Anda di halaman 1dari 25

PORTOFOLIO STASE PENYAKIT JARANG/ KHUSUS, FEBRUARI 2022

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : By. Ny SM
Umur : 18 Hari
Diagnosis : Hernia Difragmatica
Operasi : Laparotomy repair defect hernia
DPJP Anestesi : dr. Mujahidin, SpAn KAKV
DPJP Bedah : dr. Muntadhar, SpBA
Tanggal Operasi : 9 Februari 2022

Anamnesis
Pasien dengan rujukan dari RS daerah dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas dirasakan 1
minggu sebelum masuk RS, sesak terus menerus, batuk (-), demam (-), riwayat kebiruan (+) 1
hari setelah lahir , Riwayat kejang (-), pilek (-), riwayat tersedak saat minum susu (-), alergi (-),
bayi lahir cukup bulan dengan SC di daerah.

Pemeriksaan Fisik
A: clear terintubasi
B: on ventilator, mode SIMV, RR 45 x/mnt, Fi O2 80 %, VT 13,8 ml, SpO2 98-100 %, ves +/+,
rh -/-, wh -/-
C: HR 137 x/mnt, murmur (-), gallop (-)
D: GCS : On sedasi
Pemeriksaan Penunjang
DPL 15,2/42/9400/169000
GDS :
Pt/K/INR :
APTT/K:
Ur/Cr : 22/0,30
Na/K/Cl : 141/4,1/94
SGOT/PT : 42/17
Albumin : 4,5

ASA III
- Respiratory distress ec hernia diafragmatica, saat ini terintubasi On ventilator, Mode SIMV,
RR 45x/i, FiO2 80%, VT 13,8 ml, PEEP 5, SpO2 99%, ves(+/+) rh(-/-) wh (-/-), retraksi dinding
dada (-)
- Neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa ASI 4 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan post operasi ke NICU

Rencana anestesi
 General Anestesi
 Monitoring intraoperasi EKG, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kiri no 24 G
yang disambungkan cairan D 10 %, dipasang alat monitor EKG, pulse oxymetri dan
Sensor EtCO2.
 Hemodinamik pra anestesi, frekuensi nadi 150 x/menit, frekuensi napas 40x/menit, suhu
36.8, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.15 dilakukan pemberian ko-induksi fentanyl 5 microgram dan induksi
menggunakan Sevoflurane 4 vol % tirtrasi, serta diberikan muscle relaxan Atracurium 2
mg
 Pasien sudah terintubasi dengan ETT no 3,0 jenis standard cuff murphy eye, evaluasi
kedalaman ETT.
 Setelah dipastikan posisi dan kedalaman ETT baik, ventilasi dengan bagging
 Maintenance menggunakan gas Sevoflurane 2,5-3,5 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi dan intubasi ETT, frekuensi nadi 140x/menit, dan saturasi
O2 99%. Pasien diberikan penghangat, suhu dijaga tetap dalam range normal.
 Pukul 08.30 dilakukan insisi
 Intra operatif Frekuensi nadi berkisar di 120-130x/menit, dengan Saturasi oksigen 98-
100 mmHg, dan Nilai EtCO2 30-38mmHg.
 Pukul 14.30 operasi selesai. dengan frekuensi nadi 120x per menit, saturasi O2 99%,
EtCO2 34mmHg
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 30mg intra vena

Lama pembiusan : 4 jam 30 menit


Lama operasi : 4 jam
Total cairan masuk : 130 cc kristaloid, darah 50 cc
Perdarahan : 80 cc

PEMBAHASAN

Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu
lubang pada diafragma. Diafragma adalah sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut.
Diketahui bahwa. terdapat tiga tipe hernia hiatus esofagus yakni hernia sliding, hernia
paraesofagus, dan hernia kombinasi atau campuran.
Gangguan fusi bagian sternal dan kostal diafragma di garis median mengakibatkan defek
yang disebut foramen Morgagni. Tempat ini dapat menjadi lokasi hernia retrosternal yang
disebut juga hernia parastemalis. Jika penutupan diafragma tidak terganggu, foramen Morgagni
dilalui oleh arteri mammaria interna dengan cabangnya, arteri epigastrika superior.
Hernia diafragmatika kongenital (congenital diaphragmatic hernia/CDH) adalah defek
yang berkembang di dalam diafragma yang menyebabkan viscera abdominal mengalami herniasi
ke dalam dada selama perkembangan paru (ketika arteri pulmonal dan bronkus mengalami
percabangan).
Tiga tipe dasar HD kongenital yaitu hernia Bochdalek posterolateral, hernia Morgagni
anterior dan hernia hiatal atau paraesofagus. Hernia Bochdalek sisi kiri memiliki kasus paling
banyak yaitu 90%, hernia hiatal sekitar 15-20% kasus dan hernia Morgagni yang paling sedikit
yaitu kirakira 2% dari semua kasus, hernia ini timbul melalui garis tengah anterior melalui hiatus
sternocostal dari diafragma, 90% timbul pada sisi kanan.

Permasalahan pasien dengan hernia diafragmatika bagi anestesi adalah efek massa dari
viscera intra thorakal yang menyebabkan terganggunya kardiovaskular dengan kompresi
langsung pada jantung dan pergeseran mediastinal, sehingga dapat menimbulkan tertekuknya
vena cava dan vena pulmonal, terganggunya venous return ke jantung dan menyebabkan
penurunan cardiac output sehingga perlu akses intravena dengan abocarth besar untuk resusitasi
cairan. Monitoring invasif dengan artery line dan tekanan vena sentral seharusnya
dipertimbangkan. Permasalahan yang lain adalah pasien memiliki resiko tinggi terjadinya
aspirasi karena obstruksi gastrointestinal, hipoplasia pulmonal serta hipoksemia yang memicu
timbulnya hipertensi pulmonal persistent dan gagal transisi normal dari fungsi sirkulasi fetus ke
dewasa. Tekanan di dalam sisi kanan jantung tetap tinggi dan shunting kanan ke kiri berlanjut
melalui duktus arteriousus yang mana juga gagal untuk menutup. Shunting kanan ke kiri
tambahan dapat terjadi melalui foramen ovale patent atau defek septum ventricular.

Hernia diafragmatika memiliki angka mortalitas yang tinggi. Derajat hipoplasia pulmonal
dan kelainan kongenital yang menyertai adalah prediktor kelangsungan hidup bayi. Hal ini juga
mempengaruhi perkembangan paru restriktif kronik. Diagnosis antenatal awal dengan
manajemen perioperasi yang tepat adalah hal utama yang menentukan prognosis yang baik pada
pasien. Nitrous oxide (N2O) seharusnya dihindari karena akan berdifusi ke dalam viscera dan
meningkatkan kompresi paru.

Permasalahan yang mungkin muncul pada pasien dengan hernia diafragmatika adalah :
distress respirasi yang berhubungan dengan hipoplasia parenkim paru, hipoksemia, hiperkarbia,
asidemia, asidosis metabolik, hipertensi pulmonal, shunting kanan ke kiri, malrotasi (dapat
terjadi pada > 50% sampai 100% pasien) serta pertimbangan umum pada neonatus yaitu
terjadinya hipoglikemia dan hipotermi. Operasi emergensi adalah pendekatan standard hernia
diafragmatika selama tahun 1980 karena dipercaya bahwa reduksi hernia akan meningkatkan
status respirasi, membiarkan paru untuk mengembang kembali. Dengan penemuan bahwa paru
adalah hipoplastik, bukan atelektasis dan terjadi gangguan arteriolar muskularisasi yang
menyebabkan hipertensi pulmonal maka penundaan operasi mulai diperkenalkan. Miyaska dkk
(1984) pertama kali melaporkan infant yang mengalami penundaan repair hernia diafragmatika
selama 24 jam berdasarkan rasionalitas bahwa resiko hipertensi pulmonal telah diturunkan. Pada
tahun 1986, Cartlidge dkk menyimpulkan bahwa stabilisasi preoperasi pada 17 pasiennya adalah
beralasan untuk menurunkan mortalitas dari 88% menjadi 47%. Sakai dkk (1987) menyatakan
bahwa compliance paru masih terganggu setelah repair.

Namun begitu, perbaikan segera dari hernia diafragmatika juga perlu dilakukan. Kerugian
dari operasi awal adalah stress operasi yang ditambahkan pada pasien hernia diafragmatika yang
belum stabil akan mempresipitasi atau memperberat hipertensi pulmonal. Sehingga disarankan
bahwa operasi penundaan dengan periode stabilisasi dapat menguntungkan karena menurunkan
resiko hipertensi pulmonal. Shonbogue dkk melaporkan bahwa angka harapan hidup pada
neonatus yang sakit kritis dengan prediksi kematian 100% menjadi 58% ketika digunakan
ECMO. ECMO meningkatkan angka harapan hidup dengan mengistirahatkan paru dan
kemungkinan menurunkan resiko hipertensi pulmonal. Shonbogue dkk melaporkan bahwa
harapan hidup meningkat dari 12,5% setelah operasi awal (dilakukan sesegera mungkin setelah
kelahiran) menjadi 52,9% setelah stabilisasi 4-16 jam sebelum operasi. Periode stabilisasi yang
relatif singkat mungkin tidak adekuat pada pasien yang secara hemodinamik labil dan hal ini
sulit untuk menerangkan efek dari perbaikan angka harapan hidup. Langer dkk (1988)
melaporkan61 neonatus dari Toronto dan menemukan mortalitas 58% pada operasi awal (n=31)
dan 50% pada operasi yang ditunda (n=30). Dari hasil ini mereka menyimpulkan bahwa repair
hernia diafragmatika seharusnya dilakukan hanya ketika pasien cukup stabil. Evaluasi terus
menerus dari stabilisasi preoperasi dan operasi penundaan dapat membawa peningkatan di dalam
harapan hidup dan juga menghindari operasi yang tidak memiliki harapan hidup.

Manajemen intraoperasi harus menjamin pertukaran gas yang adekuat, monitoring dan
penggantian elektrolit yang tepat, pencegahan aspirasi dan kontrol nyeri perioperasi. Premedikasi
yang sering diberikan adalah preemptive analgesia seperti opioid (biasanya fentanyl).
Premedikasi yang hampir selalu diberikan adalah sulfas atropine. Tujuan utamanya adalah untuk
menghindari terjadinya bradikardi karena depresi zat-zat anestesi. Dosis atropine yang digunakan
adalah 0.02 mg/kgBB dengan dosis minimal 0.1 mg dan dosis maksimal 0.5 mg.
Pada saat induksi, perhatian utamanya adalah kemungkinan lambung penuh, sehingga
perlu dilakukan pemasangan serta aspirasi oroogastric tube (OGT) sebelum induksi. Jika infant
belum terintubasi, lakukan rapid sequence induction (RSI) atau awake intubation (pada prediksi
kesulitan intubasi) tanpa ventilasi bag dan mask untuk mencegah overdistensi perut dan herniasi
melewati midline. Pasien ini sudah terpasang ET dan OGT, sehingga sebelum dilakukan induksi
dilakukan aspirasi isi lambung, dilanjutkan induksi dengan inhalasi. Anestesi pada bayi baru
lahir dengan hernia diafragmatika, sangat dianjurkan dengan anestesi umum inhalasi dengan
nafas kendali. Pemeliharaan selama anestesi dipakai O2 dengan kombinasi halotan, isofl uran
atau sevofl uran. Nitrous oksida sebaiknya dihindari untuk mencegah difusi ke dalam lumen usus
sehingga pengembangan usus intra thorax dan intra abdomen dapat dicegah. Pada sebagian besar
kasus, kombinasi pelumpuh otot dan oksigen-opioid akan menjadi optimal. Obat anestesi yang
dapat mendepresi miokard sebaiknya dihindari sampai dada terdekompresi.

