Analisis Mengenai Penyelesaian Kasus Indonesia v. Korea Selatan, Tuna Dolphin Case
1990/1991 dan Shrimp Turtle Case 2001.
ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2020
A. Pendahuluan
Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Lembaga Arbitrase Internasional Publik
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral
serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini
sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu compromise atau kesepakatan, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase
dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire). Orang yang
dipilih untuk melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter.
Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya
arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta
disyaratkan netral. Ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang
lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan,
dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of
reference atau 'aturan permainan' (hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka.
Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan
arbitrator (jurisdiksi) dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase. Sudah barang tentu
muatan terms of reference tersebut harus disepakati oleh para pihak.1
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin meningkat. Dari
sejarahnya, cara ini sudah tercatat sejak jaman Yunani kuno. Namun penggunaannya
dalam arti modern dikenal pada waktu dikeluarkannya the Hague Convention for the
Pacific Settlement of International Disputes tahun 1889 dan 1907. Konvensi ini
melahirkan suatu badan arbitrase internasional yaitu Permanent Court of Arbitration.
Batasan mengenai badan arbitrase internasional publik ini adalah Suatu alternatif
penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakat
para pihak (negara) secara sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata
dan putusannya bersifat final dan mengikat.”Istilah yang digunakan adalah “alternatif”
dan “pihak ketiga” (badan arbitrase). Istilah pertama digunakan karena badan arbitrase
adalah salah satu dari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia dan diakui
oleh hukum internasional. Istilah kedua yaitu pihak ketiga (badan arbitrase) digunakan
karena badan ini tidak selalu menggunakan istilah arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa
1
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional. PT. Radja Grafindo Persada: Jakarta, 2002, hlm. 23.
di GATT (sebelum diganti menjadi WTO), istilah yang digunakan bukan arbitrase, tetapi
Panel. Dalam studi hukum internasional, istilah lain yang digunakan untuk badan ini
antara lain disebut juga dengan Claims Tribunal. Sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil.
Sumbangan badan ini terhadap perkembangan hukum internasional secara umum cukup
signifikan. Sengketa Kepulauan Palmas (Miangas) antara Amerika Serikat dan Belanda
yang diputus oleh arbitrator tunggal Max Huber merupakan salah bukti peranan badan ini
terhadap hukum internasional.
Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara: penyelesaian
oleh seorang arbitrator, secara terlembaga (institutionalized) atau kepada suatu badan
arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang
sudah berdiri sebelumnya dan memiliki hukum acaranya. Contoh badan arbitrase seperti
ini yang terkenal adalah the Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag.
Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para pihak untuk
sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini berakhir tugasnya setelah putusan untuk
suatu sengketa tertentu dikeluarkan. Perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa
merupakan salah satu aspek pembaharuan norma-norma GATT yakni aspek procedural.
Aspek substantive yang erat kaitannya dengan aspek procedural, sehingga perbaikan
aspek yang satu harus diimbangi dengan perbaikan aspek yang lainnya. Perbaikan aspek
procedural harus tidak akan membangkitkan kepatuhan Negara anggota untuk
menggunakan sarana penyelesaian sengketa GATT apabila dirasakan bahwa aturan-
aturan substantifnya sudah tidak dapat diterima lagi.
Demikian pula perbaikan aspek substantive tidak dengan sendirinya akan menjamin
kepatuhan, apabila tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang baik dan efektif.
Sistem penyelesaian sengketa yang telah melembaga dan mengandung prosedur yang
telah rinci menjadi bagian integral dari suatu lembaga internasional yang
bertanggungjawab “mengadministrasikan” perjanjian tersebut dan menjadi forum untuk
pelaksanaan dan pengelolaan perjanjian itu. Penguasaan yang lengkap dari GATT dan
WTO memerlukan pula penguasaan tentang prosedur penyelesain sengketa. Namun untuk
menguasai system penyelesaian sengketa GATT dan WTO secara lengkap memerlukan
pula penguasaan aturan main yang berlaku dan identifikasi dari aspek aturan main
tersebut yang mungkin dapat menjadi sumber sengketa.
Kasus-kasus yang diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa
internasional oleh lembaga GATT atau WTO
1. Kasus Indonesia v. Korea Selatan (Anti Dumping)
Latar Belakang Kasus.
Terjadinya kasus Indonesia v. Korea Selatan ini bermula dengan adanya tuduhan oleh
otoritas perdagangan Korea Selatan, Korean Trade Commision (KTC) terhadap produk
kertas dari Indonesia. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea mengajukan petisi
anti dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada KTC pada 30 September 2002.
