Aji Prasetio1, Dody Kastono2, S.P., M.P., dan Ir. Rohmanti Rabaniyah2, M.P.
Kata kunci: teh (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica, setek daun teh,
setek dua daun, cabang cakar ayam, zat perangsang akar Root-Up.
1
Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
2
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UGM
1
Abstract
AJI PRASETIO
06/194492/PN/10676
This experiment to study the effect kinds of tea plant cutting and rate of
plant growth regulator (PGR) on early growth of tea seedling had been conducted
in the seedling field of blok Binorong, PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran,
kecamatan Blado, kabupaten Batang, Jawa Tengah since of October 2010 to
January 2011. The objective of the experiment was to obtain the best kind of tea
plant cutting and optimal rate of PGR. Treatments were arranged in Randomized
Complete Block Design with two factors. The factor I was kinds of tea plant
cutting, there were; cutting with one leaf of tea, cutting with two leaves of tea, and
cabang cakar ayam’s cutting of tea. The factor II was rate of plant growth
regulator (PGR) that used Root-Up trademark, treatments were; control (without
PGR, just soaked in 1 % of fungicide Dithane M-45), PGR 600, 800, and
1.200 ppm, so there were twelve combination of treatments and three replications.
Variable observed were percentage of shoot and root formation, length of shoot,
number of leaf, length of root, number of root, dried weight of shoot, dried weight
of root, shoot/root dry weight ratio, and relative growt rate (RGR) of successful
tea plant cutting. Data were analyzed of varian using F-test and the Duncan’s New
Multiple Range Test (DMRT) at 5 % level.
There was no significant interaction between kinds of tea plant cuttings
with rate of plant growth regulator. Result indicated that cutting with two leaves
of tea was the best result on all of variable observed except RGR. Based on the
best result of length of root and dried weight of root of cabang cakar ayam’s
cutting of tea was no significant difference with two leaves cutting of tea, and also
on RGR indicated to cabang cakar ayam’s cutting of tea was the best result, so
beside just a prunning waste, cabang cakar ayam can be potentially used to
cutting material of tea seedling. There was no significant difference on all of
variable observed on rate of PGR treatments.
Keywords: tea (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) var. Assamica, cutting with one
leaf of tea, cutting with two leaves of tea, cabang cakar ayam’s
cutting of tea, plant growth regulator Root-Up.
2
Pengantar (Introduction)
3
Bahan Dan Metode (Materials And Methods)
Penelitian ini dilaksanakan di kebun pembibitan teh blok Binorong,
PT. Pagilaran Unit Produksi Pagilaran, kabupaten Batang, Jawa Tengah yang
dimulai pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Januari 2011. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah setek daun (untuk setek 1 daun dan 2 daun)
dan setek cabang cakar ayam dari klon Gambung VII, zat perangsang akar
Root-Up, polibag dengan ukuran 10 cm x 20 cm, tanah top soil dan subsoil,
fungisida Dithane M-45, pupuk TSP, pupuk daun Bevolan, Pestisida
Comfidor 5 WP, dan Lannate 40 SP, tawas, bambu, plastik sungkup, dan amplop.
Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting
pangkas, penggaris, termohigrometer, timbangan elektrik, gelas ukur, oven,
cangkul, sekop, ayakan kasa 1 cm2, cetok, gunting pangkas, pisau setek, ember,
bak plastik, hand sprayer, hand counter, dan alat tulis.
Penelitian menggunakan rancangan faktorial 4 x 3 yang disusun secara
acak lengkap dilaksanakan dalam polibag dengan rancangan acak lengkap
(RAKL) faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor I yaitu macam setek yang
terdiri atas setek 1 daun, setek 2 daun, dan setek cakar ayam. Sedangkan faktor II
yaitu kadar zat perangsang akar masing-masing 0 ppm (hanya direndam dengan
1% fungisida), 600 ppm, 800 ppm, dan 1200 ppm. Dari kedua faktor tersebut,
diperoleh 12 unit kombinasi perlakuan, di mana setiap unit kombinasi perlakuan
diulang 3 kali dan setiap perlakuan pada masing-masing ulangan terdiri dari 6
tanaman sampel, 4 tanaman korban, dan 2 tanaman cadangan. Sehingga total akan
terdapat 432 pucuk setek.