Selama pemeliharaan, dilakukan kontrol terhadap arterial carbon dioxide tension


(PaCO2) dengan menggunakan pelumpuh otot (biasanya atracurium maupun pelumpuh otot non
depolarisasi lainnya). Atracurium lebih umum digunakan pada neonatus. Dosis yang dipakai 0,5
mg/kgBB dengan durasi sekitar 25 menit. Untuk dosis kontinyu dipakai 400 σg/kgBB/jam (25%
dibawah dosis anak-anak). Obat-obat lainnya seperti rocuronium, vecuronium, mivacurium, dan
sebagainya belum ada laporan tentang penggunaannya pada neonatus. Mengontrol ventilasi dan
oksigenasi dengan hati-hati untuk mencegah peningkatan tekanan arteri pulmonal yang tiba-tiba
(PaCO2 dipertahankan di bawah 40 mm Hg and PaO2 di atas 100 mm Hg), dalam hal ini pulse
oximetry membantu dalam diagnosis episode hipoksemia subklinis. Pada infant mudah terjadi
kehilangan panas bila berada pada lingkungan yang dingin karena luas permukaan tubuh yang
relatif lebih besar dan kurangnya lemak subkutan yang berfungsi sebagai penahan panas.
Kehilangan panas dari permukaan tubuh dapat diminimalkan dengan peningkatan suhu kamar
operasi, penggunaan selimut penghangat, menghangatkan dan melembabkan gas anestesi.
Setelah pembedahan selesai, bersihkan lendir dalam rongga hidung dan mulut. Hentikan
obat anestesi dan berikan oksigen 100% selama 5-15menit. Paska operasi pasien ditransport ke
NICU dalam keadaan terintubasi dengan monitoring ketat serta tersedia peralatan dan obat
resusitasi. Pasien tetap terintubasi dan tetap diberikan support ventilasi sampai pengembangan
paru membaik dan tidak didapatkan pneumothorak.

Gejala Hernia Diafragmatika

Masalah pernapasan yang berat dapat terjadi segera setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan
karena adanya organ pencernaan yang masuk mendesak pada rongga dada.
Organ tersebut dapat menghalangi paru-paru untuk berkembang. Beberapa gejala lainnya dapat
timbul sebagai berikut :
 Kebiruan pada kulit karena kekurangan oksigen.
 Denyut jantung yang cepat.
 Laju pernapasan yang cepat.

Penyebab Hernia Diafragmatika

Penyebab pasti dari hernia diafragmatika sampai saat ini masih belum diketahui, peneliti
meyakini bahwa hernia diafragmatika disebabkan oleh kelainan gen.
Pada neonatus hernia ini disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma. Seperti
diketahui diafragma dibentuk dari 3 unsur yaitu membran pleuroperitonei, septum transversum
dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari otot-otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu
dapat berupa kegagalan pembentukan sebagian diafragma, gangguan fusi ketiga unsur dan
gangguan pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi akan terjadi lubanghernia,
sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan
menimbulkan eventerasi. Janin tumbuh di uterus ibu sebelum lahir, berbagai sistem organ
berkembang dan matur. Diafragma berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu
kehamilan. Esofagus (saluran yang menghubungkan tenggorokan ke abdomen), abdomen, dan
usus juga berkembang pada minggu itu.Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang
secara tidak wajar atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat diafragma
berkembang. Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya berkembang di tengah diafragma
tidak berkembang secara wajar. Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran
pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi karena berbagai faktor, yang
berarti “banyak faktor” baik faktor genetik maupun lingkungan. 
Pada Hernia kongenital gangguan difusi bagian sentral dan bagian kostal diafragma di
garis median mengakibatkan defek yang disebut foramen Morgagni. Tempat ini dapat menjadi
lokasi hernia retrosternal yang disebut juga hernia parasternalis. Jika penutupan diafragma tidak
terganggu, foramen morgagni dilalui oleh A. Mammaria interna dengan cabangnya A.epigastrika
superior. Gangguan penutupan diafragma di sebelah posterolateral meninggalkan foramen
Bochdalek yang akan menjadi lokasi hernia pleuroperitoneal.
Ruptur diafragma traumatik dapat terjadi karena cedera tajam atau cedera tumpul. Hernia
karena trauma tumpul kebanyakan terjadi di bagian tendineus kiri karena di sebelah kanan
dilindungi oleh hati. Visera seperti lambung dapat masuk ke dalam toraks segera setelah trauma
atau berangsur-angsur dalam waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun. 
Salah satu penyebab terjadinya hernia diafragma adalah trauma pada abdomen, baik
trauma penetrasi maupun trauma tumpul abdomen., baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Mekanisme dari cedera dapat berupa cedera penetrasi langsung pada diafragma atau yang paling
sering akibat trauma tumpul abdomen. Pada trauma tumpul abdomen, penyebab paling sering
adalah akibat kecelakaan sepeda motor. Hal ini menyebabkan terjadi penigkatan tekanan
intraabdominal yang dilanjutkan dengan adanya ruptur pada otot-otot diafragma.
Tekanan dalam perut yang meningkat dapat disebabkan oleh batuk yang kronik, susah
buang air besar, adanya pembesaran prostat pada pria, serta orang yang sering mengangkut
barang-barang berat. Penyakit hernia akan meningkat sesuai dengan penambahan umur. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh melemahnya jaringan penyangga usus atau karena adanya
penyakit yang menyebabkan tekanan di dalam perut meningkat.