Perusahaan Indonesia yang dikenakan tuduhan dumping salah satnya adalah PT Pabrik
Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Produk kertas Indonesia
yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, yang salah satunya tergolong
dalam kelompok uncoated paper. Selanjutnya, pada 9 Mei 2003, KTC mengenai untuk
produk produk kertas Indonesia Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dengan besaran yang
beragam untuk masing-masing Pabrik Kertas Indonesia tersebut.
Permintaan konsultasi Bilateral.
Indonesia memintakan Permintaan konsultasi bilateral (4 Juni 2004) atas perlakuan anti-
dumping terhadap produk kertas yang berasal dari industry Indonesia. Indonesia yang
menganggap Korea melakukan pelanggaran prosedur dan tuduhan yang memberatkan
tersebut direspon oleh Pemerintah Indonesia dengan memintakan konsultasi bilateral pada
4 Juni 2004 terhadap WTO atas tindakan Korea Selatan yang mengenakan BMAD
terhadap produk kertas Indonesia. Namun konsultasi bilateral yang dilakukan 7 Juli 2004
gagal mencapai kesepakatan.
Analisa Kasus
Pada dasarnya, ketentuan hukum dalam WTO tidak melarang adanya praktik dumping,
akan tetapi WTO mengizinkan bagi negara-negara anggota untuk mengambil suatu
tindakan dalam hal melindungi industri domestiknya apabila mengalami kerugian akibat
adanya praktik dumping. Tindakkan untuk mengantisipasi praktik dumping ini
diistilahkan sebagai tindakan anti-dumping (anti-dumping measurs). Berdasarkan Pasal 6
General Agreemenet on Tariffs and Trade dan Anti-Dumping Agreement, anggota WTO
dapat melakukan tindakan anti-duming apabila:
a. Adanya dumping
b. Mengalami atau baru adanya ancaman terjadinya cidera/kerugian materil industri
domestik yang memproduksi barang sejenis (like product)
c. Adanya hubungan sebab-akibat (causal link)
Artinya, WTO tidak mempermasalahkan praktik dumping dari negara eksportir terhadap
negara importir, namun praktik dumping itu harus tidak menimbulkan kerugian materil
baik terhadap industry yang sudah ada (to an established industry) atau menimbulkan
hambatan pada pendirian industry domestic (the establishment of domestic industry).
Secara lebih detail dalam Pasal 3.1 dan 3.5 Anti-Dumping Agreement menatakan bahwa,
adanya dugaan praktik dumping dapat dilihat dari penyelidikan atas volume impor dari
barang-barang imor yang diduga dumping tersebut, bagaimana implikasinya terhadap
harga pasar domestik atas barang sejenis, dan syarat pembuktian atas hubungan sebab
akibat atara impor barang yang diduga dumping dengan kerugian yang diderita oleh
industri domestik.
Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi negara-negara anggota WTO tersebut wajib untuk
ditaati, namun, ternyata Korea Selatan telah berlaku sewenang-wenang dan tidak
memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dalam mengenakan Bea Masuk Anti-
Dumping terhadap produk kertas Indonesia. Praktik anti-dumping yang dilakukan oleh
Korea Selatan juga diafirmasi oleh Panel bahwa hal tersebut bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang ada.
Korea Selatan akhirnya juga bersikap untuk menolak melaksanakan putusan. Meskipun
setelah dilaksanakan siding tingkat banding oleh Panel. Hal ini menuntut Indonesia untuk
bersikap melakukan retalisasi berupa pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping produk
serupa yang berasal dari Korea Selatan. Akan tetapi, Kementrian Perdagangan saat itu
enggan untuk melakukan retalisasi dikarenakan hubungan baik yang sudah terjalin antara
Indonesia dengan Korea Selatan dalam hal Perdaganan Internasional.
2. Tuna Dolphin Case
a. Tuna Dolphin I
Latar Belakang
Sejak tahun 1970-an telah terjadi sengketa dagang internasional antara Meksiko dan
Amerika Serikat.Gugatan terkait sengketa tersebut diajukan pada Komite
GATT.Kasus tersebut kemudian dikenal dengan kasus Tuna Dolphin I,Tuna Dolphin
II,dan US-Tuna II(Mexico).Gugatan yang diajukan terkait embargo yang dilakukan
Amerika Serikat terhadap tuna sirip kuning menggunakan pukat yang merugikan
beberapa negara seperti Meksiko,Venezuela,Vanuatu,Panama,dan Ekuador.Embargo
ini terjadi pada 28 Agustus 1990 atas perintah pengadilan di Amerika Serikat.
