Anda di halaman 1dari 22

Intisari

PENGARUH MACAM SETEK DAN KADAR ZAT PERANGSANG AKAR


TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT TEH
(Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica

Aji Prasetio1, Dody Kastono2, S.P., M.P., dan Ir. Rohmanti Rabaniyah2, M.P.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh macam setek dan


kadar zat perangsang akar terhadap pertumbuhan awal bibit teh yang dilaksanakan
di kebun blok pembibitan Binorong PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran,
kecamatan Blado, kabupaten Batang, Jawa Tengah pada bulan Oktober 2010
sampai bulan Januari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui macam
setek terbaik dan kadar zat perangsang akar yang optimal. Perlakuan disusun
dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor, yaitu
macam setek sebagai faktor I, meliputi; setek satu daun, setek dua daun, dan setek
cabang cakar ayam. Faktor II adalah kadar zat perangsang akar (Root-Up),
meliputi; kadar 0 ppm (kontrol/tanpa zat perangsang akar, hanya direndam dengan
fungisida Dithane M-45 1 %), 600, 800, dan 1.200 ppm, sehingga terdapat 12
kombinasi perlakuan dengan tiga ulangan. Variabel yang diamati antara lain
persentase tumbuh tunas, persentase tumbuh akar, panjang tunas, jumlah daun,
panjang akar, jumlah akar, bobot kering tunas, bobot kering akar, rasio bobot
kering tunas/akar, dan laju pertumbuhan nisbi (LPN). Data yang didapat dianalisis
varian menggunakan F hitung dan dilanjutkan dengan uji beda Duncan (DMRT)
pada taraf 5 %.
Tidak terdapat interaksi dari perlakuan macam setek dengan berbagai zat
perangsang akar yang diberikan. Pada perlakuan berbagai macam setek, setek dua
daun memperlihatkan hasil yang terbaik pada semua variabel yang diamati kecuali
pada variabel LPN. Mendasarkan hasil pada variabel panjang akar dan bobot
kering akar yang dapat tumbuh dengan baik setelah 120 hst, serta dengan nilai
LPN terbaik didapatkan dari setek cabang cakar ayam, sehingga cabang cakar
ayam yang semula hanya menjadi limbah pangkasan, sekarang diketahui dapat
berpotensi sebagai bahan setek untuk pengadaan bibit teh. Hasil memperlihatkan
bahwa penggunaan zat perangsang akar pada berbagai kadar dalam penelitian
tidak memberikan pengaruh nyata pada semua variabel yang diamati.

Kata kunci: teh (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica, setek daun teh,
setek dua daun, cabang cakar ayam, zat perangsang akar Root-Up.

1
Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
2
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UGM

1
Abstract

EFFECT KINDS OF TEA PLANT CUTTING AND RATE OF PLANT


GROWTH REGULATOR (PGR) ON EARLY GROWTH
OF TEA (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica SEEDLING

AJI PRASETIO
06/194492/PN/10676

This experiment to study the effect kinds of tea plant cutting and rate of
plant growth regulator (PGR) on early growth of tea seedling had been conducted
in the seedling field of blok Binorong, PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran,
kecamatan Blado, kabupaten Batang, Jawa Tengah since of October 2010 to
January 2011. The objective of the experiment was to obtain the best kind of tea
plant cutting and optimal rate of PGR. Treatments were arranged in Randomized
Complete Block Design with two factors. The factor I was kinds of tea plant
cutting, there were; cutting with one leaf of tea, cutting with two leaves of tea, and
cabang cakar ayam’s cutting of tea. The factor II was rate of plant growth
regulator (PGR) that used Root-Up trademark, treatments were; control (without
PGR, just soaked in 1 % of fungicide Dithane M-45), PGR 600, 800, and
1.200 ppm, so there were twelve combination of treatments and three replications.
Variable observed were percentage of shoot and root formation, length of shoot,
number of leaf, length of root, number of root, dried weight of shoot, dried weight
of root, shoot/root dry weight ratio, and relative growt rate (RGR) of successful
tea plant cutting. Data were analyzed of varian using F-test and the Duncan’s New
Multiple Range Test (DMRT) at 5 % level.
There was no significant interaction between kinds of tea plant cuttings
with rate of plant growth regulator. Result indicated that cutting with two leaves
of tea was the best result on all of variable observed except RGR. Based on the
best result of length of root and dried weight of root of cabang cakar ayam’s
cutting of tea was no significant difference with two leaves cutting of tea, and also
on RGR indicated to cabang cakar ayam’s cutting of tea was the best result, so
beside just a prunning waste, cabang cakar ayam can be potentially used to
cutting material of tea seedling. There was no significant difference on all of
variable observed on rate of PGR treatments.

Keywords: tea (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica, cutting with one
leaf of tea, cutting with two leaves of tea, cabang cakar ayam’s
cutting of tea, plant growth regulator Root-Up.