Diagnosis Hernia Diafragmatika

Diagnosis hernia diafragmatika dapat dilakukan dengan uji penapisan sebelum persalinan
untuk melihat ada tidaknya kelainan genetik pada bayi. Dokter dapat melakukan diagnosis hernia
diafragmatika sebelum persalinan dengan menggunakan pencitraan USG saat kehamilan.

Secara klinis hernia diafragmatika akan menyebabkan gangguan kardiopulmoner karena


terjadi penekanan paru dan terdorongnya mediastinum ke arah kontralateral. Pemeriksaan fisik
didapatikan gerakan pernafasan yang tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang, suara
pernafasan menghilang dan mungkin terdengar bising usus pada hemitoraks yang mengalami
trauma. Walaupun hernia morgagni merupakan kelainan kongenital, hernia ini jarang bergejala
sebelum usia dewasa. Sebaliknya hernia Bockdalek menyebabkan gangguan nafas segera setelah
lahir sehingga memerlukan pembedahan darurat. Anak sesak terutama kalau tidur datar, dada
tampak menonjol, tetapi gerakan nafas tidak nyata. Perut kempis dan menunjukkkan gambaran
scapoid. Pulsasi apek jantung bergeser sehingga kadang-kadang terletak di hemithoraks kanan.
Bila anak didudukan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang. Lambung, usus dan
bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika hernianya besar, biasanya paru-paru pada
sisi hernia tidak berkembang secarasempurna.Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas
sehingga usus segeraterisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung sehingga
menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat pernafasan. 1-3,5
Keluhan yang sering diajukan ialah:
Nyeri epigastrium. Perasaan nyeri tersebut kadang-kadang menjalar ke punggung, diantara dua
scapula. Rasa nyeri dapat terjadi setelah makan dan tempatnya yang sering terjadi  pada
retrosternal atau epigastrium. 
Timbul regurgitasi, terutama pada dinding hernia lebih sering terjadi. Mual dan muntah, bahkan
kadang-kadang sampai timbul perdarahan. Sering penderita meras puas bila stelah muntah.
Kemudian ada seperti perasaan tertekan di mediastinal (mediastinal pressure), yang mungkin
menyebabkan bertambahnya dyspnoe, palpitasi atau batuk-batuk, adanya iritasi diafragma,
yang mungkin menyebabkan spasme.
Pada hernia diafragma traumatika gambaran klinis yang sering muncul seperti tergantung
dari mekanisme injuri (trauma tumpul/trauma tajam) dan adannya trauma penyerta di tempat
lain. Pada beberapa kasus keterlambatan dalam mendiagnosis ruptur diafragma disebabkan oleh
tidak adanya gejala atau keluhan yang muncul pada saat trauma seperti herniasi atau prolap
organ intra abdominal ke rongga thorak meskipun telah terjadi ruptur diafragma. 
Beberapa pasien timbul gejala-gejala yang disebabkan herniasi organ intra abdomen
sehingga terjadi obstruksi, strangulasi atau perforasi.
Gejala dan tanda awal yang dapat ditemukan
 distress napas,
 menurunnya suara napas pada sisi yang terkena,
 ditemukannya suara usus di dinding dada,
 gerakan paradoksal saat bernapas,
 kemungkinan timbulnya nyeri pada abdomen yang tidak khas,
 terabanya organ intra abdomen melalui lubang chest tube.
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai trauma lain, trauma
thorak dan abdomen, dibawa ini merupakan organ-organ yangpaling sering terkena bersamaan
dengan ruptur diafragma:
 fraktur pelvis 40%,
 ruptur lien 25%,
 ruptur hepar,
 ruptur aorta pars thorakalis 5-I0%. Pada suatu penelitian retrospektif hubungan
yang unik antara kejadian ruptur diafragma dan ruptur aorta thorakalis. I,8% pasien
dengan trauma abdomen terjadi ruptur diafragma, I,I% terjadi ruptur aorta
thorakalis dan I0,I% terjadi keduanya.
Beberapa ahli membagi ruptur diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi:
·           Early diagnosis
o   Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hampir 50% pasien ruptur diafragma tidak
terdiagnosis dalam 24 jam pertama
o   Gejala yang muncul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
o   Pemeriksaan fisik yang mendukung: adanya suara bising usus di dinding thorak dan perkusi yang
redup di dinding thorak yang terkena.
·           Delayed diagnosis
o    Bila tidak terdiagnosis dalam 4 jam pertama, biasanya akan terdiagnosa akan muncul beberapa
bulan bahkan tahun kemudian. 11
Grimes membanginya dalam 3 fase, yaitu:
 fase akut, sesaat setelah trauma
 fase laten, tidak terdiagnosis pada awal trauma biasanya asimptomatik namun setelah
sekian lama baru muncul herniasi dan segala komplikasinya
 fase obstruktif, ditandai dengan viseral herniasi, obstruksi, strangulasi bahkan ruptur
gaster atau kolon. Bila herniasi menimbulkan gejala kompresi paru yang nyata dapat
menyebabkan tension pneumothorak, kardiak tamponade.