Pengajuan sengketa
b. Tuna Dolphin II
Latar Belakang
Amerika Serikat pada akhirnya bersedia mencabut pemberlakuan embargo atas
produk tuna sirip-kuning Meksiko setelah negara tersebut meratifikasi International
Dolphin Conservation Program (IDCP) serta bersedia memenuhi kewajiban mereka
berdasarkan perjanjian tersebut guna mengurangi angka kematian lumba-lumba dalam
proses penangkapan tuna mereka. Akan tetapi, embargo yang mereka kenakan
terhadap negara-negara penengah tetap diberlakukan. Hal inilah yang melatar
belakangi terjadinya kasus Tuna-Dolphin II antara Amerika Serikat dengan Negara
Komunitas Eropa (EC).
Pengajuan Sengketa
Negara Komunitas Eropa dan Belanda berpendapat bahwa embargo negara perantara
merupakan pembatasan "kuantitatif", dan dengan demikian, itu melanggar Pasal XI
GATT, yang jelas-jelas melarang penegakan larangan atau pembatasan selain "bea,
pajak" , atau biaya. " Sehubungan dengan Pasal III, mereka mengklaim bahwa
langkah-langkah embargo negara perantara tidak dapat dianggap sebagai "penegakan
pada saat atau titik impor suatu undang-undang, peraturan, atau persyaratan internal
yang berlaku sama untuk produk yang diimpor dan sejenisnya. produk dalam negeri. "
EEC dan Belanda berpendapat bahwa tindakan domestik hanya diterapkan untuk
membatasi kematian lumba-lumba insidental, tetapi tidak mengatur penjualan tuna;
sedangkan, dalam kasus negara-negara perantara, tindakan perbatasan langsung
melarang impor tuna jika mereka tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak, selama
enam bulan sebelumnya, mengimpor tuna yellowfin atau produk tuna yellowfin yang
dikenakan embargo negara primer.
Putusan Panel
c. US Tuna II
Latar Belakang
Appellate Body
Latar Belakang
Kasus ini bermula dengan dikeluarkannya the US Endangered Species Act yang
mensyaratkan semua kapal penangkap udang Amerika harus menggunakan jenis
jaring yang memungkinkan kura-kura dapat melepaskan diri kalau tertangkap dengan
jaring tersebut atau yang disebut turtle excluded devices.
Pada 1989, Amerika Serikat memperluas pemberlakuan ESA dengan memberlakukan
Section 609 of Public Law 101-162. 11 Section 609 ini memuat larangan impor
terhadap udang yang dipanen dengan menggunakan teknologi yang dapat merusak
habitat kura-kura. Namun secara lebih khusus Section 609 melarang impor udang
yang ditangkap menggunakan alat yang dapat mengakibatkan tertangkapnya kura-
kura laut atau jenis species lain yang dianggap langka. Amerika menerapkan embargo
(larangan) tersebut pada tahun 1996. India, Malaysia, Pakistan and Thailand merasa
dirugikan dengan larangan itu. Larangan impor udang yang tidak bersertifikat dari
negara anggota WTO merupakan pelanggaran terhadap aturan dalam Pasal I, XI, XIII
GATT 1994.
A. Proses pengajuan sengketa dan Argumen para pihak
Pada bulan Oktober 1996, India, Malaysia, Pakistan and Thailand meminta
konsultasi dengan Amerika Serikat atas permasalahan udang-penyu.
Pada 9 Januari 1997, Malaysia dan Thailand mengajukan permohonan
pembentukan panel dan pada 22 Januari 1997 ada pembahasan atas dibentuk panel
oleh DSB.
Kemudian pada 30 Januari 1997, Pakistan juga meminta pendirian panel. Baru
pada 25 Februari 1997 india meminta dibentuk panel oleh Dispute Settlement
Body. Dispute Settlement Body baru setuju untuk mendirikan panel pada 10 April
1997.
India, Malaysia, Pakistan and Thailand merasa dirugikan dengan larangan itu, karena
Amerika tidak memberikan tenggang waktu yang memadai untuk menyesuaikan
dengan ketentuan tersebut dan Amerika hanya mengadakan kesepakatan tentang
ketentuan tersebut dengan negara-negara yang dipilih saja yaitu dengan negara-negara
di Caribean. Larangan impor udang yang tidak bersertifikat dari negara anggota WTO
merupakan pelanggaran terhadap I, XI, XIII GATT.
Amerika berargumen bahwa larangan masuknya produk udang ke pasar Amerika
dengan alasan menggunakan ketentuan hukum nasionalnya guna memberikan
perlindungan pada kura-kura yang juga didasarkan pada Pasal XX (g). Dengan
landasan hukum bahwa kura-kura merupakan binatang langka sehingga masuk
kualifikasi sumber alam yang langka dan terancam punah sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Psal XX (g), sehingga larangan impor yang diterapkan dapat
dibenarkan.
