Anda di halaman 1dari 17

1

HAK PERIOREGATIF PRESIDEN DLAM MENGANGKAT DUTA BESAR


INDONESIA DAN PERAN DPR TERHADAPNYA MENGACU PADA UNDANG-
UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh : Indra Utama Tanjung, SH., MH.

Abstrak
Sistem ketatanegaraan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD), sesungguhnya
mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi
juga bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lain.
Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa
implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan
hubungan internasional. Pada bidang hubungan internasional, Indonesia sebagai negara yang
berdaulat melaksanakan hubungan dengan berbagai negara di dunia ini. Hubungan diplomasi atau
yang biasanya disebut dengan hubungan diplomatik ini dapat berupa saling mengirim duta besar
masing-masing negara. Duta besar merupakan perwakilan suatu negara terhadap negara lainnya.
Di Indonesia, duta besar merupakan pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
selaku Kepala Negara. Tapi berdasarkan Pasal 13 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam hal
pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini
kemudian menjadikan hubungan antara Presiden dan DPR berkaitan dengan pencalonan dubes
mulai dipersoalkan oleh sekian banyak kalangan, ketika keputusan DPR yang mempermasalahkan
calon-calon dubes yang diajukan oleh pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut timbul
beberapa permasalahan: (1) Bagaimana kewenangan Presiden dalam pengangkatan Duta Besar
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
(2) Bagaimana konsekuensi hukum apabila pertimbangan DPR diabaikan oleh Presiden?. Untuk
menjawab permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian yuridis normatif, yakni penulisan
karya ilmiah yang didasarkan pada studi-studi kepustakaan dan mencari konsep-konsep, pendapat-
pendapat ataupun penemuan yang berhubungan dengan permasalahan. Hasil pembahasan yang
didapat apabila pertimbangan DPR diabaikan oleh Presiden berupa dengan pertimbangan yang
diberikan DPR apakah dapat menimbulkan akibat hukum tertentu apabila tidak dilaksanakan oleh
Presiden. Dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, artinya bisa saja
Presiden setelah memperhatikan pertimbangan tersebut kemudian membuat pertimbangan sendiri.
2

Lebih lanjut, tidak ada kewajiban mentaati yang ditimbulkan dari sebuah pertimbangan.

Pendahuluan
Dalam mengangkat Duta Besar Presiden harus mengikut sertakan DPR sebab salah satu
fungsinya ialah pengawasan, sebagaimana tertuang pada Pasal 13 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
“Dalam hal mengangkat Duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Meskipun pada
hakikatnya itu adalah hak periorigarif Presiden, namun juga harus melibatkan DPR untuk
memberikan persetujuan dan pertimbangan. Hal ini dituangkan di dalam Pasal 12 Kepres RI
Nomor : 108 Tahun 2003 tentang Kepegawaian Pengangkatan, Pemberhentian dan Pendidikan
yang berbunyi “Fomasi kepegawaian pada perwakilan ditetapkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 13 berbunyi: “Duta Besar luar biasa dalam berkuasa
penuh dan wakil tetap RI pada perwakilan diplomatik dan Konsul Jenderal dan Konsul pada
perwakilan Konsulat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan
perundang- undangan yang berlaku”. Adapun ketentuan perundang -undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud adalah UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Peran DPR ditegaskan kembali didalam perundang-undangan ini dalam Pasal 6 ayat (1)
berbunyi: Kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri
pemerintah RI berada ditangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan peranjian dengan negara lain diperlukan persetujuan DPR”. Dalam perundang-
undangan yang berlaku adalah UUD 1945 setelah perubahan yaitu Pasal 13 ayat (2) dan pada UU
No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menjelaskan peran DPR RI yaitu pada Pasal 6
ayat (1) yang merupakan dasar pengaturan dimaksud didalam Pasal 12 dan 13 Kepres No. 108
tahun 2003 tentang Kepegawaian, Pengangkatan, Pemberhentian dan Pendidikan sebagaimana
yang sudah dijabarkan diatas.1
DPR berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu wilayah legislasi atau pembuat peraturan
perundang-undangan, wilayah penyusunan anggaran, serta wilayah pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan.2 Dalam UUD 1945 setelah amandemen, pengaturan terhadap lembaga perwakilan
di Indonesia ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat

1
Kepres RI No. 108 tahun 2003 tentang Kepegawaian Pengangkatan, Pemberhentian dan Pendidikan (Pasal
12 dan 13) UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UUD NRI tahun 1945.
2
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia , Jakarta, Bumi Aksara, Cetakan kedelapan, 1995, h. 213
3

(MPR) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).3
Dalam hal pengangkatan Duta Besar, Presiden harus terlebih dahulu memperhatikan
pertimbangan DPR. Dalam Undang-undang No 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri,
terdapat beberapa hak prerogatif presiden yang harus melibatkan persetujuan atau pertimbangan
dari DPR. Pasal 6 Undang- undang No 37 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri pemerintah Republik
Indonesia berada ditangan presiden. Sama halnya dalam hal menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya Mengenai fungsi pengawasan DPR terlihat pula dalam pengangkatan Duta
Besar Republik Indonesia (RI).4 Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, menyebutkan
“Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan
yang baru tersebut menunjukkan bahwa dalam pengangkatan Duta Besar (Dubes) tidak hanya
merupakan hak prerogratif Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan
pertimbangan.5
Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya disinilah letak demokrasi yang sesungguhnya,
artinya meskipun presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak serta merta hak
periorigarif itu diberikan sepenuhnya kepada presiden. Disinilah letah perbedaannya era orde lama
dengan reformasi pasca runtuhnya dinasti Soeharto 1998 hingga sekarang. Bahwa ada peran DPR
yang harus dilibatkan setidanya dalam beberapa keputusan Presiden, salah satunya ialah
Pengangkatan Duta Besar yang akan ditempatkan di luar negeri.

Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.6 Penelitian hukum normatif
didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian hukum doktrinal

3
Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama,
1988, h. 115
4
Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2000, h. 57
5
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung, Fokus Media, 2007, h. 85
6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1995, h. 23
4

yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.7 Alat pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan
konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-
undangan dan karya ilmiah lainnya.
Adapun bahan penelitian ini terbagi tiga yaitu: Bahan hukum primer, terdiri dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum peran DPR dalam memberikan
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan duta besar republik Indonesia,
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa pendapat para pakar Hukum Tata Negara yang
terdapat dalam buku-buku, tesis, makalah, jurnal hukum.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus
hukum, majalah, artikel, koran dan lainnya.8

Pembahasan
A. Menguatnya Kekuasaan DPR dalam Fungsi Pengawasan
Di dalam negara yang menganut sistem demokrasi keberadaan lembaga perwakilan
hadir sebagai suatu keniscayaan. Keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan
di Indonesia merupakan komponen dalam politik dan kekuasaan yang hadir sebagai bentuk
kristalisasi dari kehendak rakyat serta penyalur aspirasi rakyat, dengan memiliki fungsi
dalam tiga wilayah yakni; fungsi penyusunan anggaran, fungsi legislasi atau pembuatan
Undang-Undang, dan satu lagi fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen fungsi DPR tersebut


semakin dipertegas dengan lebih menguatkan peran DPR dalam fungsi legislasi dan fungsi
pengawasan. Kenyataan ini terlihat dari keberadaan Presiden yang tidak lagi memegang
kekuasaan dalam membuat Undang-Undang melainkan sudah berpindah tangan menjadi

7
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, h.
10
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, h. 33
5

kekuasaan DPR. Presiden hanya mempunyai hak untuk mengajukan rancangan Undang-
Undang. Apabila mengkaji perubahan itu dengan teori trias politica dari Montesquie
dimana lembaga legislatif merupakan pemegang Kekuasaan dalam bidang legislasi, maka
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 kecil artinya. Kranenburg9 menjabarkan trias
politica dalam dua arti yaitu : functie (fungsi) dan organ (badan atau lembaga). Berdasarkan
pendapat itu, maka yang bergeser adalah fungsi nya, sedangkan organ pembentuk Undang-
Undang tetap sama yaitu, DPR dan Presiden.
Sedangkan dalam fungsi pengawasan perubahan itu semakin nampak dengan
diberikan hak-hak kepada DPR guna menjalankan fungsi pengawasannya, hak-hak tersebut
yaitu ; hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Kemudian bagi setiap
anggota DPR diberikan hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan pendapat
serta sekaligus hak imunitas. Pengawasan DPR juga terlihat dari berbagai kebijakan dan
agenda-agenda pemerintah yang terkait dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang melalui
persetujuan, pertimbangan, serta adapula yang pelaksanaannya ditentukan dengan
dibuatnya Undang-Undang yang tentunya melibatkan peran DPR.
Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses pemilihan
dan pengangkatan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang- Undang lainnya. Dalam
pengangkatan duta besar dan penerimaan duta besar dari negara sahabat, pengangkatan
Gubernur BI, pengangkatan dan pemberhentian panglima TNI, serta pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri harus terlebih dulu melalui pertimbangan dan persetujuan DPR.
Untuk pengangkatan duta besar yang akan ditempatkan di negara sahabat, Presiden
terlebih dahulu meminta pertimbangan DPR. Ketentuan demikian adalah isyarat dari pasal
13 ayat (2) amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam hal pengangkatan duta
besar tidak lagi hak prerogatif Presiden sepenuhnya tetapi juga hak dari DPR untuk
melaksanakan fungsi pengawasan dan controlnya terhadap pemerintah. Duta besar sebagai
wakil negara guna melakukan tugas hubungan dan politik luar negeri dengan membawa
serta kepentingan bangsa yang juga kepentingan rakyat secara keseluruhan. DPR sebagai
lembaga perwakilan yang dijadikan tempat untuk menyalurkan setiap kepentingan rakyat,

9
Kranenburg dalam A. Hamid S. Attamimi, “Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, (Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 166.
6

dianggap penting agar memberikan pertimbangan terhadap duta besar yang akan bertugas
untuk menjalin hubungan dan kerjasama di negara sahabat.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan Kekuasaan yang cukup


besar kepada DPR sebagai lembaga perwakilan, terutama dalam fungsi pengawasannya.
Kemudian perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga telah menggeser paradigma dari
executive heavy menjadi legislative heavy. Hal ini dapat diperhatikan dari reduksi
kekuasaan pasal-pasal mengenai presiden. Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam
ketentuan pasal-pasal mengenai DPR.
B. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam pengangkatan duta besar yang akan ditempatkan di negara sahabat, presiden
terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan DPR. Hal ini diatur dalam perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 13 ayat (2) yang menyatakan “Dalam
pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Ini memungkinkan partisipasi DPR dalam pengangkatan duta besar, sehingga Kekuasaan
untuk mengangkat duta besar tidak semata-mata hak prerogatif Presiden. Namun juga
merupakan hak DPR dalam fungsi pengawasan untuk mempertimbangkan setiap duta besar
yang akan ditempatkan di negara sahabat yang tentunya akan membawa kepentingan
negara berarti juga kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Adapun mekanisme pembahasan calon Duta Besar Republik Indonesia untuk
negara sahabat tertuang dalam pasal 203 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib sebagai berikut :
1. Surat mengenai pencalonan Duta Besar Republik Indonesia untuk negara-
negara sahabat yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh
pimpinan dewan, segera diberitahukan atau diumumkan dalam Rapat
Paripurna tanpa menyebutkan nama negara penerima atau pengirim.
2. Hasil Pembahasan Komisi I dilaporkan kepada pimpinan dewan untuk
selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.10
Terlepas dari hal itu ketentuan pasal 13 ayat (2) tersebut menimbulkan polemik

