggu.
Jumlah murid di sekolah minggu untuk anak SD tahun
2016-2017 sebanyak 65 orang, terdiri dari 5 orang di sekolah
PAUD, sisanya di SMP dan SMA/SMK. Bandingkan jumlah
guru di sekolah minggu sebanyak 7 orang yang mengajar
di tingkatan SD, SMP, SMA. Guru-guru tersebut ada yang
satu orang merangkap mengajar, dia mengajar di SD, juga
di SMP dan juga di SMA. Saat observasi pada hari minggu
(Mei 2017) di Klenteng Khongcu Bio tampak anak-anak
setelah melakukan kebaktian di pagi hari setelah itu mereka
bersekolah. Mereka berkelompok sesuai dengan tingkatan
sekolahnya dan setiap kelompok di dampingi oleh seorang
guru.
Berdasarkan informasi dari Syaifuddin, Kasubdit
KUB Kanwil Kementerian Agama yang mengurus Agama
Khonghucu, bahwa pihak Kementerian Agama Provinsi
Bali sudah melakukan pelayanan kepada umat agama
Khonghucu, walaupun tidak begitu banyak program yang
dapat dilakukan, mengingat keterbatasan sumberdaya
manusia dan minimnya dukungan anggaran.
Namun karena Khonghucu sudah menjadi sebuah
agama dan tanggung jawab bersama untuk melakukan

34
pembinaan dan pelayanan, maka harus dibuatlah program
yang dapat mendukung kegiatan-kegiatan pembinaan
tersebut, diantaranya melibatkan pengurus Matakin dalam
kegiatan multikultural, seperti persiapan pelaksanaan hari
raya Nyepi, tim pemantauan pemandu hari besar keagamaan
perwakilan enam agama bergantian menghadiri perayaan
hari besar masing-masing agama, seperti paskah dan imlek.
Lebih lanjut Syaifuddin menyatakan bahwa Kanwil
Kementerian Agama juga pernah meminta pengurus
Matakin untuk menyiapkan 10 orang penyuluh honorer yang
dibayar oleh pemerintah melalui Kanwil Kemenag Provinsi
Bali dengan mendapatkan transportasi bulanan sebesar
500 ribu/bulan. Pengurus Matakin awalnya mengajukan 15
orang, namun karena beberapa faktor hanya mengajukan 10
orang, selanjutnya menjadi 3 orang, dan akhirnya hanya 1
orang saja yang bisa ditetapkan sebagai penyuluh honorer.
Dalam hal pendanaan kanwil Kementerian Agama Provinsi
Bali belum pernah memberikan bantuan. Hal yang sama
dilakukan juga oleh Kesbangpol Provinsi Bali bahwa
pengurus Matakin terlibat dan diundang dalam kegiatan
lintas agama yang mereka lakukan, dialog multikultural, dll.
Dan Pengurus Matakin juga terlibat dalam kepengurusan
di FKUB Provinsi Bali, jadi otomatis terlibat dalam
kegiatan-kegiatan FKUB, seperti studi banding, dan dialog
multikultural.
Selain hal diatas, untuk mendukung pelayanan dan
pembinaan pada bidang pendidikan pemerintah juga sudah
memberikan bantuan berupa buku-buku pelajaran mulai
dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas serta kitab
suci Agama Khonghucu kepada Matakin. Bantuan kitab suci
biasanya langsung diberikan oleh Pusat Kerukunan Umat
Beragama Kementerian Agama.

35
Menurut informasi dari Kasubbdit Kebangsan
Kesbangpol Provinsi Bali, pengurus Matakin pernah
mendapatkan bantuan hibah 50 juta untuk perbaikan
rumah ibadat, hal itu dibenarkan oleh Adinata Lie, Ketua
Matakin Provinsi Bali. Namun mulai tahun 2016 sudah
tidak dapat bantuan lagi, berdasarkan UU No. 17 tahun
2016 tentang Keormasan, dan harus membuat Surat
Keterangan Terdaftar (SKT) atau Surat Keterangan Lapor
(SKTL). Padahal menurut Kabag Kebangsaan Kesbangpol,
seharusnya pengurus Matakin tidak perlu lapor, karena
mereka sudah berbadan hukum, karena urusan bantuan
sosial mengacu pada peraturan menteri dalam negeri.
Dalam hal ini dapat dipahami terdapat perbedaan
pemahaman dan perspektif terhadap peraturan antara Biro
Kesejahteraan dan Keuangan, cukup menghambat secara
birokrasi. Menyikapi hal tersebut, seharusnya Kementerian
Agama harus mengeluarkan surat sejenis pemberitahuan
bahwa majelis agama yang sudah berbadan hukum tidak
perlu membuat SKTL. Selain itu, seharusnya Biro Kesra dan
Keuangan yang ada di pemerintah daerah memberikan data
informasi kebijakan kepada Gubernur.

Layanan yang Belum Diberikan oleh Pemerintah


Berdialog dengan pengurus Matakin Provinsi Bali
merupakan kesan tersendiri, sebenarnya apa yang sudah
dilakukan pemerintah selama ini kepada mereka sudah
cukup, lebih baik dari sebelumnya. Dan mereka pun juga
tidak ingin menuntut lebih banyak lagi, karena selain mereka
minoritas, juga sebagai agama yang baru dimunculkan
kembali di republik ini. Mereka cukup tahu diri untuk itu,
demikian diungkapkan pengurus Matakin Provinsi Bali.

36
Namun demikian mereka tetap menginginkan pemerintah
tetap memperhatikan hal yang menjadi kebutuhan Matakin
di Provinsi Bali. Terutama tentang ketegasan pihak
pemerintah dalam hal pengakuan umat Khonghucu sebagai
sebuah agama secara menyeluruh. Adapun hal yang belum
ditegaskan dan belum dilayani pemerintah pemerintah
terkait dengan hal berikut:
Pertama, polemik terhadap rumah ibadat umat Khonghucu
yang mempunyai ornamen-ornamen dan simbol-simbol
agama Khonghucu sebelum kemerdekaan dan zaman
kemerdekaan yang di jadikan vihara, dikembalikan menjadi
Klenteng milik umat Khonghucu. Karena sebelum dijadikan
Vihara, rumah ibadat tersebut adalah Klenteng, jika hal ini
dibiarkan dapat memicu keributan antara umat Khonghucu
dan umat Buddha terus menerus sampai kapanpun, jika
tidak ada penyelesaiannya. Kedua, Perayaan Imlek, yang
merupakan ritual keagamaan dalam ajaran Khonghucu,
dan terdapat dalam kitab suci umat Khonghucu, karena
perhitungan hari imlek dihitung mulai dari tanggal
kelahiran nabi Khongzi atau Khonghucu, jadi bukan sebuah
tradisi bagi bangsa China pada umumnya. Logika berfikir
mengiring mereka bahwa, jika ada lima hari besar agama di
Indonesia yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha milik Umat Islam,
Natal milik agama Katolik dan Kristen, Nyepi milik Agama
Hindu, Waisyak milik agama Buddha, maka Imlek adalah
hari raya milik agama Khonghucu, bukan merupakan
tradisi-tradisi China.
Karena dua hal diatas, maka kiranya pemerintah meninjau
kembali beberapa kebijakannya terkait dengan umat
Khonghucu dan meluruskan kesalahpahaman tersebut
sesuai dengan yang “sebenarnya” milik agama Khonghucu

37
(klaim umat Khonghucu) sebelum diadakannya pelarangan
pada umat Khonghucu yang mengatasnamakan tradisi
China.
Ketiga, Pemerintah memberikan kemudahan bagi agama
Khonghucu dalam menerapkan syarat-syarat standardisasi
bagi guru agama Khonghcu untuk mengajar, karena dengan
keberadaan umat Khonghucu yang baru tumbuh ini dan tidak
memiliki banyak sumberdaya manusia yang berpendidikan
tinggi terutama sekolah Formal tingkat S1, maka sangat
menyulitkan kembali bagi guru umat Khonghucu untuk
mengajar. Padahal mereka semua mempunyai kemampuan
dan kapasitas memahami agama Khonghucu dengan baik,
meskipun tidak tamat S1. Rata-rata guru-guru tersebut
tamatan SMP dan SMA.
Keempat, pada sistim pendataan kepolisian sampai
sekarang tidak ada kolom agama Khonghucu, seharusnya
disinkronkan dengan data yang ada di kecamatan. Sehingga
saat membuat SIM di tanya agamanya apa, Khonghucu
namun waktu mau diinput ke data sistim milik kepolisian
tidak bisa, karena tidak ada kolom agama Khonghucu,
walaupun sebenarnya di dalam SIM tersebut tidak ada
kolom agama.

Layanan Keagamaan
Sesungguhnya umat Khonghucu di Provinsi Bali tidak
begitu peduli dilayani bentuknya seperti apa. Mereka hanya
menginginkan dilayani setara dengan umat agama lainnya.
Sepertinya, harus ada intervensi langsung dari pemerintah
menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan di
internal umat Khonghucu. Terutama membenahi regulasi

38
atau kebijakan yang selama ini masih mendua, pola-pola
mendua seperti ini harus segera dituntaskan. Mendua
misalnya dalam hal penyelesaian rumah ibadat, hari-hari
besar agama Khonghucu yang di klaim milik agama Buddha
atau tradisi China. Jika dibiarkan terus menerus maka
sampai kapanpun akan ribut terus antara pemeluk agama
Khonghucu dengan umat Agama Buddha.
Mereka juga berharap untuk masalah guru harus
ada solusinya, dimana mereka menginginkan nantinya ada
regenerasi guru, sehingga regulasi terkait guru diringankan
untuk agama Khonghucu yang baru tumbuh dan ingin
berkembang tersebut, di samping penanganan tentang
rumah ibadat harus lebih jelas.
Selain itu, mereka juga menginginkan adanya
bimas-bimas agama Khonghucu di beberapa daerah bagi
agama Khonghucu sesuai dengan banyaknya jumlah umat
Khonghucu di daerah tersebut. Agar ada yang menangani
masalah agama Khonghucu ditingkat daerah secara lebih
serius dan lebih sungguh-sungguh, tidak hanya sekedar
numpang lewat saja. Namun didaerah-daerah yang jumlah
umat Khonghucu sedikit, cukup ada perwakilannya saja yang
ada di kantor Kementerian Agama yang mewakili Agama
Khonghucu disana, agar ada yang memahami soal agama
Khonghucu sebagai perwakilan umat di pemerintahan.

Komunikasi Internal Umat Khonghucu


Hubungan sesama umat agama Khonghucu di
Provinsi Bali selama ini baik-baik saja, tidak ada yang
mengalami masalah berarti. Bahkan semakin merapatkan
diri dan konsolidasi internal untuk penguatan umat

39
Khonghucu diberbagai daerah dan kabupaten di Provinsi
Bali. Pada beberapa kabupaten telah dibentuk Matakin. Dan
di Bali ini tidak ada keributan secara kelembagaan seperti
didaerah lainnya, misalnya adanya Parakhin (Perkumpulan
Rohaniawan Khonghucu Indonesia). Mereka solid hanya
ada di Matakin.
Komunikasi Umat Khonghucu dengan Umat Lain
Secara umum hubungan umat Khonghucu dengan
pihak eksternal dalam hal ini pemerintah, FKUB dan
lintas kelompok iman lainnya tidak mengalami gejolak
berarti, demikian pula dengan LSM. Namun ada persoalan
keributan yang tidak pernah selesai yang terjadi di Klenteng
di Singaraja. Matakin tidak dibolehkan beribadah di
Klenteng yang ada, bahkan pelarangan tersebut secara
tertulis dikeluarkan oleh pengurus PITTD/ Tri Dharma yang
dimotori oleh ketua Walubi setempat. Bahkan saat peneliti
sedang berada di Klenteng tersebut terjadi perang mulut
antara pengurus Matakin dengan pihak Klenteng yang
dalam hal ini pengurus Tri Dharma. Menurut Su Liong,
rumah ibadat tersebut adalah Klenteng dan bukan Vihara,
sehingga Matakin seharusnya yang menempati Klenteng
tersebut. Mereka pihak Konghucu merasa berhak berada di
sana, namun pihak pengurus Tri Dharma melarang, dengan
alasan Khonghucu sudah menjadi agama sendiri sehingga
harus mencari tempat lain untuk menjadi sekretariatnya,
kecuali Matakin ingin bersama-sama dengan Buddha dan
Tao menjadikan rumah ibadat tersebut tempat ibadah
bersama seperti selama ini sebagai Vihara.
Pelayanan yang sudah dilakukan oleh pemerintah
sudah berjalan dengan cukup baik, meskipun masih ada
beberapa hal yang harus di diselesaikan secara fundamental

40
terkait masalah kebijakan terkait pelayanan dan pembinaan
bagi umat Khonghucu. Aspek layanan yang belum
dilakukan pemerintah adalah bagaimana mengembalikan
hak-hak umat Khonghucu sehubungan dengan regulasi,
terutama menyangkut dualitas vihara yang sebelumnya
Klenteng dikembalikan menjadi Klenteng. Berikutnya
adalah kebijakan kemudahan bagi syarat-syarat guru agama
bagi umat Khonghucu.
Umat Khonghucu membutuhkan kesamaan
perlakuan dan kesamaan pengakuan dengan umat lain.
Mereka menginginkan pemerintah mengambil langkah-
langkah konkrit dalam penyelesaian terkait umat
Khonghucu secara menyeluruh, baik di tingkat pusat
maupun daerah, agar tidak terjadi keributan yang terus
menerus antara umat Khonghucu dengan umat lainnya
yaitu Buddha dan Tri Dharma. Meskipun secara umum
hubungan umat Khonghucu dengan masyarakat dan
pemerintah berlangsung dengan baik tanpa mengalami
banyak gejolak.
Berkaitan dengan rekomendasi, pembahasan pada
bagian ini mengusulkan kepada Pusat Bimas Agama
Khonghucu dan PKUB serta pihak terkait lainnya harus
segera menyusun kebijakan. Kebijakan yang dimaksud
terkait dengan berbagai persoalan menyangkut regulasi
yang dianggap dapat terus memicu keributan di antara
umat Khonghucu dengan Buddha atau Tri Dharma.
Pertama, penegasan terhadap definisi rumah ibadat yang
jelas, sehingga dapat menjadi pembeda antarrumah ibadat.
Kedua, polemik hari raya Imlek sebagai hari raya umat
Khonghucu, menegaskan bahwa hari tersebut bukan tradisi
China semata. Ketiga, Terkait kebijakan affirmatif terhadap

41
guru agama Khonghucu, syarat S1 perlu dikecualikan pada
masa waktu yang cukup agar umat Khonghucu diberikan
kemudahan. Karena belum adanya umat Khonghucu
yang memilki pendidikan formal sekolah agama dan juga
penyuluh agama Khonghucu.

42
Bagian III
UMAT KHONGHUCU SURABAYA
Oleh: Raudatul Ulum

Sosial Demografi dan Keberagamaan di Kota Surabaya


Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam yang paling awal di tanah Jawa dan merupakan
basis keormasan Nahdlatul ‘Ulama, dianggap cukup
moderat dalam hal keberagamaan. Surabaya adalah pusat
peradaban Islam, ditandai ditandai dengan adanya Masjid
Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, satu
tokoh penting pada penyebaran Islam di Jawa, Walisongo.
Simbolisasi peradaban berikutnya adalah Masjid Al-Akbar
yang merupakan masjid terbesar kedua di Indonesia setelah
Masjid Istiqlal, Jakarta.
Selain itu, keberadaan penganut agama seperti
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Meskipun pemeluk Islam secara jumlah menempati urutan
teratas, namun kerukunan umat beragama untuk saling
menghormati, saling menolong sesamanya cukuplah
besar. Kondisi sosial kota Surabaya dapat menjadi potret
yang cukup harmonis dalam hal hubungan antarpemeluk.
Meskipun belum juga dianggap paling ideal, sorotan
terhadap peraturan gubernur tentang pembinaan aliran sesat
cukup menyulitkan kelompok mazhab Syiah melakukan
aktifitas di Kota Surabaya.
Sebagai gambaran pembanding sehubungan dengan
relasi simbolik antaragama di Surabaya, terdapat Gereja

43
Bethany berdiri dengan megah sebagai satu dari sekian
gereja terbesar di Indonesia, dan gedung Graha Bethany di
daerah Nginden Surabaya yang merupakan satu dari sekian
gedung gereja terbesar di Asia Tenggara. Tidak hanya itu
saja, juga banyak terdapat banyak yayasan sosial berasaskan
agama, yang bekerjasama dalam berbagai kegiatan bakti
sosial. Satu hal unik, terdapat pemeluk agama Yahudi di
sekitar kota7. Keberadaan mereka mereka dapat dikatakan
imigran Yahudi dari Baghdad dan Yahudi asal Belanda.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat makam khusus
orang Yahudi di daerah Kembang Kuning, Surabaya.
Secara khusus tabel berikut tentang jumlah penganut
Khonghucu di Jawa Timur, sebagai perbandingan antarkota
dan kabupaten:

Tabel 1: Jumlah Pemeluk Agama Khinghucu Tahun 2016


Provinsi Jawa Timur

Jenis Kelamin Jml Pemeluk


NO Kab/Kota
Laki-Laki Perempuan Khonghucu
1 Kab. Pacitan      
2 Kab. Ponorogo
3 Kab. Trenggalek
4 Kab. Tulungagung 140 160 300
5 Kab. Lumajang 105 155 260
6 Kab. Bondowoso 40 70 110
7 Kab. Situbondo 35 45 80
8 Kab. Probolinggo 55 115 170
9 Kab. Pasuruan 670 830 1,500

7
Peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Zaenal
Abidin pernah melakukan wawancara dengan beberapa penganut Yahudi
di Surabaya dan Manado.

44
Jenis Kelamin
NO Kab/Kota Jml Pemeluk
Laki-Laki Perempuan
10 Kab. Sidoarjo 260 340 600
11 Kab. Mojokerto 800 1100 1,900
12 Kab. Jombang 185 115 300
13 Kab. Nganjuk 70 55 125
14 Kab. Bojonegoro 650 750 1,400
15 Kab. Tuban 945 655 1,600
16 Kab. Gresik 50 55 105
17 Kab. Bangkalan 35 25 60
18 Kab. Pamekasan 45 35 80
19 Kab. Sumenep 55 45 100
20 Kota Kediri 115 185 300
21 Kota Malang 350 220 570
22 Kota Probolinggo 55 35 90
23 Kota Pasuruan 250 150 400
24 Kota Madiun 150 110 260
25 Kota Surabaya 1100 1505 2,605
26 Kab. Banyuwangi 175 125 300
27 Kab. Blitar 800 900 1,700
28 Kab. Jember 295 305 600
29 Kab. Kediri 190 210 400
30 Kab. Madiun 145 125 270
31 Kab. Malang 125 105 230
32 Kota Batu 180 220 400
33 Kota Blitar 90 110 200
34 Kota Mojokerto 270 430 700
JUMLAH 8160 8855 17,715
Sumber data: Kementerian Agama Surabaya tahun 2017

Dengan memahami data pada tabel, jumlah paling


signifikan pemeluk agama Khonghucu adalah Kota
Surabaya, dari 17.715 jiwa di Jawa Timur, sebanyak 2.605
terkonsentrasi di kota Pahlawan. Sedangkan kota atau
kabupaten lain yang memiliki pemeluk agama Khonghucu
adalah Mojokerto, 1.900 jiwa, disusul Kota Blitar 1.700
jiwa, kemudian Kabupaten Tuban 1.600 jiwa, Kabupaten
Pasuruan 1.500 jwa dan Kabupaten Bojonegoro 1.400 jiwa.
Selain dari yang disebutkan, kota dan kabupaten di Jawa
Timur memiliki pemeluk di bawah 1000 jiwa.

45
Etnisitas
Suku Jawa adalah suku bangsa mayoritas di
Surabaya. Suku Jawa di Kota Surabaya dibandingkan
dengan masyarakat Jawa pada umumnya, cenderung
memiliki bawaan yang lugas, sedikit temperamen dan tentu
saja egaliter. Kenekatan adalah cirikhas yang melekat, sejak
palagan 10 November 1945 yang mendunia, sampai saat
ini suporter tim kebanggaan Surabaya, Bonek merupakan
singkatan dari bondo (modal) nekat, menjadi simbol
melekat.
Meskipun Jawa adalah suku mayoritas (83,68%),
tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai
suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%),
Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%), dan sisanya merupakan
suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Banjar, Manado,
Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan Aceh atau warga
asing8.
Sebagai salah satu kota tujuan pendidikan, Surabaya
juga menjadi tempat tinggal pelajar/ mahasiswa dari
berbagai daerah dari seluruh Indonesia, bahkan di antara
mereka juga membentuk wadah komunitas tersendiri.
Sebagai salah satu pusat perdagangan regional, banyak
warga asing (ekspatriat) yang tinggal di Surabaya, terutama
di daerah Surabaya Barat9.
Identitas dan Layanan Umat Konghucu di Kota Surabaya
Tulisan ini merupakan refleksi sosiologis, dengan
menggunakan paradigma struktural fungsional10.

8
Soedarso, dkk. Jurnal Sosial Humaniora, Vol 6 No.1, Juni 2013
9
www.surabaya.onwae.com, diunduh 18 Mei 2017.
10
http://sosiologis.com/teori-struktural-fungsional, diunduh 19
Mei 2017. Teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan sistimyang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas
sosial

46
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung
pada objek kegiatan dan pengenalan subjek, serta wawancara
mendalam pada subjek penting sampai dirasakan
kejenuhan. Alat pengumpulan data adalah matrik observasi
dan daftar pertanyaan atau instrumen pengumpulan data,
direkam melalui perekam telepon genggam dan tulisan
tangan, dokumentasi melalui foto-foto. Informan memiliki
fungsi utama dalam hal mengumpulkan data yang
dipilih berdasarkan kategori rohaniawam dalam berbagai
tingkatan, Xue Shi, Wen Shi, Jiao Sheng dan ketokohan.
Kemudian beberapa informan yang terdiri atas pejabat
pemerintah, cendikiawan serta umat yang mewakili unsur
kepemudaan, gender, dan aktifitas di dalam lingkungan
Klenteng. Berdasarkan kategori yang ada, diwawancarai
beberapa orang.
Observasi dilakukan di Klenteng Boen Bio Kota
Surabaya. Observasi ini juga dilakukan dengan mengikuti
kegiatan keagamaan, kebaktian hari minggu,dan mengamati
peribadatan malam purnama.
Konsep Teologis pada Agama Khonghucu
Umat Khonghucu meyakini satu Tuhan, sebagai
sesuatu yang tidak terdengar, tidak berbau, tetapi bisa
dirasakan. Kehadirannya bisa dirasakan oleh mereka yang
mau memahami meskipun bentuknya tidak personal, non
panca indera namun bisa ditangkap11, hadir dalam diri.
Seringkali pihak di luar pemeluk Khonghucu salah
memahami tentang sesembahan, dianggapnya rupang/
patung adalah Tuhan yang disembah, padahal pemujaan
pada figur sejarah, pengkultusan pada tokoh suci adalah

11
Wawacacara dengan Ws. Dr. Ongky Setiawan, 29 April 2017.

47
tradisi semata12. Bahkan bisa dikatakan kegiatan tersebut
bukanlah bagian dari tata ibadah agama Khonghucu.
Manusia adalah makhluk rohani yang hidup dalam tubuh
fisik13, kehidupan rohani dapat dicapai melalui konsistensi
pada ajaran. Perilaku di dunia tidak perlu menguatirkan
kehidupan selanjutnya. Keyakinan pada kehidupan
setelah kematian (after life) dalam keyakinan Khonghucu
tidak perlu dipikirkan. Dengan kata lain, menerima ada
kehidupan selanjutnya adalah keniscayaan, hanya saja tak
bisa didefinisikan atau dijelaskan seperti apa kehidupan
itu nanti. Keyakinan itu juga tercermin dari perilaku dan
moralitas di kehidupan sehari-hari. Dalam pemahaman
Khonghucu ada istilah watak sejati (Tian Ming), sebagai
sebuah cerminan dari kebajikan Tuhan.
Menyangkut dimensi ketuhanan, Tuhan itu ada
dalam diri manusia, hanya saja untuk mencapainya
membutuhkan proses.14Hidup di dunia adalah sekolah,
tempat manusia berproses bagi rohaninya, karena hanya di
dunia berbagai peristiwa terjadi, sehingga kualitas rohani
penyembah akan semakin meningkat.
Afterlife (kehidupan setelah kematian, akhirat) itu
sendiri, sangat terkait sama sekali dengan perilaku dan
watak sejati. Mereka yang baik dan selaras dengan watak
sejati tidak akan mengalami ketakutan terhadap kematian.
Karena kematian itu adalah jalan pulang, kembali ke asal,
jika rohani terjaga tidak akan terbebani dengan kematian.
Jika orang sudah mencapai puncak baik maka tidak perlu
kuatir dengan kehidupan selanjutnya15.

12
Penjelasan Kristan, tokoh cendikiawan Khonghucu April 2017 di
rapat pembahasan DO Penelitian.
13
Wawancara dengan Tan Jin Meng, 14 Mei 2017
14
Ibid. 4 Mei 2017

48
Watak sejati adalah sumber sifat baik16, seperti
konsepsi asal muasal bahwa segala sesuatu berasal dari
Tian. Secara prinsip memiliki kesamaan dengan agama lain,
mengajarkan kebajikan. Dalam tingkatan tertentu manusia
menyatu dengan kebajikan Tuhan itu sendiri (Jun Zi). Istilah
surga neraka di agama Khonghucu tidak dikenal, namun
berkaitan dengan kehidupan setelah kematian kita percaya
ada kehidupan yang paralel17. Memahami paralelitas
ini, dijelaskan bahwa apa yang ada di dunia, maka ada di
sana (akhirat), sehingga kita mendukung keluarga yang
meninggal kita kirim dengan membakar uang18 (uang
akhirat, ada yang menyebut uang dewa), pakaian, mainan
dan barang lain yang sejatinya tidak dipakai oleh orang
yang hidup. Tradisi mengirimkan dukungan kepada roh
yang meninggal itu secara tradisional sejak lama di zaman
kerajaan di Tiongkok sana, bahkan saat ada seseorang
mati maka keluarga dan pembantu ikut mati19. Inti dari
pembakaran baju dan uang serta barang lain yang tidak
dipakai adalah bhakti.
Afterlife seringkali menjadi pertanyaan oleh kalangan
pembelajar terhadap keyakinan Khonghucu. Seperti dibahas
sebelumnya, kepercayaan terhadap hari akhir dianggapnya
sebagai konsekuensi penjelasan kematian, serta bagaimana
menjelaskan makna hubungan kehidupan saat ini dan

15
Wawancara dengan Fandy Maramis, umat Khonghucu, pemuda
Boen Bio yang aktif, 5 Mei 2017
16
Ibid.
17
Wawancara dengan Xs. Usman Arif, 14 Mei 2017
18
ibid
19
Tradisi bela pati dikenal di beberapa tradisi dan budaya, Jawa,
Bali dan India mengenal tindakan serupa sampai dihapuskan di era
modern. Tradisi hinduism di India mengenal sati, atau bela oati, adalah
ritual seorang janda yang mengikuti suaminya masuk di pembaran. Mati
bersama.

49
nanti20. Padahal hanya konsepsi surga dan neraka saja yang
tidak dibahas secara detail, karena kehidupan akhirat itu
diyakini ditentukan oleh perbuatan saat ini21. Mereka yang
berhasil, jasad kembali ke bumi dan mendapat kebahagiaan
di sana (surga), sedangkan mereka yang gagal dalam
rencana hidupnya akan kembali dalam kehidupan dunia,
melalui reinkarnasi22.
Khonghucu sebagai ajaran dikenalkan ke dunia
barat oleh Matteo Ricci yang datang ke Tiongkok sebagai
misionaris, beliau menulis tentang Konfusiusme. Menyebar
ke berbagai negeri dikenal sebagai ajaran Khonghucu,
ajaran Kongzi, padahal sebelumnya dikenal sebagai Ru Jiao
yang artinya agama (Jiao) yang lemah lembut (ru)23. Kong Zi
sendiri bertugas menggenapi ajaran yang telah berkembang
dari masa ke masa, yang diyakini ajaran luhur sudah
berkembang 2500 an.
Untuk memahami Tian jalan penghubung adalah
batiniah yang melibatkan hati nurani, pengalaman
spiritual, pencarian dan perbuatan nyata untuk menggapai
kebahagiaan yang indah24. Terdapat tiga dimensi yang
terkait dengan hubungan antara Tuhan—Alam—Manusia
(Tian—Di—Ren), karena tidak kelihatan bagaimana
memahami Tuhan, maka aspek etik dalam hal relasi
antarmanusia dan memahami kedirian dalam diri manusia
dilakukan, kemudian keselarasan spiritualitas juga terkait

20
Wawancara dengan Ws. Tan Jin Meng. 14 Mei 2017
21
Wawancara dengan Fandy Maramis, 18 Mei 2017
22
Ibid. Dalam penjelasannya pemahaman terhadap reinkarnasi
pemeluk Khonghucu disebabkan karena kegagalan melaksanakan hidup
sesuai dengan kebajikan. Seringkali juga sifat dari reinkarnasi membawa
keburukan dari kehidupan seelumnya. Latar belakang jahat akan
memengaruhi orang lain dan memberikan energi negatif.
23
Wawancara dengan Xs. Dr. Ongky Setio Kuncono, 29 April 2017
24
Kuncoro, Tomorrow Spirit, hal 26.

50
hubungannya dengan alam (Di = bumi)25.
Siapa Tian?, disarikan dari Kitab Con Yung ayat
15, dipahami beberapa hal26: menurut Kongzi 1) sungguh
maha besar, Tian bersifat Maha Ruh, 2) dilihat tidak
nampak didengar tiada terdengar, 3) tiap wujud, tiada yang
tanpa-Nya, 4) umat manusia berpuasa membersihkan hati,
mengenakan pakaian lengkap, bersujud bersembahyang
kepada-Nya. “sungguh Maha Besar, Dia terasakan di atas
kanan kiri kita”. 5) tidak boleh diperkirakan lebih-lebih tak
dapat ditetapkan bentuknya.
Kepercayaan kepada hal ghaib adalah bagian
penting dari agama, selain ketinggian zat Tuhan, Khonghucu
memercayai arwah suci atau sesuai yang terstruktur bagian
dari keyakinan. Shing Zi, di dalam istilah agama lain dapat
dipadankan sebagai malaikat (dimensinya), Shing Ming,
arwah suci dari orang-orang baik dan leluhur. Selanjutnya

25
Op. Cit wawancara 29 April 2017
26
Wawancara dengan Titis Winarsih, Mei 2017. Titis Winarsih
seorang yang terlahir di keluarga Jawa, 1957 berdarah Jawa. Sejak kecil
mengenal Khonghucu dari sahabat orangtuanya. Beberapa keluarga
Tionghoa sangat akrab dengan keluarganya. Ayah Xs bernama Harji
Sukarno, seorang guru berpikiran terbuka terutama terhadap nilai-nilai
agama. Sejak kecil sering diajak melakukan ritual keagamaan Khonghucu
oleh Kwek Gun Hok, banyak mengenalkan agama kepadanya, sering
diajak kebaktian dan selalu merasa senang terutama saat menyanyikan
lagu “doaku”. Ajaran Khonghucu mulai masuk dengan baik ke dalam
dirinya, sampai kemudian dikirim ke Solo untuk belajar mendalaminya,
kebanyakan di kelas ini disiapkan untuk menjadi guru agama. Tahun
1976 ditunjuk untuk menjadi guru di Tegal, ada momen krusial di
masa pendewasaan itu, sempat pada titik nadir kepercayaan kepada
Tuhan. Kehilangan adik meninggal membuatnya berada dalam fase
krusial secara spiritual, sampai bertemu dengan seorang untuk kembali
melanjutkan tugas. Pengalaman beliau cukup banyak mengajar di
berbagai daerah, Semarang—Cilcap—Priangan, sampai 1991 ke Jawa
Timur (Tuban—Blitar—Surabaya). Tahun 1982 menikah dengan seorang
muslim., memiliki anak lima, empat orang memeluk Khonghucu , seorang
beragama Islam. Kini akrif berkeliling Jawa Timur memimpin ritual dan
pengajaran agama Khonghucu dari klenteng ke klenteng.

51
Shing Ren, yaitu orang suci atau nabi yang menggenapi dan
paling sempurna kemanusiaannya.
Etika dan Moralitas
Dalam hal memahami Tian Di Ren mesti ditempuh
dengan jalan kesusilaan. Memerlakukan manusia
haruslah dengan jalan kesusilaan/ketenteraman, terutama
dengan orang tua. Jalan kesusilaan yang dimaksud tidak
berbatas pada manusia di masa hidup maupun yang telah
meninggal “ketika hidup dilayani dengan kesusilaan, saat
meninggalpun dilayani dengan kesusilaan”.27
Ajaran Khonghucu menempatkan orang tua sebagai
posisi tertinggi secara etika dan moralitas, menghormatinya
adalah sebuah kewajiban dan kebajikan yang tertinggi
dalam kehidupan. Nilai dasar penghormatan kepada orang
tua tercermin dari tradisi sembahyang kepada leluhur.
Menghormati orang tua itu tidak hanya saat hidup tetapi
sampai akhir hayat, di alam kuburpun tetap harus diberikan
penghormatan28.
Bakti itu terdiri dari dua kata Zi (dibaca Ce) di
atasnya Lau (tua), jadi bakti dinamakan sebagai lelaku yang
muda mendukung yang tua. Bakti memuliakan hubungan
dari kedudukan muda kepada yang lebih tinggi. Dalam
makna luar bakti tidak terbatas pada orang tua (darah),
tetapi pengabdian kepada masyarakat, negara serta agama.
Etika merawat orang tua adalah memanusiakan seutuhnya,
tidak sekedar melayani, “Sikap wajah yang sulit” dengan
memuliakan dan menjaga sikap, tidak mencederai. Dalam
hal ini, dapat dikatakan ajaran bakti agama Khonghucu
terdiri atas tiga aspek penghormatan, 1) menghormati

27
Ibid.
28
Wawancara dengan Tan Jin Meng, Handoko, Dr. Ongky, dengan
kalimat yang berebda seluruh narasumber meyakini hal yang sama.

52
orangtua, 2) menghormati negara, 3) menghormati ajaran
agama29.
Khonghucu sangat lekat dengan komunitas
Tionghoa, sebaliknya etnis Tionghoa bisa dipastikan
hidup dalam tradisi yang sangat dipengaruhi oleh nilai
Khonghucu30, karena sejak kecil ajaran itulah yang secara
tradisional kenalkan kepada anak cucu. Aspek etika dalam
agama tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Berkaitan
nilai dasar etik ini disebut dengan Wu Lun, lima ajaran
kebersamaan. Kesusilaaan tinggi, manusia dibentuk
dalam kebersamaan agung, hidup masyarakat damai, ada
pekerjaan, hidup sentosa (Li Yun, Bag. I hal. 240)31. Intinya
Tuhan itu menciptakan kita, (Dien Bing) menjelmakan
manusia, cinta kasih—kebijaksanaan—kesusilaan—
kebenaran (Ren Li Jai). Dengan kata lain manusia dicipta
melalui gen Tuhan dibangun dengan watak Tuhan.
Dalam pandangan folks religion, yang dimaksud
dengan orangtua juga adalah guru agama, tindakan
memuliakan orang besar, memuliakan orang suci dan
memuliakan leluhur adalah juga jalan memahami Tian.
Aspek kesusilaan itu tidak cukup hanya dengan mengerti
nilainya tetapi harus tampak dalam tindakan, misalnya
keselarasan antara bisnis dan cinta kasih. Berbisnis tidak
boleh hanya mengambil keuntungan tetapi harus jujur32.
Titis mengutip Sabda Suci Jilid I Pasal 4-16, bahwa
setiap hari aku memeriksa diri dalam tiga hal: 1) sebagai

29
Wawancara dengan Xs. Titis Winarsih. 17 Mei 2019
30
Wawancara dengan Gatot, tokoh Khonghucu Jawa Timur. 16 Mei 2019
31
Wawancara dengan Ws. Ongky S K. 29 April 2017
32
Ibid.

53
manusia, adakah berlaku tidak satya33, 2) bergaul dengan
kawan dan kerabat, adakah aku berlaku tidak dapat
dipercaya, 3) adakah ajaran guru yang tidak kulatih. Nafsu
itu tidak dapat dimatikan, tetapi harus dikendalikan. Diatur,
Kong Zi mengajarkan bahwa manusia secara internal
mememiiki Yin Yang34. Masyarakat juga begitu, harus diatur,
tidak harus dalam konteks kontras tetapi saling melengkapi,
bahkan dalam paradigma benar salah pun harus ada irisan,
tidak mutlak. Selaras juga dengan dualitas di alam yang
memberikan peristiwa, ada banyak jalan lain yang ditempuh
oleh orang lain35.

Spiritualitas
Spiritualitas adalah sebuah proses mengembangkan,
membangun hakikat kemanusiaan melalui peribadatan.
“Siapa yang menyelami hati, akan mengenali watak sejati.
Siapa yang mengenal watak sejati akan mengenal Tuhan”.
Proses mengenali hati mensyaratkan suatu tindakan sosial
dan latihan batin, sikap empati terhadap nasib orang lain
akan menggiring hati mengenali watak sejati. Karena di
Khonghucu tidak mengenal eskapisme dan esoterisme

33
Satya dalam pemahaman Khonghucu artinya satya di arahkan pada tiga
objek yakni : pertama objek Thian (TuhanYang Maha Esa) sebagai pencipta langit
dan bumi serta isinya termasuk manusia. Sebagai pencipta Tuhan merupakan
objek utama ( central). Yang kedua objek  manusia sebagai makluk yang paling
sempurna yang memiliki budaya dan sifat sifat sempurna pemberian Tuhan. Ketiga
objek lingkungan (hewan, tumbuhan dan alam semesta). Ws. Ongky Setiawan, 29
April 2019.
34
Wawancara dengan Xs. Usman Arif, 14 Mei 2017.
35
Ibid.

54
maka proses melatih batin seiring dengan kehidupan
sosial36. Kongzi menempatkan kemuliaan pada kebaikan
sosial di tengah masyarakat dibanding pertama atau
tindakan menyepi dari keramaian. Persoalan kehidupan dan
gangguan dalam diri dapat ditemukan di tengah komunitas
dengan mencarikan solusi solusi. Aspek pengenalan diri
berdasarkan nilai nilai kemanusiaan tentang kemurahan hati
(cinta kasih), perasaan menghargai, tumbuhnya rasa malu
atas ketidakrukunan dan jauh dari kebenaran, kemudian
kesusilaan, perlu dilatih sejak kecil memiliki kendali.
Pencapaian keyakinan tertinggi (iman) dapat
diperoleh melalui belajar atau melalui latihan spiritual dengan
menghayati secara batin37. Datangnya iman, panggilan dari
dalam sendiri, nurani manusia. Pengembangan watak sejati,
memahami getaran Tuhan melalui pengalaman spiritual,
aspek penguasaan supranatural, kesembuhan atas penyakit,
lepasnya dari berbagai kesulitan. Keimanan itu juga
dapat datang melalui kesadaran yang diperoleh melalui
pembelajaran, pendidikan agama.
Hakikat perkara agama itu tidak bisa dilepaskan
dari spiritualitas dan religiusitas, sehingga dalam keyakinan
Khonghucu untuk mengenali watak sejati, termasuk jalan
memahaminya dilakukan perspektif spiritual. Dalam hal ini,
berbagai media untuk menumbuhkan getaran spiritualitas
dapat dilalui dengan mendengar atau memainkan musik.
Musik itu menenangkan, dari situ tumbuhlah kepercayaan.
Kedudukan pengalaman spiritual itu sama pentingnya

36
Wawancara dengan Xs. Tan Jin Meng, Fandi Maramis, dengan
kalimat yang berbeda juga semua narasumber mengungkapkan hal yang
sama, Mei 2017. Bahwa dalam Khonghucu tidak ada istilah menyepi dan
bertapa. Semua proses mengenali diri, dan Tuhanharus selaras dengan
kehidupan sehari-hari.
37
Op cit.

55
dengan pengembangan intelektualitas yang didapat melalui
penelitian38. Bisa juga dengan jalan melatih diri dengan
meditasi39.
Spiritualitas dalam agama Khonghucu dibangun
melalui prinsip kesimbangan Liang-Yi, Yin Yang. Seperti
halnya dengan Taoisme. Dua keseimbangan, dualitas yang
komplemen saling melengkapi tidak bisa dipisahkan. Dalam
hal ini secara etika terstruktur prinsip ketidakmutlakan40.
Dalam kegelapan (Yin, - -) adalah titik terang, seperti dalam
metafora lembah dan sinar matahari, tidak saling menggeser,
secara dinamis berhubungan dengan dan terikat dengan
area yang terang (Yang, ---). Keduanya seringkali bertukar
tempat dan menyiptakan dinamika ruang, menyatukan dua
konsep arus berlawanan selalu berjalan di kehidupan.
Simbol Yin Yang41 secara filosofis dibangun atas
sifat dasar penciptaan, Titis Winarsih mengutip filosofi
kemahakosongan42 sebagai definisi ketidakbatasan,
itulah konsep Maha Besar, yang tak terkirakan (Wu Ji),
dilambangkan dengan bulatan kosong sempurna.Kemudian
awal penciptaan dengan titik di tengah yang disebut dengan
Tai Chi (Dai Ji). Tai Chi: Awal dan akhir.

38
Wawancara dengan Dr. Ongky S K, 29 April 2017
39
Wawancara dengan Fandi Maramis, 5 Mei 2017
40
Wawancara dengan Xs Titis Winarsih. 17 Mei 2017
41
Ibid.
42
Konsepsi kekosongan (maha kosong) banyak digunakan oleh
kaum esoteris, misalnya Anand Khrisna yang mendefinikan kosong itu
adalah keberadaan tunggal utuh yang disimbolisasi dalam Wu Ji dalam
agama Khonghucu. Kosong menurut Anand Khrisna adalah awal sebuah
keberadaan yang lain.

56
.

Gambar 1: Thai Chi


Titik awal dan akhir yang menciptakan Yin Yang,
dualitas yang komplemen membentuk keseimbangan43 :

Gambar 2: Yin Yang


Usman Arif menerangkan bahwa sepanjang
pemahaman beliau tentang agama, semua memiliki
dua arus dalam ajaran dan nilai, yaitu spiritualitas dan
rasionalitas, Si Shu mengajarkan untuk membina diri
memerbaiki perilaku44. Tahapan yang ditempuh untuk
sampai pada watak sejati dalam tiga fase. 1) Xue Shing,
mencari ilmu dan memeroleh kedudukan. Seorang berilmu
akan berguna jika memiliki tempat, posisi yang benar, 2)
Xue De, jalan kebajikan. Memberikan banyak kebaikan bagi
manusia lain dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan.
Seperti seorang kepala daerah, gubernur, bupati sampai
dengan yang tertinggi raja atau presiden, harus memastikan
rakyatnya sejahtera. 3) Xue Dao, jalan spiritual. Inilah

43
Ibid. Beliau menunjukkan proses dari maha kosong sampai
dengan kesimbangan dualitas.
44
Wawancara dengan Xs Bingki Irawan. 15 Mei 2017

57
jalan menyempurnakan diri secara bathin memahami hati,
berproses secara terus menerus sampai paham dengan
makna watak sejati. Di jalan ketiga, seseorang berpantang45
terhadap hal yang menghalangi dia mencapai posisi batin
tertentu, tidak lagi membutuhkan dunia (meta need dalam
teori Maslow).
Seseorang yang menempuh jalan Xue Shing
karena kewajiban memberi manfaat untuk kehidupan,
baik diri dan orang lain. Kedudukan dimaksudkan
untuk mengoptimalisasi apa yang didapat dalam proses
pembelajaran. Dalam level tertentu, aspek spiritualitas
tetap melekat dalam proses ini, sejalan juga dengan etika
dan moralitas, karena untuk mendapatkan dan memeroleh
posisi tersebut, penyembah haruslah tetap pada dua hal:
1) menjaga kesopanan, 2) baik dalam pergaulan46. Dalam
tradisi Khonghucu kitab I Ching dianggap sebagai bangunan
tentang kebijaksanaan, I Ching (Xi Jing), secara prinsip,
nilai yang dibangun di dalamnya berbeda dengan filsafat
barat yang menghadapkan benar dan salah. Kitab I Ching
yang cocok untuk penghayat kebatinan, bertutur tentang
hakikat perubahan baik itu fenomena alam dan kehidupan
manusia47.

45
Berpantang dalam penjelasan Xs Usman Arif adalah memahami
susila, sesuatu yang tidak susila (tabu, kurang elok, ketidakpantasan)
jangan 1) dilihat, 2) didengar, 3) diucapkan, 4) dilakukan. Tentunya empat
hal tersebut bersifat gradasi. Sesuatu ada yang tidak pantas dilihat, tidak
pantas didengar, tidak pantas diucapkan, tidak pantas dilakukan.
46
Wawancara dengan Xs. Usman Arif. 14 Mei 2017
47
Xs. Usman Arif menganggap I Ching cenderung membangun
logika, keadaban pikir arif dan bijaksana. Namun pendapat tersebut
dikoreksi oleh Ketua Matakin Uung Sanjaya, klaim kecenderungan logika
tidak dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan pada Pra Seminar
Hasil (2017)

58
Meskipun begitu, jalan kerohanian itu pada tingkat
tertinggi tidak boleh mengabaikan kebersihan secara fisik,
harus sejalan, kehormatan anak cucu dan orang sekitar
tetap harus dijaga48. Membina diri tidak hanya keterampilan
tetapi juga perilaku (Ajaran Besar di Bab I)49. Selain aturan
ibadah yang sudah berjalan secara periodik, tindakan
mengawal batin juga bisa dilakukan dengan melakukan
meditasi, membangun sebuah ketenangan untuk melatih
spiritualitas50. Meskipun dalam ajaran Kongzi tidak
diperbolehkan menyendiri menjauh dari keramaian, jauh
dari kehidupan sosial tetapi menyendiri dalam waktu
sementara (quiet times) tetap diperlukan.
Larangan menyendiri itu hanya untuk tindakan
pada waktu yang lama51. Intinya adalah menjaga kesucian
di tengah keramaian, selain berpantang penyembah Tian
haruslah mengingat selalu. Biasanya dalam level rohaniwan,
mereka yang bermula menjadi Dao Sing belum sepenuhnya
bisa menempuh jalan suci, masih pengajar, pada tingkatan
Wen Shi seorang rohaniwan sudah mulai memasuki jalan
suci. Syaratnya harus memiliki pengetahuan yang cukup dan
telah memahami tata upacara di dalam agama Khonghucu,
dan jika sudah menikah pun maka menempuh jalan suci
tetap harus selalu seimbang dengan kehidupan sosialnya.
Bekerja untuk keluarga dengan terus melatih batin, spiritual

48
Wawancara dengan Xs. Usman Arif. 14 Mei 2017
49
Ibid.
50
Wawancara dengan Fandi Maramis, 18 Mei 2017

51
Wawancara dengan berbagai narasumber yang sepakat bahwa
Kongzi melarang menyepi dari keramaian dan kehidupan sosial, karena
manusia hadir juga untuk menyelesaikan persoalan keduniaan.

59
agar semakin naik kualitasnya.
Berpantang yang dimaksud dalam tata cara menempuh
jalan suci, sepenuhnya nanti akan didefinisikan sendiri
oleh pelakunya. Umumnya berpantang yang dimaksud
adalah perbuatan, terpenting tindakan tersebut adalah
menjaga diri agar tidak melanggar kesusilaan, mulut harus
dijaga, menghindari dari perilaku memalukan. Dalam hal
berpantang dimaknai juga dalam tingkah laku yang positif
dengan membantu orang lain52. Penting untuk dipikirkan
di kalangan rohaniwan Konghucu, bahwa memacu aspek
spiritualisme umat perlu panduan dan bimbingan, karena
pengalaman tidak serta merta bisa dimengerti sebagai
sesuatu yang baik atau buruk53.
Spiritualisme di agama Khonghucu jika
dipersamakan dengan beberapa nilai yang berkembang
di agama lain juga banyak kemiripan. Meskipun jalan dan
istilah tidak akan sama, sebab pelembagaan atas ajaran
juga dapat menumbuhkan disparitas antardefinisi. Bahkan
dengan filsafat Jawa pun, meskipun bisa dipersamakan,
tetapi posisi memulai latihan jiwanya berbeda. Filsafat jawa
berkembang secara lisan tidak tertulis, Ru Jiao awalnya juga
begitu sampai Kong Zi menulisnya54. Aspek kebatinan itu
melampui sesuatu yang tertulis, makna dibalik teks itu lebih
besar dibandingkan barisan narasi55. Alam tidak bicara tetapi
memberi pesan, Tuhan ada suara, suara itu mewakili Tuhan,
dengan kata lain bisikan itu tetap ada, hanya seringkali
berhadap-hadapan dengan rasionalitas56.

52
Wawancara dengan Xs. Usman Arif. 14 Mei 2017
53
Ibid.
54
Ibid.
55
Wawancara dengan Fandi Maramis, tentang pengalamn
spiritualnya. 18 Mei 2017
56
Op. Cit, dengan Xs. Usman Arif, 14 Mei 2017.

60
Sumber Ajaran
Sumber ajaran dasar agama Khonghucu adalah
sembilan kitab. Kitab Si Shu, yang memuat empat kitab
utama yang terdiri dari Ajaran Besar (Da Xue), Tengah
Sempurna (Zhong Yong), Sabda Suci (Lun Yu), dan Meng
Zi. Kemudian Wu Jing yang terdiri dari lima kitab, Shi
Jing (Kitab Sanjak), Shu Jing (Kitab Hikayat), Yi Jing (Kitab
Perubahan), Li Jing (Kesusilaan), Chen Qiu Jing.

