Anda di halaman 1dari 11

Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang merupakan

bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian
Akhir Nasional (UAN) dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan
menjadi kontraversi dalam banyak seminar atau perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar rencana
atau keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian Akhir Nasional tersebut.
Tidak kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UAN, dan
pernyataan beberapa anggota Dewan yang mengusulkan penghapusan UAN tersebut.

Pendidikan yang berkualitas memegang peran kunci dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang unggul. Sementara SDM diperlukan sebagai penggerak proses pembangunan suatu
Negara, semakin berkualitas SDM yang dimiliki oleh suatu Negara maka semakin cepat proses
pembangunannya menuju masyarakat madani. Undang-undang Dasar tahun 1945 menyebutkan bahwa
pendidikan merupakan hak warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai intitusi Negara.
Hak warga Negara tersebut dapat berupa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas dan murah,
sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal. Dalam era otonomi daerah,
terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menjalankan proses
pendidikan di daerahnya masing-masing, tetapi tetap megikuti pedoman dan prosedur yang sudah
dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kebijakan tertinggi. Menurut Heintz Eulau dan Kenneth
Prewitt dalam buku Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan
oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang mematuhi keputusan tersebut (1996). Sehingga sering terdengar di masing-masing daerah
di Indonesia memiliki kebijakan yang berbeda berkaitan dengan biaya pendidikan dan peningkatan
kesejahteraan praktisi pendidikan. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka semakin besar
pula dana yang dianggarkan untuk peningkatan penyelenggaraan pendidikan. Sementara pemerintah
pusat mematok anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Salah satu program pemerintah
dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini adalah dengan melaksanakan ujian kelulusan atau
yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan serentak secara nasional dengan standar nilai
dan jumlah mata ujian ditentukan sebelumnya oleh Departemen Pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). UN sudah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2002/2003
dengan standar nilai 3,01 hingga tahun ajaran 2009/2010 dengan standar nilai kelulusan menjadi 6,00
dan dengan enam (6) mata pelajaran yang diujikan. Terjadi perdebatan di masyarakat berkenaan dengan
kebijakan pemerintah ini, ada yang mendukung UN dengan alasan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia yang memang terperosok jauh dari Negara tetangga dan ada yang menolak
dengan beragam argumentasi kerugian yang timbul akibat pelaksanaan UN. Puncaknya ketika pada 14
September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan
pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008 (www.kompas.com). Dalam isi putusan ini, tergugat yakni
presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai
memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai
meningkatkan kualitas guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas.
Sehingga terjadi permasalahan yang belum ada kejelasan hingga saat ini, apakah UN tetap dijalankan
dengan mekanisme dan prosedur yang diperbaiki atau UN dihapus berganti dengan kebijakan lain.
Meskipun perkembangannya pada akhirnya UN tetap dilaksanakan dengan memberikan keringan bagi
yang tidak lulus UN untuk mengulang kembali mata pelajaran yang tidak lulus.

(A)

Analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam
pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang
menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil
kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.

Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian
tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya
mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu
memberikan tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi
pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap
demokratis peserta didik

Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan
memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan
dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun?
Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN
sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di
Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa
soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar
maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu
mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran
‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan
semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya
pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan
anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu
pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap
demokratis.

Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu
pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UAN. Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik
sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun
pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes
tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak
dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran
tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat
menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu
terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena
pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.

Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang
Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten,
sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan
penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang
dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan
kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan
kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi
di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda.
Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-
daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun
kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar
yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan
ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang
diambil adalah menyamakan mereka.

Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki
permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita
anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran
tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan
sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut.
Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk
cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian
nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang
pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata
pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena dikejar target
untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara
menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari
tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana
dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.

Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut.
Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu
pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah.
Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi
pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap
mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan
siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan
perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya
kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen
berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung
karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka
berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau
direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang
diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk
dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu
pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi,
kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah
pedesaan.

(B)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa Ujian
Nasional (UN) diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. UN akan berubah
format menjadi Asesmen Kompetensi Minimum yang dibuat mirip dengan soal yang dibuat dan diuji kan
pada Programme for International Student Assesment (PISA) yang terdiri dari literasi dan numerasi,
serta survei karakter.

