DOSEN :
Adisti A. Rumayar, SKM, M.Kes, MPH
dr.Grace E. C. Korompis, MHSM, DrPH
dr. Ardiansa A.T. Tucunan, M.Kes
dr. Ribka Wowor, M.Kes
Dr. Theo Lumenon, SH, MH
DISUSUN OLEH:
Sumiyati Gina Gani (19111101152)
Leastari N.Tubagus (19111101109)
Kirey Permata Erungan (19111101108)
Moh Afief R Mokodompit (19111101142)
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Malpraktik Kesehatan. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini baik dalam materi maupun pikiran.
Makalah ini kami buat atas dasar tugas dari matakuliah Etika dan Hukum Kesehatan,
yang menjadi salah satu mata kuliah di Fakultas Kesehatan masyarakat, Universitas
Sam Ratulangi, Manado
Harapan kami, semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca tentang
Mapraktik dan bagaimana dampaknya untuk kesehatan. Kami juga mengharapkan
saran dan kritikan yang membangun dari pembaca demi perbaikan makalah kami.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..
1.1.Latar Belakang………………………………………………….
1.3.Tujuan Penulisan………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………
3.1.Kesimpulan …………………………………………………….
3.2.Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berbicara tentang malpraktik medik bukanlah hal yang baru di Indonesia. Budi
Sampoerno mengemukakan malpraktik adalah pelanggaran administratif, etik, tindak
pidana tidak sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional, tidak
sesuai dengan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan pada umumnya yang
sekualifikasi pada situasi kondisi yang identik,kelalaian dan ketidak kompetensian.
Ketika terjadimalpraktik, maka pasien menjadi korban dan mengalami kerugian, dlam
hubungan hukum antara dokter dengan pasien selalu menempatkan pasien
dalamposisi lemah, hal ini dikarenakan pasien tidak memahami permasalahan
penyakitnya sementara pihak lainnya adalah dokter seorang yang ahli, dari hubungan
ini manakala dokter mengatakan pelayanan yang diberikan sudah sesuai Standar
Profesi dan Standar Prosedur Operasional, pasien pun sebagai korban dari pemberian
layanan kesehatan yang tidak kompeten dan ceroboh. Akibatnya pasien menjadi
korban dari malpraktik itu dan tentu saja akan mengalami kerugian bagi dokter itu
sendiri manakala kasus tersebut mencuat ke media cetak atau jejaring social
PEMBAHASAN
Istilah malpraktik atau malpractice menurut Daris, Peter Salim dalam “The Con-
temporary English Indonesia Dictionary” berarti perbuatan atau tindakan yang salah,
yang menunjukkan pada setiap sikap tindakan yang keliru. Sedangkan menurut John
M. Echols dan Hassan Sadily dalam Kamus Inggris Indonesia, “malpractice” berarti
cara pengobatan pasien yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya
kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan
kepada kepercayaan. Jadi malpraktik merupakan salah satu penyebab
perselisihan/konflik antara tenaga kesehatan dengan pasien.
Terdapat dua istilah yang lazim dipakai dan didengar oleh etiap kalangan bagi
mereka terutama berkecimpung atau bahkan sedang mengalami dan
berurusan kondisi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dalam masyarakat ketika
seseorang mengalami penderitaan kesehatan sebagai akibat dari pihak tenaga
medis (kesehatan) seperti dokter, perawat ataupun petugas kesehatan lainnya
timbul kecenderungan menyebut dengan istilah telah terjadi “malpraktek”, atau
disambung dengan ikutan kata “medik”, menjadilah sebutan istilah “malpraktik
medik”.
Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang
berarti “buruk” Sedangkan kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik.
Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik
“buruk”. Bagi negara Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal
oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk
Medical Malpractice, yaitu Medical Negligence yang dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai Kelalaian Medik. Menurut Martin Basiang “Malpractice” diartikan
kealpaan profesi.
Berikut beberapa pengertian lainnya dari malpraktik :
Menurut Azrul Azwar dalam makalahnya yang dibawakan pada sidang KONAS IV
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia di Surabaya, 1996, dengan mengambil
beberapa pendapat para pakar dikatakan bahwa malpraktik adalah :
Unsur-unsur Malpraktik
Pada hakeatanya malpraktik adalah praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang
dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun
kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis
malpraktek.Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu
malpraktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik
(etichal malpractice) dan malpraktik yuridik (yuridical malpractice).Sedangkan
malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice),
malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara
(administrative malpractice).
Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik
medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut lingkungan yang sama.
Malpraktik medik terjadi bila ada rumah sakit, dokter atau tempat perawatan
kesehatan yang secara profesional, melakukan kesalahan atau kelalaian yang
menyebabkan cedera atau kerugian kepada pasien. Kelalaian tersebut mungkin akibat
kesalahan dalam diagnosis, pengobatan,dan perawatan setelah perawatan atau
manajemen kesehatan.