Simbol-simbol Penting dalam Agama Khonghucu


Simbol di tradisi Khonghucu sangat banyak,
selain Yin Yang yang telah dibahas tersendiri di etika dan
spiritualitas, sebagian besar simbol yang dimaksud berada
di dalam Klenteng. Di Dalam Klenteng Boen Bio Surabaya
beberapa simbol bisa dapat di pahami sebagai berikut:
Pertama, dua tiang soko guru menyimbolkan Zong
Shu (Cong Su), jalan suci nabi/orang suci, satu menembus
semua. Naga menyimbolkan kemuliaan dan keagungan.
Klenteng itu sendiri adalah simbol utama agama Khonghucu.
Kemudian berikutnya terdapat simbol penting.
Kedua, Genta/duo: sebagian simbol Kongzi adalah
genta yang digunakan untuk memanggil rakyat di masa
lalu. Asalnya ada dua jenis genta, Mu Duo adalah genta
dengan lidah pemukul kayu gunanya memberi tahu
urusan sipil. Kemudian Jinduo, lidah pemukulnya adalah
logam, gunanya untuk memberi berita urusan militer. Jadi
Kongzi sendiri disimbolkan dengan genta (Tian Zi Mu

61
Duo) utusan Tuhan untuk mengetuk kesadaran manusia57.
Ketiga, Qilin (di beberapa produk ditulis kilin): seperti
anak lembu, bertanduk tunggal, sisiknya seperti naga,
mukanya singa ekornya lembu adalah simbol cinta kasih,
tanduk terbuat dari daging. Qillin termasuk hewan suci,
menampakkan diri saat peristiwa besar, dalam 5000 tahun
hanya tiga kali. Pertama saat lahir nabi Kong Zi dan saat
wafatnya kemudian saat peristiwa besar di Tiongkok58.
Keempat, Kura-kura: Orang-orang Tiongkok dan etnis
Tionghoa seberang lautan sangat yakin bahwa banyak
rahasia langit dan bumi tersembunyi di Kura-kura, karena
pola rumit dan garis-garis pada cangkangnya. Oleh karena
itu, kura-kura telah menjadi makhluk misteri dan sumber
budaya berlimpah. Kura-kura juga melambangkan umur
panjang, karena umurnya yang sangat panjang. Biasanya
orang menggunakan metafora “umur kura-kura” atau
“umur bangau” untuk mengungkapkan bahwa kehidupan
seseorang akan selama umur kura-kura dan bangau. Sejak
zaman dahulu, orang percaya bahwa kura-kura membawa
keberuntungan, dan telah menjadi makhluk spiritual yang
suci. Menempatkan patung kura-kura yang terbuat dari
batu giok di rumah dapat mendamaikan Ying dan Yang,
mengatur medan magnet alami, dan bertindak sebagai
suplemen keberuntungan. Sebuah kura-kura terbuat dari
batu giok juga dapat berfungsi untuk menjaga tempat
tinggal dan untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan.
Keempat, simbol empat lampu, empat tiang, empat penjuru
di Klenteng, melambangkan semua manusia bersaudara.
Kelima, 12 Shio merupakan pengembangan makna tentang

57
Wawancara dengan Ws. Tan Jing Meng, 14 Mei 2017
58
Wawancara dengan Ws. Tan Jing Meng, 14 Mei 2017

62
lima elemen dasar, Kayu—Api—Tanah—Logam—Api.
Konsepsi dari saling menghidupkan (melindungi) dan
mematikan. Tanah menghidupi logam, logam menghidupi
air, air menghidupi kayu, kayu menghidupi api. Kemudian
saling mematikan, air mematikan api, api mematikan
logam, logam mematikan kayu, kayu mematikan tanah,
tanah menyerap/menghambat air.
Selanjutnya dikembangkan rumus:
0 = besar 1 = Kecil tahun 0 1 = Logam
2 = besar 3 = kecil tahun 2 3 = air
4 = besar 5 = kecil tahun 4 5 = kayu
6 = besar 7 = kcil, tahun 6 7 = api
8 = besar 9 = kecil, tahun 8 9 = tanah
Keenam, Pi Xiu, atau disebut juga Bi Xie (yang berarti:
menangkal kejahatan) di bagian utara China. Hewan ini
adalah salah satu binatang keberuntungan dalam budaya
China. Ada beberapa variasi binatang ini. Pi Xiu dengan
satu tanduk disebut Tian Lu, dan binatang dengan dua
tanduk dikenal sebagai Bi Xie. Binatang ini memiliki sayap
pendek, ekor keriting, surai dan janggut. Pi Xiu dianggap
sebagai binatang keberuntungan karena semakin lebar
mulutnya membuka berarti semakin banyak uang datang.
Semakin bulat perutnya, semakin banyak uang di dalamnya.
Orang-orang seperti Xiu Pi karena ditandai dengan fitur
biasa memiliki mulut, tetapi tidak ada organ ekskretoris.
Ini melambangkan tabungan, tetapi tidak menghabiskan
uang. Pi Xiu umumnya dipajang di tempat-tempat seperti
penukaran mata uang asing, saham, keuangan, balap kuda,
bank, dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan
arus finansial. Namun, Pi Xiu tidak efektif untuk siapa pun
yang melanggar hukum atau melakukan kejahatan, karena

63
Pi Xiu sendiri merupakan makhluk suci.
Ketujuh, Hio, artinya harum. Yang dimaksud harum disini
ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan
asap berbau sedap/harum. Dupa yang dikenal pada jaman
Nabi Khongcu (Kongzi) berwujud bubuk atau belahan kayu,
misalnya Tiem Hio (Cheng Xiang), Bok Hio (Mu Xiang)/
Gaharu, Than Hio (Tan Siang)/Cendana dan lain-lain.

Peribadatan
Peribadatan adalah suatu kewajiban sekaligus
kebutuhan59. Sepanjang tahun setidaknya ada empat kali
sembahyang besar, khusus kepada Tuhan. Sembahyang
empat musim60:
 Musim Semi (8-11 tahun Imlek) pukul 11.
 Musim Gugur, Zhong Qiu (cong ciu) sembahyang yang
dilakukan saat tersebut diyakini kondisi alam paling
harmonis. Sajiannya Kwe Pia (terang bulan) maknanya
kita menyampaikan syukur pada alam yang harmonis
(15-8 tahun Imlek)
 Musim dingin, pada 22 Desember.
 Peribadatan berikutnya:
 Qing Ming (Ceng Beng), sembahyang kubur pada bukan
4 tanggal 5 Masehi.
 Coki, setiap tahun diselenggarakan peringatan kematian.
Biasanya untuk anggota keluarga
 Sembahyang leluhur yang diselenggarakan pada
tanggal 15-7 tahun Imlek, dan 19-7 Imlek. Tujuannya

59
Wawancara dengan Xs. Bingki Irawan, 15 Mei 2017
60
Wawancara dengan Tan Jin Meng, 14 Mei 2017

64
menghormati arwah umum.
 Sembahyang kelahiran roh suci.

Sembahyang yang dilakukan oleh pemeluk
Khonghucu sebagian besar melibatkan peralatan, terutama
dupa. Jumlah dupa menentukan tujuan penghormatan,
kalau satu dupa maka persembahan itu untuk Tian,
Maha Besar Huang Tian. Kemudian dupa dua, untuk
kesimbangan Yin dan Yang, sedangkan tiga dupa adalah
pelambang persembahan Tian Di Ren (Tuhan—Alam—
Manusia). Jumlah dupa dalam persembahyangan lima helai,
maka persembahan tersebut pelambang dari 5 unsur (Wu
Xing). Selanjutnya jumlah dupa tujuh, persembahan untuk
memohon perlindungan dari aura negatif. Dupa berjumlah
delapan dimaksudkan untuk persembahan pada asal mula
kehidupan. Persembahan dengan jumlah dupa sembilan,
dimaksudkan untuk menghilangkan kebajikan yang
bercahaya. Posisi dupa sendiri dimaknai sebagai instrumen
untuk mengiringi hati kita dengan harumnya dupa naik
sampai ke atas.
Ke depan perlu ada perbaikan dalam hal tata
ibadah, sekian lama agama Khonghucu tidak diurus banyak
hal tertinggal dibanding dengan agama lain61. Misalnya
dengan tata cara memerlakukan orang meninggal, dulu
hanya formalitas saja. Jadi dalam hal penghormatan kepada
orangtua yang telah meninggal, kita harus serius tidak
hanya menghormati secara formalitas tetapi bagaimana
mendorong roh itu mendapat jalan yang baik62 pada

61
Wawancara dengan Xs Bingki Irawan, 15 Mei 2017
62
Wawancara dengan Xs Usman Arif, 14 Mei 2017

65
kehidupan selanjutnya.

Perjuangan Memertahankan Identitas


Kota Surabaya menjadi simbol perjuangan
penganut Khonghucu untuk mendapatkan keadilan
terutama eksistensi sebagai agama. Gong pertaruhan itu
dimulai dari kasus perkawinan Budi Wijaya dengan Lani63.
Pernikahan mereka sempat ditolak yang akhirnya diajukan
gugatan ke pengadilan. Gaung perjuangan eksistensi agama
Khonghucu yang sempat terpinggirkan oleh kebijakan orde
baru saat itu berakhir menggantung (15-11-1996 berita
tentang memori banding Budi Wijaya belum diajukan,
Suara Indonesia).
Ketika KH Abdurahan Wahid menjadi presiden,
melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang
Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dengan
adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan
segala sesuatu yang berkaitan dengan agamanya.
Pengakuan Khonghucu sebagai agama membawa
dampak yang amat banyak dalam perkembangan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada
pengakuan agama saja namun juga diperbolehkannya
budaya China untuk dipelajari dan dipertunjukkan di
Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak
sipil dan politik, serta ekonomi sosial dan budaya yang
pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis
Tionghoa, mulai didapatkan pada era reformasi ini.

63
Bundel laporan dan kliping berita koleksi Klenteng Boen Bio
Surabaya tentang kasus Budi dan Lanny. Diperoleh 15 Mei 2017.

66
Selama hampir 20 tahun hak-hak umat agama
Khonghucu dan etnis Tionghoa telah dikebiri. Sekarang
zaman telah beralih. Demokrasi dan Pengakuan Hak asasi
Manusia menjadi sangat penting dalam perkembangan
negara di dunia. Termasuk juga dengan Indonesia. Berbagai
catatan kelam Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak boleh
terulang dan diskriminasi seperti yang terjadi pasca masa
orde baru harus diminimalisir. Hak masyarakat akan Hak
Asasi Manusia sudah tidak dapat ditawar lagi dan harus
dipenuhi oleh negara. Harus ada komitmen yang lebih
dari pemerintah untuk menjamin hal tersebut. Pengakuan
agama Khonghucu di Indonesia saat ini baru berlangsung
sekitar sepuluh tahun.

Organisasi Keagamaan dan Dinamika Internal Khonghucu


Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(MATAKIN) adalah sebuah organisasi yang mengatur
perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1955, adalah organisasi
kemasyarakatan utama di penganut Khonghucu.
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-
lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini
sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan
kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke
tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok sekitar
abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah
satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-
lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 206
sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara.
Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah

67
berlangsung berabad-abad lamanya, Klenteng Ban Hing
Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 . Di Surabaya
didirikan tempat ibadat Agama Khonghucu yang disebut
masa awal: Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali
dan disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai
dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan
131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah
asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) Boen Bio
Surabaya. Di Solo didirikan Khong Kauw Hwee sebagai
Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun
1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong
Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta
dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat.
Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan
Kongres ke dua yang antara lain membahas tentang Tata
Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan
Nusantara64.
Satu tahun terakhir muncul perkumpulan
rohaniwan Khonghucu Indonesia (PARAKIN), tujuannya
untuk menguatkan kemampuan rohaniwan dalam hal
spiritualitas dan kemampuan kepemimpinan umat. Baik
dalam hal memimpin peribadatan maupun memberikan
teladan di masyarakat65. Dalam hal gerakan perubahan yang
dicanangkan informan menampik adanya friksi di kalangan
tokoh Khonghucu, hanya saja peningkatan kualitas
bimbingan dan keumatan itu sendiri harus ditambah.
PARAKIN tidak bermaksud menggeser posisi majelis agama
yang sudah ada, bahkan bisa bernaung dalam payung

64

65
Wawancara dengan Xs. Bingki Irawan, 15 Mei 2017

68
besar majelis dimaksud. Setelah sekian lama perjuangan
menjadikan Khonghucu “diakui” sebagai agama kiranya
konflik antarumat diarahkan ke produktifitas.

Hubungan Umat Khonghucu dengan Pemerintah dan


Masyarakat.
Pelayanan sipil terhadap umat Khonghucu meskipun
belum sempurna tetapi setidaknya diskriminasi sudah
mulai berkurang dibandingkan dengan era orde baru66. Hal
penting yang masih belum tergarap adalah pendidikan,
kurangnya guru agama Khonghucu di sekolah negeri belum
ada jalan keluar yang jelas. Justru beberapa sekolah swasta
memberikan pengajaran agama Khonghucu dengan baik67.
Hubungannya dengan pemerintah daerah tidak
terlalu intens, selain tergabung dalam FKUB belum ada
ofisial yang dapat menghubungkan pemerintah dengan
penganut Khonghucu. Adapun struktur di Kementerian
Agama Wilayah Jawa Timur di bawah Kasubbag Hukum dan
KUB, anggaran pembinaan terbatas68. Selain keterbatasan
porsi anggaran, kegiatan pembinaan mengalami kendala
dengan kultur masyarakat Tionghoa yang mendahulukan
pekerjaan dibanding urusan sosial69. Kecuali bagi mereka
yang secara profesi berada di luar mainstream, misalnya
guru dan profesi yang tidak terikat bisnis dan perdagangan.

66
Wawancara dengan Ann Lee, 10 Mei 2017
67
Wawancara dengan Tan Jing Meng, Fandi Maramis dan Ann
Lee. 10 Mei 2017
68
Wawancara dengan Kasubbag Hukum dan KUB Kanwil
Kementerian Agama Jawa Timur, 28 April 2017
69
Ibid.

69
Lambatnya sosialisasi ajaran Khonghucu
memerlukan tindakan affirmatif, selama ini pendidikan
agama di universitas dan sekolah seringkali dianggap
sebagai kegiatan biasa70. Keterbatasan pengajar didukung
oleh Matakin Jawa Timur dengan berbiaya mandiri, tidak
didukung secara khusus. Tindakan afirmatif diperlukan
untuk meningkatkan pelayanan terhadap umat Khonghucu.
Umat Khonghucu di Surabaya lebur dalam karakter
Suroboyoan dan Jawa Timuran. Cukup memberi warna
dalam aspek bahasa dan kehidupan sosial, termasuk dalam
beraktifitas, membaur dengan masyarakat. Kegiatan di
Kelenteng Boen Bio,seperti barongsai dan pelatihan silat,
umat selain Khonghucu melibatkan orang berbeda agama
dan tidak selalu berasal dari etnis Tionghoa.

Dampak Terhadap Kehidupan Keagamaan


Surabaya dapat dianggap miniatur keberagaman dan
keberagamaan, cukup toleran dan tidak terbangun dalam
sentimen yang serius. Candaan Surabaya mungkin saja
mengurangi ketegangan antarpenganut agama. Kehidupan
keagamaan di Surabaya, terutama sejak perjuangan
pernikahan dalam agama Khonghucu tahun 1996 sangat
kondusif, dukungan publik saat itu membuat perjuangan
komunitas memiliki spirit sampai tingkat yang optimal.
Sebagai akhir paparan dari kajian mengenai
Khonghucu di Surabaya, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan penganut Khonghucu di Surabaya bukanlah
sesuatu yang asing mengingat sejak zaman Majapahit,

70
Wawancara dengan Ws. Dr. Ongky Setio Kuncoro, 29 April 2017

70
Ujung Galuh71 telah dihuni oleh kalangan Tionghoa.
Hubungan antarpenganut telah berlangsung sekian
ratus tahun, begitu juga dengan relasi di zaman modern
Jawa Timur memiliki catatan peristiwa yang cukup banyak
menyangkut Khonghucu dan komunitas Tionghoa, baik di
zaman kemerdekaan sampai dengan gejolak perjuangan
penganut Khonghucu mendapatkan pengakuan di era 90
an.
Dinamika internal antarpenganut Khonghucu
dapat ditrasmisikan ke dalam tindakan yang produktif
dan wacana yang kaya menyangkut perannya terhadap
republik. Disamping pelayanan sipil yang diperoleh mulai
membaik pasca reformasi, tetapi tindakan khusus untuk
meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan tetap perlu
segera dilakukan.
Posisi vital klenteng perlu dipahami sebagai
pekerjaan rumah untuk membenahi posisi umat Khonghucu
terhadap pemerintah, misalnya pembenahan terhadap
karut marutnya klaim rumah ibadah dengan umat lain.
Secara umum pemaparan ini menjawab tujuan penelitian,
yaitu diperolehnya deskripsi bentuk layanan yang sudah
dan belum diberikan oleh pemerintah. Kemudian deskripsi
layanan keagamaan yang dibutuhkan oleh umat beragama
Khonghucu. Serta telah tersedia data hubungan umat agama
Khonghucu dengan umat lainnya.
Sebagai penutup studi tentang Khonghucu di Kota
Surabaya, penulis merekomendasikan diantaranya perlu
adanya Pusat Bimbingan Masyarakat Agama Khonghucu

71
Nama lain dari Surabaya di zaman Jawa Kuno, terkenal di
zaman Majapahit.

71
Kementerian Agama bersama dengan Majelis Tinggi
Agama Khonghucu yang menetapkan pakem keagamaan
Khonghucu secara kuat dan terhindar dari bias tradisi
Tiong Hoa, meskipun nilai dasarnya secara sosiologis hidup
seiring dengan komunitas.
Perbedaan di kalangan petinggi keagamaan
Khonghucu haruslah dipandang sebagai aset dan potensi,
kondisi tersebut memunculkan berbagai kelebihan dan
kekurangan yang dapat dimanajemen dengan baik. Untuk
itu, jalan penyelesaian melalui cara yang humanis dan
beradab akan membuat umat senang.
Pusat Bimbingan Masyarakat Agama Khonghucu
perlu memerjuangkan kekurangan penyuluh di Jawa
Timur, memertimbangkan aspek rasio umat dan kebutuhan
pembinaan segera dirumuskan bersama antarelemen.

72
Bagian IV

KHONGHUCU DAN PROBLEM IDENTITAS


DI KEPULAUAN RIAU

Oleh: Edi Junaedi

Potret Keagamaan Provinsi Kepulauan Riau


Berikut adalah informasi jumlah penduduk provinsi
Kepulauan Riau dilihat dari agama yang dianut oleh
penduduk berdasarkan data sensus penduduk 2010. Dikutip
dari laman situs BPS ruang sensus 2010. Berdasarkan data
sensus tersebut, jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 1.679.163 jiwa, populasi terbanyak berada di Kota
Batam.
Agama yang paling banyak dianut, penduduk
Provinsi Kepulauan Riau adalah Islam. Berikutnya Agama
Kristen, Buddha dan Katolik. Agama Islam menjadi
mayoritas disemua kabupaten dan kota. Agama Kristen
dengan jumlah besar tinggal di Kota Batam dan Tanjung
Pinang, Agama Buddha berada di Kota Batam, Tanjung
Pinang dan Kabupaten Karimun. Berikut dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 2: Pemeluk Agama di Kepulauan Riau
Kota/
Kabupaten Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Khc Jumlah
Karimun 179,006 7,529 2,284 31 22,650 629 212,561
Bintan 123,332 7,554 2,920 215 6,983 568 142,300
Natuna 66,599 863 257 7 770 228 69,003
Lingga 78,355 1,544 898 3 4,774 585 86,244
Kepulauan 34,642 808 933 5 1,007 10 37,411
Anambas
Kota Batam 701,132 158,392 28,744 1,075 51,432 1,003 944,285

73
Kota/ Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Khc Jumlah
Kabupaten
Kota
Tanjung 149,135 10,886 2,216 205 24,114
Pinang 366 187,359
Jumlah 1,332,201 187,576 38,252 1,541 111,730 3,389 1,679,163
Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia

Layanan Keagamaan oleh Pemerintah


Sejauh ini Kementerian Agama melalui Kanwil
Provinsi Riau, khususnya Bagian Kerukunan Umat
Beragama, sudah melakukan pembinaan kepada umat
Khonghucu. Bahkan, pernah juga dilakukan workshop bagi
guru agama Khonghucu di Kepri, seperti yang dilakukan
pada tahun 2012 di Batam (Wawancara dengan Sidiq,
Kasubbag KUB Kanwil Kepri, 20 April 2017).
Selain itu, pemberian bantuan rumah ibadat pun
sudah direalisasikan kepada beberapa Klenteng di Kota
Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan Kota Batam.
Terakhir, Kemenag Pusat menggelontorkan dana 400 juta
untuk bantuan pendirian Klenteng Baru di Kota Batam,
yang sampai penelitian ini dilakukan sudah terwujud
dan digunakan untuk ibadah, walau belum sepenuhnya
rampung. (Mursal, Staf KUB Kanwil Kepri, 19 April 2017,
dan Soedarmadi, Ketua Matakin Batam, 20 April 2017).
Pendataan umat Khonghucu di Kepri terus berjalan,
setidaknya sampai dengan Mei 2017, terus berjalan proses
pembenahannya. Namun, di lapangan mengalami beberapa
kendala, antara lain: Pertama, masih ada keengganan dari
masyarakat Tionghoa yang berkeyakinan Khonghucu
untuk pindah agama, karena masalah ini bagi mereka

74
tidak dianggap prioritas/penting (Wawancara Sidiq, idem);
Kedua, sebagian malas untuk mengurus perpindahan status
agama di KTP, karena tidak mau disibukkan dengan urusan
administratif (Wawancara Sidiq, idem); Ketiga, ada juga yang
enggan karena soal warisan (Wawancara Mursal, idem);
Keempat, sebagian elit enggan karena sudah memiliki jabatan
di organisasi agama Buddha (Sakwan, Sekjen Walubi Kepri,
7 Mei 2017).
Angka-angka yang muncul dalam tabel BPS Provinsi
Kepri di atas, menurut Kasubag TU Kanwil Kemenag
baru sebagian umat Khonghucu yang mau mengurus
KTP-nya. Data riil di lapangan menjelaskan, masih cukup
banyak umat Khonghucu yang belum mengurus identitas
kependukannya dengan berbagai alasan (Sidiq, 6 Mei
2017), sebagaimana dijelaskan di atas. Pendataan dengan
pola tertentu, dengan kartu keanggotaan Klenteng di Kota
Tanjung Pinang pernah dilakukan.
Sangat disayangkan, hal itu tidak berlanjut dan
hanya terdata sampai tahun 2009. Dari sekian persoalan
Khonghucu yang ada, soal rumah ibadat ini juga masih
masalah pada aspek pendataannya. Dengan sejarahnya yang
panjang, etnis Tionghoa di Provinsi Kepri memiliki jejak
keagamaan yang cukup kuat. Sejauh penelusuran peneliti di
lapangan, Klenteng banyak berdiri di sejumlah kabupaten
dan kota dalam wilayah provinsi ini. Hanya saja, pada saat
Khonghucu dilegalisasi sebagai sebuah agama yang dilayani
pemerintah sejak keluarnya Perpres No. 6 Tahun 2000, maka
keberadaan Klenteng menyisakan sebuah persoalan. Dari
sekian Klenteng yang ada, manakah yang menjadi rumah
ibadat Khonghucu dan manakah yang Buddha? Sampai
hari ini, kepemilikan Klenteng secara absah belum selesai.

75
Karena itu, Soedarmadi (Ketua Matakin Kepulauan Riau)
berpendapat bahwa sebelum menyelesaikan persoalan
Khonghucu yang lain, maka kejelasan rumah ibadat
Khonghucu harus jadi prioritas.

Bentuk Layanan Keagamaan yang Dibutuhkan


Kalau bicara soal kebutuhan layanan keagamaan oleh
umat Khonghucu, sebenarnya tidak perlu dipertanyakan.
Kebutuhan itu hampir bisa dipastikan adanya. Hanya
masalahnya, bagaimana mungkin bisa mengukur skala
kebutuhan itu bila data keagamaannya sendiri belum jelas.
Semestinya pendataan umat harus diprioritaskan. Agar
lebih efektif, maka seharusnya diselesaikan soal kejelasan
status Klenteng, apakah milik umat Khonghucu atau
Buddha (Soedarmadi, Ketua Matakin Batam, 20 April 2017).
Dengan data yang ada, tingkat kebutuhan umat
Khonghucu di Kepulauan Riau masih sangat tinggi. Selain
soal kemandirian rumah ibadat yang belum jelas, keberadaan
tokoh agama Khonghucu juga masih minim. Jangankan
Wen Shi (Guru Agama), Jiao Sheng (Penebar Agama) di tiap
Kelenteng saja relatif kekurangan, apalagi setingkat Xue Shi
(Pendeta). Karena itulah, tidak mengherankan bila sekolah
agama di Kelenteng pun relatif minim dan sepi jamaah.
Ini misalnya tampak terjadi di Klenteng Sam Guang Bio
Kota Tanjung Pinang. Kondisi tersebut diakui oleh Srijoto,
seorang Wen Shi di Klenteng tersebut (Srijoto, 20 April 2017).
Bahkan, hampir bisa dikatakan semua unsur
fasilitasi keagamaan Khonghucu masih tinggi tingkat
kebutuhannya, baik hal yang bersifat fisik maupun personil
tenaga keagamaan, setidaknya Jiao Sheng, penebar agama

76
(Soedarmadi, 12 Mei 2017). Namun lagi-lagi, penyelesaian
secara tegas dengan Umat Buddha terkait rumah ibadat
(Kelenteng) menjadi prioritas utama.

Hubungan Sosial Umat Khonghucu


Melihat soal ini, bisa menilik dari aspek problematika
sosial Kepulauan Riau. Secara umum provinsi pecahan dari
Riau ini secara statistik termasuk dalam kategori aman, tidak
banyak terjadi konflik sosial. Relasi sosial antarkelompok
etnis dan agama di Provinsi ini sangat baik, termasuk dalam
hal ini relasi sosial umat Khonghucu dengan umat lainnya.
Etnis Tionghoa, etnis mayoritas umat Khonghucu,
punya sejarah panjang di bumi Kepri, khususnya di Pulau
Bintan. Karena itulah, apa yang ditemukan di lapangan
dari aspek interaksi sosialnya, umat Khonghucu cukup
harmonis dengan umat agama lainnya. Dengan umat Islam
misalnya, relasinya cukup harmonis di daerah Senggarang
dan Kota Tanjung Pinang pada umumnya. Hal ini bisa
tergali dari pengakuan Ustadz Madyan yang tinggal di
daerah Senggarang, sebuah daerah yang dianggap salah
satu kantong komunitas Tionghoa di Kota Tanjung Pinang
dan banyak berdiri Klenteng dan Vihara di sana. (Madyan,
6 Mei 2017).
Kalaupun terjadi ketegangan, hemat peneliti,
itu lebih disebabkan karena euforia sebagian elit umat
Khonghucu yang merasa mendapatkan “angin segar”
dengan legalitas Khonghucu sebagai agama ke-6 di bumi
nusantara yang diberikan di era pemerintahan Abdurahman
Wahid. Peristiwa konflik perebutan Klenteng sebagai
rumah ibadah pernah terjadi di daerah Tanjung Batu, Pulau

77
Kundur, Kepri. Setelah terbitnya Keppres Abdurrahman
Wahid Tahun 2000, elit Umat Khonghucu merasa berhak
untuk memasang patung dewa di sebuah Klenteng daerah
Tanjung Batu yang dijadikan tempat beribadah bersama
Tri Dharma, di bawah pengelolaan Yayasan Dharmasanti.
Walau sempat melibatkan pihak aparat keamanan, akhirnya
konflik tersebut bisa diselesaikan dengan memberikan ruang
khusus di luar sebelah kiri bangunan utama Klenteng untuk
meletakkan patung dewa Khonghucu tersebut. (Herman,
Edin, dan Kasman, 12 Mei 2017).
Selebihnya, relasi umat Khonghucu dengan umat
agama lain bisa dianggap cukup harmonis dan tidak
mengalami konflik yang krusial. Jadi, ketegangan hubungan
di lapangan hanya terjadi dengan umat Buddha, karena
memang pada awalnya mereka satu atap di bawah naungan
Tri Dharma akibat terbitnya Inpres No. 14 Tahun 1967 pada
masa Orde Baru yang membatasi agama, kepercayaan, dan
adat istiadat China. Sejak munculnya Keppres Gusdur tahun
2000, umat Khonghucu seakan menjadi umat minoritas dan
mesti membangun kembali komunitasnya yang telah pudar
sejak tahun 1967.
Dari temuan lapangan di atas, maka bisa disimpulkan
beberapa hal berikut: Pertama, negara sesungguhnya
sudah cukup memfasilitasi layanan keagamaan kepada
umat Khonnghucu di Kepri, baik dari hal fisik seperti
pembangunan Kelenteng sampai pembinaan umatnya.
Namun demikian, hal itu hanya berjalan begitu saja tanpa ada
ukuran yang jelas. Ini terutama diakibatkan ketidakjelasan
data dan atribut keagamaan umat Khonghucu di Kepri,
terutama soal rumah ibadah (baca: Klenteng) yang masih
tarik-menarik dengan umat Buddha.

78
Kedua, tingkat kebutuhan akan fasilitas keagamaan
jelas masih tinggi, karena jumlah tenaga keagamaan
umat Khonghucu masih terbatas. Namun dalam hal ini,
pengadaannya cukup mengalami persoalan karena belum
jelasnya data keagamaan seperti disebutkan di atas. Ketiga,
hubungan sosial keagamaan umat Khonghucu dengan umat
lainnya relatif harmonis dan terjaga dengan baik. Kalaupun
ada, itu hanya terjadi dengan umat Buddha, di mana sejak
tahun 1967 keduanya mengalami kebersamaan yang sangat
lama di bawah naungan Tri Dharma. Dengan terbitnya
Keppres Gusdur Tahun 2000, keduanya seakan mengalami
mengalami sindrom ketidaksiapan untuk berpisah.
Berangkat dari kesimpulan tersebut, maka bisa
diinisiasi beberapa poin rekemondasi sebagai berikut:
Pertama, perlu dilakukan upaya penyelesaian bersama
antara elit umat Khonghucu dengan umat Buddha tentang
rumah ibadat, terutama beberapa Klenteng yang memiliki
sejarah dan sudah berdiri sebelum terbitnya Inpres Orde
Baru Tahun 1967. Langkah ini bisa difasilitasi di bawah
koordinasi Pusat Pemberdayaan Umat Khonghucu,
Kementerian Agama RI. Kedua, perlu langkah-langkah yang
lebih efektif untuk melakukan pendataan umat Khonghucu
oleh tokoh-tokoh agama Khonghucu, didukung kebesaran
hati oleh tokoh-tokoh agama Buddha. Ketiga, soal konversi
data kependudukan bagi umat Khonghucu, perlu dilakukan
mekanisme yang lebih mudah dan tidak memberatkan dalam
pengurusanKTP. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan oleh
Kanwil Kementerian Agama Kepulauan Riau berkerjasama
dengan Dinas Dukcapil dalam mempermudah pengurusan
KTP bagi umat Khonghucu bisa dijadikan contoh yang baik
dan perlu juga dilakukan di tempat lain. Wallahu a’lam.

79
80
Bagian V

UMAT KHONGHUCU PURWOKERTO


Oleh: Zaenal Abidin Eko Putro

Penganut Konghucu di Banyumas

D
alam kajian-kajian Tionghoa Indonesia, khususnya
kajian para penganut Konfucian (Agama
Khonghucu), wilayah Banyumas jarang sekali
disentuh. Untuk konteks Jawa Tengah, komunitas Tionghoa
yang paling sering ditulis antara lain komunitas Tionghoa
di Surakarta, dan di wilayah-wilayah kota pantai utara
(pantura). Tulisan-tulisan tersebut pun lebih diwarnai
konflik rasial ketimbang isu-isu yang terkait dengan
eksistensi kelompok Tionghoa dalam mengembangkan dan
melestarikan kultur serta identitas kelompoknya. Padahal
komunitas Tionghoa dan segala bentuk eskpresi budaya
dan kiprah ekonominya dapat ditemukan di Jawa Tengah
secara umum, termasuk juga di wilayah Banyumas dengan
kotanya, Purwokerto.
Penglihatan secara khusus diarahkan pada
keberadaan umat Agama Khonghucu di Banyumas yang
ternyata telah menetap di sini sejak jauh sebelum masa
kemerdekaan. Bukti kuatnya antara lain secara fisik sekolah-
sekolah Tionghoa yang berdiri tahun 1920-1930 yang masih
dapat ditemukan peninggalannya hingga saat ini. Begitu
juga dengan keberadaan Klenteng-Klenteng yang ada di
Banyumas.
Berbeda dengan beberapa wilayah lain, komunitas
Tionghoa di Banyumas menetap secara berpencar di

81
berbagai kampung di kabupaten ini. Kongkritnya, tidak
terdapat kampung Pecinan di wilayah ini. Mereka menyatu
saja dengan masyarakat Jawa di kampung-kampung
setempat. Sedikit berbeda, hanya mereka tinggal lebih
dekat dengan lokasi pasar-pasar setempat. Belakangan
baru muncul komplek-komplek perumahan yang ditinggali
komunitas Tionghoa.
Begitu pula di wilayah Kota Purwokerto sendiri,
komunitas Tionghoa merata di setiap kecamatan, baik
Kecamatan Purwokerto Timur, Purwokerta Selatan,
Purwokerto Utara dan Purwokerto Barat. Demikian
halnya juga di Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Sokaraja,
Kecamatan Banyumas, Kecamatan Cilongok dan beberapa
kecamatan lain. Di Kabupaten Banyumas sendiri terdapat
tempat ibadah yang berunsur Tionghoa (klenteng) terdapat
3 buah, yaitu di Kecamatan Sokaraja, Kecamatan Banyumas
dan di Kecamatan Purwokerto.
Umat Khonghucu terkonsentrasi di Klenteng Hok
Tek Bio yang terletak di Kecamatan Purwokerto Timur.
Klenteng ini cukup mudah ditemukan karena lokasinya
berada di seberang pasar Wage, pasar yang cukup terkenal
di Kota Purwokerto. Walaupun bukan dikhususkan untuk
umat Khonghucu, dan umat Khonghucu membuat lithang
di komplek klenteng ini, pengurus utama di klenteng ini
merupakan pemeluk Khonghucu yang aktif di organisasi
Makin Purwokerto.
Melihat kondisi demikian, agak mengherankan ketika
terdengar terjadinya ketegangan di kalangan internal umat
Khonghucu di Banyumas dengan puncaknya didirikannya
Perkumpulan Rohaniwan Khonghucu Indonesia (Parakhin).
Organisasi ini disinyalir merupakan organisasi tandingan

82
Majelis Tinggi Agama Khonghucu di Indonesia (Matakin),
satu-satunya organisasi umat Khonghucu yang ada selama
ini. Di sinilah daya tariknya untuk melakukan penelusuran
lebih jauh terhadap umat Khonghucu di wilayah ini.
Walaupun, sejatinya Purwokerto dikenal bukan basis
komunitas Tionghoa, dan umat Khonghucu khususnya,
namun kemunculan Parakhin itu sendiri memunculkan
sebuah tanda tanya besar.
Keberadaan umat Khonghucu secara nasional,
mulai dikenal kembali secara luas terutama pasca
Reformasi, sebab pada masa Orde Baru agama Khonghucu
dimarginalkan, seolah-olah mati. Kemudian secara perlahan
seiring pergantian presiden, umat agama Khonghucu
semakin mendapatkan tempat dan memiliki hak yang
sama dengan agama-agama lain di Indonesia. Keberadaan
agama Khonghucu yang telah termuat dalam UU No. 1/
PNPS/1965 tentang Pencegahan penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Agama-
agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, kembali
dibebaskan untuk berkembang pasca Orde Baru.
Status keberadaan agama Khonghucu dipulihkan
menyusul dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 6 Tahun
2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang
larangan terhadap Agama Kepercayan dan Adat istiadat,
serta hal-hal yang berbau China secara terbuka di muka
umum. Seiring dengan waktu umat agama Khonghucu mulai
dapat membuka diri di masyarakat dan berinteraksi layaknya
warga negara Indonesia lainnya. Dengan keberadaan umat
agama Khonghucu dilayani secara administrasi negara,
sehingga negara pun berkewajiban memenuhi kebutuhan

83
umat agama Khonghucu secara administratif pula.

Sekilas Wilayah Banyumas


Berbicara tentang Banyumas, pembacaan
terhadapnya dapat diarahkan setidaknya pada dua hal,
yaitu sisi wilayah geografis dan sisi bangunan kultur
spesifik wilayah ini. Untuk yang pertama, akan disinggung
lebih detail di bagian selanjutnya. Banyumas sebagai
bangunan kultur, dapat dilihat dari sisi bahasa yaitu bahasa
Banyumasan, Bahasa Jawa dialek ngapak, sangat khas dan
menempati ruang kebahasaan Jawa tersendiri.
Dialek ngapak tidak dapat serta merta dibanding-
bandingkan dengan dialek Bahasa Jawa yang lain. Dialek
ngapak ini tidak terbantahkan menjadi penjelas identitas
orang Banyumas dan penutur ngapak yang meliputi bukan
hanya masyarakat yang menetap di wilayah Kabupaten
Banyumas saja, melainkan juga meluas sampai pada
wilayah-wilayah di sekitarnya seperti Purbalingga, Cilacap,
Kebumen, Pemalang, Tegal, Brebes dan sekitarnya.
Bahasa ngapak dipersepsi sebagai bahasa yang lucu
dan bahkan menjadi bahan lelucon yang menghibur, alih-
alih sebagai bahasa yang mencerminkan nilai-nilai budaya
yang luhur, sebagai identitas masyarakat Banyumas atau
yang dikenal dengan istilah Wong Banyumasan. Masih
banyak orang yang menganggap Bahasa Ngapak sebagai
bahasa kasar dan bahasa rakyat jelata sehingga banyak
juga orang Banyumas sendiri yang tidak merasa bangga
dengan Bahasa Ngapak, bahkan cenderung menghindari
penggunaan Bahasa Ngapak dan merasa malu kalau
berbahasa Ngapak dengan orang dari luar daerahnya.

84
Hingga saat ini, Bahasa Ngapak masih dipakai
di wilayah-wilayah eks Karesidenan Banyumas, seperti
Kabupaten Kebumen, Pemalang, Tegal, Brebes, bahkan
sampai ke bagian timur dan pantai utara wilayah Cirebon,
yakni Kabupaten Indramayu dan Karawang, yang kini
masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Menariknya terdapat pendapat yang beredar bahwa
Bahasa Jawa dialek Banyumas merupakan warisan dari
zaman Majapahit dan bahasa masyarakat pada umumnya
(lingua franca). Karena itu, tidaklah tepat jika ada anggapan
yang menyebutkan bahwa Bahasa Banyumasan/ Bahasa
Ngapak adalah bahasa Jawa kasar. Bahasa Ngapak justru
menunjukkan sikap egaliter dan tidak memandang status.
Bahasa Ngapak eksis bukan hanya dalam bentuk
lisan saja tetapi juga tulisan. Di Banyumas ditemukan naskah
Babad Banyumas tertua yang berasal dari abad ke-16 atau
17, yang menggunakan bahasa Ngapak. Karena itu, masuk
akal jika logat Banyumasan (ngapak) ditengarai sebagai
logat Bahasa Jawa yang tertua. Padmosoekotjo (dalam
Herusatoto, 2008) menyatakan bahwa Bahasa Jawa Asli
(Jawadwipa) sudah ada jauh sebelum Aji Saka menciptakan
aksara Jawa.
Saat itu bahasa lisan yang digunakan masih
berbentuk ngoko lugu, seperti bahasa Ngapak saat ini. Hal
ini ditandai dengan adanya beberapa kata dalam bahasa
Kawi/Sansekerta yang merupakan nenek moyang dari
bahasa Jawa yang masih dipakai dalam bahasa Ngapak,
seperti kata rika (Jawa = kowé, Indonesia = kamu), juga kata
inyong yang berasal dari ingong, serta pengucapan vokal
‘a’ yang utuh, tidak seperti ‘å’ (baca: ‘ a’ tipis/miring) yang
menjadi pengucapan dialek Banyumasan seperti halnya

85
bahasa Sansekerta. Sebelum terkena pengaruh dari keraton/
kerajaan, hampir tidak ada perbedaan antara krama inggil dan
ngoko dalam Bahasa Jawa. Namun, setelah masa kerajaan-
kerajaan Jawa, bahasa Jawa mengalami penghalusan,
artinya, bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan yang
dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya
walaupun maknanya sama.
Gaya pengucapan bicaranya hampir-hampir
bibirnya tidak terbuka karena harus selalu berbicara dengan
perlahan atau dengan berbisik-bisik, baik terhadap Sang
Raja maupun dengan sesama gandhek. Tidak hanya dalam
mengucapkan vokal ‘a’ saja, tetapi hampir seluruh huruf
pun terdengar diucapkan dengan suara yang lebih ringan
atau lemah, termasuk huruf-huruf lain yang seharusnya
diucapkan dengan mantap, seperti d, g, h, j, k, o, dan w.
Rupanya penggunaan bahasa Jawa dialek gandhek
itu justru menarik minat Sultan Hadiwijaya, yang semasa
mudanya dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang
menganggap bahasa Jawa logat gandhekan itu dirasa lebih
halus, lebih sopan, dan lebih dapat menahan diri, walaupun
para gandhek berada dalam situasi dan perasaan yang
emosional. Hal ini didasarkan atas penilaian Sultan dalam
keseharian para gandhek yang sedang menjalankan tugas,
yaitu selalu manahan diri dalam situasi dan kondisi apapun.
Geografi dan Demografis
Wilayah Kabupaten Banyumas terletak di sebelah
Barat Daya di Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah
Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara
dengan 132.759,56 ha. Kabupaten Banyumas terbagi dalam
27 kecamatan, dengan wilayah terluas lebih dari 10 ribu

86
hektar, sedangkan wilayah kecamatan terkecil adalah
kecamatan Purwokerto Barat yang hanya mencapai luas 740
hektare (BPS Banyumas, 2014).
Penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun
2013 tercatat berjumlah 1.605.579 orang, yang terdiri dari
802.316 laki-laki dan 803.263 perempuan. Dari jumlah
tersebut terlihat 3 kecamatan yang merupakan urutan
teratas jumlah penduduknya yaitu Cilongok (113.187 orang),
Ajibarang (92.612 orang), dan Sokaraja (80.763 orang).
Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling
sedikit adalah Purwojati dengan jumlah 31.414 orang.
Dengan luas Wilayah kabupaten Banyumas sekitar
1.328 kilomenter persegi didiami oleh 1.605.579 orang maka
rata-rata tingkat kepadatan penduduk sebanyak 1.209 orang
per kilometer persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat
kepadatan penduduknya adalah Purwokerto Timur yakni
sebanyak 6.874 orang per kilometer persegi, sedangkan yang
paling rendah adalah Kecamatan Lumbir dengan kepadatan
sebanyak 428 orang per kilometer persegi. (BPS Bnyumas,
2014).
Sangat disayangkan, bahwa di data BPS Kota
Banyumas, belum terdapat penduduk berdasarkan etnis,
sehingga tidak mudah untuk menentukan entitas etnis apa
saja yang menetap di wilayah ini. Hal ini boleh jadi telah
menguat identitas tunggal apa yang dinamakan wong
Banyumas. Oleh karena itu, semua orang yang tinggal di
Banyumas telah mengaku dirinya sebagai orang Banyumas,
tanpa memperdulikan lagi latar belakang etnisnya. Hal ini
pula yang menyulitkan untuk mengidentifikasi seberapa
besar etnis Tionghoa di Banyumas. Informasi diperoleh
berdasarkan penuturan yang didasarkan pada perkiraan

87
informan.
Secara perkiraan, etnis Tionghoa sekitar mencapai
angka 30 persen dari total populasi masyarakat Banyumas.72
Artinya jumlahnya terbilang kecil. Jejak-jejaknya pun tampak
jelas. Komunitas Tionghoa telah membangun sekolah-
sekolah Tionghoa yang berdiri tahun 1920-1930 dan masih
dapat ditemukan peninggalannya hingga saat ini. Demikian
pula dengan Klenteng-klenteng yang ada di Banyumas.
Komunitas Tionghoa di Banyumas menetap secara
berpencar di berbagai kampung di kabupaten. Oleh sebab
itulah, tidak terdapat kawasan Pecinan di wilayah ini
(Wawancara dengan Akhsin Aedi, Kasubbag TU Kemenag
Banyumas, 7 Mei 2017). Mereka telah menyatu dengan
masyarakat Jawa di kampung-kampung dan menyatu
dengan warga setempat. Sedikit berbeda, hanya mereka
tinggal lebih dekat dengan lokasi pasar-pasar setempat.
Jika belakangan berdiri perumahan-perumahan,
seperti Perumahan Permata Hijau yang terbilang perumahan
elit dan yang kebanyakan ditinggali komunitas Tionghoa,
perkembangan demikian itu belakangan saja baru muncul.
Begitu pula di wilayah Kota Purwokerto sendiri, komunitas
Tionghoa merata di setiap kecamatan, baik Kecamatan
Purwokerto Timur, Purwokerta Selatan, Purwokerto Utara
dan Purwokerto Barat. Demikian halnya juga di Kecamatan
Ajibarang, Kecamatan Sokaraja, Kecamatan Banyumas,
Kecamatan Cilongok dan beberapa kecamatan lain.
Sesuai dengan data Kemenag Kabupaten Banyumas,
yang dirujuk oleh BPS Kabupaten Banyumas, tempat

72
Wawancara dengan Chumaidi Yusuf, Koordinator Gusdurian
Banyumas, tanggal 15 Mei 2017.

88
ibadat yang berunsur kecinaan (klenteng) terdapat 3 buah,
yaitu di Kecamatan Sokaraja, Kecamatan Banyumas dan
di Kecamatan Purwokerto Timur (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas Dalam Angka
2015; jumlah Tempat Peribadatan Menurut Kecamatan di
Kabupaten Banyumas, 2015).
Umat Khonghucu terkonsentrasi di Klenteng Hok
Tek Bio yang terletak di Kecamatan Purwokerto Timur.
Klenteng ini cukup mudah ditemukan karena lokasinya
berada di seberang pasar Wage, pasar yang cukup terkenal
di Kota Purwokerto. Walaupun bukan dikhususkan untuk
umat Khonghucu, dan umat Khonghucu membuat lithang di
komplek Klenteng ini, namun pengurus utama di Klenteng
ini merupakan pemeluk Khonghucu dan aktif di organisasi
Makin Purwokerto (Wawancara dengan Maryati, salah
seorang rohaniwan (jiaosheng) Khonghucu di Purwokerto,
tanggal 13 Mei 2017). Letak Klenteng ini persis di belakang
Pasar Wage, Purwokerto. Klenteng ini berdiri tahun 1831
dan telah mengalamidua kali renovasi hingga bentuknya
sekarang (Klenteng Hok Tek Bio) tak hanya untuk umat
Khonghucu. Menurut informasi, dua Kelenteng lain (1 di
Kecamatan Banyumas dan 1 lagi kecamatan Sokaraja), umat
Khonghucu belum mendominasi.73
Perkiraan mencapai 30 persen itu terkonfirmasi pada
saat pengamatan terhadap pelaksanaan car free day (CFD)
yang menutup jalan dari alun-alun hingga Jalan Sudirman.
Acara CFD di hari Minggu 14 Mei 2017 itu tampak sepi. Para
pengguna jalan yang mungkin melakukan aktivitas olahraga

73
http://banyumasnews. Com/6204/klenteng-hok-tek-bio-tak-
hanya-untuk-umat-Khonghucu/, diakses 17 Mei 201).

89
dan transaksi aneka kuliner secara ramai di acara seperti
ini juga tidak tampak. Lebih-lebih, tidak dijumpai wajah-
wajah oriental di sepanjang jalanan lengang itu, kecuali
etnis Jawa/Melayu yang melakukan aktivitas santai di acara
CFD dalam beberapa kelompok kecil yang berlangsung dari
pukul 5 sampai 8 pagi itu. Secara umum, hari itu cukup sepi
untuk ukuran sebuah car free day.
Di Banyumas terdapat makam Tionghoa, komplek
Bong Muntang terletak di kelurahan Tanjung, Kecamatan
Purwokerto Selatan, Banyumas. Berdiri pada tahun 1823
dengan luas areal ±8 hektar. Tipologi Bong Muntang Tanjung
Banyumas tidak terlepas dari kosmologi Feng Shui sebagai
bagian dari ajaran Tridarma; Konfusianisme, Taoisme dan
Budhisme (Asiati, 2017: 18).
Agama Khonghucu di Purwokerto
Secara umum, umat Khonghucu di Purwokerto
tidak berbeda dengan umat Khonghucu di wilayah lain
di Indonesia. Dengan dipimpin para rohaniwan, umat
Khonghucu di Purwokerto melakukan kegiatan kebaktian,
terutama pada peristiwa upacara hari besar umat Khonghucu,
memperingati hari lahir dan wafat nabi Khonghucu, Ibadah
Ching Bing (Cheng Beng atau Ching Ming), kegiatan
pendalaman Kitab Suci, pengajaran kaligrafi Mandarin,
pengajaran Bahasa Mandarin, pelayanan keagamaan,
mimbar Agama Khonghucu, upacara persaudaraan, dan
kegiatan-kegiatan sosial.
Pusat kegiatan umat Khonghucu di Purwokerto
bertempat di Klenteng Hok Tek Bio yang berlokasi di Jalan
Wihara, dekat Pasar Wage, Purwokerto. Di dalam klenteng

90
tersebut, juga didirikan litang74 yang khusus digunakan oleh
umat Khonghucu. Akan tetapi, hambatan terhadap umat
Khoghucu sendiri dari dalam internal klenteng tidak tampak
di sini, sebab umat Khonghucu sangat kuat pengaruhnya di
tempat ibadah ini.