Pertimbangan penghapusan UN dan ujian kesetaraan 2021, terkait kondisi penyebaran Covid-19 yang
semakin meningkat. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1
Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah
dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 yang diteken Nadiem pada 1 Februari 2021.

Peraturan ini berlaku bagi siswa yang kini duduk di kelas 6 SD/sederajat, kelas 9 SMP/sederajat dan kelas
12 SMA/sederajat.

Dengan ditiadakannya UN dan ujian kesetaraan tahun 2021 sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka
UN dan ujian kesetaraan tidak menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.

Dalam aturan tersebut, diungkapkan syarat peserta didik dinyatakan lulus yaitu dengan:

1. Menyelesaikan program pembelajaran yang dibuktikan dengan rapor tiap semester

2. 2. Memperoleh nilai perilaku minimal baik

3. 3. Mengikuti ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan.

Adapun ujian pengganti UN yang digunakan sebagai syarat kelulusan yaitu:

1. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh
sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dan sebagainya).

2. 2. Penugasan.

3. 3. Tes secara luring atau daring.

4. 4. Bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.

Sementara untuk peserta didik sekolah menengah kejuruan selain ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan tersebut, juga dapat mengikuti uji kompetensi keahlian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendukung keputusan Mendikbud Nadiem untuk meniadakan Ujian
Nasional ( UN) dan ujian kesetaraan 2021. Syaiful Huda menilai pelaksanaan Ujian Nasional lebih banyak
menciptakan standar pendidikan yang semu, di mana hal itu tidak mencerminkan kemampuan holistik
dari peserta didik, karena mereka hanya dinilai dari sisi kognisi semata. Beliau sepakat parameter
kelulusan peserta didik dilihat dari rapor tiap semester, nilai perilaku minimal baik, dan mengikuti ujian
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan masing-masing. Namun, ia meminta Kemdikbud dan Dinas
Pendidikan memastikan parameter kelulusan tersebut sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan
meminta Kemdikbud menyosialisasikan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021 tersebut dengan baik
sehingga tidak memicu polemik terkait tidak digelarnya UN 2021.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat keputusan besar akan menghapusan
ujian nasional mulai tahun 2021. Penghapusan didasari karena UN menjadi beban bagi siswa, materi
yang padat dan siswa hanya berfokus pada hapalan materi dan bukan kompetensi. Nadiem
mengatakan, UN yang selama ini menjadi tolak ukur penilaian akan diubah. Asesmen kompetensi
minimum dan survei karakter sebagai pengganti UN akan mampu memetakan sekolah berdasar
kompetensi minimum yang disiapkan.

------------

RUMUSAN MASALAH 3

Menyongsong pendidikan 4.0

Pengamat pendidikan Budi Trikorayanto mendukung wacana penghapusan Ujian Nasional tesebut. Ia
menilai sistem standardisasi kelulusan peserta didik di Indonesia dengan menyelenggarakan UN
merupakan sistem pendidikan zaman revolusi industri 2.0 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat
ini. Pendidikan sebaiknya berdasarkan minat dan bakat masing-masing siswa. Pendidikan yang
customized dan personalized. Dengan dihapusnya UN, beliau menyampaikan bahwa nantinya
universitas menjadi pihak yang mengevaluasi hasil proses belajar-mengajar pendidikan menengah.
Menurutnya, universitas bisa menerima calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Dengan dihapusnya UN, sekolah-sekolah di Indonesia bisa menjalankan proses pendidikan dengan
menyesuaikan kondisi wilayah masing-masing.

--

Sebagai perwujudan keadilan


Pengamat pendidikan Profesor Arief Rachman, mengatakan ia mendukung wacana penghapusan UN ini,
bahkan sejak 20 tahun silam. Ia menilai UN menyebabkan ketidakadilan terhadap penentuan standar
kualitas sekolah di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya kesenjangnya guru, fasilitas, dan proses
pembelajaran di sekolah Indonesia. Beliau pun menyebut UN membuat para siswa hanya fokus terhadap
mata pelajaran yang diujikan, sehingga memunculkan rasa ketidakpedulian terhadap mata pelajaran
lain. Menurutnya, sekolah dapat meningkatkan standar ujian akhir sekolahnya (UAS) masing-masing
demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.

--

Evaluasi penyelenggaraan UN

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesuma mengatakan, wacana penghapusan
UN menunjukkan bahwa penyelenggaraan harus dievaluasi, bukan dihapus. Menurutnya, UN adalah
bagian dari standar pendidikan nasional terutama pada tingkat standar penilaian.

"UN sebagai bagian proses akuntabilitas itu harus tetap ada, tapi tujuan dan bentuknya yang harus
dievaluasi. Tidak semua harus ada UN. SD ada, SMP ada, SMA ada, tidak perlu, atau mungkin kita bisa
menetapkan alternatif lain untuk melihat kapasitas lulusan, apakah sudah sesuai standar yang dilakukan
pemerintah. Saya rasa itu perlu dipertimbangkan," kata Doni di Jakarta, Rabu, dikutip dari Gatra.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga meminta Nadiem untuk
mempertimbangkan wacana tersebut secara matang. Pemerintah diminta untuk melakukan kajian
secara komprehensif mengingat kualitas proses belajar mengajar di setiap wilayah di Indonesia memiliki
perbedaan.

"Metode pembelajaran dan kualitas sarana dan prasarana sekolah tidak sama antardaerah. Kompetensi
guru juga tidak merata. Dalam konteks ini bisa dipahami muncul opsi untuk meniadakan Ujian Nasional,”
ujar Syaiful.

Dari pendapat beberapa pelajar sendiri, terbilang cukup banyak hadir pro dan kontra terhadap
penghapusan Ujian Nasional ini. Disurvey dari pendapat beberapa siswa siswi SMA Negeri 6 Cirebon,
banyak yang kewalahan dengan pengejaran materi dari UN. Pengejaran materi ini dilakukan karena soal-
soal UN mencakup seluruh materi selama SD/SMP/SMA. Tenggang waktu pada semester akhir sudah
digunakan untuk berbagai macam Try Out (TO), ujian praktik, ujian sekolah, hingga ujian nasional,
sehingga sekolah tidak lagi dapat menyelesaikan pelajaran tepat waktu alias harus dipercepat. Menurut
pendapat siswa siswi akhir tingkatan ini, beberapa dari mereka merasa kesulitan dan kelelahan
menghadapi pengejaran materi ini. Dari sebab itu, masyarakat dan sekolah sendiri masih bingung
dengan metode seperti ini, apakah efektif atau tidak. Dengan kabar penghapusan UN ini, maka
sebenarnya pengejaran materi tidak perlu dilakukan karena dengan tidak adanya UN maka try out dan
ujian komprehensif juga ditiadakan dan para murid masih mempunyai banyak waktu untuk
menyelesaikan materi.

---

DAMPAK BAIK

Akhir – akhir ini kita diingatkan kembali dengan masalah Ujian Nasional, karena beberapa Media baik
cetak maupun Elektronik, ramai – ramai memberitakan kemenangan dari gugatan warga Negara atau
Citizen Lawsuit terhadap Pemerintah, dimana kemenangan ini mulai dari tingkat Pengadilan Negri
sampai dengan Mahkamah Agung. Ujian Nasional sesungguhnya mempunyai 2 sisi baik dan buruk

DAMPAK BAIK

1. Kita jadi mempunyai standard yang sama untuk kelulusan siswa, sehingga pada akhirnya tidak ada
perbedaan antara siswa di Jakarta dan kota kota besar lainnya dengan siswa didaerah.

2. Kelulusan akan menjadi suatu hal yang membanggakan dan suatu hal yang patut disyukuri, karena
ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.

3. Pada akhirnya untuk masuk ke Perguruan tinggi cukup menggunakan nilai hasil kelulusan.

DAMPAK BURUK

1. Karena Standard pengajaran diseluruh Indonesia berbeda – beda, sesuai dengan kualitas pengajar,
tingkat ekonomi didaerah, dan lain lain, maka sulit untuk dilakukan penyeragaman soal ujian. Bayangkan
saja sekolah yang berbeda standard pengajarannya dipaksakan harus mengerjakan soal yang sama.

2. Pembuat soal kurang turun ke lapangan, meninjau sekolah sekolah terpencil untuk mengetahui
sebaiknya materi Ujian itu sampai tingkat yang bagaimana.
3. Di beberapa kasus terjadi kesalahan dari sistim koreksi yang dilakukan untuk menilai hasil ujian
Nasional ini, contohnya ada kasus dimana satu sekolah tidak lulus ujian dan selanjutnya dilakukan ujian
ulang. Bagaimana Pemerintah bisa yankin bahwa sistim penilaiannya sudah benar, seandainya saja pada
contoh kasus diatas yang mengalami kesalahan penilaian hanya 11 orang, mungkin ujiannya tidak bisa
diulang. Dan jadilah siswa yang apes tadi harus menerima nasib ia tidak lulus ujian.

----

SOLUSI

1) Menurut kami Ujian Nasional dengan penyeragaman soal, baik untuk dilakukan diseluruh Indonesia,
namun untuk kelulusan siswa tetap diserahkan pada sekolah masing – masing dengan
mempertimbangkan hasil ujian Harian, Tengah Semester dan Semester yang telah dilakukan selama ini.
Karena yang benar benar mengetahui kemampuan siswa yang bersangkutan adalah guru guru mereka
sendiri.

2) 2) Data hasil dari Ujian Nasional itu menjadi masukan yang baik bagi Pemerintah untuk mengetahui
peta keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan diseluruh Indonesia, jadi bisa tahu, mana daerah yang
perlu mendapatkan perhatian lebih, atau mana Sekolah yang perlu dievaluasi mutu pendidikkannya.

Hal ini karena Mutu Standard Pendidikan belum merata baik antar sekolah, maupun antar Daerah, untuk
itu merupakan tugas Pemerintah melalui Departemen Pendidikan untuk membenahi hal tersebut.
Alasan lainnya adalah Pemerintah seharusnya tidak terburu buru menerapkan standard yang MUTLAK
untuk Ujian Nasional, sebaiknya diberlakukan standard NORMA, yang mempertimbangkan berbagai
aspek, belajar itu tidak harus dibangku sekolah, banyak orang yang disekolahnya biasa-biasa saja namun
setelah lulus ia menambah pengetahuannya dengan berbagai hal yang menunjang pekerjaannya dan
berhasil.

Disini kami berikan sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin jadi Ahli kimia, tapi ia tidak bisa segera
mewujudkan keinginannya itu karena tidak lulus ujian Nasional pada mata pelajaran Matematika, di Bab
Calculus Diferential. Atau tidak lulus Bahasa Indonesia pada bagian Sinonim. Kan konyol jadinya ? Lebih
parah lagi bila ternyata ada oknum pembuat soal ujian yang merasa seperti pembuat Teka – teki, jadi
makin susah dijawab, dia makin bangga karenanya. Kasihan anak – anak jadi korban. Kan bisa saja itu
terjadi, banyak yang bilang orang Indonesia (baca “Oknum”) itu, seringkali terlihatnya seperti rendah
hati, padahal Arogan. contohnya banyak (kalau dibilang banyak berarti tidak semua) yang sebelum
terpilih jadi anggota DPR, wah baik banget seolah olah akan berjuang demi rakyat, namun setelah
terpilih ternyata mengecewakan.

Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek,
yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam
UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai
penentu kelulusan. Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala. UN yang selama ini dilakukan hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan
penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Ketiga, aspek sosial dan
psikologis.

Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01
pada tahun 2002/2003 dan meningkat seterusnya dari tahun ketahun. Ini menimbulkan kecemasan
psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang
akan di UN kan di sekolah dan di rumah. Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN
memboroskan biaya.

Tidak hanya pemerintah yang harus mengeluarkan dana ekstra dalam memberikan materi tambahan
kepada peserta didik, tetapi juga orang tua siswa yang terpaksa mengalokasikan dana untuk
memberikan kursus tambahan agar anaknya mendapatkan nilai memuaskan dalam pelaksanaan UN
nantinya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.
Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang diberlakukan oleh
pemerintah melalui Departemen Pendidikan tidak lain mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional yang terpuruk dari Negara lain terutama di wilayah Asia Tenggara.
Meskipun akhirnya terjadi kontroversi di tengah masyarakat dan berakibat keluarnya putusan MA, yang
melarang dilaksanakannya UN pada tahun ajaran 2009/2010.

SARAN

3. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus menerus meningkatkan pengalokasian anggaran di bidang
pendidikan agar kualitas pendidikan dinegeri ini semakin meningkat dan merata.

4. Para pendidik dan pemerintah daerah negeri ini perlu belajar kembali tentang norma-norma
kejujuran, sehingga tidak dengan mudah menerapkan segala cara dalam mendongkrak nilai UN siswa.

Anda mungkin juga menyukai