Anda di halaman 1dari 3

SASTRA DAN HUMANISME UNIVERSAL

"Jika aku mencium mawar tanpa cintaMu, maka segera saja bagai duri bakarlah aku..."-
Jalaluddin Rumi

Kutipan sastra sufistik yang dilontarkan para mistikus sering kali membutuhkan
interpretasi yang mendalam dan transformasi pengalaman langsung akan. Dengan kebatasan
pemahaman acap kali kita tidak dapat memahami apa substansi yang akan disampaikan. Dalam
titik tolak inilah penulis ingin menganalisa meski sangat rentang akan kritik dari pembaca,
dampak sastra dan dipraksiskan dalam membentuk filantropi sekaligus kritik sastra dan
dipraksiskan dalam realita. Maknalah yang dapat mengantarkan puisi atau sastra menunjang
prinsip pembebasan, bukan membaca keindahan kata tetapi dekonstruksi kata menjadi
pengambilan makna yang tersembunyi dalam kata.

Pertanyaan kritis yang dapat diajukan adalah, "Apa itu makna?", "Bagaimana mengambil
makna dari kata?". Interpretasi dalam membaca karya, kesadaran dan pemahaman pembaca
dalam memandang sastra akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula, dalam tataran inilah
subjektifitas sangat berperan. Contoh kutipan sastra Jalaluddin Rumi diatas akan membuat satu
pembaca dengan pembaca lainnya akan berbeda tafsir dengan dinding kesadaran dan
pemahamannya yang berbeda. Sastra sufistik acap kali dipandang sebagai bidang ketuhanan
ataupun metafisik, disisi lain idealisme inilah diperlukan dalam membentuk cinta akan sesama
maupun dengan relasi ada yang lain. Kehilangan cinta akan sesama, akan menciptakan
diskriminasi, penindasan, eksploitatif, dan egosentrisme. Sisi lain inilah yang harus dikonstruksi
untuk menciptakan praksis dalam mengembangkan relasi filantropi akan sesama dan menghapus
penindasan dengan cinta sebagai landasan optik dalam relasi eksistensi manusia. Keserakahan
adalah kehilangan cinta akan sesama, lingkungan, dan kesejahteraan alam semesta, mengapa
alam semesta? keseimbangan akan menjadi skala prioritas kosmos, tanpa keterseimbangan, akan
menjadi ancaman eksistensi manusia. Jika bertolak dari keterseimbangan ini , manusia
mempunyai peranan fundamental dalam menjaga keterseimbangan dengan nilai-nilai, moral,
maupun dengan cinta. Bukankah pembebasan tak akan ada esensi tanpa sebuah filantropi? benar,
itupun hanya sebuah menjaga eksistensi dan pengakuan diri. Sastra adalah salah satu jalan
pembebasan dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.

Dalam konteks peradaban, sastra sufistik dapat memberikan paradigma yang berbeda,
dengan industrialisasi barat yang tampak dan standarisasi yang tinggi membuat segala yang
"ada" terempiriskan, sehingga membuat reduksi nilai. Pada tataran ini sifat objektif dengan
pendapat bebas nilai menyingkirkan nilai-nilai yang berada pada entitas. Rusaknya lingkungan
menjadikan kesimbangan yang tertata menjadi kepincangan yang sulit untuk diseimbangkan
kembali, dan pada akhirnya akan tertuju pada kepuasan sesaat yang menggelikan. Bukankah ini
disebabkan oleh hilangnya nilai dalam entitas manusia?
Dari sinilah dapat ditarik hipotesa bahwa hilangnya rasa kemanusiaan, lebih-lebih cinta
pada entitas "ada" menjadi titik tolak destruktif sosial maupun dalam koridor ekologi.

Dalam rantai makanan, jika ke kehilangan satu bagian penyusun circle makanan akan
menyebabkan ketidakseimbangan tatanan! Inilah sebab industrial exploitator, darisini pulalah
penindasan bermula. Sastra sufistik memberikan sebuah rangsanag "values" menjadikan bagian
terpenting untuk direkonstruksi sekaligus didekonstruksi maknanya, apa relevansinya dengan
keadaan saat ini. Menganalisa karya sufistik perlulah sebuah rangsangan sistematis, reflektif,
sekaligus dinamis dalam memilah antara sastra manusia, alam, maupun dengan Tuhan, meski
dalam nuansanya ketiga hal tersebut tak dapat dipisahkan.

"...Tanpa cinta aku ini orang yang tersesat. Tiba-tiba saja cinta masuk merasap. Aku pun
gunung perkasa. Aku pun menjadi jerami bagi kuda raja..." - Jalaluddin Rumi

Membuka tabir makna dalam sastra sufistik tidak akan terjadi ketika bekal yang dibawa
tidak mencukupi. Interpretasi pada puisi sufistik hanya akan berakhir pada hal rangsangan untuk
membangkitkan hasrat cinta dan akan berlanjut pada pencarian dan mencintai akan kemanusiaan,
dan substansi yang ditangkap akan menjadi hal universal. Merahasiakan diri memang salah satu
cara bagi puisi untuk mengungkapkan diri, corak puisi yang penuh dengan selubung menjadikan
makna tak selalau dapat tertangkap secara komprehensif, tetapi keindahan kata dan makna yang
didapat menjadi suatu kaidah yang pantas untuk dikembangkan dalam relasi horizontal. Karena
untuk memahami puisi sufistik dibutuhkan transformasi pengalaman langsung akan realita.
Subjek sangat berperan dalam membentuk relasi dengan, cinta akan bumi, berperan sangat
esensial dalam membentuk humanitarian environmentalist. Agama bumi menganggap manusia
adalah bagian dari bumi dan tidak boleh untuk merusak ataupun menciptakan kekacuan. Dengan
relasi manusia dengan manusia puisipun mempunyai peran cinta terhadap sesama, sehingga
merangsang untuk menolak sistem penindas.

Dalam sisi lain puisi sufistik lebih cenderung pada satra langit, sehingga tidak semua
orang dapat memahami meski sedikit, karena pengalaman batiniyyah yang mendalam lalu
terkatakan akan menciptakan kata yang suprarasional. Disinilah letak kekurangan sastra-sufistik
berbeda dengan sastra sosial yang lebih menekankan pada kejadian sehari-hari. Dalam realisme
sosial kata-kata yang digunakan mudah difahami oleh masyarakat awam sekalipun, dititik inilah
perbedaan yang mendasar antara sastra sosial dengan sastra sufistik, tetapi keduanya sama-sama
memperjuangkan humanisme universal. Dengan titik tolak yang berbeda, tetapi faham saya
mempunyai tujuan yang sama, menjadikan keduanya dapat disintesakan dalam sebuah keindahan
kata dan makna yang dalam melalui titik tolak sehari-hari, atau dengan bahasa sederhana dalam
menyampaikan makna terdalam suatu pengalaman. Opsi ini dapat membantu pembaca
menumbuhkan rasa akan cinta tetapi tidak meninggalkan hal-hal yang bersifat substansional
dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus mendalami kedalaman batiniyyah. Dengan begitu sastra
akan dapat menjadi sebuah perjuangan eksistensi manusia dalam beradanya di dunia. Sastra
sufistik diharapkan dapat difahami dan ditransformasikan dalam sekala pengertian umum dan
mudah dicerna orang awam, perlulah disini sebuah tafsir dan optik yang pas dalam mensketsakan
wilayah ini secara menyeluruh, Menjadikannya sebuah hal yang mendalam tanpa meninggalkan
objektifitas dan rasionalitas. Hemat saya, sastra sufistik dapat menjadikan sebuah titik tolak
dalam humanisme universal, dengan krisis kemanusiaan yang sedang melanda, penindasan
dimana-mana, oportunistik para kalangan borjuis dalam mengeksploitasi ekologi, menjual
kesenangan badaniyyah dan psikis yang hanya bersifat sementara tanpa memandang nilai-nilai
dan hukum moralitas yang telah tersusun menjadi sebuah keterseimbangan.

Sastra dapat menjadi sebuah titik tolak dalam menumbuhkan cinta akan kemanusiaan,
dan menghargai segala riuh pikuk kesadaran. Keindahan kata yang melangit dapat
ditransformasikan menjadi sebuah kata yang dapat difahami khalayak banyak tanpa meniggalkan
esensi pesan yang akan disampaikan dengan metodis tertentu agar tidak terjadi bias. Sastra
sufistik dapat dijadikan jembatan dengan rakusnya manusia yang tanpa henti mengejar materi
yang tak kunjung sudah, sehingga memunculkan budaya penindasan dan eksploitasi besar-
besaran, esoterisitas dalam memaknai dunia menjadikan karya sastra sufistik dapat mengisi
kekosongan moralitas maupun dimensi batiniyyah sehingga dapat dijewantahkan dalam sisi-sisi
kemanusiaan. Dalam dimensi keduniaan (lahiriyyah) dan dimensi kebatinan (batiniyyah) dapat
dibedakan dalam sisi-sisi penghayatan yang cukup berbeda. Keduniaan, wajib menggunakan sisi-
sisi rasional, logis dan tidak tinggal diam, tetapi mewujudkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan. Sehingga menjadikan manusia paripurna ketika berhadapan dengan dunia tidak
tinggal diam, dan dihadapan Tuhan kita tak dapat menyangkal.

Anda mungkin juga menyukai