Pencegahan Hernia Diafragmatika

Tidak diketahui pencegahan spesifik untuk mencegah hernia diafragmatika. Keluarga dengan
riwayat hernia diafragmatika disarankan untuk mendapatkan konseling genetik sebelum
merencanakan kehamilan.

Pengobatan Hernia Diafragmatika

Tindakan bedah untuk hernia diafragmatika dibutuhkan segera setelah bayi lahir. Hal ini karena
organ-organ pencernaan yang masuk ke rongga dada dapat menyebabkan gangguan sistem
pernapasan yang berbahaya bagi bayi.
Setelah tindakan operasi, bayi masih membutuhkan bantuan dalam bernafas sampai sistem
pernapasan bayi kembali normal dan paru-paru berkembang sempurna.

PROGNOSA
Prognosis dari hernia diafragma traumatika ini tergantung dari kecepatan dalam
mendiagnosis dan pemilihan terapi yang tepat. Prognosis akan menjadi lebih buruk bila
didapatkan tanda-tanda shock hemoragik pada saat pasien datang dan didapatkan trauma skor
yang tidak baik.
PORTOFOLIO STASE PENYAKIT JARANG/ KHUSUS, FEBRUARI 2022

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Ny. CJ
Umur : 36 tahun
Diagnosis : Appendicitis Chronic + Obese Morbit + Hipertensi
Operasi : Apendectomy
DPJP Anestesi : dr. Eka Adhiany Sp.An
DPJP Bedah : dr.M. Yusuf, Sp.B(k)BD
Tanggal Operasi : 18 Februari 2022

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut bagian kanan bawah hilang timbul
sejak 6 bulan ini., Pasien belum pernah menjalani operasi. Alergi obat dan makanan disangkal.
Riwayat hipertensi (+), DM (-), asma (-), sakit jantung dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit
penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini
pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 150/90 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 82 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut
Frekuensi napas: 14 x/menit tiga jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,9⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
wheezing maupun ronkhi Oedema Tidak ada
Abdomen: soepel, bising usus (+)

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 10 Februari 2022
HB 12,4 Ht 39 Leuko 8400
Thrombo 304.000
CT/BT 8/2
GDP 108
Ur 2215 Cr 0,6 OT 24 PT 19
Na/K/Cl 145/4,3/106
CXR :
Tidak tampak kelainan radiologis pada paru dan jantung

Kesan
ASA III
- Hipertensi stage 1, TD 150/90 mmhg, METs 5, klinis nyeri dada (-), Murmur (-), Gallop
(-), sesak nafas (-), EKG SR, HR 72x/I, CXR : Cardiomegali (-) Th/ Amlodipin 1x10mg

- Obese Morbid, BMI 53kg/m3, STOP BANG SCORE 5 High Risk Of OSA

- Kemungkinan Sulit Intubasi karna leher pendek


Instruksi pra operasi
- Informed consent
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi Ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP dan SpO2

Intra operatif
 Pukul 11.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringerfundin, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
saturasi,
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 155/80 mmHg, frekuensi nadi 72 x/menit, frekuensi
napas 14x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pasien kemudian diberikan midazolam 3 mg intravena.
 Pukul 11.15 dilakukan ko-induksi dengan fentanyl 150 microgram dan propofol 150 mg
tirtrasi
 Dilakukan Intubasi ETT Jenis non kingking, No. 7, dievaluasi kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 400
cc, RR 14 x/menit, tanpa PEEP 4
 Maintenance menggunakan gas Sevoflurane 2 volume%.
 Pemberian catapres 150 mcg, untuk menurunkan tekanan darah
 Pemberian anti emetic untuk pencegahan PONV deksamethasone 5 mg IV.
 Hemodinamik setelah induksi Intubasi, TD 120/78 mmHg, frekuensi nadi 78x/menit, dan
saturasi O2 99%.
 Pukul 11.30 dilakukan insisi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 110-130 mmHg, dengan diastolik 70-80
mmHg. Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 14.45 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 118/70 dengan frekuensi
nadi 70x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram IV
 Anti emetic untuk PONV diberikan ondansetron 4 mg
 Setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
sadar penuh. Setelah ekstubasi pernapasan 16 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi
O2 dapat dipertahankan di 99%. Pasien dapat mengikuti perintah
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 3 Jam 15 menit


Lama operasi : 3 Jam 50 menit
Total cairan masuk : 1500 cc kristaloid
Perdarahan minimal, urin 300cc.

PEMBAHASAN

OBESITAS
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan metabolisme
energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat
berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan.

Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri
dari resistensi insulin / hiperinsulinemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis,
hiperfibrinogenemia dan hipertensi.
Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai penggantinya
dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat
badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan langkah awal
dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa
lemak tubuh. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat
badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT
menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. Disamping IMT,
menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung untuk menilai adanya
obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9 kg/m2.

MANAJEMEN ANESTESIA PADA PENDERITA OBESITAS 


Pre-operasi
Obat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus dipertimbangkan dengan
baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi napas pada pasien obesitas, maka obat
obatan jenis ini sebaiknya dihindari. Obat-obatan yang dimasukan dengan cara injeksi intra-
muskular dan sub-kutan juga sebaiknya tidak digunakan karena absorbsinya yang tidak dapat
diprediksi. Jika akan dilakukan intubasi sadar dengan serat optik, maka pasien harus diberikan
antisialogogue. Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang tinggi,
maka seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis berupa kombinasi H2
blocker (ranitidin 150mg per oral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg per oral) 12 jam dan 2
jam sebelum pembedahan. Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan regimen insulin-
dekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami infeksi pada luka
paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai profilaksis dapat dipertimbangkan.

