NOVEMBER 2020
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Tn. Z
Umur : 52 tahun
Diagnosis : Retina Detachment Oculi Sinistra
Operasi : Vitrectomy
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lia Meutia Zaini, SpM
Tanggal Operasi : 09 November 2020
Anamnesis
Pasien dengan keluhan mata kiri kabur sejak 1 bulan yang lalu, sebelumnya mata
os terkena kayu, os juga mengeluhkan pandangan menjadi sempit. Pasien belum
pernah menjalani tindakan operasi mata sebelumnya. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi, diabetes mellitus (-). Pasien menyangkal riwayat alergi serta asma, gigi
palsu (+)
Pemeriksaan Fisik
A: clear, malampati 1
B: R 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +, rh -, wh -.
C: TD 144/96 mmHg, N 65 x/mnt, murmur -.
D: GCS E4M6V5
Pemeriksaan Penunjang
Lab 20/10/20
DPL 17/51/12500/324000
GDS 106
Ur/Cr 19/1,3
CT/BT 7/2
Na/K/Cl 147/3,9/107
Rencana Anestesi
Pemasangan IV line,
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2
Laporan Intraoperatif
Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kiri no 18 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG dan pulse oxymetri
Hemodinamik pra anestesi. TD: 140/90 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit,
frekuensi napas 18x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg, dan
induksi dengan propofol 80 mg.
Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 vol%.
Dilakukan pemberian loading cairan ringer laktat 500cc.
Pukul 08.45 dilakukan insisi
Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 120-130 mmHg, dengan
diastolik 70-80 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 70-80 kali per
menit.
Tindakan operasi dilakukan selama +/- 1 jam 30 menit. Pada pukul 10.00,
operasi selesai, pasien diekstubasi.
Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentron 8 mg injeksi IV.
Pasien ditranspor ke ruang pulih
Pembedahan mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli
anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler, pencegahan reflex okulocardiac
dan penanganan akibatnya, mengontrol perluasan gas intraokuler dan dibutuhkan
untuk mengerjakan kemungkinan efek sistemik obat-obat mata. Pengetahuan
tentang mekanisme dan penanganan masalah tersebut dapat mempengaruhi hasil
pembedahan . bagian ini juga mempertimbangkan teknik khusus dari anestesi
umum dan regional dalam bedah mata.
1. Premedikasi
Pasien yang sedang menjalani pembedahan mata mungkin merasa takut,
khususnya jika mereka menjalani banyak prosedur dan ada kemungkinan terjadi
buta permanen. Pasien anan-anak kadang dihubungkan dengan gangguan
kongenital (sindrom rubella, sindrom goldenhar, dan sindrom down). Pada pasien
yang dewasa biasanya pada usia yang lebih tua, dengan penyakit sistemik yang
banyak (hipertensi, DM, penyakit a. koronaria). Seluruh faktor-faktor ini harus
dipertimbangkan untuk premedikasi.
2. Induksi
Pilihan tehnik induksi pada pembedahan mata biasanya lebih tergantung
pada pasiennya dibanding dengan masalah medik lainnya pada penyakit mata
pasien atau jenis pembedahan. Satu pengecualian adalah pasien dengan ruptur
bola mata. Kunci untuk melakukan induksi anestesi pada pasien dengan cedera
mata yang terbuka adalah mengontrol tekanan intraokular dengan induksi yang
lemah. Secara spesifik, batuk selama intubasi harus dihindari dengan mencapai
level kedalaman dari anestesi dan kedalaman paralisis. Respon Tekanan
intraokuler terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal agak jelek dengan
pemberian lidokain intra vena (1,5 mg/kg ) atau fentanil (3-5 ug/kg). Relaksasi
otot yang non depolarisasi biasanya digunakan daripada suksinilkolin karena
pengaruhnya lebih lama pada tekanan intraokuler. Paling banyak pasien dengan
trauma bola mata terbuka mempunyai perut yang penuh dan menghendaki teknik
induksi yang cepat.
3. Monitoring
Pada operasi mata biasanya ahli anestesi menyerahkan pengelolaan jalan
napas pasien, setelah memasang oksimeter dan seluruh prosedur pada ahli mata.
Monitor terus menerus siklus pernapasan tidak berhubungan lagi dengan ahli
anestesi atau secara tidak disengaja ahli mata memutuskan untuk melakukan
ekstubasi. Kemungkinan hambatan atau obstruksi dari endotracheal tube dapat
dikurangi dengan menggunakan penguat atau endotracheal sudut kanan buatan.
Kemungkinan disritmia disebabkan oleh refleks okulokardiak yang meningkat,
penting dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi. Sangat berbeda dengan
operasi pada anak-anak), temperatur tubuh bayi sering kali meningkat selama
operasi mata karena dari kepala sampai jari kaki dan permukaan tubuh yang
terekspose tidak signifikan. Analisa end- tidal CO2 membantu untuk membedakan
hal ini dari hipertermi maligna.
