Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Umur
: 50 Tahun
Diagnosis
: Ablatio Retina OD
Operasi
Dokter Bedah
Dokter Anestesi
Tanggal Operasi
: 27 Juli 2015
Anamnesis
Pasien mengeluh mata kananya mulai tidak bisa melihat 2 minggu yang lalu..
Pasien sudah pernah dioperasi sebelumnya dengan pembiusan umum dan pasca
operasi tidak ada masalah. Riwayat penyakit penyerta lain disangkal. Saat ini
pasien tidak ada batuk pilek.
Pemeriksaan Fisik
KU : Baik, Kes : CM, TD : 103/68 mmHg, HR : 83 x/mnt, RR:18 x/mnt, suhu :
36,80 C
Status generalis
THT
Ekstremitas
: 13,9/41,0/10110/279000
Elektrolit: 139/4,28/100,4
PT/APTT
: 1,1x/1,1x
Ur/Cr
: 14/1,00
GDS
: 183
SGOT/SGPT : 20/13
CXR (25-7-2015)
Jantung dan paru tampak tidak ada kelainan radiologis
EKG (25-7-2015)
SR, QRS rate 82 x/mnt, ST change tidak ada, Tinv AVR dan V1, RBBB tidak ada,
R/LVH tidak ada
Kesimpulan : ASA 1 Tanpa penyulit airway
Instruksi pra bedah
-
operasi
Post op ke ruangan.
Rencana anestesi
- Anestesia umum
- Monitoring: TD, EKG, dan Saturasi
Pukul 08.40 pasien masuk ke dalam kamar operasi. Lalu dipasang infuse pada
tangan kanan no. 20 G. Dipasang alat monitor EKG, saturasi. Hemodinamik
diobservasi di PACU.
Analgetik post op diberikan ketorolac 30 mg dan antiemetik ondansetron 4
mg.
Lama operasi
Cairan masuk
Cairan keluar
: 40 menit
: 300 cc kristaloid
: perdarahan minimal, kateter tidak dipasang
Pembahasan
Ablatio retina adalah lepasnya lapisan sensori retina (sel batang dan sel
kerucut) dari lapisan epitel pigmen retina. Diantara kedua lapisan tersebut akan
terkumpul cairan yang disebut cairan subretina. Penderita ablation retina akan
mengeluh penglihatannya kabur secara mendadak. Pada awalnya sebelum
terjadinya ablatio retina seseorang akan merasakan penglihatannya seperti ada
kotoran, ada bintik-bintik hitam atau bayang-bayang hitam seperti garis-garis pada
lapangan pandangannya (floaters) dan dapat disertai adanya sensasi kilatan cahaya
(fotopsi). Selanjutnya secara cepat penglihatan seperti tertutup tirai bahkan gelap
sama sekali.
Retinal detachment dapat diterapi dengan retinopexy pneumatik, scleral
buckle, atau vitrektomi. Pada retinopexy pneumatic, gelembung gas diinjeksi
kedalam rongga vitreous, dan pasien diposisikan sehingga gas mendorong retina
yang terlepas sampai terbentuknya adhesi korioretinal dalam 1 sampai 2 minggu.
Pada sclera buckling, cairan subretina dikeluarkan secara pembedahan, dan sklera
yang melapisi retina yang robek ditekuk kedalan dengan dijahit ke bagian luar
mata. Sklera yang ditekuk mendorong koroid ke retina sekitar yang rusak,
menambal lubang sehingga bisa terbentuknya adhesi korioretinal. Pada
vitrektomi, penarikan vitreous pada bagian yang dipotong, dan kemudian gas
digunakan untuk mendorong sekitar retina yang rusak ke koroid.
Untuk pembedahan daerah retina biasanya digunakan anesthesia umum
dikarenakan prosedur pembedahan memerlukan waktu yang lama. Pasien sering
menjadi tidak nyaman dan lelah jika diminta untuk tetap tenang dan tidak
bergerak saat dioperasi. Sebelum melakukan pembiusan harus dilakukan penilaian pre
operative yang baik mengenai jalan nafas, fungsi jantung, paru, dan status metabolik
pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan penilaian jalan napas pasien tidak ada masalah
dengan mallampati 2, buka mulut tidak ada hambatan, juga tidak ada keterbatasan
pergerakan leher. Dari pemeriksaan fisik lainnya tidak dijumpai kelainan, begitu juga dari
pemeriksaan penunjang.
Monitoring standar yang harus ada hampir sama dengan pembiusan umum
lainnya yaitu Tekanan darah, laju jantung dan saturasi oksigen. Pada pasien ini dipasang
akses vena untuk akses obat-obatan dan cairan.
Selama intraoperatif terdapat refleks okulokardiak dimana terjadi bradikardi
spontan yang sebelumnya laju jantung berkisar 60-70 x/menit menjadi 44-46 x/menit
diukur TD 90/50 mmHg. Saat kejadian ini, hal pertama yang dilakukan adalah
berkomunikasi dengan operator untuk penghentian operasi sementara, selanjutnya
ventilator diganti menjadi bagging manual untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi
tidak bermasalah, volume Desfluran dinaikkan menjadi 8 Vol%. dan untuk mendalamkan
anesthesia diberikan propofol 30 mg dan penambahan fentanyl 50 mcg. Sesaat kemudian
HR masih 44 x/menit lalu diberikan SA 0,5 mg, lalu HR naik menjadi 80 kali permenit.
Kemudian operasi dilanjutkan. Selanjutnya intraoperatif pasien stabil dengan TD 107115/70-79 mmHg, HR 78-80 kali permenit.
Gejala bradikardi spontan ini sesuai dengan gambaran refleks okulokardiak yang
dapat terjadi pada berbagai prosedur pembedahan oftalmologi termasuk katarak,
enukleasi dan koreksi retinal detachment. Refleks ini terdiri dari saraf trigeminal sebagai
aferen dan jalur vagal sebagai eferen. Blok retrobulbal dan anestesia inhalasi yang dalam
mencegah terjadinya reflek okulokardiak.
Tatalaksana saat terjadinya okulokardiak refleks adalah pemberitahuan segera ke
operator dan penghentian sementara rangsangan pembedahan, konfirmasi ventilasi dan
oksigenisasi yang adekuat dan kedalaman anestesi, pemberian atropine intravena jika
bradikardi menetap dan pada episode yang berulang, dapat diberikan infiltrasi di m.
rectus dengan anestetik lokal.
Refleks okulokardiak pertama sekali dideskripsikan oleh Aschner dan Dagnin
pada tahun 1908. Penarikan pada otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata
menyebabkan bradikardia, blok atrioventrikular, ektopi ventricular atau asistole. Reflek
ini adalah akibat kerjanya trigeminovagal. Jaras aferen adalah dari orbita ke ganglion
ciliaris ke bagian oftalmikus dari n. trigeminal ke nucleus sensoris dari saraf trigeminal
dekat dengan ventrikel keempat. Pemberian intravena atropine atau glycolpyrolate pra
tindakan dapat menjadi efektif. Pemberian pra tindakan bisa diindikasi pada pasien
dengan riwayat blok konduksi, respon vasovagal atau terapi betabloker.