Intra-operasi
Pasien obesitas harus dianestesi di atas meja operasi di dalam kamar operasi untuk
mempermudah proses pemindahan pasien sehingga mengurangi risiko cedera baik
pada pasien maupun pada petugas kesehatan. Setelah pasien diposisikan, maka
perhatian khusus harus diberikan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan selama operasi
untuk menghindari kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi vena cava inferior
harus dihindari dengan cara sedikit memiringkan meja operasi ke kiri atau meletakkan sanggahan
di bawah pasien. Monitoring tekanan arteri secara invasif dilakukan pada hampir semua operasi
kecuali operasi minor. Jika monitoring tekanan darah dilakukan secara invasif, maka harus
tersedia ukuran manset yang sesuai. Oksimetri, elektrokardiograf, kapnograf, dan pengawasan
blok neuromuscular harus dilakukan.
 Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di  intubasi boleh dengan semua agen
anestesi umum tetapi dengan  durasi yang lebih  pendek.
 Selain itu, ventilasi dikontrol dengan volume pasang besar sering memberikan oksigenasi
lebih baik daripada dangkal, napas spontan.
 Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik
sangat dianjurkan.
 Nafas suara mungkin sulit untuk di dilai; konfirmasi intubasi trakea membutuhkan
deteksi end tidal CO2. Bahkan ventilasi kontrol mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen yang relatif tinggi terinspirasi untuk mencegah hipoksia, terutama posisi 
lithotomi, Trendelenburg, atau posisi prone.
 Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari
fungsi paru dan penurunan tekanan darah arteri dengan rusaknnya venous return.
 Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa
pasien dengan obesitas ekstrim.
 Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah
perhatian khusus sehubungan dengan defluorination dari halothane. peingkatkan
metabolisme dan kecenderungan untuk hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian
hepatitis halothane pada pasien obesitas.
 Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan
reservoir lemak memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun, bahkan selama prosedur
pembedahan yang lama.
Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan miningkatkan volume distribusi obat
larut lemak (misalnya, benzodiazepine, opioid). Dengan demikian, loading dosis yang
lebih besar akan diperlukan untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini
adalah alasan rasional untuk mendasarkan beberapa dosis obat pada berat badan pada
pasien obesitas. Dengan alasan yang sama, dosis pemeliharaan harus diberikan lebih
jarang karena clearance diharapkan akan lebih lambat dengan volume yang lebih besar
distribusi.
 Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi
yang jauh lebih terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh cadangan lemak. Dosis
obat ini sehingga harus didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis. 
 Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis
persyaratan untuk anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas biasanya
membutuhkan anestesi lokal kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena
epidural. Tingkat blokade yang  tinggi dengan mudah dapat membahayakan pernafasan.
Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan nyeri dan menurunkan
komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi.

Pascaoperasi
 Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk.
Peningkatan Risiko hipoksia pasca operasi bisa karena  hipoksia pra operasi dan operasi
yang melibatkan thoraks atau abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal).
 Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien
benar-benar sadar.
 Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara
yang memadai dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua
pasien obesitas perlu tetap terventilator semalaman di unit perawatan intensif.
 Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama
transportasi ke ruang pemulihan.
 Modipikasi  posisi duduk 45° akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi
dan oksigenasi.
 Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen
tambahan harus tersedia rutin.
 Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi,
trombosis vena dalam dan emboli paru.
PORTOFOLIO STASE PENYAKIT JARANG/ KHUSUS, FEBRUARI 2022

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Ny. Mahdalena
Umur : 37 tahun
Diagnosis : Adenomatous goiter bilateral
Operasi : Subtotal thyroidectomy
DPJP Anestesi : Dr. dr. Zafrullah, SpAn KNA
DPJP Bedah : dr. Fahrul rozi Sp.B Konk
Tanggal Operasi : 17 Februari 2022

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan benjolan dileher sekita 5 tahun yang lalu. Riwayat
operasi Sc (+) 5x. Alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat Hipertensi (+),DM, asma, nyeri
dada, sakit jantung liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit penyerta dan penyakit dahulu
lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini pasien sedang tidak demam,
batuk dan pilek

Pemeriksaan Fisik
A: clear
B: RR 20x/ mnt, ves +/+, rh -/-, wh -/-, SpO2 98 % RA
C: TD: 130/80, HR 84 x/mnt, murmur (-), gallop (-)
D: GCS : E4V5M6 : 15

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 20 Januari 2022
DL : 11,4/33/4,3/5,8/260
PT/APTT 0,9/0,9
Ur 10 Cr 0.64
Na 147 K 3,6 Cl 108 GDS 97
FT4 14,9 TSHs 0,078

Kesan :
ASA III
- Nodul thyroid klinis: nodul thyroid (+), cepat lelah (+), sesak nafas saat bekerja,
berdebar-debar, Tremor (-), indeks wayne skor 9 Fungsi tiroid Ft4 14,9, TSHS 0,078,
kesan eutiroid, Th/ propranolol 2 x 10 m, Riwayat minum obat tiroid, sudah tidak minum
sejak 5 tahun yang lalu.
- HT terkontrol TD 130/80 mmHg,Mets 5-6, klinis nyeri dada (-), murmur (-), gallop (-),
EKG SR HR 89 bpm, CXR: normal, Th/ amlodipine 1x10 mg

Instruksi pra operasi


- Informed consent
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi Ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum – ETT
 Monitoring intraoperasi EKG, NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.15 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringerfundin, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan
saturasi,
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 119/80 mmHg, frekuensi nadi 76 x/menit, frekuensi
napas 16 x/menit, suhu 36.9, saturasi O2 99% room air
 Pasien kemudian diberikan midazolam 2 mg intravena.
 Pukul 08.30 dilakukan ko-induksi dengan fentanyl 150 microgram dan induksi dengan
propofol 80 mg tirtrasi. Pasien diberikan rocuronium 40 mg untuk memfasilitasi intubasi
 Dilakukan Intubasi ETT Jenis non kingking, No. 7, dievaluasi kemudian di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 400
cc, RR 14 x/menit, tanpa PEEP 4
 Maintenance menggunakan gas Sevoflurane 2 volume%.
 Pemberian catapres 150 mcg, untuk menurunkan tekanan darah
 Pemberian anti emetic untuk pencegahan PONV deksamethasone 5 mg IV.
 Hemodinamik setelah induksi Intubasi, TD 120/78 mmHg, frekuensi nadi 78x/menit, dan
saturasi O2 99%.
 Pukul 08.40 dilakukan insisi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 77-90 mmHg, dengan diastolik 57-66
mmHg. Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 10.55 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 98/70 dengan frekuensi
nadi 70x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram IV
 Anti emetic untuk PONV diberikan ondansetron 4 mg
 Setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
sadar penuh. Setelah ekstubasi pernapasan 14 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi
O2 dapat dipertahankan di 99%. Pasien dapat mengikuti perintah
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 2 jam 25 menit


Lama operasi : 2 jam 15 menit
Total cairan masuk : 1000 cc kristaloid
Perdarahan : 250 cc, urin 100 cc
PEMBAHASAN

Fisiologi
Produksi normal dari hormon tiroid tergantung dari asupan iodium eksogen. Iodium akan
diabsorpsi di saluran pencernaan, diubah menjadi ion iodida dan ditranspor secara aktif ke
kelenjar tiroid.' lodida akan dioksidasi kembali menjadi iodine, yang akan berikatan dengan
hormon tirosin. Hasil akhirnya adalah dua hormon, yaitu tritodothyronine (T3) dan thyroxine
(T4) yang akan berikatan dengan protein dan disimpan dalam kelenjar tiroid. Rasio T4/T3 yang
disekresi adalah 10:1. Saat memasuki peredaran darah, T4 dan T3 akan berikatan secara
reversibel dengan thyroxine-binding globulin (80%), prealbumin (10-15%), dan albumin (5-
10%). Hormon T3 lebih poten dari T4 dan kurang berikatan dengan protein. Sebagian besar T3
di sirkulasi terbentuk di perifer dari proses deiodinasi parsial T4. Di perifer, T3 akan menembus
membran sel dan berikatan dengan reseptor pada nukleus sel, yang akan menstimulasi sintesis
messenger RNA, yang akan memengaruhi sintesis protein. Selain itu, T3 juga akan berikatan
dengan mitokondria dan menstimulasi proses fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP.
Sintesis dari hormon tiroid dikendalikan sistem umpan balik yang melibatkan hipotalamus,
(thyrotropin-releasing factor (TRF) dan thyrotropin-releasing hormone (ITRH) kelenjar hipofise
anterior (thyroid-stimulating hormone (TSH), autoregulasi, dan asupan iodium yang adekuat.
Hormon tiroid akan meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak, dan merupakan
faktor penting dalam menentukan kecepatan pertumbuhan dan metabolisme. Peningkatan dalam
kecepatan metabolik akan ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2,
yang secara tidak langsung akan meningkatkan minute ventilation. Hormon tiroid akan
meningkatkan kontraktilitas miokardia, mengurangi systemic vascular resistance dengan
vasodilatasi, dan meningkatkan volume intravaskular
konsumsi oksigen dan produksi CO2 yang secara tidak langsung akan meningkatkan minute
ventilation. Hormon tiroid akan meningkatkan kontraktilitas miokardia, mengurangi systemic
vascular resistance dengan vasodilatasi, dan meningkatkan volume intravaskular.
Diagnosis
Saat ini, TSH assay generasi ketiga merupakan tes tunggal terbaik untuk melihat kerja
hormon tiroid pada level seluler. Perubahan kecil pada fungsi tiroid akan menyebabkan
perubahan signifikan pada kadar sekresi TSH. Kadar normal dari TSH adalah 0,4-0,5 miliunit/L.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari kelebihan kadar hormon tiroid meliputi penurunan berat badan,
intoleransi panas, kelemahan otot, diare, refleks hiperaktif, dan kecemasan. Tremor halus,
eksoftalmus, atau goiter dapat ditemukan. Di jantung dapat ditemukan atrial, fibrilasi awitan
baru, sinus takikardi, dan gagal jantung kongestif. Diagnosis dari hipertiroid dapat dipastikan
dari peningkatan serum T4 dan serum T3 serta penurunan kadar TSH. Hipertiroid dapat
disebabkan oleh Graves' disease, toxic multinodular goiter, tumor pituitari yang menyekresi
TSH, thyroid adenoma toxic, atau overdosis dari thyroid replacement hormone.