Perkembangan Khonghucu Sebelum Reformasi


Organisasi Majelis Agama Khonghucu di Indonesia
(Makin) Purwokerto, cabang dari Majelis Tinggi Agama
Khonghucu di Indonesia (Matakin) didirikan tahun 1981.
Sebelum berdirinya Makin di Purwokerto, umat Khonghucu
di Banyumas belum secara jelas mengidentifikasi diri
mereka sebagai umat Khonghucu. Mereka kebanyakan
hanya mengikuti ritual ke klenteng atas ajakan orangtua
mereka. Mereka mengimani agama leluhur yang diterima
secara turun temurun. Selebihnya mereka berpartisiapsi
dalam setiap kegiatan klenteng, baik di Purwokerto maupun
di kota sekitarnya, seperti di Tegal.
Informasi tersebut disampaikan tokoh Khonghucu
Banyumas, Nirsam Silun. Ia berupaya menengok ke
belakang, seringkali waktu itu dirinya diajak berpartisipasi
dalam acara-acara pawai Tionghoa dengan mementaskan
tarian barongsai.
“Sebelumnya hanya kenal sembahyang saja. Waktu saya
kecil oleh mamah saya diajak ke klenteng. Waktu itu mamah saya
tidak menjelaskan langsung bahwa agama kita itu Khonghucu.
Pokoknya setiap mamah ke klenteng, saya diajak. Jadi saya dari

74
Merupakan ruang ibadat umat khonghucu, bentuk lain dari
Klenteng/Bio/Miao. Umumnya orang di luar Konghucu menyebut semua
tempat ibadat mereka Klenteng atau Pekhong.

91
kecil sudah dikenalkan mamah saya di klenteng ini”.75
Nirsam Silun yang sekarang menjabat sebagai Ketua
Makin Purwokerto melanjutkan, dalam kunjungan ke salah
satu klenteng di Tegal berikutnya sekitar tahun 1970an,
mereka mulai didorong untuk merintis pendirian Makin
di Purwokerto dan langsung bersentuhan dengan Agama
Khonghucu yang lebih dikenalnya seperti sekarang. Lalu
dikenalkanlah kegiatan kebaktian setiap tanggal 1 dan
15 penanggalan Imlek. Dalam perkembangannya, secara
periodik penceramah-penceramah dari kalangan rohaniwan
Khonghucu datang ke Purwokerto dan melakukan
pembinaan umat.
Tokoh Khonghucu Banyumas lain seperti Hartono
dan juga Sun Eng, menceritakan kegiatan pertemuan
antarumat Khonghucu di wilayah Banyumas di era Orde
Baru. Mereka lebih sering berkomunikasi dan mengadakan
pertemuan dangan umat Khonghucu seluruh wilayah
Priangan Timur. Mereka sering berkunjung ke Ciamis,
Tasikmalaya maupun kota-kota lain yang berdekatan untuk
membicarakan pembinaan umat Khonghucu.
Namun begitu, Orde Baru kemudian menyuguhkan
drama yang memilukan bagi umat Khonghucu. Keluarnya
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI tahun 1978 berakibat
antara lain hilangnya kolom Agama Khonghucu dalam
kolom KTP. Mereka terpaksa menuliskan kolom agama
selain Agama Khonghucu. Kebanyakan identitas mereka
dalam KTP menjadi berubah dan menuliskan Buddha, dan
sisanya agama lainnya yang diakui (Suryadinata, 2006:81,88).

75
Wawancara dengan Nirsam Silun, Ketua Makin Purwokerto,
tanggal 5 Mei 2017

92
Kebijakan itu muncul seiring menguatnya sentimen rasial
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Setelah Orde Baru berakhir, negara memperlakukan
Khonghucu lebih baik. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) melalui Menteri Dalam Negerinya, Surjadi mencabut
surat edaran tersebut melalui instruksi nomor 477/805/
Sj. Kebijakan tersebut tentulah membawa dampak bagi
penamaan diri umat Khonghucu. Hal ini juga terjadi di
Purwokerto. Pelayanan pernikahan secara Khonghucu juga
tidak lagi diperbolehkan, kecuali harus dengan agama-
agama yang diakui. Namun bukan berarti keyakinan
terhadap agama Khonghucu menghilang. Malah sebaliknya
semakin kental seiring dengan terkonsolidasinya kekuatan
hingga dalam perkembangan setelah Reformasi, umat
Khonghucu Purwokerto mampu membeli asset dan
membangun gedung pertemuan.

Agama Khonghucu Pasca Reformasi


Sebagai akibat dari pengekangan era Orde Baru, etnis
Tionghoa beragama Khonghucu secara umum di Indonesia
dan juga di Banyumas mengalami penurunan. Tidak
diakuinya agama Khonghucu dan diikuti pula kebijakan
penggantian nama dari nama-nama Tionghoa ke nama-
nama Nusantara membuat generasi kelahiran tahun 1965
ke atas memilih agama Buddha, Kristen maupun Katholik.
Lebih-lebih, untuk menentukan nama agama dalam kolom
KTP yang memang diharuskan.
Fenomena tersebut juga merambah ke Banyumas.
Karena itu, umat Khonghucu di Banyumas sekarang ini hanya
kalangan Tionghoa yang sudah lanjut usia. Perkembangan

93
pendidikan agama Khonghucu yang disokong Kementerian
Agama membawa perubahan di kalangan anak-anak
Tionghoa, karena mereka kini banyak yang mempelajari
agama Tionghoa di setiap sekolah minggu. Satu generasi
sepertinya lewat, antara usia 25-55 tahun karena pengaruh
kebijakan politik negara waktu itu.76 Di sini berarti untuk
usia-usia tersebut untuk berpindah ke agama leluhur juga
tidak mudah.
Diperoleh informasi juga dari salah satu pengurus
Makin Purwokerto bahwa umat Khonghucu yang telah
terlanjur menuliskan kolom agamanya dengan agama selain
Khonghucu merasa ketakutan dan trauma akan pelarangan
agama Khonghucu yang pernah terjadi dan mungkin saja
akan terulang kembali. Pernyataan tersebut dilontarkannya
atas pengakuan adiknya yang masih enggan untuk
mengganti kolom agamanya dengan agama Khonghucu.
Adiknya tersebut berwiraswasta yang sangat bergantung
pada jaringan bisnis yang diperolehnya.77
Menurut informasi yang disampaikan seorang tokoh
muda aktivis lintas agama dan suku di Purwokerto, di
wilayah Banyumas umumnya etnis Tionghoa paling besar
berafiliasi ke dalam Agama Kristen. Hal ini diperkuat dengan
terdapatnya tiga gereja GKI besar-besar di Purwokerto.
GKI sendiri merupakan sinode yang selama ini dianggap
banyak menghimpun etnis Tionghoa. Selain itu, banyak
juga mengikuti agama Katolik dan juga Islam. Kelompok
Tionghoa Muslim yang tergabung dalam Persatuan Iman
Tauhid Indonesia (PITI) juga cukup dapat diperhitungkan

76
Chumaidi Yusuf, Ibid.
77
Wawancara dengan salah seorang pengurus Makin Purwokerto,
tanggal 5 Mei 2017.

94
di wilayah Banyumas.78
Seperti disebutkan di atas, organisasi Majelis
agama Khonghucu di Indonesia (Makin) di Purwokerto
dapat dikatakan cukup solid di era pelarangan kolom
agama di dalam kolom agama KTP, yakni di era Orba.
Dengan berbagai macam agama yang berbeda terisi
dalam kolom agama KTP mereka, kelompok ini saling
menjaga semangatnya untuk terus mempertahankan
ajaran Khonghucu, antara lain dibuktikan dengan saling
berkunjung kepada umat Khonghucu di kota lain terutama
dengan Makin Parahiyangan Timur. Di forum-forum itu
mereka saling bertukar pikiran dan saling memperdalam
pengertian terhadap ajaran Khonghucu.79
Dengan kondisi demikian, maka umat Khonghucu
di wilayah Banyumas umumnya demikian kompak pada
waktu itu. Hingga pada waktunya dibentuklah arisan
di antara umat Khonghucu dan juga umat-umat lain di
kalangan Tionghoa yang dari sisa dana arisan itu mampu
digunakan untuk membeli aset organisasi. Mereka kemudian
mampu membeli tanah dan mendirikan Gedung Harmoni
(gedung pertemuan, Sekolah, sarana olahraga, dst) yang
luas tanahnya lebih dari satu hektar. Gedung ini terletak di
tengah-tengah kota Purwokerto. Tidak mengherankan jika
aset Khonghucu paling besar di Jawa Tengah dimiliki umat
Khonghucu Purwokerto.
Menurut Hartono, mantan Ketua Makin Purwokerto,
pendirian gedung itu karena dianggap Purwokerto adalah

78
Chumaidi Yusuf, Ibid.
79
Wawancara dengan Hartono, mantan Ketua Makin Purwokerto,
tanggal 15 Mei 2017.

95
kota tengah Pulau Jawa. Selain dapat digunakan sendiri,
tempat pertemuan itu juga dapat digunakan kegiatan umat
agama Khonghucu dari Jawa Tengah, Jawa Barat maupun
Jawa Timur. Tujuan pendirian gedung itu selain untuk
kepentingan umat Khonghucu, juga untuk kepentingan
lain seperti gerak badan, acara-acara besar seperti pesta dan
sebagainya. Selain itu juga muncul keinginan nantinya di
gedung itu akan dibangun layaknya gedung Khonghucu di
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Dalam sisi yang lain, sebenarnya tampaklah di
sini satu hal tentang menguatnya kemandirian komunitas
ini jika melihat kemampuan mereka dalam membangun
gedung pertemuan yang dimiliki bersama, umat Khonghucu
Banyumas, yang bersumberkan dari dana internal institusi.
Tidak tercatat adanya bantuan dari pihak di luar komunitas
ini. Bentuk-bentuk penggalangan dana lainnya juga tidak
terdengar digunakan untuk menyelesaikan pembelian lahan
dan gedung tersebut.
Menginjak era reformasi, setelah pemerintah
mencabut halangan terhadap Agama Khonghucu, maka
diikuti pula dengan pemulihan hak-hak sipil mereka.
Pernikahan, pencatatan kelahiran dan penulisan kolom
agama pada KTP telah definitif menggunakan cara dan
nama Khonghucu. Pernikahan pun juga telah dilakukan
dengan tata cara Khonghucu. Mengikuti nomenklatur
yang berjalan, pembinaan umat Khonghucu di Banyumas
berada dalam koordinasi Biro Hukum dan KUB Kemenag
Kabupaten Banyumas.
Di sinilah betapa sebenarnya terdapat sedikit
perbedaan melihat fenomena pelayanan umat agama
Khonghucu di Banyumas, mengingat tingkat kemandirian

96
yang cukup tinggi di kalangan umat Khonghucu dalam
melakukan pengembangan agamanya. Walaupun belum
terdapat sekolah Khonghucu yang dibangun pemerintah,
umat Khonghucu di Banyumas telah mempunyai sekolah,
baik dalam naungan yayasan maupun pribadi umat
Khonghucu.
Namun begitu, saat ini umat Khonghucu di
Purwokerto yang telah ber-KTP sesuai identitas sejumlah 82
orang, dari perkiraan jumlah total umat Khonghucu sekitar
500an orang. Informasi tersebut diperolah secara lisan dari
seorang tokoh dan rohaniwan Khonghucu di Banyumas.
Adapun angka 82 tersebut dituturkan oleh pejabat Kemenag
Banyumas80, sedangkan apabila mengacu pada data BPS
Banyumas yang ternyata juga merujuk pada data Kemenag
Banyumas, penduduk ber-KTP Khonghucu berjumlah 85
orang.
Sejurus dengan semangat kemandirian umat
Khonghucu seperti disinggung di atas, sekitar tahun 2009
didirikanlah sekolah TK dan SD Mulya Bhakti dengan
memanfaatkan beberapa ruangan di Gedung Harmoni.
Sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan Makin Purwokerto.
Beberapa pendiri dan pengelola menolak dikatakan sekolah
tersebut sebagai sekolah Khonghucu, sebab sekolah itu
ditujukan untuk umum dan mengikuti standar nasional.
Pembinaan sekolah ini beradas di bawah Kemendikbud
dan pernah juga mendapatkan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dari pemerintah.
Walau mereka keberatan dikatakan sekolah

80
Wawancara dengan Kabag TU Kemenag Banyumas, Achsin
Aedi, tanggal 8 Mei 2017.

97
Khonghucu, namun yayasan yang mendirikan sekolah ini
bercirikan Khonghucu (Yayasan Makin Purwokerto). Begitu
pula, walau pembinaan berada di bawah Kemendikbud,
namun ciri Khonghucu sulit lepas dari sekolah ini. Lebih-
lebih sewaktu observasi secara langsung ke sekolah ini, di
antara guru dan murid menggunakan pai (salam Khoghucu)
dan mengucapkan, wi tek tong Tien. Ciri nasionalnya
barangkali tampak dari pengajarnya yang bukan saja
beragama Khonghucu. Malah terdapat pula beberapa guru
berjilbab.
Model Pelayanan Pemerintah
Setelah agama Khonghucu diakui kembali dan
dilayani pemerintah, bagaimana selanjutnya pelayanan
pada umat Khonghucu khususnya di Purwokerto? Umat
Khonghucu di Purwokerto dan mungkin juga di kota-kota
lain, cukup independen dalam memenuhi kebutuhannya.
Di Banyumas, belum pernah terdengar mereka meminta
dana kepada pihak lain untuk menyelenggarakan sebuah
kegiatan kegamaan yang mereka lakukan. Untuk kebutuhan
pembelian lahan, pembangunan gedung serta dana untuk
kegiatan-kegiatan keagamaan pun dipenuhi oleh umat
sendiri.
Sebenarnya dari sisi pemerintah, pelayanan hak
sipil bagi warga beragama Khonghucu telah lama dibuka
bagi yang misalnya ingin menuliskan kolom agamanya
menjadi agama Khonghucu. Inilah situasi saat ini yang
masih menjadi sedikit ganjalan. Menurut perkiraan
tokoh umat Khonghucu Banyumas, jumlah kasar umat
Khonghucu berkisar 500an orang, namun yang telah ber-
KTP Khonghucu barulah mencapai angka 85 orang. Jika
setengah dari jumlah total adalah anak-anak di bawah

98
17 tahun, maka dari setengah sisanya pun yang ber-KTP
Khonghucu belum mencapai 50 persen dari jumlah sisanya.
Di sinilah situasi yang dirasakan menjadi sedikit ganjalan
bagi pihak Kemenag Banyumas terkait jumlah umat di satu
sisi, dan dinamika umat Khonghucu di Banyumas sendiri di
sisi yang lain. Secara data, jumlah umatnya sedikit, namun
jika perorangan maupun organisasi, baik Makin maupun
Parakhin melakukan kegiatan, sanggup mendatangkan
Banyumas 1 (ed: Bupati Banyumas).
Khusus di Purwokerto, bahwa tokoh-tokoh umat
Khonghucu mempunyai kemampuan ekonomi yang sangat
kuat. Salah satu tokoh yang fenomenal dan ulet dalam
hal penguasaan bisnis dan aktif dalam pembinaan umat
Khonghucu adalah Ibnu Sujono. Unit usahanya beragam
antara lain gedung bioskop Rajawali, pabrik bulu mata
dan wig untuk kebutuhan ekspor, pabrik kosmetik, pabrik
sepatu bermerk Oscar dan lain-lain.
Di samping itu, ia juga menjabat sebagai Pembina
Yayasan Mulia Bhakti yang mengelola sekolah TK dan SD
Mulia Bhakti. Sebagai pembina yayasan, ia disebut-sebut
menanggung biaya operasional sekolah tersebut, sebab
sekolah tersebut juga menampung siswa dari kalangan
kurang mampu. Ketertarikannya dalam pendidikan juga
dituangkannya dengan mendirikan SMK Mulia Bhakti.
Pembangunan gedung sekolah yang sangat megah ini
menghabiskan dana 16 miliar dan bertempat di kawasan
pinggiran Purwokerto.
Sekolah ini didesain dengan merujuk pada model
SMK Maikel di Solo. Saat penelitian ini dilakukan, SMK
ini baru menerima murid untuk kelas 1. Visi ke depan
Ibnu Sujono adalah mendirikan sekolah kedokteran timur

99
dengan mendompleng gedung SMK yang masih banyak
tersisa ruang-ruang kelasnya.
Di kampus ini nantinya akan diramu obat-obatan
tradisional dan dipadu dengan olah pernafasan chi kung
yang digelutinya. Lewat pendirian kampus tersebut, ia ingin
lebih menunjukkan kerja sama antara Tionghoa dan Jawa,
seperti halnya telah ditunjukkannya melalui serentetan
unit-unit usahanya selama ini.81
Sosok lain yang sangat peduli dengan agama
Khonghucu adalah Buntoro, pemilik pasar swalayan Rita
yang selain di Banyumas juga membuka cabang di kota-kota
lain. Walaupun identitas KTP-nya ditengarai bertuliskan
Katolik, sosok ini sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan
Khonghucu. Tidak hanya itu, sosok ini menurut salah satu
informan juga merupakan pengagum Buddha Maitrea.
Atas jasa baiknyalah, Komunias Gusdurian Banyumas
memiliki kantor yang sangat representatif di dekat alun-
alun Purwoketo.82
Dengan kuatnya figur-figur seperti Ibnu Sujono,
Buntoro dan masih banyak lagi dan juga telah berdiri
gedung sekolah yang sangat memadai, sebagaimana bentuk
pelayanan pendidikan pemerintah yang sangat diperlukan
umat Khonghucu Banyumas.
Dilihat dari segi pelayanan yang diberikan,
sebetulnya pemerintah telah cukup memperhatikan
Khonghucu walaupun tetap dengan dibumbui catatan.

81
Wawancara dengan Ibnu Sujono, tokoh Khonghucu Purwokerto,
tanggal 10 dan 11 Mei 2017.
82
Chumaidi Yusuf, Ibid.

100
“Sebagai orang Matakin, saya akui PKUB (unit
pemenuhan pelayanan umat Khonghucu) telah banyak membantu
dan memfasilitasi Agama Khonghucu. Namun PKUB tidak pernah
bertanya kepada Matakin. Contohnya, anggaran Rp. 6,6 miliar
dana yang dikucurkan kepada Khonghucu tidak pernah lewat
dialog. PKUB langsung turun tanpa menghubungi Matakin”.83
Dalam pelaksanaannya, pihak PKUB dari Kemenag
Pusat dipandang langsung menghubungi Makin-Makin
di daerah. Hal ini mengundang keberatan dari pengurus
Matakin di Jakarta. Di samping itu, Makin di tingkat
propinsi pun dilewati.
“Kami hanya ingin ditanya, ini ada anggaran Rp. 6,6
miliar, Matakin maunya apa? Kami (Matakin) punya data.
Tiba-tiba tahunya ada kegiatan, misalnya sosialisasi UU. Kita di
Purwokerto tidak ada masalah. Pemda telah melayani hak-hak sipil
umat Agama Khonghucu dengan baik. Malah ini seperti buang-
buang uang. Di Yogya saya ikut, di sana orang Bappenas bicara
Agama Khonghucu dari tahun ke tahun hanya Rp. 6,6 miliar,
tidak pernah ada peningkatan. Kita kaget. Padahal kebutuhan
kita banyak dan kita yang mengerti kebutuhan itu. Misalnya
kami butuh regenerasi sekolah-sekolah minggu. Kita punya guru-
guru.”84
Akan halnya dengan versi pemerintah, dengan
mengacu pada informasi dari Bappenas, perihal bantuan
didasarkan banyaknya jumlah umat, hal ini kurang
menggembirakan terjadi mengingat jumlah umat ber-

83
Wawancara dengan Budi Suniarto, salah seorang rohaniwan
Agama Khonhucu (jiaosheng) di Purwokerto, tanggal 7 Mei 2017.
84
Wawancara dengan Bo, salah satu tokoh Khonghucu di
Purwokerto, tanggal 7 Mei 2017.

101
KTP Khonghucu di Purwokerto hanya 82 orang. Menjadi
perdebatan selanjutnya, apakah pelayanan pemerintah
hanya diberikan kepada 82 yang ber-KTP sesuai agamanya,
ataukah termasuk sisanya. Ini tidak jauh dari fakta bahwa
setiap acara Khonghucu, seperti Imlek, Cengbeng, Peh
Cun dan seterusnya, umat (Tionghoa) yang hadir mampu
mencapai ratusan. Bahkan, beberapa individu yang belum
ber-KTP Khonghucu dan sangat aktif dalam kegiatan-
kegiatan yang berunsurkan Khonghucu ini bermodal besar
seperti di singgung di atas.
Dengan dana terbatas itu, diperoleh informasi bahwa
pelayanan langsung pemerintah dalam bentuk kegiatan,
di luar pelayanan pernikahan, akte, KTP dan sebagainya,
terhadap umat Khonghucu sejauh ini masih berkutat pada
kegiatan-kegiatan sosialisasi terutama menyasar umat
Khonghucu. Pihak pemerintah dalam realisasi kegiatan
sering menggunakan jalur birokrasi, mengingat Kemenag
mempunyai jaringan vertikal dari daerah ke pusat. Hal
demikian ini paling sering terjadi dalam pelaksanaan
kegiatan. Amat jarang pihak pemerintah mengajak bekerja
sama dengan majelis-majelis keagamaan yang mempunyai
birokrasi tersendiri dan jenjang tersendiri dari pusat ke
daerah, seperti halnya Matakin.
Dalam hal dan kepentingan yang berbeda,
pemerintah juga telah memberikan perhatian terhadap
umat Khonghucu, terlepas dari lembaga yang menaunginya.
Konkritnya, pemerintah pernah memberikan bantuan dana
sejumlah 20 juta rupiah kepada umat khonghucu dengan
nama lembaga Parakhin85, yang kaitannya dengan Matakin

85
Budi Suniarto, Ibid & Ibnu Sujono, Ibid.

102
dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Menimbang bahwa dalam konteks Purwokerto,
keberadaan umat Khongucu demikian khas, karena
terdapat dua majelis umat Khonghucu, pihak pemerintah,
terutama unit yang menangani palayanan umat Khonghucu
di Kemenag pusat sempat dibuat kelabakan. Pasalnya,
kemunculan majelis baru tersebut juga menuntut fasilitasi
dari pemerintah.

Kemunculan Parakhin
Dalam perkembangannya kekinian setelah
pelayanan diberikan termasuk hak-hak sipil dikembalikan,
terbetik kabar kurang sedap menyangkut kekompakan
umat Khonghucu di Purwokerto yang selama ini terwadahi
dalam satu wadah Majelis Agama Khonghucu (Makin)
untuk tingkat lokal, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu
(Matakin) untuk tingkat nasional. Sengkarut permasalahan
menyangkut antarpribadi tokoh khususnya di Purwokerto,
masalah organisasi yang tidak terselesaikan, hingga
kekecewaan para generasi tua umat Khonghucu.
Di Purwokerto, ketidakharmonisan antartokoh
ini berimbas pada organisasi Makin Purwokerto dan juga
pengelolaan Gedung Harmoni. Muncul keinginan supaya
tanah bukan atas nama pribadi. Selama ini status tanah
dan gedung Harmoni masih diatasnamakan pribadi.
Belajar dari pangalaman, banyak kasus nama pribadi,
kamudian keturunannya menuntut menjadi hak pribadi.
Maka dibentuklah yayasan dengan nama Yayasan Makin
Purwokerto.
Model ini meniru Yayasan Makin Karawang yang

103
dianggap telah berhasil. Sebelumnya sempat diusulkan
menggunakan nama Yayasan Mulya Bakti, namun ditentang
sebagian internal pengurus.86 Mulya Bhakti kemudian
menjadi nama sekolah yang dikelola Yayasan Makin
Purwokerto.
Namun setelah terbentuk yayasan, pihak yang
dipinjam atas nama tersebut tidak kunjung menyerahkan
juga sertifikatnya ke yayasan. Ternyata terdapat masalah
pribadi dengan ketua yayasan yang terpilih. Pihak yayasan
terus menuntut, bahkan sampai melaporkannya ke pihak
kepolisian. Polres Banyumas pun tidak mau gegabah karena
kasusnya menyangkut organisasi keagamaan. Dianjurkan
supaya sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan.
Mereka kemudian membentuk lagi Perkumpulan Makin
Purwokerto. Kontan melahirkan protes dari pihak yayasan.
Persoalan makin meruncing manakala pihak
yayasan mendirikan sekolah di Gedung Harmoni. Kontan
hal ini tidak disukai pihak perkumpulan. Matakin pun turun
tangan. Lalu memanggil kedua belah pihak; perhimpunan
dan yayasan. Sebagai solusi, dibentuklah perkumpulan
baru dengan ketuanya dari pihak perkumpulan. Yayasan
lalu tidak puas. Secara kebetulan muncullah Bingky Irawan
dari Surabaya yang datang ke Banyumas untuk meresmikan
pembentukan Parakhin. Kebetulan orang-orang yayasan
yang banyak terlibat dalam pembentukan Parakhinini.87
Saling klaim dan saling tuduh muncul, bahkan
hingga ke publik (surat kabar). Namun pihak FKUB

86
Budi Suniarto, Ibid.
87
Budi Suniarto

104
Purwokerto pun terheran-heran, sebab meski kedua belah
pihak datang menyuarakan pendapat mereka masing-
masing, namun ketika acara pernikahan salah satu tokoh
Tionghoa misalnya, tokoh-tokoh yang berselisih ini tampak
akur menjadi panitia.88 Artinya bahwa sebenarnya konflik
itu tidak pernah benar-benar terjadi di publik, apalagi
menimbulkan keresahan.
Diduga ketegangan antarumat Khonghucu itu
memuncak setelah wafatnya Haksu Tjie Tjai Ing, tokoh
kharismatik Khonghucu yang selama hidupnya menetap
di Solo. Tepatnya belum ada sosok yang mengimbangi
kharisma Tjie Tjai Ing. Almarhum pun tidak menunjuk
penggantinya sebagai pimpinan dewan rohani (Deroh)
Matakin. Ternyata perasaan beberapa rohaniwan yang tidak
selayaknya diperlakukan (oleh Matakin), satu demi satu
bermunculan. Mereka tidak puas dengan organisasi Matakin
dan bagaimana Matakin memperlakukan para rohaniwan.
Dimotori oleh Binky Irawan (67), tokoh Khonghucu
Surabaya dan salah satu pengawal kasus pernikahan Budi-
Lani (Surabaya) bersama Gus Dur, beberapa rohaniwan
ini bersepakat mendirikan Perkumpunan Rohaniwan
Agama Khonghucu Indonesia (Parakhin). Ide mereka ini
kemudian ditangkap salah satu pihak yang berselisih,
pihak yayasan Makin Purwokerto, dan mempunyai
ketidakpuasan terhadap Makin Purwokerto dan Matakin.
Lantas dideklarasikanlah Perkumpulan Rohaniwan Agama
Khonghucu di Indonesia (Parakhin) pada Agustus, 2016 lalu
yang dihadiri Dandim, Bupati Banyumas, serta tokoh PKUB
Kemenag (Abdul Fatah).

88
Wawancara dengan Moh Roqib, Ketua FKUB Kab Banyumas,
tanggal 10 Mei 2017.

105
Keberatan kelompok Parakhin terhadap Matakin,
selain faktor kurang dihargainya para rohaniwan, juga
kecewa dengan sepak terjang pengurus Matakin di Jakarta.
Menurut mereka, para pengurus hanya mengejar kepentingan
pribadi tanpa memperhatikan pembinaan umat di bawah.
Mereka dituduh lebih kerap berinteraksi dengan kekuasaan
dan pemilik kapital ketimbang memerhatikan kebutuhan
umat di lapisan bawah. Karena itulah, penggagas Parakhin
ini juga sedang menggodok pendirian Perkumpulan Umat
Agama Khonghucu Indonesia, yang mereka singkat menjadi
Perukhin.89
Satu hal lagi, kalangan tua yang dimotori Binky
Irawan (salah satu anggota dewan rohaniwan-Deroh
Matakin yang berasal dari Surabaya) merasa kecewa dengan
hasil Mukernas Deroh Matakin tahun 2013. Salah satu
keputusan yang mengecewakan adalah mengubah yang
sebelumnya Deroh merupakan representasi secara nasional
diciutkan menjadi hanya 5 orang rohaniwan yang bekerja
secara collective collegial. “Ini ibarat naga tanpa kepala, dan
menjadi serangan kalangan tua”.90 Kekecewaan sebagaian
kalangan tua pun berlanjut. Mereka melakukan pertemuan
selama dua kali di Surabaya, terakhir di Purwokerto sebelum
kemudian mendirikan Parakhin.
Parakhin pun terbentuk dengan komposisi Bingky

89
Wawancara dengan Ibnu Sujono, Teddy Hartanto dan salah
seorang weinshe yang berbagung dengan Parakhin, tanggal 9 Mei 2017.
90
Setiap rohaniwan, secara otomatis tergabung dalam deroh.
Dalam deroh terdapat struktur kepengurusan, yaitu ketua, sekretaris dan
bendahara. Deroh melakukan musyawarah kerja nasional (mukernas)
setiap tahun, mendahului munas Matakin. Tujuannya untuk memberikan
bahan kepada munas-nya Matakin. Oleh karena itu, munas merupakan
kelanjutan dari mukernas. Budi Suniarto, Ibid.

106
Irawan sebagai ketua, dan sekretaris dijabat Oesman Arif.
Selama ini, di Indonesia (artinya di bawah Matakin) terdapat
13 haksu, yang mana 5 orang telah bergabung ke Parakhin.
Kebetulan pihak Majelis baru ini terus melobi Kemenag.
Mereka menggunakan jaringan personal yang telah
terjalin sejak lama. Kabarnya, Matakin pun tidak tinggal
diam. Matakin di bawah kepemimpinan Uung Sendana
melakukan lobi-lobi ke berbagai pihak untukmembendung
dukungan bagi Parakhin. Usaha itu pun tampaknya berhasil.
Untuk menunjukkan eksistensi Parakhin, pada
tanggal 19-20 Mei lalu telah diselenggarakan Konferensi
Internasional Khonghucu di Purwokerto dan dijadwalkan
Menteri Agama hadir dan membuka acara tersebut. Akan
tetapi, pada akhirnya Menteri Agama batal hadir dalam
acara tersebut.
Kini, Parakhin telah berbadan hukum berbentuk
perkumpulan dan terdaftar di Kemenkumham. Artinya,
organisasi ini telah sah sebagai orgasasi keagamaan dan
dilegalkan untuk melakukan pembinaan umat. Namun,
lagi-lagi pihak Matakin berharap agar pemerintah tetap
berkukuh dengan Matakin.
“Keinginan kita pemerintah jangan terpecah, bahwa
pembinaan umat Khonghucu seyogjanya tetap dilakukan Matakin.
Jangan sampai Parakhin muncul sebagai tandingan Matakin
karena Matakin itu organisasinya sudah puluhan tahun. Parakhin
memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Khonghucu.
Menyebut Tuhan tetap Tien dan nabinya Nabi Kongzi. Hanya
dalam pembinaan umat, mereka berbeda mantra (keng)-nya.
Mereka membentuk mantra baru meski tetap bersumber dari Kitab
Xue Xi.”91

107
Pihak-pihak pendukung Makin dan Matakin di
Purwokerto sebenarnya keberatan dengan berdirinya
Parakhin. Alasan mendasar karena mereka komunitas kecil,
mengapa harus terpecah lagi.92
Alasan lain, pihak yang tergabung dalam
Parakhinadalah orang-orang yang gagal dalam pemilihan
pengurus Makin Purwokerto, karena tidak puas dengan
hasil pemilihan Ketua Makin yang terakhir (2014).
Mereka berharap, agar Matakin seharusnya bertindak
keras, karena ada upaya untuk penguasaan tanah dan aset
gedung Harmoni. “Mereka ini maunya menang sendiri, tidak
taat organisasi dan mentang-mentang yang punya uang”.93
Melihat terpecahnya lembaga agama Khonghucu
di Purwokerto, hal ini dikhawatirkan memengaruhi
pembinaan umat. Namun menurut salah satu rohaniwan,
hal ini tidak terlalu besar dampaknya terhadap umat. Bahwa
umat dibebaskan memilih sesuai keinginan mereka.
“Saya memilih jalan tangah, Parakhin tidak jelek-
jelek amat. Baiknya, Parakhin mengetahui kebutuhan umat.
Di Purwokerto saja, ada umat tetapi pembinaan minim. Saya
bilang ke Makin Purwokerto. Ketuanya tidak pernah kebaktian.
Ketuanya tidak pernah mendukung kalau ada kegiatan-kegiatan.
Jawabannya pasti tidak ada uang. Parakhin, sekalipun caranya
salah, tetapi mencari umat dan melayani umat. Di Purwokerto,

91
Budi Suniarto, Ibid.
92
Wawancara dengan Maryati, Rohaniwan Khonghucu dan
sekretaris Makin Purwokerto, tanggal 13 Mei 2017. Maryati juga salah
seorang guru di Sekolah SD Mulia Bhakti yang bertempat di Gedung
Harmoni, yang dikelola oleh pihak Yayasan Makin Purwokerto.
93
Wawancara dengan Ho, tokoh senior Khonghucu di Purwokerto,
tanggal 15 Mei 2017.

108
pengaruh Parakhin tidaklah besar. Namun pelayanan doa mereka
bagus. Ada masalah mereka mau mendoakan.”94
Parakhin disebut melakukan gebrakan untuk
meningkatkan jumlah umat Khonghucu yang ber-KTP
Khonghucu. Lembaga ini menawarkan akan menanggung
iuran BPJS bagi yang bersedia mengganti nya dengan agama
Khonghucu.95

Namun, ditentang oleh kalangan Makin Purwokerto


dengan alasan orang berkebaktian dan beribadah tidak
perlu mendapat iming-iming. Dikhawatirkan selama ini
kekuatan Parakhin berada di kerajaan bisnis salah satu tokoh
pendiri Parakhin, jika yang menanggung sudah meninggal,
bagaimana kelanjutannya masih belum meyakinkan.

Hubungan Sosial Umat Agama Khonghucu


Walaupun diterpa konflik internal, hubungan
komunitas penganut agama Khonghucu dengan pejabat
dari pihak Kemenag Purwokerto sangatlah baik. Mereka
telah saling bekerja sama sejak lama, termasuk pada saat
penyaluran bantuan di saat-saat krisis seperti saat krisis
moneter melanda akhir 1990an dan juga terjadinya bencana
alam. Lain halnya dari penglihatan penulis, ketika penulis/
peneliti tengah mengunjungi kantor Kemenag Purwokerto,
dan sedang melakukan wawancara serta mengambil data
jumlah umat Khonghucu berdasarkan KTP, tiba-tiba seorang

94
Ho, Ibid. Jarangnya Ketua Makin Purwokerto mengikuti
kebaktian juga dituturkan Mi, informan lain, wawancara tanggal 13 Mei
2017.
95
Teddy Hartanto, Iid.

109
tokoh senior umat Khonghucu menghampiri peneliti.
Tujuannya adalah untuk mengajak peneliti mengobservasi
salah satu rintisan aktivitasnya dalam menyebarluaskan
nilai-nilai Khonghucu, terutama lewat lembaga pendidikan
dan kegiatan usahanya.
Relasi yang harmonis itu juga diakui oleh Kasubbag
TU yang menyatakan, mengenal tokoh-tokoh Khonghucu
Purwokerto sejak lama. Terlebih karena aktivitas Kasubbag
TU ini di luar kantor yang ditokohkan, sebagai pimpinan
Banser Purwokerto. Jalinan komunikasi personal ini
mengalahkan hambatan birokrasi yang ada, sehingga
mereka sangat mudah untuk saling bertemu.
Relasi sosial umat Khonghucu di Banyumas juga
tercermin dari penuturan pihak Gusdurian Banyumas.
Untuk keanggotaan Gusdurian Banyumas, satu-satunya
anggota yang membawa majelis agama hanyalah Makin
Banyumas. Sementara keanggotaan yang lain sangat bersifat
personal saja sifatnya. Makin Banyumas sangat antusias
dan aktif dalam berkegiatan di Gusdurian. Di dalam kantor
sekretariat Gusdurian Banyumas pun terpampang gambar
Nabi Khongzi, yang berjajar dengan gambar dan simbol-
simbol keagamaan yang aktif di Gusdurian Banyumas.
Keaktifan umat Khonghucu juga tercatat dalam
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyumas.
Menurut Ketua FKUB Banyumas, Mohammad Roqib, tokoh-
tokoh Khonghucu sangat dekat dengan FKUB Banyumas.
Mereka sering datang dalam kegiatan-kegiatan koordinasi
antarumat beragama di Banyumas.
Walaupun diterpa sengketa internal, namun tokoh-
tokoh umat Khonghucu Banyumas itu tidak menampakkan

110
terjadi konflik di dalam tubuh organisasi keagamaan
mereka. Karena itulah, walaupun pihak FKUB Banyumas
mengetahui terjadi persengketaan tersebut, namun tidak
dapat melangkah lebih jauh mengingat di antara mereka
seperti tidak terjadi persengketaan.
Namun demikian, sebenarnya jika melihat konflik
yang terjadi di tubuh umat Khonghucu di Purwokerto,
hal tersebut bukanlah mustahil berpotensi mengganggu
pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah.
Sinyalemen tersebut boleh jadi benar, boleh jadi juga salah
atau tidak pada tempatnya.
Untuk hal terakhir ini mengacu pada sejarah yang
ada bahwa umat Khonghucu di Indonesia sejauh ini adalah
umat yang independen, tidak mengharapkan uluran dan
subsidi dari pihak luar. Mereka mengelola organisasi dan
melakukan pembinaan umat dengan cara swadaya, termasuk
membeli lahan dan membangun gedung pertemuan, seperti
di Banyumas contohnya.
Hal di atas juga tampaknya yang dipahami benar
oleh pengurus Matakin dan juga pengurus-pengurus
Makin selama ini, bahwa membina umat haruslah dengan
kesadaran umat sendiri. Kesadaran ini juga termasuk dalam
hal mandiri dalam berkegiatan keagamaan. Akan tetapi hal
ini tentu akan berbeda logikanya dengan logika pelayanan
pemerintah yang membutuhkan keaktifan dari pihak umat
sendiri.
Tentulah agak sulit bagi pihak pemerintah untuk
memberikan pelayanan jika pihak yang dilayani terkesan
pasif dan tidak cukup kuat memberikan support kepada
pemerintah.

111
Hal paling sederhana pada masalah data umat. Data
seperti ini, hal yang paling elementer, pihak pemerintah
belum dapat memperolehnya dari ormas keagamaan yang
ada dan selama ini dianggap paling representatif. Lebih
serius lagi adalah langkah rekonsiliasi untuk mendamaikan
persengketaan internal umat Khonghucu Banyumas di atas.
Umat Khonghucu di Purwokerto walaupun dari sisi
jumlah -berKTP tidaklah terlalu besar, namun dalam kegiatan
keagamaan Khonghucu jumlah pesertanya mencapai
ratusan. Selain itu, walaupun dari segi jumlah umat tidak
terlalu besar, namun mereka berhasil membangun sebuah
gedung pertemuan yang cukup luas dan juga mendirikan
sekolah. Sayangnya dalam perkembangannya, kekompakan
itu terusik dengan persoalan status gedung dan persoalan
kisruh organisasi di dalam tubuh Makin Purwokerto yang
tidak kunjung selesai.
Secara nasional, organisasi Matakin juga mendapat
goncangan dari kalangan sebagian rohaniwan seniornya
(haksu) yang merasa tidak puas dengan perlakuan pengurus
Matakin. Ketidakpuasan kalangan haksu ini lantas bertemu
dengan kekecewaan yang melanda tokoh-tokoh Khonghucu
di Purwokerto.
Kelahiran Parakhin di Purwokerto merupakan sebuah
konsekuensi logis dari belum terdamaikannya ketegangan
di dua level kepengurusan dan spiritualitas yang berbeda
tersebut.
Sebagai deskripsi akhir, penulis merekomendasikan
diantaranya bahwa pelayanan pemerintah seharusnya
tidak terpengaruh oleh adanya konflik internal di tubuh
suatu ormas keagamaan. Pemerintah harus tetap berpegang

112
pada prioritas pelayanan kepada umat-umat Khonghucu
yang sangat membutuhkan pelayanan. Artinya, pelayanan
haruslah tetap diberikan tanpa memperhatikan konflik
internal yang ada.
Saluran pelayanan masih dapat menggunakan saluran
birokrasi vertikal yang ada, yakni kantor kementerian agama
kabupaten, dan juga, sedapat mungkin tetap memerhatikan
keberadaan Makin-Makin di daerah. Ditakutkan, jika
pemerintah terlalu larut dalam konflik internal tersebut, akan
berpengaruh pada pelayanan terhadap umat Khonghucu
secara keseluruhan.
Selanjutnya perlu juga dipikirkan secara serius upaya-
upaya untuk dilakukannya langkah-langkah rekonsiliasi
di tingkat Matakin, teruatama di kalangan rohaniwan
senior (haksu) yang merasa dikecewakan selama ini. Begitu
pula, rekonsiliasi juga perlu didorong kepada pengurus
Makin dan tokoh-tokoh Khonghucu di Purwokerto. Perlu
diperhatikan akan independensi kelompok ini, sehingga
intervensi pihak luar yang berlebihan dikhawatirkan malah
akan menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif terhadap
upaya rekonsiliasi di dalam tubuh mereka sendiri.

113
114
Bagian VI

UMAT KHONGHUCU PANGKAL PINANG


Oleh: R. Adang Nofandi

Selayang Pandang Problematika Umat Khonghucu


Setelah hampir 16 tahun dari diakuinya Khonghucu
secara administratif sebagai sebuah agama di Indonesia, maka
keberadaan agama Khonghucu semakin tampak di tengah
dimasyarakat. Penampakan tersebut juga memunculkan
problematika baru, muncul juga dari internal umat agama
Khonghucu sendiri. Umat agama Khonghucu sendiri tetap
ingin bertahan pada agama yang selama ini mereka sudah
bernaung didalamnya dan tidak menginginkan untuk
secara administrasi (KTP), tidak mau diubah menjadi agama
Khonghucu, dengan berbagai alasan, diantaranya merasa
masih trauma dengan zaman Orde Baru.
Seperti ada semacam ketakutan, apabila mereka
mengubah jadi agama Khonghucu di KTP, dan tiba-tiba
agama Khonghucu dilarang kembali oleh pemerintah, maka
mereka akan mengalami kesusahan kembali. Ada juga yang
merasa tidak perlu mengubah KTP jadi agama Khonghucu,
karena hal itu tidak terlalu penting. Masuk agama mana
saja tidak menjadi soal, yang penting ritual-titual yang
mereka lakukan sehari-sehari adalah ritual ajaran agama
Khonghucu. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana
mereka bisa mapan secara ekonomi, sehingga agama tidak
terlalu begitu menjadi persoalan buat mereka.
Dengan keadaan seperti ini menimbulkan masalah
sendiri dalam pendataan umat agama Khonghucu,

115
pekerjaan baru secara administratif. Persoalan data tentu
saja akan menghambat proses pendataan di internal dan
tidak mempunyai data jumlah umat yang akurat. Sehingga
dalam melaksanakan struktur organisasi yang diamanatkan
regulasi akan menjadi problem tersendiri, dikarenakan
struktur yang tersedia akan mengukur setiap kegiatan
dengan angka-angka ril untuk penganggaran kegiatan
berbanding dengan data umat.
Selain persoalan hak-hak sipil dan struktur
organisasi dan upaya memenuhi kebutuhan umat agama
Khonghucu, penelitian ini juga ingin melihat relasi sosial
umat agama Khonghucu dengan yang lainnya, yaitu
dengan pemerintah, dan umat agama lainnya. Selama ini
umat agama Khonghucu seakan terisolasi dan terkesan
eksklusif ditengah-tengah masyarakat Indonesia, walaupun
ada dan tidak banyak yang melakukan relasi sosial dengan
kelompok masyarakat lainnya. Dalam perkembangan
pasca diakuinya agama Khonghucu sebagai sebuah agama,
maka perkembangan ini mulai menunjukan perubahan
yang menunjukan sikap terbuka. Namun demikian, perlu
dicermati kembali, apakah interaksi sosial ini mengalami
persoalan atau tidak dimasyarakat, dengan pemerintah
dan umat agama lainnya. Terutama pasca perpisahan
umat agama Khonghucu dari agama Buddha. Hal ini perlu
penggalian lebih dalam.
Pola pembinaan dalam bidang kepercayaan pada
umumnya dilakukan secara konvensional dalam khutbah
kebaktian. Sedangkan kajian dan diskusi masih terbatas
dengan kelompok umat tertentu. Pola yang dilakukan oleh
rohaniawan dalam bidang sosial adalah memberi anjuran
dan pendekatan secara pribadi terhadap umat Agama

116
Khonghucu untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial tersebut.
Selain itu juga rohaniawan menyadari posisi dirinya
sebagai tokoh sentral dalam bidang keagamaan juga
mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak sebagai
contoh dalam segala bidang baik ritual maupun sosial.
Selain persoalan hak-hak sipil dan struktur organisasi
dan upaya memenuhi kebutuhan umat agama Khonghucu,
penelitian ini juga ingin melihat relasi sosial umataAgama
Khonghucu dengan pemerintah, masyarakat dan umat
agama lainnya. Selama ini umat agama Khonghucu seakan
terisolasi dan terkesan eksklusif ditengah-tengah masyarakat
Indonesia, walaupun ada dan tidak banyak mereka yang
melakukan relasi sosial dengan yang lainnya.

Pelayanan oleh Pemerintah


Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayan bagi
masyarakat, pemerintah selayaknya memberikan pelayanan
bagi masyarakat bukan sebaliknya. Pelayanan publik yang
profesional dapat diwujudkan oleh pemerintah jika adanya
akuntabilitas dan respontabilitas pemberi layanan dalam hal
ini aparatur pemerintah itu sendiri. Namun tak jarang pula
khususnya di Indonesia dalam kenyataannya, belum semua
aparat pemerintah menyadari arti pentingnya pelayanan.
Layanan diberikan oleh pemerintah melalui aparatnya
(pegawai/petugas) untuk memenuhi kepentingan umum
atau kepentingan perorangan, yang bertumpu pada hak
dasar sebagai warga negara.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian layanan keperluan orang atau masyarakat yang

117
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dalam
konteks pelayanan publik menurut Moenir (Kurniawan
2005:7) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha
memenuhi kepentingan oranglain sesuai dengan haknya.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah
kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari
fungsi aparat negara sebagai sebagai pelayan masyarakat.
Dalam melaksanakan kebijakan yang disusun
pemerintah, secara implementatif, teknis operasionalnya
harus menjangkau masyarakat sejauh mungkin sepanjang
masih memungkinkan dilakukan, terutama mengenai
masalah pelayanan. Pelayanan dapat diterjemahkan sebagai
suatu cara melayani, membantu, menyiapkan dan mengurus
keperluan seseorang atau sekelompok orang. Melayani
adalah meladeni atau membantu mengurus keperluan
atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan
sampai penyampaian atau penyerahan. Melayani juga
dapat diartikan menyambut, menerima seseorang atau
sekelompok orang (Umar R Soeroer, 2007 : 9).
Sekilas Kota Pangkalpinang
Kota Pangkal Pinang tidak bisa dilepaskan dari
sejarah Pulau Bangka, kota ini bermula dari sebuah
kampung kecil yang dibentuk sebagai daerah pelabuhan
tradisional pada zaman dahulu. Saat ini Pangkalpinang
merupakan ibu kota dari Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, luas wilayahnya 118,41 Km² yang terbagi dalam 42
kelurahan dan tersebar dalam 7 kecamatan. Kota ini terpadat
dari segi jumlah penduduknya se-Provinsi Kepulauan

118
Bangka Belitung, jumlah penduduknya adalah 212.261 jiwa
(Disdukcapil Kota Pangkalpinang, 2016).
Populasi Kota Pangkal Pinang dibentuk oleh etnis
Melayu dan Tionghoa yang mayoritas berasal dari suku
Hakka. Ditambah sejumlah suku pendatang seperti Batak,
Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar,
Bugis, Manado, Flores dan Ambon. Pusat pemerintahan
kota di Kelurahan Bukit Intan, dan pusat pemerintahan
provinsi dan instansi vertikal di Kelurahan Air Itam. Kantor
pusat PT. Timah Tbk. juga berada di sini. Karena kota ini
mempunyai letak geografis yang strategis yakni berada di
jalur perdagangan nasional dan internasional, maka kota ini
menjelma menjadi pusat pelayanan kegiatan sosial ekonomi,
perdagangan dan jasa, transportasi, pendidikan, kesehatan,
industri serta pemerintahan diProvinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Etnis Tionghoa telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan perkembangan sosial masyarakat di
Pangkal Pinang. Mereka datang dengan membawa adat
dan agama leluhurnya, sebagian orang Tiong Hoa (China)
ini adalah penganut agama Khonghucu. Mereka sengaja
didatangkan ke Bangka atas perintah Sultan Mahmud
Badarudin I Jayo Wikramo yang memerintah tahun 1727-
1757, dan juga pada masa Sultan Ahmad Najamuddin Adi
Kesumo yang memerintah tahun 1757-1776 (Anastasia
W Swastiwi, Ed. 2014: 23). Orang Tionghoa pada masa itu
didatangkan dari China daratan ke pulau Bangka sebagai
pekerja tambang timah, mereka dianggap cakap dan
mempunyai keahlian dalam aktivitas penambangan timah
yang belum dikuasai oleh etnis melayu.

119
Kondisi Keagamaan
Penduduk kota Pangkal Pinang berdasarkan jumlah
pemeluk agama pada tahun 2016 antara lain; agama Islam
sebesar 174.358 pemeluk, Katolik sebesar 10.256 pemeluk,
Kristen sebesar 9.776 pemeluk, Buddha sebesar 17.005
pemeluk, Hindu sebesar 87 pemeluk, Khonghucu sebesar
9.496 pemeluk dan pemeluk agama lainnya sebesar 278 orang
(Profil Kota Pangkalpinang, 2016). Untuk jumlah sarana
rumah ibadah di Kota Pangkalpinang bangunan Masjid
sebanyak 81, Gereja sebanyak 30 , Pura1, Vihara sebanyak
9, dan Klenteng sebanyak 44 (data dari Kan. Kemenag Kota
Pangkal Pinang, 2016).
Data di atas menunjukan bahwa dilihat dari perkiraan
persentase berdasarkan pemeluk agama, maka mayoritas
penduduk kota Pangkalpinang 79% adalah pemeluk agama
Islam. Sedangkan pemeluk agama Khonghucu sekitar 4%
dari total populasi. Namun dari jumlah rumah ibadah,
Klenteng jumlahnya setengah dari total jumlah Masjid di
Kota Pangkalpinang. Rumah ibadah Klenteng tersebut
tersebar di 6 Kecamatan yakni; Kecamatan Bukit Intan 23
Klenteng, Kecamatan Rangkui 9 Klenteng, Kecamatan
Girimaya 4 Klenteng, Kecamatan Pangkal Bulan 6 Klenteng,
Kecematan Gebek dan Taman Sari masing-masing 1
Kelenteng.
Ikon eksistensi agama Khonghucu salah satunya
adalah Kwan Tie Miaw merupakan satu dari sekian klenteng
tertua yang ada di Pulau Bangka. Klenteng ini terletak
di Jalan Mayor Muhidin, Kota Pangkal Pinang. dulunya
bernama Klenteng Kwan Tie Bio. Klenteng ini diperkirakan
dibuat pada tahun 1841 Masehi (dari aksara cina pada
sebuah lonceng besi di Klenteng). Pembangunan Klenteng

120
ini dilakukan secara gotong royong oleh berbagai kelompok
pada waktu itu.
Nama Klenteng sudah dua kali mengalami
perubahan, pada masa Orde Baru Klenteng ini bernama
Amal Bhakti. Pada tahun 1986 bagian depan Klenteng
terkena pelebaran jalan sehingga pekarangan depan, pintu
serta tembok depan mundur beberapa meter, bagian altar
Kuan Tie tetap utuh dan bagian depan dibangun menjadi
dua lantai.
Dalam segi relasi sosial yang terjadi antara umat
Khonghucu dengan pemeluk agama lainnya di Kota
Pangkalpinang selama ini berjalan dengan baik. Hal
ini disampaikan oleh salah satu pengurus FKUB Kota
Pangkalpinang bahwa umat Khonghucu sudah sangat
diterima keberadaannya di Pangkalpinang, situasi ini
tergambar kala memasuki hari raya agama masing-masing.
Masyarakat Khonghucu dan masyarakat Melayu yang
muslim misalnya, di antara mereka kerap melakukan
kunjungan ke rumah warga untuk bersilaturahmi apabila
salahsatu diantara mereka sedang merayakan hari raya
keagamaannya. Karena memang masyarakat sudah
terbangun komunikasi dan hubungan sosial antara satu
dengan yang lain maka tidak nampak gejolak, tidak nampak
adanya upaya untuk melakukan permusuhan.
Masyarakat Bangka umumnya tidak mudah iri,
dengki, cemburu, dengan kondisi ekonomi masyarakat
Tionghoa yang mungkin lebih baik. Itu rezeki kamu, ini
rezeki saya. Mungkin rasa ini yang membuat kondisi itu
jadi kondusif. (wawancara dengan Sekretaris FKUB Kota
Pangkal Pinang, 2017).

121
Hubungan internal diantara sesama umat
Khonghucu sejauh ini tidak nampak adanya gesekan, umat
Khonghucu di Pangkal Pinang sebagian besar menjalankan
aktivitas keagamaannya masing-masing. Walaupun MAKIN
Kota Pangkal Pinang menyelenggarakan peribadahan
secara komunal setiap hari Jum’at sore, namun dari sekian
banyaknya pemeluk agama Khonghucu di kota ini mereka
yang hadir di litang hanya sekitar 70-an orang.
Untuk relasi Khonghucu dengan umat agama lainnya
juga berjalan dengan baik, namun silang pendapat memang
pernah terjadi antara elit pemuka agama Khonghucu
dengan Buddha. Hal ini terkait dengan pendataan umat
Khonghucu yang masih terdaftar dalam KTP sebagai umat
Buddha. Silang pendapat ini pernah terjadi di lembaga FKUB
Kota Pangkal Pinang, tidak hanya dalam segi keumatan,
perselisihan rumah ibadah Klenteng juga pernah muncul.
Disinyalir beberapa Kelenteng masih diklaim sebagai rumah
ibadah umat Buddha. Perselisihan ini tidak bereskalasi lebih
jauh karena kesadaran masing-masing pihak untuk saling
menjaga situasi keberagamaan yang kondusif.
Nilai saling menghormati ini sesuai dengan moto
“Bumi Serumpun Sebalai” yang menjadi nilai moral
kehidupan sosial warga di Pangkal Pinang Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, yang menunjukan bahwa
kekayaan alam dan plularisme masyarakat tetap merupakan
keluarga besar komunitas (serumpun) yang memiliki
perjuangan yang sama untuk menciptakan kesejahteraan ,
kemakmuran, keadilan dan perdamaian.
Untuk mewujudkan perjuangan tersebut, dengan
budaya masyarakat Melayu berkumpul, bermusyawarah,
mufakat, berkerjasama dan bersyukur bersama-sama dalam

122
semangat kekeluargaan (sebalai) merupakan wahana yang
paling kuat untuk dilestarikan dan dikembangkan. Nilai-
nilai universal budaya ini juga dimiliki oleh beragam etnis
yang hidup di bumi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan demikian, serumpun sebalai mencerminkan
sebuah eksistensi masyarakat Bangka Belitung dengan
kesadaran dan cita-citanya untuk tetap menjadi keluarga
besar yang dalam perjuangan dan proses kehidupannya
senantiasa mengutamakan dialog secara kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat serta berkerja sama dan senantiasa
mensyukuri nikmat Tuhan untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur.96

Profil Keagamaan Khonghucu di Pangkal Pinang


Studi literatur terkait datangnya agama Khonghucu
kedaerah Pangkal Pinang memang langka ditemukan,
keberadaan agama ini cenderung dikaitkan dengan
datangnya para pekerja tambang asal Tionghoa pada sekitar
abad 17 Masehi. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa
pada tahun 1770 Sultan Palembang Darussalam Mahmud
Badaruddin II (1768 – 1852) dalam upaya meningkatkan
produksi timah di Pulau Bangka mendatangkan pekerja-
pekerja dari China ke Bangka untuk menambang timah di
pulau itu.
Sejak itu berdatangan orang-orang China dari Siam,
Malaka, Malaysia dan dari China Selatan menjadi pekerja
atau kuli tambang timah (Bashori, 2010:180). Catatan lain

96
http://www. Babelprov. Go. Id/content/lambang-daerah-dan-
artinya, diakses 16 Mei 2017, pukul 12.34 WIB

123
yang dikutip dari profil Kota Pangkalpinang menyatakan
para pekerja tambang timah datang dari Tionghoa pada
masa kesultanan Sultan Susuhanan Ahmad Najamuddin
Adi Kesumo, yang memerintah pada tanggal 17 september
1757. Kepada Abang Pahang bergelar Tumenggung Dita
Menggala dan kepada Depati serta Batin Pengandang dan
kepada para Krio yang ada di Pulau Bangka untuk mencari
Pangkal atau pengkal sebagai tempat kedudukan Demang
dan Jenang yang akan bertugas untuk mengawasi parit-
parit penambangan timah, mengawasi pekerja-pekerja
yang disebut kuli tambang dari Cina, Siam, Kocin dan
Melayu untuk mengawasi distribusi timah dari parit-parit
penambangan hingga sampai ke Kesultanan Pelembang
Darussalam.97

Pokok Ajaran
Konsep Ketuhanan
Dalam agama Kung Fu Tze, atau biasa dibunyikan
dengan Khong Hu Cu, dikaitkan dengan nama pendirinya
yaitu Kung Fu Tze (551-479 SM). Ada yang menilai bahwa
ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan
ajaran tentang nilai (etika) saja. Kung Fu Tzu sendiri
menghindar berbicara tentang alam gaib. Ajaran Kung Fu
Tzu itu mengenal pengakuan terhadap kodrat Maha Agung
(Supreme Being), serta mempercayai pemujaan terhadap
arwah nenek moyang (Ancetors-Worship), juga mengajarkan
tata tertib Kebaktian.

97
http://pangkalpinangkota. Go. Id/profil-kota-pangkalpinang/.
Diakses tgl 15 Mei 2017, pukul 09.45 WIB.

124
Dengan landasan inilah seiring perkembangan
zaman ajaran Kung Fu Tze termasuk ajaran keagamaan.
Khonghucu mengatakan, kalau dia tidak pernah berbicara
tentang Tuhan, atau keajaiban atau masalah kekuatan. Tapi
baginya tidak ada keraguan-keraguan untuk percaya pada
Tuhan, meski ia seorang monoteis yang etis. Menurutnya
kehendak Tuhan telah dibuka untuknya dan karena itu
misinya agar kehendak tersebut berlaku di dunia ini. Istilah
Tuhan disebut dengan Thien. Dalam kitab-kitab agama
Khonghucu banyak bicara tentang Thian dan Shang Ti atau
Tuhan YME, misalnya dalam kitab She Cing (kitab puisi).98
Umat Khonghucu menggambarkan sosok Tuhan
tidak dapat digambarkan wujudnya, tetapi dapat dirasakan.
Di bawah Tien itu manusia yakin akan adanya dewa-dewa
yang memberikan bantuan pada saat-saat tertentu. Dewa
itu merupakan orang yang berjasa pada zaman dahulu
sebelum mereka meninggal. Pada waktu kesulitan, mereka
membantu manusia. (hasil wawancara Taufik Halim,
tanggal. 7 Mei 2017).
Praktek Ibadah
Terdapat beberapa tempat peribadatan yang
biasa digunakan umat Khonghucu yang pertama adalah
dirumah, sedangkan yang kedua adalah di Klenteng, tidak
ada perbedaan yang mendasar antara proses pelaksanaan
peribadatan di rumah dan di Klenteng, keduanya sama
yakni beribadah pada arwah leluhur yang suci, beribadah
pada Tuhan dan beribadah pada Nabi Kongzi.

98
http://www. Spocjournal. Com/religi/521-ajaran-khonghucu-
tentang-tuhan,-keimanan-dan-hidup-setelah-mati-serta-kaitannya-
dengan-laku-bakti,-bagian-1. Html. Diakses 25 April 2017, pukul 14.50
WIB.

125
Ketika memasuki klenteng maka terlebih dahulu
melakukan sembahyang di altar luar. Baru kemudian kita
masuk dan beribadah untuk para nabi dan arwah leluhur
yang suci di altar dalam. Adapun prosesi peribadatan umat
Khonghucu adalah sebagai berikut:
 Terlebih dahulu menyalakan lilin di tempat berdo’a atau
altar.
 Membakar Hio atau Dupa sebanyak 3 atau 9 batang yang
melambangkan Tuhan, Manusia dan Bumi, kemudian
dinaikkan dahi sebanyak 3 kali. Pada angkatan Hio yang
kedua yang harus diucapkan adalah kehadapan nabi
Khonghucu, pembimbing dan penyadar hidup kami,
di muliakanlah. Sedangkan pada angkatan ketiga yang
diucapkan adalah kehadapan para suci dan leluhur yang
kami hormati, dimuliakanlah.
 Setelah pengangkatan Hio maka langkah selanjutnya
adalah meletakkan Hio di Youlu atau tempat peletakan
Hio yang terbuat dari besi kuningan dan berbentuk hati,
Hio pertama diletakkan di tengah, yang kedua diletakkan
di sebelah kanan, dan yang terakhir diletakkan disebelah
kiri.
 Berdo’a dengan sikap Pat Tik, ada dua sikap pat tik,
Pertama sikap pat tik delapan kebajikan mendekap Thai
Kik yaitu dengan cara tangan kanan dikepalkan lalu
ditutup dengan tangan kiri, sikap tangan ini gunakan
juga pada waktu bersembahyang, kedua sikap delapan
kebajikan mendekap hati dengan cara tangan kanan tetap
membuka, tangan kiri merangkap punggung tangan
kanan dan kedua ibu jari dipertemukan kemudian
didekapkan di dada, sikap ini hanya digunakan pada

126
waktu berdo’a. (Tata Agama dan tata laksana Upacara
Agama Khonghucu, MATAKIN, Th.XXVIII no.4-5).

Dalam hal peribadatan komunal yang rutin


dilaksanakan di Litbang Kota Pangkal Pinang oleh MAKIN
setempat, terdapat tata cara yang agak berbeda dengan
tatacara peribadatan yang dilakukan di Klenteng. Peribadatan
di litang ini semacam kebaktian mingguan. Setiap Jum’at
malam ibadah diawali dengan penghormatan terhadap
Nabi Kong Zi, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu
puji-pujian dan diselingi dengan pembacaan kitab suci serta
ceramah keagamaan. Peribadatan komunal seperti ini tidak
hanya dilakukan di Pangkal Pinang saja, Litbang-litbang
yang berada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga
melakukan hal yang sama. Hal yang membedakan adalah
hari dan intensitas pelaksanaan ibadahnya saja.
Sebagian umat Khonghucu mempertanyakan
keabsahan tatacara ibadah seperti di atas. Mereka menyoal
tatacara ibadah mingguan di litang yang lebih mirip
peribadatan penganut agama Kristen di Gereja. Para
pengurus MAKIN Pangkal Pinang menyatakan bahwa
tatacara ibadah di litang sudah sesuai dengan panduan
peribadatan dari MATAKIN pusat. Hal ini didukung pula
oleh para rohaniawan bahwa adanya lagu puji-pujian
yang diiringi musik modern sebagai langkah MATAKIN
untuk menarik generasi muda atau mempopulerkan
beribadah bersama di litang-litang, selama lirik-lirik lagu
itu berdasarkan nilai yang ada dari kitab suci dan tidak
bertentangan dengannya. (hasil wawancara dengan Taufik
Halim, 7 Mei 2017).

127
Etika dan Moralitas
Dasar ajaran agama Khonghucu disebut Wu Chang,
artinya Lima Kebajikan. Dasar ajaran ini terdapat dalam
kitab Bai Hu Tang. Pe Hu Tang, artinya kitab Harimau Putih.
Disebut demikian karena tempat musyawarah besar tersebut
diselenggarakan di Pe Hu Tang dan ajaran ini adalah hasil
karya dan riset puluhan tahun yang dilakukan oleh pakar
agama Khonghucu pada tahun 179 SM-104 SM atau pada
permulaan zaman Dinasti Han. Ajaran agama Khonghucu
disebut Wu Chang, artinya Lima Kebajikan terdiri dari:
REN yang artinya Cinta Kasih.
Dalam Kitab Suci Agama Khonghucu (Si Shu),
pembahasan tentang Cinta Kasih terdapat pada Kitab Ajaran
Besar sebanyak 1 pasal 2 ayat, Kitab Tengah Sempurna 1
pasal 2 ayat, Kitab Sabda Suci 12 pasal 34 ayat dan Kitab
Meng Zi 8 pasal 19 ayat. Pada Kitab Sabda XII:1 menyatakan
Cinta Kasih itu adalah mengendalikan diri pulang kepada
kesusilaan dan sangat tegantung kepada usaha diri sendiri,
maka Nabi bersabda, “Yang tidak susila jangan dilihat,
Yang tidak susila jangan didengar, Yang tidak susila jangan
dibicarakan, dan Yang tidak susila jangan dilakukan”. Pada
ayat lain, Sabda Nabi menyatakan bahwa “apa yang diri
sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang
lain”. Dalam ayat lain dinyatakan: “Seorang yang berperi
Cinta Kasih ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang
lain pun maju, maka berusaha agar orang lainpun maju”
(Sabda Suci VI:30:3).

128
Kebenaran
Pembahasan tentang kebenaran/keadilan terdapat
pada Kitab Ajaran Besar sebanyak 2 pasal 2 ayat. Tengah
Sempurna 3 pasal 6 ayat, Sabda Suci 4 pasal 5 ayat dan Meng
Zi 6 pasal 8 ayat. Kebenaran itu adalah kewajiban hidup
dan jalan lurus, seringkali disebut bahwa kebenaran adalah
jalan sedangkan kesusilaan adalah pintu. Maka dikatakan
apabila hendak menemui seseorang bijaksana dengan tidak
memakai cara yang berlandas Jalan Suci, laksana menyuruh
orang masuk rumah tetapi menutup pintu”. (Meng Zi VB:
7:8).
Dalam Kitab Meng Zi IIIB:9:9, menyatakan bahwa
ajaran Yang Cu hanya mengutamakan diri sendiri. Tidak
mau mengakui adanya pemimpin. Bik Cu mengajarkan Cinta
yang menyeluruh sama; tidak mengakui adanya orang tua
sendiri !yang tidak mengakui adanya orang tua sendiri dan
adanya pemimpin sesungguhnya hanya burung atau hewan
saja. Kalau ajaran Yang Cu dan Bik Cu tidak dipadamkan,
jalan Suci Kong Zi tidak akan dapat bersemi; kata-kata jahat
itu akan membodohkanrakyat, menimbuni Cinta Kasih dan
kebenaran. Bila Cinta Kasih dan Kebenaran tertimbun, ini
seperti me-nuntun binatang memakan manusia, bahkan
mungkin manusia makan manusia.
Oleh sebab itu bahwa ajaran yang tidak mengakui
adanya orang tua sendiri dan adanya pemimpin sangat
bertentangan dengan kebenaran/keadilan. Sedangkan
ajaran Nabi Agung Kong Zi memposisikan Laku Bakti
kepada orang tua di atas segala-galanya setelah Tuhan dan
Nabi.

129
Kesusilaan
Pembahasan tentang Kesusilan terdapat pada Kitab
Tengah Sempurna sebanyak 4 pasal 6 ayat, Sabda Suci 16
pasal 40 ayat dan Meng Zi 8 pasal 16 ayat. Dalam kamus
Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta arti kata
dari kesusilaan adalah kesopanan; sopan santun, keadaban.
Pada jaman sekarang, kesopanan atau kesusilaan sudah
merupakan barang mahal. Maksudnya adalah semakin
langka orang berlaku sopan terhadap orang tuanya,
saudara-saudara tuanya, orang-orang lain yang lebih tua.
Perkembangan ini menunjukkan suatu kemerosotan moral
dan cukup memprihatinkan.
Dalam banyak hal yang akan kita lakukan, Nabi
Agung Kong Zi memberikanSabda, “Melakukan hormat
tanpa tertib kesusilaan, akan menjadikan orang repot.
Berhati-hati tanpa tertib kesusilaan, akan menjadikan orang
serba takut. Berani tanpa tertib kesusilaan, akan menjadikan
orang suka mengacau. Dan jujur tanpa tertib kesusilaan,
akan menjadikan orang berlaku kasar”. (Sabda Suci VIII : 2).
Jadi setiap perbuatan, menurut kita sudah baik dan benar
masih perlu diukur dengan parameter kesusilaan. Agar apa
yang telah dihasilkan (outputnya) masih dalam kerangka
harmonis, seimbang dan selaras.
Disamping itu, dalam Sabda Suci XX : 3:2
menyatakan bahwa, “Yang tidak mengenal Kesusilaan,
ia tidak dapat teguh pendirian”. Dengan demikian setiap
insan dituntut untuk mengenal kesusilaan. Agar hubungan
sesama manusia di dalam keluarga, masyarakat dan Negara
adanya keharmonisan. Dan pada ayat lain ditegaskan oleh
Nabi, “Tegakkan Pribadimu dengan Kesusilaan”. Hal ini
menunjukkan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri

130
sendiri terlebih dahulu.
Kebijaksanaan
Pembahasan tentang kebijaksanaan terdapat pada
Kitab Ajaran Besar sebanyak 4 pasal 10 ayat, Tengah
Sempurna 5 pasal 5 ayat, Sabda Suci 14 pasal 42 ayat dan
Meng Zi 9 pasal 23 ayat. Kebijaksanaan asal kata dari bijak
artinya pandai, mahir, selalu menggunakan akal budinya
(W. J. S. Poerwadarminta) Nabi bersabda, “Orang yang
memahami ajaran lama lalu dapat menerapkan pada yang
baru, dia boleh dijadikan guru”. (Tengah Sempurna XXVI
: 6). Kata-kata atau ungkapan yang bijak selalu berlaku
sepanjang masa, maka Nabi Agung Kong Zi dijuluki Nabi
Sepanjang Masa.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, bagaimana
cara agar kita dapat bertindak bijak? Dalam Kitab Sabda
Suci III:2:2, menyatakan, “Hal yang sudah terjadi tidak
perlu dipercakapkan, hal yang sudah terlanjur tidak
perlu dicegah, dan hal yang sudah lampau tidak perlu
disalahsalahkan”. Dalam hal ini di anjurkan bahwa orientasi
kita adalah kedepan, sedangkan kejadian-kejadian terdahulu
merupakan guru atau pengalaman hidup untuk melangkah
kedepan, dan selalu memperbaiki serta memperbaharui diri
setiap hari.
Berhubungan dengan keadaan tersebut di atas, ayat
lain menganjurkan, “Balaslah kejahatan dengan kelurusan
dan balaslah kebajikan dengan kebajikan”. Artinya apabila
ada orang berbuat jahat atau jahil kepada kita, maka
sadarkanlah orang tersebut dengan perbuatan kita dan
apabila orang berbuat baik kepada kita, maka kita juga wajib
berlaku baik kepada orang yang bersangkutan.

131
Dapat Dipercaya
Pembahasan tentang dapat dipercaya terdapat
pada Kitab Ajaran Besar sebanyak 1 pasal 1 ayat, Tengah
Sempurna 1 pasal 1 ayat, Sabda Suci 6 pasal 7 ayat dan
Meng Zi 1 pasal 1 ayat. “Kalau memegang sikap dapat
dipercaya itu dilandasi kebenaran, maka kata-katanya akan
dapat ditepati. Kalau sikap hormat itu dilandasi tata susila,
niscaya menjauhkan malu dan hina. Kalau dapat dekat
kepada orang yang patut (Karena jiwanya yang luhur), ia
akan mendapatkan pembimbing yang boleh dijunjung”.
(Sabda Suci I:13). Sikap dapat dipercaya ini memungkinkan
manusia mencapai cita-citanya, sedangkan kesombongan
dan keangkuhan akan mengakibatkan hilangnya harapan.
Dalam kehidupan kita ini setiap manusia
menghendaki orang lain bertindak jujur dan dapat dipercaya.
Padahal belum tentu dirinya dapat bertindak demikian. Jadi
insan yang manapun bila berlaku dapat dipercaya akan
diterima di manapun ia berada.

Sumber Ajaran
Pada dasarnya umat Khonghucu mengambil sumber
ajaran dari 2 kitab suci yakni Shi Su dan Wu Jing. Mengutip
dari laman MATAKIN, disebutkan bahwa sumber ajaran
agama Khonghucu dimulai dari ajaran raja suci yao. Agama
Khonghucu, tepatnya disebut Ru Jiao, sudah ada 2000
tahun sebelum Nabi Kongzi lahir. Sumber ajaran agama
Khonghucu yang tertulis dimulai pada zaman itu.
Oleh Nabi Kongzi disusun Kitab Suci yang terdiri
atas Enam Kitab, dan disebut Kitab Klasik. Kitab Klasik
yang ditulis Nabi Kongzi dengan dibantu murid-murid-

132
Nya semula berjumlah enam. Xun Zi memakai Enam Kitab
Klasik sebagai sumber ajaran Khonghucu. Dia menyarankan
supaya enam kitab Klasik ini sampai kapanpun harus
dipelajarai oleh seluruh rakyat Tiongkok sebagai pedoman
menjalankan roda kehidupan. Ia menekankan, apabila Enam
Kitab Klasik ini tidak dipelajari lagi akan terjadi bencana
perpecahan dan kekacauan di Tiongkok.
Pada zaman Xun Zi Kitab Klasik itu masih berjumlah
enam kitab, namun saat Qin Shi Huang Di berkuasa semua
kitab tersebut dilarang dan dibakar, kecuali Kitab Yi Jing.
Setelah dinasti Qin tumbang (206 SM), kitab Klasik tersebut
dituliskan kembali oleh para ahli yang masih hafal, tetapi
Kitab Musik tidak ada yang dapat menuliskan kembali,
hingga sekarang tidak ada lagi. Kitab Klasik sekarang hanya
ada lima.

Upacara dan Ritual Keagamaan


Dalam agama Khonghucu di Pangkal Pinang dikenal
beberapa upacara dan ritual yang sama seperti dilakukan
oleh oleh penganut Khonghucu lainnya di Indonesia.
Cheng Beng (Qing Ming)
Menurut Halim Susanto, salah seorang tokoh masya-
rakat Tionghoa mengatakan bahwa Cheng Beng (Mandarin)
atau Chin Min dirayakan setiap tanggal 5 April dalam setiap
tahun. Menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-
ramai pergi ke makam orang tua atau para leluhurnya
untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya
upacara penghormatan ini dilakukan dengan beberapa
kegiatan, mulai membersihkan kuburan, mengecat kembali,
menambah pasir pada kuburan tersebut.

133
Bagi umat Khonghucu, mereka akan membawa
sesajian berupa Sam Sen yaitu tiga macam jenis masakan
daging berupa ayam, daging dan cumi kering. Sayur
kesenangan orang tuanya, tiga macam kue, tiga macam
buah dan tidak lupa teh dan arak, ada juga yang membawa
kotak yang berisi uang kertas perak (Kim Ci).
Sembahyang Rebut
Sekalipun etnis Tionghoa telah memilih salah satu
agama, tapi masalah budaya yang telah turun temurun
menjadi tradisi budaya, mereka tidak bisa meninggalkan.
Sekalipun mereka telah hijrah ke kota lain, tapi setiap tahun
mereka datang khusus merayakan acara ritual tersebut,
yaitu sembahyang rebut, karena kalau mereka tidak rayakan
acara ritual tersebut, khawatir akan terjadi malapetaka bagi
masyarakat.
Upacara ritual keagamaan masyarakat Tionghoa
ini,disebut sembahyang rebut, karena barang-barang didekat
boneka itu diperebutkan oleh masyarakat yang hadir pada
malam hari itu. Upacara ini dilakukan tiap bulan tujuh (Juli)
tanggal 15 penanggalan Imlek. Ritual sembahyang Rebut
Chi Ngiat Pan ini, digelar di rumah ibadat atau kelenteng.
Tokoh Rohaniawan Khonghucu di Pangkal Pinang Tjhin
Muk Djie memberikan pandangan lain untuk meluruskan
ritual sembahyang rebut ini, menurutnya ritus ini adalah
sembahyang untuk arwah, penghormatan kepada Shen
Ming yang gentayangan beserta arwah-arwah leluhur. hal
ini memberikan pandangan yang tujuannya bukan untuk
berebut sesembahan, tetapi untuk dibagikan kepada fakir
miskin (Hasil wawancara, tanggal 12 Mei 2017).

134
Acara intinya adalah pembakaran Thai Se Ja yang
terbuat dari aneka ragam kertas, berbentuk boneka
berukuran empat meter. Sosok yang disebut masyarakat
sekitar dengan istilah hantu jelmaan Twan Wu Twan Yang,
untuk menakuti musuh dalam pertempuran di Jampan.
Sedangkan Jampan itu sendiri berarti kemenangan.

Peh Cun
Peh Cun merupakan tradisi masyarakat Tionghoa
untuk menghormati meninggalnya seorang bangsawan
yang sangat dicintai rakyat bernama Qu Yuan (pada zaman
dinasti Chu tahun 340 SM). Perayaan dilaksanakan setiap
tanggal 5 bulan penanggalan Imlek. Masyarakat Tionghoa
beramai-ramai melaksanakan ritual di pantai Pasir Padi
Pangkal Pinang. Prosesi ritual tersebut dilakukan mulai
dengan sembahyang kemudian dilanjutkan beramai-ramai
membuang kue Chang ke laut, sebagai simbol penghormatan.
Upacara ini dilaksanakan tepat tengah hari tanggal 5 bulan
5 penanggalan Imlek.
Dalam acara tersebut sangat ramai dan meriah
dikunjungi berbagai lapisan masyarakat baik penduduk
dalam kota maupun dari luar Kota Pangkal Pinang, dalam
acara ritual tersebut terdapat keunikan dimana telor ayam
mentah yang masih segar dapat didirikan dan air laut
mengalami puncak pasang surut yang sangat jauh sekitar
satu kilometer.
Upacara Ritual di Klenteng
Klenteng Kwan Tie Miau, merupakan kelenteng
terbesar yang terdapat di Kota Pangkal Pinang dibangun
pada tahun 1841 dan diresmikan pada tahun 1846. Kelenteng

135
ini dijadikan Pemda sebagai salah satu obyek wisata di
Kota Pangkal Pinang. Di Kelenteng ini juga dijadikanpusat
upacara peringatan hari raya Imlek, Puncak hari raya Cap
Go Meh, sembahyang Rebut dan kegiatan Pot Ngin Bun.
Disamping itu kelenteng juga berfungsi sebagai tempat
beramal.
Mereka melakukan kegiatan sosial dengan cara
menghimpun dana/bantuan dari masyarakat Tionghoa
terutama yang berdomisili di Kota Pangkal Pinang dan
sekitarnya. Umat Khonghucu sebelumnya menyiapkan
bantuan baik berupa paket sembako ataupun pengobatan
gratis bagi masyarakat yang kurang mampu dengan tidak
memandang latar belakang agamanya sebagai bentuk
kepedulian. Penyerahan bantuan tersebut dilakukan
bertepatan dengan hari besar agama Khonghucu lainnya,
yaitu pada hari jadi Dewa Kwan Kong Tie, Dewa Kwan Im
dan Hari Raya Imlek.

Organisasi Keagamaan
Umat Khonghucu di Pangkal Pinang mempunyai
wadah organisasi resmi yakni Majelis Agama Khonghucu
Indonesia (MAKIN) Kota Pangkal Pinang. MAKIN adalah
lembaga umat agama Khonghucu di suatu tempat yang
telah mandiri dan mempunyai tujuan mulia melayani dan
membina umat Khonghucu dalam berbagai kegiatan sosial,
keagamaan dan kerohanian, serta keberadaannya telah
disahkan oleh MATAKIN. MAKIN Kota Pangkal Pinang
terbentuk bersamaan dengan berdirinya MATAKIN pada 16
April 1955.
Sekretariat MAKIN Pangkal Pinang yang juga

136
berfungsi sebagai litang ini beralamat di Jalan Denpasar
Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Bukit Intan Kota Pangkal
Pinang. Ketua MAKIN Pangkal Pinang menyatakan karena
situasi politik kenegaraan, organisasi ini (MAKIN) baru dapat
berfungsi sebagai sebuah organisasi keagamaan setelah
Agama Khonghucu disahkan kembali oleh pemerintah
sebagai salah satu agama yang dilayani di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (hasil wawancara dengan Werry Chin,
tanggal 16 Mei 2017). Jumlah keanggotaan yang mempunyai
kartu MAKIN adalah 152 anggota, keanggotaan ini nol
sekian persen dari jumlah keseluruhan umat Khonghucu di
Pangkalpinang.
Adapun struktur organisasi MAKIN kota Pangkal
Pinang masa kerja Tahun 2016-2020 terdiri dari:
Tabel 3: Struktur Organisasi Makin Pangkal Pinang
Ketua : Werry Chin
Sekretaris : Jiu Nen (Anen)
Bendahara : Ferardi
Sekretariat : Merren
Bid. Umum dan : Tjin Muk Jie
Pelayanan
Koordinator : Js. Taufik Halim
Kerohaniawan

Program kerja organisasi MAKIN Kota Pangkal


Pinang terdiri dari 6 bidang yang mempunyai peran dan
fungsi masing-masing, antara lain. Bidang Pendidikan:
Bidang ini bertugas menyusun organisasi pengelolaan
sekolah minggu, bagi anak-anak, remaja dan dewasa untuk
mengikuti sekolah minggu guna meningkatkan keimanan
yang benar. Mengupayakan pelayanan pendidikan mata
pelajaran bagi semua siswa/i di Pangkal Pinang. Serta

137
menyiapkan tenaga-tenaga pendidik agama Khonghucu
sesuai kebutuhan. Bidang Pelayanan: Bertugas meningkatkan
dan memudahkan pelayanan pemberkatan perkawinan
(Liyuan), memberikan pelayanan ibadah ritual kematian
(Song Shu). Bidang Kerohanian: Bertugas meningkatkan
jumlah rohaniwan, meningkatkan kompetensi rohaniwan
yang sudah ada, menyiapkan program dan menjalankan
rutinitas kebaktian bagi kelompok usia dewasa. Bidang
Administrasi: Menyusun pelaksana sekretariat, membuat
database peserta Liyuan dan umat Khonghucu sesuai
dengan kartu umat. Bidang Pemuda: Wadah PAKIN (Pemuda
Agama Khonghucu Indonesia), membentuk sel-sel kegiatan,
menyiapkan kelompok-kelompok kesenian, membuat
organisasi Pakin.
Bidang Pemberdayaan Perempuan: Wadah PERKHIN
(Perempuan Khonghucu Indonesia), membentuk Perkhin
kota Pangkal Pinang. membuat sel-sel kegiatan Perkhin.
Pola rekrutmen pengurus MAKIN di kota Pangkal Pinang
masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu
dengan musyawarah umat Khonghucu yang ada di Kota
Pangkal Pinang, setelah dimusyawarahkan, disampaikan
kepada MATAKIN tingkat provinsi yang kemudian
memberikan rekomendasi untuk disahkan oleh MATAKIN
pusat. Mekanisme pemilihan kepengurusan mengacu pada
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga MATAKIN,
untuk MAKIN kota Pangkal Pinang terdapat ketentuan
Musyawarah Pimpinan tingkat kabupaten/kota, Rapat
kerja tingkat kabupaten/kota, Musyawarah umat dan
musyawarah umat luar biasa.
Persyaratan untuk menjadi pengurus:
 Mampu memahami, menghayati, mengimani dan

138
menjalankan nilai-nilai luhur agama Khonghucu dalam
kehidupan sehari-hari.
 Mempunyai kemampuan, integritas dan loyalitas
terhadap Majelis dan Umat.
 Mau menerima dan menjalankan segala ketentuan yang
tertuang dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan ketentuan majelis lainnya.
 Berusia minimal 21 tahun atau telah menikah dan khusus
untuk mengisi jabatan tertinggi di masing masing
institusi minimal harus berusia 30 tahun.
 Bersedia aktif mengikuti kegiatan majelis
 Menghayati wawasan kebangsaan Indonesia dan berjiwa
Pancasila.
 Bersedia di Liyuan sebagai umat Khonghucu dan tidak
aktif di organisasi keagamaan Khonghucu lain yang
tidak diakui secara resmi oleh MATAKIN.
Sedangkan persyaratan untuk menjadi anggota MAKIN:
 Bersedia di liyuan kan sebagai umat Khonghucu, yang
kemudian diberikan kartu umat Khonghucu sebagai
tanda keanggotaan (untuk dewasa).
 Untuk anak-anak dan remaja tidak ada ketentuan khusus,
dan bersedia untuk mengikuti pendidikan keagamaan
serta kebaktian tata cara agama Khonghucu.
Partisipasi umat Khonghucu di Provinsi Kepulauan
Bangka dan Belitung, dalam berorganisasi terutama di Kota
Pangkal Pinang sudah lama berjalan. Diantaranya ada yang
di lembaga sosial masyarakat, partai politik dan FKUB.
Karena etnis Tionghoa di Provinsi Kepulauan

139
Bangka dan Belitung terbanyak dibandingkan dengan
propinsi lain di Indonesia, maka tidak heran ada beberapa
tokoh Tionghoa sebagai anggota DPRD baik tingkat kota/
kabupaten maupun di tingkat Propinsi. Saat ini setidaknya
terdapat 2 orang anggota DPRD Provinsi yang beretnis
Tionghoa dan beragama Khonghucu, hal ini menandakan
sinyalemen yang baik dari segi demokrasi. Salah seorang
diantaranya duduk sebagai anggota Komisi II DPRPD
Propvinsi Kepaluan Bangka Belitung dari Fraksi PDIP.
Motivasi ketertarikannya untuk terjun di kancah
politik adalah untuk mendorong etnis Tionghoa lebih eksis
di segala bidang, terutama agama Khonghucu. Hal ini
didasari oleh perasaan bahwa selama ini etnis Tionghoa
terutama umat Khonghucu kurang diperhatikan oleh
pemerintah (hasil wawancara Ir. Hendryansen, 15 Mei 2017).
Terkait dengan pelayanan pemerintah, ia mengharapkan
pemerintah pusat untuk lebih memberikan bantuan pengajar
dan guru agama yang dirasakan mendesak untuk segera
dipenuhi mengingat perkembangan umat Khunghucu yang
tidak sebanding dengan ketersediaan guru agamanya.

Bentuk layanan Pemerintah terhadap umat Khonghucu


Dalam pemenuhan hak sipil terhadap umat
Khonghucu telah tertuang dalam Instruksi Menteri Agama
RI No.1 Tahun 2006, tentang Sosialisasi Status Perkawinan,
Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama
Khonghucu. Kemudian Kementerian Dalam Negeri
mengeluarkan Surat Mendagri No. 470/336/SJ tentang
Pelayanan Administrasi Kependudukan penganut agama
Khonghucu dimana dinyatakan Gubernur atau Bupati/

140
Walikotaagar memberikan pelayanan administrasi
kependudukan kepada penganut agama Khonghucu
dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada
dokumen administrasi kependudukan.
Landasan hukum telah memberikan ruang kepada
umat Khonghucu agar dilayani dengan baik oleh Pemerintah.
Di kota Pangkal Pinang, umat Khonghucu hak-hak sipil
di bidang kependudukan baik status agama, kelahiran
ataupun perkawinannya telah terlayani dengan baik. Hal
ini diperkuat oleh pernyataan informan bahwa pemenuhan
hak sipil dan kependudukan kami anggap sudah selesai,
walaupun masih pemeluk Khonghucu yang beridentitas
agama Buddha. Persoalan klasik ini masih terjadi dan
menjadi salahsatu hambatan dalam melakukan pendataan
umat. (hasil wawancara dengan Suryanto Chandra, Sek.
MATAKIN Provinsi Kep. Babel,5 Mei 2017).
Hal yang paling mendesak untuk segera diatasi
di Kota Pangkalpinang dan Provinsi Kepuluan Bangka
Belitung pada umumnya adalah pemenuhan tenaga guru
agama Khonghucu. Karena keterbatasan tenaga pengajar,
untuk bisa menghadirkan guru agama di kota Pangkal
Pinang MAKIN mendatangkan seorang guru agama dari
Jakarta.
Pada umumnya siswa-siswi yang beragama
Khonghucu bersekolah di sekolah umum negeri atau
swasta, kadangkala mereka terpaksa untuk ikut pelajaran
agama yang ada disekolahnya agar nilai pelajaran agamanya
tidak kosong, walaupun hal itu bertentangan dengan
keyakinannya. Hingga saat ini hanya terdapat 2 tenaga
pengajaragama Khonghucu di Pangkalpinang, 1 guru agama
untuk para siswa sekolah dan 1 pengajar untuk mahasiswa.

141
Perbandingannya adalah 1 guru untuk 8 sekolah, dan
itupun masih belum dapat memenuhi permintaan mengajar
di sekolah-sekolah lainnya.
Selain hal di atas, problematika dalam rangka
pemenuhan tenaga guru agama juga terbentur dengan
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2007 pasal 12 ayat 1 yang
mensyaratkan bahwa guru agama harus beralatar belakang
sarjana agama, sedangkan sekolah tinggi atau setingkat
perguruan tinggi agama Khonghucu sampai saat ini
belum tersedia. Belum lagi terkait ketersediaan penyuluh
agama, dalam kriteria juknis untuk menjadi penyuluh juga
mensyaratkan sarjana. Sehingga permasalahan tenaga guru
dan penyuluh agama Khonghucu sulit terpenuhi.
Informan dilapangan menyarankan pemerintah
untuk memberikan sedikit kompensasi bagi penerapan
tentang syarat wajib sarjana agama untuk guru dan
penyuluh agama Khonghucu, jika peraturan ini masih
berlaku rigid maka permasalahan diatas tidak akan
terselesaikan. (wawancara dengan Suyanto Chandra, 5 Mei
2017). Hal senada juga disampaikan informan lainnya yang
menyatakan bahwa jika ingin membantu umat Khonghucu,
segeralah membuat semacam Diklat atau pelatihan tenaga
guru agama dan penyuluh oleh pemerintah karena ini sudah
menjadi kebutuhan yang mendesak. (wawancara dengan
Teguh Nugroho, Kasubag Huk dan KUB Kanwil Kemenag
Propinsi Babel, 9 Mei 2017).
Kebutuhan umat Khonghucu di Pangkal
Pinang memang belum sepenuhnya terpenuhi, hal ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti struktur
nomenklatur pembinaan umat yang ada di daerah.
Untuk sekarang anggaran pembinaan umat Khonghucu

142
“dititipkan” dari Pusat Kerukunan Umat Beragama Sekjen
Kementerian Agama ke Subbag Hukum dan KUB Kanwil
Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kemudian tidak adanya struktur nomenklatur yang jelas bagi
agama Khonghucu berakibat pada pelayanan administratif
yang tidak maksimal, selain anggaran pembinaan yang
tidak memadai juga petunjuk teknis pelayanannya juga
belum tersedia. Untuk pembinaan dan pendidikan masih
dilayani oleh internal Khonghucu melalui MATAKIN dan
MAKIN, sehingga menimbulkan wacana pembentukan
struktur nomenklatur setingkat Dirjen Bimas Khonghucu
pun semakin menguat.
Umat Khonghucu di Pangkal Pinang berpendapat
bahwa pola pelayanan top to down menjadi hal yang
paling realistis untuk dilaksanakan. Pemerintahlah yang
semestinya memberikan pelayanan karena pemerintah
mempunyai modal kapital dan personal lebih memadai
dibanding MATAKIN. Layanan pemerintah terutama oleh
Kementerian Agama akan maksimal apabila didukung
oleh struktur nomenklatur yang jelas serta didukung oleh
kebijakan-kebijakan dengan melihat realitas yangterjadi
pada umat Khonghucu.
Dari paparan yang disampaikan di atas dapat
disimpulkan beberapa poin penting terkait pelayanan
pemerintah terhadap umat Khonghucu, antara lain
bahwa pelayanan pemerintah dari beberapa aspek seperti
pemenuhan hak-hak sipil sudah terlaksana dengan baik hal
ini bisa dilihat dari pencantuman kolom agama Khonghucu
dalam KTP sudah terlaksana dan perkawinan hingga
kematian dapat dilaksanakan sesuai dengan tatacara agama
Khonghucu.

143
Di sisi lain, terdapat beberapa aspek yang belum
terlayani dengan baik yakni dari aspek pendidikan agama
yang belum terpenuhi. Problem klasik terkait penyediaan
tenaga guru agama Khonghucu dan penyuluh agama yang
perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat Kota
Pangkal Pinang merupakan salah kota dengan jumlah
penganut Khonghucu yang cukup besar.
Karena keterbatasan sumber daya manusia dan
anggaran dari majelis agama (MAKIN) menjadi hambatan
untuk memberikan layanan terhadap umatnya oleh karena
itu model pelayanan yang ideal untuk saat ini adalah dengan
model top to down, pemerintah selayaknya mengambil
peran yang lebih besar dalam penyediaan layanan dalam
hal pendataan dan penyediaan guru agama dan penyuluh
agama Khonghucu.
Tuntutan agar Khonghucu mempunyai struktur
organisasi unit eselon I setingkat Dirjen di tubuh
Kementerian Agama semakin menguat, agar standar
pelayanan dan anggaran pelayanan untuk umat semakin
jelas dan mempunyai program yang lebih implementatif.
Relasi sosial yang terbentuk antara umat Khonghucu
dengan umat lainnya di Kota Pangkal Pinang terjalin
dengan baik, segregasi sosial tidak begitu mengemuka.
Umat Khonghucu yang mayoritas adalah keturunan etnis
Tionghoa telah berintegrasi dengan masyarakat lainnya,
sehingga eksistensi mereka menjadi bagian yang khas dari
masyarakat Kota Pangkal Pinang. Begitu pula relasi dengan
pemerintah, umat Khonghucu disetarakan dengan umat
agama lainnya dalam hal pemenuhan hak-hak sipilnya.
Studi ini merekomendasikan agar Kementerian

144
Agama dapat memberikan standar pelayanan minimum.
Regulasi terkait standarisasi bagi penyuluh dan guru
agama harus sarjana agama cukup berat untuk dipenuhi,
karena itu bila ada kebijakan khusus terkait hal ini. Selain
itu Kementerian Agama Provinsi dan Kota agar lebih
bersinergi dengan majelis agama Khonghucu (MATAKIN
dan MAKIN) dalam merumuskan prioritas pemenuhan
layanan keagamaan dan pembinaan umat setempat, jalinan
komunikasi antara Kementerian Agama dan majelis agama
agar lebih diintensifkan.

145
146
Bagian VII

UMAT KHONGHUCU KOTA SOLO


Oleh: Wakhid Sugiyarto

Kota Solo dan Lintasan Sejarah Umat Khonghucu


Solo The Spirit Of Java
Solo The Spirit of Java adalah karakter masyarakat Solo
sesungghuhnya. Slogan ini menunjukan bahwa masyarakat
Kota Solo ingin memberitakan pada dunia bahwa Solo
adalah pusat dan jiwanya masyarakat Jawa. Slogan ini
adalah upaya pencitraan identitas diri Kota Solo sebagai
pusat kebudayaan Jawa, yang sudah ratusan tahun silam
menjadi pusat perkembangan budaya Jawa.99 Menurut
Damardjati Supadjar sebagai pusat tatanan filsafat hidup
masyarakat yang berpusat pada konsep harmoni, Solo
merupakan sebuah dalem ageng, yang mengacu pada ego
transendental yaitu batin, yang di dalamnya mengandung
kelembutan, sebagai kepekaan paripurna.100
Istilah rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah

99
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Solo pernah menjadi pusat
pemerintahan Pajang, pusat pemerintahan Mataram, pusat pemerintahan
Kasunan Solodan pusat pemerintahan Kadipaten Mangkunegaran.
Dengan menjadi pusat kebudayaan tersebut maka Solo telah menjadi
sentral dari perkembangan peradaban masyarakat Jawa yang berpusat
pada Keraton. Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan Jawa
hidup di kota Yogjakarta dan Surakarta merupakan peradaban Jawa
yang berakardari Keraton. Koentjaraningrat, Budaya Jawa(Jakarta: Balai
Pustaka, 1994) hlm. 25
100
Damardjati Supadjar dalam pengantar, Mark R. Woodward,
Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kesalehan Kebathinan,Hairus Salim
(terj.), (Yogyakarta: LKIS, 1999) hlm xx.

147
artinya rukun menjadikan kuat sedang perselisihan hanya
mendatangkan kehancuran, merupakan istilah popular
bagi masyarakat Solo. Ada lagi ojo seneng tindak daksiyo, urip
iku welas asih marang liyan (jangan suka berbuat kejahatan,
hidup itu harus didasari rasa kasih sayang pada sesama).
Masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa kita
menjadi kuat karena persatuan dan akan lemah jika saling
pertentangan. Prinsip harmoni ini sering diungkapkan
dengan istilah toto titi tentrem kerta tur raharjo berarti tertata,
cermat, tentram dan sejahtera.101
Seluruh proses kehidupan masyarakat Solo selalu
dikaitkan dengan kekuatan Adi Kuasa, Yang Maha Tinggi
dan Tidak Terbatas. Keyakinan ini membimbing pola pikir
masyarakat Solo selalu mengaitkan antara peristiwa dalam
kehidupannya dengan kejadian-kejadian Adikodrati yang
terdapat di alam semesta. Dalam konteks keagamaan
pembaharu, pola pikir seperti ini sering disebut dengan
gugon tuhon.
Terhadap kekuatan ini manusia posisinya lemah dan
tidak memiliki kekuatan apapun, oleh karenanya manusia
harus menggantungkan dirinya dalam kekuatan Yang Maha
Tinggi dan Tidak Terbatas tersebut. Ungkapan yang lazim
digunakan oleh orang Jawa adalah ora ono doyopikuwatan

101
Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya RNG.
Ronggowarsita (Yogyakarta: Narasi, 2003). hlm. 32-33. Masyarakat Jawa
terkesan akan berusaha menyembunyikan konflik yang mereka alami
dari orang lain, karena hal tersebut dipandang merupakan bagian dari aib
dan tabu. Kedua sikap hidup itu harus dilakukan dengan dilandasi sikap
hormat yang bertujuan pada terciptanya keselarasan hidup. Beberapa
norma sosial sebagai kendali perilaku masyarakat Jawa antara lain; rukun,
tepo seliro, jujur, andhap ashor, ajo dumeh, tulung tinulung, kuwalat, wani
ngalah, wani wedi, wani isen, kepotangan budhi dsb masih dipegang kuat
masyarakat Jawa.

148
songko manungso, kejoba hamung saking pitulunganing gusti
Allah, artinya tidak ada daya dan kekuatan apapun kecuali
dengan bantuan Allah, sebab orang Jawa menyadari bahwa
Allah adalah Dzat Yang Maha Tinggi dari apapun dalam
kehidupan manusia.102
Sementara itu sejarah sosial politik Kota Solo berawal
dari perpindahan Keraton Mataram Kartasura pada tahun
1746. Perpindahan ini disebabkan Keraton Kartasura hancur
akibat serangan Raden Mas Gerendi yang hendak merebut
kekuasaan, bekerja sama dengan etnis Tionghoa (geger
pecinan).103 Setelah kondisi normal, Sunan Pakubuwana
II (1725-1749) membangun pusat pemerintahan baru di
sebelah timur keraton lama di Desa Solo, dekat aliran sungai
Bengawan Solo.
Di Solo, pola pemukiman pada awal abad ke-
20 menunjukan stratifikasi sosial masyrakatnya. Hal ini
dilakukan untuk kepentingan keamanan pemerintah
Belanda. Perkampungan Eropa di tempatkan di Loji Wetan
sekitar benteng Vestenburg. Etnis Tionghoa di sekitar Pasar
Gedhe yang disebut kampung Balong atau Pe Tionghoan.
Etnis Arab di sekitar Pasar Kliwon dan etnis Jawa terpencar
di luar ketiga wilayah tersebut terutama di Laweyan.
Nama kampung penduduk Jawa didasarkan pada nama
bangsawan yang tinggal ditempat tersebut, seperti,

102
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme
dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa(Yogyakarta: Narasi, 2006), hlm 129
103
Rusmiputra Kusumodilaga “Perpindahan Keraton Kartasura
Ke Surakarta” dalam Suwita Santosa (ed). Urip-urip (Surakarta: Musium
Radya Pustaka, 1990) hlm. 269. Lihat juga Darsiti Soeratman, Kehidupan
Dunia Keraton Surakarta 1880-1939 (Yogyakarta: Penerbit Taman
Siswa 1989) hlm. 25-26. Juga M. C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan
Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa(Yogyakarta: Mata Bangsa,
2002) hlm. 61-62.