Keputusan panel
Keputusan Panel dalam kasus Shrimp-Turtle menyatakan bahwa Section 609 of
Public Law 101-162 tidak konsisten dengan Pasal XI:1 GATT 1994, dan tidak dapat
dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT 1994. Menurut panel Amerika tidak
memenuhi persyaratan preamble Pasal XX. Menurut pendapat Panel tindakan sepihak
(unilateral measures) yang dilakukan Amerika dapat mengancam sistem perdagangan
internasional. Panel merekomendasikan bahwa Amerika Serikat harus menyesuaikan
tindakan yang tertuang dalam Section 609 sesuai dengan kewajiban yang tertuang
dalam kesepakatan WTO.
Appellate Body Report
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Panel, maka Appellate Body
berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat bukanlah merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal XX , karena apa yang dilakukan Amerika
Serikat untuk perlindungan lingkungan dan tidak membedakan antara kapal asing dan
kapal lokal, sehingga tindakan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai
pelanggaran Preamble yang menciptakan perlindungan terselubung terhadap produk
dalam negeri.
Appellate Body: (a) Membatalkan temuan Panel yang menerima informasi dari non
pemerintah yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam DSU, (b) Appellate Body juga
membatalkan temuan/keputusan Panel yang menyatakan bahwa tindakan Amerika
Serikat tidak dalam ruang lingkup tindakan yang diperbolehkan Pasal XX dan
pembukaannya.dan (c) Appellate Body berkesimpulan bahwa tindakan Amerika
Serikat gagal untuk memenuhi ketentuan dalam pembukaan Pasal XX sehingga tidak
memenuhi justifikasi Pasal XX GATT. Dengan demikian, Appellate Body
merekomendasikan kepada Amerika Serikat untuk melakukan penyesuaian tindakan
yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal XI dan Pasal XX GATT.
Analisa
Tindakan dari amerika tersebut termasuk kedalam process production methods yang
selanjutnya akan disebut PPMs. Metode proses produksi (process production methods
yang selanjutnya akan disebut PPMs) adalah salah satu peraturan yang dapat dibuat
oleh suatu negara untuk perlindungan lingkungan dan perlindungan kesehatan
manusia yaitu dengan cara menerapkan sebagaimana yang diatur dalam pasal XX
GATT. PPMs dapat berupa pemberian label yang memberikan informasi tentang
suatu produk baik kepada produsen maupun konsumen tentang dampak tersebut
kepada kesehatan dan bahkan terhadap lingkungan.2
Penerapan PPMs sebagai instrumen untuk perlindungan linkungan dan kesehatan
sering menimbulkan pro dan kontra dalam perdagangan internasional. Bahkan PPMs
sering digunakan sebagai proteksi terselubung oleh negara-negara maju dalam rangka
untuk melindungi kepentingannya dengan menciptakan hambatan non-tarif. Jika hal
ini yang terjadi maka akan sangat merugikan bagi negara lain, dan sangat potensial
untuk terjadinya persengketaan. Namun demikian, kalau PPMs ini dilaksanakan
sesuai dengan aturan yang berlaku maka apa yang menjadi tujuan pendirian WTO
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui perdagangan internasional
sebagaimana yang dimuat dalam preamble pendirian WTO akan dapat tercapai.
Penerapan PPMs dapat dilaksanakan berdasarkan kewajiban-kewajiban yang diatur
dalam GATT. Pasal 1 GATT memuat prinsip most favoured nation, berdasarkan
prinsip ini produk yang berasal dari suatu negara harus diperlakuakn sama dengan
produk yang berasal dari negara lainnya untuk klas produk yang serupa (like product).
Pasal III GATT mengatur tentang national treatment yang menyatakan bahwa harus
ada perlakuan yang sama antara produk lokal dan produk yang berasal dari negara
lain untuk produk yang serupa. Kemudian justifikasi penerapan PPMs didasarkan
Pasal XI GATT yang mengatur tentang larangan quota dan larangan masuknya
produk. Selain itu , penerapan PPMs dapat juga dibenarkan berdasarkan Pasal XX
GATT yang mengatur tentang pengecualian, dari ketentuan Pasal I, Pasal III dan
Pasal XI GATT.3
Penerapan PPMs oleh negara maju jangan sampai disalah gunakan, karena secara
potensi negara maju dapat menggunakan PPMs sebagai proteksi terselubung ataupun
merupakan “eco imperialism” (negara maju seolah-olah mendetekan kebijakan
lingkungannya kepada negara berkembang, karena negara berkembang hanya akan
dapat akses pasar ke negara maju kalau negara berkembang memenuhi persyaratan
yang sudah ditentukan oleh negara maju.