Ini bisa dianggap malpraktik medis di bawah tuntutan hukum jika mmemilik
karakteristik berikut:
Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering digunakan orang
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam
dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan. Banyak persoalan
malpraktek, atas kesadaran hukum pasien diangkat menjadi masalah
pidana.Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya kesadaran hukum
masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.
Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai malpraktek.
Malpraktek menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan “kelalaian seorang
dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orangyang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama.”Amri Amir menyatakan bahwamalpraktek
medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek,
yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan
pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan
da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma
yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative
dari kemajuan teknologi kedokteran.Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan
membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat,
lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata
memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut
antara lain :
1. Dibidang diagnostic
2. Dibidang terapi
c) Malpraktek Administratif
Ketentuan mengenai malpraktik medis dalam hukum di Indonesia dapat dilihat dari
KUHP, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sementara itu aturan hukum positif
di indonesia yang berkaitan dengan malpraktik diantaranya:
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di
dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktik tersebut. Pengaturan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 53 KUHP yaitu terkait dengan percobaan melakukan kejahatan pasal ini hanya
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum
karena bersalah telah melakukan suatu percobaan.
Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan Surat, Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang
berkaitan dengan upaya abortus criminalis (pengguguran kandungan) karena di
dalamnya terdapat unsur adanya upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya
indikasi medis. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan sebagaimana penjelasan
Menteri Kehakiman bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
memberikan penderitaan badan kepada orang lain atau dengan sengaja untuk
merugikan kesehatan badan orang lain.
Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana
malpraktik kedokteran dapat didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan
karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya
tindak pidana malpraktik kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan
dokter dari rasa takut yang berlebihan dengan adanya pasal ini.
Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka-luka berat maupun kematian yang
merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang
subjektif sikap batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat
perbuatannya. Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi
pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan
profesi sebagai dokter, bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam
melakukan pekerjaannya karena apabila mereka lalai sehingga mengakibatkan
kematian bagi orang lain atau orang tersebut menderita cacat maka hukumannya
dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum
penjara paling lama sembilan tahun. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan
nyawa dapat dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat
dikaitkan dengan euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai
upaya penanggulangan tindak pidana malpraktik di Indonesia menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Termasuk juga
dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Terkait dengan transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65,
Pasal 66, apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat
dijatuhi sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan:
setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77
UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa setiap
orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut dapat
diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 ayat (1) dan ( 2 ) UU
Praktik Kedokteran dapat dikenakan kepada perorangan yang memiliki sarana
pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang
memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan Dokter yang tidak
mempunyai SIP juga dapat dikenakan pidana. Menganalisa pada ketentuan Pasal 75
(1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c sebelum putusan mahkamah
konstitusi materi muatan yang terdapat di dalam UU Praktik Kedokteran telah
menimbulkan kriminalisasi terhadap tindakan dokter yang berpraktik kedokteran
yang tidak dilengkapi STR, SIP dan tidak memasang papan nama, serta tidak
menambah ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana yang cukup berat dan denda
yang sangat tinggi Hal demikian dapat menimbulkan rasa takut bagi dokter di dalam
melakukan pengobatan terhadap pasien
2. Penanggulangan Malpraktik
Penanggulangan malpraktek sendiri dilakukan melalui 2 upaya yaitu upaya
penal, dilakukan secara represif (penegakan hukum) yang diawali dengan
pemberitahuan melalui broadcast adanya dugaan malpraktek. Sedangkan
MKEK mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapat
klarifikasi dalam penanganan malpraktek dan upaya non penal yang dilakukan
oleh MKEK yang bekerjasama dengan IDI adalah dengan cara melakukan
pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap tenaga
kesehatan.
Terkait dengan malpraktik, menurut Wakil Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwi dalam artikel Kelalaian
Tenaga Kesehatan Tidak Dapat Dipidana, sebenarnya kelalaian tenaga
kesehatan dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab, dalam tiga paket undang-
undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang menyebutkan
bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter bisa
dipidana.
Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam
hukum pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian
(culpa). Namun, dalam ketiga undang-undang tersebut di atas yang aturannya
bersifat khusus (lex specialis) semua ketentuan pidananya menyebut harus
dengan unsur kesengajaan. Namun, dalam artikel yang sama, Ketua
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser tidak sepakat
jika kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik
Kedokteran (lihat Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang
merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada
MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk
melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.
b. Melakukan mediasi;
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka
dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidan
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami
oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan
teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu
dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan
bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media
karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau
meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat
mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan
menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
3.2 Saran
Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan
tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak
hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan
sebagaimana kita harapkan. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai
pencari penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan
aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.
Daftar pustaka
Hanafiah, M. Jusuf. 2003. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Fuady, Munir. 2005. Sumpah Hippocrates dan Aspek Malpraktik Dokter. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Komalasari, Veronica. 1998. Hukum Dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Koeswadji, H.H. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum dalam
Mana Dokter sebagai Salah Satu Pihak). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Amir, Amri. 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Jakarta: Widya Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Renika Cipta.
Isfandyarie, Anny. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik. Jakarta: Prestasi Pustaka.