149
Mangkubumen, Jayakusuman, Suryabratan, Kalitan,
Cakranegaran, Kusumayudan, Coyudan, Purwodiningratan,
Mangkuyudan, Kusumadiningratan dan Kerten.
Selain itu juga ada nama kampung yang di ambil
dari nama kesatuan prajurit Keraton, seperti; Kasatriyan,
Tamtaman dan Sorogenan. Kekuasaan politik kedua
kerajaan ini berakhir setelah berdirinya Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama 10 bulan, Surakarta
berstatus sebagai daerah setingkat provinsi yang dikenal
sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS).104
Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah
yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan
daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.
Saat ini Surakarta berstatus sebagai kota yang di pimpin
oleh seorang Walikota dengan ketetapan UU No 18 tahun
1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Perkembangan Sosial Politik di Kota Solo


Kota Solo merupakan kota terpadat di Jawa Tengah
dan kota terpadat ke-8 di Indonesia. Sebagai kota utama,
Solo di kelilingi oleh beberapa kabupaten yang sekaligus
menjadi daerah penyangganya khususnya dalam aktivitas
ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya. Solo berbatasan
dengan Kabupaten Karanganyar dan Boyolali di sebelah
utara, Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah
timur dan barat dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah
selatan.105

104
Rustopo, Menjadi Jawa, Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan
Jawa di Surakarta 1895 -1998(Yogyakarta, Ombak, 2007) hlm. 22
105
Hermanu Subagio, Biografi Politik Pakubuwono X; Studi Gerakan

150
Dalam hal ini orang Jawa dengan jumlah terbesar
berada di bagian paling bawah, yang terdiri dari para
buruh dan pedagang kecil. Posisi kelas menengah adalah
orang Tionghoa, Arab dan orang asing lainnya. Mereka
mendapatkan keluasan monopoli perdagangan dan
kemudahan dalam kebijakan ekonomi lainnya. Salah
satunya dapat dilihat pada saat itu orang Tionghoa memiliki
hak monopoli perdagangan beras, bahan makanan dan kain,
serta penguasaan lahan pertanian.
Berbagai konflik di Solo muncul seiring dengan
lahirnya gerakan politik keagamaan radikal di Kota Solo,
yang ditandai dengan munculnya kesadaran akan hak
politik dan ekonomi, terutama setelah berdiri Sarekat Islam
(SI). Perkembangan SI sangat pesat dan populer karena
bertujuan memperbaiki kondisi ekonomi dan kehidupan
beragama. Serikat Islam (SI) menggunakan agama sebagai
pengikat anggota, membangkitkan revivalisme beragama
dan mengembangkan semangat nasionalisme kebangsaan.
Pada tahun 1913 anggota SI cabang Surakarta sudah
35.000 orang, baik dari kalangan elit keraton maupun
masyarakat biasa. Semula SI dipimpin H. Samanhudi
kemudian digantikan Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto.
Pada tahun 1918 sampai 1922, gerakan protes semakin
massif, cenderung radikal yang dipelopori Haji Misbach
dan HOS. Cokroaminoto.106 Radikalisme Misbach adalah

Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta(DesertasiProgram Pasca sarjana


UIN Yogyakarta 2010) hlm.164

106
Haji Misbach merupakan tokoh agama, ulama yang
disegeni di Surakarta,namun berpandangan marxis sehingga setiap
hari ia mengobarkan kesadaran perjuangan bagirakyat miskin untuk
mendapatkan hak haknya. Demikian juga dengan HOS. Cokroaminoto

151
wujud ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah
Keraton dan Kolonial. Isu yang diusung adalah tuntutan
kesejahteraan rakyat yang lebih baik, dengan semangat
kerakyatan yang didukung paham keberagamaan kritis.
Haji Misbach sering melakukan agitasi, intrik dan mogok
massal. Semua gerakan dilakukan dengan memadukan
antara Islam dengan Marxisme.
Menurut Aqib Suminto munculnya gerakan radikal
disebabkan adanya perubahan orientasi, yaitu tuntutan
perbaikan hidup terutama buruh perkebunan swasta.
Ada beberapa faktor yang mendorong adanya gerakan
radikalisasi ini yaitu: (1) adanya kemiskinan struktural pada
masyarakat pedesaan tidak dapat di atasi dengan kebijakan
reorganisasi agraria maupun kebijakan reorganisasi
administerasi pemerintahan. (2).
Semakin kuatnya gerakan politik Islam dalam
masyarakat, hal ini ditambah dengan adanya aliran lain
seperti nasionalis, sosialis dan marxis yang turut mendorong
radikalisasi masyarakat pedesaan. (3). masing-masing aliran
tersebut bergerak sendiri-sendiri bahkan arah politiknya
tidak jarang saling berlawanan.107
Masuknya Etnis Tionghoa Di Kota Surakarta
Etnis Tionghoa datang ke Nusantara tidak dalam
sekaligus, tetapi melalui berbagai fase yang berlangsung
cukup lama. Menurut Abdurrahman Wahid masuknya
etnis Tionghoa di Nusantara terdapat tiga fase, yaitu fase

denganSI-nya sering mengorganisir kekuatan rakyat melawan kebijakan


residen Belanda.
107
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES,
1986) hlm. 60; Juga Hermanu Djobagio, Biografi Politik Pakubuwono X: Studi
Gerakan Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta(Desertasi, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010) hlm. 244

152
cendekiawan yang belajar agama Buddha, fase kedatangan
muslim dari Tionghoa dan fase eksodus besar besaran
masyarakat Tionghoa ke Nusantara. Fase pertama ditandai
dengan banyaknya orang Tionghoa yang pergi ke Nusantara
(Jawa) dengan motif berdagang dan belajar agama Hindu
atau Buddha pada abad VII. Salah satu daerah yang menjadi
tujuan mereka adalah Sriwijaya, sebab di daerah tersebut
saat itu menjadi pusat belajar agama Buddha. Di Fase
pertama ini rata-rata yang datang ke Nusantara adalah para
sarjana dan para pelajar.
Fase kedua kehadiran etnis Tionghoa di Nusantara
ditandai datangnya orang-orang muslim Tionghoa ke Jawa.
Mula-mula tentara dan cendekiawan yang melakukan misi
diplomasi atas perintah dinasti Ming di bawah pimpinan
Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 M. Kebanyakan
berasal dari daerah Yunan di Tiongkok bagian selatan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa mereka beragama
Islam dan bermadzab Hanafi, tetapi setelah di Indonesia
mereka kebanyakan berubah menjadi bermadzab Syafii.
Puncak fase kedua ini adalah muhibah dari Laksamana
Cheng Ho yang membawa ribuan armada yang kebanyakan
beragama Islam singgah dibeberapa tempat di Nusantara.
Disinilah terlihat pada masa awal keberadaan
mereka mampu berinteraksi secara harmonis. Sintesa Jawa-
Tionghoa telah menghasilkan kebudayaan yang sangat
kaya. Hal ini bisa dilihat dari beragam budaya Tionghoa
yang berakulturasi dengan budaya lokal. Mereka berbaur
dengan masyarakat luas, dan menghindarkan eklusifme,
terutama dalam hal tempat tinggal.108 Pemukiman mereka

108
Abdurrahman Wahid “Konfusianisme Di Indonesia, Sebuah Pengantar”
Dalam Lasiyo Dkk, Konfusianisme Di Indonesia; Pergulatan Mencari Jati diri (Jogjakarta,
Interfidei, 1995)p.XV

153
yang menjadi satu dengan pemukiman Jawa telah membuat
interaksi antara Tionghoa dengan Jawa sangat dekat dan
tidak berjarak.
Para pelarian politik dari Tionghoa ke Jawa, yang
disebabkan banyaknya kerusuhan di Tiongkok, sehingga
melarikan diri untuk mencari kehidupan lebih baik.
Alternatif yang dipilih adalah ke Nusantara, sebab semenjak
dahulu terkenal dengan negeri yang subur dan kaya.
Berbeda dengan dua kelompak sebelumnya yang beragama
Islam dan kedudukan sosial baik, pada fase ketiga ini tidak
memiliki kapasitas tersebut, sehingga cenderung oportunis
dan individualis. Kebanyakan bukan sebagai pedagang
yang menyebarkanh agama Islam, tetapi bekerja sebagai
pegawai bea cukai, buruh dan pedagang.
Mereka menyebar diberbagai kota di Nusantara,
salah satunya adalah Kota Solo, karena memiliki posisi
setrategis baik dari aspek politik maupun ekonomi. Fase
ketiga ini berlanjut sampai pada masa pendudukan Belanda
di Nusantara, bahkan terjadi ledakan migrasi dari Tiongkok
ke Nusantara yang menyebabkan banyak kerusuhan.
Oleh sebab itu Belanda kemudian mengambil kebijakan
bahwa perkampungan etnis Tionghoa dipisahkan dengan
perkampungan Jawa maupun etnis lainnya.109 Di setiap
kampung Tionghoa, termasuk di Solo diangkat seorang
pemimpin yang disebut dengan letnan atau mayor. Tugas
letnan ini adalah sebagai penghubung kepentingan antara
masyarakat Tionghoa dengan penguasa yang ada didaerah

109
Penyebabnya adalah etnis Tionghoa sering melakukan perlawanan
atas kebijakan Belanda. Di Batavia misalnya, tahun 1700-an terjadi pertempuran
antara Tionghoa dengan Kompeni akibat persainganekonomi. Di Kartasura,
masyarakat bergabung dengan R. Mas Gerendi melakukan perlawanan pada
SultanPakubuwana II yang memiliki kedekatan dengan Belanda pada tahun 1745
dan istananya hancur. Peristiwa ini disebut sebagai gegerpecinan.

154
tersebut. Sudarmono, seorang sejarawan Jawa Tengah
mengatakan bahwa kebijakan pembentukan perkampungan
etnis Tionghoa yang terpisah dari masyarakat memiliki
dampak yang serius, salah satunya adalah antara masyarakat
etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa tidak ada komunikasi,
sehingga mereka hidup saling tertutup.
Etnis Tionghoa di perkampunganya hanya
diperbolehkan bergaul dengan kalangan mereka sendiri,
hanya diperbolehkan melaksanakan adat istiadat mereka
sendiri sehingga berbeda identitasnya dengan kelompok
masyarakat yang lainnya.110
Di Solo kampung khusus untuk etnis Tionghoa
adalah kampung Sudiroprajan atau Balong. Di kampung
Sudiroprajan tersebut komunitas Tionghoa diawasi
keberadaannya. Pemisahan ini merupakan bentuk politik
ekslusifisme Belanda yang dimaksudkan sebagai upaya
mengontrol arus pergerakan masyarakat etnis Tionghoa
baik dalam bidang ekonomi maupun politik dan budaya.
Model perkampungan yang tertutup tersebut
berakibat pada minimnya interaksi mereka dengan
penduduk pribumi, sehingga sering memunculkan stigma
negatif pada etnis Tionghoa. Beberapa prasangka buruk
tersebut antara lain orang Tionghoa adalah orang yang
tertutup, tidak mau berbaur dengan kalangan pribumi. Di
sinilah bagi etnis Tionghoa, perkampungan bukan hanya
persoalan tempat tinggal belaka, akan tetapi juga berkaitan
dengan eksistensi, keamanan dan pengembangan jejaring

110
Hari Mulyadi dkk., Runtuhnya Kekuasaan Keraton
Alit (Studi Mobilisasi Sosial Masyarakat Solo Dan Kerusuhan Mei 1998 Di
Surakarta(Surakarta: LPTP, 1999).204-206

155
ekonomi.
Di Kota Solo eksistensi perkampungan Tionghoa
menjadi sangat penting bagi pengembangan ekonomi
mereka. Bangunan perumahannya di masa lalu umumnya
lebih terbuka dengan kelas sosial lainnya. Hal ini menunjukan,
meskipun tetap mempertahankan kultur budayanya,
tetapi memiliki relasi sosial yang inklusif. Berbeda dengan
Tionghoa modern, yang rumahnya dilengkapi tempat
berdagang, menghadap jalan jalan utama, bertingkat, dan
bertembok tinggi sehingga terkesan eksklusif. Saat ini jarang
masyarakat Tionghoa menggunakan struktur perumahan
tradisionalnya.111
Berdasarkan pembagaian fase tersebut, maka
masuknya etnis Tionghoa di Solo mungkin juga mengalami
tiga fase. Pada awalnya telah ada komunitas kecil etnis
Tionghoa di Solo, disusul kedatangan Laksamana Cheng
Ho dan pada masa kolonial Belanda datang etnis Tionghoa
yang merupakan pelarian politik dari Tiongkok dalam
jumlah yang besar.
Penyebaran Agama Khonghucu
Penyebaran agama Khonghucu di Solo telah
dimulai sejak lama, temasuk di Indonesia sejak zaman pra
sejarah. Hal ini ditandai adanya hubungan antara kerajaan-
kerajaan Nusantara dengan Tiongkok yang merupakan
tempat kelahiran agama Khonghucu. Adanya hubungan
antar kerajaan tersebut memungkinkan adanya proses
pertukaran nilai-nilai ekonomi, sosial, politik, budaya
maupu keagamaan antarkerajaan tersebut.

111
Wijanarko, Surakarta Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan
Bersejarah(Yogyakarta:Ombak 2007)

156
Sejarah Khonghucu merupakan sejarah tua bagi
Indonesia, namun secara organisasi formal baru permulaan
abad XX dirintis adanya pembinaan organisasi yang
bernama: Kong Kauw Hwee (Majelis Agama Khonghucu),
tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1918. Lembaga KHONG
KAUW HWEE ini mendapat hak badan hukum pada tanggal
1 Nopember 1923 atau lima tahun setelah berdiri. Badan
hukum ini diperbarui kembali pada tahun 1965. Lembaga
KHONG KAUW HWEE inilah yang kemudian berkembang
menjadi Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN).112
Organisasi ini kemudian melakukan kongres I
tanggal 12 April 1923 di Yogyakarta dengan menghasilkan
Kong Kauw Tjong Hwee (Pusat Agama Khonghucu),
yang berkedudukan di Bandung. Pada tahun berikutnya,
organisasi ini kemudian membahas pembinaan
penyeragaman dalam tata agama dan tata laksana upacara.
Di Indonesia, umat Khonghucu mencapai 0,7%
dari penduduk Indonesia (sekitar 1,4 juta) yang tersebar
di seluruh wilayah nusantara, dan kebanyakan adalah
keturunan Tionghoa. Pemeluk agama Khonghucu yang
berasal dari suku Jawa mendasarkan pada panggilan
rohaninya untuk menjadi kausing.113 Pembinaan umat
Khonghucu secara formal dilakukan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (MATAKIN), sedang untuk tingkat
lokal oleh MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia),
Kebaktian Agama Khonghucu (KAKIN), maupun lembaga

112
Bs. B. Sidartanto Buanadjaya, Dirgahayu Majelis Agama
Khonghucu Indonesia (MAKIN) Solo ke 65 tahun, Dokumentasi kata
sambutan peringatan 65 tahun MAKIN Solo tahun 1983.
113
Suhadi Cholil (ed), Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan Di
Indonesia(Yogyakarta,CRCS UGM, 2010) hlm. 12

157
agama Khonghucu lainnya.
Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, MATAKIN
tidak mendasarkan pada wilayah administratif pemerintahan
melainkan mengikuti kosentrasi umat Khonghucu yang
ada serta tempat ibadah pada wilayah tersebut. MATAKIN
berasaskan Pancasila, bersifat idenpenden, dan tidak
berafiliasi dengan organisasi sosial politik. Menurut Bs.
Adjie Chandra ketua majelis Agama Khonghucu Indonesia
(MAKIN) Surakarta berdirinya KHONG KAUW HWEE
ini kemudian diikuti oleh berdirinya cabang dari KHONG
KAUW HWEE diberbagai daerah, termasuk di kota Solo.
Para tokoh yang berjasa mengembangkan agama
Khonghucu di Solo antara lain : Tan Kiong Wie (Ketua
MAKIN kota Surakarta pertama), Tan Kiong Wan, Kwik
Hong Hie, Ong Sam Hway, Tjan Bian Lie, Ny Auw Tjhing
Ho, Ny. Tjan Hwan Tjwan dan tokoh lainya. Saat ini umat
Khonghucu di Surakarta jumlahnya kurang lebih 700 orang.
Perkembangan agama Khonghucu ini semakin pesat
ketika Haksu Tjhei Tjay Ing menjadi rohaniawan agama
Khonghucu sejak tahun 1963 sampai tahun 1983. Saat itu
Haksu Tjhei Tjay Ing menjadi rohaniawan umat Khonghucu
tingkat nasional. Perjuangan Haksu Tjhei Tjay Ing ini
dilanjutkan para rohaniawan MAKIN di Solo seperti; Ks.
Hartono Sulistyo, Bs. Suryohutomo, Bs. Suryo Bawono, Bs.
Liem Tiong Liang, Bs. Jeanny Kurniati, Bs. Eddy Haryanto,
Ks. Ny Ting Waryani, Ks. Lea Koesyani dan rohaniawan
lainnya. Seperti dalam ajaran agama Khonghucu secara
umum, umat Khonghucu di Solo juga beribadah dan tata
cara upacara yang meliputi kebaktian atau persujudan
kepada Tuhan, para nabi, para suci, penghormatan terrhadap
leluhur serta penghormatan terhadap masyarakat.

158
Misalnya kebaktian bersama di tempat ibadah
dipahami sebagai bukan hanya pelaksanaan kewajiban
persujudan, melainkan juga menjadi sarana pembinaan
kehidupan mental, moral maupun spiritual umat
Khonghucu untuk memasuki pintu kebajikan. Bs. Adjie
Chandra mengatakan bahwa agama Khonghucu juga
mengatur peribadatan secara pribadi dengan jalan
mendorong manusia untuk selalu mawas diri (sing sien),
berpantang dan bersuci, berpuasa maupun melatih diri
dengan jalan meditasi (cing coo). Upacara sidi dan upacara
wajib dilaksanakan umat antara lain sidi kelahiran anak, sidi
akil baligh, sidi pernikahan, sidi pengakuan iman, upacara
kematian, dan kebaktian kepada arwah leluhur.
Umat Khonghucu juga diwajibkan melakukan
sembahyang dengan ucapan syukur yaitu setiap hari: pagi,
siang dan sore sesaat sebelum makan. Di samping itu, setiap
pagi dan sore umat Khonghucu diwajibkan melakukan
sembahyang dengan menggunakan dupa (hio) dihadapan
altar khusus, dan apabila tidak mempunyai hal tersebut
maka diwajibkan sembahyang menghadap ke jendela atau
pintu.114
Tradisi agama Khonghucu mengarahkan umatnya
untuk berpuasa, berpantang dan menjauhi makan daging
setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek (Lunar). Puasa
wajib dilakukan mulai hari ketiga setelah tahun baru Imlek
dalam rangka menyongsong sembahyang besar Tuhan Yang
Maha Esa pada malam 8 menjelang 9 bulan satu penanggalan
Imlek (Lunar). Agama Khonghucu juga mengenal tradisi
sadranan atau ziarah kepada orang tua, kakek, nenek,

114
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wwancara, 15/6/2017).

159
yang sudah meninggal sebagai bentuk perwujudan ajaran
bakti yaitu setiap tanggal 5 April. Pelaksanaan peribadatan
tersebut dipimpin rohaniawan.
Dalam Agama Khonghucu, rohaniawan mempunyai
fungsi sebagai pemimpin umat, pembawa khutbah dan
menunaikan doa, memberi pengajaran agama, pembinaan
pelaksanaan agama dan melakukan pelayan umat dan
masyarakat. Rohaniawan dalam Agama Khonghucu dibagi
dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama, kausing (penyebar
agama) yang berperan sebagai pelayan kerohaniawan dan
pembinaan umat.
Kedua, bunsu (guru agama) yang memiliki peran
sebagai kaum intelektual tempat para kausing berkonsultasi,
selain berperan juga sebagai kausing untuk menyebarkan
agama Khonghucu. Kebanyakan bunsu ini diangkat
dari kalangan kausing senior, yang dinilai mempunyai
pemahaman, penalaran dan pengetahuan mengenai agama
Khonghucu secara mendalam. Ketiga, haksu (pendeta), yang
dipilih dari kalangan bungsu senior. Haksu ini biasanya
orang yang telah mengikrarkan dirinya mengabdikan
seluruh hidupnya untuk keperluan kemajuan dan
perkembangan agama. Dalam tata pengambilan keputusan
apabila belum ditemukan dalam ajaran Khonghucu maka
rohaniawan atau umat merujuk kepada haksu.115
Di Solo, jika umat Islam memiliki tradisi Grebek
Suro dengan melibatkan kebo bule, maka umat Khonghucu
memiliki tradisi Grebek Sudiro. Grebek Sudiro ini mampu

115
Bs Chandra Setiawan, Sekilas Tentang Agama
Konghuchu” dalam Wiwin Sri Aminah(ed) Sejarah Teologi dan Etika Agama-
Agama(Yogyakarta, Dian/Interfidei, 2003) hlm. 60

160
menyedot perhatian masyarakat luas, sehingga mendorong
perputaran ekonomi masyarakat Kota Solo. Dalam grebek
Sudiro ini akan diarak tumpeng raksasa lengkap dengan
lauk pauk dan buah-buahan. Di samping itu arak-arakan
diramaikan pula dengan tari Barongsai. Anehnya dalam
pertunjukan Barongsai ini, para pelaksana adalah anak-
anak muslim, dan hanya beberapa saja yang Khonghucu.
Anak-anak muslim itu biasanya sekolah di Yayasan
Tripusaka. Grebek Sudiro ini sekaligus memperlihatkan
betapa etnis Tionghoa dengan Jawa itu tidak ada jarak sosial.
Arak-arakan grebek Sudiro ini biasanya mengambil start
klenteng Tri Darma di samping Pasar Gede menuju klenteng
Gerabg Kebajikan di jalan Jagalan, Solo. Sepanjang jalan
itu penuh dengan lampion warna warni yang didominasi
warna merah menyala dan kuning menyala.116
Pada perayaan Imlek, umat Khonghucu melakukan
persembahyangan di Kelenteng Gerbang Kebajikan.
Sementara di kalangan umat Katolik melakjukan misa Imlek
yang selalu mengambil tempat di pemakaman in memorial
Delingan. Sebuah misa yang sebenarnya tidak disukai oleh
kalangan umat Khonghucu. Namun umat Khonghucu
tidak mempersoalkanya secara terbuka, untuk menjaga
kerukunan dan sekaligus sebagai bentuk inferiornya di
hadapan umat Katolik.
Umat Katolik ini tidak hanya mengambil Imlek
sebagai momen berdoa untuk semua, tetapi juga melakukan
misa Asyura (Islam Jawa), sebuah misa yang lagi-lagi dapat
mengganggu kerukunan umat beragama di masa depan,
jika tidak segera disadari oleh umat Katolik. Dengan alasan

116
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wwancara, 15/6/2017).

161
apapun, mestinya umat Katolik tidak melakukan misa Imlek
ataupun misa Asyura, karena itu sudah masuk wilayah
tradisi umat agama lain.117
Dewan rohaniawan yang ada di Indonesia secara
legal formal berada di bawah naungan MATAKIN, maka
dalam segala aspek aktivitas dan kegiatannya harus
sepengatahuan MATAKIN. Selain para rohaniawan yang
bersifat formal seperti kausing, bunsu dan haksu di atas,
agama Khonghucu juga mendorong setiap kepala keluarga
menjadi bapak rohaniawan bagi keluarganya, memimpin
keluarga untuk sembahyang di altar peribadahan keluarga,
mengajak anggota keluarga melakukan meditasi (cing
coo) dan memberikan keteladanan mengamalkan ajaran
Khonghucu secara baik dan benar dalam kehidupan.
Menurut Bunsu B. Sidartanto Buanadjaya secara
umum tugas utama para rohaniawan yang mengembangkan
agama Khonghucu di Solo adalah membina dan melayani
ruhani umat. Tugas rohaniawan secara khusus adalah;
(1) mengembangkan khutbah agama Khonghucu, (2)
menanamkan benih keimanan kepada semua umat, (3)
memantapkan pri kehidupan beragama dan sekaligus
mendorong menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Salah satunya adalah melalui kebaktian yang rutin di
laksanakan yaitu kebaktian yang dilakukan setiap hari
minggu. Kebaktian umat Khonghucu ini dilaksanakan
di Lithang pilar kebijaksanaan, tempat beribadah umat
Khonghucu di jalan Jagalan No. 15 Surakarta.118

117
Bs. Adji Candra, (Wawancara 16/6/2017)
118
Bs. B. Sidartanto Buanadjaya, Dirgahayu Majelis Agama
Khonghucu Indonesia (MAKIN) Solo ke 65 tahun, Dokumentasi kata sambutan

162
Pada dasarnya umat Khonghucu mengenal beberapa
jenis tempat ibadat, antara lain: Kongcu Bio, Bun Bio,
Lithang (tempat kebaktian) dan tempat kebaktian keluarga.
Dalam tradisi agama Khonghucu, kebaktian yang dilakukan
bersama-sama dimaksudkan sebagai upaya pembinaan
mental, rohani dan spiritual manusia yang dibimbing oleh
tokoh rohaniawan beserta pembantunya. Sebagaimana
agama lain, dalam kebaktian ini juga disampaikan khutbah
dengan materi keagamaan Khonghucu, sembahyang
serta pembacaan doa-doa kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa di dalam bimbingan Nabi Kongcu. Secara rutin
kebaktian bersama ini dilaksanakan setiap tanggal 1 dan 15
penanggalan bulan (Lunar) atau Kongculik.
Sedangkan ibadah tahunan dilaksanakan di tempat
kebaktian pada peringatan hari lahir Nabi Kongcu, yaitu
setiap tangga 27-VIII Imlek, peringatan hari wafat Nabi
Kongcu yang jatuh setiap tanggal 18-II Imlek, peringatan hari
genta rohani yang diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Selain itu, diadakan juga kebaktian kemasyarakatan yang
berupa sembahyang arwah secara umum yang dilakukan
setiap tanggal 29-VII Imlek, dan hari persaudaraan tanggal
24-XII penanggalan Imlek.119
Di Solo ini setiap hari minggu dilakukan tiga kali
kebaktian yaitu kebaktian pagi, siang dan sore hari. Kebaktian
pagi dilaksanakan pada jam 07.00-08.00. Kebaktian ini
merupakan kebaktian yang dikhususkan untuk anak-anak,
berisi peribadatan dan peningkatan ruhani anak-anak.
Kebaktian ini dipimpin Ks. Lea Trikoesyani. Kebaktian

peringatan 65 tahun MAKIN Solo tahun 1983.


119
Bs Chandra Setiawan, Sekilas Tentang Agama Konghuchu” dalam
Wiwin Sri Aminah(ed) Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama(Yogyakarta,
Dian/Interfidei, 2003) hlm. 61

163
siang dilaksanakan pada pukul 09.00-11.00. Kebaktian ini
untuk pemeluk agama Khonghucu secara umum. Dalam
kebaktian ini penguatan aspek moralitas dan ruhaniah
menjadi fokus kebaktian. Kebaktian ini dipimpin Ks. Suryo
Bawono. Sedangkan kebaktian sore adalah kebaktian yang
ditujukan kepada pemuda.
Kebaktian ini dilaksanakan pada pukul 17.00-18.30.
Sama dengan dua kebaktian yang lainnya kebaktian untuk
pemuda dimaksudkan untuk memperkuat ruhani pemuda.
Kebaktian ini dipimpin Ks. Bs. Adjie Chandra.120 Selain itu,
setiap hari jumat diadakan pendalam Kitab Susi, mulai
pukul 19.00-20.30, yang dipimpin Bp. Suryo Bawono dan
Bs. Bing Sidartatanto. Kegiatan rohaniawan lainya adalah
mengadakan khutbah keluar Solo, ke berbagai kota di
Jawa Tengah dan Yogyakarta. Penjadwalan kotbah di luar
Surakarta diatur Komisaris Majelis Daerah Jawa Tengah dan
Yogjakarta.121
Untuk mengadakan pembinaan secara lebih
mendalam akan ajaran khonghucu maka dibentuk WAKIN
(Wanita Agama Khonghucu Indonesia) dan PAKIN (Pemuda
Agama Khonghucu Indonesia). Secara khusus tugas kedua
lembaga ini adalah menunjang pelayanan pembinaan
kebaktian di Lithang-Lithang agama Khonghucu. Di Solo
WAKIN secara resmi dibentuk pada 30 Desember 1950. Di
Surakarta selama masa orde baru, hampir 30 tahun lebih,
kebaktian dan aktivitas kerohanian banyak diikuti oleh

120
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (wawancara 15/6/2017).
121
Bs. B. Sidartanto Buanadjaya, Dirgahayu Majelis Agama
Khonghucu Indonesia (MAKIN) Solo ke 65 tahun, Dokumentasi kata sambutan
peringatan 65 tahun MAKIN Solo tahun 1983.

164
kalangan perempuan, seperti peringatan hari lahir nabi,
hari wafat nabi, maupun peringatan hari besar keagamaan
Khonghucu lainnya.
Begitu juga dengan serangkian kegiatan sosial religi
lainnya, kebanyakan didominasi oleh kalangan perempuan,
seperti: songsu, penghiburan saudara yang sedang sakit
atau menderita, dan kegiatan sosial lainnya.122 Sedangkan
kegiatan yang dikoordinir oleh PAKIN– yang merupakan
wadah pembinaan bagi pemuda, yang didirikan pada tahun
1955, memiliki kegiatan yang khas kepemudaan. PAKIN ini
menjadi wadah yang sangat strategis untuk menanamkan
nilai-nilai kebajikan, kebaikan dan nilai positif lainnya,
mengingat para pemuda merupakan generasi yang akan
memimpin pada masa yang akan datang.
Beberapa kegiatan PAKIN ini antara lain: PON
PAKIN I yang diselenggarakan di Solo pada tahun 1981,
yang mencerminkan para pemuda Khonghucu memiliki
semangat untuk kebersamaan dalam usaha meningkatkan
persaudaraan. PON PAKIN II di selenggarakan di Semarang.
Dengan PAKIN ini diharapakan para pemuda Khonghucu
memiliki kemampuan berorganisasi, selain untuk melatih
kemampuan fisik mereka.123
Dalam aspek pendidikan, sejak adanya akta notaries
tanggal 17 Juli 1979, Y. P Tripusaka mengelola 4 unit sekolah,
yaitu: pertama, TK. Tripusaka, di Jl. Jagalan 15 Surakarta.
Kedua, SD Tripusaka di Jln. Jagalan 15 Surakarta. Ketiga,
SMP Tripusaka, di Jln. Kol. Sutarto 94 Surakarta. Keempat,

122
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara 15/6/2017).
123
Bs. B. Sidartanto Buanadjaya, Dirgahayu Majelis Agama
Khonghucu Indonesia (MAKIN) Solo ke 65 tahun, Dokumentasi kata sambutan
peringatan 65 tahun MAKIN Solo tahun 1983.

165
SMA Tripusaka, di Jln. Kol. Sutarto 94 Surakarta. Semua
unit sekolah yang dikelola oleh YP.
Tripusaka ini dimanajemen secara modern dengan
kontrol administrasi yang ketat serta di bawah pengawasan
akuntan. Selain itu, sekolah-sekolah yang dikelola oleh
Yayasan Pendidikan Tripusaka ini mempunyai ciri khas,
yaitu: bhakti sosialnya, menampung anak-anak yang
berasal dari keluarga yang kurang mampu. Saat ini tercatat
sebanyak 300 anak menjadi siswa di Yayasan Pendidikan
Tripusaka Surakarta ini. Mereka belajar pelajaran umum
dan juga pelajaran agama Khonghucu, beserta budaya
leluhur mereka.
Menurut Bs. Adjie Chandra nama Tripusaka sendiri
diambil dari komitmen kemasyarakatan yang dimiliki agama
Khonghuchu. Dalam menjalankan kewajiban bermasyarakat
tersebut, Nabi Kongcu memberikan tiga pusaka sebagai
kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu: kebijaksanaan,
cinta kasih dan berani, sebagaimana yang diatur dalam Kitab
Tengah Sempurna, XIX: 8. Kebijkasanaan dimaksudkan
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan secara tepat,
cinta kasih sebagai dasar perbuatan yang menumbuhkan
semangat keberanian di dalam menegakkan kebenaran dan
tidak cemas dalam menghadapi tantangan, sebagaimana
yang dijelaskan dalam Kitab Tengah Sempurna XIX: 10.124
Haksu Tjhie Tjay Ing mengatakan bahwa agama
Khonghucu mendorong umatnya untuk menjalin
komunikasi, kerjasama dan rasa saling menghormati antar
sesama manusia dalam koridor sistimkemasyarakatan.
Dalam ajaran Khonghucu mengenal hal tersebut sebagai

124
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 15/6/2017.

166
bentuk praktek kehidupan kebajikan yang diridhoi oleh
Tuhan (Thian), sehingga tidak lepas dari pergaulan dan
hidup di tengah masyarakat. Dalam tata aturan mengenai
hubungan dengan masyarakat luas, maka agama Khonghucu
mengdepankan jalan suci yang di dalamnya terdapat lima
hubungan kemasyarakatan (ngo lun) atau perkara suci yang
harus ditempuh, yaitu: hubungan pemerintah atau para
pemimpin dengan rakyatnya, orang tua dengan anaknya,
suami dengan istrinya, kakak dengan adinya, dan kawan
dengan sahabatnya.125
Agama Khonghucu mendorong umatnya menjadi
seorang Koncu, susilawan dan insan kamil, tidak
menunjukkan golongan atau kelompok, tetapi seorang yang
benar-benar bercita-cita senantiasa menjunjung kebajikan,
seperti disebutkan dalam Sabda Suci VI: 13. “Dialah pribadi
insani yang mencerminkan kehendak dan firman Tuhan,
tidak bergantung kepada masalah bangsa, jenis, paham
ideologi bahkan agama, tetapi di dalamnya dirinya semarak
kebajikan yang menunjukkan setianya kepada Tuhan dan
mencintai sesama manusia, maka baginya: di empat penjuru
lautan, semua manusia bersaudara” (Sabda Suci XII: 5).
Dalam pandangan Khonghucu semua manusia
mempunyai derajat dan kesempatan yang sama dihadapan
Tuhan, siapa saja yang mengamalkan kebaikan dan
mengembangkan kodratnya sebagai makhluk Tuhan pada
dasarnya ia adalah seorang Khonghucu. Disebutkan bahwa
“Apa yang diri sendiri tiada ingini, jangan diberikan kepada
orang lain (Sabda Suci XII: 2), “seorang yang berperi cinta

125
Haksu Tjhie Tjay Ing, “Teologi Agama Khonghucu, dalam
Wiwin Sri Aminah (ed) Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama(Yogyakarta,
Dian/Interfidei, 2003) hlm. 179-181.

167
kasih ingin tegak, maka ia berusaha agar orang lain pun
tegak, ia ingin maju, maka ia berusaha agar orang lain
pun maju (Sabda Suci VI: 20)”.126 Implementasinya adalah
dalam setiap tahun, pada hari persaudaraan yaitu tanggal
24 bulan XII (Lunar) Imlek, umat Khonghucu diwajibkan
menyisihkan sebagaian hartanya untuk fakir miskin. Agama
Khonghucu membimbing umatnya untuk menempuh jalan
suci, jalan kebaikan untuk hidup selaras sebagai pernyataan
setia kepada Tuhan dan menjadi saudara yang dapat
dipercaya bagi sesama manusia.
Agama Khonghucu tidak mengenal bangsa pilihan
atau unggulan, tidak ada tanah suci atau perjanjian sebab
semua tanah adalah suci, semua diciptakan Tuhan. Umat
Khonghucu harus setia kepada pemerintah di mana saja,
seperti disebutkan dalam Bingcu 15: 3.127 Disinilah Tripusaka
dipahami sebagai wadah pembinanan, pengembangan
kepribadian bangsa. Pendidikan Tripusaka berupaya
memberikan konstribusi menunjang terealisasinya cita cita
kebangsaan Indonesia, khususnya dalam meningkatkan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi
budhi pekerti, memperkuat kepribadian Indonesia dan
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.128 Dewan
pendiri Yayasan pendidikan Tripusaka ini adalah Haksu
Tjhie Tjai Ing, Bs. Prasetyo Wahyudi, Nian ing Siang, Ks.
Hartono Sulistyo, Susamto, Lai Gian Sen dan Oei Tjien
Twan. Sedangkan pengurus yayasan Pendidikan Tripusaka
Surakarta adalah : Penasehat : Drs. Kosasih Atmowardaya,
Go Bhok Djiang, Ks. Hartono Sulistyo Ketua : Santosa Leidra

126
Ibid, hlm. 183
127
Ibid, hlm. 185-187
128
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 15/6/2017)

168
Wakil Ketua : Haksu Tjhie Tjai Ing Sekretaris : Bs. B. Sidartono
B. Bendahara : Ks. Indarto Komisaris : Bs. Suryo Bawono,
Soesanto Prabaraharjo, Bs. Triyanto, Bs. Drs. Oesman Arief,
Yopie Yasmara Badan Usaha : Nian Ing Siang, Soesanto.

Penganut Agama Khonghucu Menegakkan Jatidiri


Perjalanan agama Khonghucu di Indonesia penuh
liku, bahkan mengalami sinkretisme. Oleh karena itu
mereka mendirikan Tiong Hoa Hwee Kwan (Zhonghua
Huiguan) tahun 1920-an untuk memurnikan agama dan
menghapuskan sinkretisme. Setelah memiliki organisasi,
mereka melaksanakan Kongres tanggal 6-7 Juli 1956 di Solo.
Kongres ini menyempurnakan AD dan ART
Perserikatan Khong Chiao Hwee Indonesia/Perserikatan
Kong Jiao Hui Indonesia (PKCHI). Kedudukan pusat tetap
di Solo dengan ketua Dr. Kwik Tjie Tiok dan Sekretaris Tjan
Bian Lie. Kongres kedua diselenggarakan di Bandung, tgl
6-9 Juli 1957. Kongres ketiga diselenggarakan di Boen Bio
Surabaya tgl 5-7 Juli 1959 dengan ketua umum Tan Hok
Liang dan sekretaris Tan Liong Kie untuk periode 1959-1961
kedudukan pusat dipindahkan ke Bogor.
Di dalam konggres ke empat di Solo 14-16 Juli 1961
diputuskan: Mengintensifkan penyeragaman tata ibadah;
Mengubah nama PKCHI menjadi Lembaga Agama Sang
Khongcu Indonesia (LASKI ); Mengutus Thio Tjoan Tek,
salah seorang ketua LASKI, bersama dengan Prof. Dr.
Mustopo dari Bandung, memohon agar agama Khonghucu
dikukuhkan dalam bimbingan kehidupan masyarakatnya
oleh Kementerian Agama; Solo kembali dipilih sebagai
pusat organisasi, Tjan Bian Lie sebagai Ketua Umum dan

169
The Ping Hap sebagai sekretaris.
Pada konferensi 22-23 Desember 1963 di Solo nama
LASKI diubah menjadi Gabungan Perkumpulan Agama
Khonghucu Se-Indonesia (GAPAKSI). Pada Konggres ke-6
GAPAKSI di Solo 23-27 Agustus 1967, nama GAPAKSI diubah
menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia). Di dalam konggres ini Presiden RI Soeharto dan
Ketua MPRS A. H. Nasution, memberikan sambutan tertulis.
Dirjen Bimas agama Hindu dan Buddha Departemen
Agama RI, I. B. P. Mastra yang saat itu sudah memberi
tempat bagi umat agama Khonghucu di departemennya,
ikut memberikan sambutan atas nama Menteri Agama.
Konggres ke-7 diselenggarakan di Pekalongan tgl 24-28
Desember 1969. Kedudukan pusat tetap di Solo.
Tanggal 25-27 Desember 1970 diadakan Musyawarah
Kerja (Muker) Makin-Makin se-Jawa Barat dan DKI Jaya
untuk meningkatkan perkembangan Agama Khonghucu.
Tanggal 3 Juli 1971 diadakan Musyawarah Kerja Seluruh
Indonesia (MUKERSIN I), yang dihadiri utusan-utusan dari
41 daerah dengan tujuan mensukseskan Pelita dan Pemilihan
Umum. Tanggal 23-27 Desember 1971 diselenggarakan
Konggres ke-8 Matakin di Semarang. Hasilnya kedudukan
pusat tetap di Solo dan terpilih: Ketua umum: Suryo Hutomo
dan Sekretaris: IbuTjiong Giok Hwa.
Tanggal 19-22 Desember 1975 di Tangerang
diselenggarakan MUNAS III Dewan Rokhaniwan Agama
Khonghucu Indonesia (DRAKI) yang dihadiri oleh
Rokhaniwan dari 25 daerah. Keputusan penting munas
adalah disahkannya penyempurnaan hukum perkawinan
dan pelaksanaan upacara. Tanggal 20-23 Desember 1976
diselenggarakan MUKERSIN II di Jakarta yang dihadiri

170
utusan-utusan dari 35 daerah untuk konsolidasi umat
Khonghucu demi mensukseskan Pembangunan Nasional.
Pada tanggal 28 s/d 9 September 1979 MATAKIN mengirim
utusan mengikuti World Conference on Religion or Peace ke 3 di
New Jersey, Amerika Serikat.
Tanggal 23-31 Agustus 1984 MATAKIN mengirim
utusan menghadiri World Conference on Religion for Peace di
Nairobi, Kenya, (Afrika). Tanggal 15 Januari 1987 di Solo
diselenggarakan konferensi MATAKIN secara internal dan
sebagai hasilnya telah terpilih Ketua Umum MATAKIN
periode 1987-1991 yaitu Ws. Leo Kuswanto. Pada tanggal 14
Maret 1987 diadakan pertemuan MATAKIN dan disepakati
untuk mengadakan revisi dan penyempurnaan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam rangka
menyesuaikan diri dengan Undang-undang No.8/ 1985.
Tahun 1993 diadakan Munas (Kongres) MATAKIN
XII di Jakarta dan terpilih sebagai Koordinator Presidium
Hengky Wijaya (Pak Ong) dengan Ketua Majelis Pimpinan
Pusat Harian Js. Chandra Setiawan dan Sekretaris Irwanto.
Kedudukan pusat MATAKIN di Jakarta. Tanggal 22-
23 Agustus 1998 di Asrama Haji Pondik Gede, Jakarta
diselenggarakan Munas (Konggres) MATAKIN XIII yang
dibuka oleh H. Amidhan mewakili Menteri Agama Malik
Fajar.
Terpilih sebagai Ketua Umum Js. Chandra Setiawan
dan Sekretaris Umum Budi S. Tanuwibowo. Tanggal 13-15
September 2002 diselenggarakan Musyawarah Nasional ke-
14 MATAKIN di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta yang
dibuka oleh Ketua MPR RI, Amien Rais.

171
Ikut memberikan pengarahan Menko Polkam Susilo
Bambang Yudoyono, Menteri Agama, Menteri Pendidikan
Nasional Malim Fajar, Menteri PPN/Kepala BAPPENAS
Kwik Kian Gie, mantan Presiden RI KH. Abdurrahman
Wahid, Sekjen MUI Din Syamsuddin, Ketua MUI Sulastomo.
Pada Munas ini ditetapkan Ketua Umum untuk periode
2002-2006 adalah Js. Budi S. Tanuwibowo dan Sekretaris
Umum Dede Hasan Senjaya.

Berdirinya MATAKIN
Pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Solo diadakan
konferensi antar tokoh-tokoh Agama Khonghucu untuk
membahas kemungkinan ditegakkan kembali Lembaga
Agama Khonghucu secara Nasional setelah tidak ada
kegiatan semenjak pecahnya perang Dunia II dan masuknya
Jepang ke Indonesia. Akhirnya pada konferensi yang
diselenggarakan di Solo tanggal 16 April 1955 disepakati
dibentuk kembali Lembaga Tertinggi Agama Khonghucu
Indonesia dengan memakai nama Perserikatan K’ung Chiao
Hui Indonesia (PKCHI) yang diketuai Dr. Sardjono. Tanggal
16 April 1955 disepakati sebagai hari jadi Majelis Tinggi
Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
Sejak berdirinya secara periodik diadakan Kongres/
MUNAS. Pada awal pemerintahan Orde Baru, tepatnya
tanggal 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-
VI di mana Soeharto yang pada waktu itu sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia berkenan memberikan
sambutan tertulis yang antara lain mengatakan bahwa,
“Agama Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam
negara kita jang berlandaskan Pancasila ini”.

172
Pada tahun 1978 umat Khonghucu Indonesia
terkena abu panas, sehingga keberadaan tidak diakui
dengan berbagai dalih yang dikeluarkan Pemerintah Dalam
Negeri. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal
18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama
yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Buddha, mulailah keberadaan umat Khonghucu
dipinggirkan dan merakapun terlunta-lunta dalam
ketidakpastian. Keputusan politik yang sesungguhnya batal
demi hukum itu, akhirnya dicabut Presiden Abdurahamn
Wahid.
Namun perjuangan umat Khonghucu tetap
mengalami kendala, sehingga meskipun sudah diakui baru
masuk struktur Kementerian Agama dengan struktur Bimas
Khinghucu, yang tadinya selama beberapa tahun dibawah
struktur PKUB. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978
batal demi hukum karena bertentangan dengan Hak Aasi
Manusia, dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang memberikan
kebebasan beragama dan beribadat, justru dijadikan
pegangan oleh aparat pemerintah sampai sekarang ini
kendatipun telah dicabut per tanggal 31 Maret 2000.
Surat edaran ini mengingkari realitas bahwa warga
negara Indonesia beragama Khonghucu ada di Indonesia.
Berdasarkan sensus penduduk yang diadakan lembaga
resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Satistik Indonesia pada
tahun 1976 umat Khonghucu Indonesia mencapai 0,7% atau
lebih dari 1 juta jiwa.

173
Lembaga dan Agama Khonghucu pada era
Reformasi
Pada era reformasi sudah mulai membaik,
terbukti Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet
Reformasi memberikan kesempatan kepada Majelis Tinggi
Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengadakan
Musyawarah Nasional XIII di Asrama Haji Pondok Gede,
Jakarta pada tanggal 22 – 23 Agustus 1998.
Acara tersebut dihadiri perwakilanMajelis Agama
Khoghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama
Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan wadah umat agama
Khonghucu yang ada di Indonesia. Selama 30 tahun
umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan dan
pengekangan. Akibat tindakan represif dan diskriminatif ini
berdampak sangat negatif bagi perkembangan kelembagaan
umat Khonghucu.
Kondisi 30 tahun telah meubah kondisi sosial
keagamaan kalangan Tionghoa yang tadinya memeluk
agama Khonghucu. Tuduhan sebagai PKI dan mudah
menjadi pengkhianat menjadi stereotip lainya untuk
mengebiri kebebasan beragama. Kalangan Tionghoa banyak
yang ketakutan dengan kondisi ini, sehingga beralih kepada
Kristen, Katolik atau Buddha. Oleh karena itu jumlah
umat Khinghucu secara statustik menurun tajam. Banyak
diantaranya, meskipun sudah ber KTP Kristen, Katolik atau
Buddha tetapi kehidupan keseharianya tetap Khonghucu.
Problematika Umat Khonghucu Solo
Problem Politis dan Psikhologis
Solo sebenarnya sangat berperan dalam berbagai
dinamika keagamaan Khonghucu di Indonesia, tetapi

174
ternyata jumlah penganut agama Khonghucunya tidak
banyak. Solo juga menjadi pusat semua perjuangan umat
Khonghucu dalam memperoleh kembali jatidirinya. Di
Sololah lahir Haksu-Haksu teladan di tanah air bagi umat
Khonghucu. Di Solo pula tempat lahir berbagai organisasi
yang diawali sejak tahun 1918. Pada saat ini jumlah umat
Khonghucu di Kota Solo hanya sekitar 800 orang, namun
yang aktif ke rumah ibadah Gerbang Kebajikan jalan Jagalan
hanya sekitar 120 orang saja. Kondisi terkini semakin
memprihatinkan, sebab jumlah pengikutnya sudah stagnan
jikalau tidak semakin menurun.
Hal ini dipengaruhi oleh salah satunya adalah watak
dari agama Khonghucu yang bukan sebagai agama misi,
sehingga para haksu dan buonsu sendiri tidak berusaha
menyiarkan kepada non Khonghucu atau non Tionghoa.
Haksu Endarto yang disebut rohaniawan paling senior
di Solo misalnya, ternyata istri dan anak-anaknya bukan
penganut Khonghucu. Bonsu Adji Candra sendiri sebagai
rohaniawan Khonghucu, isterinya juga beragama Kristen.
Sementara itu anak-anak muda Khonghucu di Kota Solo
yang diharapkan bersedia menjadi guru atau rohaniawan
Khonghucu belum muncul. Oleh karena itu pelayanan
keagamaan umat Khonghucu menjadi kurang lancar.
Sementara itu pelayanan hak-hak sipil saat ini sudah sangat
baik oleh Pemerintah Daerah maupun Kementerian Agama.
Salah satu persoalan yang menghambat layanan sipil
dan keagamaan pada pemeluk agama Khonghucu di Solo
adalah adanya beban sejarah kecurigaan pribumi pada etnis
keturunan Tionghoa. Di daerah Solo bibit kebencian yang
sudah lama ditanam oleh kebijakan Belanda menempatkan
etnis Tionghoa sebagai masyarakat kelas sosial lebih tinggi

175
dari pada pribumi. Masyarakat pribumi mendapatkan
legitimasi untuk memberikan label negatif pada etnis
Tionghoa sebagai etnis pendatang yang tidak memiliki hak
politik dan budaya di Indonesia. Berawal kondisi situasi
politik Nusantara pada abad 17 – 18,banyak diwarnai oleh
tekanan-tekanan Belanda pada kerajaan Nusantara.
Hal ini terlihat dari banyaknya perjanjian antara
Belanda dengan penguasa lokal. Misalnya pada tahun 1677
terdapat perjanjian Jepara. Perjanjian tersebut berisi aturan
antara lain; (1). Surakarta diserahkan kepada pihak kompeni
sebagai tanggungan kerugian perang karena raja Jawa tidak
bisa membayar tunai kecuali diansur; (2). daerah pantai utara
pantai Jawa diserahkan pada kompeni sampai biaya perang
lunas; (3) Kompeni mendapatkan keluasan berdagang
diseluruh kerajaan Mataram dan diberi kewengan mambuat
galangan kapal di Rembang; (4). Kompeni mendapatkan
keluasan pasokan pakaian dan candu diseluruh Jawa; (5)
perluasan daerah Kompeni sampai dengan Karawang dan
Parahyangan.129 Dari perjanjian tersebut terlihat dengan
jelas Surakarta dan daerah pantai utara Jawa lainnya yang
memiliki peran setrategis menjadi daerah yang di kontrol
oleh Belanda. Oleh Balanda daerah tersebut diprioritaskan
untuk perdagangan dan industri perkapalan. Surakarta,
Rembang dan lainnya menjadi pintu masuk barang
dagangan dan tentara yang dimiliki oleh Kompeni ke pulau
Jawa. Di daerah tersebut etnis Tionghoa memiliki jaringan
perdagangan dan industri yang kuat melebihi kemampuan
pedagang pribumi, sehingga etnis Tiongthoa diberi keluasan

129
Hari Mulyadi dkk., Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit (Studi
Mobilisasi SosialMasyarakat Solo Dan Kerusuhan Mei 1998 Di Surakarta
(Surakarta: LPTP, 1999) hlm.. 34-36

176
Belanda melakukan monopoli atas berbagai komoditas.130
Perjanjian ini memiliki dampak yang sangat serius bagi
masyarakat Jawa.
Dalam hal ini adalah bangsa Tionghoa dan Arab,
yang sejak kedatangan mereka ke Nusantara bergulat
dengan perdagangan, pengelolaan pasar dan pajak pos
bea cukai. Mereka mendapat keuntungan dari berbagai
kebijakan tersebut, sehingga hampir tidak ada sungai
pelabuhan, teluk, bandar yang digunakan sebagai pelayaran
yang tidak terdapat orang Tionghoa. Mereka memposisikan
diri sebagai penjaga pos beacukai. Hal ini didorong
kebijakan Belanda untuk menempatkan orang Tionghoa di
pelabuhan pelabuhan, sebab perdagangan pribumi tidak
diperbolehkan tinggal dan bekerja di pelabuhan-pelabuhan
yang dikuasai Belanda. Orang Tionghoa oleh Belanda
diberikan kewenangan mendirikan kampung dari etnis
sejenis dan dipimpin oleh kalangannya sendiri. Di sinilah
awah permusuhan dimulai.
Dengan perkampungan yang tertutup dan homogen
tersebut memunculkan banyak kecurigaan dan prasangka
negatif pada etnis Tionghoa. Hal ini juga terjadi di Surakarta,
saat itu hubungan pribumi dengan Tionghoa di Surakarta
menjadi kurang harmonis. sebagaimana di uraikan di atas
salah satunya disebabkan model kebijakan pemisahan
antara pribumi dan etnis Tionghoa. Belanda membagi
masyarakat Indonesia menjadi tiga yaitu Bangsa Eropa,
Vreem de Oosterlingen (bangsa timur jauh dan inlanders
(pribumi). Bangsa Eropa menempati posisi sosial klas satu,
sehingga mendapatkan kemudahan dan fasilitas berbagai

130
Hari Mulyadi dkk., Runtuhnya... Hlm.35

177
hal. Bangsa Timur seperti Tionghoa dan Arab ditempatkan
sebagai bangsa kelas dua, yang juga memiliki keistimewaan
dalam policy dan perdagangan. Sedangkan pribumi
menempati posisi klas tiga dan diidentikan dengan buruh
kasar dan petani yang miskin, sehingga semua dipersulit
atas kebijakan kolonial itu. Dampaknya sangat terlihat
pada tahun 1905 terjadilah persaingan antara pengusaha
Tionghoa dan Jawa.
Di Jawa khusunya Solo, persaingan ini sangat jelas
ketika munculnya Syarekat Islam (SI) yang merupakan
perhimpunan pengusaha pribumi (Kong Si Jawa) berhadapan
dengan Kong Si dagang Tionghoa. Keduanya terjadi
pergesekan dan persaingan yang seringkali berujung pada
kekerasan komunal. Hal ini seakan menjadi bibit permusuhan
antara Jawa dan Tionghoa sampai sekarang.131 Pada masa
pra-kemerdekaan orang Tionghoa mendirikan organisasi
-organisasi yang berorientasi pada negara Tionghoa. Hal
ini bersamaan dengan tumbuhnya nasonalisme Tionghoa
di Hindia Belanda. Organisasi tersebut adalah Tiong Hoa
Hwee Koan (THHK) yang didirikan tahun 1900, Siang Hwee
dan Soe Po Sia yang didirikan pada tahun 1908. Akan tetapi
pada tahun 1918 orientasi mereka terpecah, ada yang tetap
berorientasi ke negara Tiongkok dan ada yang berorientasi
ke Hindia Belanda.
Kelompok yang berorientasi Tiongkok mendirikan
organisasi Sin Po, yang berorientasi pada Belanda
mendirikan Partai Chung Hwua Hui (CHH) dan yang
berorientasi pada Indonesia mendirikan Partai Tionghoa

131
Ong Hok Ham, “ Istilah Pribumi Dulu Diangap Sebagai
Penghinaan”, dalam Kapok JadiNon Pribumi; Warga Tionghoa Mencari
Keadilan (Bandung: Zaman, 1998), hlm. 123.

178
Indonesia (PTI). Namun sejak masuknya Jepang ke
Indonesia, Jepang melarang aktivitas semua partai tersebut,
tetapi masih mengijinkan sekolah Tionghoa yang dikelola
oleh Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Sesudah perang dunia
II masyarakat Tionghoa di Indonesia berpartisipasi dalam
kancah politik untuk melindungi kepentingan mereka. Ada
dua jenis partisipasi politik yang dilakukan yaitu, pertama,
partisipasi formal melalui organisasi politik yang dilakukan
melalui dengan mendirikan partai politik etnis Tionghoa.
Kedua, partisipasi non formal melalui organisasi non
politik.132
Setelah kemerdekaan mantan anggota Partai Chung
Hwua Hui (CHH) pada tahun 1948 mendirikan Partai
Persatuan Tionghoa (PT) yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan kelompok minoritas Tionghoa dalam negara
Indonesia merdeka. Partai Persatuan Tionghoa (PT)
mendapat dukungan dari mantan pimpinan Sing Po,
organisasi Tionghoa totok Chung Hua Tsung Hui dan
organisasi Tionghoa pernakan Siang Hwee. Sedangkan para
mantan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1950
mendirikan Partai Tinghoa Peranakan Persatuan Tenaga
Indonesia (PTI Baru). Pada tahun yang sama Partai Persatuan
Tionghoa (PT) diubah menjadi Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia (PDTI). Untuk menghadapi pemilu tahun 1955
PTDI berfusi dengan partai kecil lainnya mendirikan
Badan Permusyaaratan Warga Negara Keturunan Tionghoa
(BAPERWAT) yang kemudian diubah namanya menjadi
Badan Permusyawaratan Kewarganaegaraan Indonesia
(BAPERKI) pada tahun 1954.

132
Suryadinata, Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa
(Jakarta, LP3ES, 1999), hlm.45.

179
Disamping organisasi politik, orang Tionghoa
juga mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan yang
tujuannya untuk mempertahankan kepentingannya pada
masa setelah kemerdekaan masyarakat Tionghoa biasanya
membangun organisasi sosial yang khusus beranggotakan
dari kalangan mereka sendiri. Misalnya di komunitas
Tionghoa di Solo mereka mendirikan organisasi seperti
Paguyuban Masyarakat Surakarta (PMS).
Sebagai gambaran PMS yang didirikan pada tahun
1959 merupakan gabungan dari berbagai organisasai
masyarakat Tionghoa yaitu: organisasi Perkumpulan KONG
TONG HOO, HI ANG GIE HWEE, HAP GIE HWEE, KONG
SING HWEE, SAN BAM HIEM dan organisasi Perkumpulan
Tionghoa POEN SINGg HWEE.
Organisasi ini banyak bergerak dibidang
kemasyarakatan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan,
kebudayaan, kepercayaan dan kematian. Latar belakang
berdirinya organisasi ini adalah mempertahankan
nasionalisme dan kebudayaan negeri Tionghoa. Pandangan
in didasarkan pada kedudukan mereka sebagai perantau.
Beberapa lembaga sosial yang didirikan oleh
masyarakat Tionghoa pada masa Orde Baru sering menjadi
ajang kontestasi perebutan pengaruh politk dari berbagai
kepentingan, terutama kepentingan Orde Baru. Perebutan
pengaruh tersebut seringkali menimbulkan gesekan di
antara sesama orang Tionghoa sendiri.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru kelembagaan
seperti Paguyuban Masyarakat Surakarta (PMS) di
Surakarta menjadi perebutan idologi antara elit Tionghoa
di Indonesia yang terjun keranah politik yaitu antara Badan

180
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI)
dan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPBK). BAPERKI
menghendaki menggunakan PMS sebagai lembaga yang
malakukan monitoring masyarakat Tionghoa dalam upaya
memepersatukan masyarakat Tionghoa yang telah menjadi
warga negara Indonesia untuk tujuan politik.
Sedangkan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa
(LPBK) menginginkan adanya asimilasi. Puncaknya adalah
tahun 1960 dimana masyarakat Tionghoa pada umumnya,
termasuk di Kota Solo terpecah menjadi dua yaitu kelompok
yang pro integrasi dan masyarakat yang pro asimilasi.
Bagi kelompok yang pro integrasi berpendapat bahwa
masyarakat etnis Tionghoa meskipun telah menjadi warga
Indonesia harus tetap memepertahankan identitas kultural
dengan tanah leluhur mereka. Sedangkan bagi yang pro
asimilasi berpendapat bahwa masalah minoritas hanya
dapat diselesaikan dengan caraasimilasi sukarela dalam
segala aspek kehidupan secara aktif dan bebas.133
Beberapa program BAPERKI adalah menjalankan
politik integrasionis yaitu mengintegrasikan kedalam
perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai masyarakat
sosialis. BAPERKI juga menentang perubahan nama
secara paksa, menentang perkawinan campur dengan
orang Indonesia asli secara paksa karena asimilasi mereka
kedalam masyarakat Indonesia akan berjalan alamiah dalam
suatu masyarakat yang sosialis. BAPERKI berpendapat
orang Tionghoa derajatnya sama dengan suku lainnya di
Indonesia.

133
Hari Mulyadi dkk.,Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit
(Studi Mobilisasi SosialMasyarakat Solo Dan Kerusuhan Mei 1998 Di
Surakarta (Surakarta: LPTP, 1999) hlm. 273 dan336. 34-36.

181
Oleh sebab itu tidak perlu adanya peleburan dengan
masyarakat pribumi. Pada tahun 1961 masyarakat Tionghoa
yang tidak sepaham dengan BAPERKI mendatatangani
piagam asimilasi yang intinya menyatakan tekad untuk
menjadi orang Indonesia yang murni dan patriotik dengan
cara melebur kedalam penduduk Indonesia asli.
Organisasi ini kemudian didukung oleh pemerintah
dan dilembagakan menjadi Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa (LPKB) yang kemudian berkembang menjadi
pesaing utama BAPERKI. Pasca peristiwa G. 30 S/PKI tahun
1965 BAPERKI dibubarkan paksa dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di Indonesia, alasannya BAPERKI
terlibat dalam kasus PKI. Setelah peristiwa tersebut
masyarakat Tionghoa menjadi menjauh dari politik,
semua yang berkaitan dengan identitas Tionghoa seperti
kepercayaan, adat istiadat, upacara keagamaan, bahasa,
tulisan dan sekolah dilarang keberadaannya oleh Orde Baru.
Mereka hanya diberi ruang untuk melakukan
kegiatan ekonomi saja. Nasib LPKB juga tidak jauh berbeda
dengan BAPERKI. Lembaga ini pada tahun 1967 juga
dibubarkan oleh pemerintah sebab dinilai fungsinya sudah
selesai.134
Dalam kondisi politik yang demikian umat
Khonghucu juga mendapatkan imbas yang sangat fatal.
Sebab pada tahun tersebut dikeluarkan Presiden No.
14/1967 ini segera disusul oleh Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 477 / 74054 Tahun 1978. Impres ini secara umum
berisis instruksi tersebut adalah; tanpa mengurangi jaminan

134
Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa. .. Hlm. 37-82., lihat J
uga Rustopo, MenjadiJ awa. .. Hlm 84-86.

182
keluasan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata
cara ibadat Tionghoa yang memiliki afinitas kultural pada
negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara
intern dalam hubungan keluarga atau perorangan; perayaan
pesta agama dan adat istiadat Tionghoa dilakukan secara
tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam
lingkungan keluaga. Artinya dengan Impres tersebut agama
Khonghucu tidak lagi diakui sebagai agama di Indonesia,
dan hanya dianggap sebagai kekayaan tradisi budaya
Tionghoa saja.

Hukum yang Deskriminatif


Faktor kedua yang menjadikan umat Khonghucu
Surakarta tidak maksimal dalam mendapatkan layanan sipil
dan keagamaan adalah adanya regulasi yang diskriminatif
pada etnis Tionghoa. Produk hukum dan politik yang
diskriminatif di Indonesia pada etnis Tionghoa berimbas
pada marginalisasi pada aspek politik dan budaya.
Junus Yahya mengemukakan beberapa peraturan
yang mengatur eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia,
yaitu: pertama, keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/
Kep/12/1966 tentang masalah ganti nama bagi warga negara
Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Kedua, Instruksi
Presidium Kabinet No. 37/u/iv/6/1967 tentang kebijakan
pokok penyelesaian masalah Tionghoa yang wujudnya
dibentuk dalam badan koordinasi masalah Tionghoa, yaitu
sebuah unit khusus di lingkungan BAKIN.
Ketiga, Instruksi Presiden No.14/1967, yaitu tentang
pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa.
Hal ini didasarkan pada alasan agama, kepecayaan dan adat

183
istiadat orang Tionghoa di Indonesia dapat mengganggu
jalannya asimilasi.
Isi instruksi tersebut adalah; tanpa mengurangi
jaminan keluasan memeluk agama dan menunaikan
ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki
afinitas kultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya
harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga
atau perorangan; perayaan pesta agama dan adat istiadat
Tionghoa dilakukan secara tidak mencolok di depan umum,
tetapi dilakukan dalam lingkungan keluaga.
Keempat, Surat edaran Presidium Kabinet RI No. Se-
06/preskab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan
asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing
melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah
terjadinya kehidupan ekslusif rasial, serta adanya anjuran
supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan
nama Tionghoa diganti dengan nama Indonesia.
Kelima, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/u/
Indonesia/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan
untuk anak-anak WNA Tionghoa di sekolah-sekolah
nasional sebanyak 40% dan setiap kelas jumlah murid WNI
harus lebih banyak murid-murid WNA Tionghoa.
Keenam, Insrtuksi Menteri Dalam Negari No.
455.2-360/1968 tentang penataan kelenteng-kelenteng di
Indonesia.
Ketujuh, Surat edaran Dirjen Pembinaan Pers dan
Grafika No. 02/se/ditjen/pp6/k/1988 tentang larangan
penerbitan dan pencetakan tulisan atau iklan beraksen dan

184
berbahasa Tionghoa.135 Kebijakan ini memiliki dampak
yang buruk atas relasi pribumi danketurunan Tionghoa di
Surakarta.
Deskriminasi politik dan kebudayaan ini baru
berakhir ketika presiden Abdurrahman Wahid yang
mengeluarkan keputusan presiden No 6/2000 tentang
pencabutan Instruksi Presiden No. 14/1967. Melalui Kepres
yang dikeluarkannya, Gus Dur memberi kebebasan etnis
Tionghoa untuk menjalankan usaha dan budayanya tanpa
ada deskriminasi.
Dengan dicabutnya peraturan presiden tentang
pengembangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat
Tionghoa, maka etnis Tionghoa di Indonesia diperbolehkan
kembali melaksanakan ibadah di muka umum. Tahun 2001
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No.13
Tahun 2001 yang menetapkan hari raya dan tahun baru
Imlek sebagai hari libur fakultatif.
Presiden Megawati kemudian menindak lanjuti
dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19 / 2002
yang meresmikan Imlek sebagai hari liburnasional mulai
tahun 2003. Jika dirunut secara mendasar ada beberapa akar
kebencian pribumi terhadap etnis Tionghoa di Surakarta
antara lain adanya politik rasialis yang dijalankan Belanda
pada masa lalu dan ditanamkannya prasangka saling
memusuhi antara pribumi dengan Tionghoa oleh penguasa
Indoneisa setelah kemerdekaan. Menurut Lie Jek Tjeng
ada beberapa persoalan yang menjadikan akar kebencian
pribumi pada etnis Tionghoa antara lain; pertama adanya

135
H. Junus Yahya, Kapok Jadi Non Pribumi; Warga Tionghoa Mencari
Keadilan(Bandung:Zaman, 1998), hlm. 86-87.

185
politik rasialis dari kolonial Belanda dimana bangsa Eropa
ditempat di kelas atas disusul bangsa kulit putih atau timur
asing dan kelas paling rendah adalah pribumi.
Politik rasialis ini menjadikan masayarakat pribumi
hak haknya dibatasi oleh kelas sosial yang lebih tinggi seperti
bangsa Tionghoa. Hal ini terlihat dari monopoli berbagai
komoditas perdagangan oleh etnis Tionghoa dimasa lalu.
Politik rasialis ini juga tidak mendorong adanya pola
akulturasi dan asimilasi, yang muncul justru pendekatan
ke atas oleh bangsa Tionghoa kepada penguasa. Etnis
Tionghoa memiliki kecenderungan melakukan pembauran
dengan penguasa kolonial untuk mendapatkan berbagai
kemudahan dan jaminan keamanan dari pada berasimilasi
dengan pribumi yang dirasa kurang menguntungkan.
Hal ini tentu saja sangat memancing kebencian
pribumi kepada etnis Tionghoa yang dampaknya masih
terasa sampai sekarang. Kedua, pada masa lalu adanya
kecenderungan memuji bangsa Tionghoa sebagai bangsa
yang suka bekerja keras, hemat dan gemar menabung dan
sebaliknya selalu menempatkan penduduk pribumi sebagai
orang yang malas, boros, tidak rajin bekerja dan hanya
senang hidup poya-poya.
Prejudise ini terasa sangat strategis dalam upaya
pemisahan antara Tionghoa dengan Jawa. Bahkan pandangan
seperti itu masih terus berkembang hingga saat ini. Ketiga,
kolonial juga seringkali membenturkan keyakinan orang
Jawa dengan Tionghoa. Orang Jawa yang mayoritas Islam
bagi orang Tionghoa adalah diposisikan sebagai orang yang
kotor, kumuh dan berpendidikan rendah.
Sedangkan orang Tionghoa sebagai orang terdidik,

186
bersih dan berperadaban maju disisi lain adalah orang kafir
yang makan babi dan anjing yang jelas haram hukumnya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan alasan rasional
yang memunculkan kebencian mendalam pada orang
Tionghoa antara lain; pertama, perlawanan masyarakat
terhadap simbol-simbol kekuasaan politik dan ekonomi
dari kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan
yang dinilai tidak sah secara prosedural.
Kedua, keinginan untuk melampiaskan
kemarahannya pada simbol-simbol kesenjangan sosial,
dalam hal ini masa merusak dan membakar benda dan
bangunan yang dinilai sebagai pemisah jarak antara mereka
yang berada dikelas bawah dan mereka yang berada pada
kelas atas. Ketiga, jaminan hukum dan keamanan tidak
memadai, sehingga massa semakin mudah dimanfaatkan
oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan adanya
kerusuhan sosial.

Pelayanan Sipil dan Keagamaan


Secara umum layanan sipil terhadap penduduk
meliputi jaminan atas tercantumkannya nama agama dalam
KTP, pembuatan akte kelahiran, layanan pernikahan dan
layanan pendidikan dengan adanya kurikulum agama
Khonghucu dalam pendidikan di sekolah.136
Inilah keadaban dan kearifan beragama yang dijamin
oleh konstitusi NKRI.137 Jaminan dalam UUD 1945 ini sejalan

136
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 Tahun
1978tidak mencantumkan Khonghucu sebagai agama.
137
Ahmad Suaidi dkk, Islam, Konstitusi dan Hak Azasi Manusia;
Problema Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Indonesia(Jakarta,

187
dengan pasal 18 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia
(1948). Disebutkan bahwa bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan
kebebasan menyatakan agama atau keyakinan dengan
cara mengajarkannya, mempraktikkannya, melaksanakan
ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Hal ini dipertegas oleh Undang-Undang HAM, bahwa
kewajiban negara menjamin tidak adanya pelanggaran
HAM termasuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama
atau berkeyakinan adalah dalam bentuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan. Negara harus
melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan agar setiap orang
mampu mendapatkan dan menikmati hak-hak mereka.
Berangkat dari kenyataan jaminan kebebasan di atas,
di Solo berbagai layanan sipil maupun keagamaan bagi umat
Khonghucu mengalami pasang surut. Hal ini sejalan dengan
kondisi kebijakan politik makro pada tingkat nasional. Bs.
Adjie Chandra, ketua MAKIN Solo mengatakan bahwa
pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno
pemeluk agama Khonghucu mendapatkan posisi setara
dengan umat beragama yang lain.
Mereka mendapatkan kesempatan mengekpresikan
ajaran agama dan budaya mereka tanpa ada rasa takut dan
tertekan.138 Hal ini kemudian berbalik ketika masa Orde
Baru mulai berkuasa di bawah kepemimpinan presiden
Soeharto. Ada stigma negatif yang diberikan kepada

The Wahid Institute, 2009),hlm.108-110


138
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 18/6/2017).

188
masyarakat keturunan Tionghoa, bahwa mereka dikaitkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan dasar tersebut maka pada tahun 1967
pemerintah membatasi gerak pekembangan agama
Khonghucu di Indonesia, termasuk di Solo. Instruksi
Presiden No. 14/1967 menjelaskan bahwa pemerintah tidak
lagi melakukan pembinaan kepada umat Khonghucu. Bagi
pemerintah Orde Baru saat itu agama yang sah di Indonesia
hanya lima yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan
Buddha.
Instruksi Presiden No. 14/1967 ini disusul oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 477/ 74054 Tahun
1978. Dalam Peraturan Menteri ini agama Khonghucu
tidak dicantumkan lagi sebagai agama resmi di Indonesia.
Dengan keluarnya dua peraturan tersebut secara otomatis
agama Konghuchu tidak lagi dianggap sebagai agama.
Kedudukan agama Khonghucu hanya diakui sebagai
falsafah hidup etnis Tionghoa saja. Akibat dari Instruksi
Presiden No. 14/1967 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 477 / 74054 Tahun 1978 ini umat Khonghucu tidak bisa
mendapatkan pelayanan hak-hak sipilnya antara lain; hak
mendapatkan pelayanan pernikahan di kantor catatan
sipil, dihapuskannya pencantuman agama Khonghucu
dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dihapuskannya
kurikulum agama Khonghucu dalam pendidikan agama di
sekolah.
Menurut Bs. Adjie Chandra, dampak kebijakan
tersebut adalah terjadinya penurunan jumlah pemeluk
agama Khonghucu beserta layanan pada mereka. Banyak
masyarakat yang pada awalnya memeluk agama Khonghucu
kemudian melakukan konversi kepada agama lainnya

189
seperti konversi pada agama Kristen, Katholik, Buddha dan
sebagian kecil saja yang konversi pada agama Islam.
Ada dua alasan penting kenapa mereka melakukan
konversi pada agama lain tersebut, pertama, dengan adanya
Instruksi Presiden No. 14/1967 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 477/74054 Tahun 1978, tersebut praktis
masyarakat yang awalnya memeluk agama Khonghucu
tidak lagi mendapatkan pelayanan sipil dan agama. Mereka
tidak lagi mendapatkan layanan mencantumkan identitas
agama mereka dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Akibatnya mereka juga tidak bisa mendapatkan layanan
akte kelahiran untuk anaknya, tidak mendapatkan layanan
kartu139 keluarga dan tidak bisa melakukan pernikahan.
Pilihan yang paling rasional atas kondisi tersebut adalah
melakukan konversi kepada agama lainnya. Dengan
konversi tersebut mereka kembali mendapatkan layanan
sipil dan keberagamaan di sector instansi pelayanan publik.
Kedua, adanya Instruksi Presiden No. 14/1967 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 Tahun 1978, secara
langsung memasung kebudayaan Tionghoa yang sudah
lama berkembang di Indonesia.
Praktis setelah munculnya Inpres tersebut berbagai
budaya Tionghoa seperti barong sai, hari raya Imlek dan
tradisi lainnya di hapus oleh negara. Negara menaruh
kecurigaan kebudayaan tersebut menjadi instrumen
berkembangnya paham komunis di Indonesia. Kondisi ini
memaksa pemeluk agama Khonghucu mencari alternatif
lainnya untuk bisa mengekpresikan budaya mereka, salah

139
Suhadi Cholil (ed), Deskriminasi Sekeliling Kita; Negara,
Politik, Deskriminasi dan Multikulturalisme (Jogjakarta, Dian/Interfidei,
2008) hlm. 42-43

190
satunya melakukan konversi agama. Dengan konversi
ini diharapkan akan memeberikan sedikit keluasan pada
keturunan Tionghoa untuk bisa menjalankan tradisi dan
budaya mereka di Indonesia.140
Pada tahun 1967 mengganti lembaga umat Khonghucu
yang bernama GASPEKSI (Gabungan Umat Khonghucu
Indonesia) menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia). Penggantian ini dimaksudkan
sebagai upaya keluar dari deskriminasi dan pandangan
negatif bahwa pemeluk agama Khonghucu adalah agen dari
Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, pada Tahun 1971
dalam Munasker MATAKIN menghasilkan rekomendasi
untuk meningkatkan partisipasi dan integrasi umat
Khonghucu dalam pembangunan bangsa dan ditegaskan
pula bahwa umat Khonghucu turut berperan dalam
mensukseskan kepeminpinan Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto, pemilu dan pembangunan nasional.141
Menurut Bs. Adjie Chandra, selama orde baru
berkuasa pemeluk agama Khonghucu di Solo di bawah
bimbingan Haksu Tjhie Tjai Ing mencoba bertahan dengan
terus berusaha keluar dari deskriminasi. Beberapa gerakan
yang dilakukan antara lain; pertama meningkatkan peran
serta pemeluk agama Khonghucu dalam pembangunan,
terutama di Kota Solo.
Peran ini dilaksanakan baik di bidang sosial, budaya

140
TH. Sumartana, “Konfusianisme di Indonesia”, dalam Lasiyo
(dkk.), Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mecari Jati Diri, (Yogyakarta:
Interfedei, 1995), hlm. xv
141
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 16/6/
2017).

191
maupun ekonomi. Kedua, peningkatan peran serta wanita
agama Khonghucu Indonesia (WAKIN) dalam berbagai
gerakan sosial ekonomi. Ketiga, peningkatan peran pemuda
agama Khonghucu (PAKIN) dalam berbagai kegiatan
pemajuan pemuda di Solo. Salah satu kegiatannya adalah
adanya Pekan Olahraga Nasional (PON) PAKIN di Solo.
Keempat, sesuai dengan amanat Munasker MATAKIN
tahun 1971 yang menghasilkan rekomendasi untuk
meningkatkan partisipasi dan integrasi umat Khonghucu
dalam pembangunan bangsa dan adanya penegasan
bahwa umat Khonghucu hendak turut berperan dalam
mensukseskan kepeminpinan Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto, pemilu dan pembangunan nasional, maka MAKIN
Solo meningkatkan layanan sosial masyarakat melalui
jalur pendidikan. Yayasan Pendidikan Tripusaka yang
telah lama berdiri di kuatkan kembali fungsinya sebagai
cara melakukan integrasi sosial kemasyarakatan. Hal ini
dimaksudkan sebagai jembatan antara etnis keturunan
Tionghoa dan Jawa.
Maka dalam penyelenggaraan pendidikannya YP.
Tripusaka lebih mengedepankan pelayanan pendidikan dan
sosial kepada penduduk Kota Solo yang kurang mampu
dalam ekonomi. Berbagai upaya keluar dari deskriminasi
tersebut di atas sebenarnya terlihat sebagai setrategi defensif
yang dilakukan oleh MAKIN Solo.
Secara umum gerakan bertahan ini hanya sebagai
upaya MAKIN Solo agar desakan dan deskriminasi tidak
terjadi lebih jauh. Politik akomodatif ini dalam perspektif
sosiologis menunjukan bahwa identitas Khonghucu secara
normatif memang sudah tidak nampak lagi meskipun
secara kultural mereka masih ada. Mereka mengalihkan

192
persoalan politik yang dibungkus dengan nuansa agama
dengan penguatan pada aspek kultural seperti penguatan
pendidikan, kesejahteraan, jaringan ekonomi dan
kesehatan. Kuatnya arus deskriminasi yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru, umat Khonghucu Solo membangun
kultur yang tersembunyi, yang siap bangkit jika telah ada
momentumnya.

Layanan Keagamaan
Penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan
dan adat istiadat Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan
ijin khusus sebperti yang berlangsung selama ini termasuk
pengembangan kebudayaan Tionghoa dan perayaan hari
raya Imlek.142
Deskriminasi terhadap umat Konghucu mulai
berkurang ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
pada tahun 2000 mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967
yang menjadi sumber deskriminasi selama ini. Dengan
dicabutnya Instruksi Presiden No. 14/1967 ini secara
otomatis hak-hak sosial budaya masyarakat keturunan
Tionghoa Surakarta mulai dikembalikan. Hal yang paling
terlihat adalah diperbolehkannya pementasan budaya
barongsai dan perayaan tahun baru IMLEK.
Di cabutnya Instruksi Presiden No. 14/1967 ini
tidak serta merta memberikan kebebasan pada pemeluk
Khonghucu untuk kembali pada agamanya, sebab yang

142
Paulus Haryono, Menggali Latar Belakang Stereotype dan
Persoalan Tionghoa di Jawa dari Jaman Keemasan, Konflik antar Etnis Hingga
Kini, (Surakarta: Mutiara Wacana, 2006), hlm. 1667

193
di cabut adalah IMPRESnya. Baru kemudian pada tahun
Tahun 2001 Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan
No.13 Tahun 2001 yang menetapkan hari raya dan tahun
baru Imlek sebagai hari libur fakultatif. Persiden Megawati
kemudian menindaklanjutinya dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 19/2002 yang meresmikan Imlek
sebagai hari libur nasional mulai tahun 2003. Semenjak
tahun tersebut Khonghucu menjadi agama resmi kembali di
Indonesia, setalah hamper 35 tahun mengalami deskriminasi
di Indonesia.
Bs. Adjie Chandra mengatakan bahwa kembalinya
Khonghucu menjadi agama resmi tidak serta merta umat
Khonghucu mendapatkan pelayanan keberagamaan
dan layanan sipil secara maksimal. Pada masa presiden
Megawati umat Khonghucu di Solo juga masih belum bisa
mendapatkan identitas agama di Kartu Tanda Penduduk
(KTP), belum bisa mendapatkan akte kelahiran dan
pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama
Khonghucu di Solo dalam pencatatan sipil buku nikah
masih mencantumkan kolom agama, tetapi tidak disebutkan
agama Khonghucu dalam daftar agama yang resmi.
Masyarakat juga belum bisa menikah secara agama
Khonghucu. Umumnya mereka diterima di Kantor Catatan
Sipil dengan baik, tetapi tidak dilayani, sebab memang tidak
ada kebijakan untuk pernikahan agama Khonghucu.143 Baru
kemudian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono
jaminan kebebasan beragama dan hak sipil umat Khonghucu
di Solo dipenuhi. Mereka bisa menikah dengan tradisi dan
ajaran Khonghucu, baik layanan KTP, akte kelahiran, Kartu

143
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 15/6/2017).

194
Keluarga, layanan pernikahan dan kebebasan beragama
telah benar dipulihkan oleh pemerintah.
Disinilah menurut Bs. Adjie Chandra keadilan
bagi umat Khonghucu benar benar dirasakan. Lebih
spesifik menurut Bs. Adjie Chandra pemerintah Kota
Solo telah mengambil beberapa langkah penting yang
mendorong kesetaraan antara umat Khonghucu dengan
umat beragama lainnya di Surakarta. Kebijakan-kebijakan
tersebut antara lain; adanya keterwakilan umat Khonghucu
di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Solo
dan pelayanan masyarakat berkaitan dengan hak hak sipil
masyarakat Khonghucu sudah dipulihkan.
Pemerintah Kota Solo telah mendorong aparat
pemerintahan mulai dari tingkat paling rendah, yaitu RT,
RW, Kelurahan,Kecamatan dan Kota agar memberikan
layanan sipil dan keagamaan bagi umat Khonghucu.
Layanan tersebut berupa KTP, Kartu Keluarga, akte
Kelahiran dan layanan pernikahan. Kalau pada masa
sebelumnya hampir semua aparat pemerintahan menolak
melayani umat Khonghucu sejajar dengan umat yang lain,
namun saat ini hal tersebut tidak terjadi lagi. Ketiga, ada
dana insentif pembinaan yang dialokasikan oleh pemerintah
Kota Surakarta kepada MAKIN Kota Surakarta.
Besarnya dana pembinaan tersebut naik setiap
tahunnya dari sebesar lima juta rupiah, terus meningkat
hingga sekarang menjadi 10 juta. Khusus untuk keterlibatan
perwakilan MAKIN Solo di FKUB memiliki arti penting bagi
umat Khonghucu, yaitu sebagai sarana dialog antar agama.
Hal ini berangkat dari kesadaran MAKIN Solo
bahwa di era globalisasi umat satu agama tidak bisa hidup

195
sendiri tanpa berkomunikasi dan berdampingan dengan
umat beragama lainnya. Bagi MAKIN Solo dialog antar
agama di Solo merupakan percakapan dua atau berbagai
pihak kalangan agamawan dari berbagai agama di Solo,
untuk mengungkapkan pandangan mereka secara tepat dan
sebaliknya mendengarkan pandangan mitra dialog mereka
secara terbuka tanpa sikap apriori.
Dialog antar agama bagi MAKIN Solo bukan ajang
debat, berpolemik dan apalogi, sampai dengan pemaksaan
pandangan diri sendiri terhadap pihak lainnya. Sebaliknya,
peserta dialog bisa saling belajar mengenai pengalaman
kehidupan keberagamaan. Dengan dialog diharapakn ada
perubahan dalam berinteraksi, lebih memahami keyakinan,
pemikiran dan masalah yang dihadapi oleh mitra dialog
MAKIN Solo.144
Untuk kepentingan di atas Bs. Adjie Chandra
mengatakan bahwa dialog hendaknya; ada keterbukaan,
adanya sikap kritis, dan persamaan. Pertama, adanya
keterbukaan atau transparansi antar eleman di Solo.
Keterterbukaan berarti mau mendengarkan semua
pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog di Solo
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau
perkara, juga bukan tempat untuk menyisipkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan
partner dialog. Kedua menyadari adanya perbedaan. Dalam
dialog di Surakarta hendaknya perbedaan dijadikan sebagai
sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas
yang tidak dapat dihindari.

144
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara, 15/6/
2017).

196
Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’
dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama dan setara.145
Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga
dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini
secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Kasus missa Imlek dan missa Asyura oleh umat
Katolik di Kota Solo atau lainya sebenarnya tidak bisa
dilakukan, meskipun itu dinyatakan sebagai doa umat
Katolik untuk semua. Imlek adalah tradisi dan ajaran
Khonghucu dan hanya dapat dijelaskan dengan ajaran agama
Khonghucu. Asyura adalah tradisi Islam Jawa, sehingga
mestinya umat Katolik menghormatinya, sebagaimana ia
harus menghormati agama Khonghuchu dengan segala
ajaran dan tradisinya.
Akan lebih baik jika umat Katolik menciptakan
tradisi sendiri yang terlepas dari ajaran dan tradisi agama
lain. Umat Khonghucu sendiri merasa tidak enak dan tidak
ingin rebut masalah misa Imlek, karena ia merasa minoritas
dibandingkan Katolik. Sampai sekarang misa Imlek dan
misa Asyura oleh umat Katolik jalan terus, karena merasa
tidak ada keberatan dari umat Konghucu dan umat Islam
Jawa.146

145
Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi,
Kristen, Islam, alih bahasaJoko Susilo Kahhardan Supriyanto Abdullah,
Cet. I (Surabaya: Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.
146
Bs. Adjie Chandra, Ketua MAKIN Solo, (Wawancara 15/6/2017.

197
198
Bagian VIII

UMAT KHONGHUCU DI BOGOR


Oleh: Achmad Rosidi

Sekilas Wilayah Bogor


Lokus penelitian ini adalah Bogor baik Kabupaten
maupun Kota Bogor. Tidak seluruhnya dilakukan kajian
di Kabupaten Bogor mengingat wilayah Kabupaten
Bogor yang luas. Inilah kemudian penulis memandang
perlu mengambil daerah sasaran yaitu Makin Kota Bogor
(beralamat di Jl. Kp Cincau RT 2/II), Makin Cilodong (Makin
Segar Jl. Raya Jakarta Bogor KM 37.5 Cilodong), dan Makin
Kemang (Jl. Raya Kemang Desa Kemang Bogor).
Lokasi tersebut diambil berdasarkan pertimbangan
bahwa ketiga Makin tersebut memiliki umat yang signifikan
secara kuantitas, keberadaan lembaga yang berada di bawah
Makin seperti lembaga pendidikan dan berbagai kegiatan-
kegiatan yang melibatkan pemuda atau remaja dan umat
Khonghucu secara keseluruhan. Juga karena berkaitan
dengan karakter Umat Agama Khonghucu tiga tempat
tersebut berikut kulturnya yang berbeda satu sama lain.
Kota Bogor terletak di dataran tinggi dengan kondisi
cuaca yang nyaman untuk dijadikan tempat melepas segala
kesibukan masyarakatnya. Jaraknya yang sangat dekat
dengan Jakarta, ibukota negara Indonesia di sebelah Utara
(± 60 km) dan Bandung ibukota provinsi Jawa Barat (±180
km).147 Sebagai kota yang banyak menyajikan berbagai

147
Website Resmi Pemerintah Kota Bogor.

199
pesona bagi tujuan pariwisata, Bogor memiliki daya tarik
minat bagi para wisatawan domestik ataupun mancanegara.
Secara geografis Kota Bogor terletak di 106.48° Bujur Timur
dan 6.36° Lintang Utara. Luas Kota Bogor adalah 111, 73 km2
(0.27 % dari luas Propinsi Jawa Barat), dengan batas wilayah
meliputi: a). Utara Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan
Sukaraja, Kabupaten Bogor. b) Selatan yakni Kecamatan
Cijeruk dan Caringin, Kabupaten Bogor. c) Barat yaitu
Kecamatan Dramaga dan Ciomas, Kabupaten Bogor; dan
d) Timur yaitu Kecamatan Sukaraja dan Ciawi, Kabupaten
Bogor.148
Kota Bogor menjadi destinasi para pengadu nasib
dan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia maupun
luar negeri, mengakibatkan penduduk yang mendiami di
kawasan ini beragam. Menilik latar belakang sejarahnya,
Bogor memiliki akar historis sebagai kota lama, pusat
pemerintahan era dinasti-dinasti di masa pra-kemerdekaan.
Bogor menjadi icon pusat dan basis perkembangan budaya
Sunda serta ibukota kerajaan yang pernah ada, yaitu
Tarumanegara (abad IV-VII), Kerajaan Sunda (abad VII-IX)
dan Kerajaan Pakuan Pajajaran (abad XV-XVI).149
Kota Bogor mengalami proses perkembangan dan
perubahan baik fisik maupun non-fisik. Untuk menata dan
membangun kota yang nyaman, pemerintah kota Bogor
pada periode 2015-2019 memiliki misi “Menjadikan Bogor
sebagai kota yang nyaman, beriman dan transparan”.150 Sarana

148
Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2012; Lihat http://www. Bps.
Go. Id/hasilSP2010/jabar/3271. Pdf
149
Mumuh M. ,Zakaria,Kota Bogor: Studi tentang Perkembangan
Ekologi Kota Abad Ke 19 Hingga Ke 20, Bandung: Sastra UNPAD Press,
2010, 1.
150
http://new. Kotabogor. Go. Id/index. Php/page/detail/2/visi-

200
fisik ditandai dengan tersedianya berbagai sarana dan
infrastruktur di seluruh wilayah kota. Di bidang pelayanan
kehidupan keagamaan, di Kota Bogor berdiri berbagai
sarana ibadah umat beragama. Gereja bagi umat Kristiani,
masjid bagi umat Muslim, kelenteng bagi umat Tri Dharma,
Pura bagi umat Hindu, Vihara bagi umat Buddha dan
Lithang bagi Umat Khonghucu.151
Dalam kondisi demikian, bukan berarti masyarakat
di Kota Bogor bebas dari masalah ketegangan yang
bernuansa SARA. Problematika klasik ini sebagai masalah
lama yang dituntut diperolehnya jalan keluar. Sebagaimana
nampak dalam deskripsi kondisi keagamaan masyarakat
Kota Bogor, umat Islam secara kuantitas adalah penduduk
mayoritas. Namun dapat hidup berdampingan dalam
keragaman bersama umat lainnya, dapat berbagi mengatur
kehidupan demi mewujudkan kondisi yang damai dan
harmoni.152
Masyarakat Kota Bogor dengan berbagai macam
profesi sebagai mata pencahariannya sebagaimana
penduduk kota-kota lainnya di Indonesia. Kepelbagaian
mata pencaharian menjadikan stratifikasi kondisi
perekonomian masyarakatnya. Yang jamak muncul di
masyarakat kota adalah level kemiskinan penduduknya
yang lebih mencolok.153
Sementara itu, Kabupaten Bogor memiliki wilayah

dan-misi#.VqgnA5p944w
151
Badan Pusat Statistik, Kota Bogor Dalam Angka. Bogor: BPS
Kota Bogor, 2012, 278.
152
Zaid Ahmad, Multiculturalism And Religio-ethnic Plurality,
Culture and Religion Journal, Vol. 8, No. 2, July 2007, 140.
153
Hilman Latif, Melayani Umat, Filantropi Islam dan Ideologi
Kesejahteraan Kaum Modernis, Jakarta: Gramedia, 2010,7

201
yang lebih luas dari Kota Bogor. Kabupaten Bogor meliputi
40 daerah Kecamatan dan434 Kelurahan. Luas daerah
Kabupaten sangat berbeda jauh dengan wilayah Kota Bogor
yang hanya terdiri dari 6 wilayah kecmatan yaitu Bogor
Utara, Bogor Selatan, Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor
Tengah dan Tanah Sareal. Kondisi demikian, penduduk
Kabupaten Bogor lebih bervariasi mengingat keberadaan
Kabupaten Bogor menjadi sasaran hunian masyarakat yang
bekerja di Jakarta baik sektor pemerintah maupun swasta.
Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor semula masih berada
di Panaragan sebuah wilayah Kota Bogor. Kemudian
berdasarkan pada PP No 6 Tahun 1982, Ibukota Kabupaten
Bogor dipindahkan dan ditetapkan di Cibinong.154
Masyarakat Bogor terbilang masyarakat majemuk,
baik dari segi ekonomi, politik, kebudayaan (seni dan etnik),
maupun dari segi agama, bahkan pluralitas agama sangat
kompleks dalam arti tidak mudah menetapkan kategori
tertentu terutama atas dasar kemurnian dan keaslian
terhadap setiap kesatuan beragama di negeri ini. Hampir
setiap usaha identifikasi dan kategorisasi terhadap Islam
Indonesia selalu menemui kegagalan ketika ternyata Islam
Indonesia tidak tunggal dan lebih menunjukkan variasi atau
warna-warninya.

Pelayanan Umat Khonghucu di Kota dan Kabupaten Bogor


Pelayanan kepada umat Khonghucu di Kota Bogor
dilakukan oleh lembaga Makin yang beralamat di Jl. Kp.
Cincau RT 2/II) kota Bogor yang berada di kawasan Jl. Surya

154
BPS, Kabupaten Bogor Dalam Angka, 2016, hal. 27

202
Kancana Bogor. Pelayanan ibadah dilakukan oleh 2 orang
rohaniwan yang berasal dari Makin, dibantu oleh 3 orang.
Jumlah umat yang datang secara rutin untuk beribadah
dilayani sebanyak 50an orang.155 Namun secara total, umat
yang dilayani oleh Makin ini sebenarnya berjumlah 300an
orang.
Tenaga guru yang membantu rohaniwan di MAKIN
Kp. Cincau dirasakan kurang. Guru agama berjumlah 1
orang yang juga diperbantukan ke sekolah-sekolah yang
memiliki murid beragama Khonghucu. Sekolah Minggu
dilakukan secara rutin diikuti oleh anak-anak usia SD, SMP
dan SMA. Bangunan Litang di Jl. Kp. Cincau terdiri dari
2 lantai. Lantai dasar untuk kegiatan sekolah minggu dan
aktivitas pertemuan umat. Kebaktian umat dilaksanakan
pada Malam minggu diikuti oleh para pemuda. Sementara
umat yang berusia dewasa dilaksanakan pada hari Minggu
pukul 11.00 s/d pukul 13.00 WIB.
Kegiatan di Litang Makin Jl. Kp. Cincau telah
berjalan sejak tahun 1972 dengan fasilitas pada waktu itu
yang masih sangat minim. Lokasi Lithang bukan di tanah
yang sekarang, tetapi di lokasi sebelumnya menempati
tanah hibah dari umat yang letaknya kurang representatif
untuk kegiatan umat. Lahan yang sekarang ditempati
Lithang merupakan bagian dari hibah pemilik Yayasan
Kesatuan yang telah lebih dahulu ada dan maju di bidang
pendidikan. Setelah memperoleh tanah hibah dari Yayasan
Kesatuan, pembangunan Lithang pun kemudian dilakukan
dengan pembiayaan pembangunan berasal dari umat sendiri
(swadaya). Selama ini lembaga baik keagamaan maupun

155
Wawancara dengan Pak Kimtjie, pengurus harian Litang
Makin Kota Bogor Jl. Kp. Cincau pada tanggal 14 Mei 2017.

203
pendidikan belum memperoleh bantuan dari pemerintah
untuk kegiatan.
Pelayanan lainnya yang dilakukan oleh Lithang
adalah pemberkatan perkawinan. Pencatatan perkawinan
dilakukan oleh Kantor Pencatatan Sipil Kota Bogor menurut
penuturan Pak Yanto tidak mengalami kendala. Artinya,
warga yang hendak mencatatkan perkawinan dengan
beridentitaskan KTP Khonghucu sudah berjalan dengan
baik. Biasanya setelah pencatatan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil, pemberkatan dilakukan di Lithang dengan
mendatangkan rohaniwan.
Komunikasi dengan warga di Lingkungan di Jl.
Kampung Cincau selama ini berjalan dengan baik. Relasi
itu berlangsung sejak mula dari adanya kegiatan yang ada
di Litang. Kegiatan sosial di lingkungan masyarakat selalu
dikoordinasikan dengan masyarakat lingkungan. Kegiatan
bersama dengan lingkungan seperti bakti sosial dan
perayaan hari-hari besar nasional terkoordinasikan dengan
baik pula. Pada saat kegiatan keagamaan Khonghucu,
masyarakat lingkungan Lithang turut aktif memberikan
kontribusi terutama masalah kenyamanan dan keamanan
umat Khonghucu melaksanakan ibadah ritual. Sebaliknya,
pada saat kegiatan spiritual umat muslim, umat Khonghucu
turut pula menciptakan situasi yang kondusif menjaga
lingkungan.
Fasilitas yang dimiliki oleh Lithang berupa kursi-
kursi pesta seringkali dipinjam oleh masyarakat lingkungan
yang memiliki hajat baik pada saat pesta walimah urs
(perkawinan) maupun pesta walimah-walimah lainnya.
Akan tetapi masyarakat lingkungan belum pernah
melaksanakan acara di ruang pertemuan Litang karena

204
memandang kesakralan Lithang.
Sementara itu, kegiatan umat Khonghucu di
Kabupaten Bogor yang menampakkan geliatnya menurut
pemantauan penulis berada di daerah Cilodong. Pusat
kegiatan umatKhonghucu sebagai pionir adalah pelayanan
pendidikan untuk masyarakat di lingkungan itu. Berbagai
kegiatan keagamaan dilakukan oleh Lembaga atau Yayasan
beralamat di Jl. Jakarta Bogor Km 37,7 Rt.03/01 No.03 Kel.
Sukamaju Kec. Cilodong Kota Depok. Yayasan ini bernama
Yayasan SEGAR, Yayasan Semangat Genta Rohani. Di
lokasi sekolah tersebut terdapat pusat kegiatan keagamaan
Khonghucu yang dilakukan di sebuah Lithang Majelis
Agama Khonghucu Segar. Di Lithang ini tercatat berbagai
kegiatan toleransi antar umat beragama terjalin. Lithang ini
berdiri tepat di tengah lingkungan masyarakat, di dalam
gang dan disamping sekolah SMP Segar. Berbagai lampion
menghiasi Litang tersebut jika tiba perayaan Imlek. Lithang
ini menampung 150 lebih jemaat yang umumnya memang
warga sekitar Litang yang merupakan keturunan Tionghoa
dan merayakan imlek.
Pada saat diresmikan oleh Walikota Depok Nur
Mahmudi Ismail pada Desember 2013, untuk menyemarakkan
acara peresmian itu diwarnai oleh penampilan marawis
untuk menunjukan toleransi beragama yang begitu kental. Di
Lithang Segar juga menjadi pusat kegiatan pengembangan
seni Barongsai yang melibatkan pelajar. Menurut penuturan
penduduk, toleransi beragama di masyarakat lingkungan
Lithang terjadi saling menghargai. Semua jemaatnya juga
warga sekitar sini jadi sudah saling kenal bahkan hingga
lingkungan di kawasan Cisalak, Sukmajaya dan daerah
Jatijajar.

