Oleh
NIM : 21076086
SESI : 202121280093
FAKULTAS TEKNIK
A. Perbedaannya
1. Basyar
Basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.
[1] Secara etimologi Basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat
tumbuhnya rambut.
2. Insan
Kata Insan yang berasal dari kata al-Uns dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 65
kali dan tersebar dalam 43 surat. Insan dapat diartikan secara etimologis adalah
harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa. Kata insan digunakan dalam al-Qur’an
untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya. Kata
ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali. Di antaranya terdapat dalam surat an-
Nisa’ ayat 28.
3. An-Nas
An-Nas dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar dalam 55 surat.
Dalam al-Qur’an keterangan yang jelas menunjukkan pada jenis keturunan nabi Adam
as. kata an-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk social dan kebanyakan
digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah.
4. Bani Adam
Bani Adam di sebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Di antaranya pada surat
Yasin ayat 60. Adam di dalam al-Qur’an mempunyai pengertian manusia dengan
keturunannya yang mengandung pengertian basyar, insan dan an-nas. Kata Bani Adam
lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia, sekaligus pemberi arah ke mana dan
dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan.
B. Arah orientasinya
BASYAR. Berasal dari kata [b] [sy] [r] yang artinya manusia. Biasa disebut human
being, manusia yang (sekedar) ada. Dalam bahasa arab, manusia yang diistilahkan
dengan kata ini berarti manusia biasa, tidak memiliki ‘kesaktian’ apapun. Ia cenderung
diam dan menerima apa adanya. Kehadirannya tidak membawa angin perubahan
apapun. Kata Nabi, ia bukan tipe ideal, sebab tidak mampu membawa manfaat bagi
orang lain. Wujuduhu ka adamihi, keberadaannya tidak berefek.
Dalam Al-quran, kata ini digunakan untuk menceritakan sesuatu yang datar dan biasa-
biasa saja. “Qul innama ana basyarun..”, ungkapan ini menyiratkan bahwa Nabi adalah
manusia biasa. Bedanya hanya ia diberikan wahyu. Kata ini lebih merujuk pada
manusia biasa yang diliputi unsur-unsur hewani, semisal kenyang, lapar, kantuk, dll.
INSAN. Sepintas kata ini maknanya sama dengan basyar, [i] [n] [s] artinya
manusia. Namun, hakikatnya berbeda. Insan adalah makhluk yang menjadi, yang selalu
berproses (human becoming). Jika basyar bersifat statis, insan memiliki karakter
bergerak dinamis menuju arah kesempurnaan. Berarti, insan adalah menjadi bukan
sekedar ada. Keberadaannya akan membawa manfaat bagi orang lain. Menjadi
(becoming) adalah proses bergerak, maju, mencari kesempurnaan, dan merindukan
keadilan.
Tipe ini (insan) adalah tipe manusia ideal. Kata insan mengandung makna ‘spirit
ketuhanan’, karena ia adalah manusia yang bercita-cita agung. Dalam kitab Mantiq
(logika) disebutkan, al-insan huwa hayawan al-natiq, manusia adalah binatang yang
berfikir. Ingat, yang dipakai adalah istilah insan bukan basyar.
Al-NAS. Kata ini merujuk pada arti manusia secara luas, bukan sekedar individu.
Biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris, people, yang berarti rakyat. Dalam konteks
sosiologis, kata ini berarti rakyat umum tanpa memandang perbedaan status sosial.
Karena itu, kata basyar dan insan adalah kata yang merujuk pada kata al–nas. Tuhan
menyebut dirinya sebagai rabbi al-nas (yang mengatur manusia), rabbi al-basyar atau
al-insan. Mengapa? Sebab term ini lebih bersifat general dan tidak memihak. Bagi
pegiat gerakan sosial, kata ini diletakkan sebagai faktor utama dalam transformasi
(perubahan) sosial, dan sering disandingkan dengan kata ummah, yang berarti bangsa
(nation) atau masyarakat (community).
C. FUNGSINYA
Kedua, ins ( ) اإلنس. Menurut Dr. ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syathi’ dalam Maqal
Fil Insan, kata ini selalu mucul beriringan dengan kata jinn ( ) الجنdi dalam Al-Qur’an,
sebagai dua istilah yang saling berlawanan; dan jumlahnya ada 18 tempat. Secara
bahasa, ins berarti jinak, akrab, ramah, menyenangkan; dan kesan ini berkebalikan
dengan istilah jinn yang artinya “tertutup” atau “tersembunyi”, sehingga menimbulkan
kesan liar, misterius, menakutkan. Kata ins juga merupakan lawan dari nufur ( ) النفور,
yakni lari menjauh. Bagian dari seekor hewan yang menjadi tempat paling mudah
ditunggangi, yakni punggung, disebut dengan insiyyu ( ;) إنسيdemikian pula bagian
belakang busur yang menghadap ke pemanah. Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa
manusia disebut dengan ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa saling akrab dan
membantu satu sama lain; atau karena manusia cenderung akrab dengan segala sesuatu
yang biasa dilakukannya. Jadi, istilah ins ini merujuk kepada karakter umum jenis
manusia yang saling membantu, akrab, dan ramah. Manusia sebagai ins adalah
“makhluk sosial” yang cenderung tinggal di keramaian, membentuk keluarga dan
kelompok, bekerjasama, dst. Inilah fitrah manusia yang telah Allah tanamkan,
berkebalikan dengan bangsa jin yang suka tempat-tempat sunyi, penyendiri, dan
cenderung jahat. Jika kita membandingkan sifat-sifat alami manusia dengan sifat-sifat
asasi jin – misalnya, yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surah al-Jinn – maka kita akan
memahami seberapa besar perbedaan diantara kedua makhluk ini, meskipun ada titik-
titik persamaan diantara mereka.
Ketiga, insan ( ) اإلنسان. Analisis yang dilakukan Bintu Syathi’ terhadap penggunaan
istilah ini di 65 tempat dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa – secara bahasa – insan
memang memiliki akar yang sama dengan ins, namun apa yang ditunjuk olehnya bukan
lagi karakter umum seperti sudah disebutkan diatas. Dalam Al-Qur’an, kata insan selalu
bermakna kenaikan menuju tingkatan yang membuatnya cakap menjadi khalifah di
muka bumi, serta sanggup memikul konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan.
Sebab, ia telah diistimewakan dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan
memilah). Kenyataan ini disertai dengan aneka rintangan yang pasti menghadangnya
berupa ujian baik maupun buruk, fitnah lalai karena merasa kuat dan mampu, ditambah
perasaan sebagai makhluk yang menempati posisi tertinggi di alam semesta sehingga
bisa menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali
menjerumuskan manusia (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada dasarnya
makhluk yang lemah, yang sedang menempuh kehidupan dunia dari alam tak dikenal
menuju alam gaib. Dengan kata lain, ketika disebut sebagai insan, maka yang dimaksud
adalah kualitas-kualitas spesifik dan istimewa dalam diri manusia yang membuatnya
layak menerima kekhilafahan, taklif, dan dilebihkan diatas malaikat. Pendeknya,
manusia sebagai insan adalah makhluk yang secara sengaja didesain untuk mencicipi
pahala dan siksa, karena telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menanggung taklif.