Anda di halaman 1dari 19

PORTOFOLIO STASE BEDAH OPTALMOLOGI 1

NOVEMBER 2020

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Tn. Z
Umur : 52 tahun
Diagnosis : Retina Detachment Oculi Sinistra
Operasi : Vitrectomy
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lia Meutia Zaini, SpM
Tanggal Operasi : 09 November 2020

Anamnesis
Pasien dengan keluhan mata kiri kabur sejak 1 bulan yang lalu, sebelumnya mata
os terkena kayu, os juga mengeluhkan pandangan menjadi sempit. Pasien belum
pernah menjalani tindakan operasi mata sebelumnya. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi, diabetes mellitus (-). Pasien menyangkal riwayat alergi serta asma, gigi
palsu (+)

Pemeriksaan Fisik
A: clear, malampati 1
B: R 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +, rh -, wh -.
C: TD 144/96 mmHg, N 65 x/mnt, murmur -.
D: GCS E4M6V5

Pemeriksaan Penunjang
Lab 20/10/20
DPL 17/51/12500/324000
GDS 106
Ur/Cr 19/1,3
CT/BT 7/2
Na/K/Cl 147/3,9/107

Kesan ASA III


- Hipertensi stage I, TD 144/96, METS 6, klinis myeri dada (-), jantung berdebar
(-), murmur (-), gallop (-), EKG Sinus Ritme HR 70x/I, normoaksis, CXR kesan
normal, th/ Amlodipin 1x5mg, Bisoprolol 1x5mg, tanapres 1x5mg, Toleransi
Operasi dari div.kardiologi ringan
- Leukositosis 12500
- Kemungkinan sukit ventilasi no teeth

Rencana Anestesi
Pemasangan IV line,
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2

Laporan Intraoperatif
 Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kiri no 18 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG dan pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 140/90 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit,
frekuensi napas 18x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg, dan
induksi dengan propofol 80 mg.
 Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 vol%.
 Dilakukan pemberian loading cairan ringer laktat 500cc.
 Pukul 08.45 dilakukan insisi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 120-130 mmHg, dengan
diastolik 70-80 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 70-80 kali per
menit.
 Tindakan operasi dilakukan selama +/- 1 jam 30 menit. Pada pukul 10.00,
operasi selesai, pasien diekstubasi.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentron 8 mg injeksi IV.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 45 menit


Lama operasi : 1 jam 30 menit
Total cairan masuk : 700 ml
Perdarahan : minimal (<10 ml)
Urin : tidak ditampung
Pembahasan
Anestesi pada Pembedahan Mata

Pembedahan mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli
anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler, pencegahan reflex okulocardiac
dan penanganan akibatnya, mengontrol perluasan gas intraokuler dan dibutuhkan
untuk mengerjakan kemungkinan efek sistemik obat-obat mata. Pengetahuan
tentang mekanisme dan penanganan masalah tersebut dapat mempengaruhi hasil
pembedahan . bagian ini juga mempertimbangkan teknik khusus dari anestesi
umum dan regional dalam bedah mata.

Pendekatan Terhadap Tekanan Intraokular


Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika
isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler (normal 12 – 20 mmHg) akan
naik. Sebagai contoh, glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos.
Begitu juga tekanan intraokuler akan naik jika volume darah dalam bola mata
meningkat. Naiknya tekanan vena akan meningkatkan tekanan intraokuler oleh
penurunan aliran aquos dan peningkatan volume darah koroid. Perubahan yang
ekstrim dari tekanan darah arteri dan ventilasi dapat meningkatkan tekanan
intraokuler (tabel 38-1). Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat
menpengaruhi tekanan intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan
napas, batuk, posisi trendelenburg).
Hal lain, peningkatan ukuran bola mata yang tidak proporsional mengubah
volume isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada mata dari
sungkup yang sempit, posisi prone yang tidak baik, atau perdarahan retrobulber
merupakan tanda peningkatan tekanan.
Tekanan intraokuler membantu mempertahankan bentuk dan oleh karena
itu membangun optik dari mata. Variasi temporer tekanan biasanya dapat
ditoleransi dengan baik oleh mata normal. Dalam kenyataanya kebutaan
menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 5 mmHg dan juling 26 mmHg. Episode
transien peningkatan tekanan intraokuler pada pasien dengan tekanan arteri
optalmikus yang rendah (hipotensi, arteriosklerotik arteri retina), bagaimanapun
dapat membahayakan perfusi retina yang menyebabkan iskemia retina.
Pada saat bola mata dibuka selama prosedur pembedahan atau setelah
trauma tembus, tekanan intraokuler dapat mendekati tekanan atmosfer. Beberapa
faktor yang secara normal meningkatkan tekanan intraokuler akan menurun bila
terjadi pengaliran aqous atau ektruksi vitreus yang menembus luka. Komplikasi
lama yang serius menimbulkan kelainan visus yang permanen.

Efek obat –obat anestesi pada tekanan intraokuler


Umumnya obat –obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan
intraokuler. Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional
sesuai dalamnya anestesi. Penyebab penurunannya multipel antara lain ;
penurunan tekanan darah mengurangi volume koroidal, relaksasi otot-otot
ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil memudahkan
aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler.
Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah
arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler.
Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil
(midriasis), yang dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi
atropin sistemik yang dianjurkan tidak berhubungan dengan hipertensi
intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada pasien-pasien dengan
glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat memperbesar
batas keamanan  dan mencegah penularan ke dalam sistem saraf pusat.
Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5-10 mmHg selama 5-
10 menit setelah pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot-otot
ekstraokuler dan menyebabkan kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya, otot
ekstraokuler terdiri dari  sel-sel dengan multipel neuromuskuler junction. Setelah
pemulihan depolarisasi sel-sel ini oleh suksinilkolin menyebabkan kontraktur
yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler yang
mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu terhadap
tekanan intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada pasien-
pasien glaukoma, peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh karena
itu kenaikan tekanan intraokuler dapat menyebabkan ekstruksi okuler  akibat
bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir kontraktur yang
berkepanjangan dari otot-otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal
selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot
ekstraokuler dan pengaruh tipe  pembedahan strabismus. Kongesti vena-vena
koroid juga dapat menaikkan tekanan intraokuler. Obat  pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler.

Ekpansi Gas Intraokuler


Gelembung gas dapat terjadi setelah injeksi oleh ahli mata didalam chamber
posterior selama pembedahan vitreus. Injeksi udara intravireal akan meyebabkan
retina terlepas dan dibolehkan koreksi penyembuhan secara anatomis. gelembung
gas dapat diserap dalam 5 hari dengan perlahan-lahan menebus jaringan
sekitarnya dan masuk kedalam aliran darah. Jika pasien diberikan nitrous oksida,
gelembung akan meingkat ukurannya. Hal ini karena nitrous oksida 35 kali lebih
larut dari nitrogen dalam darah. Kemudian nitrous oksida akan berdifusi ke dalam
gelembung gas lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama udara) diserap
oleh aliran darah. Jika gelembung berekspansi setelah mata ditutup, maka tekanan
intraokuler akan meningkat.
Sulfur hexaflouride (SF6) merupakan gas lemban, dimana gas tersebut
kurang larut dalam darah dibanding nitrogen, dan lebih kurang larut dibanding
nitrous oxide. Durasi lama kerjanya (lebih dari 10 hari) sebanding dengan
gelembung udara yang dapat menguntungkan ahli mata. Ukuran gelembung
tersebut menjadi ganda dalam waktu 24 jam setelah diinjeksi karena nitrogen dari
udara yang dihirup memasuki gelembung lebih cepat dari difusi sulfur
hexafouride ke dalam aliran darah. Walaupun demikian, volume dari sulfur
hexaflouride yang murni setelah di injeksi secara lambat akan menggembung
biasanya tidak meningkatkan tekanan intraokuler. Jika pasien menghirup nitrous
okside, maka ukuran gelembung akan meningkat dengan cepat dan dapat
menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi nitroxide konsentrasi 70% dapat
menambah ukurannya 3x, setiap 1 ml gelembung dapat menaikkan tekanan 2 kali
pada mata tertutup dalam waktu 30 menit. Penggunaan nitroxide yang tidak
berkelanjutan dapat meningkatkan reabsorpsi dari gelembung, yang menjadi
sebuah campuran nitrous okside dan sulfur hexaflouride. Konsekuensi dari
penurunan tekanan intraokuler dapat menyebabkan pelepasan retina yang lain.
Komplikasi-komplikasi ekspansi gelembung gas intraokuler ini dapat
dihindarkan dengan pemberian nitrous okside paling kecil secara tidak terus
menerus + 15 menit sebelum injeksi udara atau sulfur hexaflouride.
Kenyataannya, lamanya waktu untuk mengeliminasi nitrous okside dari darah
tergantung pada beberapa faktor, termasuk kecepatan aliran gas dan adekuatnya
ventilasi alveoli. Kedalaman anestesi harus dipelihara dengan obat-obat anestesi
yang lain. Nitroxide seharusnya dihindari sampai gelembung tersebut diserap (5
hari setelah diudara dan 10 hari setelah injeksi hexaflouride sulfur).

Anestesi Umum Untuk Pembedahan Mata


Pilihan antara anestesi lokal dan anestesi umum harus dilakukan bersama
dengan pasien, ahli anestesi dan ahli bedah. Beberapa pasien bahkan menolak
untuk diberikan anestesi lokal. Hal ini sering karena rasa takut terbangun selama
prosedur pembedahan atau akan nyeri nyeri selama tehnik anestesi regional.
Walaupun tidak dapat disimpulkan adanya bukti bahwa anestesi yang lain lebih
aman dari yang laninya, anestesi lokal tampaknya lebih mengkhawatirkan.
Anestesi umum diindikasikan pada pasien yang tidak kooperatif, bahkan gerakan
kecil kepala dapat menimbulkan kecelakaan selama pembedahan mikro. Pada
pasien lainnya anestesi lokal dikontraindikasikan karena alasan pembedahan. Pada
banyak hal, keputusan defenitif harus dibuat. Anestesi lokal-umum-tehnik sedasi
dalam dengan mengontrol jalan napas yang dapat dipertanyakan-harus dihindari
karena ini dapat memicu kombinasi resiko dari anestesi umum dan anestesi lokal.

1. Premedikasi
Pasien yang sedang menjalani pembedahan mata mungkin merasa takut,
khususnya jika mereka menjalani banyak prosedur dan ada kemungkinan terjadi
buta permanen. Pasien anan-anak kadang dihubungkan dengan gangguan
kongenital (sindrom rubella, sindrom goldenhar, dan sindrom down). Pada pasien
yang dewasa biasanya pada usia yang lebih tua, dengan penyakit sistemik yang
banyak (hipertensi, DM, penyakit a. koronaria). Seluruh faktor-faktor ini harus
dipertimbangkan untuk premedikasi.

2. Induksi
Pilihan tehnik induksi pada pembedahan mata biasanya lebih tergantung
pada pasiennya dibanding dengan masalah medik lainnya pada penyakit mata
pasien atau jenis pembedahan. Satu pengecualian adalah pasien dengan ruptur
bola mata. Kunci untuk melakukan induksi anestesi pada pasien dengan cedera
mata yang terbuka adalah mengontrol tekanan intraokular dengan induksi yang
lemah. Secara spesifik, batuk selama intubasi harus dihindari dengan mencapai
level kedalaman dari anestesi dan kedalaman paralisis. Respon Tekanan
intraokuler terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal agak jelek dengan
pemberian lidokain intra vena (1,5 mg/kg ) atau fentanil (3-5 ug/kg). Relaksasi
otot yang non depolarisasi biasanya digunakan daripada suksinilkolin karena
pengaruhnya lebih lama pada tekanan intraokuler. Paling banyak pasien dengan
trauma bola mata terbuka mempunyai perut yang penuh dan menghendaki teknik
induksi yang cepat.

3. Monitoring
Pada operasi mata biasanya ahli anestesi menyerahkan pengelolaan jalan
napas pasien, setelah memasang oksimeter dan seluruh prosedur pada ahli mata.
Monitor terus menerus siklus pernapasan tidak berhubungan lagi dengan ahli
anestesi atau secara tidak disengaja ahli mata memutuskan untuk melakukan
ekstubasi. Kemungkinan hambatan atau obstruksi dari endotracheal tube dapat
dikurangi dengan menggunakan penguat atau endotracheal sudut kanan buatan.
Kemungkinan disritmia disebabkan oleh refleks okulokardiak yang meningkat,
penting dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi. Sangat berbeda dengan
operasi pada anak-anak), temperatur tubuh bayi sering kali meningkat selama
operasi mata karena dari kepala sampai jari kaki dan permukaan tubuh yang
terekspose tidak signifikan. Analisa end- tidal CO2 membantu untuk membedakan
hal ini dari hipertermi maligna.
Rasa sakit dan stress akan timbul pada operasi mata, dimana hal tersebut
kurang diperhatikan selama prosedur intra abdominal yang besar. Level tertinggi
dari anestesi dapat dicapai dengan konsekuensi gerakan pasien tidak
membahayakan. Kekurangan stimulasi cardiovaskuler yang dipengaruhi oleh
kebanyakan kombinasi prosedur mata dengan kebutuhan kedalaman anestesi yang
adekuat dapat menyebabkan hipotensi pada usia lanjut. Masalah tersebut biasanya
dicegah dengan melakukan hidrasi intravena, pemberian efedrin dosis kecil (2-5
mg), atau paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot nondepolarisasi.
Dibolehkan pemeliharaan yang lama pada level anestesi yang tinggi.
Muntah yang disebabkan oleh stiumulasi vagal umumnya merupakan
masalah postoperative, berikutnya pembedahan strabismus. Efek valsava dan
peningkatan tekanan vena sentral yang menyertai muntah dapat merugikan hasil
pembedahan dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian metoklopramid
intravena intraoperatif (10 mg pada dewasa) atau dosis kecil droperidol (20 ug/kg)
mungkin menguntungkan. Karena biayanya mahal, ondasentron biasanya
cadangan pada pasien-pasien dengan riwayat mual dan muntah postoperatif.

4. Ekstubasi
Meskipun material penjahit luka telah modern dan teknik penutupan luka
menurunkan resiko luka postoperatif, kedaruratan ringan dari anestesi masih
patut diperhitungkan. Batuk pada endotracheal tube dapat dicegah dengan
mengektubasi pasien selama kedalaman anestesi pada level sedang. Sebagai akhir
dari prosedur pembedahan, maka relaksasi otot dan respirasi spontan
dikembalikan. Agent-agent anastetik mungkin dapat diteruskan selama
pengisapan jalan napas. Nitrous oksida tidak diteruskan, dan lidokain intravena
(1,5 mg/kg )dapat diberikan untuk menekan refleks batuk secara teratur. Prosedur
ekstubasi 1-2 menit dilakukan setelah pemberian lidokain dan selama pernapasan
spontan diberikan 100% oksigen. Pengadaan kontrol jalan napas adalah perlu
sampai pasiennya batuk dan refleks menelan kembali, kenyataanya teknik ini
tidak sesuai untuk pasien yang beresiko tinggi terhadap aspirasi.
Nyeri berat post-operative biasanya muncul setelah pembedahan mata.
Prosedur skeleral buckling, enukleasi, dan perbaikan ruptur merupakan yang
paling nyeri. Dosis kecil narkotik intravena (15 – 25 mg meperidine untuk
dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang hebat merupakan tanda hipertensi
intraokular, absrasi kornea atau komplikasi bedah lainnya.
PORTOFOLIOSTASE BEDAH OPTALMOLOGI 1
NOVEMBER 2020

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Ny. SK
Umur : 38 tahun
Diagnosis : Perdarahan Vitreous Oculi Dex
Operasi : Vitrectomy
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lia Meutia Zaini, SpM
Tanggal Operasi : 23 November 2020

Anamnesis
Pasien riw terjatuh dari tangga 3 bulan yll, pasien merasakan pandangan mata
kanan kabur. Pasien mengaku, saat terjatuh, kepala terbentur . Pasien menyangkal
adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, serta alergi.

Pemeriksaan Fisik
A: clear, malampati 1
B: R 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +, rh -, wh -.
C: TD 134/72 mmHg, N 68 x/mnt, murmur -.
D: GCS E4M6V5

Pemeriksaan Penunjang
Lab 05/11/20
DL 12,3/37/9300/305000
GDS 92
Ur/Cr 18/0,71
CT/BT 7/2
Na/K/Cl 146/4,1/109

Kesan ASA I
- Lab dalam batas normal

Rencana Anestesi
Pemasangan IV line
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2

Laporan Intraoperatif
 Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kanan 20 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG, dan pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 112/68 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg, dan
induksi dengan propofol 100 mg.
 Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 vol%.
 Pukul 09.00 dilakukan insisi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 100-120 mmHg, dengan
diastolik 70-80 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 50-70 kali per
menit.
 Tindakan operasi dilakukan selama +- 2 jam 30 menit. Pada pukul 11.30
wib, operasi selesai, pasien diekstubasi.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentrom 8 mg injeksi IV.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih
Lama pembiusan : 2 jam 30 menit
Lama operasi : 2 jam
Total cairan masuk : 700 ml
Perdarahan : minimal (<10 ml)
Urin : tidak ditampung
Pembahasan
Blokade Retrobulbar

Dalam teknik ini, anastesi lokal diinjeksi dibelakang dalam mata berbentuk
kerucut pada otot ekstraokular. Jarum tipe 25 ditusukkan pada kelopak mata
bawah perbatasan pertengahan dan 1/3 lateral orbita (biasanya 0,5 cm medial ke
lateral kantus) pasien diintruksikan agar melihat ke supranasal pada saat jarum
ditusukkan 3,5 cm di bagian apex otot conus. Setelah aspirasi untuk menghindari
injeksi intravaskuler, 2-5 ml dari anastesi lokal injeksikan dan jarum digerakkan
kembali. Pemilihan anastesi lokal bervariasi, tapi lidokain dan bupivakain yang
paling banyak dipakai. Hialuronidase, merupakan hidriser dari jaringan penunjang
polisakarida, sering ditambahkan untuk penyebaran retrobulbar dari anastesi
lokal. Keberhasilan blok retrobulbar dihubungkan dengan adanya anastesi, akinesi
dan mencegah refleks okulosefalik (mata tak dapat digerakan selama kepala
berputar)
Komplikasi injeksi rerobulbar pada anestesi lokal adalah perdarahan
retrobulbar, perforasi bola mata, atrofi saraf optik, frank convulsions, refleks
okulokardiak dan henti pernapasan. Komplikasi berat bila injeksi anestesi lokal
masuk ke dalam a. optalmikus menyebabkan retrograde menuju ke otak dan
terjadi stantaneous seizure. Sindrom apneu post retrobulber dapat disebabkan
injeksi anestsi lokal masuk ke dalam serabut saraf optik, sampai kedalam cairan
serebrospinal. Konsentrasi anestesi lokal yang tinggi dalam sistem saraf pusat,
menyebabkan kecemasan dan ketidaksadaran. Apneu terjadi 20 menit dan pulih
dalam 1 jam, terapi supportif dengan ventilasi tekanan positif untuk mencegah
hipoksia, bradikarddia dan henti jantung. Ventilasi yang adekuat harus tetap
dimonitor pada pasien yang diberi anestesi retrobulbar.
Injeksi retrobulbar biasanya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
perdarahan (karena resiko perdarahan retrobulbar), miopia yang berat (panjang
bola mata meningkat dan beresiko untuk perforasi), atau trauma mata terbuka
(tekanan dari injeksi cairan belakang mata menyebabkan ektrusi intraokuler
menembus luka).
Blok Saraf Fasialis

Blok saraf wajah melindungi jatuhnya kelopak mata selama pembedahan


dan dibolehkan memasang speculum pada kelopak mata. Ada beberapa teknik
blok nervus fasialis: van lint, Atkinson, dan O’Brien. Komplikasi utama blok ini
adalah perdarahan subkutaneus. Prosedur lain, teknik Nadbath, blok nervus fasial
yang dari keluar foramen stylomastoideus di bawah canalis auditorius eksterna,
ditutup pada bagian proksimal nervus vagus dan glossopharingeal. Blok ini tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan kelumpuhan pita suara, spasme
laring, disfagia dan penekanan pernapasan.
PORTOFOLIO STASE BEDAH OPTALMOLOGI 1
NOVEMBER 2020

Nama : dr. Indah Suhety


NIM : 1907601080006

Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Tn. AZ
Umur : 71 tahun
Diagnosis : Glaukoma absolut Oculi Sinistra
Operasi : Transcleral Scleral Cyclophoto Coagulation
DPJP Anestesi : dr. Yusmalinda SpAn
DPJP Bedah : dr. Yulia, SpM
Tanggal Operasi : 10 November 2020

Anamnesis
Pasien datang dengan nyeri pada mata kanan, pusing, serta penurunan penglihatan
secara tiba-tiba sejak +/- 3blnyll, penglihatan terasa menyempit pada awalnya.
Pasien menyangkal Hipertensi, DM, asma, dan alergi. Pasien sudah pernah
menjalani operasi katarak sebelumnya pada tahun 2000.

Pemeriksaan Fisik
A: Clear, Mallampati 1
B: RR 20 x/mnt, SpO2 98 %, ves +/+, rh -/-, wh -/+
C: TD 100/90 N 80 x/mnt, murmur -
D: GCS 15

Pemeriksaan Penunjang
Lab 5/11/20
DL : 15,3/45/12000/362000
Ur/Cr : 42/1,30
E : 147/37/107
CT/BT : 7/2

Kesan ASA III


- Geriatri 71th
- Leukositosis 12000
- Kemungkinan sulit ventilasi, no teeth

Rencana Anestesi
Pemasangan IV line
General Anestesi
Monitoring intraoperative: NIBP, SaO2, EKG, ETCO2

Laporan Intraoperatif
 Pukul 08.30 pasien masuk kamar operasi. Terpasang kanul vena di tangan
kiri no 18 G yang disambungkan ke Ringer Laktat, dipasang alat monitor
tekanan darah, EKG dan pulse oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 110/78 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% Room air
 Pasien dilakukan pembiusan dengan menyuntikkan fentanyl 100 mcg dan
induksi dengan propofol 80 mg.
 Dilakukan insersi LMA ukuran 4 pada pasien. Selanjutnya pasien
disambungkan ke ventilator dengan mode spontan. Maintenance sedasi
dengan sevofluran 2 Vol%.
 Pukul 08.45 dilakukan insisi
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 90-120 mmHg, dengan
diastolik 70-90 mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 50-60 kali per
menit.
 Tindakan operasi dilakukan selama +- 1 jam 15 menit. Pada pukul 10.00,
operasi selesai, pasien diekstubasi.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan
tramadol 100 mg, serta diberikan ondansentron 8 mg injeksi IV.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 45 menit


Lama operasi : 1 jam 15 menit
Total cairan masuk : 500 ml
Perdarahan : minimal (<10 ml)
Urin : tidak ditampung
Pembahasan
Refleks Okulokardiak

Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat
menimbulkan disritmia jantung berupa bradikardia dan ventricular ectopic beat
sampai sinus arrest atau fibrilasi ventrikuler. Refleks ini terdiri dari afferen
trigeminus (V1) dan jalur efferen vagal. Refleks okulokardiak paling sering pada
pasien pediatrik yang menjaliani pembedahan strabismus. Biarpun demikian hal
ini dapat terjadi dalam semua kelompok umur dan beberapa prosedur, termasuk
ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal terlepas.
Pemberian antikolinergik sering membantu mencegah reflek okulokardiak.
Atropin intravena atau glikopirolat merupakan prioritas segera pada pembedahan
dan lebih efektif dibandingkan dengan premedikasi intramuskuler. Hal ini telah
diketahui bahwa pemberian antikolinergik dapat merugikan pada pasien-pasien
yang tua, yang sering mempunyai penyakit arteri koronaria. Blok retrobulbar atau
anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dinilai, tetapi prosedur ini mempunyai
resiko baginya. Blok retrobulbar kenyataanya dapat menimbulkan refleks
okulokardiak. Kebutuhan profilaksis secara rutin masih merupakan kontroversi
Penanganan refleks okulokardiak terdiri dari prosedur berikut :
1. Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi
pembedahan sampai nadi meningkat;
2. Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi;
3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat gangguan konduksi yang
persisten; dan;
4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus
dengan anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya
sendiri) dengan pulihnya traksi dari otot-otot ekstraokuler.

Anda mungkin juga menyukai