205
Pada perayaan Imlek, srangkaian agenda kegiatan
dimulai pukul 19.00 WIB dilakukan malam kebaktian,
dilanjutkan dengan pesta kesenian anak pemuda sampai
tengah malam. Pada malam itu umat melakukan sembahyang
kepada Tuhan. Keesokan harinya, dilakukan sembahyang
tahun baru dan saling memaafakan. Masih dalam tradisi
Imlek, umat secara rutin mengunjungi makam leluhur dan
berkunjung ke keluarga saling silaturahmi. Tradisi tersebut
dilakukan 7 hari setelah perayaan Imlek.
Keberadaan lembaga pendidikan segar menurut
penuturan Pak Setianda tidak lepas dari ajaran Khonghucu
yang mengjarakan humanisme. Ajaran agama sesuai
dengan yang dismpaikan oleh Nabi adalah sikap kepedulian
terhadap kemanusiaan dan alam sekitar. Ajaran moral
merupakan inti dari ajaran yang disampaikan oleh hampir
semua agama, tak terkecuali agama Khonghucu berupa
ajaran untuk selalu berbuat yang lebih baik.
Inti pelaksanaan ajaran agama menurut Setiada
adalah menciptakan pesan perdamaian. Kondisi masyrakat
dengan terjadinya berbagai tindak kekerasan, perlu
direview kembali akan pemahaman orang bersangkutan
pada ajaran agama yang dianutnya. Menurut Handisan,
mantan Ketua MAKIN Cilodong, munculnya kasus yang
berujung pada adanya konflik agama banyak terwarnai
oleh situasi sosial, ekonomi dan politik yang lebih dominan
mempengaruhi perjalanan agama di tengah masyarakat.
Agama mengajarkan humanisme yang hal inilah yang
perlu dikembangkan di tengah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Agama yang mengajarkan
humanism itu memanusiakan manusia. Sikap keberagamaan
menurut Handisan harus bisa dirubah. Sikap keberagamaan

206
bukan hanya membangun paradigma ketaatan pada Tuhan
(hubungan vertikal), tetapi juga harus mampu menciptakan
hubungan yang baik dan memelihara hubungan antar
sesama umat. Agama Khonghucu membimbing manusia
menyadari akan makna tujuan hidupnya, ketentraman
hati, kebahagiaan batin sehingga dapat berfikir benar dan
membimbing manusia melalui pengetahuan, keteguhan
tekad, membina diri, menata rumah tangga, mengabdi
masyarakat, negara dan dunia sebagai ungkapan kesetiaan
kepada Tuhan.156
Berangkat dari sinilah, Lembaga Pendidikan
SEGA (Semangat Genta Rohani) ini berdiri. Sekolah yang
menyediakan pendidikan jenjang menengah pertama
ini memiliki murid berasal dari berbagai agama. SMP
SEGAR atau SMP SEGAR Cimanggis didirikan pada tahun
1972 di beralamat di Kp. Sidamukti, Kel. Sukamaju. Pada
awal pendirian sekolah ini, wilayah ini termasuk dalam
Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Bogor. Setelah terbentuk
Kota Administratif Depok yang kemudian dinaikkan
statusnya sebagai Kota Depok sebagai pengembangan
Kabupaten Bogor, SMP SEGAR masuk ke wilayah Kec.
Sukmajaya.
SMP SEGAR dikelola olah yayasan bernama Yayasan
“Semangat Genta Rokhani” (SEGAR). Saat ini SMP SEGAR
mempunyai 9 kelas (masing-masing 3 kelas paralel untuk
masing-masing kelas, yaitu kelas VII, VIII dan IX) dengan
tenaga pengajar 21 orang guru, 1 orang kepala sekolah, 1
orang wakil kepala sekolah, 4 staf tata usaha, 1 orang satpam

156
Anhar, Mo. Perlu Dikembangakan AgamaBerwajah Humanis”,
www. Suaramerdeka. Com. Diundung tanggal 17 Mei 2017.

207
dan 3 orang pesuruh sekolah. SMP SEGAR mendidik sekitar
420-430 siswa pada setiap tahun pelajaran. Jumlah murid
yang menempuh pendidikan di SMP Segar berjumlah 400an
anak.
Dari jumlah guru tersebut yang beragama Khonghucu
sebanyak 2 orang. Yang lainnya merupakan penganut agama
Islam. Jadi, kepala Sekolah di lembaga Segar ini dipegang
oleh penganut agama Islam. Demikian pula kondisi murid,
mayoritas adalah penganut agama Islam. Sementara yang
menganut agama Khonghucu jumlahnya lebih sedikit.
Pelayanan kegiatan keagamaan di Lithang dilakukan
oleh 2 orang tenaga rohaniwan dibantu oleh 4 orang.
Sementara guru agama yang mengajar umat sebanyak
1 orang. Secara rutin, pengajar agama didatangkan dari
daerah lain seperti dari Cimanggis atau dari Rawa Denok.
Kekurangan tenaga guru ini yang menurut pengurus
yayasan Segar perlu diatasi dengan menambah jumlah guru
agama.
Pelayanan ibadah Mingguan di Lithang dilakukan
setiap hari Minggu pukul 11.00 s/d 13 WIB. Umat berasal
dari daerah Sidamukti, Cilodong dan daerah Jati Jajar Kota
Depok. Selain pelayanan ibadah Mingguan juga dilakukan
sekolah Minggu yang diikuti oleh anak-anak penganut
agama Khonghucu berusia SD hingga SMA. Pemberkatan
perkawinan juga sering dilaksanakan di Lithang SEGAR
yang dipimpin oleh rohaniwan.
Masalah adminstrasi kependudukan umat di Lithang
Segar dilayani oleh pemerintah selama ini berjalan baik.
Pencatatan perkawinan oleh Dinas Pencatatan Sipil Kota
Depok. Namun kendala yang dialami oleh umat Khonghucu

208
adalah besaran biaya perkawinan itu yang sepertinya perlu
mendapatkan evaluasi dari pemerintah. Biaya perkawinan
sebagaimana telah berjalan di Kantor KUA bagi umat Islam,
dengan besaran yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Sepertinya yang dialami oleh umat Khonghucu dan
mungkin umat non-muslim lainnya mengalami hal serupa.
Relasi dengan masyarakat lingkungan di daerah
Sidamukti selama ini berlangsung dengan baik. Lokasi
lahan Lithang yang menempati akses masuk pemukiman
penduduk, seringkali dimanfaatkan oleh warga untuk
kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat seperti pada
saat pemilihan kepala daerah menjadi salah satu tempat
pemungutan suara (TPS). Jika penduduk ada yang memiliki
hajat perkawinan, seringkali halaman yayasan Segar yang
luas itu menjadi tempat parkir kendaraan para hadirin tamu
undangan tuan rumah dengan bekerjasama dengan bagian
keamanan.157
Sebagai akhir dari deskripsi penelitian ini, peneliti
menyimpulkan bahwa bentuk layanan keagamaan yang
diberikan oleh pemerintah Kota/Kab Bogor telah dirasakan
oleh penganut agama Khonghucu. Bentuk layanan
keagamaan yang dibutuhkan oleh lembaga keagamaan
dan umat Khonghucu terutama adalah guru agama, baik di
sekolah formal maupun di Lithang. Hal ini terjadi di Makin
Jl. Kp. Cintau Kota Bogor maupun di Makin Segar. Pelayanan
di bidang pencatatan sipil baik pelayanan pembuatan KTP
maupun pencatatan perkawinan selama ini telah diberikan
dengan baik.

157
Wawancara dengan Pak Handisan. Mei 2017.

209
Bagaimana hubungan sosial Umat Agama
Khonghucu dengan umat lainnya sangat baik. Toleransi
antar umat yang berbeda keyakinan berjalan dengan baik
dan suasana yang kondusif.

210
Bagian IX

UMAT KHONGHUCU DI JAKARTA


Oleh: Taufik Hidayatulllah dan Anik Farida

Kondisi Geografis dan Demografis DKI Jakarta


Provinsi DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Negara
yang menjadi barometer Indonesia dalam berbagai bidang.
Batas-batas wilayah sebelah utara adalah pantai, sebelah
selatan adalah Kota Depok, sebelah timur adalah Provinsi
Jawa Barat, dan sebelah barat adalah Propinsi Banten. Secara
administrasi, Propinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah
kota administrasi dan 1 kabupaten administrasi. Wilayah
administrasi di bawahnya terbagi menjadi 44 kecamatan
dan 267 kelurahan.158
Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2015
berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010159 sebesar
10.177.924 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk per
tahun sebesar 1,02 persen. Kepadatan penduduk DKI
Jakarta tahun 2015 adalah 15.366,87 jiwa setiap 1 km2.
S
ebagai Ibu Kota Negara, Jakarta terdiri atas berbagai suku
bangsa. Umat beragama di DKI Jakarta terkenal dapat
saling bekerjasama dalam memajukan wilayahnya. Kondisi
kerukunan hidup beragama ini dipandang relatif kondusif
di tengah beragamnya kehidupan keagamaaan yang
diwakili oleh keragaman penganut agama.
Namun demikian sangat disayangkan belum

158
BPS DKI Jakarta. 2016. Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta : BPS
DKI Jakarta
159
Ibid

211
ada data terbaru tentang jumlah penduduk DKI Jakarta
berdasarkan agama, sehingga data yang bisa dipergunakan
berasal dari data lama hasil sensus tahun 2010 di mana
agama mayoritas adalah Islam 8.200.796 (85,36%), diikuti
dengan Kristen 724.232 (7,54%), Katholik 303.295 (3,16),
Hindu 20.364 (0,21%), Buddha 317.527(3,30%), Khonghucu
2.410 (0,06%), lain-lain sebanyak 2.410 (0,03%) dari sebanyak
9.607.787 jiwa penduduk.160 Sedikit berbeda dengan data
yang dirilis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 terkait penduduk yang
beragama Khonghucu sebanyak 992 jiwa.161
Keragaman juga dillihat dari banyaknya tempat-
tempat ibadah seperti 3.047 mesjid, 5.620 mushola, 1.098
gereja Kristen, 45 gereja Katolik, 27 Pura, 292 Vihara di mana
di dalamnya terdapat Klenteng.162
Keragaman agama di DKI Jakarta meniscayakan
potensi persinggungan kepentingan di berbagai lapangan.
Maka dari itu, hubungan sosial menjadi salah satu hal
penting dalam agama Khonghucu. Hubungan manusia
dengan sesamanya harus didasari dengan cinta kasih yang
murni sehingga tercipta kerukunan di antara umat manusia.
Untuk menuju terciptanya kerukunan tersebut, maka agama
Khonghucu menyerukan agar umat bertindak berdasarkan
kepada ajaran nabi suci.

160
BPS Pusat. 2010. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan
Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta
: BPS
161
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 2015. dalam http://
Data. Jakarta. Go. Id/dataset/jumlah-penduduk-provinsi-dki-jakarta-
tahun-2015-berdasarkan-agama/reseource/43d4e4ea-4ff0-4c41-a311-
93b3066021a5 [diakses 30 Mei 2017]
162
BPS DKI Jakarta. 2016. Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta : BPS
DKI Jakarta

212
Beranjak pada keinginan untuk ikut mewujudkan
kehidupan yang rukun dengaan seluruh pemeluk agama
lain, maka kerukunan hidup antar umat beragama menjadi
salah satu hal yang diprioritaskan. Kerukunan internal umat
Khonghucu di DKI Jakarta sejauh ini dapat tercipta dengan
baik di tengah masih adanya perbedaan pendapat tentang
tempat ibadah Vihara Tri Dharma menurut umat Buddha
dan Klenteng warisan leluhur menurut umat Khonghucu.

Umat Khonghucu di DKI Jakarta


Jumlah Kelenteng yang menjadi tempat ibadah
umat Khonghucu bisa dikatakan masih sedikit (bahkan
hampir tidak ada bila yang menjadi ukuran adalah tempat
ibadah yang dibangun dan dikelola secara swadaya internal
umat Khonghucu). Saat ini di seluruh wilayah DKI Jakarta
hanya ada satu buah Kelenteng yang sesuai dan ada dalam
pengelolaan MATAKIN DKI Jakarta, yang bertempat di
TMII. Kekurangan jumlah tempat ibadah berupa Kelenteng
ini kemudian disiasati dengan pendirian Lithang (yang
sebenarnya merupakan salah satu unsur dari Kelenteng) di
beberapa tempat.
Jumlah keseluruhan Lithang dan Kelenteng (yang
dikelola secara swadaya internal umat Khonghucu) di
DKI Jakarta saat ini sebanyak 5 buah. Penyebutan Lithang
mendahului Kelenteng sebenarnya mengindikasikan bahwa
keberadaan tempat ibadah yang dominan dimiliki umat
agama Khonghucu di DKI Jakarta adalah Lithang. Sebaran
seluruh Lithang dan Rohaniawan dapat dilihat pada Tabel 1.

213
Tabel 3:
Perbedaan Lithang dan Kelenteng

No Atribut Lithang Kelenteng


1 Kepemilikan Milik umum Milik Khonghucu
Tempat ibadah Tempat belajar
2 Fungsi agama Khonghucu
3 Jumlah Para Suci Satu Lengkap
Lebih ke arah
4 Ornamen Banyak altar
aula
5 Hubungan Saling kenal Tidak saling kenal
Kedekatan dengan Tidak mesti
6 Dekat pasar
pusat keramaian dekat pasar
7 Cara beribadah Sendiri-sendiri Bersama-sama
Keberadaan Tidak ada
8 Ada senming
senming senming
9 Jam ibadah Dibatasi Tidak dibatasi
Pribadi dan
10 Tata cara berdoa Bersama-sama bersama-sama
11 Besar bangunan Lebih kecil Lebih besar
Keberadaan Ciam Bisa ada dan
12 Ada
Sie bisa tidak ada
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Peter
Lesmana, Ketua MAKIN Jakarta Barat, 12 Mei
2017
Umat Khonghucu di DKI Jakarta sejauh ini tidak
dapat diketahui jumlahnya. Beberapa faktor menjadi
penyebabnya. Selain karena tidak adanya data163, juga
disebabkan oleh jumlah umat yang beribadah di Kelenteng
maupun Lithang tidak mewakili jumlah keseluruhan
umat Khomghucu164. Sebab lainnya disinyalir masih ada
163
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017

214
umat yang kesehariannya beribadah secara Khonghucu
namun dalam pencatatan identitas KTP masih tercantum
sebagai umat Buddha atau Kristen, hal ini dapat dipahami
sebagai imbas dari kebijakan pemerintah Orde Baru dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. dan
salah satunya adalah pelarangan ajaran agama Khonghucu
sehingga umatnya dipaksa untuk bergabung ke dalam
agama Buddha.165
Untuk penganut Khonghucu di Kelenteng TMII,
diperoleh informasi ada 100 orang penganut yang aktif
ibadah setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Jumlah anggota
yang hadir saat ibadah tahunan cenderung meningkat
terutama menjelang imlek hingga mencapai 200 orang.
Dilihat dari sisi etnis, bahwa umat Khonghucu didominasi
oleh umat beretnis Tionghoa, hal ini disebabkan selain
karena kesamaan asal agama, juga lekat dengan budaya
leluhur yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja166.
Tabel 4:
Sebaran Lithang, Kelenteng dan Rohaniawan di DKI
Jakarta

Tempt Kepangkatan
No Kota Jml
ibadah Jiaosheng Wenshi Xueshi
Js.Wiryo
Jakarta Ws. Adjun
1 Lithang Js. Suwandi Xs. Ong 6
Pusat Ws. Vekky
Js. Liliany

164
Wawancara dengan Rini Antika sebagai Pengelola Klenteng
Kong Miao TMII, 16 Mei 2017
165
Wawancara dengan Liliany Lontoh sebagai Ketua MATAKIN
DKI Jakarta, 9 Mei 2017
166
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017

215
2 Jakarta Lithang Js. Nurjadi - - 1
Barat
Ws.Lie Xs.
3 Karjaya Js. Susanto Ws. Masari
Lithang 6
Sunter Js. Mingga Chandra Saputra
Setiawan Xs. Bing
-
4 Jakarta Klenteng - - -
Timur
Jakarta -
5 Selatan - - - -

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Liliany


Lontoh, Ketua MATAKIN DKI Jakarta, 9 Mei 2017
Di DKI Jakarta, umat Khonghucu bernaung di bawah
MATAKIN DKI Jakarta yang membawahi 4 MAKIN yakni
MAKIN Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan
Jakarta Utara. Jumlah rumah ibadah khusus Khonghucu
(Lithang) sesuai dengan jumlah MAKIN yang ada yakni 4
buah, walaupun disinyalir jumlah tersebut bisa melebihi 4
buah karena semasa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor
14 Tahun 1967 tentang agama, Kepercayaan, Adat Istiadat
China banyak rumah ibadat seperti Kelenteng yang diambil
alih oleh umat Buddha.

Ajaran Dan Peribadatan


Ajaran pokok
Agama didefinisikan sebagai seperangkat aturan
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan
lingkungannya. Agama berisikan ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia
dan petunjuk untuk hidup selamat baik di dunia maupun
di akhirat. Dengan demikian agama mengajarkan kepada

216
manusia tentang aturan hidup menurut petunjuk Tuhan
Yang Maha Esa.
Agama Khonghucu hadir di abad ke 6SM di tengah
kekacauan politik, dan suasana keagamaan yang rawan
di China. Agama Khonghucu meninggalkan kesan yang
kuat dalam kehidupan dan kebudayaan China. Konghucu
dianggap oleh China sebagai Guru yang pertama bukan
karena ketiadaan Guru sebelum beliau, tetapi karena beliau
memperbaiki kehidupan masyarakat167. Masa Khonghucu
ini berada di tahun 551 SM168 beliau ini dikenal dengan nama
Nabi Kongzi.169.
Agama Khonghucu adalah agama yang Amonotheis,
yakni agama yang mempercayai dan meyakini adanya
satu Tuhan atau percaya hanya pada satu Tuhan. Istilah
Tuhan dalam agama Khonghucu dinamakan Thian untuk
menunjuk kepada Allah Yang Maha Esa. Ajaran agama
Khonghucu berisikan landasan jalan suci yang menegakkan
firman Thian dan mengamalkannya hingga mencapai
summun bonnum. Dengan kata lain bahwa ajaran agama
Khonghucu adalah mengikuti jalan suci Tuhan Yang Maha
Esa dan menegakkan jalan suci manusia.170 Agama ini
disebut juga sebagai Ji Kauw dan Ru Jiao yang bermakna
sebagai agama yang mengajarkan kelembutan atau agama
bagi kaum terpelajar.171

167
Ulfat Aziz-Us-Samad. 1990. The Great Religion of the World.
Peshawar :www. Aaiil. Org Hal. 97
168
M. Ikhsan Tanggok . 2005. Mengenal lebih dekat Agama Khonghucu
di Indonesia. Jakarta : Pelita Kebajikan. Hal. 24
169
MATAKIN. 2016. Seri Genta Suci Konfuciani No. 42/2016 Edisi
Sincia 2567, Jakarta : MATAKIN. Hal. 2
170
Ibid, Hal. 3
171
Ws Adjie Chandra. 2012. Sekilas Riwayat Haksu Tjhie Tjay Ing.

217
Tiap umat Khonghucu wajib memahami, menghayati
dan mengimani dasar keimanannya yang pokok, yang
tersurat di dalam Bab Utama Ajaran Besar dan salam
iman yang tersurat di dalam Kitab Shu Jing. Dalam Yijing
dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Sempurna, dan Maha
Pencipta (Yuan); Maha Menjalin, Maha Menembusi dan
Maha Luhur (Heng); Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat
dan Maha Adil (Li) dan Maha Abadi Hukumnya (Zhen).172
Dalam Agama Khonghucu, dikenal juga konsep
hubungan vertikal dengan Thian dan hubungan horizontal
dengan sesama manusia. Dalam berbagai kesempatan, Nabi
Kongzi menekankan pentingnya manusia memiliki ; tiga
pusaka kehidupan dan tiga mutiara kebajikan.173
Ritual Puja Bakti
Ibadah dalam agama Khonghucu, di antaranya
kebaktian/sembahyang baik di Lithang/Kelenteng maupun
di rumah ditujukan kepada Thian174. Selain itu juga dengan
melakukan kebaktian kepada Nabi, Para Suci, leluhur dan
kemasyarakatan175. Dengan demikian, kebaktian dalam
Agama Khonghucu bisa bersifat mengucap rasa syukur,
mengingat jasa para Nabi dan para Suci, juga menjadikan
hidup senantiasa diwarnai oleh aneka manfaat bagi sesama.
Banyaknya kebaktian dan ketika tidak ada larangan
untuk melakukannya, untuk mengurangi tingkat keseringan
pelaksanaan upacara selanjutnya disiasati dengan
melakukan penggabungan upacara.

Jakarta : MATAKIN. Hal. 21


172
Ibid, Hal. 23
173
Ibid, Hal. 24
174
MATAKIN. 1984. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama
Khonghucu. Solo : MATAKIN. Hal. 35
175
Ibid

218
Tabel 3. Struktur Altar pada Lithang di DKI Jakarta

No Area Komponen Makna


Arca nabi
Kitab suci Shu si
Tempat bakar surat do’a
Altar Tempat api dari kaca
1 Simbol
belakang
Lilin sepasang keseimbangan dan
keserasian
Bunga sepasang Lambang
kesejahteraan
Khiolo (tempat dupa) Persembahan
Simbol
Lilin sepasang keseimbangan dan
keserasian
Swanlo (tempat
membakar wewangian)
Lak chu (alat untuk
mengambil api dan
menyalakan lilin)
Tok ui (spanduk Nabi Khongzi
bergambar kilin yaitu sewaktu lahir
2 Altar depan sepasang naga), menampakkan diri
Bok Tok bertuliskan Lambang bahwa
“setia kepada Tuhan, Nabi Khongzi
tepa salira kepada membawa firman
agama” Thian
Kitab kumala
bertuliskan “akan Lambang Nabi
lahir seorang raja
tanpa mahkota” yang Khongzi dilahirkan
membawa misi dari
disemburkan dari kilin Thian
ke depan ibu Gan Thin
Cay
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Liliany Lontoh,
Ketua MATAKIN DKI Jakarta, 15 Mei 2017

Sarana ibadat umat Khonghucu terlihat dari fasilitas


yang dimiliki oleh Lithang atau Kelenteng. Sarana ibadat
tersebut dapat berupa meja sembahyang, persembahan, alat
upacara, maupun upacara yang dilaksanakan. Banyaknya
ummat Khonghucu yang beribadah di Lithang atau

219
Kelenteng karena adanya fasilitas, prosesinya lengkap dan
lebih hikmat176.
Berdasarkan Tabel 3 sebagaimana di atas, dapat
disebutkan bahwa altar pada Lithang secara sederhana
terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu altar belakang dan
altar depan. Masing-masing bagian altar tersebut memiliki
fungsi tersendiri sesuai dengan makna yang dikandungnya
dan diharapkan dapat dipelajari dan diteladani oleh umat
Khonghucu.
Tabel 4:
Shengmin pada Klenteng Khong Miao TMII

No Nama shengmin Atribut Eksistensi


1 Kwan im nio nio Welas asih Spirit
2 Tian Shang Penyelamat manusia Spirit
Sheng Mu
3 Mengatur semua hal di
Fu De Zheng Sen bumi Spirit
4 Xuan Tian Shang Malaikat bintangutara Spirit
Di
5 Guang Gong Adil dan bersahabat Nyata
6 Guang Ze Zun Berbakti pada orang tua Nyata
Wang
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Rini Antika,
Pengelola Klenteng Khong Miao, 14 Mei 2017

Selanjutnya ketika beribadah di Kelenteng, maka


umat agama Khonghucu dapat melakukan kebaktian
kepada para suci atau Shengmin. Ibadah ini mencerminkan
tingkat ketaatan yang tinggi sekaligus sebagai perwujudan
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai contoh
pada Tabel 4, dalam suatu Kelenteng, shengmin lengkap

176
Wawancara dengan Liliany Lontoh, Ketua MATAKIN DKI
Jakarta, 15 Mei 2017

220
dapat dijumpai.
Seluruh rangkaian kebaktian tersebut harus mengacu
pada kebaktian secara umum, yang meliputi ; persiapan,
penaikan dupa, penaikan do’a, penghormatan, nyanyian
pembuka, khotbah 1, nyanyian pujian, khotbah 2, nyanyian
pujian, warta-warta, do’a penutup dan nyanyian penutup.
Ajaran etika/moral
Dalam ajaran Khonghucu, jalan suci Thian dapat
ditempuh melalui delapan pengakuan keimanan, yaitu ; 1).
Sing Sien Hong Thian, artinya: sepenuh iman percaya kepada
Tuhan yang Maha Esa; 2). Sing Cun Khoat Tik, artinya :
sepenuh iman menjunjung kebajikan; 3). Sing Liep Bing-Bing,
artinya: Sepenuh iman menegakkan firman Gemilang; 4).
Sing Ti Kwi Sien, artinya: sepenuh iman menyadari adanya
nyawa dan roh; 5). Sing Yang Hau Su, artinya: sepenuh
iman menempuh cita berbakti; 6). Sing Sun Bok Tok, artinya:
sepenuh iman mengikuti genta rohani; 7). Sing Khiem Su
Si, artinya: sepenuh iman memuliakan kitab Su Si; 8). Sing
Hing Tai Too, artinya: sepenuh iman menempuh jalan suci177.
Keimanan yang pokok bagi umat Khonghucu terkandung
di dalam bab utama kitab Zhong Yong, bab utama kitab Da
Xue dan salam seiman yang terkandung dalam kitab Shu
Jing.178

177
Bidang Bimas Khonghucu. 2012. Kitab Pengantar Membaca Shi
Su (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama Khonghucu. Jakarta : PKUB. Hal. 47
178
Ibid, Hal. 47

221
Kitab Suci
Kitab suci agama Khonghucu sampai pada bentuknya
yang sekarang mengalami perkembangan yang sangat
panjang. Kitab suci yang tertua berasal dari Yao (2357-2255
sM) atau bahkan bisa dikatakan sejak Fu Xi (30 abad SM).
Yang termuda ditulis cicit murid Kongzi, bernama Mengzi
(wafat 289 SM), yang menjabarkan dan meluruskan ajaran
Kongzi, yang waktu itu banyak diselewengkan. Kitab suci
yang berasal dari Nabi Purba sebelum Kongzi, ditambah
Chunqiujing (Kitab atau Catatan Jaman Cun Ciu/ Musim
Semi dan Musim Rontok) yang ditulis sendiri oleh Kongzi,
sesuai dengan wahyu Tian, kemudian dihimpun Kongzi
dalam sebuah Kitab yang disebut Wujing.
Beberapa saat sebelum wafat, Nabi Kongzi
mempersembahkan Wujing dalam persembahyangan
kepada Tian. Wujing Five Classics sebagai kitab suci yang
lima (The five books of old testement) terdiri atas :
 Shijing (Kitab Sanjak), yang berisi nyanyian religi, puji-
pujian akan keagungan Tian dan nyanyian untuk upacara
di istana,
 Shujing (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci), yang berisi
sejarah suci Agama Khonghucu,
 Yijing, berisi tentang penjadian alam semesta, sehingga
mereka yang menghayati Kitab ini akan mampu
menyibak takbir kuasa Tian dengan segala aspeknya,
 Lijing (Kitab Kesusilaan), yang berisi aturan dan pokok-
pokok kesusilaan dan peribadahan, serta
 Chunqiujing. Pokok-pokok ajaran dan sabda-sabda
Nabi Kongzi sendiri, kemudian dihimpun oleh murid-

222
muridnya dalam sebuah Kitab Suci yang disebut Si Shu
(Kitab Suci Yang Empat)179.
Si Shu yang merupakan kitab suci yang empat (The
four books of old testement) terdiri atas :
 Daxue (Ajaran Agung/Besar) yang berisi bimbingan dan
ajaran pembinaan diri, keluarga, masyarakat, negara dan
dunia. Daxue ditulis oleh Zengzi atau Zengshen, murid
Kongzi dari angkatan muda,
 Zhongyong (Tengah Sempurna) yang berisi ajaran
keimanan Agama Khonghucu. Zhongyong ditulis oleh
Zisi atau Kongji, cucu Kongzi,
 Lunyu (Sabda Suci) yang berisi percakapan Kongzi
dengan murid-muridnya. Kitab ini dibukukan oleh
beberapa murid utama Kongzi, yang waktu itu berjumlah
3.000 murid, dimana 72 orang diantaranya tergolong
murid utama, dan
 Kitab Mengzi yang ditulis Mengzi. Kitab ini terdiri
atas tujuh jilid yang merupakan kumpulan tulisan
yang mencatat ajaran dan percakapan Mengzi dalam
menghadapi kemelut di zamannya.180

Hari suci
Hari yang dianggap suci oleh penganut Agama
Khonghucu yang banyak orang kenal di antarannya adalah
; Tahun baru Imlek, Cap Go Meh, dan Cheng Beng. Meski
demikian, masih banyak hari lainnya yang dianggap suci

179
Ibid, Hal. 42-44
180
Ibid, Hal. 45-46

223
oleh umat Khonghucu. Di antara hari suci tersebut, ada
yang digunakan untuk sembahyang atau merayakan suatu
peringatan tertentu.

Tabel 5. Hari Suci Agama Khonghucu

No Penanggalan Hari Keterangan

1 1 Cia Gwee Tahun baru Imlek


Sembahyang Besar
2 9 Cia Gwee Kheng Thi Kong kepada Tuhan
YME
3 15 Cia Gwee Cap Go Meh
4 18 Ji Gwee Wafat Nabi
Khonghucu

5 4/5 April Cheng Beng Berziarah ke


makam leluhur

6 5 Go Gwee Peh Cun Diadakan lomba


perahu naga
7 7 Chit Gwee Keterampilan
8 15 Chit Gwee Arwah leluhur
9 15 Peh Gwee Hari raya kue bulan Sembahyang
Tiong Chiu
10 27 Peh Gwee Lahir Nabi
Khonghucu
Sembahyang Besar
11 15 Cap Gwee kepada malaikat
bumi
12 21/22 Desember Genta Rohani

13 24 Cap Ji Gwee Malaikat dapur naik

14 29 Cap Ji Gwee Sembahyang


kepada leluhur
Sembahyang
15 1/15
Imlek
setiap bulan kepada kemuliaan
Tuhan
Sumber:
Dirangkum dari berbagai sumber (di antaranya

224
MATAKIN. 1984. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara
Agama Khonghucu. Solo : MATAKIN)

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan


bahwa hari suci Agama Khonghucu dapat ditemukan
setidaknya dua kali dalam satu bulan, bila dirata-ratakan
selama satu tahun, maka hampir setengahnya pada bulan-
bulan berjalan, umat Khonghucu merayakan hari sucinya
dengan cara bersembahyang.

Relasi Sosial Inter dan Antar Agama


Pengurus MATAKIN Provinsi DKI Jakarta dan
MAKIN Kota se DKI Jakarta sebagaimana organisasi pada
umumnya terdiri atas berbagai jabatan seperti unsur ketua,
wakil ketua, sekretaris, bendahara dan berbagai unsur
ketua bidang. Semua jabatan tersebut diadakan dalam
rangka memudahkan pembagian kerja di antara pengurus
bersangkutan. Hubungan antar anggota pengurus majelis
diluaran penyelenggaraan musyawarah bersifat informal.
Artinya, sesama pengurus dapat melakukan hubungan
biasa.
Relasi sosial MATAKIN Provinsi DKI Jakarta
dengan majelis agama lainnya berjalan cukup baik terutama
dengan unsur majelis. Hubungan mana dibuktikan dengan
diakuinya pengurus MATAKIN untuk menjadi salah satu
anggota FKUB Provinsi DKI Jakarta. Belum lagi hubungan
di luar FKUB, seperti dalam organisasi lintas sektoral semisal
Forum Harmoni Umat Bangsa atau Forum Cinta Tanah Air.
Kerjasama MATAKIN Provinsi DKI Jakarta juga

225
dilakukan dengan Rumah Sakit dalam hal pelayanan
kedukaan, kerjasama dengan PEMDA DKI Jakarta terkait
Keluarga Berencana dan lain sebagainya181.
Menyangkut pergaulan di antara masyarakat luas
(antar penganut agama), penganut agama Khonghucu
relatif cukup terbuka. Namun demikian, umat Khonghucu
yang kebanyakan beretnis Tionghoa nampaknya kurang
dapat bergaul dengan non Tionghoa, kalau ada orang asing
yang belum dikenal masuk ke sebuah gang contohnya, maka
mereka cenderung tertutup182, kecuali bila pergaulannya
berbentuk kerjasama usaha183.
Secara eksternal, saling menghormati antar pemeluk
agama terjadi terutama dengan sesama penduduk Tionghoa
saat malam tahun baru imlek. Dalam beberapa tahun
belakangan ini bahkan ada suatu fenomena baru yang
menarik untuk dicermati yaitu ikut dirayakannya imlek
di Gereja ataupun di Vihara. Sementara itu, hubungan
dengan kalangan Muslim sejauh ini masih sangat kondusif
di tengah adanya kekhawatiran akan efek tindakan Ahok
dengan kasus penodaan agamanya dapat mempengaruhi
relasi sosial di DKI Jakarta. x
Relasi sosial antara umat Khonghucu yang diwakili
oleh MAKIN Kota dan MATAKIN Provinsi dengan
pemerintah juga berjalan dengan baik. Hal tersebut
dibuktikan dengan kehadiran perwakilan pemerintah baik

181
Wawancara dengan Liliany Lontoh sebagai Ketua MATAKIN
DKI Jakarta, 9 Mei 2017
182
Wawancara dengan Lie Adjan sebagai Pengurus Lithang
Jakarta Pusat, 15 Mei 2017
183
Wawancara dengan Lie Adjan sebagai Pengurus Lithang
Jakarta Pusat, 15 Mei 2017

226
dari pemerintah daerah maupun Kemenag (baik kabupaten/
kota maupun dari kantor wilayah provinsi) dalam berbagai
acara seperti pelantikan pengurus MAKIN/ MATAKIN
ataupun kegiatan lainnya.

Konflik Yang Pernah Terjadi


Sejauh ini belum ada konflik yang memasuki
tahapan agresi (yaitu kekerasan yang berhadapan dengan
kekerasan) antar agama Khonghucu dengan berbagai agama
lainnya. Meskipun demikian, tercatat beberapa gesekan
yang terjadi utamanya antara umat Khonghucu dengan
ummat Kristiani dan Buddha. Pertama, terkait dengan
masalah pengambilalihan Klenteng sebagai tempat ibadah
umat Buddha.184
Kedua, konflik dalam bidang pendidikan. Pernah ada
kasus di suatu sekolah di mana kepala sekolah beragama lain
namun mengajak siswa beragama Khonghucu untuk belajar
agama lain. Meski di sana memaang tidak ada guru agama
Khonghucu, namun seharusnya pengajaran agama tersebut
diserahkan kepada Majelis agama Khonghucu untuk
dicarikan gurunya. Upaya konversi agama Khonghucu ke
Kristen/Katolik/Buddha lebih banyak terjadi lewat media
pendidikan. Hal ini terjadi karena di sekolah tersebut
hampir tidak ada guru agama Khonghucu, sehingga siswa
ikut ke ajaran lain185.

184
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta, Peter Lesmana
sebagai Ketua MAKIN Jakarta Barat, 12 Mei 2017, Liliany Lontoh sebagai
Ketua MATAKIN DKI Jakarta, 9 Mei 2017
185
Wawancara dengan Liliany Lontoh sebagai Ketua MATAKIN

227
Layanan Keagamaan
Pelayanan Pendidikan
Dalam hal pendidikan, umat Khonghucu masih
memiliki berbagai keluhan meskipun pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 5 tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan bagi Umat Agama
Khonghucu dan memasukan pendidikan agama Khonghucu
dalam kurikulum nasional. Peraturan Menteri Pendidikan
nasional Bo. 47 tahun 2008 tentang standarisasi Isi mata
pelajaran Agama Khonghucu. Didukung pula dengan
terbitnya PP Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun
2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran
Agama Khonghucu, Pada pasal 45 ayat 1 menyatakan bahwa
pendidikan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat
pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal.
Pada kenyataannya, masih banyak sekolah
yang belum memberikan pendidikan keagamaan yang
seharusnya kepada pemeluknya, terutama penganut agama
Khonghucu.186 Sebagai contoh, seharusnya bila sekolah tidak
menyediakan guru sesuai dengan agama penganut agama
Khonghucu, maka sekolah dapat menyerahkan pendidikan
tersebut kepada tempat ibadah agama bersangkutan, dalam
hal ini kepada Kelenteng atau Lithang. Namun ternyata
semua hal tersebut tidak terjadi, alih-alih menyerahkan
kepada pihak lain yang berkompeten dalam memberikan
pendidikan keagamaan, malahan pada beberapa sekolah
swasta malahan diberikan pengajaran dalam mata pelajaran

DKI Jakarta, 9 Mei 2017


186
Wawancara dengan Liliany Lontoh sebagai Ketua MATAKIN
DKI Jakarta, 9 Mei 2017, Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta 9 Mei 2017

228
agama di luar keyakinan siswa yang beragama Khonghucu
ini.
Tabel 6: Rekapitulasi Sekolah yang Menyelenggarakan
Pendidikan Agama Khonghucu
Status
No Nama sekolah Jenis layanan
Sekolah
Sekolah Cinta Kasih Tsu Chi,
1 Swasta Reguler
Cengkareng
Jakarta Intercultural School,
2 Swasta Reguler
Cilandak
3 Sekolah Pah Tzung, Cengkareng Swasta Reguler
SMAN 77, Cempaka Putih,
4 Negeri Reguler
Jakarta Pusat
SMAN 17 Mangga Besar, Jakarta
5 Negeri Reguler
Pusat
6 Sekolah Tunas Bangsa, Meruya Swasta Reguler
SMP Mahatma Gading, Kelapa
7 Swasta Reguler
Gading
SMA Mahatma Gading, Kelapa
8 Swasta Reguler
Gading
SMAK 10 BPK Penabur, Kelapa Diserahkan
9 Swasta
Gading ke Lithang
SDK 4 St Mr. Joseph, Kelapa Diserahkan
10 Swasta
Gading ke Lithang
Diserahkan
11 SDK 4 St Theresia, Kuningan Swasta ke Lithang
SMPK 7 BPK Penabur, Kelapa Diserahkan
12 Swasta
Gading ke Lithang
Sekolah
13 SDS Yayasan Katholik, Sunter Swasta minggu
S e k o l a h
14 TK Sunter Swasta minggu
S e k o l a h
15 SMAN 78 Kemanggisan Negeri minggu
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Liliany Lontoh,
Ketua MATAKIN DKI Jakarta, 15 Mei 2017

Dari sisi guru agama Khonghucu yang volunteer di


sekolah ada kemungkinan tidak diberikan UMP Propinsi.
Belum lagi pengakuan sekolah yang belum maksimal dalam
menerima keberadaan guru agama Khonghucu yang seakan
tidak memperhatikannya. Hal ini terjadi karena belum ada

229
juklak dan juknisnya oleh Kemenag. Secara administrasipun
ketika kolom agama dalam form pendaftaran pilihannya
belum ada pilihan agama Khonghucunya, melainkan
berupa titik-titik. Hal tersebut juga terjadi dalam Buku induk
pendidikan di sekolah, Daftar Dapodik, Raport, Kelulusan
dan Ijazah.187
Selanjutnya meskipun sekolah sudah ada yang
menerima agama Khonghucu sebagai salah satu mata
pelajaran yang diajarkan, namun bukannya tanpa masalah,
Hal tersebut ditemukan dalam kasus menilai ujian
praktek agama yang tidak diserahkan kepada guru agama
Khonghucu tetapi kepada guru lain agama yang tersedia di
sekolah tersebut.
Dari tampilan yang tertera sebagaimana Tabel 6
di atas dapat disimpulkan bahwa baru 15 sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan agama Khonghucu yang
rata-rata berada di sekolah swasta. Selain jenis layanan
pendidikan reguler dalam hal ini adalah kelas clasical.

Pelayanan Kependudukan
Secara umum, ada perasaan dari sebagian umat
bahwa umat Khonghucu akan dihambat, sehingga keluarga
yang sudah pindah ke agama lain juga tidak mau pindah
lagi ke agama Khonghucu karena takut ada perkara seperti
masa lalu188. Maka dari itu, masalah pelayanan pemerintah

187
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta
188
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta

230
terkadang selalu dikaitkan dengan perasaan ini. Terkait
pelayanan kependudukan ini meliputi pengurusan ; KTP,
Akta Lahir,Akta nikah, dan pemakaman. Dalam hal ini,
permasalahan KTP tidak terletak ditangan pemerintah
tetapi lebih kepada pihak umat yang enggan untuk berganti
status agama di KTP. Selain karena anggapan masalah KTP
hanya berupa catatan saja, yang penting sembahyang tetap
ke Kelenteng.189
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan penganut Khonghucu, sampai sekarang ini ternyata
masih ada masalah tentang akta lahir di mana status anak
berasal dari ibu bukannya ayah, karena orang tua dahulu
tidak menikah di catatan sipil. Dahulu memang akibat
pernikahan yang tidak dicatatkan di pencatatan sipil
menjadikan status anak dalam sebuah keluarga Khonghucu
hanya dapat dinisbatkan kepada ibunya dalam KK. Seiring
dengan waktu meskipun sekarang keberadaan agama
Khonghucu sudah diakui berikut hak-hak sipilnya namun
masalah perubahan status tersebut masih sangat sulit
dilakukan.190
Dalam melaksanakan prosesi pernikahan, umat
Khonghucu dapat melaksanakannya di tempat ibadah,
baik di Lithang maupun di Kelenteng dengan tentunya
mencatatkan pernikahan ke pencatatan sipil. Pada beberapa
tahun terakhir, pernikahan ini sudah mendapatkan banyak
kemudahan dari instansi terkait.
Ketika umat ada yang mendapati kematian pada

189
Wawancara dengan Rini Antika sebagai pengelola Klenteng
Kong Miao, 18 Mei 2017
190
Wawancara dengan Rini Antika sebagai pengelola Klenteng
Kong Miao, 18 Mei 2017

231
keluarga atau kerabat, pemakaman dilakukan di tempat
terdekat. Biasanya di tempat pemakaman umum. Untuk
proses penguburannya secara izin sudah tidak sesulit
dahulu.

Layanan Keagamaan yang Dibutuhkan


Selain layanan kependudukan yang diperlukan
umat Khonghucu, ternyata ada layanan lain yang sangat
diperlukan, yaitu layanan keagamaan. Hasil wawancara
kepada beberapa narasumber menghasilkan beberapa
temuan penting di antaranya :
Bidang Status Hukum: Pemulihan harus dilakukan oleh
Kementerian terkait (Sekneg dan Mendagri) terkait aturan
perundang-undangan eksistensi agama Khonghucu.191
Karena Inpres yang mencabut pelarangan simbol-simbol
Khonghucu untuk tampil di publik belum dieksekusi secara
sempurna. Misalnya ; Hari keagamaan Imlek masih dianggap
“tradisi” bukannya upacara keagamaan, sehingga bisa
dilaksanakan di Gereja atau Vihara. Padahal Imlek sebagai
upacara keagamaan adalah eksklusif milik umat Khonghucu.
Bidang Keagamaan: Pendirian rumah ibadah, karena selama
ini Kelenteng jadi rumah ibadah, itupun berbagi dengan 2
agama lainnya yaitu Buddha dan Tao (Tri Dharma). Selama
ini tempat ibadah yang sudah turun temurun dipaksa di
masa lalu menjadi Vihara. Di sini ada pemenjaraan dan
stigma terhadap tempat ibadah agar konversi jadi Vihara.192

191
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai
Koordinator Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta
192
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta, Peter Lesmana

232
Ada kesengajaan pembatasan hak beribadah dengan cara
mereka menyelenggarakan kegiatan Tri Dharma, yaitu di
Kelenteng agama yang tiga (Khonghucu, Buddha dan Tao),
maka masalah Tri Dharma harus diselesaikan (harus diberi
ketentuan jam dan tempatnya).193
Penyelesaian peruntukkan Kelenteng yang saat ini
masih digunakan oleh Tri Dharma. Hal tersebut didasarkan
pada fakta historis dan peninggalan ornamen fisik adalah
tipikal Kelenteng (berasal dari ajaran Khonghucu yang
terdapat pada kitab suci Shi Shu). Dengan demikian
diharapkan Kemenag dapat memediasi Majelis Agama
Khonghucu dengan Majelis Agama Buddha terkait masalah
pengelolaan Kelenteng yang hendaklah difungsikan ke
semula, termasuk dalam hal ornamen disesuaikan kembali
dengan Kitab Suci Shu Shi.194 Ajaran dikembalikan ke
fitrahnya karena dahulu dipersepsikan terjadi sinkretisme
agama, padahal yang sebenarnya agama Khonghucu tidak
demikian.195
Alat-alat pemujaan yang ada di Kelenteng juga
menurut umat Khonghucu hendaklah dikembalikan pada
fungsi semula karena manyangkut kekhusuan. Indikasinya
lihat di kitab suci, jangan sampai nama shengmin dibajak
oleh agama lain padahal tidak ada dalam kitab sucinya.196

sebagai Ketua MAKIN Jakarta Barat, 12 Mei 2017, Liliany Lontoh sebagai
Ketua MATAKIN DKI Jakarta, 9 Mei 2017
193
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Provinsi DKI Jakarta
194
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017
195
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017, Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Propinsi DKI Jakarta
196
Wawancara dengan Js Dra. Tan Minggayani sebagai Koordinator
Bidang Pendidikan MATAKIN Propinsi DKI Jakarta

233
Bidang Pelayanan Hak Sipil: Perlunya sosialisasi tentang
pengembalian hak sipil umat Khonghucu ke aparatur
birokrasi sampai di tingkat bawah yang kebanyakan
belum mengetahui dan seakan mempersulit pelayanan.197
Bidang Pembinaan Umat: Rekrutmen penyuluh agama yang
sangat penting bagi pelayanan terhadap umat terutama
dalam hal pelayanan duka dan rohaniawan agama. Bidang
Pendidikan: Buku ajar pendidikan agama Khonghucu di
sekolah internasional sangat dibutuhkan.198 Juga selama
ini belum ada guru Agama Khonghucu yang diangkat
sebagai PNS. Bidang Keorganisasian: Penanganan masalah
umat Khonghucu hendaklah dilakukan oleh wakil umat
Khonghucu, karena ia pastinya memahami masalah umat
Khonghucu dan akan memperjuangkan pengembalian
pengelolaan Klenteng ke umat Khonghucu.199 Dualisme
organisasi yaitu keberadaan MATAKIN dengan PARAKIN
di mana pemerintah harus turun tangan menangani ini200.
Potensi Konflik serta Penyelesaiannya
Keberadaan umat Khonghucu di DKI Jakarta
ditunjukkan oleh tumbuh dan berkembangnya agama ini di
daerah penelitian. Perkembangan Agama Khonghucu di DKI
Jakarta (Batavia dahulu) sudah sejak lama, yaitu tahun 1729,
dibuktikan dengan diketemukannya Shu Yuan, semacam
pesantren yang memberikan pendidikan tentang agama

197
Wawancara dengan Lie Suprijadi sebagai FKUB DKI Jakarta,
19 Mei 2017
198
Wawancara dengan Liliany Lontoh sebagai Ketua MATAKIN
DKI Jakarta, 15 Mei 2017
199
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017
200
Wawancara dengan Peter Lesmana sebagai Ketua MAKIN
Jakarta Barat, 12 Mei 2017

234
Khonghucu (Ru Jiao) bernama Ming Cheng Shu Yuan, yang
bermakna “Taman kitab pendidikan menggemilangkan
iman”.
Maju ke zaman kemerdekaan berdirilah Khong
Kauw Hwee di Jakarta yang menjadi cikal bakal MAKIN
dan MATAKIN di berbagai daerah. Semangat kebersamaan
semakin terlihat dengan perkembangan kalangan Tionghoa
beserta dengan Agama Khonghucunya. Namun tidak
berselang lama, selepas tahun 1965 sejak dimulainya Orde
Baru, hal-hal yang berkaitan dengan kalangan Tionghoa
beserta dengan agama Khonghucu mendapatkan tekanan
dari pemerintah saat itu. Seiring waktu, Orde Baru inipun
surut dan mulailah dibuka era Orde Reformasi yang
mengembalikan kondisi kalangan Tionghoa beserta dengan
agama Khonghucu ke posisi semula.
Pasang surut dinamika perkembangan agama tidak
terkecuali dialami juga oleh umat Khonghucu. Kurun
waktu dalam masa perkembangan inilah memungkinkan
terjadinya interaksi dengan berbagai agama dan aliran dalam
bidang kehidupan sehari-hari. Membuka kemungkinan
akan relasi positif maupun negatif dengan berbagai umat
dan masyarakat.
Beberapa konflik yang rawan muncul, yaitu ;
efek dari konversi agama, konflik dalam menggunakan
Kelenteng, kegiatan misionari (agama non Khonghucu)
yang terselubung dan masalah dalam pengajaran terhadap
siswa beragama Khonghucu di sekolah yang tidak ada
pengajar beragama Khonghucu.Adanya konflik dalam hal
pengajaran, konflik terkait konversi agama maupun konflik
penggunaan Kelenteng selama ini belum terselesaikan
dengan baik sehingga rawan terjadinya tingkat eskalasi
yang lebih tinggi di masa yang akan datang.

235
Kebutuhan Layanan Keagamaan Saat Ini
Di antara dua masalah pelayanan yang diberikan
pemerintah, yaitu pelayanan pendidikan dan layanan
kependudukan, maka pelayanan pendidikan inilah
yang paling banyak ditemukan permasalahan. Namun
demikian terhadap kondisi ini tidak dapat berdiri sendiri
dan selesai hanya dengan menyelesaikan satu aspek saja,
melainkan harus semua aspek terselesaikan sehingga dapat
saling bersinergi. Aspek pendidikan yang paling banyak
mencatatkan permasalahan di antaranya ;
 Kekurangan SDM guru yang dapat melayani kebutuhan
pendidikan agama Khonghucu bagi siswa dari umat
Khonghucu,
 Kekurangan juklak dan juknis yang akan dapat
memberikan pemahaman akan akses pendidikan yang
seharusnya dapat diterima umat Khonghucu,
 Kekurangan bahan ajar terutama bagi sekolah-sekolah
internasional yang ada di DKI Jakarta,
 Pemahaman yang kurang dari stakeholders pendidikan
terhadap hak mendapatkan pendidikan terhadap umat
Khonghucu.
Adapun layanan yang dibutuhkan umat Khonghucu
yang paling utama dapat disebutkan sebagaimana berikut ;
 Bidang status hukum merupakan bidang yang
paling krusial dan vital untuk dapat menyelesaikan
permasalahan umat Khonghucu. Hal ini dapat dipahami
karena hulu solusi adalah mengenai penyelesaian
status hukum terlebih dahulu sehingga bidang lainnya
dapat terurai dengan terukur dan teratur. Tingkat

236
perkembangan Agama Khonghucu sejak dipulihkan
kembali hingga hari ini sebenarnya sudah hampir dua
dasawarsa, namun di dalam persepsi umat Khonghucu
nampaknya perkembangan agamanya seolah berjalan di
tempat. Sebenarnya tidak cukup setelah status hukum
dipulihkan sepenuhnya, tetapi juga aturan pelaksanannya
juga perlu dipahami sampai ke tingkat grass root.
 Bidang keagamaan menjadi kebutuhan kedua bagi
umat Khonghucu. Hal ini disebabkan sengkarut
masalah pengembalian rumah ibadah Kelenteng ke
pengelolaan umat Khonghucu belum menemukan titik
temu. Sengkarut masalah yang ditemukan di antaranya
; pembatasan hak beribadah dan pengembalian ajaran
dan simbol keagamaan. Solusi yang diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan bidang keagamaan bila
tidak dapat mengatasi masalah peruntukkan tempat
ibadah adalah dengan mendirikan tempat ibadah baru
yang dibantu fasiltasi oleh pemerintah. Beberapa bahan
pertimbangan diyakini tidak akan menabrak aturan,
karena. Pertama, selama ini, perkembangan agama lain
pun dibantu oleh pemerintah, ke dua, kerugian immaterial
umat Khonghucu selama ini dengan adanya aturan
pembatasan sejak Orde Baru dapat dipulihkan dengan
pengembalian hak sipil ke titik semula.
Berdasarkan paparan di atas dapat disebutkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
 Di antara 2 masalah pelayanan yang diberikan
pemerintah, yaitu pelayanan pendidikan dan layanan
kependudukan, maka pelayanan pendidikan inilah
yang paling banyak ditemukan permasalahan. Namun
demikian terhadap kondisi ini tidak dapat berdiri sendiri

237
dan selesai hanya dengan menyelesaikan satu aspek saja,
melainkan harus semua aspek terselesaikan sehingga
dapat saling bersinergi.
 Layanan yang dibutuhkan umat Khonghucu yang paling
utama dapat disebutkan sebagaimana berikut:Pertama,
bidang status hukum berupa pemulihan status hukum
dipulihkan sampai sosialisasi aturan pelaksanaan hingga
ke tingkat grass root. Kedua, bidang keagamaan yaitu
mulai dari pengembalian rumah ibadah Kelenteng
ke pengelolaan umat Khonghucu sampai kepada
pengembalian ajaran dan simbol keagamaan. Ketiga,
bidang pelayanan hak sipil, Keempat, bidang pembinaan
umat, Kelima, bidang pendidikan, Keenam, bidang
keorganisasian.
 Penelitian ini tidak menemukan adanya konflik atau
gesekan yang bersifat fisik. Namun tercatat konflik
terselubung yang terjadi yaitu ; gesekan mengenai
fungsi rumah ibadah Kelenteng, konflik dalam
bidang pendidikan dan konflik akibat konversi agama
terselubung. Relasi sosial ummat Khonghucu dengan
masyarakat masih terbatas pada bidang-bidang tertentu.
Sedangkan relasi dengan pemerintah menunjukkan
hubungan yang erat.

238
Bagian X

UMAT KHONGHUCU SEMARANG


Oleh: Suhanah dan Asnawati

Sejarah Khonghucu di Semarang


Terkait dengan sejarah berdiri dan perkembangan
agama Khonghucu di Semarang yang di fokuskan di
Klenteng Tay Kak Sie yang merupakan kelenteng tertua
yang didirikan pada tahun 1746. Kelenteng ini berada di
Jalan Gang Lombok No 62 Pecinan Semarang. Klenteng ini
menjadi salah satu obyek wisata religi di Kota Semarang.
Kelenteng Tay Kak Sie pada mulanya hanya untuk memuja
Dewi Kwan Sie Im Po Sat, Yang Mulia Dewi Welas Asih,
kemudian berkembang menjadi Kelenteng yang juga
memuja Dewa Dewi Tao lainnya. Kelenteng ini selalu
ramai dikunjungi umat Tri Dharma saat berlangsungnya
perayaan Imlek. Warga Tionghoa silih berganti melakukan
sembahyang di klenteng tua ini sepanjang malam pergantian
tahun.
Salah satu problem terkait data umat Khonghucu
saat ini adalah soal identitas sebagai pemeluk Khonghucu.
Banyak ditemui umat Khonghucu yang masih ragu untuk
mengganti KTP yang sebelumnya dengan menuliskan
selain agama Khonghucu di kolom KTP nya, meskipun
regulasi sudah mengaturnya dan diberi kemudahan. Dari
PKUB telah melakukan sosialisasi kepada umat Khonghucu
bahkan dari pihak rohaniwan telah menyampaikan kepada
umat akan membantu dalam pengurusan tanpa harus
mengurus sendiri, hanya tinggal foto di dinas catatab sipil,

239
untuk mencantumkan atau merubah kolom agama yang
lama menjadi Khonghucu. (Wawancara dengan ketua
yayasan kematian, Bapak Sunaryo). Alasannya sampai saat
ini belum juga mau mengubahnya karena usia sudah tidak
muda lagi.
Di Kota Semarang terdapat 36 buah Klenteng satu
diantaranya adalah Klenteng Tai Kak Sie yang merupakan
Klenteng tertua di Kota Semarang. Klenteng Tai Kak Sie ini
berdiri pada tahun 1746 yang berada di kawasan Pecinan
Jalan Lombok No. 62 Kota Semarang. Pendiri Klenteng
ini adalah Khuuw Ping Cxu Peng. Di kawasan Pecinan ini
terdapat tradisi umat Khonghucu, dimana pada kawasan
ini terdapat pasar Semawis yang didalamnya terdapat
penjualan berbagai aneka ragam dagangan seperti pakaian,
minuman, makanan dan aneka mainan anak-anak serta
asesoris bagisemua kalangan. Para pedagang yang yang
berjualan di pasar Semawis ini tidak hanya etnis Cina
melainkan dari berbagai etnis dan berbagai agama. Makanan
yang dijual juga tidak hanya makanan halal bagi umat Islam
tetapi makanan khusus untuk etnis cinapun tersedia seperti
sate daging babi dan baso mengandung minyak babi. Para
pengunjung bukan hanya orang cina tetapi banyak juga
terlihat orang-orang Islam baik yang berjilbab maupun
tidak pada berdatangan. Pencetus dari diadakannya pasar
Semawis ini adalah salah seorang budayawan cina yang
bernama Haryanto Halim.

Bentuk Pelayanan pada Umat Khonghucu


Bentuk-bentuk kebutuhan umat Khonghucu yang
sudah dilayani pemerintah adalah:

240
 Terkait akte kelahiran, hal ini sudah dilayani pemerintah
dengan baik, dimana bagi anak yang baru dilahirkan
ia dicatatkan pada KantorDinas Kependudukan dan
Catatan Sipil setempat, tanpa dibeda-bedakan dengan
umat beragama lainnya;
 Terkait pernikahan, semua umat Khonghucu yang
mau menikah sudah dilayani dengan baik oleh
pemerintah, perkawinannya dicatatkan pada Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat dan
pelaksanaan perkawinannya dilakukan di hadapan
pemuka agama Khonghucu serta disaksikan oleh umat
beragama Khonghucu;
 Terkait tempat pemakaman/ kuburan bagi umat
Khonghucu, ditempatkan sama dengan umat agama
lainnya di pemakaman umum tanpa dibeda-bedakan;
 Terkait pendidikan agama khonghucu sudah diberikan
pelayanan dengan baik oleh pemerintah dengan
disediakannya kurikulum pendidikan agama khonghucu
di sekolah-sekolah seperti: SD, SMP danSMA. Begitu
juga di Kampus-kampus seperti UNISBANG, UNDIP,
UNIKA dan UNDINUS disediakan mata kuliah agama
Khonghucu;
 Terkait Identitas agama dalam KTP kolom agama sudah
dibolehkan menulis dengan kata-kata agama Khonghucu.
Namun demikian walaupun masalah identitas KTP
sudah diberikan layanan dengan baik oleh pemerintah
melalui MATAKIN/MAKIN dengan memberikan
kemudahan dan membantu administrasinya yaitu serahkan
data-datanya nanti yang mengurusnya adalah MAKIN,
mereka hanya disuruh foto di Kantor Dinas Kependudukan,

241
tetapi hingga penelitian ini dilakukan masih banyak yang
belum mau merubahnya, dengan alasan bermacam-macam
yaitu bagi kalangan orang tua-tua mereka menyatakan
bahwa saya ini sudah tidak muda lagi untuk apa dengan
KTP, biar saja dalam KTP saya kolom agama masih ditulis
agama Buddha walaupun dalam praktek hari-hari saya
melakukan ibadat secara Khonghucu; Bagi kalangan anak
muda, ia menyatakan bahwa saya hidup dengan orang tua
dan orang tua saya KTPnya kolom agama ditulis Buddha,
walaupun praktek ibadahnya secara Khonghucu. Oleh
karena itu saya sebagai anakjuga ikut saja dengan orang tua,
yaitu Buddha. (Wawancara dengan dengan Guru Agama
Khonghucu, Bapak Desdy).
Jadi dalam hal ini bukan kesalahan pemerintah

melainkan penganut itu sendiri yang tidak mau merubahnya,
walaupun para rohaniawan maupun penyuluh sudah
bergegas hati menyarankan kepada semua umat Khonghucu
untuk merubah KTP-nya tetapi tetap saja sebagian mereka
bermalas-malasan untuk menggantinya. Sehingga data
jumlah penganut umat Khonghucu yang terdaftar di Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ada 131 orang,
dengan rincian 70 orang laki-laki dan 61 orang perempuan.
Sedangkan jumlah penganut Agama Khonghucu
yang tercatat di Kantor Sekretariat Matakin sekitar 500
orang. Terkait rumah ibadat tidak ada konflik di permukaan
yang ada Cuma pembicaraan saja yang menyatakan
Klenteng milik Buddha dan yang lainnya mengatakan
milik umat Khonghucu. Hal ini masih dimusyawarahkan,
namun demikian di dalam Klenteng itu juga terdapat
patung-patung untuk Budha, Tao dan Khonghucu. Selain
itu umat Khonghucu diberikan tempat untuk melakukan

242
persembahyangan di Klenteng dan di dalam Klenteng
itu sendiri juga terdapat Litang untuk umat Khonghucu
melakukan kebaktian. Bagi Umat Khonghucu dari kalangan
bapak/ibu, acara kebaktiannya diadakan pada setiap malam
sabtu, sedangkan sekolah minggu bagi anak-anak diadakan
pada setiap hari minggu. Terkait masalah imlek, umat
Khonghucu yang ada di Kota Semarang mengatakan bahwa
Imlek itu merupakan hari raya Khonghucu, tetapi ada unsur
budayanya bagi umat Khonghucu dan umat agama lainnya.

Kebutuhan Umat Khonghucu Yang Belum Dilayani


ebutuhan umat Khongghucu yang belum
K
mendapatkan pelayanan dari pemerintah antara lain: 1)
Umat beragama Khonghucu berkeinginan disediakan Bimas
Khonghucu di setiap daerah, demi untuk memudahkan
pembinaan kepada umat Khonghucu terkait masalah
administrasi; 2) Penyuluh agama. Penyuluh agama memiliki
peran signifikan bagi internalisasi ajaran agama oleh umat
Khonghucu. Para penyuluh dan juga pengajar ilmu agama
dapat pula menjadi guru, dosen dan rohaniawan.Para guru
yang ada belum memiliki ijasah S 1 lulusan dari pendidikan
agama Khonghucu. Mereka hanya belajar pendidikan
agama Khonghucu melalui para haksu atau tokoh agama
Khonghucu; 3) Umat Khonghucu berkeinginan memiliki
Sekolah Tinggi Agama Khonghucu, namun sampai saat
ini belum bisa terwujud karena keterbatasan Sumber Daya
Manusianya (SDM).
Sehingga dalam rangka penguatan kompetensi
guru agama Khonghucu dengan memberikan bantuan
pendidikan agama Khonghucu bagi para mahasiswa S2

243
Jurusan Perbandingan Agama bekerjasama dengan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Program ini sudah berjalan
selama 3 angkatan, yang dimulai sejak tahun 2014 dengan
mahasiswa 15 orang, Tahun 2015 sebanyak 13 orang dan pada
tahun 2016 sebanyak 11 orang.(Sumber: Emma NUrmawati
Hadian); 4) Terkait masalah rumah ibadat, tidak ada kendala
walaupun sebagian besar orang mengatakan Klenteng
milik umat Buddha, dan sebagian lainnya mengatakan
milik umat Khonghucu. Klenteng Tai Kak Sie ini bercorak
Tri Dharma, di dalamnya terdapat leluhur untuk Umat
Khonghucu, Dewa untuk umat Buddha dan leluhur untuk
umat Tao. ?Hal ini masih menjadi perbincangan umat
dan masih dimusyawarahkan diantara pimpinan. Namun
selama ini umat Khonghucu masih dibolehkan melakukan
persembahyangan di Klenteng. Selain itu di dalam sebuah
Klenteng terdapat juga Litang yang menempel disebelahnya.

Relasi Dengan Umat Lain


Relasi umat Khonghucu dengan umat beragama
lainnya, masyarakat setempat dan pemerintah: 1) Relasi umat
Khonghucu yang ada di MATAKIN dengan yang ada di Tri
Dharma umumnya baik-baik saja, tetapi umat Khonghucu
tidak suka kalau tiga ajaran dijadikan satu (Sinkritisme);
2) Relasinya dengan masyarakat sudah cukup baik bahkan
ada kegiatan bersama dalam kegiatan sosial menyediakan
makan sianggratis.Waktu makan dimulai pada jam 11.30
sampai dengan 13.30 diperuntukan bagi orang yang tidak
mampu (Dhuafa) untuk semua agamadan etnis.
Selain itujugadi kampung pecinan ini masyarakatnya
rata-rata di depan rumahnya memiliki altar tempat

244
penyimpanan roh leluhur keluarganya. Selain itu juga ada
tradisi bersama dalam berdagang yang disediakan tempat di
kampung Pecinan yang diadakan pada malam sabtu, minggu
dan malam senin apa yang disebut pasar Semawis. Di pasar
Semawis ini orang berjualan aneka ragam jenis pakaian,
makanan, minuman dan juga beraneka ragam mainan anak-
anak dan asesoris untuk keperluan semua kalangan, namun
demikian di pasar Semawis initersedia makanan bukan
hanya khusus makanan bagi umat Islam akan tetapi juga
disediakan makanan untuk umat non muslim, seperti sate
daging babi dan bakso yang menggunakan minyak babi.
Sayangnya makanan yang tidak halal untuk umat
Islam itu tidak diberi label . (Wawancara dengan penyuluh
(Bapak Andi Gunawan).3) Relasinya dengan orang-orang
Kristen dan Katolik juga baik-baik saja walaupun ada
sebagian umat Katolik/Kristen yang beretnis Tionghoa
melaksanakan Misa Imlek di Gereja, padahal yang
sebenarnya Imlek itu adalah hari raya bagi umat Khonghucu,
namun ada unsur budayanya bagi umat Khonghucu dan
umat beragama lainnya. Seperti: budaya makan lontong
cap gomeh dan kue kranjang; 4) Relasi umat Khonghucu
dengan pemerintah cukup baik, terbukti pemerintah sudah
memberikan pelayanan hak-hak sipilnya dengan baik.
Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan
bahwa penganut agama Khonghucu yang ada di Kota
Semarang, bentuk-bentuk layanan yang dibutuhkannya
seperti masalah akte kelahiran, pernikahan, pendidikan,
pemulasaran, identitas agama dalam KTP, sudah dilayani
pemerintah dengan baik, walaupun masih ada kendala
terhadap umat beragama itu sendiri yang masih belum mau
merubah KTPnya dengan alasan-alasan tertentu.

245
Bentuk-bentuk layanan seperti berkeinginan
memiliki Sekolah Tinggi Agama Khonghucu, penambahan
rohaniawan dan penyuluh agama belum dilayani oleh
pemerintah, karena ada berbagai pertimbangan, yaitu
kekurangan SDMnya; Sedangkan masalah rumah ibadat
dan imlek sampai penelitian ini dilakukan belum jelas
permasalahannya, apakah Kelenteng itu milik umat
Khonghucu atau milik umat Buddha; Begitu juga masalah
imlek padahal itu adalah merupakan hari raya umat
Khonghucu;
Relasi umat Khonghucu dengan umat beragama
lainnya tidak ada masalah walaupun sebagian umat Katolik
dan Kristen yang beretnis Tionghoa masih melakukan
misa imlek, padahal imlek itu merupakan hari raya umat
Khonghucu; Relasi umat Khonghucu yang ada di Matakin
dengan yang ada di Tri Dharma tidak ada masalah tetapi
umat Khonghucu yang ada di Matakin tidak suka kalau tiga
ajaran dijadikan satu (Sinkritisme).
Relasinya dengan pemerintah sudah cukup baik
karena pemerintah sudah banyak memberikan perhatian
dan layanan kepada umat Khonghucu. Begitu juga relasinya
dengan masyarakat setempat sudah cukup baik, seperti
contoh di Kampung pecinan disediakan tempat yang
dinamakan pasar Semawis untuk berdagang bagi semua
kalangan umat beragama dengan menjual berbagai macam
makanan, pakaian, minuman dan bermacam-macam
asesoris untuk kebutuhan orang dewasa dan anak-anak.
Bahkan adanya kerjasama dalam kegiatan sosial,
seperti makan bersama dengan kelompok duafa pada setiap
hari selasa jam 11.00 Siang, dananya dari para donator
semua umat beragama.

246
Pada bagian akhir ini, penulis menyampaikan
rekomendasi, yakni bahwa bagi umat Khonghucu yang ada
di Kota Semarang, sebaiknya layanan yang sudah diberikan
oleh pemerintah, seperti identitas agama dalam KTP, perlu
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bentuk-bentuk layanan yang
diinginkan dan belum dilayani pemerintah, sebaiknya
menunggu saja pada waktu yang tepat bisa terealisasikan.
Relasi umat Khonghucu terhadap sesama umat beragama,
masyarakat sekitar dan pemerintah yang sudah terbina
dengan baik atas kerjasamanya dalam beberapa kegiatan
sebaiknya dipertahankan terus.

247
248
Daftar Pustaka

Agung, Kurniawan (2005). Transformasi Pelayanan Publik.


Yogyakarta: Pembaharuan.
Anhar, Moh (2017). Perlu Dikembangakan Agama Berwajah
Humanis”, www. Suaramerdeka. Com.
Asiati, Tri, (2017). Identitas Tionghoa-Indonesia Melalui
Hermeneutika Tipologi Bongpay Di Bong Muntang-Tanjung
Banyumas. Jurnal Cakrawala Mandarin. Vol.1, No.2,
Oktober 2017, PP.14-26.
Bashori A Hakim, (2010). Pelayanan Pemerintah terhadap
Umat Khonghucu di Kota Pangkalpinang Propinsi Bangka
Belitung, Jurnal Harmoni Vol. IX, 2010.
Bidang Bimas Khonghucu. (2012). Kitab PengantarMembacaShi
Su (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama Khonghucu.
Jakarta : PKUB
BPS Pusat, (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan
Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia : Hasil Sensus
Penduduk 2010. Jakarta : BPS
BPS DKI Jakarta, (2016). Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta :
BPS DKI Jakarta
BPS Kabupaten Banyumas (2015). Kabupaten Banyumas
Dalam Angka 2015; Jumlah Tempat Peribadatan
Menurut Kecamatan di Kabupaten Banyumas
Badan Pusat Statistik, (2012). Kota Bogor Dalam Angka. Bogor:
BPS Kota Bogor, 2012, hal. 278.
BPS Kabupaten Bogor (2016). Kabupaten Bogor Dalam Angka,
2016, hal. 27

249
Basuki, A. Singgih dan Romdhon, dkk. (1988). Agama-Agama
di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press
Chandra, Ws Adjie. (2012). Sekilas Riwayat Haksu Tjhie Tjay
Ing. Jakarta : MATAKIN.
Christopher H. (eds.) (2015), Religions in the Modern World:
Traditions and Transformations (3nd ed.), London:
Routledge, pp. 143–172, ISBN 978-1-317-43960-8.
Devi ISR, Shinta (2005). Boen Bio. Surabaya.
Disdukcapil Kota Pangkalpinang (2016). Data Kependudukan
Kota Pangkalpinang.
Dunlop, Knight (1990) Religion, Its Function In Human Life.
Feuthwang, Stephan (2016). Chinese religions”, in
Woodhead, Linda; Kawanami, Hiroko; Partridge,
Halbfass, Wilhelm (1991). Tradition and Reflection, SUNY
Press,
Hilman, Latif, Melayani Umat, Filantropi Islam dan Ideologi
Kesejahteraan Kaum Modernis, Jakarta: Gramedia, 2010.
Ing, Tjhie Tjay. (2013). 50th Sebagai Xueshi Xs. Tjhie Tjay Ing.
Solo : MATAKIN PNR.
Joko Tri haryanto (2010). Pembinaan Keagamaan Rohaniawan
Khonghucu di Tuban Jawa Timur, Jurnal Analisa Vol.
XVII, No. 01, 2010.
Jurnal Ultima Humaniora (2014), Vol II, Nomor 2 September
2014, hal 186-200
Kaplan, Robert D. (2015). “Asia’s Rise Is Rooted in Confucian
Values”. Wall Street Journal.
Kuncoro, Setio, Ongky (2015) Tomorrow Spirit, Sebuah

250
Pemahaman Khonghucu dari Sisi Lain. Pen. SPOC.
Surabaya.
____________________, (2016) Pengalaman Spiritual. Pen.
SPOC, Surabaya.
____________________, DKK (2017) Psikologi Agama
Khonghucu. Pen. SPOC, Surabaya.
Kementerian Agama Kota Pangkalpinang (2016). Data
Keagamaan Kota Pangkalpinang 2016.
Lawang, Robert M. Z., (1990). Teori Sosiologi Klasik dan
Modern. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
MAKIN Kota Pangkal Pinang, (2017) Data program kerja
Makin Kota Pangkal Pinang.
Matakin (1984) Tata Agama dan tata laksana Upacara Agama
Khonghucu, Matakin Solo, Th.XXVIII no. 4-5.
Matakin, (2016). Seri Genta Suci Konfuciani No. 42/2016 Edisi
Sincia 2567, Jakarta.
Merton, Robert K. (1968). Social Theory and Social Structure.
New York: The Free Press. Enlarged Edition
Mumuh M. ,Zakaria (2010), Kota Bogor: Studi tentang
Perkembangan Ekologi Kota Abad Ke 19 Hingga Ke 20,
Bandung: Sastra UNPAD Press, 2010, 1.
Satyadharma, Sasanaputra, MP (2004)., Permata Tri Dharma
, Jakarta.
Somantri, Gumilar Rusliwa (2005). Memahami Metode
Kualitatif. Jurnal Makara, Vol. 9, No. 2, Desember 2005.
Suryadinata, Leo (2005). Buddhism and Confucianism in
Contemporary Indonesia Recent Developments, in Lindsey,

251
Tim and Pausacker, Helen (Ed.). Chinese Indonesians;
Remembering, Distorting, Forgetting. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies. 2005.
Soeroer, Umar R (2007). Pelayanan Terhadap Khonghucu di
Kota Pangkalpinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
(Laporan Penelitian 2007) Badan Litbang dan Diklat,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono (2000). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Raja Grafindo.
Sulaiman (2009). Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran, dan
Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan Barat, Jurnal
Analisa Vol.XVI, No. 01, 2009.
Susanto, Astrid S.. (1983), Pengantar Sosiologidan Perubahan
Sosial Budaya. Bina Cipta: Jakarta.
Swastiwi, Anastasia W., Ed (2014). Bunga Rampai Bangka
Belitung, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang,
Tanggok, M. Ikhsan. (2005). Mengenal lebih dekatAgama
Khonghucu di Indonesia. Jakarta : Pelita Kebajikan.
Us-Samad, Ulfat Aziz-. (1990). The Great Religion of the World.
Peshawar:www.Aaiil.Org
Profil Kota Pangkalpinang (2016), Potensi dan Peluang.
Pemerintah Kota Pangkalpinang 2016.
Pusat Kerukunan Umat Beragama, Pelayanan Hak Sipil Umat
BeragamaKhonghucu di Indonesia, Jurnal Kerukunan
Lintas Agama, Vol.3 Nomor 1 Agustus, 2009.
-------------- (2013), Buku Saku Pembinaan dan Pelayannan
Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta.

252
---------------- (2014), SI SHU Kitab Suci Agama Khonghucu,
Jakarta.
Widyaningsih, Rindha (2017). Bahasa Ngapak dan Mentalitas
Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa
Hans-Georg Gadamer.
Yinger, Milton (1957). Religion, Society, and the Individual:
An Introduction to the Sociology of Religion. New York:
Macmillan.
Zaid, Ahmad (2007), Multiculturalism And Religio-ethnic
Plurality, Culture and Religion Journal, Vol. 8, No. 2,
July 2007.

Sumber dari Internet

https://news. Detik. Com/berita/d-3065197/selain-mendoan-yang-


bikin-geger-ini-kuliner-banyumas-yang-bikin-nagih, Minggu
08 November 2015,.Internet.http://banyumasnews. om/6204/
klenteng-hok-tek-bio-tak-hanya-untuk-umat-Khonghucu/

http://www. BabelProvinsigo. Id/content/lambang-daerah-


dan-artinya
http://pangkalpinangkota. Go. Id/profil-kota-
pangkalpinang/
http://www. Spocjournal. Com/religi/521-ajaran-khonghucu-
tentang-Tuhan,-keimanan-dan-hidup-setelah-mati-serta-
kaitannya-dengan-laku-bakti,-bagian-1. Html

http://MATAKIN. Or. Id/page/sejarah-agama-khonghucu


Website Resmi Pemerintah Kota Bogor.

253
http://new. Kotabogor. Go. Id/index. Php/page/detail/2/
visi-dan-misi#.VqgnA5p944w
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 2015. dalam
http:// Data. Jakarta. Go. Id/dataset/jumlah-penduduk-
provinsi-dki-jakarta-tahun-2015-berdasarkan-agama/
reseource/43d4e4ea-4ff0-4c41-a311-93b3066021a5
[diakses 30 Mei 2017]

254
Biodata Penulis

Ahmad Rosidi: Pria kelahiran Ngawi pada 10 Desember


1974 ini mengawali karirnya sebagai ASN pada
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2005. Ia
kemudian menduduki jabatan fungsional peneliti
pada tahun 2007. Sejak Oktober 2018, alumni fakultas
Ushuluddin Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
Gontor ini karirnya kemudian meningkat menjadi
Peneliti Ahli Madya kajian Agama dan Masyarakat
pada rumpun kepakaran Bidang Agama dan Tradisi
Keagamaan. Beberapa artikelnya yang terkait dengan
bidang keparakarannya itu diantaranya Dinamika
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Kota Banjar Jawa
Barat (2009), Penguatan Integritas Bangsa melalui
Internalisasi Ajaran Islam (2010) dan Eksistensi
Yayasan Sadharmapan di Kota Surakarta dan
Perkembangan Spiritualitas Hindu Jawa (2017).

Anik Farida: Peneliti Badan Litbang Kementerian Agama


dan penulis produktif di berbagai jurnal dan media
ilmiah lainnya. Beberapa buku yg sdh diterbitkan:
Perempuan dan Politik (2005/PT Gramedia),
Menimbang Dalil Poligami (2008/ PT Media Dakwah).
Entrepreunership Sosial (2009).
Asnawati: Lahir di Jakarta, 03 Oktober 1954, merupakan
alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya lulus tahun
1987. Mulai menduduki jabatan Asisten Peneliti Muda
tahun 1994, karirnya cukup baik sampai pada Peneliti
Ahli Utama dilantik 1 Desember 2016. Tulisannya
lebih banyak diterbitkan di lingkungan Badan Litbang
dan Diklat, baik dalam bentuk artikel pada Jurnal
Harmoni dan buku. Beliau satu dari sekian peneliti

255
senior yang memiliki kepakaran Agama dan Tradisi
Keagamaan.
Edi Junaedi: lahir di Indramayu, pada 11 Agustus 1975.
Diterima sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)
Kementerian Agama RI pada Desember 2009, awalnya
ditugaskan di Direktorat Penerangan Agama Islam
(Ditpenais), Ditjen Bimas Islam. Sejak tahun 2011,
dipercaya sebagai Staf Direktur Jenderal Bimas Islam,
yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar,
MA. Saat Sang Dirjen diangkat menjadi Wakil Menteri
Agama RI, Edi tetap dipercaya sebagai Stafnya, mulai
tahun 2012 sampai akhir tahun 2014. Awal Tahun 2015,
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kembali
bertugas sebagai Staf Direktorat Penerangan Agama
Islam (Ditpenais) Ditjen Bimas Islam. Satu setengah
tahun di sini, tepat bulan Juli Tahun 2016, Edi mutasi
ke Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan,
Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Setelah
mengikuti Diklat Peneliti Pertama pada Agustus-
September 2017 di Pusbindiklat Peneliti LIPI dengan
predikat BAIK, secara resmi ayah dari dua orang
putera ini dilantik menjadi Peneliti Ahli Pertama pada
unit yang sama pada tanggal 10 September 2018.
Bidang kepakaran yang dipilih adalah Bidang “Agama
dan Tradisi Keagamaan (Religion and Religious
Tradition)”, pada rumpun kepakaran “Agama dan
Keberagamaan (Religion and Religiousity).

M. Taufik Hidayatulloh: lahir di Bogor pada tanggal 26


Juni 1976. Ia tercatat sebagai Penyuluh Agama Islam
di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Bogor mulai tahun 2009. Selanjutnya Ia menjadi
dosen tamu di berbagai perguruan tinggi baik negeri

256
maupun swasta di Jakarta. Setelah memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Studi Islam Universitas Djuanda
Bogor, beliau melanjutkan pendidikan di Program
Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) pada
Program Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian
Bogor dan selesai pada akhir tahun 2002. Kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor
diperoleh pada tahun 2010 pada tempat yang sama
dan lulus pada tahun 2014. Selama berkecipung di
dunia akademis, Ia telah menulis puluhan artikel
ilmiah di berbagai jurnal ilmiah baik nasional
maupun internasional. Ia juga telah menjadi tim
penulis dari buku Naskah Akademik Penyuluh Agama
dan Angka Kreditnya bagi Penyuluh Agama Fungsional
(2016), Pedoman Penanganan Radikalisme Agama dan
Ideologi di Lembaga Pemasyarakatan (2016). Selain itu Ia
menyunting buku Metodologi Penelitian Sosial (2014),
Relasi Antarumat Beragama di Berbagai Daerah (2016),
dan buku Sikap Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang
dan Regulasi Produk Halal (2017).
R. Adang Nofandi: lahir di Sukabumi pada tanggal
30 November 1976, merupakan anak ke 3 dari
bersaudara. Setelah lulus sekolah menangah atas di
Kota Sukabumi , pria yang sering dipanggil Adang
ini meneruskan pendidikan sarjana dan pasca sarjana
di bidang Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr.
Moestopo Jakarta. sejak tahun 2010 menjadi staf
pegawai pada Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
Keagamaan di Kementerian Agama RI dan pada
tahun 2018 menjabat sebagai peneliti muda di bidang
sosial keagamaan.
Raudatul Ulum: Lahir di Sampang, 14 April 1977.
Menamatkan Magister Ekonomi di Universitas

257
Indonesia setelah sebelumnya menyandang sarjana
dari Universitas Tanjung Pura Pontinak. Menjadi
peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama tahun 2015, spesilisasi Agama dan Tradisi
Keagamaan. Isu keagamaan dan kebijakan publik
merangkaikan pengalaman belajar di pesantren
Nazhatut Thullab Sampang dengan bidang akademik
sebagai latar kesarjanaan, terwadahi di dalam tema
penelitian dan pengembangan di Kementerian Agama.
Beberapa tulisan diterbitkan di jurnal ilmiah Harmoni,
Analisa Balai Litbang Agama Semarang, serta tulisan
ringan di beberapa media lain, misalnya majalah
lidik terkait Hoax di Media Sosial (2017), kemudian
Tamsil Burung Dalam Tradisi Sufisme (2019). Pernah
melakukan penelitian di India, (2016), kemudian di
Pakistan (2017). Artikel banyak diterbitkan oleh Jurnal
Harmoni, Jurnal Analisa (BLAS).
Wakhid Sugiyarto: Pria berkumis ini termasuk peneliti
berpengalaman. Saat ini jabatan fungsionalnya
adalah Peneliti Madya, konsetrasi kepakaran pada
Tradisi Keagamaan. Bekerja cukup lama sebagai
peneliti pada Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama. Lahir di Magetan, 9 Pebruari 1964. Pendidikan
terakhir, mendapatkan gelar master di Universitas
Muhammadiyah Jakarta, jurusan Administrasi Negara
kekhususan Pengembangan Masyarakat. Minatnya
sangat kuat pada hak hak agama lokal, dan aliran
dan gerakan keagamaaan. Penelitiannya yang paling
menarik perhatian adalah tentang pemeluk agama
Marapu di Seram. Kemudian karya lainnya adalah
perkembangan mazhab Syiah di Indonesia.
Zaenal Abidin Eko Putro: menyelesaikan magister Sosiologi

258
di Universitas Indonesia (2008). Beberapa tulisannya
muncul di Jurnal Komunikasi Indonesia (Dept
Komunikasi FISIP UI), Jurnal Analisa (Balai Litbang
Agama Semarang), Jurnal Harmoni (Puslitbang
Bimas dan Layanan Keagamaan), Jurnal Kajian
Wilayah (LIPI), Jurnal Epigram (P3M Politeknik
Negeri Jakarta), Jurnal Heritage (Puslit LKKMO
Balitbangdiklat Kemenag RI), Jurnal Masyarakat
(Dept Sosiologi FISIP UI), Jurnal Maarif dan Jurnal
Galang. Selain itu, terlibat dalam proyek penulisan
beberapa buku antara lain; Aksi Pegiat Dakwah
Masjid (akan terbit), Filantropi di Indonesia; Mengapa
Tidak Untuk Kesenian? (2016), Berpeluh Berselaras;
Buddhist-Muslim Meniti Harmoni (2012), Benih-
Benih Islam Radikal di Masjid; Studi Kasus Jakarta dan
Solo (2010); Pesantren, Pendidikan Kewargaan dan
Demokrasi (2009), Para Perempuan Dermawan; Potret
6 Perempuan Pelaku Filantropi di Jakarta (2008), Syarif
Ahmad Lubis; Dari Ahmadiyah Untuk Bangsa (2007),
dll. Tulisan opininya pernah dimuat Harian Kompas,
Republika, Koran Sindo dan Suara Pembaruan. Ia juga
pernah mempresentasikan paper dalam konferensi
ilmiah baik nasional maupun internasional dengan
tema, utamanya Sosiologi Agama, Sosiologi Media,
Jurnalistik dan Asian Studies. Sejak 2007 tercatat
sebagai associate researcher di Balitbang Kemenag RI.
Turut mendirikan Indonesia’ Centre of Asian Studies
(Cenas) tahun 2009 dan sejak 2011 tercatat sebagai
dosen di Politeknik Negeri Jakarta (Poltek UI).
Reslawati, lahir di Prabumulih, 28 Oktober 1969. Seorang
peneliti Madya di Puslitbang Bimas Agama dan
Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI. Menulis beberapa tulisan di
jurnal ilmiah dan artikel di beberapa media.

259
260
Indeks

A
Abdurrahman Wahid, 5, 80, 95, 155, 156, 175, 187, 196
after life, 48
Agama, iii, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 23, 25, 26, 28,
29, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 42, 44, 46, 48, 62, 67, 68, 69, 70, 71, 73,
75, 76, 78, 82, 83, 85, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 103, 105, 108, 109,
112, 119, 129, 130, 134, 138, 139, 140,143, 145, 146, 147, 159, 160,
162, 163, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177,
178, 188, 194, 196, 199, 201, 207, 208, 211, 214, 219, 220, 221, 225,
226, 227, 228, 232, 237, 238, 239, 241, 246, 247, 249, 252, 253, 254,
255, 256, 258, 259, 260, 261, 262, 263
agama Hindu, 24, 155, 173
Ajaran Besar (Da Xue), 62
Ajaran Konfusianisme, 19
ajaran Kongzi, 51, 60, 225
Aksu The Thay Ing, 24
arwah nenek moyang (Ancetors-Worship), 127
Asia Tenggara, 4, 44
Astrid. S. Susanto, 16

B
Badan Permusyaaratan Warga Negara Keturunan Tionghoa
(BAPERWAT), 182
Banyumas, 83, 84, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 106, 107, 108, 112, 113, 114, 252, 256
Batur, 24
Bik Cu, 131
Binky Irawan, 108
Bogor, 21, 172, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 209, 211, 252, 253,
254, 257, 259
Buddha, v, 2, 5, 8, 11, 25, 26, 29, 32, 37, 39, 41, 42, 43, 75, 76, 77, 78,
79, 80, 81, 85, 95, 96, 102, 118, 122, 124, 143, 155, 173, 176, 177,
192, 203, 214, 215, 217, 219, 231, 236, 237, 246, 248, 250
Budi Wijaya, 4, 67
Buleleng, 24, 29, 32, 33

C
Cap Go Meh, 138, 227

261
Cengho, 23
Chen Qiu Jing, 62
Cheng Beng, 92, 135, 227
Cheng Li Mingming, 27
Cheng qin jing shu, 27
Cheng Shun Mu Duo, 27
Cheng Xin Huang Tian, 27
Cheng Xing Da Dao, 27
Cheng Yang Xiaosi, 27
Cheng Zhiguishein, 27
Cheng Zubjue De, 27
chi kung, 102
China, iv, 6, 24, 25, 30, 37, 38, 39, 42, 64, 67, 68, 69, 80, 85, 121, 126,
219
Chunqiujing, 225, 226

D
Damardjati Supadjar, 149, 150
Dao Sing, 60
Daxue, 226
Denpasar, 20, 24, 28, 29, 31, 32, 139
Dien Bing, 54
Dinasti Han, 23, 130
dinasti Qin, 23, 135
DKI Jakarta, 21, 213, 214, 215, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 228, 229,
230, 231, 232, 233, 234, 236, 237, 238, 240, 252
Dukcapil, 28, 29, 31, 82
dupa, 66, 162, 222, 224

E
eskapisme, 55
esoterisme, 55

F
FKUB, 35, 40, 70, 107, 113, 123, 124, 142, 198, 229, 238
folks religion, 54

G
Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu Se-Indonesia
(GAPAKSI), 173
Genta/duo, 63

262
Gereja Bethany, 44

H
hak-hak sipil, 5, 8, 10, 20, 27, 68, 98, 103, 105, 118, 119, 143, 146,
178
Haksu Tjhei Tjay Ing, 161
Haksu Tjhie Tjay Ing, 8, 169, 170, 220, 253
Haksu Tjie Tjai Ing, 107
Hio, 65, 128
Hong Kong, 1
hubungan sosial, 10, 12, 16, 20, 81, 123, 211, 214
Hung, 26

I
Imlek, 2, 6, 25, 31, 37, 42, 65, 66, 94, 104, 136, 137, 138, 162, 164,
166, 171, 188, 193, 196, 200, 207, 208, 217, 227, 228, 236, 243, 247,
249

J
J. Milton Yinger, 13
Jaka Tingkir, 88
Jepang, 1, 14, 175, 181
Jiao Sheng, 47, 78, 79
Joachim Wach, 14
Joko Tri Haryanto, 18
Jun Zi, 49
Junaidi Abdurrahman, 24

K
Kembang Kuning, 44
Kementerian Agama, 7, 8, 17, 34, 35, 36, 73, 82, 145, 147, 172, 259,
260, 261, 263
kepercayaan tradisional Tionghoa, 2, 5
Khonghucu, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57,
59, 61, 62, 63, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,76, 77, 78, 79, 80, 81,
83, 84, 85, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104,
105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119,
121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 134, 135, 136, 137, 138,
139, 140, 141, 142,143, 144, 145, 146, 147, 149, 159, 160, 161, 162,

263
163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177,
178, 185, 186, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 200, 201,
203, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 214, 215, 216, 217, 219, 220,
221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234,
235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248,
249, 250, 252, 253, 254, 255, 256
Kimball Young & Raymond W. Mack, 16
Kitab Con Yung, 51
kitab I Ching, 59
Kitab Mengzi, 226
kitab She Cing, 127
Kitab Si Shu, 24, 62
Klenteng Boen Bio, 4, 48, 62, 67
Klenteng Co Ing Bio, 24
Klenteng Hok Tek Bio, 84, 91, 93
Klenteng Khoise Bio, 24
Klenteng Khonghucu Bio, 25
Klenteng Ling Uan Kiong, 24
Klenteng Sam Guang Bio, 79
Kong Kauw Hwee, 159
Kong Kauw Tjong Hwee, 160
Kongfusionisme, 1
Kongjiao, 1
Kongzi, 3, 23, 51, 56, 60, 63, 65, 110, 128, 135, 220, 221, 225, 226
Korea, 1, 14
Kota Solo, 7, 8, 149, 151, 152, 153, 156, 158, 163, 178, 184, 194, 195,
197, 198, 200
Kung Fu Tze, 126, 127
Kura-kura, 63

L
Laksamana Cheng Ho, 155, 159
Lanny Guito, 4
layanan keagamaan, 8, 11, 12, 73, 78, 81, 147, 211, 236
layanan sipil, 2, 178, 186, 190, 191, 193, 197, 198
Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia, 172
Li, 26, 27, 32, 54, 62, 221
Li Jing (Kesusilaan), 62
Liang-Yi, 57
lingua franca, 87
lithang, 84, 91, 129
Lithang, 129, 165, 166, 167, 203, 205, 206, 207, 210, 211, 215, 216,
217, 218, 219, 221, 222, 223, 230, 232, 233, 235

264
Lunyu, 226

M
Maha Agung (Supreme Being), 127
MAKIN, 20, 69, 124, 129, 139, 140, 141, 144, 145, 146, 147, 160, 161,
162, 164, 165, 167, 168, 169, 171, 177, 191, 194, 195, 197, 198, 199,
200, 205, 208, 217, 218, 219, 228, 230, 231, 236, 237, 238, 239, 245,
254
Masjid Al-Akbar, 43
Masjid Ampel, 43
MATAKIN, 4, 20, 24, 68, 129, 134, 139, 140, 141, 143, 145, 147, 160,
165, 173, 174, 175, 177, 194, 195, 215, 217, 218, 219, 220, 221, 222,
223, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 236, 237, 238, 239, 245, 248,
253, 257
Mataram, 23, 149, 151, 179
Matteo Ricci, 3, 51
Meng Zi, 62, 130, 131, 132, 133, 134
Model, 11, 14, 15, 100, 106, 158
Model Gordon, 15

N
Nahdlatul ‘Ulama, 43

P
pai, 100
Pangkal Pinang, 20, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 129, 135, 137, 138,
139, 140, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 254
Parakhin, 40, 85, 101, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 115
PARAKIN, 69, 238
Partai Chung Hwua Hui, 181, 182
Partai Tionghoa Indonesia, 181, 182
Pat Tik, 128
Peh Cun, 104, 137, 227
Pelayanan Keagamaan, i, ii, vii, 1
Pelayanan Pendidikan, 231
pembinaan Umat Agama Khonghucu, 18
pendidikan keagamaan, 142, 232
perkampungan Tionghoa, 158
Pi Xiu, 64
PITTD/ Tri Dharma, 40
PKUB, 6, 7, 9, 29, 42, 103, 108, 176, 225, 243, 252
Pura, 24, 203, 214, 261

265
Purwokerto, 20, 83, 84, 85, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 116
Pusat Kerukunan Agama Khonghucu, 6
Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), 6, 7, 9

Q
Qilin, 63
Qin Shi Huang Di, 135

R
Raja Srijaya Pangus, 24
Rekognisi, i, ii, vii, 1
Religiusitas, i, ii, vii, 1
Ren Dao, 3
Rujiao, 1, 3

S
Sabda Suci (Lun Yu), 62
Semarang, 17, 21, 52, 168, 173, 243, 244, 247, 249, 250, 261, 262
Sembahyang Rebut, 136
sesembahan, 48, 137
Shang Di, 3, 223
Shang Ti, 127
Shi Jing (Kitab Sanjak), 62
Shi Su, 27, 134, 225
Shijing, 225
Shing Zi, 52
Shu Jing (Kitab Hikayat), 62
Shujing, 226
Simamarta, 15
Sin Po, 181
Sing Cun Khoat Tik, 224
Sing Hing Tai Too, 225
Sing Khiem Su Si, 224
Sing Liep Bing-Bing, 224
Sing Sien Hong Thian, 224
Sing Sun Bok Tok, 224
Sing Ti Kwi Sien, 224
Sing Yang Hau Su, 224
Soerjono Soekanto, 16
Solo, 7, 20, 24, 52, 69, 102, 107, 149, 150, 151, 153, 157, 158, 159,

266
160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174,
175, 177, 178, 179, 181, 183, 184, 191, 194, 195, 197, 198, 199, 200,
221, 228, 253, 254, 262
spiritualisme, 61
struktur sosial, 16
Su Liong, 41
Sulaiman, 17, 255
Sultan Hadiwijaya, 88
Sunan Ampel, 43, 258
Surabaya, 4, 20, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 62, 67, 69, 71, 72, 73, 107,
108, 172, 199, 253, 254, 258
Suryo Utomo, 24

T
Tai Chi, 58
Taiwan, 1, 14
Tanjung Benoa, 24
Tanjung Pinang, 20, 75, 76, 77, 79
Tao, 25, 41, 236, 243, 246, 248
Taoisme, 57, 92
tata tertib Kebaktian, 127
Tengah Sempurna (Zhong Yong), 62
teori Maslow, 59
Thai Kik, 128
Thian, 55, 127, 169, 220, 221, 222, 224
Tian, 3, 49, 51, 53, 54, 60, 63, 64, 66, 223, 225, 226
Tian Dao, 3
Tian Di Ren, 53, 66
Tian Ming, 49
Tiong Hoa Hwee Koan, 181
Tiong Hoa Hwee Kwan, 172
Tionghoa, iii, 1, 8, 17, 18, 19, 26, 46, 51, 54, 63, 68, 69, 71, 72, 77, 79,
83, 84, 85, 90, 92, 94, 95, 96, 97, 102, 104, 107, 121, 123, 125, 126,
135, 136, 137, 138, 142, 147, 151, 152, 153, 155, 156, 157, 158, 159,
160, 164, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188,
189, 191, 192, 193, 195, 196, 207, 217, 229, 230, 239, 243, 249, 250,
252
Tiongkok, 1, 3, 14, 23, 50, 51, 63, 135, 155, 156, 157, 159, 181
Tjie Tjai Ing, 107
tokoh suci, 48
tradisi China, 25, 38
tradisi Grebek Suro, 163

267
U
umat, v, vi, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
21, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 47,
49, 52, 61, 68, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 91,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,103, 104, 105, 108, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 123, 124, 128, 129, 134, 136, 139,
140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166,
171, 173, 174, 176, 177, 178, 185, 186, 191, 192, 194, 195, 196, 197,
198, 200, 201, 203, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 214, 215, 217,
219, 220, 222, 223, 224, 225, 227, 228, 229, 230, 231, 234, 235, 236,
237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250,
256
Usman Arif, 49, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 67

V
vihara, 2, 37, 41

W
Walisongo, 43
Walubi, 40, 77
Wen Shi, 47, 61, 78
wi tek tong Tien, 100
Wonse Candra Wiantara, 23
Wu Chang, 130
Wu Jing, 23, 27, 62, 134
Wu Lun, 54
Wu Xing, 66

X
Xue Dao, 59
Xue De, 58
Xue Shi, 47, 78
Xue Shing, 58, 59

Y
Yahudi, 44, 199
Yang Cu, 131
Yao, 225
Yayasan Dharmasanti, 80
Yayasan Mulia Bhakti, 101
Yayasan Tripusaka, 164

268
Yi Jing (Kitab Perubahan), 62
Yin Yang, 55, 57, 58, 62
Youlu, 128
Yuan, 26, 137, 220, 238

Z
Zheng, 26, 223
Zhongyong, 226
Zong Shu (Cong Su), 62

269
SUSUNAN ANGGOTA REVIEWER
LITBANGDIKLAT PRESS

Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.

Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar

Prof. Dr. Ridwan Lubis


Prof. Dr. Oman Fathurrahman
Prof. Dr. Imam Tolkhah
Prof. Dr. Ishom Yusqi
Dr. Choirul Fuad Yusuf
Dr. Muhammad Adlin Sila, MA.
Prof. Dr. Qowaid
Dr. Kustini
Arif Zamhari, Ph.D.
Dr. Anick Farida

Dr. Fakhriati

270

Anda mungkin juga menyukai