Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN GERAK DAN AKTIVITAS

A. Konsep Teori Kebutuhan


1. Definisi
Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan
aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak
terlepas dari keadekuatan system persarafan dan musculoskeletal. Aktivitas adalah
suatu keadaan bergerak yang mana manusia memerlukan energy untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut (Heriana, 2014) aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak
dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu
tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti
berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari
keadekuatan sistem persarafan dan musculoskeletal.
Aktivitas sendiri sebagai suatu energi atau keadaan bergerak dimana manusia
memerlukan hal tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (Asmadi, 2008).
Jadi aktivitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara
bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri.
Sedangkan gangguan aktivitas/intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energy
fisiologis atau psikologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari
yang ingin atau harus dilakukan (NANDA, 2015).

2. Anatomi Fisiologi
Gerak aktivitas sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf (Anatomi Fisiologi, 2012).
a. Otot (Muskulus / Muscle)
Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah energi
kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi untuk
menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap perubahan lingkungan.
Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi, sehingga mampu
menggerakan tulang. Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk
berkontraksi.
1) Fungsi Sistem Otot
(a) Pergerakan
(b) Penopang tubuh dan mempertahankan postur
(c) Produksi panas
2) Jenis-Jenis Otot
Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi:
(a) Otot Rangka (Otot Lurik)
Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas perintah
dari otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat pada otot
paha, otot betis, otot dada. Kontraksinya sangat cepat dan kuat.
(b) Otot Polos
Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja
secara tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding
berongga seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba,
seperti pada sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan
sistem sirkulasi darah. Kontraksinya kuat dan lamban.
(c) Otot Jantung
Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur
yang sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung.
Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga
mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.
3) Berdasarkan gerakannya dibedakan menjadi :
(a) Otot Antagonis, yaitu hubungan antarotot yang cara kerjanya bertolak
belakang/tidak searah, menimbulkan gerak berlawanan.
(b) Otot Sinergis, yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling
mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya
pronator teres dan pronator kuadrus.
4) Mekanisme Kontraksi Otot
Dari hasil penelitian dan pengamatan dengan mikroskop elektron dan
difraksi sinar X, Hansen dan Huxly (1995) mengemukakan teori kontraksi
otot yang disebut model Sliding Filamens. Model ini menyatakan bahwa
kontraksi terjadi berdasarkan adanya dua set filamen didalam sel otot
kontraktil yang berupa filamen aktin dan miosin. Ketika otot berkontraksi,
aktin dan miosin bertautan dan saling menggelincir satu sama lain, sehingga
sarkomer pun juga memendek. Dalam otot terdapat zat yang sangat peka
terhadap rangsang disebut asetilkolin. Otot yang terangsang menyebabkan
asetilkolin terurai membentuk miogen yang merangsang pembentukan
aktomiosin. Hal ini menyebabkan otot berkontraksi sehingga otot yang
melekat pada tulang bergerak.
Ada dua tipe kontraksi otot yaitu isotonik dan isometrik. Pada
kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek.
Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot
tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya,
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah
kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi
isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi
meningkat
b. Rangka (skeletal)
Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan tulang
rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan memungkinkan tubuh
untuk mempertahankan sikap dan posisi. Tulang sebagai alat gerak pasif karena
hanya mengikuti kendali otot. Akan tetapi tulang tetap mempunyai peranan
penting karena gerak tidak akan terjadi tanpa tulang.
1) Fungsi Rangka
(a) Penyangga; berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot,
jaringan lunak dan organ.
(b) Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow)
(c) Produksi sel darah (red marrow)
(d) Pelindung; membentuk rongga melindungi organ yang halus dan lunak.
(e) Penggerak; dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat bergerak
karena adanya persendian.
2) Jenis Tulang
a. Berdasarkan jaringan penyusun dan sifat-sifat fisiknya, yaitu:
(1) Tulang Rawan (kartilago)
(i) Tulang Rawan Hyalin: kuat dan elastis terdapat pada ujung tulang
pipa.
(ii) Tulang Rawan Fibrosa: memperdalam rongga dari cawan-cawan
(tl. Panggul) dan rongga glenoid dari skapula.
(iii) Tulang Rawan Elastik: terdapat dalam daun telinga,
epiglotis dan faring.
(2) Tulang Sejati (osteon)
Tulang bersifat keras dan berfungsi menyusun berbagai sistem
rangka. Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum).
Lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum dan
meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
b. Berdasarkan matriksnya, yaitu:
(1) Tulang kompak, yaitu tulang dengan matriks yang padat dan rapat.
(2) Tulang Spons, yaitu tulang dengan matriksnya berongga.
c. Berdasarkan bentuknya, yaitu:
(1) Ossa longa (tulang pipa/panjang), yaitu tulang yang ukuran
panjangnya terbesar. Contohnya os humerus dan os femur.
(2) Ossa brevia (tulang pendek), yaitu tulang yang ukurannya pendek.
Contohnya tulang yang terdapat pada pangkal kaki, pangkal lengan,
dan ruas-ruas tulang belakang.
(3) Ossa plana (tulang pipih), yaitu tulang yang ukurannya lebar.
Contohnya os scapula (tengkorak), tulang belikat, tulang rusuk.
(4) Ossa irregular (tulang tak beraturan), yaitu tulang dengan bentuk
yang tak tentu. Contohnya os vertebrae (tulang belakang).
(5) Ossa pneumatica (tulang berongga udara). Contohnya os maxilla.
3) Organisasi Sistem Rangka
Sistem skeletal dibentuk oleh 206 buah tulang yang membentuk suatu
kerangka tubuh. Rangka digolongkan kedalam tiga bagian sebagai berikut.
(a) Rangka Aksial
Rangka Aksial terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang
tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala, leher, dan dada.
(1) Tengkorak (Cranium), yaitu tulang yang tersusun dari 22 tulang; 8
tulang kranial dan 14 tulang fasial.
(2) Tulang Pendengaran (Auditory) terdiri dari 6 buah
(3) Tulang Hioid, yaitu tulang yang berbentuk huruf U, terdapat diantara
laring dan mandibula, berfungsi sebagai pelekatan beberapa otot
mulut dan lidah 1 buah
(4) Tulang Belakang (Vertebra), berfungsi menyangga berat tubuh dan
memungkinkan manusia melakukan berbagai macam posisi dan
gerakan, misalnya berdiri, duduk, atau berlari. Tulang belakang
berjumlah 26 buah
(5) Tulang Iga/Rusuk (Costae), yaitu tulang yang bersama-sama dengan
tulang dada membentuk perisai pelindung bagi organ-organ penting
yang terdapat di dada, seperti paru-paru dan jantung. Tulang rusuk
juga berhubungan dengan tulang belakang, berjumlah 12 ruas
(b) Rangka Apendikular
Rangka apendikuler merupakan rangka yang tersusun dari tulang-tulang
bahu, tulang panggul, dan tulang anggota gerak atas dan bawah terdiri
atas 126 tulang. Secara umum rangka apendikular menyusun alat gerak,
tangan dan kaki. Tulang rangka apendikular dibagi kedalam 2 bagian
yaitu ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah.

3. Faktor Predisposisi (Pendukung) dan Presipitasi (Pencetus)


Gerak aktivitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor Predisposisi
1) Gaya hidup : Perubahan gaya hidup dapat mepengaruhi kemampuan
mobilitas seseorang, karena gaya hidup berdampak pada prilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
2) Kebudayaan : Kemampuan melakukan mobilisasi juga dapat dipengaruhi
oleh kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat ; sebaliknya ada
orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya
tertentu dilarang untuk beraktivitas.
3) Tingkat energi : Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar
seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik dibutuhkan energi yang
cukup.
4) Usia dan status perkembangan : Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas
pada tingkat usia yang berbeda hal ini dikarenakan kemampuan atau
kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
b. Faktor Presipitasi
1) Proses penyakit atau cidera :
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita
fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas
bagian bawah.

4. Gangguan Terkait Kebutuhan Aktivitas


a. Etiologi
Penyebab terjadinya intoleransi aktivitas (SDKI, 2017), yakni :
1) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
2) Tirah baring
3) Kelemahan
4) Imobilitas
5) Gaya hidup monoton
b. Proses Terjadi
Menurut Hidayat (2014) proses terjadinya gangguan aktivitas tergantung dari
penyebab gangguan yang terjadi. Ada tiga hal yang dapat menyebabkan gangguan
tersebut, diantaranya adalah :
1) Kerusakan Otot
Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis otot. Otot
berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses pergerakan jika terjadi
kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi pergerakan jika otot terganggu.
Otot dapat rusak oleh beberapa hal seperti trauma langsung oleh benda tajam
yang merusak kontinuitas otot. Kerusakan tendon atau ligament, radang dan
lainnya.
2) Gangguan pada skelet
Rangka yang menjadi penopang sekaligus poros pergerakan dapat terganggu
pada kondisi tertentu hingga mengganggu pergerakan atau mobilisasi.
Beberapa penyakit dapat mengganggu bentuk, ukuran maupun fungsi dari
sistem rangka diantaranya adalah fraktur, radang sendi, kekakuan sendi dan
lain sebagainya.
3) Gangguan pada sistem persyarafan
Syaraf berperan penting dalam menyampaikan impuls dari dan ke otak.
Impuls tersebut merupakan perintah dan koordinasi antara otak dan anggota
gerak. Jadi, jika syaraf terganggu maka akan terjadi gangguan penyampaian
impuls dari dan ke organ target. Dengan tidak sampainya impuls maka akan
mengakibatkan gangguan mobilisasi.
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada intolerasi aktivitas menurut SDKI (2017), antara lain :
1) Merasa lelah
2) Dyspnea saat/setelah aktivitas
3) Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
4) Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
5) Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
6) Gambaran EKG menunjukkan aritmia/iskemia saat/setelah aktivitas
7) Sianosis
d. Komplikasi
1) Gangguan Sistem Muskuloskeletal
Pada sistem ini, imobilitas dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti
osteoporosi, atrofi otot,kontraktur, dan kekakuan serta nyeri pada sendi.
(a) Osteoporosis
Tanpa adanya aktivitas yang memberi beban pada tulang, tulang akan
mengalami demineralisasi (osteoporosis). Proses ini akan
menyebabkan tulang kehilangan kekuatan dan kepadatannya sehingga
tulang mennjadi keropos dan mudah patah.
(b) Atrofi Otot
Otot yang tidak dipergunakan dalam waktu lama akan kehilangan
sebagian besar kekuatan dan fungsi normalnya.
(c) Kontraktur
Pada kondisi imobilisasi, serabut otot tidak mampu memendek atau
memanjang. Lama kelamaan kondisi ini akan menyebabkan kontraktur
(pemendekan otot permanen). Proses ini sering mengenai sendi,
tendon dan ligamen.
(d) Kekakuan dan Nyeri Sendi
Pada kondisi imobilisasi, jaringan kolagen pada sendi dapat
mengalami ankilosa. Selain itu, tulang juga mengalami demineralisasi
yang akan menyebabkan akumulasi kalsium pada sendi yang dapat
mengakibatkan kekakuan pada sendi.
2) Gangguan eliminasi urine
Masalah yang umum ditemui pada sistem perkemihan akibat imobilisasi
antara lain:
(a) Stasis Urine
Pada individu yang mobil, grivitasi memerankan peran yang penting
dalam proses pengosongan ginjal dan kandung kemih. Sebaiknya saat
individu dalam posisi berbaring untuk waktu yang lama gravitasi
justru akan menghambat proses tersebut akibatnya, pengosongan urine
menjadi terhambat, dan terjadilah stasis urine (terhentinya atau
terhambatnya aliran urine)
(b) Batu Ginjal
Pada kondisi imobilisasi, terjadi ketidak seimbangan antara kalsium
dan asam sitrat yang mengakibatkan kelebihan kalsium. Akibatnya
urine menjadi lebih basa, dan garam kalsium mempresipitasi
terbentuknya batu ginjal.
(c) Retensi Urine
Kondisi imobilisasi menyulitkan upaya seseorang untuk melemaskan
otot perineum pada saat berkemih. Selain itu, penurunan tonus otot
kandung kemih juga menghambat kemampuan untuk mengosongkan
kandung kemih secara tuntas.
(d) Infeksi Berkemih
Urine yang statis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Selain itu, sifat urine yang basa akibat hiperkalsiuria juga
mendukung proses tersebut. Organisme yang umumnya menyebabkan
infeksi saluran kemih adalah Escherichia coli.
3) Gangguan gastrointestinal
Kondisi imobilisasi mempengaruhi 3 fungsi sistem pencernaan yaitu fungsi
ingesti, digesti, dan eliminasi. Dalam hal ini, masalah yang umum ditemui
salah satunya adalah konstipasi. Konstipasi terjadi akibat penurunan
peristaltik dan motilitas usus. Jika konstipasi terus berlanjut, feses akan
menjadi sangat keras dan diperlukan upaya yang kuat untuk
mengeluarkannya.
4) Gangguan respirasi
1) Penurunan gerak pernafasan
Kondisi ini dapat disebabkan oleh pembatasan gerak, hilangnya
kondisi otot, atau karena jarangnya otot-otot tersubut digunakan; obat
–obat tertentu (misalnya, sedatif dan analgesik) dapat pula
menyebabkan kondisi ini.
2) Penumpukan secret
Normalnya, sekret pada saluran penafasan dikeluarkan dengan
perubahan posisi atau postur tubuh, setra dengan batu. Pada kondisi
imobilisasi, sekret terkumpul pada jalan nafas akibat gravitasi
sehingga mengganggu proses difusi oksigen dan karbon dioksida di
alveoli. Selain itu, upaya batuk untuk mengeluarkan sekret juga
terhambat kerena melemahnya tonus otot-otot penafasan.
3) Ataelektasis
Pada kondisis tirah baring (imobilisasi), perubahan aliran darah
regional dapat menurunkan produksi surfaktan. Kondisi ini, ditambah
dengan sumbatan sekret pada jalan nafas, dapat mengakibatkan
atelektasi.
5) Gangguan sistem kardiovaskular
(a) Hipotensi ortostatik
Terjadi karena sistem saraf otonom tidak dapat menjaga keseimbangan
suplai darah ke tubuh sewaktu individu bangun dari posisi berbaring
dalam waktu yang lama.Darah berkumpul di ekstremitas, dan tekanan
darah menurun dratis.Akibatnya, perfusi di otak mengalami gangguan
yang bermakna, dan individdu dapat mengalami pusing, berknang-
kunang, bahkan pingsan.
(b) Pembentukan Trombus
Trombus atau massa pada yang terbentuk di jantung atau pembuluh
daraasanya disebabkan oleh tiga faktor, yakni gangguan aliran balik
vena menuju jantung, hiperkoagulabilitas darah , dan cidera pada
dinding pembluh darah. Jika trombus lepas dari dinding pembuluh
darah dan masuk ke sirkulasi disebut sebagai embolus.
(c) Edema dependen
Terjadi di area-area yang menggantung, seperti kaki dan tungkai
bawah pada individu yang sering duduk berjuntai di kursi. Edema ini
akan meghambat aliran balik vena menuju jantung yang akan
menimbulkan lebih banyak edema.
6) Gangguan metabolisme dan nutrisi
(a) Penurunan laju metabolism
Laju metabolisme basal adalah jumlah energi minimal yang digunaan
untuk mempertahankan proses metabolisme. Pada kondisi imobilisasi,
laju metabolisme basal, motilitas usus, serta sekresi kelenjar digestif
menurun seiring dengan penurunan kebutuhan energi tubuh.
(b) Balance nitrogen negative
Pada kondisi imobilisasi, terdapat ketidakseimbangan atara proses
anabolisme dan katabolisme protein. Dalam hal ini, proses
katabolisme meleihi anbolisme. Akibatnya, jumlah nitrogen yang
diekskresikan meningkat (akibat proses katabolisme) dan
menyebabkan balans nitrogen negatif.
(c) Anoreksia
Penurunan nafsu makan (anoreksia) biasanya terjadi akibat penurunan
laju metabolisme dan peningkatan katabolisme yang kerap menyertai
kondisi imobilisasi. Jika asupan protein berkurang, kondisi ini bisa
menyebabkan etidakseimbangan nitrogen yang dapat berlanjut pada
status malnutrisi.
7) Gangguan sistem integumen
(a) Turgor kulit menurun
Kulit dapat mengalami atrofi akibat imobilitas yang lama. Selain itu,
perpindahan cairan antar –konpartemen pada area tubuh yang
menggantung dapat menggangu keutuhan dan kesehatan dermis dan
jaringan subkutan. Pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan
penurunan elastisitas kulit.
(b) Kerusakan Kulit
Kondisi imobilitas menggangu sirkulasi dan suplai nutrien menuju
area tertentu. Ini mengakibatkan iskemia dan nekrosis jaringan
superfisial yang dapat menimbulkan ulkus dekubitus.
8) Gangguan sistem neurosensorik
Ketidakmampuan mengubah posisis menyebakan tehambatnya input sensorik,
menimbulkan perasaan lelah, iritabel, persepsi tidak realistis, dan mudah
bingung.

5. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan Penunjang


a. Jenis Pemeriksaan Diagnostik
1) Radiologi
(a) Rontgen : Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan
perubahan hubungan tulang.
(b) CT scan (Computed Tomography) : menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau
cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi. Dapat juga
digunakan untuk mengetahui kerusakan otak yanng menyebabkan
tergangunya kemampuan gerak.
2) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus, non-
invasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer
untuk memperlihatkan abnormalitas (misal: tumor atau penyempitan jalur
jaringan lunak melalui tulang).
3) Pemeriksaan Laboratorium
Hb menurun pada trauma, Ca menurun pada imobilisasi lama, Alkali Fospat
meningkat, kreatinin dan SGOT meningkat pada kerusakan otot.
(1) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
(2) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal
setelah trauma.
(3) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
(4) Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, trafusi
multiples, atau cedera hati.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
1) Penatalaksana Umum
a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha.
b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien.
c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang
diperlukan untuk mencapai target terapi.
d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan
dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/
kondisi penyetara lainnya.
e) Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan.
f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi
terbatas.
h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu
berdiri dan ambulasi.
i) Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.
2) Tatalaksana Khusus
a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi
b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten.
d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang
mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas
permanen.

Selain penatalaksanaan tersebut juga terdapat pencegahan primer dan


sekunder dalam pemenuhan gerak aktivitas diantaranya:
1) Pencegahan Primer:
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung
sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada
fungsi sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai
suatu proses episodik, pencegahan primer diarahkan pada
pencegahan masalah-masalah yang dapat timbul akibat imobilitas
atau ketidak aktifan.
(a) Hambatan terhadap latihan
Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam
latihan secara teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk
isolasi sosial yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga
telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya
merokok dan kebiasaan diet yang buruk), depresi, gangguan
tidur, kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan.
Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman
untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
(b) Pengembangan program latihan
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan,
dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk
memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan
suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari
rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Ketika
klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian
tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu
untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:
(1) Aktivitas saat ini dan respon fisiologis denyut nadi
sebelum, selama dan setelah aktivitas diberikan.
(2) Kecenderungan alami (predisposisi atau peningkatan
kearah latihan khusus).
(3) Kesulitan yang dirasakan.
(4) Tujuan dan pentingnya latihan yang dirasakan.
(5) Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan
bahwa seseorang akan berhasil).
c) Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan
diterima oleh klien, instruksi tentang latihan yang aman harus
dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda
intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya
dengan memilih aktivitas yang tepat.
2) Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat eksaserbasi akut dari imobilitas
dapat dikurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan.
Keberhasilan intervensi berasal dari suatu pengertian tentang
berbagai faktor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap
imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada
pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis
keperawatan yang dihubungkan dengan pencegahan sekunder
adalah gangguan mobilitas fisik
b. Penatalaksanaan lain
1) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan
untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi. Posisi-
posisi tersebut, yaitu :
a) Posisi semi fowler (setengah duduk)
b) Posisi litotomi
c) Posisi dorsal recumbent
d) Posisi supinasi (terlentang)
e) Posisi pronasi (tengkurap)
f) Posisi lateral (miring)
g) Posisi sim
h) Posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki)
2) Ambulasi dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa
dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat
tidur, bergerak ke kursi roda, dan lain-lain.
3) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih
kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
meningkatkan fungsi kardiovaskular.
4) Latihan isotonik dan isometric
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot
dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan isotonik
(dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM) secara aktif,
sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan dengan
meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.
5) Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk
mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.
6) Latihan ROM seperti :
a) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
b) Fleksi dan ekstensi siku
c) Pronasi dan supinasi lengan bawah
d) Pronasi fleksi bahu
e) Abduksi dan adduksi
f) Rotasi bahu
g) Fleksi dan ekstensi jari-jari
h) Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
i) Fleksi dan ekstensi lutut
j) Rotasi pangkal paha
k) Abduksi dan adduksi pangkal paha
7) Latihan Nafas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai dampak
terjadinya imobilitas.
8) Melakukan komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan cara
berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien untuk mengekspresikan
kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain.
B. Tinjauan Teori Askep Kebutuhan Dasar
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan atau gangguan dalam mobilitas dan imobilitas,
seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan imobilitas,
daerah terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan
mobilitas.
b. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit system neurologis
(kecelakaan cerebrovascular, trauma kepala, peningkatan tekanan intracranial,
miastenia, gravis, guillain barre, cedera medulla spinalis, dan lain-lain), riwayat
penyakit system kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif),
riwayat penyakit system musculoskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat
penyakit system pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan
lain-lain), riwayat pemakaian obat, seperti sedativa, hipnotik, depresan system
saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.
c. Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki
kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau
spastis.
d. Kemampuan Mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa
bantuan.
Berikut ini merupakan kategori tingkat kemampuan aktivitas diantaranya :

Tingkat
Kategori
Aktivitas/Mobilitas

Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.


Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.

Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain.

Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan


Tingkat 3
peralatan.

Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau


Tingkat 4
berpartisipasi dalam perawatan

e. Kemampuan Rentang Gerak


Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM) dilakukan pada daerah
seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki.

Derajat Rentang
Gerak Sendi
Normal

Bahu
Adduksi : Gerakan lengan kelateral dari
posisi samping ke atas kepala, 180
telapak tangan menghadap ke
posisi yang paling jauh.

Siku
Fleksi : Angkat lengan bawah ke arah
30
depan dan ke arah atas menuju
bahu.

Pergelangan Tangan
Fleksi: Tekuk jari-jari tangan ke arah bagian
80-90
dalam lengan bawah.
Ekstensi : Luruskan pergelangan tangan
80-90
dari posisi fleksi.
Hiperekstensi:Tekuk jari-jari tangan ke arah
belakang sejauh mungkin.
70-90
Abduksi : Tekuk pergelangan tanganke
sisi ibu jari ketika telapak
tangan menghadap ke atas.
0-20
Adduksi : Tekuk pergelangan tangan ke
arah kelingking, telapak tangan
menghadap ke atas.
30-50

Tangan dan Jari


Fleksi : Buat kepalan tangan 90
Ekstensi : Luruskan jari 90
Hiperekstensi: Tekuk jari-jari tangan ke 30
belakang sejauh mungkin.
Abduksi : kembangkan jari tangan. 20
Adduksi : Rapatkan jari-jari tangan dari 20
posisi abduksi.

f. Perubahan Intoleransi Aktivitas


Pengkajian intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan pada
system pernapasan, antara lain: suara napas, analisis gas darah, gerakan dinding
thorak, adanya mukus, batuk yang produktif diikuti panas, dan nyeri saat
respirasi. Pengkajian intoleransi aktivitas terhadap perubahan system
kardiovaskular, seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer,
adanya thrombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivitas atau
perubahan posisi.
g. Kekuatan Otot dan Gangguan Kordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau
tidak.

Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan :

Skal Persentase Kekuatan


Karakteristik
a Normal

0 0 Paralisis sempurna

Tidak ada gerakan, kontraksi otot


1 10
dapat di palpasi atau dilihat

Gerakan otot penuh melawan


2 25
gravitasi dengan topangan

Gerakan yang normal melawan


3 50
gravitasi

Gerakan penuh yang normal


4 75 melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal

Kekuatan normal, gerakan penuh


5 100 yang normal melawan gravitasi dan
tahanan penuh

h. Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
mobilitas dan imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan emosi,
perubahan dalam mekanisme koping, dan lain-lain.
i. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan kepala leher
Inspeksi: warna rambut, adanya ketombe, pertumbuhan rambut
Palpasi: kulit kepala ada tidaknya ketombe, kerontokan rambut, palpasi
adanya benjolan, adanya oedema.
2) Pemeriksaan Integumen/Kulit
Inspeksi: warna kulit
Palpasi: kelembaban kulit, suhu normal, turgor kulit, keadaan kulit bersih,
tekstur kulit
3) Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi: bentuk payudara, adanya benjolan atau tidak, atau terjadi
pembesaran masa
4) Pemeriksaan toraks atau dada
Inspeksi: bentuk dada
Palpasi: adanya nyeri tekan atau tidak, adanya benjolan atau tidak
Perkusi: ada atau tidaknya wheezing
Auskultasi: ada atau tidaknya suara nafas tambahan seperti ronchi
5) Pemeriksaan paru
Kualitas nafas normal
Bunyi nafas fesikuler
6) Pemeriksaan jantung
7) Pemeriksaan abdomen
8) Pemeriksaan kelamin dan darah sekitarnya
9) Pemeriksaan musculoskeletal
10) Pemeriksaan neurologi

2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan Mobilitas Fisik
b) Intoleransi Aktivitas
c) Defisit Perawatan Diri
d) Risiko Konstipasi

3. Intervensi Keperawatan
a) Gangguan mobilitas fisik

Diagnosa
No Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan

Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi adanya 1. Untuk


keperawatan selama ...x 24 nyeri atau keluhan mengetahui
Gangguan
jam diharapkan gangguan fisik lainnya. keluhan-keluhan
Mobilitas
mobilitas fisik teratas apa saja yang
Fisik 2. Ajarkan klien
dengan Kriteria Hasil: sedang dirasakan
tentang penggunaan
oleh klien.
1. Pergerakan alat bantu mobilitas
2. Diharapkan klien
ekstremitas cukup (tongkat, walker,
dapat berjalan
meningkat. kruk atau kursi
dengan baik dan
2. Kekuatan otot roda)
pengguanaan alat
cukup meningkat 3. Ajarkan mobilisasi
bantu dapat
3. Rentang gerak sederhana yang
mempermudah
(ROM) cukup harus dilakukan
klien.
meningkat. (mis. Duduk di
3. Melatih
4. Gerakan tidak tempat tidur, duduk
terkoordinasi cukup di sisi tempat tidur, ekstremitas agar
menurun pindah dari tempat tidak kaku dan
5. Kelemahan fisik tidur ke kursi) mempercepat
cukup menurun 4. Kolaborasi pemulihan
pemberian obat 4. Klien
ataupun terapi mendapatkan
lainnya yang bisa terapi yang lebih
diberikan. baik.

b) Intoleransi aktivitas

Diagnosa
No Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan

Setelah dilakukan Asuhan 1. Kaji penyebab 1. Dengan


keperawatan selama ...x keletihan, nyeri, mengetahui
24 jam diharapkan klien aktifitas, perawatan , penyebab, dapat
Intoleransi dapat menoleransi pengobatan ditentukan
Aktivitas terhadap aktivitas dengan 2. Monitor asupan asuhan
Kriteria Hasil: nutrisi untuk keperawatan
memastikan yang sesuai.
1. Mampu
keadekuatan sumber 2. Asupan nutrisi
melakukan
energi. penting untuk
aktivitas sehari-
3. Evaluasi motivasi mempertahankan
hari secara
dan keinginan pasien energy untuk
mandiri.
untuk meningkatkan aktivitas
2. Keseimbangan
aktifitas 3. Mengetahui
aktivitas dan
4. Bantu dengan apakah klien
istirahat.
aktifitas fisik teratur : memang ingin
3. Kekuatan tubuh
meningkat. misal: ambulasi, melakukan
4. Keluhan lelah berubah posisi, aktivitas atau
menurun. perawatan personal tidak
sesuai kebutuhan 4. Aktivitas fisik
5. Kolaborasi dengan yang teratur dapat
medis untuk memberikan
pemberian terapi, kenyamanan bagi
sesuai indikasi klien dan
menghindari
kekakuan sendi
dan otot

5. Terapi medis
penting untuk
menunjang proses
penyembuhan

c) Defisit Perawatan Diri

Diagnosa
No Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan

Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi 1. Untuk


keperawatan selama ...x 24 kebiasaan aktivitas mengetahui
Defisit
jam diharapkan kebutuhan perawatan diri. kebiasaan klien
Perawatan
mandiri klien terpenuhi 2. Monitor tingkat melakukan
Diri
dengan Kriteria Hasil: kemandirian. perawatan diri.
3. Dampingi dalam 2. Untuk
1. Kemampuan makan
melakukan mengetahui
dan minum
perawatan diri tingkat
meningkat.
sampai mandiri. kemandirian
2. Kemampuan
BAB/BAK cukup 4. Fasilitasi klien saat
meningkat. kemandirian, bantu melakukan
3. Minat melakukan jika tidak mampu perawatan diri.
perawatan diri melakukan 3. Tetap menjaga
meningkat perawatan diri. keamanan klien.
4. Mempertahankan 5. Anjurkan 4. Selalu dampingi
kebersihan diri melakukan klien agar lebih
cukup meningkat. perawatan diri mempermudah
secara konsisten klien melakukan
sesuai kemampuan. perawatan diri.
5. Agar klien
mampu secara
konsisten
melakukan
perawatan diri.

d) Risiko Konstipasi

Diagnosa
No Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan

Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tanda dan 1. Untuk mengetahui


keperawatan selama ...x 24 gejala konstipasi. tindakan yang
Risiko
jam diharapkan klien tidak 2. Periksa pergerakan dibutuhkan
Konstipasi
mengalami resiko usus dan selanjutnya.
konstipasi, dengan Kriteria karakteristik feses. 2. Untuk mengetahui
Hasil : 3. Identifikasi faktor adanya risiko
risiko konstipasi. konstipasi.
1. Tidak mengeluh
4. Lakukan massage 3. Untuk mengetahui
defekasi lama dan
abdomen. kemungkinan hal
sulit.
5. Anjurkan yang menjadi
2. Tidak distensi
peningkatan faktor risiko.
abdomen.
3. Tidak nyeri asupan cairan. 4. Untuk mengurangi
abdomen. 6. Kolaborasi dan memberikan
4. Kontrol pemberian obat rasa rileks pada
pengeluaran feses pencahar bila klien.
meningkat. diperlukan. 5. Menghindari risiko
terjadinya
konstipasi.
6. Sebagai alat bantu
dalam pengeluaran
feses jika
diperlukan.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan
(Potter & Perry, 2011).
Proses implementasi mencangkup (Kozier, 2011) :
a. Mengkaji kembali pasien
b. Menentukan kebutuhan perawat terhadap bantuan
c. Mengimplementasikan intervensi keperawatan
d. Melakukan supervise terhadap asuhan keperawatan yang didelegasikan
e. Mendokumentasikan tindakan keperawatan

5. Evaluasi
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang ditarik
dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan,
atau diubah (Kozier, 2011). Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang
operasional dengan pengertian S (Subjective) adalah informasi berupa ungkapan
yang didapat dari pasien. O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil
pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat. A (Analisis) adalah
membandingkan antara informasi subjektif dengan objektif dengan tujuan dan
kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi
sebagian, atau tidak teratasi. P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang
akan dilakukan berdasarkan hasil analisa (Kozier, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2015. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Edisi 2 Buku 2. Jakarta:
Salemba Medika

Nanda NIC-NOC.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan DiagnosaMedis EdisiRevisi


Jilid 1. Jakarta: ECG

Nanda NIC-NOC.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Edisi Revisi


Jilid 3. Jakarta: ECG

Perry & Potter. 2010. Buku Ajar Fundal Mental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Edisi
4. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2012. Anatomi Fisiologi : Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan &
Kebidanan. Ed 4. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta selatan :
Dewan Pengurus Pusat

Widuri, 2010. Kebutuhan Dasar Manusia : Aspek Mobilitas dan istirahat i=tidur. Edisi 1.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
WOC
GANGGUAN GERAK DAN AKTIVITAS

Tidak mampu beraktifitas, gaya


hidup monoton

Tirah baring yang lama, Menurunnya gerak Mortilitas feses


imobilisasi peristaltik usus terganggu

Risiko Konstipasi
Kehilangan daya otot Merasa lelah dan lemah

Tidak mampu
Penurunan otot merawat diri Frekuensi jantung meningkat
>20% dari kondisi istirahat
Perubahan sistem
muskuluskeletal Defisit Perawatan
Diri Frekuensi tekanan darah meningkat
>20% dari kondisi istirahat

Gangguan
mobilitas fisik
Intoleransi
Aktivitas

Anda mungkin juga menyukai