Pertimbangan anestesi
Prabedah
Semua tindakan pembedahan elektif, termasuk tiroidektomi subtotal, sebaiknya ditunda
sampai pasien eutiroid secara klinis dan laboratorium. Kadar T3 dan T4 dalam batas normal dan
tidak ada takikardi saat istirahat. Obat-obat antitiroid dan B-adrenergic antagonis dilanjutkan
sampai pagi hari-H operasi, karena PTU dan Methimazole mempunyai waktu paruh yang
singkat. Jika tindakan bedah bersifat darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat dikendalikan
menggunakan B-blocker intravena, sodium ipodate, glukokortikoid, dan PTU. PTU tidak
mempunyai sediaan intravena sehingga pemberian diberikan per oral, via NGT atau per rektal.
Glukokortikoid (deksametason 2 mg intravena tiap 6 jam) diberikan untuk mengurangi pelepasan
hormon dan mengurangi konversi T4 menjadi T3.
Evaluasi jalan napas berupa ada tidaknya kompresi atau deviasi trakea akibat goiter
penting dilakukan. Anestesi juga harus cukup dalam untuk mencegah respons simpatis
berlebihan. Obat-obatan yang menstimulasi sistem saraf simpatis seperti ketamin, pancuronium,
atropin, efedrin, atau epinefrin sebaiknya dihindari. Thiopental (karena memiliki inti
thioureylene) dapat mengurangi Konversi T4 menjadi T3 di perifer. Perlindungan terhadap mata
(eyepad, tetes mata) perlu diberikan terutama pada pasien dengan proptosis.

Intrabedah
Selama anestesi, fungsi kardiovaskular dan suhu tubuh pasien riwayat hipertiroidisme
perlu dipantau. Ketamine, agonis adrenergic indirek, dan obat lain yang merangsang sistem saraf
simpatis atau antagonis muskarinik sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang atau baru
menjalani terapi hipertiroidisme karena dapat menimbulkan hipertensi dan takikardi. Pasien
dengan hipertiroid yang belum ditata laksana dengan baik mempunyai kecenderungan
hipovolemik dan rentan hipotensi selama induksi anestesi. Kedalaman dari anestesi yang
adekuat, di sisi lain. perlu dicapai sebelum laringoskopi atau stimulasi dari bedah untuk
menghindari takikardi, hipertensi. dan aritmia ventrikular. Exophtalmos meningkatkan risiko
abrasi kornea atau ulserasi kornea, sehingga mata harus dilindungi dengan baik.
Untuk rumatan anestesi, semua agen inhalasi poten dapat digunakan. Hipertiroidisme
tidak meningkatkan kebutuhan minimum alveolar concentration (MAC) anestetik inhalasi.
Pasien hipertiroid dengan kelainan pada otot (miopati, myasthenia gravis) memerlukan dosis
pelumpuh otot nondepolarisasi yang lebih rendah. Hipotensi intrabedah ditata laksana dengan
vasopressor yang bekerja langsung seperti phenvlephrine. Hindari atau kurangi penggunaan
efedrin, epinefrin, norepinefrin, dan dopamin untuk mencegah respons hemodinamik yang
berlebihan. Anestesi regional dapat dilakukan dengan aman dan merupakan teknik yang
disarankan. Anestetik lokal yang mengandung epinefrin sebaiknya dihindari.
Pengangkatan kelenjar tirotoksik tidak berarti resolusi seketika dari tirotoksikosis. Waktu
paruh dari T4 adalah 7-8 hari sehingga terapi dengan B-blocker sebaiknya dilanjutkan pada
periode pascabedah.

Pascabedah
Ancaman paling serius pada pasien dengan hipertiroid adalah krisis tiroid (badai tiroid)
vang ditandai dengan hiperpireksia, takikardi, penurunan kesadaran (agitasi, delirium, koma),
dan hipotensi. Krisis tiroid dapat terjadi pada 6-24 jam pascabedah. namun juga dapat terjadi
intrabedah, dengan gejala menyerupai hipertermia maligna. Tidak seperti hipertermia maligna,
krisis tiroid tidak disertai dengan kekakuan otot, peningkatan kreatinin kinase, atau peningkatan
metabolisme (laktat) dan asidosis respiratorik. Tata laksana meliputi hidrasi dan pendinginan.
infus esmolol dan B-blocker intravena (dengan target heart rate <100/menit), PTU (250-500 mg
setiap 6 jam per oral atau dengan menggunakan nasogastric tube), diikuti dengan pemberian
sodium iodida (1 gram intravena selama 12 jam) dan koreksi dari faktor pencetus (seperti
infeksi). Kortisol (100-200 mg setiap 8 jam) direkomendasikan untuk mencegah komplikasi dari
supresi kelenjar adrenal yang sudah ada.

Krisis tiroid adalah kegawatdaruratan medis dengan mortalitas tinggi yang membutuhkan
tata laksana dan pemantauan secara agresif. Umumnya, kadar hormon tiroid akan kembali
normal dalam 24-48 jam dan pemulihan akan berlangsung dalam waktu 1 minggu. Faktor-faktor
yang dapat mencetuskan krisis tiroid adalah bedah kelenjar tiroid, penghentian obat antitiroid,
terapi radioiodine, zat kontras yang memiliki iodium, bedah selain kelenjar tiroid, infeksi, stroke,
gagal jantung kongestif, emboli paru, kehamilan, persalinan, diabetic ketoacidosis, trauma, dan
penggunaan amiodarone.
Pascabedah tiroidektomi dapat terjadi recurrent laryngeal nerve palsy yang menyebabkan
suara menjadi serak, afonia, dan/atau stridor. Evaluasi pita suara pada saat “deep extubation”
Kolaps trakea akibat hematoma dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, terutama pada pasien
dengan tracheomalasia. Intubasi ulang akan menjadi sulit pada keadaan ini. Tata laksana segera
dengan membuka luka pada leher dan evakuasi bekuan darah sebelum tindakan reintubasi.
Hipoparatiroidisme akibat dari pengangkatan tidak disengaja kelenjar paratiroid dapat
menyebabkan hipokalsemia akut dalam 12-72 jam. Pneumotoraks juga dapat terjadi akibat
eksplorasi leher selama pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai