Anda di halaman 1dari 9

KEKUASAAN

A. Konsep Kekuasaan

Berbicara tentang konsep kekuasaan, terdapat sejumlah pendapat dari kalangan ilmuwan,
khususnya ilmuwan politik. Adapun beberapa pandangan terkait dengan konsep kekuasaan
tersebut sebagai berikut :

1. Miriam Budiardjo, menurutnya kekuasaan merupakan kewenangan yang bisa didapatkan


oleh seseorang/kelompok untuk menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan
kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak bisa dijalankan melebihi ke wenangan yang
didapat atau kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang/kelompok sesuai dengan
keinginan dari pelaku. Sementara itu Ramlan Surbakti menyatakan bahwa kekuasaan
merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain agar berfikir dan perprilaku sesuai dengan
kehendak yang mempengaruhi.
2. Harold D. Laswell menyatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan dimana sesorang
atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain,
perumusan yang paling umum dikenal yaitu kekuasaan merupakan kemampuan seseorang
atau sekelompok orang untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang
lain. Dalam hal ini kekuasaan selalu berlangsung minimal antara dua pihak. Jadi di antara
pihak itu terkait atau saling berhubungan.
3. Robert Mac Iver mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan untuk
mengendalaikan tingkah laku orang lain baik mau secara langsung dengan jalan memberi
perintah/dengan tidak langsung dengan jalan memakai semua cara atau alat yang tesedia.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yang memerintah dan ada yang diperintah.
Manusia berlaku sebagai objek sekalkigus subjek dari kekuasaan.
4. Rogers berpandangan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan seseorang yang dapat
mengubah orang atau kelompok lain dalam cara yang spesifik, sebagai contohnya dalam
kekuasaan dan pelaksanaan kerjanya.

1
5. Ossip K. Felchtheim, menyatakan bahwa kekuasaan merupakan keseluruhan dari
kemampuan, hubungan dan proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan
tujuan yang ditetapkan pemegang kekuasaan.
6. Walter Nord, mendefinisikan kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi
aliran energi serta dana yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas
dari tujuan lainnya.
7. Ramlan Surbakti, berpandangan bahwa kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak
lain untuk berperilaku dan berfikir sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

Jika bicara kekuasaan selalu identik dengan politik, namun satu hal yang perlu
digarisbawahi bahwa konsep kekuasaan bukan satu-satunya konsep dalam ilmu politik.
Kekuasaan merupakan suatu hal yang selalu terkait dengan persoalan hubungan antar manusia’
Pemegang kekuasaan bisa jadi seorang indivu, kelompok, ataupun pemerintah. Sementara itu
sasaran kekuasaan dapat berupa indivu ataupun kelompok.

Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik itu dalam masyarakat yang
multikultur ataupun majemuk. Walaupun kekuasaan selalu ada namun kekuasaan tidak dapat
dibagi rata pada semua anggota masyarakat, justru karena pembagian yang tidak merata tadi
timbul makna pokok dari bentuk kekuasaan yaitu adanya orang atau individu yang dapat
mempengaruhi pihak lain karena adanya suatu hal yang dikuasai.

Istilah lain yang erat kaitannya dengan kekuasaan adalah wewenang. Wewenang menurut
Robert Biersted merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Sejalan dengan itu, oleh Harold D.
Laswell menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal. Disini dianggap bahwa yang
mempunyai wewenang berhak mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta berhak
mengharapkan wewenang tersebut dapat dipatuhi, dalam wewenang perlu yang namanya
keabsahan yang dimana keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa
wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati,
kaabsahan dalam dunia politik sama dengan legitimasi.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa wewenang adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam
suatu tata-tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan – kebijaksanaan, menentukan keputusan

2
– keputusan megenai persoaln – persoalan yang penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan
– pertentangan. Wewenang ada tiga macam, yaitu :

1. Wewenang Kharismatik (charismatic authority). Wewenang ini merupakan wewenang


yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu emampuan khusus (wahyu, pulung) ayang ada
pada diri seseorang. Wewenang kharismatis berwujud suatu wewenang untuk diri orang itu
sendiri dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian
terbesar masyarakat.
2. Wewenang Tradisional (traditional authority). Adapun ciri-cirinya adalah : (1) Adanya
ketentuan – ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai wewenang,
serta orang – orang lainnya dalam masyarakat ; (2) Adanya wewenang yang lebih tinggi
ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi ; dan (3) Selama tak ada
pertentangan dengan ketentuan – ketentuan tradisional, orang – orang dapat bertindak secara
bebas.
3. Wewenang Rasional/Legal (rational/legal authority), yaitu wewenang yang disandarkan
pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum disini dipahamkan
sebagai kaidah – kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah
diperkuat oleh negara.

B. Sumber-sumber Kekuasaan

Kekuasaan tentu tidak begitu saja diperolah namun ada proses dan hal yang menunjang
untuk menempatkan diri pada pemegang kekuasaan, sumber kekuasaan itu sendiri sangat lah
bermacam-macam ada dengan kekayaan, sarana paksaan fisik, keahlian, kedudukan serta agama.

1. Kekayaan merupakan sumber kekuasaan, dapat berupa uang, emas, tanah dan barang-barang
berharga. Orang yang memiliki kekayaan dalam jumlah besar, setidak-tidaknya secara
potensial akan memiliki kekeuasaan. Misalnya seorang tuan tanah mempunyai lahan
perkebunan yang luas dan tuan tanah tersebut secara langsung mempunyai kekuasaan atas
pekerja-pekerja di tanah tersebut.
2. Sarana paksaan fisik merupakaan sumber kekuasaan yang lebih bersifat memaksa sehingga
membuat orang lain dapat mengikuti apa yang dikehendaki. Misal seorang preman di pasar
dapat mempengaruhi pola prilaku orang lain. Untuk keperluan ini, preman tersebut

3
menggunakan senjata sebagai ancaman. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa preman
tersebut dapat mempengaruhi pola prilaku orang lain dengan ancaman senjata yang dimiliki.
3. Keahlian merupakan sumber kekuasaan yang muncul dari penilaian orang lain bahwa
pemberi pengaruh mempunyai pengetahuan khusus yang tidak dimiliki orang lain. Misal
seorang dokter sebagai kepala rumah sakit, dalam hal ini penempatan kekuasaannya
bedasarkan keahliannya.
4. Kedudukan merupakan sumber kekuasaan yang timbul karena adanya pengakuan sehingga
secara sah dapat mempengaruhi prilaku orang lain. Misalnya seorang kepala sekolah
terhadap guru-gurunya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, maka bawahan yang berada
dalam kekuasaannya dapat ditindak jika melanggar aturan yang telah ditetapkan.
5. Agama merupakan sumber kekuasaan yang yang didapat melalui keyakinan bahwa individu
itu (ulama/pendeta) harus diperhitungkan dalam proses pembuatan suatu keputusan. Dengan
demikian, ulama/pendeta mempunyai kekuasaan terhadap orang lain atau umatnya.

Dari penjabaran tentang sumber kekuasaan maka dapat disimpulkan bahwa sumber
kekuasaan di ibaratkan seperti supplement yang ditambahkan di dalam tubuh manusia. Artinya
kepemilikan terhadap sumber kekuasaan sebagaimana diungkapkan sebelumnya dapat digunakan
untuk memperkuat kemampuan dalam mempengaruhi orang lain. Dalam suatu hubungan
kekuasaan selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi selalu ada hubungan tidak
seimbang dan akibatnya ketidakseimbangan itu sering menimbulkan ketergantungan, dan lebih
timpang hubungan ini maka lebih besar pula sifat ketergantungannya.

C. Distribusi/Pembagian Kekuasaan

Kekuasaan juga menyangkut persoalan, apakah kekuasaan itu sendiri bersifat memusat
atau menyebar. Artinya, di dalam kehidupan sosial politik, aktor atau pelaku yang memegang
kekuasaan itu berapa banyak, apakah masyarakat secara luas atau hanya segelintir orang.
Pemodelan paling sederhana tentang distribusi kekuasaan, seperti penjelasan Andrain yang
dikutip Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik (2010). Menurutnya, distribusi
kekuasaan terbagi menjadi tiga, yaitu : (1) model elite ; (2) model pluralis ; dan (3) model
populis.

4
1. Model elite artinya kekuasaan hanya dimiliki oleh kelompok kecil saja. Artinya, distribusi dan
alokasi perekonomian atau pembangunan ekonomi semata-mata hanya menguntungkan segelintir
elite semata. Pendekatan ini bermula dari konsepsi tentang teori elite bahwa pada dasarnya
masyarakat terbagi ke dalam dua kelas, yakni sedikit orang yang berkuasa disebut elite, dan
masyarakat yang diatur atau dikuasai disebut massa. (Teori ini gilirannya akan mengilhami
munculnya teori oligarki politik).

Lebih jauh lagi dipaparkannya bahwa dalam kategori distribusi kekuasaan elit dipilah
menjadi menjadi tiga, yaitu :

a. Elit politik yang membuat kebijakan. Dalam konteks ini distribusi kekuasaan hanya
berorientasi pada keuntungan pribadi dan golongan tertentu saja. Tipe ini cenderung
menolak golongan yang bukan elit untuk memasuki kekuasaan dan cenderung tertutup. Di
antara sesama elite, tipe demikian acap kali menyatukan kekuatan demi menjaga
keberlangsungan keadaan yang ada atau status quo. Tipe demikian terkesan kurang responsif
terhadap tuntutan masyarakat.
b. Elit politik liberal, artinya adanya keterbukaan kepada seluruh masyarakat untuk
meningkatkan status sosial. Dengan catatan elit-elit baru yang masuk harus senantiasa
menyesuaikan diri dengan lingkungan elit sebelumnya. Tipe ini lebih baik dalam merespon
tuntutan karena persaingan sehat untuk masuk menjadi elit terbuka, meski dengan rambu-
rambu dari kalangan elit sendiri.
c. Pelawan elit. Tipe demikian meliputi para pemimpin yang selalu berorientasi menentang
kepada pemerintahan dan segala bentuk kemapanan. Ciri-cirinya adalah ekstrim, tidak
toleran, anti-intelektualisme, beridentitas superioritas rasial tertentu, dan menggunakan
kekerasan untuk mewujudkan keinginannya. Akhirnya terdapat dua pola yang saling
berbenturan, yakni sayap kiri yang menuntut perubahan sosial-ekonomi dan sayap kanan
yang berusaha mempertahankan status quonya sebagai pengelola kekuasaan.

2. Model pluralis. Artinya, kekuasaan dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat
dan lembaga pemerintahan. Model ini hanya menempatkan pemerintah sebagai “petugas penjaga
malam”, hanya berfungsi menjadi arena persaingan dan kompromi di antara kekuatan-kekuatan
ekonomi yang sedang bersaing.

5
3. Model populis atau kerakyatan. Artinya, sama dengan prinsip-prinsip demokrasi, kekuasaan
dipegang oleh rakyat secara kolektif terkait distribusi kekuasaan. Partisipasi dan kontribusi dari
setiap lapisan masyarakatlah yang menjadi penggerak dari setiap kebijakan yang akan ditelurkan
pemerintah.

Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa distribusi/pembagian kekuasaan dimaksudkan


sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan. pemegang kekuasaan tidak dianugrahkan dengan
kekuasaan tanpa batas karena jika itu terjadi maka akan banyak penyimpangan-penyimpangan
dalam menyelenggarakan tampuk kekuasaan.

Disamping klasifikasi distribusi kekuasaan yang sudah diungkapkan sebelumnya, juga


terdapat beberapa pandangan lainnya terkait dengan distribusi/ pembagian atau pemisahan
kekuasaan sebagai berikut :

Menurut Montesquieu, distribusi/pembagian atau pemisahan kekuasaan tersebut meliputi


tiga cabang kekuasaan, yaitu : (1) kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang ; (2)
kekuasaan eksekutif yaitu pelaksana undang-undang ; dan (3) kekusaan yudikatif yaitu yang
mengendalikan badan peradilan.

Sejalan dengan klasifikasi yang dibuat oleh Montesquieu, Grabiel A. Almond


menyatakan bahwa distribusi/pembagian atau pemisahan kekuasaan mencakup beberapa elemen
berikut : (1) rule making function ; (2) rule application function ; dan (3) rule adjudication
function. Rule making function, merupakan fungsi yang berhubungan dengan pembuatan
keputusan atau undang-undang. Misalnya, di Indonesia yang menjalankan fungsi ini adalah DPR
sebagai lembaga legislatif. Selanjutnya rule application function, merupakan fungsi pelaksana
keputusan atau undang-undang. Fungsi ini di Indonesia dijalankan oleh Presiden sebagai
lembaga eksekutif. Terakhir, rule adjudication function merupakan fungsi penghakiman
keputusan atau undang-undang manakala terjadi pelanggaran terhadap keputusan atau undang-
undang tersebut. Pelaksananya di Indonesia adalah MA sebagai lembaga yudikatif.

D. Tipe – Tipe Kekuasaan

6
Menurut MacIver ada tiga pola umum sistem lapisan kekuasaan/piramida kekuasaan,
yaitu sebagai berikut :

1. Tipe kasta, adalah sistem lapisan kekuasaan dengan garis pemisah yang tegas dan kaku.
Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta, dimana hampir- hampir tak
terjadi gerak sosial vertikal.

2. Tipe oligarki, masih mempunyai garis pemisah yang tegas. Akan tetapi, dasar pembedaan
kelas – kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat, terutama pada kesempatan yang
diberikan kepada para warga untuk memperoleh kekuasaan – kekuasaan tertentu. Bedanya
dengan tipe pertama adalah walaupun kedudukan para warga pada tipe kedua masih
didasarkan pada kelahiran ascribed status, individu masih diberi kesempatan untuk naik
lapisan.