Variabel pengamatan berupa:
1. Presentase tumbuh tunas
Persentase tumbuh tunas dihitung dari jumlah setek yang tumbuh tunasnya
dari semua setek yang ditanam pada masing-masing perlakuan dan ulangan.
Kegiatan ini diamati pada tanaman umur 30 hst.
2. Panjang tunas
Panjang tunas diukur dari permulaan awal tumbuhnya tunas sampai titik
tumbuh tunas dengan menggunakan mistar penggaris. Tunas yang diukur
4
adalah tunas terpanjang dari 6 sampel tanaman yang dipilih pada tiap
perlakuan dan masing-masing ulangan. Pengukuran panjang tunas ini
dilakukan pada tanaman umur 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 hst.
3. Jumlah daun
Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang tumbuh pada tunas
terpanjang dari 6 sampel tanaman yang dipilih pada tiap perlakuan dan
masing-masing ulangan. Penghitungan jumlah daun ini dilakukan pada
tanaman umur 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 hst.
4. Panjang akar
Panjang akar diukur dari leher akar sampai ujung akar dari 2 sampel
tanaman yang dipilih pada masing-masing perlakuan dan ulangan setiap
pengambilan tanaman korban. Pengukuran panjang akar dilakukan pada
tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II).
5. Jumlah akar
Jumlah akar dihitung dari semua akar utama yang terbentuk dari 2 sampel
tanaman yang dipilih pada masing-masing perlakuan dan ulangan setiap
pengambilan tanaman korban. Penghitungan jumlah akar dilakukan pada
tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II). Jumlah akar dihitung
dengan menggunakan alat hand counter.
6. Persentase tumbuh akar
Persentase tumbuh akar dihitung dari jumlah setek yang tumbuh akarnya
dari semua setek yang ditanam. Kegiatan ini diamati pada tanaman umur
120 hst.
7. Bobot kering bibit (tunas dan akar)
Bobot kering tunas dan akar pada tiap pengamatan tanaman korban
didapat setelah dioven ± 65-85 ºC selama ± 48 jam (hingga mencapai bobot
konstan), kemudian ditimbang.
8. Rasio Bobot Kering Tajuk/Akar
Rasio bobot kering tajuk/akar didapat dari bobot kering tunas dibagi
dengan bobot kering akar. Penghitungan rasio bobot kering tajuk/akar
dilakukan pada tanaman umur 60 hst (korban I), dan 120 hst (korban II).
5
Analisis pertumbuhan yang dilakukan adalah dengan menggunakan variabel
Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN) (Relative Growth Rate/RGR), yaitu kemampuan
tanaman menghasilkan bahan kering hasil asimilasi tiap satuan bobot kering awal
tiap satuan waktu (g/g/minggu) pada 60, dan 120 hst. Rumus dari perhitungan
ln W2 ln W1
LPN atau RGR adalah sebagai berikut: RGR = g/g/minggu
T2 T1
Keterangan: W = Berat Kering Total, T= Waktu.
6
cit. Huik (2004) yang menyatakan bahwa kelembaban udara diusahakan
mendekati 100 % selama berlangsungnya proses pembentukan akar.