2
Pengantar (Introduction)

Tanaman teh merupakan salah satu komoditas perkebunan yang


mempunyai arti penting bagi perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa
negara. Di samping itu, perkebunan teh dapat menyerap tenaga kerja dalam
jumlah yang cukup banyak serta berfungsi untuk mempertahankan kelestarian
lingkungan (Astika dkk., 2001). Mengingat banyak tanaman yang sudah berumur
cukup tua dan populasi tanaman teh di kebun yang semakin berkurang, untuk
mendukung produsi pucuk tetap tinggi maka dibutuhkan bibit teh untuk
mengganti tanaman (replanting) dan pemenuhan populasi optimal (infilling).
Tanaman teh dapat diperbanyak secara generatif maupun secara vegetatif.
Pada perbanyakan secara generatif digunakan bahan tanam asal biji, sedangkan
pada perbanyakan secara vegetatif digunakan bahan tanam asal setek berupa klon
(Setyamidjaja, 2004). Penyediaan bahan tanam dengan cara setek dapat mengatasi
kebutuhan pengadaan bibit dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat.
Ada beberapa bagian dari tanaman teh yang dapat digunakan sebagai bahan tanam
secara vegetatif, antara lain setek daun (baik satu daun maupun dua daun), dan
setek yang berasal dari limbah pemangkasan cabang cakar ayam. Cabang cakar
ayam memiliki keistimewaan apabila dipakai sebagai bahan setek karena sudah
mempunyai potensi bentuk frame, sehingga dimungkinkan akan mempermudah
dan mempercepat dalam pengadaan dan pembentukan tanaman baru, khususnya
untuk keperluan pemenuhan populasi optimal (infilling).
Kendala umum yang sering dihadapi dalam penyetekan teh adalah waktu
pembentukan akar lambat, sehingga daya tumbuh setek rendah. Maka dari itulah
dipakai zat perangsang akar. Umumnya, zat perangsang akar yang dipakai adalah
zat perangsang akar sintetis karena praktis, mudah digunakan, dan kandungannya
yang sudah diketahui. Salah satu zat perangsang akar yang dapat dipakai untuk
mempercepat munculnya akar adalah zat perangsang akar dengan merek dagang
Root-Up. Maka dari itu perlu diketahui macam setek terbaik dan kadar zat
perangsang akar optimal untuk mendukung petumbuhan awal bibit teh.

3
Bahan Dan Metode (Materials And Methods)
Penelitian ini dilaksanakan di kebun pembibitan teh blok Binorong,
PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran, kabupaten Batang, Jawa Tengah yang
dimulai pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Januari 2011. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah setek daun (untuk setek 1 daun dan 2 daun)
dan setek cabang cakar ayam dari klon Gambung VII, zat perangsang akar
Root-Up, polibag dengan ukuran 10 cm x 20 cm, tanah top soil dan subsoil,
fungisida Dithane M-45, pupuk TSP, pupuk daun Bevolan, Pestisida
Comfidor 5 WP, dan Lannate 40 SP, tawas, bambu, plastik sungkup, dan amplop.
Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting
pangkas, penggaris, termohigrometer, timbangan elektrik, gelas ukur, oven,
cangkul, sekop, ayakan kasa 1 cm2, cetok, gunting pangkas, pisau setek, ember,
bak plastik, hand sprayer, hand counter, dan alat tulis.
Penelitian menggunakan rancangan faktorial 4 x 3 yang disusun secara
acak lengkap dilaksanakan dalam polibag dengan rancangan acak lengkap
(RAKL) faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor I yaitu macam setek yang
terdiri atas setek 1 daun, setek 2 daun, dan setek cakar ayam. Sedangkan faktor II
yaitu kadar zat perangsang akar masing-masing 0 ppm (hanya direndam dengan
1% fungisida), 600 ppm, 800 ppm, dan 1200 ppm. Dari kedua faktor tersebut,
diperoleh 12 unit kombinasi perlakuan, di mana setiap unit kombinasi perlakuan
diulang 3 kali dan setiap perlakuan pada masing-masing ulangan terdiri dari 6
tanaman sampel, 4 tanaman korban, dan 2 tanaman cadangan. Sehingga total akan
terdapat 432 pucuk setek.
Variabel pengamatan berupa:
1. Presentase tumbuh tunas
Persentase tumbuh tunas dihitung dari jumlah setek yang tumbuh tunasnya
dari semua setek yang ditanam pada masing-masing perlakuan dan ulangan.
Kegiatan ini diamati pada tanaman umur 30 hst.
2. Panjang tunas
Panjang tunas diukur dari permulaan awal tumbuhnya tunas sampai titik
tumbuh tunas dengan menggunakan mistar penggaris. Tunas yang diukur

4
adalah tunas terpanjang dari 6 sampel tanaman yang dipilih pada tiap
perlakuan dan masing-masing ulangan. Pengukuran panjang tunas ini
dilakukan pada tanaman umur 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 hst.
3. Jumlah daun
Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang tumbuh pada tunas
terpanjang dari 6 sampel tanaman yang dipilih pada tiap perlakuan dan
masing-masing ulangan. Penghitungan jumlah daun ini dilakukan pada
tanaman umur 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 hst.
4. Panjang akar
Panjang akar diukur dari leher akar sampai ujung akar dari 2 sampel
tanaman yang dipilih pada masing-masing perlakuan dan ulangan setiap
pengambilan tanaman korban. Pengukuran panjang akar dilakukan pada
tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II).
5. Jumlah akar
Jumlah akar dihitung dari semua akar utama yang terbentuk dari 2 sampel
tanaman yang dipilih pada masing-masing perlakuan dan ulangan setiap
pengambilan tanaman korban. Penghitungan jumlah akar dilakukan pada
tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II). Jumlah akar dihitung
dengan menggunakan alat hand counter.
6. Persentase tumbuh akar
Persentase tumbuh akar dihitung dari jumlah setek yang tumbuh akarnya
dari semua setek yang ditanam. Kegiatan ini diamati pada tanaman umur
120 hst.
7. Bobot kering bibit (tunas dan akar)
Bobot kering tunas dan akar pada tiap pengamatan tanaman korban
didapat setelah dioven ± 65-85 ºC selama ± 48 jam (hingga mencapai bobot
konstan), kemudian ditimbang.
8. Rasio Bobot Kering Tajuk/Akar
Rasio bobot kering tajuk/akar didapat dari bobot kering tunas dibagi
dengan bobot kering akar. Penghitungan rasio bobot kering tajuk/akar
dilakukan pada tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II).

