Anda di halaman 1dari 16

ANESTESI UNTUK OPERASI MATA

Morgan 2006

DAFTAR ISI:
Dinamika Tekanan Intraokuler
Fisiologi Tekanan Intraokuler
Efek Obat Anestesi terhadap Tekanan Intraokuler
Refleks Okulocardiac
Ekspansi Gas Intraokuler
Efek Sistemik Obat Mata
Anestesi Umum untuk Operasi Mata
Premedikasi
Induksi
Monitoring dan Maintenance
Ekstubasi dan Emergens
Anestesi Regional untuk Operasi Mata
Blok Retrobular
Blok Peribulbar
Blok Saraf Facial
Anestesi Topikal
Sedasi Intravena (MAC / Monitored Anesthesia Care)
Laporan Kasus : Suatu Pendekatan pada pasien Open Eye dan Lambung Penuh.

KEY CONCEPT
1. Setiap faktor yang meningkatkan tekanan intraokuler akan bertendensi
menurunkan volume intraokuler dengan menyebabkan drainase aqueous
atau ekstrusi vitreus melalui daerah yang luka. Ekstruksi vitreus melalui
luka merupakan komplikasi yang serius yang dapat menyebabkan
kerusakan mata permanen.
2. Succinylcholin meningkatkan tekanan intraokuler sebesar 5-10 mmHg
selama 5-10 menit setelah pemberian, sebagai akibat dari kontraksi yang
berkepanjangan dari otot-otot ekstraokuler.
3. Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan
disritmia jantung dari mulai bradikardi dan ventrikular ektopik sampai sinus
arest atau fibrilasi ventrikel.
4. Komplikasi pembesaran gelembung udara intraokuler dapat dihindari
dengan menghentikan N2O paling lambat 15 menit sebelum menyuntikkan
udara atau sulfur hexaflourid (SF6).

1
5. Obat yang diberikan secara topikal diabsorpsi dengan kecepatan tengah-
tengah antara kecepatan absorpsi setelah suntikan intravena dan
subkutis.
6. Echothiopate adalah cholinesterase inhibitor ireversible yang digunakan
dalam pengobatan glaukoma. Pemberian topikal akan menyebabkan
absorpsi sistemik dan menurunkan aktivitas plasma cholinesterase.
Disebabkan karena succinylcholin dan mivacurium dimetabolisme oleh
enzym ini, echothiopate akan memperpanjang lama kerja succinylcholin
dan mivacurium.
7. Kunci untuk induksi anestesi pada pasien dengan cedera open eye (bola
mata terbuka) ialah mengendalikan tekanan intraokuler dengan induksi
yang mulus. Secara khusus, batuk selama intubasi harus dihindari dengan
anestesi dan paralisis yang dalam.
8. Sindroma apnoe post retrobulber mungkin disebabkan suntikan obat
anestesi lokal kedalam serabut saraf optik, yang menyebar ke cairan
serebrospinal.
9. Walaupun menggunakan teknik sedasi intravena, ventilasi dan oksigenasi
harus dipantau dengan ketat, dan alat untuk memberikan ventilasi tekanan
positif harus tersedia.

Operasi mata memberikan tantangan yang unik untuk anesthesiologist,


termasuk pengaturan tekanan intraokuler, mencegah okulocardiac refleks,
pengelolaan konsekuensi dari okulokardiak refleks, pengendalian ekspansi
gas intraokuler, dan kebutuhan untuk deal dengan efek sistemik obat mata.
Suatu pengertian dari mekanisme atau pengelolaan masalah ini dapat
mempengaruhi outcome pembedahan.

DINAMIKA TEKANAN INTRAOKULER


Fisiologi Tekanan Intraokuler
Mata dapat dipertimbangkan sebagai suatu bidang cekung dengan
dinding yang kaku. Bila isi dari cekungan itu meningkat, tekanan intraokuler
(TIO yang normalnya 12-20 mmHg) akan meningkat. Sebagai contoh,
glaukoma adalah suatu keadaan yang disebabkan obstruksi aliran humor
aqueous. Hal yang sama, tekanan intraokuler akan naik bila volume darah
dalam bola mata meningkat. Suatu peningkatan dari tekanan vena akan
meningkatkan tekanan intraokuler dengan menurunkan drainase aqueous
dan meningkatkan volume darah choroidal. Perubahan ekstrem tekanan
darah dan ventilasi juga mempengaruhi tekanan intraokuler (lihat tabel 1).
Setiap kejadian anestesi yang merubah parameter ini dapat mempengaruhi
tekanan intraokuler (misalnya laringoskopi, intubasi, obstruksi jalan nafas,
batuk, posisi trendelenburg).