Macam setek yang dipakai sebagai perlakuan antara lain setek satu daun,
yaitu bahan setek teh (cutting) yang dipotong sepanjang satu ruas dengan
mengikutkan satu daun sebagai daun bawaan untuk mendukung ketersediaan
asimilat dan ketersediaan auksin endogen. Macam setek selanjutnya yang dipakai
adalah setek dua daun. Setek ini hampir mirip dengan setek satu daun, hanya saja
bahan setek teh yang dipotong sepanjang dua ruas dan mempunyai dua daun
bawaan sebagai pendukung ketersediaan asimilat dan auksin endogen yang lebih
banyak mengingat ruas bahan setek yang lebih panjang dan ketersediaan daun
pendukung yang lebih banyak pula. Kedua macam setek ini diambil dari kebun
7
induk dengan klon Gambung VII serta memiliki umur cabang sebagai bahan setek
yang relatif muda (± 5 bulan). Sedangkan macam setek terakhir sebagai perlakuan
yang dipakai adalah setek cabang cakar ayam. Setek ini dikumpulkan dari kebun
produksi yang menggunakan klon Gambung VII (blok Sanderan). Umur cabang
yang dipakai relatif tua (± 4 tahun) karena menyesuaikan dengan periode pangkas
yang dilakukan. Cabang cakar ayam yang diambil adalah cabang yang memiliki
3-4 percabangan namun beruas pendek tiap cabangnya. Cakar ayam yang diambil
sebagai bahan setek umumnya sudah memiliki beberapa daun dan tunas-tunas
muda dengan jumlah 1-6 buah calon tunas.
Manurung (1987) cit. Huik (2004), menjelaskan bahwa kemampuan
bagian vegetatif tanaman mengasilkan akar diakibatkan oleh interaksi faktor-
faktor yang melekat (inheret) pada tanaman dengan faktor lain seperti zat-zat yang
dapat diangkut oleh tanaman dan diproduksi dalam kuncup, yakni: auksin, dan
karbohidrat. Hal tersebut didukung pula oleh Dwijoseputro (1989) yang
menyatakan bahwa kehadiran tunas pada setek akan membantu proses
pembentukan zat pengatur tumbuh yang kemudian diedarkan ke bagian bawah
(basal) untuk membentuk akar.
Untuk lebih jelas mengetahui pengaruh macam setek dan kadar zat
perangsang akar terhadap pertumbuhan awal bibit teh, selanjutnya akan akan
dibahas secara terpisah pada pengaruh mandiri tiap variabel yang diamati.
8
Tabel 4.1. Persentase tumbuh tunas setek teh pada berbagai perlakuan
(30 hst) (%)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 88,89 100,00 97,22 95,37 p
600 ppm 83,33 97,22 100,00 93,52 p
800 ppm 80,56 100,00 97,22 92,59 p
1200 ppm 94,44 88,89 94,44 92,59 p
Rerata 86,81 b 96,53 a 97,22 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
Hal ini dikarenakan dengan adanya daun, tunas yang lebih banyak,
dan batang yang lebih panjang (dibanding setek satu daun), maka asimilat
pada batang itulah yang digunakan setek. Untuk hasil persentase tumbuh
tunas terbaik diperoleh dari setek dua daun dan cabang cakar ayam
mengingat jumlah daun, tunas, dan batang yang lebih panjang, maka
asimilat yang dimilikipun cukup digunakan setek untuk menumbuhkan
tunas dengan baik.
Yusrizal dkk. (1999) menyebutkan bahwa untuk mendorong
tumbuhnya tunas, setek tersebut memerlukan energi. Energi diperoleh dari
asimilat yang terdapat pada bahan setek. Sesuai dengan pendapat
Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa munculnya tunas pada setek
dipengaruhi oleh asimilat yang terdapat pada bahan setek terutama
karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang cukup pada bahan setek akan
meningkatkan kemampuan setek untuk menyediakan energi yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan tunas.
9
Tabel 4.2.Persentase tumbuh akar setek teh pada berbagai perlakuan
(120 hst) (%)
Macam Setek
Kadar Cabang Rerata
Satu Daun Dua Daun
Cakar Ayam
0 ppm 88,89 100,00 88,89 92,59 p
600 ppm 80,56 94,44 97,22 90,74 p
800 ppm 77,78 100,00 77,78 85,19 p
1200 ppm 91,67 83,33 83,33 86,11 p
Rerata 84,72 a 94,44 a 86,81 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
Hal tersebut juga dikarenakan setek satu daun dan dua daun adalah
setek yang diambil dari cabang yang berumur relatif muda (± 5 bulan),
sehingga persentase terbentuknya akar tinggi. Walaupun setek cabang
cakar ayam didapat dari cabang yang berumur relatif tua, namun
banyaknya daun bawaan dan calon tunas memberikan pasokan auksin
endogen untuk didistribusikan ke pangkal setek sebagai pemacu
tumbuhnya akar. Pada dua bulan pertama, setek cabang cakar ayam
cenderung memiliki sedikit akar yang tumbuh, namun pada dua bulan
selanjutnya, setek cakar ayam menunjukkan pertumbuhan akar yang baik
(selengkapnya dapat dilihat pada pembahasan jumlah akar/Tabel 4.6).
Sesuai dengan pendapat Hartmann dan Kester (1983) yang menyebutkan
bahwa setek yang berasal dari tanaman muda akan lebih mudah berakar
daripada yang berasal dari tanaman tua, hal ini disebabkan karena semakin
tua umur tanaman maka akan terjadi peningkatan produksi zat-zat
penghambat perakaran dan penurunan senyawa fenolik yang berperan
sebagai auksin kofaktor yang mendukung inisiasi akar pada setek. Secara
singkat, hal tersebut juga dijelaskan Harjadi (1980) bahwa auksin
disintesis pada pucuk tunas (daun).
10
3. Panjang Tunas Setek Teh (cm)
Panjang tunas setek teh pada saat pengamatan terakhir (120 hst)
memperlihatkan bahwa panjang tunas setek teh pada perlakuan setek satu
dan dua daun tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata. Setek satu
daun dan dua daun memiliki panjang tunas yang lebih tinggi masing-
masing 9,01 cm dan 9,36 cm dibandingkan dengan setek cabang
cakar ayam.
Tabel 4.3. Panjang tunas setek teh pada berbagai perlakuan (120 hst) (cm)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 13,29 14,13 3,44 10,29 p
600 ppm 8,96 13,79 2,99 8,58 p
800 ppm 12,12 10,77 2,21 8,36 p
1200 ppm 13,93 11,13 3,63 9,57 p
Rerata 12,08 a 12,46 a 3,07 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa hasil terbaik dari variabel
panjang tunas didapatkan dari setek satu dan dua daun. Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, setek satu daun dan dua daun mendapatkan hasil
panjang tunas tertinggi dikarenakan memiliki asimilat (terutama
karbohidrat) yang cukup sebagai energi untuk mendorong tumbuhnya
tunas.
11
4. Jumlah Daun Setek Teh
Dari Tabel 4.4, diketahui bahwa didapatkan hasil yang tidak berbeda
nyata untuk jumlah daun pada setek satu dan dua daun. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan setek cabang cakar ayam, jumlah daun pada setek
satu dan dua daun memiliki jumlah daun lebih banyak dengan selisih
masing-masing 1,47 dan 1,44 buah.
Tabel 4.4. Jumlah daun setek teh pada berbagai perlakuan (120 hst)
Macam Setek
Kadar Cabang Cakar Rerata
Satu Daun Dua Daun
Ayam
0 ppm 3,67 3,72 1,89 3,09 p
600 ppm 2,44 3,33 1,83 2,54 p
800 ppm 3,00 3,00 1,50 2,50 p
1200 ppm 3,78 2,72 1,78 2,76 p
Rerata 3,22 a 3,19 a 1,75 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
12
5. Panjang Akar Setek Teh (cm)
Dari Tabel 4.5, diketahui bahwa panjang akar setek teh pada
berbagai perlakuan macam setek menunjukkan hasil yang berbeda nyata
pada saat pengamatan korban I (60 hst), yaitu setek dua daun memiliki
panjang akar terpanjang dibandingkan dengan setek cabang cakar ayam,
namun setek satu daun tidak berbeda nyata dengan setek dua daun maupun
dengan setek cabang cakar ayam. Sedangkan pada pengamatan korban II
(120 hst), tidak terdapat beda nyata pada semua perlakuan macam setek.