3. Tipe demokratis, menunjukkan kenyataan akan adanya garis pemisah antara lapisan yang
sifatnya mobile sekali. Kelahiran seseorang tidak menentukan seseorang, yang terpenting
adalah kemampuan dan kadang – kadang juga faktor keberuntungan.

E. Perbedaan Kekuasaan dan Kepemimpinan

Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam


memahami situasi serta ketrampilan dalam menentukan macam kekuasaan yang tepat untuk
merespon tuntutan situasi. Karena itu, kekuasaan sering dianggap sebagai persamaan dari
kepemimpinan. Padahal kekuasaan tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan. Beberapa
perbedaan di antara keduanya, ialah :

1. Kekuasaan tidak menuntut kompatibilitas sasaran, melainkan sekedar menuntut


ketergantungan. Sedangkan kepemimpinan menuntut kompatibilitas antara sasaran
pemimpinnya dengan para pengikutnya.
2. Kekuasaan dapat digunakan oleh individu atau kelompok untuk mengendalikan
individu atau kelompok lain. Sedangkan kepemimpinan hanya berfokus pada
pengaruh ke bawah (bawahan), dan meminimalkan pola pengaruh ke samping atau
sejajar dan ke atas.

7
3. Untuk memperoleh kepatuhan, kekuasaan menekankan pada taktik yang digunakan.
Sedangkan kepemimpinan lebih menekankan pada gaya interpersonal.

F. Legitimasi Kekuasaan

Di pemerintahan memiliki makna yang berbeda: “kekuasaan” diartikan sebagai


“kemampuan untuk mempengaruhi seseorang agar bisa melakukan sesuatu yang diinginkan”,
akan tetapi “kewenangan” ini akan mengacu pada klaim legitimasi, hak dan pembenaran untuk
melakukan kekuasaan. Contohnya, masyarakat diperbolehkan pemilik kekuatan untuk
menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa ada sebuah peradilan sedangkan orang-
orang yang beradab percaya terhadap aturan UU dan hukum serta menganggap bahwa hanya
dalam suatu pengadilan yang menurut hukum bisa mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan hukuman mati.

G. Hubungan Kekuasaan dan Politik

Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu Politik, menyebutkan
bahwa kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku. Kekuasaan dipandang
sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik. Dalam kamus ilmu politik terdapat
beberapa konsep yang berkaitan dengan kekuasaan (power), seperti influence (pengaruh),
persuasion (persuasi), force (kekuatan), coercion (kekerasan) dan lain sebagainya.

Influence adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan
perilakunya secara sukarela. Persuasion adalah kemampuan meyakinkan orang lain dengan
argumentasi untuk melakukan sesuatu. Force adalah penggunaan tekanan fisik, seperti
membatasi kebebasan, menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan
biologis pihak lain agar melakukan sesuatu. Sementara itu, coercion adalah peragaan kekuasaan
atau ancaman dan paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain
agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan.

Dari konsep di atas, kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan


menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya
ataupun masyarakat pada umumnya. Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik

8
bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan
yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara, maka mereka mempunyai kekuasaan
politik.

Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan
untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh
dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentikan mobil di jalan, tidak berarti dia
memiliki kekuasaan, tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas.
Sehingga, bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan
mandat peraturan yang ia jalankan, maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk
itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi.

Hasrat untuk memiliki kekuasaan merupakan keadaan alamiah manusia, persis seperti
yang dimaksudkan oleh Sartre dan Nietsche. Bagi Sartre, kebutuhan dasar manusia adalah
dianggap penting dan dihargai. Sementara bagi Nietsche, manusia pada dasarnya selalu didorong
oleh hasrat untuk menjadi manusia super, manusia yang berkuasa. Dalam konteks kedudukan
politik, boleh jadi hasrat manusia alamiah inilah yang mendorong seseorang mengejar kekuasaan
politik.

Menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Hal
itu sudah diketahui banyak orang, khususnya yang memperhatikan praktik kekuasaan atau
politik, baik di pemerintahan, korporasi, maupun organisasi kemasyarakatan Di sisi lain, karena
politik berusaha mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat, politik juga dapat dijadikan
sarana untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran kepada masyarakat luas. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang melalui proses politik sekaligus diberi amanah untuk
bekerja untuk rakyat malah menjadi orang pertama yang mengkhianati amanah itu, dengan
mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri di atas kepentingan rakyat. Jadi,
sebenarnya orang-orang yang bekerja dalam orbit politiklah, dan bukan politik itu sendiri, yang
telah membuat stigma dan label bahwa politik selalu berorientasi pada kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai