Anda di halaman 1dari 4

SISTEM POLITIK INDONESIA

1.
Kapabilitas responsif atau daya tamgga[ suatu sistem politik ditentukan oleh
hubungan antara input dan output. Sistem politik harus senantiasa tanggap terhadap setiap
tekanan dan tuntutan-tuntutan yang datangnnya dari lingkungan internal maupun
eksternal.
Kapabilitas domestik dan international Sistem politik secara niscaya berinteraksi
dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik suatu
sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas internasional.
Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional adalah kemampuan yang memancar dari
dalam keluar. Tingkah laku internasional suatu sistem politik dapat dilihat dari
kemampuan ekstraktif internasional dalam bentuk pendapatan dan perdagangan
internasional, keuntunguan dan penanaman modal di negara lain dan lain-lain. Itulah
penjelasan tentang konsep keenam kapabilitas sistem politik yang harus dimiliki oleh
setiap pemerintahan di dalam menjalankan kehidupan politiknya.
Contoh Kapabilitas responsif yang bersifat internasional merupakan hubungan antara
input lingkungan internasonal dan output sistem politik yang menerima pengaruh tersebut.
Termasuk dalam kategori fungsi input adalah sosialisasi politik dan rekruitmen politik,
artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi
output terdiri dari pembuatan aturan, pelaksanaan aturan, dan peradilan dari pelaksanaan
aturan.
2.
Patisipasi politik secara konvensional. Bentuk partisipasi ini dilakukan dengan
melakukan diskusi politik, pembentukan dan penggabungan organisasi politik,
kampanye, dan lain sebagainya.
Partisipasi politik secara non konvensional. Bentuk partisipasi ini dilakukan dengan
cara demonstran, mogok, serta pembangkangan tanpa disertai kekerasan,
Partisipasi politik di Indonesia dapat terjadi menjadi du acara . Pertama, Pertisipasi
politik yang bersifat otonom yaitu partisipasi atas kesadaran sendiri. Kedua, Partisipasi
politik yang dimobilisasi yaitu partisipasi akibat dorongan/pengaruh faktor luar. Biasanya
partisipasi otonom timbul karena pemahaman yang utuh atas persepsi terhadap objek politik
yang ada. Pemahaman tersebut membentuk konseptualisasi atau pengertian yang utuh
terhadap fenomena pada objek politik, sehingga menimbulkan afeksi dalam bentuk keputusan
untuk berpihak kepada objek politik tertentu secara sadar tanpa paksaan (otonom).
3.
Keinginan mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan mekanisme checks
and balances, setara dan seimbang antara cabang-cabang kekuasaan negara, terwujudnya
supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi, dan terpenuhinya hak asasi
manusia, telah tertata dengan cukup baik dalam UUD 1945 hasil amandemen yang dilakukan
sejak 1999-2002. Mekanisme checks and balances bertujuan mewujudkan pemerintahan
yang demokratis. Checks and balances adalah saling mengontrol, menjaga keseimbangan
antara lembaga-lembaga negara atau yang biasa kita sebut dengan cabang-cabang kekuasaan
negara.

Amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945 sebelum
amandemen, karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul
dalam praktik ketatanegaraan. Hal ini disebabkan penerapan sistem pembagian kekuasaan
(distribution of power) tidak dilakukan secara benar. Kenapa sistem pemerintahan yang
demokratis menggunakan mekanisme checks and balances. Karena bangsa Indonesia secara
tegas sudah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang berdasarkan atas
hukum.

Menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mengarah pada kesewenang-


wenangan, maka perlu diadakan pembagian kekuasaan negara. Salah satu teori pembagian
kekuasaan adalah teori Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Agar tiga bidang kekuasaan tersebut dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan perlu diterapkan prinsip checks and
balances. Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menganut prinsip
tersebut di mana DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden sebagai lembaga eksekutif, dan
Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga tersebut.
4. Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan
yang sangat buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang
dipicu oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi
tidak menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk
berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang
memberikan dampak negative pada perekonomia adalah pemutusan hubungan dengan
negara-negara barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan
mencegah negara ini dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan
deficitspending melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di
luar kendli. Namun setelah Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di
pertengahan 1960an, kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang
radikal.

Anda mungkin juga menyukai