5
Analisis pertumbuhan yang dilakukan adalah dengan menggunakan variabel
Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN) (Relative Growth Rate/RGR), yaitu kemampuan
tanaman menghasilkan bahan kering hasil asimilasi tiap satuan bobot kering awal
tiap satuan waktu (g/g/minggu) pada 60, dan 120 hst. Rumus dari perhitungan
ln W2  ln W1
LPN atau RGR adalah sebagai berikut: RGR = g/g/minggu
T2  T1
Keterangan: W = Berat Kering Total, T= Waktu.

Data yang diperoleh dilakukan analisis sidik ragam (α = 0,05) menggunakan


Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial AxB dengan 3 ulangan.
Apabila terdapat perbedaan nyata, analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji
jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) dengan nilai α = 5%.

Hasil Dan Pembahasan (Result and Discussion)


Penelitian pengaruh macam setek dan kadar zat perangsang akar terhadap
keberhasilan dan pertumbuhan bibit teh ini dilaksanakan di blok Binorong (khusus
pembibitan teh), PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran. Lokasi pembibitan ini
memiliki ketinggian ± 750 mdpl yang cukup sesuai dengan kebutuhan pembibitan
maupun sebagai syarat tumbuh tanaman teh. Rata-rata suhu dan kelembaban udara
didalam sungkup pada saat penelitian tercatat berkisar antara 22,76-26 ºC untuk
suhu, dan 72,24-79,24 % untuk kelembaban udara dalam sungkup. Suhu
mempunyai pengaruh dalam berbagai reaksi biokimia dan fisiologi tanaman serta
sejumlah proses-proses pertumbuhan juga mempunyai hubungan kuantitatif
dengan suhu. Proses-proses tersebut antara lain adalah proses respirasi dan
fotosintesis (Harjadi, 1980). Suhu maksimum dan minimum yang mendukung
pertumbuhan teh biasanya berkisar antara 13-28 ºC. Selain suhu, kelembaban
udara juga menentukan pertumbuhan setek sebelum setek tersebut dapat berakar.
Rochiman dan Harjadi (1973) menyebutkan bahwa apabila kelembaban udara
rendah, setek akan mati. Hal tersebut disebabkan karena umumnya kandungan air
dalam batang setek terbatas, sehingga apabila kelembaban kurang dari 60 %, setek
akan kering dan mati. Hal tersebut didukung oleh Yasman dan Smits (1989)

6
cit. Huik (2004) yang menyatakan bahwa kelembaban udara diusahakan
mendekati 100 % selama berlangsungnya proses pembentukan akar.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan macam


setek dan kadar zat perangsang akar pada seluruh variabel yang diamati, yaitu
pada persentase tumbuh tunas, persentase tumbuh akar, panjang tunas, jumlah
daun, panjang akar, jumlah akar, bobot kering tunas, bobot kering akar, rasio
bobot kering tunas/akar, dan laju pertumbuhan nisbi setek teh.

Macam setek memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan


setek teh dan pertumbuhan bibit teh selanjutnya. Hal ini disebabkan karena
adanya hubungan yang erat antara pertumbuhan tanaman dengan ketersediaan
asimilat yang terdapat dalam batang setek serta pengaruh auksin endogen (yang
dihasilkan oleh organ tanaman). Menurut Harjadi (1980), auksin diproduksi di
daun muda yang kemudian didistribusikan untuk membentuk akar. Dalam
hubungannya dengan pertumbuhan tunas dan akar, selain auksin, sitokinin
(disintesis di akar) juga berpengaruh karena interaksinya dapat mempengaruhi
diferensiasi. Konsentrasi auksin tinggi dan sitokinin yang rendah menimbulkan
perkembangan akar. Sedangkan konsentrasi auksin rendah dan sitokinin tinggi
menimbulkan perkembangan tunas. Apabila jumlah yang sama antara auksin dan
sitokinin maka menghasilkan pertumbuhan yang tidak berdiferensiasi (Harjadi,
1980).

Macam setek yang dipakai sebagai perlakuan antara lain setek satu daun,
yaitu bahan setek teh (cutting) yang dipotong sepanjang satu ruas dengan
mengikutkan satu daun sebagai daun bawaan untuk mendukung ketersediaan
asimilat dan ketersediaan auksin endogen. Macam setek selanjutnya yang dipakai
adalah setek dua daun. Setek ini hampir mirip dengan setek satu daun, hanya saja
bahan setek teh yang dipotong sepanjang dua ruas dan mempunyai dua daun
bawaan sebagai pendukung ketersediaan asimilat dan auksin endogen yang lebih
banyak mengingat ruas bahan setek yang lebih panjang dan ketersediaan daun
pendukung yang lebih banyak pula. Kedua macam setek ini diambil dari kebun