10
Pasal 203 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
7

dalam berbagai penafsiran. Bagi DPR Pasal ini dijadikan dasar untuk melakukan dengar
pendapat melalui penilaian uji visi dan misi kepada calon duta besar yang dipilih presiden.
Namun kemudian DPR melalui komisi I membuat kriteria untuk
mempertimbangkan keabsahan seorang calon duta besar. Kriteria tersebut diantaranya ;
Pertama, soal usia seorang calon duta besar. Kedua, kemampuan diplomasi seorang calon
duta besar. Ketiga, penampilan calon duta besar. Keempat, kemampuan calon duta besar
dalam menyampaikan visi dan misi. Kelima, pengetahuan tentang materi politik luar negeri
dan pengetahuan tentang negara yang dituju. Dari kriteria tersebut dapat dijadikan acuan
lulus atau tidaknya calon duta besar. Sedangkan bagi Presiden menganggap bahwa peran
DPR hanya untuk mengesahkan calon duta besar yang dipilihnya.
Pengaturan lain tentang Duta Besar Republik Indonesia dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pasal 6
menyebutkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan
Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden. Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 1999 disebutkan bahwa Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diangkat dan
diberhentikan oleh presiden, dan merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil
pribadi Presiden Republik Indonesia.11
Dalam TAP MPR NO. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) pada bab IV mengenai arah kebijakan hubungan luar negeri. Pada huruf C
menyebutkan “Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu
melakukan diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif
Indonesia di dunia Internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga
negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi
kepentingan nasional”. Sedangkan dalam huruf D disebutkan bahwa “Meningkatkan
kualitas Diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional,
melalui kerja sama ekonomi regional maupun Internasional dalam rangka stabilitas, kerja
sama, dan pembangunan kawasan”.12
Bertitik tolak pada TAP MPR NO. IV/MPR/1999, adapun peningkatan kualitas
kinerja aparatur luar negeri dalam hal calon duta besar Republik Indonesia untuk

11
Lihat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri
12
Lihat Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004
8

ditempatkan di suatu negara sangatlah perlu dan penting, guna mampu melakukan
diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk mengangkat dan membangun citra Indonesia
di dunia internasional. Calon duta besar juga harus memiliki kualitas diplomasi, baik
pemahaman maupun pengalaman dalam bidang diplomasi. Hal ini bertujuan untuk
mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional serta berbagai krisis yang
dihadapi. Menurut Haslim Djalal sebagai mantan duta besar Republik Indonesia
berpendapat bahwa TAP MPR NO. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) mengenai arah kebijakan hubungan luar negeri dapat dijadikan visi dan misi
diplomasi Indonesia.

C. Mekanisme Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta Besar


Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 13 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai
berikut :
1. Presiden mengangkat duta dan konsul.
2. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan perimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Dari ketentuan pasal diatas yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan dalam hal
pengangkatan duta besar berupa pemberian pertimbangan terhadap calon duta besar yang
diajukan oleh Presiden. Kemudian DPR melalui pimpinan dewan melimpahkan Kekuasaan
tersebut kepada komisi, dalam hal ini komisi yang membidangi masalah yang
bersangkutan.
Komisi I sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangi hubungan luar

negeri, yang selanjutnya komisi ini menentukan agenda rapat, kemudian memanggil calon
duta besar untuk melakukan pembahasan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Pada pasal 245 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang tata tertib disebutkan
bahwa “Rapat Dengar Pendapat Umum ialah rapat antara komisi, gabungan komisi, Badan
Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus dan perseorangan, kelompok, organisasi
atau badan swasta, baik atas undangan pimpinan DPR maupun atas permintaan yang
bersangkutan yang dipimpin oleh pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan
Badan Legislasi, pimpinan Badan Anggaran, atau pimpinan panitia khusus.” Dalam Rapat
Dengar Pendapat Umum itulah dilakukan clarification hearing, atau dengar pendapat
9

ataupun pembahasan bersama antara DPR dengan calon Duta Besar RI sebelum dilakukan
pertimbangan oleh DPR.

Dalam hal pelaksanaan diatas komisi I juga mengacu pada pasal 73 ayat (1)
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Dimana disebutkan bahwa “DPR dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau
warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani
demi kepentingan bangsa dan negara.”13

Dalam prakteknya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, didahului oleh


