Anda di halaman 1dari 8

Nama : Mikhael K situmorang

NPM : 110110170208
Nama Dosen : Dr. Hj. Etty H. Djukardi, S.H., M.H., C.N.
Sridewi Anggraeni, S.H., M.H., C.N.
UTS HUKUM PERDATA

1. Sistem yang dianut dalam Buku II/Hukum Benda adalah sistem tertutup. Sistem tertutup
artinya orang tidak dapat mengadakan/membuat hak-hak kebendaan yang baru selain
yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak-hak kebendaan yang diakui itu
hanya hal-hak kebendaan yang sudah diatur oleh undang-undang. Kita tidak boleh
misalnya mengadakan hak milik baru yang tidak sama dengan hak milik yang sudah
diatur oleh undang-undang.
Berbeda dengan sistem yang dianut oleh hukum perikatan dalam buku III, yaitu
sistem terbuka. Sistem terbuka artinya setiap orang dapat bebas membuat perjanjian apa
saja selain apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sistem terbuka ini merupakan
cerminan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya” Jadi buku III/hukum perikatan menganut asas kebebasan berkontrak.

2. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan
sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan
perbuatan- perbuatan hukum tertentu.

Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk


melakukan perbuatan hukum adalah:

a. Orang- orang yang belum dewasa, Berdasarkan Pasal 330 KUH Perdata, orang
yang belum dewasa menurut hukum adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Namun menurut UU No. 1 Tahun
1974 Pasal 47 jo Keputusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1976 No. 477
K/Sip/76 seseorang yang belum dewasa adalah belum berumur 18 (delapan belas)
tahun.
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi
dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal
433 BW);
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU
Kepailitan).

Akibat hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap dapat dimintakan
pembatalan yang terdapat dalam pasal 1331 KUHPerdata.

3. Perbedaan antara Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Perkawinan


a. Mengenai akibat perjanjian perkawinan yang berkenaan dengan harta kekayaan,
terdapat perbedaan prinsipil antara ketentuan yang diatur dalamKitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Perkawinan. Dalam
KUHPer, jika sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami isteri tidak
membuat perjanjian kawin (tentang pembatasan atau peniadaan persatuanharta
kekayaan perkawinan), maka dalam perkawinan tersebut terjadi persatuan bulat
harta kekayaan perkawinan (Pasal 119 KUH Perdata).Persatuan bulat ini terjadi
demi hukum. Hal ini berarti bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan, maka
secara otomatis demi hukum harta kekayaan suami isteri menjadi milik bersama
suami isteri yang bersangkutan,tanpa diperlukan adanya penyerahan atau
perbuatan hukum lainnya. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antar suami-istri.

Sedangkan dalam Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang


diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan
masing-masing suami dan isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali
ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Selama perkawinan berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila suami isteri yang bersangkutan
sepakat untuk mengubahnya, tetapi dengan tidak merugikan pihak ketiga.

b. Mengenai kedudukan istri, ketentuan-ketentuan KUHPer yaitu pada pasal 108 dan
110 mengakibatkan berakhirnya pemberian kuasa yang diberikan seorang
perempuan sebelum dia menikah. Ini karena, menurut ketentaun-ketentuan
tersebut, seorang perempuan tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa
persetujuan dari suami, termasuk perbuatan hukum memberikan kuasa.

Sedangkan dalam No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU


Perkawinan”) kedudukan suami dan isteri dalam melakukan perbuatan hukum
adalah seimbang . hal ini terlihat pada Pasal 31 UU Perkawinan yaitu (1) Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami
adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

4. Droit de suite atau zaaksgevolg merupakan salah satu ciri hak kebendaan, yakni suatu hak
yang terus mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikuti bendanya di tangan
siapapun (het recht volgt de eigendom van de zaak). Hal tersebut dijelaskan oleh Frieda
Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata (Hak-Hak yang Memberi
Kenikmatan).
Hak kebendaan itu sendiri adalah suatu hak absolut, artinya hak yang melekat
pada suatu benda, memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat
dipertahankan terhadap tuntutan oleh setiap orang. Lebih lanjut Frieda menjelaskan
bahwa apabila di suatu hak kebendaan melekat hak kebendaan lain, jika kemudian hak
kebendaan pertama dipindahtangankan, maka hak kebendaan yang melekat di atasnya
akan tetap mengikutinya.
Dalam konteks hak tanggungan, maka ketentuannya adalah Pasal 7 Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah yang menyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada sehingga hak tanggungan tidak
akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu beralih ke pihak lain oleh sebab apa
pun juga.
Contohnya adalah misalnya A mempunyai hak memungut hasil dari tanah hak
milik B. Ternyata kemudian B jatuh pailit. Dalam kasus ini, walaupun B jatuh pailit,
tetapi sebagai akibat sifat absolut dan droit de suite yang terkandung dalam hak
kebendaan, maka hak memungut hasil yang dimiliki A tetap ada karena tidak ikut pailit.
Dengan demikian, A sepenuhnya tetap dapat mempertahankan haknya.

5. Benda yang diperdagangkan


Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan obyek (pokok)
suatu perjanjian. Jadi, semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian di lapangan
harta kekayaan termasuk benda yang diperdagangkan.
Contohnya adalah rumah, kendaraan, dan barang

Benda yang tidak diperdagangkan

Benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan
obyek (pokok) suatu perjanjian di lapangan harta kekayaan; biasanya benda-benda yang
dipergunakan untuk kepentingan umum. Contoh dari benda yang tidak diperdagangkan
adalah jalan raya dan benda- benda milik umum (publik) yang tidak dapat dijadikan
obyek perjanjian di lapangan harta kekayaan.

6. Soal kasus
a. Dalam hal Tuan X membeli sebidang tanah, maka dalam perisitiwa tersebut
terjadi perjanjian jual- beli dan adanya peralihan hak milik. Perbuatan hukum ini
sendiri disebut juridische levering yaitu perbuatan hukum bertujuan memindahkan
hak milik kepada orang lain. Penyerahan hak milik atas benda tidak bergerak
sendiri , tidak cukup dilakukan dengan penyerahan kekuasaan belaka atas benda
itu, tetapi juga harus dibuat suatu surat penyerahan. Aturan mengenai perbuatan
hukum ini sendiri diatur dalam UUPA.
Dalam hal Tuan X juga menyewa sebidang tanah lain, perbuatan hukum
yang terjadi adalah sewa menyewa yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada
pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi oleh pihak tersebut. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang,
baik yang tetap maupun yang bergerak. Dengan adanya peristiwa maka Tuan X
memperoleh hak pakai atas tanah tersebut.
b. Perbedaanya adalah atas sebidang tanah yang dibelinya maka ia memperoleh hak
milik sedangkan atas sebidang tanah yang di sewanya ia hanya memperoleh hak
pakai. Perbedaanya sendiri adalah Orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu
benda dapat menikmati kegunaannya dengan sepenuhnya dan dapat berbuat
sebebas- bebasnya atas benda itu. Artinya, pemilik tanah yaitu Tuan X dapat
menjual, menyewakan, menggadaikan, menukarkan, memberikan bahkan
menghancurkan benda yang dimilikinya, asal tidak melanggar undang-undang
dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak- hak orang lain.
Sedangkan terhadap tanah yang disewanya Tuan X memiliki hak
menerima barang yang disewakan dalam keadaan baik dan memakainya,
sedangkan kewajibannya adalah sebagai berikut (perhatikan Pasal 1560-1566
KUHPerdata) : Membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan,
Mengganti kerugian apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh penyewa
sendiri, Mengembalikan tanah yang disewa dalam keadaan semua ketika
perjanjian sewa menyewa tersebut telah habis waktunya, dan tidak boleh
menyewakan lagi barang sewaannya kepada orang lain. Apabila telah ditentukan
demikian, dan ketentuan tersebut dilanggar, maka perjanjian dapat dibubarkan
dan penyewa dapat dituntut mengganti perongkosan, kerugian, serta bunga.

7. Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir
apabila mati atau meningal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban
dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut:
(1) "Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya".
(2) "Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada".
Maka Syarat Anak yang ada dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum
adalah
a. Dilahirkan hidup
b. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta atau peristiwa
terjadi.
Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Dalam Pasal 638 BW
ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat
pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris
kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia.

Akan tetapi, dengan adanya Pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam
kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini
menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan
mati, maka ia dianggap sebagai tidak pernah telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir
hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan, maka ia ketika dalam kandungan
dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni
pendukung hak.

8. Tempat tinggal atau domisili seseorang yang belum dewasa terikat/bergantung kepada
hubungannya dengan pihak lain yaitu orang tuanya/walinya. Maka tempat tinggal orang
yang belum dewasa adalah tempat tinggal dimana orang tuanya/walinya berdomisili.
Tempat tinggal orang yang belum dewasa ini sendiri digolongkan kedalam
Tempat tinggal yang tidak bebas atau tempat tinggal wajib, yakni tempat tinggal yang
terikat/bergantung kepada hubungannya dengan pihak lain. Sama halnya seperti tempat
tinggal orang yang berada di bawah pengampuan di rumah pengampunya; buruh
mempunyai tempat tinggal di rumah majikannya jika mereka tinggal bersama
majikannya.

9. Harta kekayaan suami istri sendiri diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatur.
Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri, serta
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Untuk
menentukan dijadikan harta bersama, suami isteri dapat mengadakan "perjanjian
perkawinan" yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan tersebut
tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila suami isteri yang
bersangkutan sepakat untuk mengubahnya, tetapi dengan tidak merugikan pihak ketiga,
terdapat dalam pasal 29.
Dalam hal harta bersama, suami maupun isteri dapat mempergunakannya dengan
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta bawaannya masingmasing
tanpa perlu persetujuan dari pihak lain, ketentuan ini terdapat pada pasal 36. Adanya hak
suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan
kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing
berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31). Dalam beberapa hal tertentu,
persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai persetujuan diam-diam.
Misalnya dalam hal mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari.
Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditentukan, apabila
perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang
dimaksud dengan "hukumnva" masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum- hukum lainnya. Jadi, dalam hal ini Undang-undang Perkawinan tidak
memberikan pengaturan tersendiri, melainkan menunjuk kepada hukum agama, hukum
adat dan hukum-hukum lain yang berlaku bagi suami isteri yang bersangkutan. Sehingga
dengan demikian pengaturannya seperti keadaan semula sebelum Undang-undang
Perkawinan.

10. Hak kebendaan itu bersifat mutlak (absolut) yang berarti bahwa hak seseorang atas benda
itu dapat dipertahankan (balaku) terhadap siapapun juga, dan setiap orang siapapun juga
harus menghormatinya. Jadi, setiap orang tidak boleh mengganggu atau merintangi
penggunaan dan penguasaan hak itu. Karena itu, pada zakelijk recht ini tetap ada
hubungan yang langsung antara orang yang berhak dengan benda, bagaimanapun juga
ada campur tangan pihak lain.
Perbedaan hak absolut ini dengan hak relative adalah hak ini dapat dipertahankan
terhadap setiap orang, sedangkan hak bersifat relatif (nisbi) yang berarti bahwa hak itu
hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan hukum.

Contohnya adalah dengan terjadinya jual beli, maka timbul hak perorangan (hak
relatif) atas penyerahan barang tersebut, dan dengan diserahkannya barang tersebut, maka
timbullah hak milik sebagai hak kebendaan (hak absolut). Hak kebendaan mempunyai
sifat "droit de suite" sedangkan hak perorangan tidak.

Anda mungkin juga menyukai