Anda di halaman 1dari 32

PRINSIP DAN TEKNIK

PENYUSUNAN KEPUTUSAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Pendekatan Teoritik, Kaidah, dan
Praktik

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA


DENPASAR 2015
0
PRINSIP DAN TEKNIK PENYUSUNAN
KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Pendekatan Teoritik, Kaidah, dan Praktik

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja


Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Fakultas Hukum Universitas Udayana


Denpasar 2015
RINGKASAN

Naskah yang berjudul “Prinsip dan Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi


Pemerintahan: Pendekatan Teoritik, Kaidah, dan Praktik” ini membahas tiga pokok
masalah: (1) konsep Keputusan Administrsi Pemerintahan; (2) Prinsip
Pemerintahan Berdasarkan Hukum dalam Penyusunan Keputusan Administrasi
Pemerintahan; dan (3) Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan.
Metode yang digunakan adalah metode ilmu hukum, yang mencakup pendekatan
teoritik hukum, kaidah hukum, dan praktik hukum di bidang penyusunan keputusan.
Diperoleh kesimpulan: Pertama, Keputusan Administrsi Pemerintahan, yang
disebut juga Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara,
adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat
individual, konkret, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan
hukum perdata.
Kedua, Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum dalam Penyusunan
Keputusan Administrasi Pemerintahan mencakup (1) dasar kewenangan
menetapkan Keputusan Administrasi Pemerintahan yang dilakukan dengan
menggunakan teori sumber kewenangan; dan (2) memastikan kewenangan
digunakan secara tidak bersalahguna yang meliputi: (a) ruang lingkup wewenang;
(b) faktor-faktor yang dapat atau harus dipertimbangkan; dan )c) prosedur
pengambilan keputusan.
Ketiga, Teknik penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan menyangkut
teknik penyusunan substansi keputusan dan struktur serta bentuk luar keputusan.
Penyusunan substansi keputusan berkenaan dengan perumusan materi pokok yang
diputus ke dalam rumusan norma hukum, jadi menyangkut penormaan materi pokok
yang diputus. struktur serta bentuk luar keputusan. Struktur dan Bentuk Keputusan
Administrasi Pemerintahan terdiri atas: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penutup, serta Penjelasan dan Lampiran jika diperlukan. Menyangkut batang tubuh
Keputusan Administrasi Pemerintahan memuat Materi Pokok Yang Diputus dan
Ketentuan Penutup.

ii
KATA PENGANTAR

Naskah ini dibuat berdasarkan Surat Tugas Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana Nomor 1415/UN14.1.1.11.II/TU.00.00/2015, tanggal 27 Juli 2015, yang
ditandatangi oleh Pembantu Dekan II atas nama Dekan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.Surat Tugas ini merupakan respon terhadap Surat dari
Pembantu Rektor II Universitas Udayana, yang isinya adalah agar Dekan mengirim
2 orang Narasumber yang membidangi teknik penyusunan peraturan, keputusan
Rektor, dan keputusan Dekan di lingkungan Universitas Udayana.
Naskah ini dibuat dalam konteks sebagai narasumber, dan difokuskan pada
bidang teknik penyusunan keputusan, yang pada intinya keputusan yang dimaksud
adalah Keputusan Administrasi Pemerintahan.
Pemaparan dalam Naskah ini lebih difokuskan pada pemahaman tentang
prinsip dan teknik penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan, dan
Keputusan Rektor dan Keputusan Dekan adalah bagiannya. Pada saat pelatihan
dilaksanakan, direncanakan pemaparan dengan pendekatan teori dan kaidah hukum
40% dari alokasi waktu tersedia, dan sisanya untuk pemaparan dengan pendekatan
praktik.

Denpasar, 29 Juli 2015

Gede Marhaendra Wija Atmaja

iii
DAFTAR KOTAK
Kotak 1. Contoh “Membaca” ................................................................................................17

Kotak 2. Contoh “Memperhatikan” ........................................................................................17

Kotak 3. Contoh “Menimbang” .............................................................................................. 18

Kotak 4. Struktur Batang Tubuh KAP ..................................................................................19

Kotak 5. Bagian Penutup KAP........................................................................................... 20

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengertian KAP dan KTUN ......................................................................................4

Tabel 2. Pembuatan Keputusan Yang Tidak Sewenang-Wenang menurut Ann Seidman,


Robert B. Seidman, dan Abeyserkere.......................................................................5

Tabel 3. Perbedaan Karakter Atribusi, Delegasi, dan Mandat dalam UU AP .........................7

Tabel 4. Rincian Larangan Penyalahgunaan Wewenang .......................................................9