presiden mengajukan surat pencalonan duta besar kepada DPR untuk mendengarkan
pertimbangan dari DPR. Surat mengenai pencalonan Duta Besar RI untuk negara-negara
sahabat yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh pimpinan Dewan, segera
diberitahukan atau diumumkan dalam Rapat Paripurna waktu terdekat tanpa menyebut
nama dari negara penerima. Rapat Paripurna kemudian langsung menugaskan kepada
Komisi I untuk membahasnya secara rahasia. Dalam pembahasan tersebut atau dalam
melakukan dengar pendapat dengan para calon duta besar, Komisi I wajib memberikan
saran, masukan terhadap prioritas yang harus dikerjakan, catatan atau keberatan, tetapi
bukan penolakan. Kemudian Komisi I melakukan diskusi internal untuk memberikan
penilaian yang nantinya akan dijadikan pertimbangan terhadap calon duta besar yang
diajukan oleh Presiden.
Berbeda dengan persetujuan, dalam hal pertimbangan yang dilakukan oleh Komisi
I ini tidak perlu dilakukan Fit and Proper Test terhadap calon yang akan ditempatkan dalam
suatu jabatan. Fit and Proper Test sendiri adalah uji kelayakan ataupun kepatutan,
misalnya pada calon Hakim Agung atau anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNASHAM) mengenai data pribadi, penjabaran terhadap visi dan misi kerja serta
pengalaman dalam berkarir. Hasil uji kelayakan itu sangat menentukan bagi lulus atau
tidaknya terhadap calon yang melakukan uji tersebut dan sifat dari persetujuan adalah
mengikat.
Terdapat tujuh kriteria dan dasar pertimbangan yang disiapkan oleh Komisi I untuk

13
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
10

memberikan pertimbangan kepada presiden, kriteria tersebut antara lain :


a. Memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan
kemampuan argumentasi
b. Memiliki kemampuan bahasa asing, minimal bahasa Inggris dan atau bahasa setempat
c. Memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 (strata satu)
d. Memiliki kemampuan professional dan manajerial
e. Tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme
f. Memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa dan negara
g. Memiliki pengalaman yang panjang terhadap profesi dalam bidangnya Kemudian seluruh
hasil dari diskusi internal Komisi I berikut dengan pertimbangannya tersebut dibawa ke
Rapat Paripurna untuk pengesahan. Mengingat seluruh fraksi terwakili di Komisi I, maka
logikanya Rapat Paripurna hanya merupakan tempat pengesahan. Setelah disahkan, lewat
pimpinan Dewan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.
Apapun hasil pembahasan di DPR itu tentunya tidak bersifat mengikat bagi
Presiden. Presiden dapat saja memperhatikan pertimbangan tersebut, ataupun dengan
berbagai perhitungannya Presiden dapat saja mengabaikan hasil pertimbangan yang
diberikan oleh DPR. Menurut kebiasaan diplomatik, setelah mendapat hasil keputusan
pertimbangan oleh DPR, kemudian Presiden melalui Kementerian Luar Negeri RI
mengajukan nama calon duta besar kepada negara penerima untuk meminta persetujuan
(agreement). Dalam kurun waktu yang tidak lama, tentunya melalui proses verifikasi,
negara penerima menyampaikan persetujuan untuk menerima atau tidak menerima nama
calon duta besar yang akan ditempatkan.
Dengan mendapat persetujuan dari negara penerima, maka calon duta besar yang
telah melewati prosedur yang telah dijelaskan diatas, sudah dapat ditempatkan, dan dapat
langsung menjalankan tugasnya secara maksimal untuk menjalin hubungan dan kerjasama
dengan negara penerima, yang tentunya membawa misi bangsa dan negara serta
kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
11

D. Implikasi Hukum Pertimbangan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar


oleh Presiden
Pada naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 pasal 13 ayat (1) menyebutkan
“Presiden mengangkat duta dan konsul”. Untuk itu pada masa lalu pengangkatan duta besar
merupakan hak prerogatif Presiden sepenuhnya, dimana duta besar merupakan wakil dari
Presiden, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta merupakan bagian dari
pemerintah yang berada dibawah Kementerian Luar Negeri untuk melaksanakan politik
dan hubungan luar negeri sebagai wakil bangsa dan negara Republik Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 13 ayat (2) menyebutkan
“Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
rakyat”. Makna dari pasal tersebut berarti telah memberikan kewenangan kepada DPR
untuk terlibat dalam pengangkatan duta besar yang semula adalah hak prerogatif Presiden
sepenuhnya. Keterlibatan peran DPR sebagaimana yang tercantum pada pasal diatas adalah
kewenangan memberikan pertimbangan terhadap calon duta besar yang telah diajukan oleh
Presiden sebelum penempatannya di negara sahabat. Kewenangan DPR tersebut
merupakan pelaksanaan dalam hal agenda pengangkatan pejabat-pejabat yang memerlukan
pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR.
Sebelum kita menelaah lebih jauh mengenai peran DPR dalam memberikan
pertimbangan, terlebih dahulu kita lihat dari berbagai aspek yang berbeda namun satu sama
lain saling berkaitan sehingga dapat menjelaskan maksud dari kewenangan DPR tersebut,
yaitu; aspek politik, aspek historis, dan aspek hukum.
1. Aspek politik, kedudukan DPR sebagai lembaga representasi rakyat
merupakan komponen utama politik dan kekuasaan, di sisi lain duta besar
yang bertugas untuk melaksanakan hubungan dan kerjasama dengan negara
lain sebagai wakil bangsa dan Negara Republik Indonesia, yang berarti juga
turut membawa serta kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Maka guna
mendapatkan sosok duta besar yang dapat mewakili dan mampu
memperhatikan serta memperjuangkan kepentingan rakyat secara sungguh-
sungguh, para calon duta besar yang akan ditempatkan di Negara sahabat
harus dilakukan hearing terlebih dahulu dengan DPR. Supaya duta besar
yang terpilih mengerti dan menangkap pesan-pesan politik rakyat Indonesia
12