Dalam kasus Shrimp Turtle walaupun tujuannya adalah untuk perlindungan kura-kura
yang menurut hukum nasionalnya Amerika Serikat kura-kura yang dimaksudkan
merupakan binatang langka yang dilindungi. Dalam kasus ini Amerika serikat
menjustifikasi penerapan PPMs berdasarkan ketentuan Pasal XX (g) akan tetapi
menurut panel Amerika tidak memenuhi persyaratan preamble Pasal XX yang
merupakan persyaratan penerapan Pasal XX (g) dapat dibenarkan.
2
Archibald Catherine Jean, Winter, 2008, “ Forbidden by the WTO? Discrimination Against a Product When Its
Creation Causes Harm to the Environment or Animal Welfare” hal 15-16
3
Hawkins Slayde, Spring 2008, “Skirting Protectionism: A GHG-Based Trade Restriction Under the WTO , Geo.
Int’l Envtl. L. Rev., Vol, 20 hal 430-431
Pasal XX GATT merupakan ketentuan umum pengecualian yang meliputi sepuluh
hal, dua diantaranya yang relevan dengan kasus yang dibahas adalah Pasal XX (b) dan
(g) sebagai berikut :
“Subject to the requirement that such measures are not applied in amanner which
would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between
countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on
international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the
adoption or enforcement by any contracting party of measures: (b) necessary to
protect human, animal or plant life or health; (g) relating to the conservation of
exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with
restrictionson domestic production or consumption;
Namun demikian penggunaan pasal pengecualian ini juga harus sesuai dengan
preamble Pasal XX, bahwa penerapan Pasal XX (b) ataupun (g) tidak boleh
menciptakan ketentuan yang tidak adil, diskriminatif ataupun suatu ketentuan untuk
perlindungan terselubung (disguise protectionism) dalam perdagangan internasional.
Maksud dari Pasal XX (b) dan (g) cukup jelas bahwa sepanjamg PPMs itu digunakan
untuk perlindungan manusia, hewan, tumbuhan dan kesehatan serta untuk
perlindungan sumber alam yang langka maka diperbolehkan dan tidak bertentangan
dengan prinsip non-diskriminasi.
Oleh karena itu Amerika Serikat mengajukan banding ke Apellate Body dengan
landasan hukum bahwa kura-kura merupakan binatang langka sehingga masuk
kualifikasi sumber alam yang langka dan terancam punah sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Psal XX (g), sehingga larangan impor yang diterapkan dapat
dibenarkan. Berdasarkan Report yang dibuat Appelate Body menyatakan: “ bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Amerika serikat dengan mengeluarkan larangan impor
tersebut telah menciptakan ketidak adilan dan bersifat diskriminatif.”
Kesimpulan
Mekanisme penyelesaian sengketa GATT dan WTO ditinjau dari hukum ekonomi
internasional dapat dilakukan melalui 2 cara yakni non-yudisial dan yudisial. Non-
yudisial 9 meliputi negosiasi, mediasi, good efficer, konsiliasi sedangkan yudisial
dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau judicial settlement.
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian kaitannya dengan
perdagangan internasional pada intinya mengacu pada ketentuan pasal-pasal yang
terkait dalam GATT 1947, yang intinya adalah pertama tahap konsultasi yang
berupaya untuk menyelesaikan permasalahannya, kemudian tahap kedua yaitu
permintaan suatu panel. Diharapkan dengan tahap-tahapan tersebut akan tercapai
kesepakatan dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Kemudian,
dampak yang ditimbulkan dari ketentuan Pasal 22-23 GATT (penyelesaian
sengketa perdagangan internasional melalui WTO), adalah menciptakan
kebersamaan dan menghilangkan rasa kebencian, menyelesaikan sengketa dengan
cara musyawarah dan atau damai, agar kemajuan dan keharmonisan dalam
ekspor-impor semakin tercipta dan dapat di tingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional. PT. Radja Grafindo Persada: Jakarta, 2002
Archibald Catherine Jean, “ Forbidden by the WTO? Discrimination Against a Product When
Its Creation Causes Harm to the Environment or Animal Welfare”, Winter 2008
Hawkins Slayde, “Skirting Protectionism: A GHG-Based Trade Restriction Under the WTO ,
Geo. Int’l Envtl. L. Rev., Vol, 20, Spring 2008
www.wto.org