2
Alternatifnya, pengurangan ukuran bola mata tanpa perubahan
proporsional pada isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Tekanan
pada mata dari face mask yang sangat rapat, posisi telungkup yang tidak
baik, perdarahan retrobulber dapat menyebabkan peningkatan TIO yang
besar.
Tekanan intraokuler menolong mempertahankan bentuk dan karena itu
berarti untuk fungsi mata untuk melihat. Variasi tekanan intraokuler yang
temporari umumnya dapat ditolerensi dengan baik oleh mata yang normal.
Dalam kenyataannya, berkedip/blinking meningkatkan tekanan sebesar 5
mmHg dan melirik /mengedip/squinting meningkatkan tekanan sebesar 26
mmHg. Keadaan episode peningkatan TIO selintas pada pasien dengan
tekanan arteri optalmik rendah (misalnya hipotensi kendali, arteriosclerosis
yang mengenai arteri retina), akan tetapi, mungkin membahayakan perfusi
retina dan menyebabkan iskemi retina.

Tabel 1: Pengaruh variabel Kardiak dan Respirasi terhadap TIO

Variabel Efek pada TIO

Tekanan vena sentral


Meningkat ↑↑↑
Menurun ↓↓↓

Tekanan darah arteri


Meningkat ↑
Menurun ↓

PaCO2
Meningkat (hipoventilasi) ↑↑
Menurun (hiperventilasi) ↓↓

PaO2
Meningkat 0
Menurun ↑

Keterangan : ↓ = menurun (ringan, sedang, berat),


↑ = (ringan, sedang, berat),
0 = tidak ada efeknya.

Bila bola mata terbuka selama operasi tertentu (tabel 2) atau setelah
trauma yang menimbulkan perforasi, tekanan intraokuler sama dengan
tekanan atmosfir. Setiap faktor yang normalnya meningkatkan tekanan
intraokuler akan bertendensi menurunkan volume intraokuler dengan
drainase aqueous atau ekstrusi vitreus melalui luka yang terbuka. Ekstrusi

3
vitreus adalah suatu komplikasi yang serius yang dapat menimbulkan
kerusakan penglihatan yang permanen.

Tabel 2: Prosedur pembedahan Open eye


Ekstraksi katarak
Perbaikan laserasi kornea
Transplantasi kornea (keratoplasti penetrasi)
Iridektomi perifer
Pengambilan benda asing
Perbaikan ruptur bola mata
Implantasi lensa intraokuler sekunder
Trabekulektomi (dan prosedur filtering yang lain)
Vitrectomi
Perbaikan luka yang bocor

Efek Obat Anestesi terhadap Tekanan Intraokuler


Kebanyakan obat anestesi menurunkan atau tidak mempunyai pengaruh
pada tekanan intraokuler (tabel 3). Anestetika inhalasi menurunkan tekanan
intraokuler sebanding dengan dalamnya anestesi, makin dalam anestesi
makin turun tekanan intraokuler. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai
hal : 1) penurunan tekanan darah mengurangi volume choroidal, 2) relaksasi
otot ekstraokuler akan menurunkan tegangan dinding bola mata, 3) konstriksi
pupil memfasilitasi pengaliran aqueous. Obat anestesi intra vena juga
menurunkan TIO dengan pengecualian ketamin yang umumnya menaikkan
tekanan darah dan tidak menimbulkan relaksasi otot ekstraokuler.

Tabel : Efek Obat Anestesi pada Tekanan Intraokuler


Obat Efek pada TIO
Anestetika inhalasi
Anestetika volatil ↓↓
N2O ↓
Anestetika intravena
Barbiturat ↓↓
Benzodiazepin ↓↓
Ketamin ?

4
Opioid ↓
Pelumpuh Otot
Depolarizer (succinylcholin) ↑↑
Non depolarizer 0/↓

Pemberian topikal obat anticholinergic menyebabkan dilatasi pupil


(midriasis), yang mempresipitasi angle-closure glaucoma. Dosis sistemik
sulfas atropin tidak dihubungkan dengan hipertensi intraokuler, dengan
pengecualian pasien dengan glaucoma.
Succinylcholin meningkatkan tekanan intraokuler sebesar 5-10 mmHg
selama 5-10 menit setelah pemberian, melalui kontraksi otot ekstraokuler.
Tidak seperti otot skelet yang lainnya, otot ekstraokuler mengandung sel
dengan mutiple neuromuscular junction. Pengulangan depolarisasi dari sel ini
oleh succinylcholin menyebabkan kontraksi yang lama. Peningkatan tekanan
intraokuler mempunyai beberapa efek. Itu akan menyebabkan nilai
pengukuran palsu dari pemeriksaan tekanan intraokuler dibawah anestesi
pada pasien glaukoma, sehingga ada kemungkinan terjadinya dilakukan
tindakan operasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Selanjutnya, peningkatan
tekanan intrakranial dapat menyebabkan ekstrusi dari isi bola mata melalui
luka operasi atau trauma. Efek akhir dari kontraksi yang lama dari otot
ekstraokuler adalah abnormalnya test force duction selama 20 menit.
Tindakan ini untuk mengevaluasi penyebab imbalance otot ekstraokuler dan
mungkin dipengaruhi oleh tipe operasi strabismus yang dilakukan.
Bendungan dari pembuluh darah choroidal juga berperanan terhadap
kenaikan tekanan intraokuler. Obat pelumpuh non depolarising tidak
meningkatkan tekanan intraokuler.

Refleks Okulokardiak
Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat
menimbulkan variasi yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardi dan
ventrikular ectopik sampai sinus arest atau ventrikular fibrilasi. Refleks ini,
permulaannya diuraikan pada tahun 1908, terdiri dari jalur trigeminal aferent
(V1) dan vagal aferent. Refleks okulocardiak paling umum terjadi pada pasien
pediatri yang dilakukan operasi strabismus. Meskipun demikian, refleks ini
dapat terjadi semua kelompok umur dan selama prosedur mata apapun,
termasuk ekstraks katarak, enukleasi, perbaikan ablasio retina. Pada pasien
yang bangun, adanya okulocardiak refleks akan menyebabkan pasien jadi
somnolen dan mual.
Obat anticholinergik sering menolong dalam mencegah okulokardiak
refleks. Atropin atau glikopirolat intravena segera sebelum dilakukan operasi
lebih efektif daripada premedikasi intramuskuler. Ini harus diingat bahwa
pemberian anticholinergik dapat berbahaya pada pasien tua, yang

5
mempunyai penyakit jantung koroner. Blok retrobulber atau mendalamkan
anestesi dapat digunakan, akan tetapi, teknik ini mempunyai resiko tersendiri.
Blok retrobulber dalam kenyataannya dapat menimbulkan refleks
okulocardiak. Kebutuhan profilaksis masih kontroversial.
Pengelolaan bila terjadi okulokardiak refleks adalah: 1) segera beritahu
ahli bedahnya dan hentikan sementara pembedahan sampai denyut jantung
meningkat, 2) konfirmasi adekuat ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman
anestesi, 3) berikan atropin intravena (10 ug/kg) bila gangguan konduksi
menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan infiltrasi otot rektus
dengan anestesi lokal. Refleks pada umumnya melemah sendiri (hilang
sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot ekstraokuler.

Ekspansi Gas Intraokuler


Gelembung gas mungkin disuntikkan oleh dokter mata kedalam posterior
chamber selama operasi vitreous. Suntikan udara intravitreal akan
bertendensi mendatarkan retina yang ablasio dan terjadi penyembuhan
secara anatomi. Gelembung udara ini akan diserap dalam 5 hari dengan
difusi gradual melalui jaringan dan masuk kedalam aliran darah. Bila pasien
diberikan N2O, besarnya gelembung ini akan meningkat, hal ini disebabkan
karena N2O 35 kali lebih larut daripada nitrogen didalam darah. Jadi, hal ini
bertendensi untuk difusi kedalam gelembung udara lebih cepat daripada
nitrogen (komponen utama udara) yang diabsorpsi kedalam aliran darah. Bila
gelembung udara membesar setelah mata ditutup/dijahit, akan terjadi
kenaikan tekanan intraokuler.
Sulfur hexaflourida (SF6) adalah gas yang innert yang kurang larut
dalam darah dibandingkan dengan nitrogen dan N2O. Mempunyai lama kerja
yang lebih panjang (sampai 10 hari) dibandingkan dengan gelembung udara
sehingga dapat memberikan keuntungan bagi dokter mata. Ukuran
gelembung menjadi dua kali lipat dalam waktu 24 jam setelah penyuntikkan
disebabkan nitrogen dari udara inspirasi masuk ke gelembung lebih cepat
daripada SF6 difusi ke aliran darah. Meskipun demikian, kecuali kalau volume
besar dari SF6 disuntikkan, pembesaran gelembung yang lambat tidak selalu
meningkatkan tekanan intraokuler. Kalau pasien diberikan N2O, ukuran
gelembung akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan hipertensi
intraokuler. Inspirasi dengan N2O 70% akan meningkatkan gelembung 3 kali
lipat dari 1 ml gelembung dan peningkatan tekanan dua kali lipat pada mata
yang tertutup dalam waktu 30 menit. Penghentian N2O akan menyebabkan
reabsorpsi gelembung, yang menjadi campuran N2O dengan SF6.
Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokuler akan mempresipitasi
pelepasan retina.
Komplikasi-komplikasi ini termasuk pembesaran gelembung gas dapat
dicegah dengan menghentikan N2O paling lambat 15 menit sebelum
menyuntikkan udara atau SF6. Dengan jelas jumlah waktu yang diperlukan
untuk mengeluarkan N2O dari darah akan bergantung pada beberapa faktor,

6
termasuk fresh gas flow rate dan ventilasi alveoli yang adekuat. Kedalamam
anestesi harus dipertahankan dengan pemberian obat anestesi yang lain.
N2O harus dihindari sampai gelembung diserap (5 hari setelah penyuntikkan
udara dan 10 hari setelah penyuntikkan SF6).

Efek Sistemik dari Obat Mata


Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorpsi melalui pembuluh
darah dalam sakus konjunctiva dan mukosa duktus nasolacrimalis. Satu tetes
(kira-kira 1/20 ml) dari phenilefrin 10% berisi 5 mg obat, sebanding dengan
dosis intravena phenilefrin 0,05-1 mg yang digunakan untuk terapi hipotensi.
Obat yang diberikan secara topikal diabsorpsi dengan kecepatan intermediate
antara suntikan intravena dan subkutis (dosis toksik phenilefrin yang diberikan
secara subkutan adalah 10 mg). Anak-anak dan geriatri beresiko untuk efek
toksik dari obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima paling
banyak larutan phenilefrin 2,5%.

Tabel 3: Efek Sistemik dari Obat Mata


Obat Mekanisme Kerja Efek
Acetylcholin Cholinergik agonist (miosis) Bronhospasme, bradikardi,
hipotensi
Acetazolamide Inhibisi carbonik anhidrase Diuresis, hipokalemi,
(menurunkan TIO) metabolik asidosis
Atropin Anticholinergik (midriasis) Central anticholinergik
syndrome
Cyclopentolate Anticholinergik (midriasis) Disorientasi, psikosis,
convulsi
Echotiopate Cholinesterase inhbitor Bronkhospasme,
(miosis, penurunan TIO) pemanjangan efek
succinylcholin dan
mivacurium
Epinefrin Simpathetic agonis (midriasis, Hipertensi, bradikardi,
menurunkan TIO) takikardi, sakit kepala
Phenylefrin Alpha adrenergik agonis Hipertensi, takikardi,
(midriasis, vasokonstriksi) disritmia

Scopolamine Anticholinergik (midriasis, Central anticholinergic


vasokonstriksi) syndrome
Timolol Beta adrenergik bloking Bradikardi, asthma, gagal
(menurunkan TIO) jantung congestif

7
Echothiopate adalah suatu cholinesterase inhibitor ireversibel yang
digunakan untuk terapi glaukoma. Pada pemberian topikal dapat terjadi
absorpsi sistemik dan berakibat penurunan aktivitas cholineserase plasma.
Disebabkan karena succinylcholin dan mivacurium dimetabolisme oleh enzym
ini, echotiopate akan memperpanjang lama kerjanya. Penghambatan aktivitas
cholinesterase berakhir untuk 3-7 minggu setelah pemberian echotiopate
tetes dihentikan. Efek samping muskarinik, seperti bradikardi selama induksi,
dapat dicegah pemberian anticholinergic misalnya atropin dan glikopirolate.
Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takikadi, dan
ventrikular disritmia, efek disritmogenik potensiasi dengan halotan. Pemberian
langsung epinefrin pada anterior chamber mata tidak menimbulkan toksisitas
kardiovaskuler.
Timolol, suatu beta adrenergik antagonis non selektif, mengurangi
tekanan intraokuler dengan menurunkan produksi humor aqueous.
Pemberian timolol topikal pada mata, umumnya digunakan untuk terapi
glaukoma, jarang dihubungkan dengan bradikardi yang resisten dengan
atropin, hipotensi, dan brokhospasme selama anestesi umum.

Anestesi Umum untuk Bedah Mata


Pemilihan antara anestesi umum dan anestesi lokal harus dilakukan
dengan mengikut sertakan pasien, spesialis anestesi, dan spesialis bedah
mata yang melakukan tindakan pembedahan. Beberapa pasien menolak
dilakukan anestesi lokal disebabkan kecemasan takut bangun selama
prosedur pembedahan atau sakit saat dilakukan anestesi lokal. Walaupun
tidak ada bukti bahwa salah satu teknik anestesi lebih aman, anestesi lokal
kurang menimbulkan stres. Anestesi umum diindikasikan untuk pasien anak
dan dewasa yang tidak kooperatif, misalnya kepala sedikit bergerak yang
dapat menimbulkan kecelakaan selama dilakukan bedah mikro. Kombinasi
lokal-general anestesi, suatu teknik sedasi dalam, sering menimbulkan
masalah dengan airway, maka harus dihindari disebabkan mempunyai resiko
kombinasi akibat anestesi lokal dan anestesi umum.

Premedikasi
Pasien yang dilakukan operasi mata mungkin ketakutan, terutama bila
dilakukan multiple prosedur dan ada kemungkinan kebutaan yang permanen.
Pasien pediatrik sering dihubungkan dengan adanya cacat kongenital
(misalnya sindrom rubela, sindrom Goldenhar, Down sindrom). Pasien
dewasa pada umumnya geriatri, dengan banyak sekali penyakit sistemik
(misalnya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner). Faktor-
faktor tersebut harus diperhatikan bila memilih premedikasi.

Induksi

8
Pemilihan teknik induksi untuk operasi mata bergantung terutama pada
penyakit yang menyertainya daripada kepada penyakit mata atau tindakan
pembedahannya. Satu pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata.
Kunci dari induksi anestesi pada pasien dengan cedera mata terbuka adalah
mengendalikan tekanan intraokuler dengan melakukan induksi yang mulus.
Khususnya, batuk selama induksi harus dihindari dengan mendalamkan
anestesi dan paralisis. Respon TIO terhadap laringoskopi dan intubasi, dapat
ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg bb atau opioid
(misalnya remifentanil 0,5-1 ug/kg atau alfentanil 20 ug/kg). Pelumpuh otot
yang digunakan jangan succinylcholin karena mempengaruhi TIO.
Kebanyakan pasien dengan cedera bola mata terbuka tidak puasa/lambung
penuh dan memerlukan teknik rapid-sequence induction.

Monitoring dan Maintenance


Pada operasi mata anestesiologist jauh dari jalan nafas pasien,
melakukan monitoring ketat dengan pulse oksimetri dan capnograph penting
untuk semua operasi mata. Kinking dan obstruksi pipa endotrakheal dapat
dikurangi dengan menggunakan pipa endotrakheal khusus yang melengkung
didaerah bibir. Kemungkinan aritmia yang disebabkan okulokardiak refleks
menyebabkan pentingnya dilakukan monitoring EKG kontinyu dan suara
denyutan nadi harus dapat didengar. Pada pediatri, temperatur tubuh infant
sering meningkat selama operasi mata karena kain operasi yang menyelimuti
seluruh tubuhnya. Pemantauan End-tidal CO2 dapat membedakannya
dengan malignan hipertermia.
Nyeri dan stress oleh operasi mata lebih kecil dibandingkan operasi
abdomen besar. Level anestesi yang lebih dangkal sudah cukup asal pasien
tidak bergerak saat operasi. Kurangnya stimulasi kardiak dari operasi mata
digabung dengan kebutuhan kedalaman anestesi dapat menyebabkan
hipotensi pada geriatri. Masalah ini umumnya dapat dicegah dengan
mempertahankan hidrasi yang adekuat, memberikan dosis kecil efedrin (2-5
mg), atau paralisis adekuat dengan pelumpuh otot non depolarizing. Dengan
memakai pelumpuh otot maka dapat diatur level anestesi yang lebih dangkal.
Muntah yang disebabkan stimulasi vagal umumnya merupakan masalah
pascabedah, terutama pada operasi strabismus. Efek valsalva dan
peningkatan tekanan vena sentral karena muntah, mempunyai efek buruk
terhadap hasil operasi dan meningkatkan resiko tejadinya aspirasi.
Pemberian metoclopramide (10 mg pada dewasa) atau 5-HT3 antagonis
(misalnya ondansetron 4 mg pada dewasa) intraoperatif menurunkan kejadian
post operative nausea and vomiting (PONV). Antiemetik harus diberikan pada
pasien yang menerima opioid atau ada riwayat PONV. Dexametason (4 mg
pada dewasa) juga diberikan pada pasien dengan riwayat PONV yang sangat
jelas.

9
Ekstubasi dan Emergens
Walaupun benang jahit modern dan teknik penutupan luka operasi
menurunkan resiko terbukanya luka operasi pascabedah, tetap harus
dilakukan emergens dari anestesi yang mulus. Batuk akibat adanya pipa
endotrakehal dapat dicegah dengan esktubasi saat level anestesi yang cukup
dalam. Ketika operasi berahir, pelumpuh otot di reverse dan pasien bernafas
spontan. Obat anestesi diteruskan saat melakukan pengisapan jalan nafas.
N2O kemudian dihentikan, dan diberikan lidokain 1,5 mg/kgbb untuk
menumpulkan reflek batuk sementara. Ekstubasi dilakukan 1-2 menit setelah
pemberian lidokain dan selama bernafas spontan dengan oksigen 100%.
Kontrol jalan nafas yang tepat sangat penting sampai refleks batuk dan
menelan pulih. Akan tetapi, teknik ini tidak menyenangkan untuk pasien
dengan resiko aspirasi yang tinggi.
Nyeri hebat setelah operasi mata tidak biasa terjadi. Prosedur sklera
buckling/tekuk, enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah operasi
mata yang paling sakit. Dosis kecil narkotik intravena (misalnya petidin 15-25
mg untuk dewasa) umumnya cukup efektif. Nyeri hebat mungkin merupakan
tanda adanya hipertensi intraokuler, aberasi kornea, atau komplikasi bedah
lainnya.

Anestesi Regional untuk Operasi Mata


Anestesi regional untuk operasi mata secara tradisional terdiri dari blok
retrobulbar atau peribulbar, blok saraf fasial, dan sedasi intravena. Walaupun
kurang invasif dibandingkan dengan anestesi umum dengan intubasi
endotrakheal dan kejadian PONV yang lebih kecil, anestesi lokal bukannya
tanpa komplikasi. Blok mungkin tidak memberikan akinesia dan analgesia
mata yang adekuat, atau pasien tidak bisa berbaring dengan tenang selama
pembedahan berlangsung. Untuk alasan ini, diperlukan personil, dan alat
untuk terapi komplikasi anestesi lokal dan keperluan untuk melakukan
anestesi umum harus sudah tersedia. Pada keadaan lain, pasien dianestesi
lokal dan dokter anestesi hanya diminta “mendampingi”, sekarang disebut
teknik Monitored Anesthesia Care (MAC), dimana dokter anestesi harus
memantau secara kontinyu selama pembedahan, dan tidak hanya
mendampingi.

Blok Retrobulber
Pada teknik ini, obat anestesi lokal disuntikan dibelakang mata kedalam
konus yang dibentuk oleh otot ekstraokuler (Gambar 38-1). Jarum no 25 tipe
tumpul disuntikkan dibawah palpebra
A blunt-tipped 25-gauge needle penetrates the lower lid at the junction of the
middle and lateral one-third of the orbit (usually 0.5 cm medial to the lateral canthus).

10
Blok Peribulber...??
Blok Sub-Tenon ...??
Blok nerves Fasialis ...??
Anestesi Topikal ...??

Gambar 38-1.
A: During administration of a retrobulbar block, the patient looks supranasally as a
needle is advanced 1.5 cm along the inferotemporal wall of the orbit.
B: The needle is then redirected upward and nasally toward the apex of the orbit and
advanced until its tip penetrates the muscle cone.

Sedasi Intravena
Terdapat beberapa teknik sedasi intravena untuk operasi mata. Jenis
obat tertentu kurang penting dibandingkan dengan dosis obat. Sedasi yang
dalam harus dihindari sebab meningkatkan resiko apnoe dan pergerakan
tidak disengaja selama operasi. Sebaliknya, blok retrobulbar dan blok saraf
fasialis tidak menyenangkan untuk pasien. Untuk komprominya, beberapa ahli
anestesi memberikan dosis kecil propofol (30-100 mg perlahan-lahan) atau
barbiturat yang short acting (misalnya 10-20 mg methohexital atau 25-75 mg
pentotal) untuk menghasilkan tidur yang sangat singkat selama dilakukan
anestesi regional. Pilihan lain, dosis kecil opioid (remifentanil 0,1-0,5 ug/kb bb

11
atau alfentanil 375-500 ug) menyebabkan analgesia yang kuat dan singkat.
Spesialis anestesi lain, percaya bahwa resiko henti nafas dan aspirasi
unacceptable, dosis limit hanya untuk memberikan minimal relaksasi dan
amnesia. Midazolam (1-2 mg) dengan atau tanpa fentanyl (12,5-25 ug) atau
sufentanil (2,5-5 ug) merupakan regimen yang umum diberikan. Dosis sangat
bervariasi dan tergantung dari pasien dan harus diberikan secara titrasi. Lebih
jauh, kombinasi bermacam-macam obat (benzodiazepin, hipnotik, opioid)
dapat menimbulkan potensiasi obat, jadi dosis harus dikurangi. Obat anti
emetik mungkin harus diberikan bila digunakan opioid. Tanpa melihat teknik
apa yang digunakan, ventilasi dan oksigenasi harus dipantau dan alat untuk
memberikan ventilasi tekanan positif harus tersedia.

Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun datang ke ruang emergensi
setelah tertembak matanya oleh peluru. Pemeriksaan dokter mata
menunjukkan adanya isi intraokuler didaerah luka. Anak tersebut dijadwalkan
untuk operasi emergensi perbaikan bola mata yang ruptur.

Apa yang harus ditekankan pada evaluasi prabedah untuk pasien ini?
Disamping ditanyakan anamnesa dan pemeriksaan fisik rutin, makan
terakhir sebelum dan setelah injury harus ditanyakan seakurat mungkin.
Pasien harus dianggap lambung penuh kalau injury terjadi dalam 8 jam
setelah makan terakhir, sekalipun bila pasien tidak makan untuk beberapa
jam setelah injury: pengosongan lambung melambat oleh adanya nyeri dan
kecemasan yang terjadi akibat trauma.

Apa signifikansi dari lambung penuh pada pasien dengan cedera mata
terbuka?
Pengelolaan pasien yang disangka mengalami cedera mata penetrasi
memberikan tantangan untuk ahli anestesi sebab kebutuhan untuk membuat
rencana anestesi yang konsisten dengan sediktnya ada dua masalah yang
bertentangan. Yang pertama adalah mencegah kerusakan mata lebih besar
dengan mencegah terjadinya kenaikan tekanan intraokuler. Yang kedua,
mencegah terjadinya aspirasi paru pada pasien dengan lambung penuh.
Kebanyakan dari strategi umum yang digunakan untuk mencapai tujuan
ini secara tidak langsung bertentangan satu sama lain (tabel dibawah).
Sebagai contoh, walaupun regional anestesi (misalnya blok retrobulbar)
mengurangi resiko aspirasi pneumonia, ini relatif kontraindikasi pada pasien
dengan injury mata penetrasi sebab suntikan obat anestesi lokal dibelakang
bola mata dapat meningkatkan tekanan intraokuler dan menimbulkan
keluarnya isi bola mata. Karena itu, pasien ini memerlukan anestesi umum,
walaupun resiko aspirasi pneumonia meningkat.

12
Tabel: Strategi untuk mencegah peningkatan TIO
Hindari tekanan langsung pada bola mata
Tutup mata dengan fox shield
Jangan melakukan teknik retrobulbar atau peribulbar
Teknik pemasangan face mask yang hati-hati

Hindari peningkatan CVP


Cegah batuk saat induksi dan intubasi
Pastikan anestesi dan relaksasi yang dalam sebelum laringoskopi
Hindari posisi head-down
Ekstubasi saat tidur dalam

Hindari obat yang meningkatkan TIO


Succinylcholine
Ketamin ?

Persiapan preoperatif apa yang harus dilakukan pada pasien ini?


Sasaran persiapan prabedah adalah untuk mengurangi resiko aspirasi
pneumonia dengan mengurangi volume dan keasaman lambung. Aspirasi
pada pasien cedera mata dicegah dengan pemilihan dari obat dan teknik
anestesi yang tepat. Pengeluaran isi lambung dengan pipa nasogastrik dapat
menimbulkan batuk, mengejan, dan respon lain yang meningkatkan tekanan
intraokuler.
Metoclopramid meningkatkan tonus oesofagus distal, mempercepat
pengosongan lambung, mengurangi volume isi lambung, dan sebagai
antiemetik. Metoclopramid harus diberikan intravena (10 mg) sesegera
mungkin dan diulangi setiap 2-4 jam sebelum pembedahan. Ranitidin (50 mg
intravena), cimetidin (300 mg intravena) dan famotidine (20 mg intravena)
adalah H2 histamin reseptor antagonis yang menghambat sekresi asam
lambung. Disebabkan tidak mempunyai efek pada pH sekresi gaster yang
sudah ada pada cairan gaster sebelum obat tersebut diberikan, akan
membatasi nilai kegunaannya untuk operasi emergensi.
Tidak seperti H2 reseptor antagonis, antasid mempunyai efek langsung
untuk mengurangi pH cairan lambung, sayangnya, menaikkan volume isi
lambung. Antasid non partikel (disiapkan sebagai sodium sitrat, potasium

13
sitrat, citric acid) kehilangan efektivitasnya dalam 30-60 menit, maka harus
diberikan segera sebelum induksi anestesi (15-30 ml per oral).

Obat Induksi apa yang dianjurkan pada pasien dengan cedera mata
terbuka?
Obat induksi ideal untuk pasien dengan lambung penuh akan
memberikan mula kerja yang cepat dalam usaha untuk mengurangi resiko
regurgitasi. Ketamin, pentotal, propofol, dan etomidat mempunyai mula kerja
yang cepat (misalnya satu waktu sirkulasi lengan-otak).
Selanjutnya, obat induksi yang ideal harus tidak meningkatkan resiko
ekspulsi okuler dengan meningkatnya TIO (dalam kenyataannya, kebanyakan
obat induksi anestesi menurunkan TIO). Walaupun penelitian tentang efek
ketamin pada TIO masih kontroversi, ketamin tidak dianjurkan tidak dipakai
pada cedera mata penetrasi owing jumlah yang banyak dari blephrospame
dan nistagmus.
Walaupun etomidate mungkin terbukti berharga pada beberapa pasien
dengan penyakit jantung, etomidate dihubungkan dengan kejadian mioklonus
dengan rentang 10-60%. Episode mioklonus berat mempunyai kontribusi
lepasnya retina secara lengkap dan prolaps vitreous pada seorang pasien
dengan cedera mata terbuka dan cadangan jantung terbatas.
Propofol dan pentotal mempunyai efek mula kerja yang cepat serta
menurunkan TIO, akan tetapi, tidak mencegah respons hipertensi terhadap
laringoskopi dan intubasi atau mencegah kenaikan TIO akibat laringoskopi-
intubasi. Pemberian fentanyl (1-3 ug/kg bb), remifentanil (0,5-1 ug/kgbb),
alfentanil (20 ug/kgbb), esmolol (0,5-1 mg/kgbb), atau lidokain (1,5 mg/kgbb)
sebelumnya, menekan respons ini dengan keberhasilan yang bervariasi.

Tabel : Strategi untuk mencegah aspirasi pneumonia


Anestesi regional dengan sedasi minimal
Premedikasi
Metoclopramid
Histamin H2 reseptor antagonis
Antasid non partikel

Pengeluaran isi lambung


Pipa nasogastrik

14
Rapid-sequence induction
Tekanan cricoid
Obat induksi dengan mula kerja cepat
Succinyilcholin, rocuronium, rapacuronium
Hindari ventilasi tekanan postif
Intubasi sesegera mungkin

Ekstubasi dalam keadaan sadar


Bagaimana pemilihan pelumpuh otot berbeda antara pasien ini dengan
pasien lain yang mempunyai resiko aspirasi?
Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan cedera mata penetrasi
masih kontroversi selama lebih dari 3 dekade. Succinylcholin telah pasti
meningkatkan TIO. Walaupun ada penelitian yang bertentangan, paling
bijaksana untuk menyimpulkan bahwa peningkatan tekanan ini tidak
konsisten dan dipercaya dapat dicegah dengan pemberian nondepolarizing,
dosis succinyl cholin self taming, atau lidokain. Kontradiksi penemuan dari
bebagai peneliti menggunakan regimen yang berbeda mungkin karena
perbedaan dosis dan waktu pemberian pretreatment.
Beberapa anestesiolgist membantah bahwa succinylcholin
meningkatkan TIO relatif kecil dan selintas dan tidak nyata bila dibandingkan
dengan perubahan yang disebabkan laringoskopi intubasi. Pernyataan bahwa
ada sedikit peningkatan TIO adalah merupakan harga yang kecil untuk
dibayar untuk dua keuntungan bahwa succinylcholin mempunyai mula kerja
yang cepat dan menurunkan resiko aspirasi, dan diperolehnya kelumpuhan
otot yang dalam yang menurunkan kemungkinan adanya respons valsalva
selama intubasi. Lebih jauh, penganjur succinylcholin umumnya menitik
beratkan terhadap kurangnya dokumentasi laporan kasus tentang cedera
mata dimana succinylcholin telah digunakan.
Pelumpuh otot ondepolarizing tidak menaikan TIO. Akan tetapi, sampai
dipasarkannya rokuronium, pelumpuh otot nondepolarizing tidak mempunyai
mula kerja yang cukup cepat. Tanpa memandang pelumpuh otot apa yang
digunakan, intubasi jangan dilakukan sampai dicapai level paralisis yang akan
mencegah batuk akibat pipa endotraheal.

Bagaimana Strategi Induksi pada Anak yang belum dipasang jalur vena?
Anak yang histeris dan tidak puasa/lambung penuh memberikan
anestetis tantangan dimana tidak ada pemecahan masalah yang sempurna.
Sekali lagi, dilema adalah kebutuhan untuk mencegah kenaikan tekanan
intraokuler dan mengurangi resiko aspirasi.

15
Sebagai contoh, menangis dan menjerit akan menaikkan TIO secara
hebat sekali. Usaha untuk memberikan sedasi per rektal atau suntikan
intramuskuler, sering menambah keadaan agitasi dan memperburuk cedera
mata. Sama halnya, walaupun sedasi prabedah mungkin meningkatkan
resiko aspirasi dengan menghilangkan refeks jalan nafas, sering diperlukan
untuk memasang jalur vena untuk rapid sequence induction. Strategi yang
ideal adalah memberikan sedasi tanpa nyeri yang mengijinkan dapat
dilakukannya pemasangan jalur vena dan mempertahankan level kesadaran
yang adekuat yang mampu memproteksi refleks jalan nafas. Walaupun solusi
ini sulit dicapai, diperkenalkanya obat baru dan inovasi sistem delivery,
seperti lolipop berisi opioid, dapat memberikan alternatif yang lebih baik.

Adakah pertimbangan khusus selama Ekstubasi dan Emergens?


Pasien dengan resiko untuk aspirasi selama induksi juga beresiko untuk
terjadi aspirasi selama ekstubasi dan emergens. Karena itu, ekstubasi mesti
ditunda sampai pasien bangun dan refleks jalan nafas intak (misalnya
menelan secara spontan dan batuk karena adanya pipa endotrakheal).
Ekstubasi saat pasien tidur dalam, meningkatkan resiko muntah dan aspirasi.
Pemberian anti emetik intraoperatif dan pengisapan melalaui pipa nasogastrik
mungkin menurunkan kejadian emesis selama emergens, tapi tidak menjamin
lambung kosong.

16

Anda mungkin juga menyukai