sehingga mampu memperjuangkan kepentingan rakyat demi meningkatkan


kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Aspek historis, sebelum diamandemen nya pasal 13 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, pengangkatan duta besar merupakan ajang
menyingkirkan dan pembuangan “lawan politik” dari pemerintah, sehingga pada
waktu itu ada istilah “di-dubes-kan”. Pengangkatan duta besar terkesan merupakan
pos akomodasi orang-orang tertentu sehingga aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi itu terabaikan. Mengingat duta besar merupakan alat negara untuk
menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima baik dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Begitu pentingnya arti duta besar untuk
kepentingan diplomasi bagi sebuah negara dan bangsa, agar kedepan nya tidak
terulang lagi pengangkatan duta besar sebagai tempat pembuangan politik,
pensiunan, dan militer. Untuk menghindari hal tersebut diatas maka para wakil
politik di MPR membuat kesepakatan bahwa demi meningkatkan kualitas duta
besar Negara Republik Indonesia, hendaknya setiap calon duta besar yang diajukan
oleh Presiden melibatkan juga peran DPR untuk membahas bersama melalui proses
pertimbangan. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi istilah “di-dubes-kan” dan
terciptanya kualitas diplomasi yang baik serta mewujudkan politik luar negeri yang
bebas-aktif.

3. Aspek hukum, peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada setiap


calon duta besar adalah hak yang diberikan oleh konstitusi. Hak ini diberikan
sebagai bagian dari tugas DPR dalam fungsi pengawasan terhadap setiap
kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang akan dijalankan. Di negara
Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil secara murni, sekalipun
dalam hal pengangkatan duta besar harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari parlemen. Untuk itu tepat kiranya bagi konstitusi Indonesia
untuk melibatkan peran DPR dalam pengangkatan duta besar sebelum
ditempatkan di negar-negara sahabat. Dengan adanya mekanisme
pengangkatan duta besar melalui pertimbangan DPR, diharapkan di masa
yang akan datang sosok duta besar RI adalah benar-benar orang yang
memiliki kemampuan menjalankan tugas dan peran nya secara maksimal
sebagai wakil bangsa di negara lain untuk memajukan hubungan dan
13

kerjasama antar kedua belah negara.


Dari ketiga sudut pandang tersebut peran DPR dalam memberikan pertimbangan
terhadap calon duta besar ternyata sangatlah perlu dan penting serta dijamin secara
konstitusional. Hal ini guna meningkatkan kualitas peran diplomasi duta besar di dunia
internasional.
Diplomasi sendiri merupakan usaha meyakinkan pihak atau negara lain untuk dapat
memahami, membenarkan, mendukung pandangan dan kepentingan nasional kita dengan
membutuhkan pengetahuan dan profesionalisme tanpa perlu menggunakan kekerasan.
Dengan memperhatikan asas hukum, lex superion derogat legi in feriori, maka
dapat diketahui bahwa, semua peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang
Dasar haruslah mengacu kepada Undang-Undang Dasar. Kedudukan Undang-Undang
Dasar sebagai hukum fundamental (Grundnorm) untuk dijadikan dasar hukum bagi
pengaturan sebuah negara, maka dalam pelaksanaan pengangkatan duta besar Republik
Indonesia pun harus merujuk pada dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada pasal 13 ayat (2) yang berkaitan dengan pengangkatan duta besar, dimana Presiden
haruslah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Pada masa lalu pengangkatan
duta besar merupakan hak prerogatif Presiden yang tidak dapat dikontrol dan diawasi
sehingga dalam pengangkatan duta telah mengabaikan unsur professional dan tidak
memperhatikan makna penting nya duta di negara sahabat. Oleh sebab itu, Kekuasaan
Presiden yang mutlak itu telah direduksi dengan mengamanatkan perlunya memperhatikan
pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta.
Pada tingkatan Undang-Undang hal mengenai pengangkatan duta besar merupakan
sepenuhnya hak prerogatif Presiden, sebagaimana yang termaktub pada Undang-Undang
No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam Undang-Undang tersebut
dikatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar
Negeri berada ditangan Presiden. Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut
kepada Menteri. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden, serta merupakan wakil negara dan bangsa dan menjadi wakil pribadi
Presiden Negara Republik Indonesia.
14

Lebih jauh mengenai bentuk pertimbangan itu apakah sifatnya mengikat


(Imperatif), atau sekedar sukarela (Fakultatif). Dengan pertimbangan yang diberikan DPR
apakah dapat menimbulkan akibat hukum tertentu apabila tidak dilaksanakan oleh
Presiden. Menurut Satya Arinanto,14 dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan
tidaklah mengikat, artinya bisa saja Presiden setelah memperhatikan pertimbangan tersebut
kemudian membuat pertimbangan sendiri. Lebih lanjut Satya mengatakan tidak ada
kewajiban mentaati yang ditimbulkan dari sebuah pertimbangan.
Kecuali itu memang terjadi pada setiap hasil dari pertimbangan DPR tersebut selalu
diperhatikan dan dilaksanakan oleh Presiden secara berulang-ulang sehingga telah menjadi
kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Ismail Suny, 15 konvensi
ketatanegaraan dapat diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-
ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara,
walaupun perbuatan tersebut bukan hukum. Sedangkan K.C. Wheare berpendapat bahwa
konvensi merupakan suatu praktek tertentu dan berjalan untuk jangka waktu yang lama
bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal yang wajib.16 Dengan demikian,
suatu praktek ketatanegaraan yang berulang-ulang dapat menjadi sesuatu yang wajib dan
kemudian ditaati oleh penyelenggara negara sebagai bentuk perkembangan
penyelenggaraan negara.
Namun demikian karena kewenangan DPR untuk memberikan pertimbangan telah
diatribusikan oleh konstitusi, dan hal itu bermakna sebagai implementasi dari fungsi
pengawasan DPR terhadap Presiden. Kemudian mengingat pada masa lalu hak prerogatif
Presiden dalam pengangkatan duta dinilai tidak ada nya control dan pengawasan telah
mengabaikan unsur profesional dan pentingnya diplomasi suatu negara, untuk itu maka
sebaiknya Presiden tetap memperhatikan pertimbangan DPR tersebut. Dalam hal lain yang
harus diperhatikan oleh Presiden mengenai resiko politik yang harus ditanggung, apabila
misalnya calon duta besar yang oleh DPR disarankan untuk tidak diangkat, tetapi dengan
pertimbangan nya Presiden tetap mengangkat duta besar tersebut. Hal ini seandainya
ditengah-tengah tugasnya duta besar tersebut melakukan kesalahan, tindakan lain yang

14
Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni 2002
15
Ismail Suny, “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif “, Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 56
16
Ni’matul Huda, “Hukum Tata Negara ; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia” PSH.
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, h. 180
15

telah merugikan bangsa dan negara atau telah gagal menjalankan amanat negara, maka
Presiden dapat dipertanyakan dan dimintai pertanggung jawaban nya dalam hal itu, bahkan
DPR bisa saja menggunakan salah satu hak nya, yaitu mengajukan hak interpelasi terhadap
Presiden.
Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang sebenarnya
lebih menentukan dalam hal pengangkatan duta besar, ini lebih dikarenakan diplomasi
merupakan wilayah eksekutif. Presiden bersama dengan Menteri Luar Negeri yang
dianggap paling mengetahui dan mengerti tentang politik dan hubungan luar negeri suatu
bangsa. Akan tetapi diberbagai negara seperti Amerika Serikat dalam hal pengangkatan
duta besar turut pula melibatkan peran parlemen. Bagi setiap calon duta besar yang akan
ditempatkan terlebih dahulu dilakukan hearing ataupun dengar pendapat dengan parlemen,
walaupun peran parlemen sebatas exchange of views tentang prioritas yang harus
dijalankan dan diperhatikan oleh setiap calon duta besar.

Kesimpulan
Fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR sekarang semakin menguat, terutama

dalam hal mengawasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Salah satu fungsi

pengawasan yang dimiliki oleh DPR adalah memberikan pertimbangan kepada Presiden

terhadap pengangkatan duta besar. Peran dari duta besar sendiri sangatlah penting,

mengingat duta besar bukan hanya sekedar sebagai wakil kepala negara di negara sahabat

tetapi seorang duta besar juga harus memiliki kemampuan diplomasi yang handal dan harus

mampu membawa kepentingan rakyat Indonesia di dunia internasional. Dengan

diadakannya mekanisme hearing oleh DPR melalui komisi 1 selaku yang membidangi

hubungan luar negeri, diharapkan mampu memberikan pertimbangan yang baik dan tepat

kepada Presiden untuk mengangkat duta besar yang memiliki kemampuan diplomasi

handal.

Dampak hukum dari sebuah pertimbangan yang diberikan oleh DPR kepada
16

Presiden dalam proses pengangkatan duta besar tidaklah mengikat. Namun dalam hal ini

Presiden sangat dianjurkan untuk memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh DPR.

Ada hal yang diperlu diperhatikan dari sebuah pertimbangan yang diberikan oleh DPR

kepada Presiden terhadap pengangkatan duta besar, yaitu apabila duta besar yang diangkat

oleh Presiden telah mengabaikan pertimbangan dari DPR dikemudian hari melakukan

suatu kesalahan dan itu merugikan kepentingan bangsa dan negara atau telah gagal

menjalankan amanat negara, maka Presiden dapat dipertanyakan dan dimintai pertanggung

jawabannya atas kebijakan yang telah diambilnya.

Daftar Pustaka

Assiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam


UUD RI Tahun 1945. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Press, Tahun 2005.
Kansil, CST. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan Kedelapan, Tahun
1995.
Sunny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara baru, Tahun 1997..
Thaib, Dahlan. DPR Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty Tahun
2000.
Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung:
Fokus Media, Tahun 2007.
Soekanto, Soerjono. Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 1995.
. . . . . . . . . . . . Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers,
Tahun 1995.
Soemitro, Hanitijo Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, Tahun 1998.
Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD RI Tahun 1945, Bandung:
Citra Aditya Bakti, Tahun 1993.
Djajiono, Legowo. Dkk. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi Analisis Sebelum dan
Sesudah Perubahan UUD Tahun 1945, Jakarta: FORMAPPI, Tahun 2005..
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI
press), 2008.
Pramudya, Yan. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris. Semarang:
CV Aneka, Tahun 1977.
17

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional volume 2, Jakarta: Sinar Grafika, Tahun 2007.
Manan. Bagir. DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD RI Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, Tahun 2003.
Alan. James. Berridge, G.R. Editorial Consultant, A dictionary of Diplomacy Library of
Congress Cataloging-in Publication Data Berrideg, New York: Tahun 2001.
Suryokusumo, Soemaryo. Hukum Diplomatik, Teori dan kasus Edisi Pertama, Cetaka Kesatu,
Bandung: Penerbit Alumni, Tahun 1995.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika
Global edisi Kedua, Jakarta: Penerbit PT Alumni, Tahun 2005.
Satow, Ernest Sir. A Guide to Diplomatic Practice, Fourth Edition. London: Long Man Green
an Co Ltd, Tahun 1957.
Dembinski, Ludwik. The Modern Law of Diplomacy, External Missions of States ana
International Organizations. Marthinus Nijhoff Publisher, Tahun 1998.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Tahun 1999.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 37 Tahun
1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor
01/A/OT/I/2006/01 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI
Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Luar Negeri.
Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun
2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di
Luar Negeri.

Anda mungkin juga menyukai