Rasa sakit dan stress akan timbul pada operasi mata, dimana hal tersebut
kurang diperhatikan selama prosedur intra abdominal yang besar. Level tertinggi
dari anestesi dapat dicapai dengan konsekuensi gerakan pasien tidak
membahayakan. Kekurangan stimulasi cardiovaskuler yang dipengaruhi oleh
kebanyakan kombinasi prosedur mata dengan kebutuhan kedalaman anestesi yang
adekuat dapat menyebabkan hipotensi pada usia lanjut. Masalah tersebut biasanya
dicegah dengan melakukan hidrasi intravena, pemberian efedrin dosis kecil (2-5
mg), atau paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot nondepolarisasi.
Dibolehkan pemeliharaan yang lama pada level anestesi yang tinggi.
Muntah yang disebabkan oleh stiumulasi vagal umumnya merupakan
masalah postoperative, berikutnya pembedahan strabismus. Efek valsava dan
peningkatan tekanan vena sentral yang menyertai muntah dapat merugikan hasil
pembedahan dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian metoklopramid
intravena intraoperatif (10 mg pada dewasa) atau dosis kecil droperidol (20 ug/kg)
mungkin menguntungkan. Karena biayanya mahal, ondasentron biasanya
cadangan pada pasien-pasien dengan riwayat mual dan muntah postoperatif.
4. Ekstubasi
Meskipun material penjahit luka telah modern dan teknik penutupan luka
menurunkan resiko luka postoperatif, kedaruratan ringan dari anestesi masih
patut diperhitungkan. Batuk pada endotracheal tube dapat dicegah dengan
mengektubasi pasien selama kedalaman anestesi pada level sedang. Sebagai akhir
dari prosedur pembedahan, maka relaksasi otot dan respirasi spontan
dikembalikan. Agent-agent anastetik mungkin dapat diteruskan selama
pengisapan jalan napas. Nitrous oksida tidak diteruskan, dan lidokain intravena
(1,5 mg/kg )dapat diberikan untuk menekan refleks batuk secara teratur. Prosedur
ekstubasi 1-2 menit dilakukan setelah pemberian lidokain dan selama pernapasan
spontan diberikan 100% oksigen. Pengadaan kontrol jalan napas adalah perlu
sampai pasiennya batuk dan refleks menelan kembali, kenyataanya teknik ini
tidak sesuai untuk pasien yang beresiko tinggi terhadap aspirasi.
Nyeri berat post-operative biasanya muncul setelah pembedahan mata.
Prosedur skeleral buckling, enukleasi, dan perbaikan ruptur merupakan yang
paling nyeri. Dosis kecil narkotik intravena (15 – 25 mg meperidine untuk
dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang hebat merupakan tanda hipertensi
intraokular, absrasi kornea atau komplikasi bedah lainnya.
PORTOFOLIOSTASE BEDAH OPTALMOLOGI 1
NOVEMBER 2020
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Ny. SK
Umur : 38 tahun
Diagnosis : Perdarahan Vitreous Oculi Dex
Operasi : Vitrectomy
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lia Meutia Zaini, SpM
Tanggal Operasi : 23 November 2020
Anamnesis
Pasien riw terjatuh dari tangga 3 bulan yll, pasien merasakan pandangan mata
kanan kabur. Pasien mengaku, saat terjatuh, kepala terbentur . Pasien menyangkal
adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, serta alergi.
Pemeriksaan Fisik
A: clear, malampati 1
B: R 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +, rh -, wh -.
C: TD 134/72 mmHg, N 68 x/mnt, murmur -.
D: GCS E4M6V5
Pemeriksaan Penunjang
Lab 05/11/20
DL 12,3/37/9300/305000
GDS 92
Ur/Cr 18/0,71
CT/BT 7/2
Na/K/Cl 146/4,1/109
Kesan ASA I
- Lab dalam batas normal
Rencana Anestesi
Pemasangan IV line
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2
Laporan Intraoperatif
Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kanan 20 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG, dan pulse oxymetri
Hemodinamik pra anestesi. TD: 112/68 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg, dan
induksi dengan propofol 100 mg.
Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 vol%.
Pukul 09.00 dilakukan insisi
Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 100-120 mmHg, dengan
diastolik 70-80 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 50-70 kali per
menit.
Tindakan operasi dilakukan selama +- 2 jam 30 menit. Pada pukul 11.30
wib, operasi selesai, pasien diekstubasi.
Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentrom 8 mg injeksi IV.
Pasien ditranspor ke ruang pulih
Lama pembiusan : 2 jam 30 menit
Lama operasi : 2 jam
Total cairan masuk : 700 ml
Perdarahan : minimal (<10 ml)
Urin : tidak ditampung
Pembahasan
Blokade Retrobulbar
Dalam teknik ini, anastesi lokal diinjeksi dibelakang dalam mata berbentuk
kerucut pada otot ekstraokular. Jarum tipe 25 ditusukkan pada kelopak mata
bawah perbatasan pertengahan dan 1/3 lateral orbita (biasanya 0,5 cm medial ke
lateral kantus) pasien diintruksikan agar melihat ke supranasal pada saat jarum
ditusukkan 3,5 cm di bagian apex otot conus. Setelah aspirasi untuk menghindari
injeksi intravaskuler, 2-5 ml dari anastesi lokal injeksikan dan jarum digerakkan
kembali. Pemilihan anastesi lokal bervariasi, tapi lidokain dan bupivakain yang
paling banyak dipakai. Hialuronidase, merupakan hidriser dari jaringan penunjang
polisakarida, sering ditambahkan untuk penyebaran retrobulbar dari anastesi
lokal. Keberhasilan blok retrobulbar dihubungkan dengan adanya anastesi, akinesi
dan mencegah refleks okulosefalik (mata tak dapat digerakan selama kepala
berputar)
Komplikasi injeksi rerobulbar pada anestesi lokal adalah perdarahan
retrobulbar, perforasi bola mata, atrofi saraf optik, frank convulsions, refleks
okulokardiak dan henti pernapasan. Komplikasi berat bila injeksi anestesi lokal
masuk ke dalam a. optalmikus menyebabkan retrograde menuju ke otak dan
terjadi stantaneous seizure. Sindrom apneu post retrobulber dapat disebabkan
injeksi anestsi lokal masuk ke dalam serabut saraf optik, sampai kedalam cairan
serebrospinal. Konsentrasi anestesi lokal yang tinggi dalam sistem saraf pusat,
menyebabkan kecemasan dan ketidaksadaran. Apneu terjadi 20 menit dan pulih
dalam 1 jam, terapi supportif dengan ventilasi tekanan positif untuk mencegah
hipoksia, bradikarddia dan henti jantung. Ventilasi yang adekuat harus tetap
dimonitor pada pasien yang diberi anestesi retrobulbar.
Injeksi retrobulbar biasanya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
perdarahan (karena resiko perdarahan retrobulbar), miopia yang berat (panjang
bola mata meningkat dan beresiko untuk perforasi), atau trauma mata terbuka
(tekanan dari injeksi cairan belakang mata menyebabkan ektrusi intraokuler
menembus luka).
Blok Saraf Fasialis
Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Tn. AZ
Umur : 71 tahun
Diagnosis : Glaukoma absolut Oculi Sinistra
Operasi : Transcleral Scleral Cyclophoto Coagulation
DPJP Anestesi : dr. Yusmalinda SpAn
DPJP Bedah : dr. Yulia, SpM
Tanggal Operasi : 10 November 2020
Anamnesis
Pasien datang dengan nyeri pada mata kanan, pusing, serta penurunan penglihatan
secara tiba-tiba sejak +/- 3blnyll, penglihatan terasa menyempit pada awalnya.
Pasien menyangkal Hipertensi, DM, asma, dan alergi. Pasien sudah pernah
menjalani operasi katarak sebelumnya pada tahun 2000.
Pemeriksaan Fisik
A: Clear, Mallampati 1
B: RR 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +/+, rh -/-, wh -/+
C: TD 100/90 N 80 x/mnt, murmur -
D: GCS 15
Pemeriksaan Penunjang
Lab 5/11/20
DL : 15,3/45/12000/362000
Ur/Cr : 42/1,30
E : 147/37/107
CT/BT : 7/2
Rencana Anestesi
Pemasangan IV line
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2
Laporan Intraoperatif
Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kiri no 18 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG dan pulse oxymetri
Hemodinamik pra anestesi. TD: 110/78 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% Room air
Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg dan
induksi dengan propofol 80 mg.
Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 Vol%.
Pukul 08.45 dilakukan insisi
Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 90-120 mmHg, dengan
diastolik 70-90 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 50-60 kali per
menit.
Tindakan operasi dilakukan selama +- 1 jam 15 menit. Pada pukul 10.00,
operasi selesai, pasien diekstubasi.
Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentron 8 mg injeksi IV.
Pasien ditranspor ke ruang pulih
Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat
menimbulkan disritmia jantung berupa bradikardia dan ventricular ectopic beat
sampai sinus arrest atau fibrilasi ventrikuler. Refleks ini terdiri dari afferen
trigeminus (V1) dan jalur efferen vagal. Refleks okulokardiak paling sering pada
pasien pediatrik yang menjaliani pembedahan strabismus. Biarpun demikian hal
ini dapat terjadi dalam semua kelompok umur dan beberapa prosedur, termasuk
ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal terlepas.
Pemberian antikolinergik sering membantu mencegah reflek okulokardiak.
Atropin intravena atau glikopirolat merupakan prioritas segera pada pembedahan
dan lebih efektif dibandingkan dengan premedikasi intramuskuler. Hal ini telah
diketahui bahwa pemberian antikolinergik dapat merugikan pada pasien-pasien
yang tua, yang sering mempunyai penyakit arteri koronaria. Blok retrobulbar atau
anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dinilai, tetapi prosedur ini mempunyai
resiko baginya. Blok retrobulbar kenyataanya dapat menimbulkan refleks
okulokardiak. Kebutuhan profilaksis secara rutin masih merupakan kontroversi
Penanganan refleks okulokardiak terdiri dari prosedur berikut :
1. Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi
pembedahan sampai nadi meningkat;
2. Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi;
3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat gangguan konduksi yang
persisten; dan;
4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus
dengan anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya
sendiri) dengan pulihnya traksi dari otot-otot ekstraokuler.