7
induk dengan klon Gambung VII serta memiliki umur cabang sebagai bahan setek
yang relatif muda (± 5 bulan). Sedangkan macam setek terakhir sebagai perlakuan
yang dipakai adalah setek cabang cakar ayam. Setek ini dikumpulkan dari kebun
produksi yang menggunakan klon Gambung VII (blok Sanderan). Umur cabang
yang dipakai relatif tua (± 4 tahun) karena menyesuaikan dengan periode pangkas
yang dilakukan. Cabang cakar ayam yang diambil adalah cabang yang memiliki
3-4 percabangan namun beruas pendek tiap cabangnya. Cakar ayam yang diambil
sebagai bahan setek umumnya sudah memiliki beberapa daun dan tunas-tunas
muda dengan jumlah 1-6 buah calon tunas.
Manurung (1987) cit. Huik (2004), menjelaskan bahwa kemampuan
bagian vegetatif tanaman mengasilkan akar diakibatkan oleh interaksi faktor-
faktor yang melekat (inheret) pada tanaman dengan faktor lain seperti zat-zat yang
dapat diangkut oleh tanaman dan diproduksi dalam kuncup, yakni: auksin, dan
karbohidrat. Hal tersebut didukung pula oleh Dwijoseputro (1989) yang
menyatakan bahwa kehadiran tunas pada setek akan membantu proses
pembentukan zat pengatur tumbuh yang kemudian diedarkan ke bagian bawah
(basal) untuk membentuk akar.
Untuk lebih jelas mengetahui pengaruh macam setek dan kadar zat
perangsang akar terhadap pertumbuhan awal bibit teh, selanjutnya akan akan
dibahas secara terpisah pada pengaruh mandiri tiap variabel yang diamati.

A. Pengaruh Mandiri Macam Setek


1. Persentase Tumbuh Tunas Setek Teh (30 hst) (%)
Pada Tabel 4.1 di bawah terlihat bahwa persentase tumbuh tunas
pada berbagai perlakuan macam setek memperlihatkan bahwa persentase
tumbuh tunas pada perlakuan setek dua daun dan cabang cakar ayam tidak
berbeda nyata, akan tetapi kedua setek tersebut memberikan hasil
persentase tumbuh tunas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
setek satu daun, yaitu dengan peningkatan sebesar 11,2 % pada setek dua
daun dan 11,99 % pada setek cabang cakar ayam.

8
Tabel 4.1. Persentase tumbuh tunas setek teh pada berbagai perlakuan
(30 hst) (%)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 88,89 100,00 97,22 95,37 p
600 ppm 83,33 97,22 100,00 93,52 p
800 ppm 80,56 100,00 97,22 92,59 p
1200 ppm 94,44 88,89 94,44 92,59 p
Rerata 86,81 b 96,53 a 97,22 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Hal ini dikarenakan dengan adanya daun, tunas yang lebih banyak,
dan batang yang lebih panjang (dibanding setek satu daun), maka asimilat
pada batang itulah yang digunakan setek. Untuk hasil persentase tumbuh
tunas terbaik diperoleh dari setek dua daun dan cabang cakar ayam
mengingat jumlah daun, tunas, dan batang yang lebih panjang, maka
asimilat yang dimilikipun cukup digunakan setek untuk menumbuhkan
tunas dengan baik.
Yusrizal dkk. (1999) menyebutkan bahwa untuk mendorong
tumbuhnya tunas, setek tersebut memerlukan energi. Energi diperoleh dari
asimilat yang terdapat pada bahan setek. Sesuai dengan pendapat
Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa munculnya tunas pada setek
dipengaruhi oleh asimilat yang terdapat pada bahan setek terutama
karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang cukup pada bahan setek akan
meningkatkan kemampuan setek untuk menyediakan energi yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan tunas.

2. Persentase Tumbuh Akar Setek Teh (120 hst) (%)


Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa persentase tumbuh akar
tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada seluruh perlakuan macam
setek baik setek satu daun, dua daun maupun cabang cakar ayam.

9
Tabel 4.2.Persentase tumbuh akar setek teh pada berbagai perlakuan
(120 hst) (%)
Macam Setek
Kadar Cabang Rerata
Satu Daun Dua Daun
Cakar Ayam
0 ppm 88,89 100,00 88,89 92,59 p
600 ppm 80,56 94,44 97,22 90,74 p
800 ppm 77,78 100,00 77,78 85,19 p
1200 ppm 91,67 83,33 83,33 86,11 p
Rerata 84,72 a 94,44 a 86,81 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Hal tersebut juga dikarenakan setek satu daun dan dua daun adalah
setek yang diambil dari cabang yang berumur relatif muda (± 5 bulan),
sehingga persentase terbentuknya akar tinggi. Walaupun setek cabang
cakar ayam didapat dari cabang yang berumur relatif tua, namun
banyaknya daun bawaan dan calon tunas memberikan pasokan auksin
endogen untuk didistribusikan ke pangkal setek sebagai pemacu
tumbuhnya akar. Pada dua bulan pertama, setek cabang cakar ayam
cenderung memiliki sedikit akar yang tumbuh, namun pada dua bulan
selanjutnya, setek cakar ayam menunjukkan pertumbuhan akar yang baik
(selengkapnya dapat dilihat pada pembahasan jumlah akar/Tabel 4.6).
Sesuai dengan pendapat Hartmann dan Kester (1983) yang menyebutkan
bahwa setek yang berasal dari tanaman muda akan lebih mudah berakar
daripada yang berasal dari tanaman tua, hal ini disebabkan karena semakin
tua umur tanaman maka akan terjadi peningkatan produksi zat-zat
penghambat perakaran dan penurunan senyawa fenolik yang berperan
sebagai auksin kofaktor yang mendukung inisiasi akar pada setek. Secara
singkat, hal tersebut juga dijelaskan Harjadi (1980) bahwa auksin
disintesis pada pucuk tunas (daun).

10
3. Panjang Tunas Setek Teh (cm)
Panjang tunas setek teh pada saat pengamatan terakhir (120 hst)
memperlihatkan bahwa panjang tunas setek teh pada perlakuan setek satu
dan dua daun tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata. Setek satu
daun dan dua daun memiliki panjang tunas yang lebih tinggi masing-
masing 9,01 cm dan 9,36 cm dibandingkan dengan setek cabang
cakar ayam.

Tabel 4.3. Panjang tunas setek teh pada berbagai perlakuan (120 hst) (cm)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 13,29 14,13 3,44 10,29 p
600 ppm 8,96 13,79 2,99 8,58 p
800 ppm 12,12 10,77 2,21 8,36 p
1200 ppm 13,93 11,13 3,63 9,57 p
Rerata 12,08 a 12,46 a 3,07 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa hasil terbaik dari variabel
panjang tunas didapatkan dari setek satu dan dua daun. Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, setek satu daun dan dua daun mendapatkan hasil
panjang tunas tertinggi dikarenakan memiliki asimilat (terutama
karbohidrat) yang cukup sebagai energi untuk mendorong tumbuhnya
tunas.

11
4. Jumlah Daun Setek Teh
Dari Tabel 4.4, diketahui bahwa didapatkan hasil yang tidak berbeda
nyata untuk jumlah daun pada setek satu dan dua daun. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan setek cabang cakar ayam, jumlah daun pada setek
satu dan dua daun memiliki jumlah daun lebih banyak dengan selisih
masing-masing 1,47 dan 1,44 buah.

Tabel 4.4. Jumlah daun setek teh pada berbagai perlakuan (120 hst)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 3,67 3,72 1,89 3,09 p
600 ppm 2,44 3,33 1,83 2,54 p
800 ppm 3,00 3,00 1,50 2,50 p
1200 ppm 3,78 2,72 1,78 2,76 p
Rerata 3,22 a 3,19 a 1,75 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Pertumbuhan daun berkaitan erat dengan pertumbuhan tunas. Karena


itu apabila tumbuh tunas panjang lebih cepat, maka jumlah daun akan ikut
bertambah pula. Edmond et al. (1983) mengemukakan bahwa jika tanaman
memiliki sumber karbohidrat dan nitrogen dalam jumlah yang besar dan
didukung oleh faktor-faktor lingkungan yang mendukung, maka tanaman
akan memperlihatkan pertumbuhan daun.
Pada penelitian setek teh yang dilakukan Nazir (1984), dilaporkan
bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh beberapa macam zat pengatur
tumbuh yang diberikan terhadap panjang tunas dan jumlah daun tiap setek
daun teh. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa secara normal
daun mengandung tiap-tiap hormon tumbuh yang diperlukan untuk
pertumbuhannya hampir dalam jumlah yang tepat sehingga penambahan
zat pengatur tumbuh selanjutnya tidak memberikan pengaruh.

12
5. Panjang Akar Setek Teh (cm)
Dari Tabel 4.5, diketahui bahwa panjang akar setek teh pada
berbagai perlakuan macam setek menunjukkan hasil yang berbeda nyata
pada saat pengamatan korban I (60 hst), yaitu setek dua daun memiliki
panjang akar terpanjang dibandingkan dengan setek cabang cakar ayam,
namun setek satu daun tidak berbeda nyata dengan setek dua daun maupun
dengan setek cabang cakar ayam. Sedangkan pada pengamatan korban II
(120 hst), tidak terdapat beda nyata pada semua perlakuan macam setek.

Tabel 4.5. Panjang akar setek teh pada berbagai perlakuan (cm)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 4,43 6,48 2,50 4,47 p
600 ppm 4,77 6,28 2,83 4,63 p
60 hst 800 ppm 3,10 4,55 1,75 3,13 p
1200 ppm 4,22 4,15 3,78 4,05 p
Rerata 4,13 ab 5,37 a 2,72 b (-)
0 ppm 12,82 18,68 18,70 16,73 p
600 ppm 15,33 16,73 18,00 16,69 p
120 hst 800 ppm 15,68 17,38 15,88 16,32 p
1200 ppm 17,65 15,93 18,67 17,42 p
Rerata 15,37 a 17,18 a 17,81 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Pada awal pengamatan (60 hst), setek cabang cakar ayam


memperlihatkan pertumbuhan yang lebih lambat dari setek satu dan dua
daun. Namun, pada akhir pengamatan (120 hst), setek cabang cakar ayam
telah dapat membagi asimilat untuk pertumbuhan akar, sehingga akar
dapat tumbuh dengan baik. Adanya auksin yang cukup dari tunas dan daun
muda, serta didukung adanya asimilat yang cukup pada batang setek dan
daun bawaannya, sehingga pada akhir pengamatan, ketiga macam setek
tersebut dapat memperlihatkan panjang akar yang tidak berbeda nyata.

13
6. Jumlah Akar Setek Teh
Pada pengamatan bibit korban I maupun korban II, jumlah akar setek
teh yang didapat tidak berbeda nyata pada perlakuan setek satu daun dan
setek cabang cakar ayam. Setek dua daun memiliki jumlah akar terbanyak
dibandingkan setek satu daun dan cakar ayam.

Tabel 4.6. Jumlah akar setek teh pada berbagai perlakuan


Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 11,17 19,17 7,17 12,50 p
600 ppm 12,33 20,83 6,17 13,11 p
60 hst 800 ppm 11,83 16,50 7,33 11,89 p
1200 ppm 11,17 21,17 7,83 13,39 p
Rerata 11,63 b 19,42 a 7,13 b (-)
0 ppm 23,33 29,17 20,67 24,39 p
600 ppm 19,83 28,00 20,50 22,78 p
120 hst 800 ppm 17,67 20,83 22,67 20,39 p
1200 ppm 22,67 34,17 20,83 25,89 p
Rerata 20,88 b 28,04 a 21,17 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Keadaan jumlah daun bawaan dan jumlah tunas yang optimal (dua
buah) pada setek dua daun, mengindikasikan bahwa auksin yang dimiliki
cukup untuk inisiasi akar memperlihatkan bahwa hal itulah yang
menjadikan jumlah akar yang lebih banyak dibandingkan macam setek
yang lain. Jumlah akar yang banyak ini pula yang memberikan dampak
positif bagi pertumbuhan tunas karena bila pertumbuhan akar berlangsung
baik, maka zat pengatur tumbuh akan memperlihatkan pengaruhnya pada
pertumbuhan tunas dan akhirnya akan berpengaruh terhadap persentase
setek jadi (Yusrizal dkk., 1999). Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Wahid (1982) cit. Ferita (1986) yang menyatakan bahwa pada awal
periode tumbuh, pertumbuhan terjadi pada bagian akar dan setelah akar
cukup berkembang barulah terjadi pertumbuhan pada bagian atas tanaman.
Hartmann et al. (1990) juga menegaskan bahwa tunas akan berkembang

14
dengan baik bila akar telah berkembang dengan baik. Bila perakaran setek
telah berkembang dengan baik maka akan menguntungkan bagi
pertumbuhan setek selanjutnya, yaitu mendorong pertumbuhan tunas
(Yusrizal dkk., 1999). Menurut Prawiranata dkk. (1992), akar berperan
sebagai penyerap unsur hara dan air dalam tanah. Di samping itu, pada
ujung akar juga dihasilkan sitokinin (Harjadi, 1980; Prawiranata dkk.,
1992). Sitokinin didistribusikan secara akropetal ke bagian atas dapat
mendorong pembentukan tunas pada setek. Sitokinin berfungsi dalam
penyempurnaan hubungan pembuluh antara tunas lateral dengan bagian
organ tumbuhan lainnya dan mendorong pembelahan sel dalam bagian
ujung dari tunas lateral dan merubahnya menjadi meristem yang aktif
(Wattimena, 1988).
Dengan banyaknya jumlah akar, maka tanaman akan dapat menyerap
air, hara, dan mineral dengan baik. Selain itu, pada ujung-ujung akar juga
menghasilkan sitokinin sehingga pertumbuhan tunas juga akan
memperlihatkan hasil yang optimal. Pada ujung tunas (daun muda) juga
menjadi tempat disintesisnya auksin, yang mana auksin berperan dalam
pembentukan akar. Dengan demikian terjadi hubungan timbal-balik yang
saling menguntungkan antara akar dan tunas pada pertumbuhan setek.

15
7. Bobot Kering Tunas Setek Teh (g)
Hasil bobot kering tunas pada pengamatan bibit korban I, perlakuan
setek satu daun tidak didapatkan hasil yang berbeda nyata dengan setek
dua daun, namun kedua macam setek tersebut memiliki hasil bobot kering
tunas yang lebih tinggi daripada setek cabang cakar ayam. Sedangkan pada
pengamatan bibit korban II, hasil bobot kering tunas pada perlakuan
macam setek didapatkan hasil yang berbeda nyata. Apabila dibandingkan
dengan setek satu daun dan cabang cakar ayam, hasil bobot kering tunas
tertinggi didapatkan dari setek dua daun (Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Bobot kering tunas setek teh pada berbagai perlakuan (g)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 0,17 0,16 0,01 0,11 p
600 ppm 0,12 0,18 0,03 0,11 p
60 hst 800 ppm 0,13 0,17 0,01 0,10 p
1200 ppm 0,11 0,11 0,04 0,09 p
Rerata 0,13 a 0,16 a 0,03 b (-)
0 ppm 0,40 0,50 0,11 0,33 p
600 ppm 0,24 0,86 0,09 0,40 p
120 hst 800 ppm 0,41 0,61 0,17 0,39 p
1200 ppm 0,51 0,33 0,10 0,32 p
Rerata 0,39 b 0,57 a 0,12 c (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Tersedianya jumlah daun yang cukup banyak pada setek dua daun
menjadi faktor pendukung tingginya bobot kering tunas yang dihasilkan.
Bobot kering tunas ini mengindikasikan banyaknya asimilat (karbohidrat)
yang terbentuk dan disimpan pada tunas dari hasil fotosintesis.

16
8. Bobot Kering Akar Setek Teh (g)
Pada Tabel 4.8, terlihat bahwa hasil bobot kering akar setek teh pada
pengamatan bibit korban I berbeda nyata. Setek dua daun memperlihatkan
hasil bobot kering akar tertinggi dibandingkan pada perlakuan macam
setek yang lain. Pada pengamatan bibit korban II pada perlakuan macam
setek didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata antara setek dua daun dan
cabang cakar ayam. Setek satu daun memberikan hasil bobot kering akar
terendah apabila dibandingkan dengan setek dua daun dan cabang cakar
ayam.

Tabel 4.8. Bobot kering akar setek teh pada berbagai perlakuan (g)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 0,06 0,10 0,01 0,05 p
600 ppm 0,07 0,14 0,01 0,07 p
60 hst 800 ppm 0,04 0,07 0,01 0,04 p
1200 ppm 0,04 0,09 0,02 0,05 p
Rerata 0,05 b 0,10 a 0,01 c (-)
0 ppm 0,19 0,61 0,42 0,40 p
600 ppm 0,36 0,44 0,37 0,39 p
120 hst 800 ppm 0,29 0,58 0,51 0,46 p
1200 ppm 0,34 0,46 0,58 0,46 p
Rerata 0,29 b 0,52 a 0,47 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Pertumbuhan tunas yang optimal akan berpengaruh pada


pertumbuhan akar yang optimal juga. Akar yang panjang dan banyak akan
memberikan hubungan timbal-balik yang menguntungkan karena
jangkauan untuk menyerap unsur hara, mineral, dan air menjadi lebih luas,
sehingga pertumbuhan tanaman akan semakin baik. Apabila akar semakin
banyak dan panjang, maka akan menambah bobot kering dari akar
tersebut. Bobot kering akar ini mengindikasikan banyaknya asimilat

17
(karbohidrat) yang terbentuk dan disimpan pada akar dari hasil
fotosintesis.