Tabel 4.5. Panjang akar setek teh pada berbagai perlakuan (cm)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 4,43 6,48 2,50 4,47 p
600 ppm 4,77 6,28 2,83 4,63 p
60 hst 800 ppm 3,10 4,55 1,75 3,13 p
1200 ppm 4,22 4,15 3,78 4,05 p
Rerata 4,13 ab 5,37 a 2,72 b (-)
0 ppm 12,82 18,68 18,70 16,73 p
600 ppm 15,33 16,73 18,00 16,69 p
120 hst 800 ppm 15,68 17,38 15,88 16,32 p
1200 ppm 17,65 15,93 18,67 17,42 p
Rerata 15,37 a 17,18 a 17,81 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
13
6. Jumlah Akar Setek Teh
Pada pengamatan bibit korban I maupun korban II, jumlah akar setek
teh yang didapat tidak berbeda nyata pada perlakuan setek satu daun dan
setek cabang cakar ayam. Setek dua daun memiliki jumlah akar terbanyak
dibandingkan setek satu daun dan cakar ayam.
Keadaan jumlah daun bawaan dan jumlah tunas yang optimal (dua
buah) pada setek dua daun, mengindikasikan bahwa auksin yang dimiliki
cukup untuk inisiasi akar memperlihatkan bahwa hal itulah yang
menjadikan jumlah akar yang lebih banyak dibandingkan macam setek
yang lain. Jumlah akar yang banyak ini pula yang memberikan dampak
positif bagi pertumbuhan tunas karena bila pertumbuhan akar berlangsung
baik, maka zat pengatur tumbuh akan memperlihatkan pengaruhnya pada
pertumbuhan tunas dan akhirnya akan berpengaruh terhadap persentase
setek jadi (Yusrizal dkk., 1999). Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Wahid (1982) cit. Ferita (1986) yang menyatakan bahwa pada awal
periode tumbuh, pertumbuhan terjadi pada bagian akar dan setelah akar
cukup berkembang barulah terjadi pertumbuhan pada bagian atas tanaman.
Hartmann et al. (1990) juga menegaskan bahwa tunas akan berkembang
14
dengan baik bila akar telah berkembang dengan baik. Bila perakaran setek
telah berkembang dengan baik maka akan menguntungkan bagi
pertumbuhan setek selanjutnya, yaitu mendorong pertumbuhan tunas
(Yusrizal dkk., 1999). Menurut Prawiranata dkk. (1992), akar berperan
sebagai penyerap unsur hara dan air dalam tanah. Di samping itu, pada
ujung akar juga dihasilkan sitokinin (Harjadi, 1980; Prawiranata dkk.,
1992). Sitokinin didistribusikan secara akropetal ke bagian atas dapat
mendorong pembentukan tunas pada setek. Sitokinin berfungsi dalam
penyempurnaan hubungan pembuluh antara tunas lateral dengan bagian
organ tumbuhan lainnya dan mendorong pembelahan sel dalam bagian
ujung dari tunas lateral dan merubahnya menjadi meristem yang aktif
(Wattimena, 1988).
Dengan banyaknya jumlah akar, maka tanaman akan dapat menyerap
air, hara, dan mineral dengan baik. Selain itu, pada ujung-ujung akar juga
menghasilkan sitokinin sehingga pertumbuhan tunas juga akan
memperlihatkan hasil yang optimal. Pada ujung tunas (daun muda) juga
menjadi tempat disintesisnya auksin, yang mana auksin berperan dalam
pembentukan akar. Dengan demikian terjadi hubungan timbal-balik yang
saling menguntungkan antara akar dan tunas pada pertumbuhan setek.
15
7. Bobot Kering Tunas Setek Teh (g)
Hasil bobot kering tunas pada pengamatan bibit korban I, perlakuan
setek satu daun tidak didapatkan hasil yang berbeda nyata dengan setek
dua daun, namun kedua macam setek tersebut memiliki hasil bobot kering
tunas yang lebih tinggi daripada setek cabang cakar ayam. Sedangkan pada
pengamatan bibit korban II, hasil bobot kering tunas pada perlakuan
macam setek didapatkan hasil yang berbeda nyata. Apabila dibandingkan
dengan setek satu daun dan cabang cakar ayam, hasil bobot kering tunas
tertinggi didapatkan dari setek dua daun (Tabel 4.7).
Tabel 4.7. Bobot kering tunas setek teh pada berbagai perlakuan (g)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 0,17 0,16 0,01 0,11 p
600 ppm 0,12 0,18 0,03 0,11 p
60 hst 800 ppm 0,13 0,17 0,01 0,10 p
1200 ppm 0,11 0,11 0,04 0,09 p
Rerata 0,13 a 0,16 a 0,03 b (-)
0 ppm 0,40 0,50 0,11 0,33 p
600 ppm 0,24 0,86 0,09 0,40 p
120 hst 800 ppm 0,41 0,61 0,17 0,39 p
1200 ppm 0,51 0,33 0,10 0,32 p
Rerata 0,39 b 0,57 a 0,12 c (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
Tersedianya jumlah daun yang cukup banyak pada setek dua daun
menjadi faktor pendukung tingginya bobot kering tunas yang dihasilkan.
Bobot kering tunas ini mengindikasikan banyaknya asimilat (karbohidrat)
yang terbentuk dan disimpan pada tunas dari hasil fotosintesis.
16
8. Bobot Kering Akar Setek Teh (g)
Pada Tabel 4.8, terlihat bahwa hasil bobot kering akar setek teh pada
pengamatan bibit korban I berbeda nyata. Setek dua daun memperlihatkan
hasil bobot kering akar tertinggi dibandingkan pada perlakuan macam
setek yang lain. Pada pengamatan bibit korban II pada perlakuan macam
setek didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata antara setek dua daun dan
cabang cakar ayam. Setek satu daun memberikan hasil bobot kering akar
terendah apabila dibandingkan dengan setek dua daun dan cabang cakar
ayam.
Tabel 4.8. Bobot kering akar setek teh pada berbagai perlakuan (g)
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 0,06 0,10 0,01 0,05 p
600 ppm 0,07 0,14 0,01 0,07 p
60 hst 800 ppm 0,04 0,07 0,01 0,04 p
1200 ppm 0,04 0,09 0,02 0,05 p
Rerata 0,05 b 0,10 a 0,01 c (-)
0 ppm 0,19 0,61 0,42 0,40 p
600 ppm 0,36 0,44 0,37 0,39 p
120 hst 800 ppm 0,29 0,58 0,51 0,46 p
1200 ppm 0,34 0,46 0,58 0,46 p
Rerata 0,29 b 0,52 a 0,47 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
17
(karbohidrat) yang terbentuk dan disimpan pada akar dari hasil
fotosintesis.
Tabel 4.9. Rasio bobot kering tunas/akar setek teh pada berbagai perlakuan
Macam Setek
Umur Kadar Satu Dua Cabang Rerata
Daun Daun Cakar Ayam
0 ppm 11,21 1,73 4,40 5,78 p
600 ppm 84,04 1,26 29,75 38,35 p
60 hst 800 ppm 5,28 2,56 1,98 3,27 p
1200 ppm 31,61 26,03 4,06 20,57 p
Rerata 33,04 a 7,90 a 10,05 a (-)
0 ppm 2,42 0,84 0,26 1,17 p
600 ppm 0,67 2,05 0,30 1,01 p
120 hst 800 ppm 1,75 1,07 0,33 1,05 p
1200 ppm 2,05 0,76 0,19 1,00 p
Rerata 1,72 a 1,18 a 0,27 b (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
18
Pada setek satu dan dua daun, jumlah tunas yang dimiliki masing-
masing adalah satu dan dua tunas. Melihat rasio dari bobot kering
tunas/akar pada pengamatan bibit korban II (120 hst), mengindikasikan
bahwa jumlah tunas pada setek satu dan daun sangat optimal, dan cepat
siap menjadi sumber. Sedangkan pada setek cakar ayam, jumlah tunas
potensial yang dimiliki antara 1-6 buah dengan rata-rata dua tunas pada
setiap cabang cakar ayam (data jumlah tunas potensial selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1) dan berukuran relatif lebih kecil dibandingkan
dengan ukuran tunas pada macam setek lainnya. Dikarenakan jumlahnya
yang cukup banyak, asimilat yang didapatkan tiap tunas pada cabang cakar
ayam sedikit, sehingga pertumbuhannya menjadi lambat jika dibandingkan
dengan macam setek lainnya.
Tabel 4.10. Laju pertumbuhan nisbi setek teh pada berbagai perlakuan
(120 hst)
Macam Setek
Kadar Rerata
Satu Daun Dua Daun Cabang Cakar Ayam
0 ppm 0,10 0,18 0,41 0,23 p
600 ppm 0,15 0,17 0,32 0,21 p
800 ppm 0,17 0,19 0,45 0,27 p
1200 ppm 0,22 0,18 0,32 0,24 p
Rerata 0,16 b 0,18 b 0,38 a (-)
Keterangan:
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%. Tanda negatif (-) menunjukkan tidak ada interaksi
yang nyata antar perlakuan macam setek dan kadar zat perangsang akar.
19
akar setek cabang cakar ayam sangat rendah, namun pada umur 16 minggu
saat dilakukan pengamatan bibit korban II, bobot keringnya meningkat
tajam hingga lebih dari dua kali lipat nilai LPN yang didapatkan dari setek
satu daun maupun dua daun. Mengingat setek cabang cakar ayam adalah
setek dengan batang yang berumur cukup tua sehingga akan memerlukan
waktu yang lebih lama dalam inisiasi terjadinya perakaran sebagaimana
disebutkan oleh Hartmann dan Kester (1983). Namun, setelah stabil dan
akar telah tumbuh, proses-proses fisiologis pada setek cakar ayam
berlangsung dengan baik karena didukung oleh jumlah tunas dan daun
yang lebih banyak sebagai sumber (source).
Laju pertumbuhan nisbi yang tinggi ini terkait dengan pertambahan
panjang akar (Tabel 4.5) dan bobot kering akar (Tabel 4.8) yang cukup
signifikan dan dapat mengejar dari pertambahan panjang kedua macam
setek lainnya pada pengamatan bibit korban II (120 hst). Mendasarkan dari
hasil tersebut, cabang cakar ayam yang semula hanya limbah pangkasan
dapat berpotensi sebagai bahan setek untuk pengadaan bibit teh.
20
95 %. Mendasarkan hasil penelitian tersebut, diduga pencelupan selama 30
detik belum mengakibatkan terjadinya penyerapan zat perangsang akar pada
pangkal setek secara optimal. Adanya auksin endogen yang cukup tersedia
serta kandungan asimilat yang memadai untuk proses inisiasi pembentukan
akar juga diduga menjadi faktor penyebab mengapa perlakuan kadar zat
perangsang akar tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua variabel
yang diamati.
Kesimpulan (Conclusion)
1. Pengaruh macam setek dan kadar zat perangsang akar tidak menunjukkan
adanya interaksi terhadap pertumbuhan awal bibit teh.
2. Pertumbuhan awal bibit teh terbaik didapatkan dari setek dua daun.
3. Mendasarkan dari hasil panjang akar dan bobot kering akar setek cabang
cakar ayam yang tidak berbeda nyata dengan hasil yang diperoleh setek
dua daun, serta nilai LPN yang tertinggi dibandingkan setek satu daun dan
dua daun pada 120 hst, sehingga cabang cakar ayam yang semula hanya
menjadi limbah pangkasan sekarang diketahui dapat berpotensi sebagai
bahan setek untuk pengadaan bibit teh.
4. Pertumbuhan awal bibit teh tidak dipengaruhi oleh kadar zat perangsang akar
yang diberikan sampai 1.200 ppm.
21
Daftar Pustaka (Literature Cited)
22