9. Rasio Bobot Kering Tunas/Akar Setek Teh


Pada Tabel 4.9, perlakuan macam setek pada pengamatan bibit
korban I (60 hst) tidak didapatkan hasil yang berbeda nyata. Pada
pengamatan bibit korban II (120 hst), rasio bobot kering tunas/akar
tertinggi didapat dari setek satu dan dua daun.

Tabel 4.9. Rasio bobot kering tunas/akar setek teh pada berbagai perlakuan
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 11,21 1,73 4,40 5,78 p
600 ppm 84,04 1,26 29,75 38,35 p
60 hst 800 ppm 5,28 2,56 1,98 3,27 p
1200 ppm 31,61 26,03 4,06 20,57 p
Rerata 33,04 a 7,90 a 10,05 a (-)
0 ppm 2,42 0,84 0,26 1,17 p
600 ppm 0,67 2,05 0,30 1,01 p
120 hst 800 ppm 1,75 1,07 0,33 1,05 p
1200 ppm 2,05 0,76 0,19 1,00 p
Rerata 1,72 a 1,18 a 0,27 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Rasio bobot kering tunas/akar memperlihatkan keseimbangan


translokasi asimilat. Rasio bobot kering tunas/akar pada pengamatan bibit
korban I (60 hst) yang relatif tinggi memperlihatkan bahwa pembagian
asimilat banyak ditranslokasikan pada tunas. Hal tersebut dikarenakan
sebelum akar tumbuh, asimilat (karbohidrat) dipakai sebagai energi untuk
mendorong munculnya tunas (Rochiman dan Harjadi, 1973). Dari hal
tersebut, selaras dengan Wright (1989) cit. Hidayat (2004), pada awal
pertumbuhan setek, daun dan tunas masih menjadi lubuk (sink) yang kuat.
Selanjutnya, setelah tanaman memiliki akar dan daun telah menjadi
sumber (source), translokasi asimilat dibagi untuk tunas dan akar.

18
Pada setek satu dan dua daun, jumlah tunas yang dimiliki masing-
masing adalah satu dan dua tunas. Melihat rasio dari bobot kering
tunas/akar pada pengamatan bibit korban II (120 hst), mengindikasikan
bahwa jumlah tunas pada setek satu dan daun sangat optimal, dan cepat
siap menjadi sumber. Sedangkan pada setek cakar ayam, jumlah tunas
potensial yang dimiliki antara 1-6 buah dengan rata-rata dua tunas pada
setiap cabang cakar ayam (data jumlah tunas potensial selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1) dan berukuran relatif lebih kecil dibandingkan
dengan ukuran tunas pada macam setek lainnya. Dikarenakan jumlahnya
yang cukup banyak, asimilat yang didapatkan tiap tunas pada cabang cakar
ayam sedikit, sehingga pertumbuhannya menjadi lambat jika dibandingkan
dengan macam setek lainnya.

10. Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN) Setek Teh


Pada berbagai macam setek teh, laju pertumbuhan nisbi antara
perlakuan setek satu dan dua daun tidak berbeda nyata. Setek cabang cakar
ayam menghasilkan nilai LPN yang lebih tinggi dari setek satu daun
maupun dua daun (Tabel 4.10).

Tabel 4.10. Laju pertumbuhan nisbi setek teh pada berbagai perlakuan
(120 hst)
Macam Setek
Kadar Rerata
Satu Daun Dua Daun Cabang Cakar Ayam
0 ppm 0,10 0,18 0,41 0,23 p
600 ppm 0,15 0,17 0,32 0,21 p
800 ppm 0,17 0,19 0,45 0,27 p
1200 ppm 0,22 0,18 0,32 0,24 p
Rerata 0,16 b 0,18 b 0,38 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.

Nilai laju pertumbuhan nisbi memperlihatkan banyaknya asimilat


yang dihasilkan dalam selang waktu tertentu. Nilai LPN tertinggi dalam
selang waktu 8 minggu didapatkan dari perlakuan setek cabang cakar
ayam. Pada 4 minggu pertama (bibit korban I), bobot kering dari tunas dan

19
akar setek cabang cakar ayam sangat rendah, namun pada umur 16 minggu
saat dilakukan pengamatan bibit korban II, bobot keringnya meningkat
tajam hingga lebih dari dua kali lipat nilai LPN yang didapatkan dari setek
satu daun maupun dua daun. Mengingat setek cabang cakar ayam adalah
setek dengan batang yang berumur cukup tua sehingga akan memerlukan
waktu yang lebih lama dalam inisiasi terjadinya perakaran sebagaimana
disebutkan oleh Hartmann dan Kester (1983). Namun, setelah stabil dan
akar telah tumbuh, proses-proses fisiologis pada setek cakar ayam
berlangsung dengan baik karena didukung oleh jumlah tunas dan daun
yang lebih banyak sebagai sumber (source).
Laju pertumbuhan nisbi yang tinggi ini terkait dengan pertambahan
panjang akar (Tabel 4.5) dan bobot kering akar (Tabel 4.8) yang cukup
signifikan dan dapat mengejar dari pertambahan panjang kedua macam
setek lainnya pada pengamatan bibit korban II (120 hst). Mendasarkan dari
hasil tersebut, cabang cakar ayam yang semula hanya limbah pangkasan
dapat berpotensi sebagai bahan setek untuk pengadaan bibit teh.

B. Pengaruh Mandiri Zat Perangsang Akar


Pada penelitian ini, perlakuan kadar zat perangsang akar yang diberikan
baik pada 0, 600, 800, maupun 1.200 ppm tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap variabel yang diamati meliputi: persentase tumbuh tunas,
persentase tumbuh akar, panjang tunas, jumlah daun, panjang akar, jumlah
akar, bobot kering tunas, bobot kering akar, rasio bobot kering tunas/akar, dan
laju pertumbuhan nisbi setek teh.
Hal tersebut disebabkan oleh karena kadar zat perangsang akar 0, 600,
800, maupun 1.200 ppm masih terlalu rendah untuk diaplikasikan dengan cara
perendaman pangkal setek selama 30 detik pada perlakuan zat perangsang
akar. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Yusrizal dkk. (1999),
penggunaan zat perangsang akar dengan kadar tinggi yaitu 50.000 ppm
(dengan metode quick dip/celup cepat selama 5 detik) dapat memberikan
persentase tumbuh akar terbaik dari setek daun teh (setek satu daun) sebesar

20
95 %. Mendasarkan hasil penelitian tersebut, diduga pencelupan selama 30
detik belum mengakibatkan terjadinya penyerapan zat perangsang akar pada
pangkal setek secara optimal. Adanya auksin endogen yang cukup tersedia
serta kandungan asimilat yang memadai untuk proses inisiasi pembentukan
akar juga diduga menjadi faktor penyebab mengapa perlakuan kadar zat
perangsang akar tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua variabel
yang diamati.

Kesimpulan (Conclusion)
1. Pengaruh macam setek dan kadar zat perangsang akar tidak menunjukkan
adanya interaksi terhadap pertumbuhan awal bibit teh.
2. Pertumbuhan awal bibit teh terbaik didapatkan dari setek dua daun.
3. Mendasarkan dari hasil panjang akar dan bobot kering akar setek cabang
cakar ayam yang tidak berbeda nyata dengan hasil yang diperoleh setek
dua daun, serta nilai LPN yang tertinggi dibandingkan setek satu daun dan
dua daun pada 120 hst, sehingga cabang cakar ayam yang semula hanya
menjadi limbah pangkasan sekarang diketahui dapat berpotensi sebagai
bahan setek untuk pengadaan bibit teh.
4. Pertumbuhan awal bibit teh tidak dipengaruhi oleh kadar zat perangsang akar
yang diberikan sampai 1.200 ppm.

Ucapan Terima kasih (Acknowledgment)


Terima kasih untuk bapak Dody Kastono, S.P., M.P. dan ibu Rohmanti
Rabaniyah, M.P. yang telah membimbing dalam penulisan skripsi dan bapak
Ir. Sriyanto Waluyo, M.Sc. yang telah memberikan masukan dalam penulisan
skripsi. Terima kasih untuk PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran dan staf
karyawannya yang telah membantu dan memberikan fasilitas di lapangan.
Adikku, Dhiga Ansarajati yang telah membantu pengamatan di lapangan.
Mas Dani, M. Hafidh Annur dan Warsa Aulia Yanpareri yang telah memberikan
dukungan dan bantuannya serta Retno Maryam Khodijah yang banyak
memberikan semangat dan doa dalam penulisan skripsi ini.

21
Daftar Pustaka (Literature Cited)

Astika, W., Z. S. Wibowo, P. Rahardjo, W. Widayat, dan N. Subarna. 2001.


Dampak dan Penanggulangan Kekeringan pada Usaha Perkebunan Teh.
Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung.
Dwijoseputro, D. 1989. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta.
Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrews, and R.G. Halfacre. 1983. Fundamentals
of Horticulture. McGraw-Hill Book Co. Inc., New York.
Ferita, I. 1986. Pengaruh beberapa macam setek terhadap pembentukan akar dan
pertumbuhan tanaman lada (Piper nigrum L.) dalam kantong plastik.
Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Skripsi.
Harjadi, S.S. 1980. Pengantar Agronomi. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Hartmann, H.T. and D.E. Kester. 1983. Plant Propagations, Principles, and
Practices. Prentice-Hall, Inc., New Jersey.
Hartmann, H.T., D.E. Kester and F.T. Davies, Jr. 1990. Plant Propagations,
Principles, and Practices. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Hidayat, Ramdan. 2004. Kajian Pola Translokasi Asimilat pada Beberapa Umur
Tanaman Manggis (Garcinia Mangostana L.) Muda. Agrosains 6 (1):
20-25.
Nazir, N. 1984. Pengaruh Hormon Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Setek Daun
Teh dalam Kantong Plastik. Fakultas Pertanian Universitas Andalas,
Padang. Skripsi.
Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1992. Dasar-dasar Fisiologi
Tumbuhan. Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rochiman, K. dan S.S. Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen
Agronomi Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. Third Edition.
Wadsworth Publ. Co. Belmont, California.
Setyamidjaja, D. 2004. Teh: Budidaya dan Pengolahan Pascapanen.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas
IPB bekerja sama dengan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB, Bogor.
Yusrizal, M. Zen., Istino Ferita, dan Veri Verdinal. 1999. Pengaruh beberapa jenis
zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan stek daun teh
(Camellia sinensis [L]. O.K.). Stigma VII (1): 109-114.

22

Anda mungkin juga menyukai