Tabel 5. Pengertian Izin, Konsesi, dan Dispensasi ...............................................................15

v
DAFTAR ISI

RINGKASAN ............................................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................. iii
DAFTAR KOTAK....................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................................ v
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................. Error! Bookmark not defined.
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................................... 2
1.3. Metode............................................................................................................................................ 2
BAB II KONSEP KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN................................................................ 3
2.1. Istilah Keputusan.............................................................................. Error! Bookmark not defined.
2.2. Unsur-unsur Ketetapan ................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.3. Pengertian Keputusan Administrasi Pemerintahan ......................... Error! Bookmark not defined.
BAB III PRINSIP PEMERINTAHAN BERDASARKAN HUKUM DALAM PENYUSUNAN KEPUTUSAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN ................................................................................................ 5
3.1. Kepmerintahan Yang Baik ................................................................ Error! Bookmark not defined.
3.2. Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan sesuai Prinsip Pemerintahan Berdasarkan
Hukum ............................................................................................................................................ 6
3.3. Penegasan Syarat Sahnya Keputusan Administrasi Pemerintahan............................................... 11
BAB IV TEKNIK PENYUSUNAN KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN ...................................... 13
4.1. Penormaan dalam Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan ..................................... 13
4.2. Struktur Keputusan Administrasi Pemerintahan .......................................................................... 15
4.3. Bentuk Keputusan Admnistrasi Pemerintahan ............................................................................. 20
BAB V PENUTUP .................................................................................................................................... 22
5.1. Kesimpulan.................................................................................................................................... 22
5.2. Saran.............................................................................................................................................. 22
5.3. Refleksi .......................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 24
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ................................................................................. 25

vi
BAB I
PENDAHULAN

1.1. Latar Belakang


Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar, demikian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menentukan. Ini
berarti penyelengaraan kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia berada
di bahwah pimpinan Presiden. Termasuk dalam pengertian penyelengaraan
kekuasaan pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, yang dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(selanjutnya disebut UU AP) disebut sebaga Administrasi Pemerintahan.
Pemahaman secara sistematis dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945, bermakna penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus berdasarkan
prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan
harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari
Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan
yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri (Penjelasan
Umum UU AP).
Secara lebih konkret, adanya jaminan bahwa Keputusan dan/atau Tindakan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat
dilakukan dengan semena-mena dan Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi
objek kekuasaan negara. Ini penting dilakukan dalam upaya meningkatkan
kepemerintahan yang baik (good governance) dan mencegah praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (diadaptasi dari Penjelasan Umum UU AP).

1.2. Rumusan Masalah


Untuk mewujudkan arah kebijakan atau politik hukum UU AP, khususnya di
bidang pengambilan Keputusan Administrasi Pemerintahan (selanjunya disebut
KAP), yakni menjamin pengambilan KAP yang tidak semena-mena dalam upaya
meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance), maka diperlukan

1
2

pemahaman baik secara teoritik maupun teknis mengenai pembuatan KAP. Untuk
itu relevan diadakan pembahasan mengenai:
1. Apa isi konsep Keputusan Administrasi Pemerintahan?.
2. Bagaimaka prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum dalam penyusunan
Keputusan Administrasi Pemerintahan?.
3. Bagaimana teknik penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan
(KAP).

1.3. Metode
Metode yang digunakan adalah metode ilmu hukum, yang mencakup
pendekatan teoritik hukum, kaidah hukum, dan praktik hukum di bidang penyusunan
keputusan. Pendekatan teoritik mencakup teori-teori dan konsep-konsep keputusan
dan norma hukum, pemerintahan berdasarkan hukum, dan kewenangan. Kaidah
yang digunakan adalah kaidah teknik penyusunan Keputusan Administrasi
Pemerintahan dan kaidah tentang kewenangan. Praktik yang dimaksud adalah
praktik penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan.
Pembahasan ketiga pokok masalah tersebut diawali dengan uraian
Pendahuluan, dilanjutkan pembahasan ketiga pokok masalah tersebut, dan diakhiri
dengan Catatan Akhir.
BAB II
KONSEP KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
2.1. Istilah Keputusan
Istilah “keputusan” (besluit) dalam bidang ketatanegaraan dan tata
pemerintahan, sebagaimana dikemukakan A. Hamid S. Attamimi (1990: 226),
merupakan pernyataan kehendak yang masih bersifat netral, dapat berisi peraturan
(regeling) dan penetapan (beschikking). Senada dengan itu, Bagir Manan dalam
tulisan berjudul Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan (dalam Bagir
Manan dan Kuntana Magnar 1997: 126), mengemukakan ada dua macam
keputusan tertulis, yakni peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin atau
algemeen verbindende voorschriften) dan ketetapan atau penetapan (beschikking).
Bagir Manan (dalam Bagir Manan dan Kuntana Magnar 1997: 126-137),
mengemukakan lebih lanjut, dalam berbagai kepustakaan dan peraturan perundang-
undangan di Belanda telah berkembang berbagai bentuk keputusan tertulis lain,
bentuk-bentuk tersebut secara materiil terdapat pula dalam sistem keputusan tertulis
di Indonesia. Berdasarkan uraian Bagir Manan tersebut, aneka bentuk keputusan
tertulis itu adalah:
1. Peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende voorschriften).
2. Ketetapan atau penetapan (beschikking).
3. Peraturan Kebijakan (Beleidsregel).
4. Perencanaan (Het Plan).
5. Keputusan berentang umum (besluiten van algemene strekking).

2.2. Unsur-unsur Ketetapan (beschikking)


Berdasarkan beberapa definisi dari para sarjana, Ridwan HR (2006: 148)
mengemukakan unsur-unsur ketetapan, yakni: a. pernyataan kehendak sepihak; b.
dikeluarkan oleh organ pemerintahan; c. didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat
publik; d. ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual; dan e. dengan
maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi.

2.3. Pengertian Keputusan Administrasi Pemerintahan


Pengertian keputusan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian ketetapan
(beschikking), yang di Indonesia diberi nama Keputusan Administrasi Pemerintahan (KAP)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU AP, dan Keputusan Tata Usaha Negara

3
4

(KTUN), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU Peratun). Pengertian
KAP dan KTUN tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Pengertian KAP dan KTUN
KAP KTUN
Keputusan Administrasi Pemerintahan Keputusan Tata Usaha Negara adalah
yang juga disebut Keputusan Tata Usaha suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
Negara atau Keputusan Administrasi oleh badan atau pejabat tata usaha
Negara yang selanjutnya disebut negara yang berisi tindakan hukum tata
Keputusan adalah ketetapan tertulis usaha negara yang berdasarkan peraturan
yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau perundang-undangan yang berlaku, yang
Pejabat Pemerintahan dalam bersifat konkret, individual, dan final, yang
penyelenggaraan pemerintahan. menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

Sumber: diolah dari UU AP dan UU Peratun

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha


Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
KAP, istilah lainnya adalah KTUN dan Keputusan Administrasi Negara, oleh
karenanya karakter KTUN merupakan pula karakter KAP. Dengan demikian KAP memuat
unsur-unsur pengertian sebagai berikut:
a. ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan;
b. yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. yang bersifat konkret, individual, dan final; dan
d. yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
BAB III
PRINSIP PEMERINTAHAN BERDASARKAN HUKUM DALAM
PENYUSUNAN KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
3.1. Kepemerintahan Yang Baik
Pembuatan KAP tidaklah tanpa konteks (berada dalam kevakuman),
melainkan dalam konteks kepemerintahan yang baik (good governance).
Kepemerintahan yang baik berarti pemerintahan yang efektif dan pembuatan
keputusan yang tidak sewenang-wenang. Pembuatan keputusan yang tidak
sewenang-wenang mencakup (Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Abeyserkere
2002: 8):
a. pemerintahan berdasarkan hukum;
b. pemerintahan berdasarkan hukum;
c. pertanggungjawaban;
d. transparansi; dan
e. partisipasi.
Pengertian masing-masing komponen pembuatan keputusan yang tidak
sewenang-wenang, dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 2.
Pembuatan Keputusan Yang Tidak Sewenang-Wenang
menurut Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Abeyserkere
Komponen Pengertian
Pemerintahan badan/pejabat membuat keputusan tidak berdasarkan intuisi,
berdasarkan hukum tapi sesuai dengan kaidah hukum yang dibuat berdasarkan
akal- budi dan pengalaman.

Pertanggungjawaban badan/ pejabat secara terbuka bertanggung jawab kepada


publik, menyerahkan keputusan untuk dikaji instansi yang
berwenang, dan pada akhirnya oleh konstituen.

Transparansi badan/pejabat menjalankan pemerintahan secara terbuka,


sehingga masyarakat dan khususnya pers dapat mengetahui
dan memperdebatkan rinciannya.

Partisipasi bermakna pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu


keputusan yang akan ditetapkan memiliki suatu kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik, dan
mengambil bagian dalam pembuatan keputusan
pemerintahan

Sumber: diolah dari Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Abeyserkere

5
6

Naskah ini focus pada Pemerintahan berdasarkan hukum dalam penyusunan


Keputusan Administrasi Pemerintahan. Komponen lainnya telah pernah dibahas
maklalah berjudul “Perumusan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Menurut
Prinsip Supremasi Hukum: Upaya Perlindungan Hukum atas Tindak Pemerintahan”
(Marhaendra Wija Atmaja, 2004) dan “Antisipasi Gugatan Keputusan Tata Usaha
Negara: Formulasi dan Implementasi Kewenangan Yang Absah” (Marhaendra Wija
Atmaja, 2007).

3.2. Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan sesuai Prinsip


Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Pemerintahan berdasarkan hukum adalah penyelenggaraan wewenang
pemerintahan sesuai dengan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui adanya
kewenangan tersebut dilakukan melalui teori sumber kewenangan, yakni atribusi,
delegasi, mandat:
1. Sumber kewenangan atribusi adalah kewenangan yang diberi oleh
pembentuk UUD atau pembentuk UU kepada badan/pejabat untuk
melaksanakan suatu urusan pemerintahan (pembentukan wewenang).
2. Sumber kewenangan delegasi adalah kewewenangan yang diberikan oleh
suatu badan/pejabat (delegans) kepada badan/pejabat lain (delegataris)
untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan dengan tanggung jawab
sendiri.
3. Sumber kewenangan mandat adalah kewenangan yang diberikan oleh
badan/pejabat (mandans) kepada badan/pejabat bawahannya (mandataris)
untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan dengan tanggung jawab
pada mandans. Dengan perkataan lain, mandat adalah pengugasan oleh
atasan kepada bawahannya (bandingkan dengan Philipus M. Hadjon, dkk,
2002: 130-131, dan Indroharto 1993 (Buku I): 90-94).
Secara otentik sumber kewenangan, baik atribusi, delegasi, maupun mandat
ditemukan pengaturannya dalam UU AP, tepatnya di dalam Ketentuan Umum (Pasal
1 angka 22-24) dan ketentuan tentang materi pokok yang diatur (Pasal 12-14).
Pengaturan tentang atribusi, delegasi, dan mandat tersebut menunjukkan adanya
perbedaan karakter, dapat disimak dalam tabel berikut:
7

Tabel 3.
Perbedaan Karakter Atribusi, Delegasi, dan Mandat dalam UU AP

Karakter Atribusi Delegasi Mandat


Keberadaan wewenang diatur dalam wewenang ditetapkan -
Undang-Undang Dasar berdasarkan ketentuan
Negara Republik peraturan perundang-
Indonesia Tahun 1945 undangan (Peraturan
dan/atau undang- Pemerintah, Peraturan
undang Presiden, dan/atau
Peraturan Daerah).

Pemberi wewenang diberikan Wewenang diberikan oleh ditugaskan oleh Badan


oleh Pembentuk UUD Badan/Pejabat dan/atau Pejabat
1945 atau UU Pemerintahan Pemerintahan di
atasnya;

Penerima wewenang diberikan wewenang kepada Badan  Badan dan/atau


kepada Badan dan/atau dan/atau Pejabat Pejabat Pemerintahan
Pejabat Pemerintahan Pemerintahan lainnya lain yang menjadi
bawahannya, kecuali
ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 pelaksana tugas
rutins: a. pelaksana
harian yang
melaksanakan tugas
rutin dari pejabat
definitif yang
berhalangan
sementara; dan b.
pelaksana tugas yang
melaksanakan tugas
rutin dari pejabat
definitif yang
berhalangan tetap.

Asal-muasal merupakan Wewenang merupakan Wewenang merupakan wewenang


baru atau sebelumnya pelimpahan atau yang tetap berada pada
tidak ada sebelumnya telah ada pemberi, penerima
hanya bertugas
melakssanakan
Tanggung berada pada Badan berada pada penerima tetap pada pemberi
Jawab atas dan/atau Pejabat Delegasi Mandat,
wewenang Pemerintahan yang
bersangkutan.

Penyebutan - - penerima Mandat harus


atas nama menyebutkan atas nama
pemberi Mandat

Larangan - - penerima mandat tidak


berwenang mengambil
Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat
strategis yang
8

berdampak pada
perubahan status
hukum pada aspek
organisasi,
kepegawaian, dan
alokasi anggaran.
Penarikan  Badan dan/atau  Badan dan/atau
wewenang Pejabat Pemerintahan Pejabat Pemerintahan
yang memberikan yang memberikan
Delegasi dapat Mandat dapat
menggunakan sendiri menggunakan sendiri
Wewenang yang telah Wewenang yang telah
diberikan melalui diberikan melalui
Delegasi, kecuali Mandat, kecuali
ditentukan lain dalam ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan ketentuan peraturan
perundang-undangan. perundang-undangan.
 Dalam hal  Dalam hal
pelaksanaan pelaksanaan
Wewenang Wewenang
berdasarkan Delegasi berdasarkan Mandat
menimbulkan menimbulkan
ketidakefektifan ketidakefektifan
penyelenggaraan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan pemerintahan, Badan
dan/atau Pejabat dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang Pemerintahan yang
memberikan memberikan Mandat
pendelegasian dapat menarik kembali
Kewenangan dapat Wewenang yang telah
menarik kembali dimandatkan.
Wewenang yang telah
didelegasikan.

Setiap pembuatan keputusan harus sesuai dengan kewenangan dari


badan/pejabat bersangkutan. Dengan perkataan lain dilarang menyalahgunakan
wewenang. Pasal 17 UU AP menentukan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Ketentuan lebih lanjut mengenai masing-masing komponen larangan


penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3)
9

UU AP, dan konsekuensi pelanggarannya diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat
(2) UU AP, dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 4.
Rincian Larangan Penyalahgunaan Wewenang
Kategori Substansi Konsekuensi Pelanggaran
larangan a. melampaui masa jabatan Keputusan dan/atau Tindakan tidak
melampaui atau batas waktu sah apabila telah diuji dan ada
Wewenang; berlakunya Wewenang; Putusan Pengadilan yang
b. melampaui batas wilayah berkekuatan hukum tetap.
berlakunya Wewenang;
dan/atau
c. bertentangan dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
larangan a. di luar cakupan bidang atau Keputusan dan/atau Tindakan dapat
mencampura materi Wewenang yang dibatalkan apabila telah diuji dan ada
dukkan diberikan; dan/atau Putusan Pengadilan yang
Wewenang b. bertentangan dengan tujuan berkekuatan hukum tetap.
Wewenang yang diberikan.
larangan a. tanpa dasar Kewenangan; Keputusan dan/atau Tindakan
bertindak dan/atau tidak sah apabila telah diuji dan ada
sewenang- b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang
wenang. Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
berkekuatan hukum tetap.

Putusan Pengadilan yang dimaksud tersebut adalah Putusan Pengadilan dari


Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam UU Peratun. UU Peratun
menjamin hak warga masyarakat untuk mengajukan gugatan atas kepentingan yang
dirugikan akibat KAP atau KTUN. Pasal 53 UU Peratun menentukan:
(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang


berlaku, tidak terdapat dalam UU Peratun baik dalam perubahan pertama maupun
perubahan kedua, namun ada di dalam UU Nomor 5 Tahun 1986, sebelum
10

perubahan, tepatnya di dalam Penjelasan Pasal 53. Menggunakan interpretasi


sejarah perundang-undangan, maka “bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku” bermakna:
1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang--undangan yang bersifat prosedural/formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial.
3. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang tidak berwenang.

Beberapa putusan pengadilan (yurisprudensi) memperkuat kaidah tersebut di


atas. KTUN tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
1. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat
prosedural/formal dan material/substantif. Putusan MA No. 102
K/TUN/1993; Penggugat mendalilkan memiliki dan menguasasi sebidang
tanah sejak 1956 berasal dari almarhum ayahnya, serta mengajukan
permohonan hak milik, namun Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan
sertifikat hak Pakai atas nama Pemda Jember. Tindakan tergugat
menerbitkan Sertifikat Hak Pakai bertentangan dengan UU No.5/1986, Pasal
53 ayat (2) huruf a dan b serta penjelasannyan, dan bertentangan dengan
Permendagri No. 5/1973 jo No. 6/1972.
2. Tidak wewenang. Putusan PTUN Bandung No. 06/G/PTUN-Bdg/1994,
menyatakan tergugat (Kantor Lelang Negara) tidak berwenang melaksanakan
lelang atas tanah dan bangunan dan melaksanakan lelang atas tanah dan
bangunan obyek perkara, oleh karena Putusan PN Bogor yang merupakan
dasar untuk melaksanakan lelang telah dibatalkan oleh PT Bandung.
Untuk memastikan kewenangan digunakan secara tidak bersalah guna, harus
memperhatikan:
1. ruang lingkup wewenang yang diberikan.
2. faktor--faktor yang dapat atau harus dipertimbangkan oleh pejabat.
3. prosedur pengambilan keputusan yang harus diterapkan oleh oleh
pejabat (Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere
2002: 440).
11

Ruang lingkup wewenang. Badan/pejabat dalam membuat keputusan harus


berdasarkan pada ruang lingkup (isi) wewenangnya. Misalnya, pejabat A berwenang
mengeluarkan izin menjual minuman beralkohol (mikol) secara eceran.
Mengabaikan kehaqrusan itu, dapat mengakibatkan gugatan ke PTUN dan dapat
dinyatakan batal atau tidak sah oleh PTUN dengan alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku — yang bersifat materiil.
Pertimbangan penggunaan wewenang. Badan/pejabat dalam membuat
keputusan harus berdasarkan pada faktor-faktor yang boleh atau tidak boleh
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.Misalnya, bupati dapat mencabut
IMB keputusan. Rumusan dalam Peraturan Daerah, misalnya, “Bupati dapat
mencabut IMB apabila: ...”. Jadi, bupati dapat mencabut IMB apabila kondisi yang
disyaratkan dipenuhi, dan tidak dapat m4encabut IMB apabila kondisi yang
disyaratkan tidak dipenuhi.
Mengabaikan keharusan itu, dapat mengakibatkan gugatan ke PTUN
dan dapat dinyatakan batal atau tidak sah oleh PTUN dengan alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku — yang bersifat
materiil.
Prosedur penggunaan wewenang. Badan/pejabat dalam membuat
keputusan harus berdasarkan prosedur pengambilan keputusan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: bupati mengeluarkan
IMB, harus ada persetujuan penyanding, penilaian persyaratan oleh sebuah tim
penilai.
Mengabaikan keharusan itu, dapat mengakibatkan gugatan ke PTUN dan
dapat dinyatakan batal atau tidak sah oleh PTUN dengan alasan bertentangan
dengan peraturan perundang--undangan yang berlaku undangan yang berlaku ―
yang bersifat procedural.

3.3. Penegasan Syarat Sahnya KAP


Uraian tersebut di atas, terutama pemnuatan KAP sesuai prinsip
“Pemerintahan Berdasarkan Hukum”, menegaskan syarat sahnya KAP. Secara
otentik, syarat sahnya KAP diatur dalam Pasal 52 UU AP:
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
12

c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.


(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Penjelasan Pasal 52 ayat (1) huruf b UU AP menjelaskan, “Salah satu bentuk


prosedur dapat dibuat dalam bentuk standar operasional prosedur.” Artinya,
dimungkinkan bentuk lainnya, terutama prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf a (yakni ditetapkan oleh pejabat yang berwenang)
merupakan Keputusan yang tidak sah. Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)huruf b (yakni dibuat sesuai
prosedur); dan huruf c (yakni substansi yang sesuai dengan objek Keputusan)
merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan (Pasal 56 ayat (1) dan (2)
UU AP). i.
UU AP melalui Pasal 70 ayat (1) merumuskan secara negatif tentang
keabsahan KAP dengan rumusan “tidak sah apabila”. Pasal 70 ayat (1) UU AP
menentukan, Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila: a. dibuat oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang; b. dibuat oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya; dan/atau c.
dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak
sewenangwenang.
Secara argumentum a contrario, maka KAP sah apabila: a. dibuat oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang; b. dibuat oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang tidak melampaui kewenangannya; dan/atau c. dibuat
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak tidak sewenang-wenang.
Penegasan akan pentingnya kesahan KAP diikuti dengan pemberian akibat
hukum dalam hal KAP tidak sah. Pasal 70 ayat (2) UU AP menentukan, akibat
hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi: a. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan;
dan b. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.
Dilanjutnya dalam ayat (3) yang menentukan, dalam hal Keputusan yang
mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara.
BAB IV
TEKNIK PENYUSUNAN KEPUTUSAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
4.1. Penormaan dalam Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan
Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan menyangkut
penyusunan substansi dan bentuk keputusan. Penyusunan substansi keputusan
menyangkut perumusan materi muatan sebagai suatu norma hukum, atau
berkenaan dengan penormaan. Prihal bentuk keputusan menyangkut struktur
keputusan.
Penormaan dalam keputusan adalah proses merumuskan suatu materi muatan
sebagai suatu proposisi yang mempunyai kekuatan hukum mengikat (sebagai norma
hukum). Norma hukum dari segi sifatnya meliputi norma umum-abstrak, umum-
konkret, individual-abstrak, dan individual-konkret. Suatu keputusan (KTUN) harus
memuat norma hukum individual-konkret, atau paling tidak individual-abstrak (A.
Hamid S. Attamimi 1990: 316-317, dan Philipus M. Hadjon, dkk, 2002: 125). Sebagai
objek sengketa TUN, ditambah persyaratan: norma hukum yang bersifat final.
Berkaitan dengan penormaan dalam keputusan, maka norma yang dirumuskan
dalam KAP adalah individual-konkret, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian
Konsep KAP di depan.
Struktur norma hukum. Norma hukum dalam suatu keputusan tersusun
dalam struktur sebagai berikut:
1. Subjek norma, yakni harus jelas kepada siapa norma hukum
(keputusan) itu ditujukan. Dengan perkataan lain, harus jelas
adresatnya. Dalam KTUN, adresatnya bersifat individual.
2. Operator kaidah, yakni harus jelas penanda yang mengoprasionalkan
norma hukum itu. Seperti “harus” atau “wajib” (norma perintah),
“dilarang” (norma larangan), “dikecualikan dari kewajiban” (norma
dispensasi), dapat (norma izin).
3. Objek norma, yakni harus jelas peristiwa atau perbuatan yang
ditetapkan dalam keputusan, dan bersifat konkret.
4. Kondisi norma, yakni kondisi atau situasi yang menyebabkan norma itu
dioperasionalkan atau tidak dioperasionalkan. Ini tidak selalu ada dalam

13
14

keputusan (Laboratorium Hukum FH Unpar 1997: 3-4, dan , Maria


Farida Indriati S, 2007: 37).

Norma hukum adalah pedoman berperilaku yang mempunyai akibat hukum.


Norma hukum sebagai norma perilaku meliputi: perintah, larangan, dispensasi, dan
izin (A. Hamid S. Attamimi 1990: 314-315, dan , Maria Farida Indriati S, 2007: 36).
Masing-masing norma hukum itu bermakna:
1. Norma perintah adalah keharusan melakukan sesuatu. Penandanya
adalah kata “wajib” atau “harus”.
2. Norma larangan adalah keharusan tidak melakukan sesuatu.
Penandanya adalah kata “dilarang”.
3. Norma dispensasi adalah kebolehan khusus tidak melakukan sesuatu
yang secara umum diperintahkan. Penandanya adalah kata-kata
“dikecualikan dari kewajiban”.
4. Norma izin adalah kebolehan khusus melakukan sesuatu yang secara
umum dilarang. Penandanya adalah kata “dapat”.
Berkenaan dengan norma izin dan norma dispensasi, Pasal 39 UU AP
menentukan:
(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Dispensasi,
dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan
perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi
apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian
terhadap suatu larangan atau perintah.
(4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi
apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan;
b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan
c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang
memerlukan perhatian khusus.
(5) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan
persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
15

paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali


ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.

Pengertian izin, konsesi, dan dispensasi diatur dalam Pasal 1 angka 19, 20,
dan 21 UU AP, dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 5.
Pengertian Izin, Konsesi, dan Dispensasi
Izin Konsesi Dispensasi
Keputusan Pejabat Keputusan Pejabat Keputusan Pejabat
Pemerintahan yang Pemerintahan yang berwenang Pemerintahan yang
berwenang sebagai sebagai wujud persetujuan berwenang sebagai
wujud persetujuan atas dari kesepakatan Badan wujud persetujuan atas
permohonan Warga dan/atau Pejabat permohonan Warga
Masyarakat sesuai Pemerintahan dengan selain Masyarakat yang
dengan ketentuan Badan dan/atau merupakan pengecualian
peraturan perundang- Pejabat Pemerintahan dalam terhadap suatu larangan
undangan. pengelolaan fasilitas umum atau perintah sesuai
dan/atau sumber daya alam dengan ketentuan
dan peraturan perundang-
pengelolaan lainnya sesuai undangan.
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan.

Ketentuan tersebut dalam Pasal 39 UU AP sejatinya menegaskan, KAP dapat


merumuskan materi muatan yang diputus ke dalam rumusan norma izin atau norma
dispensasi. Konsesi pada dasarnya merupakan izin, yang dikeluarkan sebagai
wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan
selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum
dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

4.2. Struktur Keputusan Administrasi Pemerintahan


Teknik Penyusunan Keputusan dan/atau bentuk keputusan harus berpedoman
pada teknik penyusunan dan/atau bentuk peraturan perundang-undangan. Pasal 97
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3) menentukan:
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini
berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua
Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua
16

Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan


Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan,
Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat,
Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan
Kepala Desa atau yang setingkat.

Dua soal yang perlu mendapat pencermatan, pertama, teknik penyusunan


dan/atau bentuk Keputusan selain yang disebut dalam pasal tersebut, seperti
Keputusan Rektor, atau Keputusan Dekan, dan sebagainya, apakah teknik
penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3 berlaku juga secara mutatis
mutandis. Kedua, apakah keseluruhan teknik penyusunan dan/atau bentuk yang
diatur dalam UU P3 berlaku bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan
Administrasi Pemerintahan (KAP).
Pencermatan atas soal pertama, menempatkan Keputusan Presiden, dan
sebagainya tersebut ke dalam posisinya sebagai Keputusan Administrasi
Pemerintahan (KAP), yang intinya adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
berisi norma hukum yang bersifat individual dan konkret. Keputusan Rektor dan
Keputusan Dekan juga merupakan KAP, maka teknik penyusunan dan/atau bentuk
yang diatur dalam UU P3 berlaku bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Rektor dan Keputusan Dekan, dan keputusan administrasi pemerintahan
(KAP) lainnya.
Pencermatan soal kedua. Karakter peraturan perundang-undangan adalah
berbeda dengan karakter KAP. Perbedaannya adalah, peraturan perundang-
undangan dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat yang berwenang di bidang
perundang-undangan dan memuat norma hukum umum-abstrak, sedangkan KAP
dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat yang berwenang di bidang pemerintahan dan
memuat norma hukum individual-konkret. Berdasarkan perbedaan itu, maka
ketentuan “berlaku secara mutatis mutandis” mesti dimaknai teknik penyusunan
keputusan dan/atau bentuk keputusan dapat disesuaikan dengan karakter KAP atau
KTUN. Jadi, tidak sepenuhnya teknik penyusunan dan/atau bentuk peraturan
perundang-undangan dapat diterapkan dalam pembuatan KAP. Misalnya, dalam
kolom pembukaan KAP, selain terdapat “Menimbang” dan “Mengingat”, dapat
ditambahkan “Membaca” dalam hal KAP dikeluarkan karena adanya permohonan
dan “Memperhatikan” sesuai dengan keperluan.
17

Contoh Membaca (diletakkan sebelum “Menimbang”):


Kotak 1. Contoh “Membaca”
Membaca: a. laporan dari .... tanggal .... tentang pelanggaran disiplin yang dilakukan
oleh .... NIP. .... pangkat ...;
b. hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh .... NIP. .... Pangkat ...;

Contoh Memperhatikan
Kotak 2. Contoh “Memperhatikan”
Memperhatikan: 1. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara
Nomor 12/SE/1975 tanggal 14 Oktober 1975 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil;
2. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara
Nomor 12/SE/1980

Merujuk pada struktur atau kerangka peraturan perundang-undangan, maka


struktur KAP terdiri atas:
a. judul;
b. pembukaan;
c. batang tubuh;
d. penjelasan (jika diperlukan);
e. lampiran (jika diperlukan).
Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh peraturan perundang-
undangan dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi pokok yang
diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan (jika
diperlukan); dan e. ketentuan penutup. Merujuk materi muatan dalam batang tubuh
peraturan perundang-undangan dan mengingat karakter KAP, maka materi muatan
dalam batang tubuh KAP dikelompokkan ke dalam: a. materi pokok yang diputus;
dan b. ketentuan penutup.
Tulisan ini akan focus pada kolom pembukaan, khususnya “Menimbang”
(alasan pertimbangan KAP), dan kolom batang tubuh (materi pokok yang diputuskan
dan ketentuan penutup), serta bagian penutup.
Alasan Pertimbangan KAP. Pasal 55 U AP menentukan: (1) Setiap
Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang
menjadi dasar penetapan Keputusan. (2) Pemberian alasan sebagaimana dimaksud
18

pada ayat (1) tidak diperlukan jika Keputusan tersebut diikuti dengan penjelasan
terperinci. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku
juga dalam hal pemberian alasan terhadap keputusan Diskresi.
Menyangkut alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi
dasar penetapan KAP, Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU AP menjelaskan:
Yang dimaksud dengan “pertimbangan yuridis” adalah landasan yang menjadi
dasar pertimbangan hukum kewenangan dan dasar hukum substansi.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan sosiologis” adalah landasan yang
menjadi dasar manfaat bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan filosofis” adalah landasan yang menjadi
dasar kesesuaian dengan tujuan penetapan Keputusan.

Pasal 55 ayat (2) UU AP, sebagaimana telah dikutip menentukan, pemberian


alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis tidak diperlukan jika Keputusan
tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci. Penjelasannya menjelaskan, yang
dimaksud dengan “penjelasan terperinci” adalah penjelasan yang menguraikan
alasan penetapan Keputusan sampai ke hal yang bersifat detail dan jelas.
Terhadap KAP Diskresi diperlukan juga pemberian alasan pertimbangan
yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapannya, namun jika KAP
Diskresi tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci, maka tidak pemberian alasan
pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapannya.
Demikian pemaknaan terhadap Pasal 55 ayat (3) UU AP.
Merujuk pada Pasal 23 UU AP, maka Keputusan Diskresi atau KAP Diskresi
adalah KAP yang diambil:
a. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan
suatu pilihan;
b. karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Contoh Menimbang (perlu mendapat kritisi):
Kotak 3: Contoh “Menimbang”
Menimbang : a. bahwa menurut hasil pemeriksaan tersebut di atas, Sdr. .... tersebut
telah melakukan perbuatan berupa .... ;
b. bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal
.... ayat .... Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980;
c. bahwa untuk menegakkan disiplin, dipandang perlu menjatuhkan
hukuman disiplin yang setimpal dengan pelanggaran disiplin yang
19

dilakukannya pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu kepada


Sdr. .... tersebut;

Batang Tubuh, berbeda dengan peraturan perundang-undangan, struktur


batang tubuhnya terdiri dari pasal, atau pasal dan ayat, atau yang lebih luas dari itu,
seperti adanya bab yang membawahi pasal dan/atau ayat. Batang tubuh KAP
disusun dengan rumusan diktum Pertama, Kedua, dan seterusnya sesuai yang
diperlukan.
Contoh: Stuktur Batang Tubuh KAP
Kotak 4. Struktur Batang Tubuh KAP
Pertama: Menetapkan nama-nama yang tercantum dalam Lampiran I yang
tidak terpisahkan dari Keputusan Gubernur ini sebagai Sekretaris dan
Staf Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali.
Kedua : Menetapkan nama-nama yang tercantum dalam Lampiran II yang
tidak terpisahkan dari Keputusan Gubernur ini sebagai Koordinator dan
Anggota Kelompok Kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali.
Ketiga: Keputusan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Catatan: dikutip dari usulan-rancangan KEPUTUSAN GUBERNUR BALI NOMOR ... TAHUN
...TENTANG PENETAPAN SEKRETARIS, STAF SEKRETARIAT, DAN KELOMPOK
KERJA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI BALI

Ketentuan Penutup, tampak pada diktum Ketiga, yakni “Keputusan Gubernur


ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.” UU AP, dalam Pasal 57, mengatur
mengenai “Berlakunya Keputusan”. Pasal 57 menentukan, Keputusan berlaku pada
tanggal ditetapkan, kecuali ditentukan lain dalam Keputusan atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan.
Pada dasarnya KAP berlaku pada tanggal ditetapkan. Jika terdapat
penyimpangan terhadap mulai berlakunya KAP, hal tersebut dinyatakan secara tegas
dalam Keputusan (Penjelasan Pasal 57 UU AP).
UU AP, juga mengharuskan mencantumkan mencantumkan batas waktu
berlakunya KAP. Pasal 58 UU AP menentukan:
(1) Setiap Keputusan harus mencantumkan batas waktu mulai dan
berakhirnya Keputusan, kecuali yang ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Batas waktu berlakunya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar Keputusan dan/atau dalam Keputusan itu sendiri.
20

(3) Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu Keputusan jatuh pada hari
Minggu atau hari libur nasional, batas waktu tersebut jatuh pada hari kerja
berikutnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku jika kepada
pihak yang berkepentingan telah ditetapkan batas waktu tertentu dan tidak
dapat diundurkan.
(5) Batas waktu yang telah ditetapkan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam suatu Keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk menghindari kerugian
yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga Masyarakat.

UU AP membedakan “mulai berlakunya” dengan “daya mengikat”. Pasal 60


UU AP menentukan:
(1) Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan atau diterimanya
Keputusan oleh pihak yang tersebut dalam Keputusan.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumuman oleh penerima
Keputusan, daya mengikat Keputusan sejak diterimanya.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan bukti waktu penerimaan antara pengirim
dan penerima Keputusan, mengikatnya Keputusan didasarkan pada bukti
penerimaan yang dimiliki oleh penerima Keputusan, kecuali dapat
dibuktikan lain oleh pengirim.

Bagian Penutup, Pasal 57 UU AP menentukan, Keputusan berlaku pada


tanggal ditetapkan, kecuali ditentukan lain dalam Keputusan atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan. Tanggal penetapan
dan pejabat yang menetapkan dirumuskan dalam bagian Penutup KAP.
Contoh: Bagian Penutup KAP
Kotak 5. Bagian Penutup KAP
Ditetapkan di Denpasar
pada tanggal 17 Agustus 2006
GUBERNUR BALI,
ttd
DEWA BERATA

4.3. Bentuk Keputusan Admnistrasi Pemerintahan


Berikut dikemukakan model Keputusan Administrasi Pemerintahan, dengan
nama jabatan Rektor Universitas Udayana. Model ini disusun berdasarkan
keseluruhan uraian di atas, dengan pendekatan teoritik, kaidah, dan praktik.
21

KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA BAGIAN


NOMOR … TAHUN … JUDUL
TENTANG
(Nama Keputusan)

REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA,

Menimbang : a. bahwa ....(alasan pertimbangan filosofis) ...........; BAGIAN


b. bahwa ....(alasan pertimbangan sosiologis)........; PEMBUKAAN
c. bahwa ....(alasan pertimbangan yuridis) ............;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan Keputusan Rektor tentang
............................................................................;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor ....................................;


2. Peraturan Pemerintah Nomor ...........................;
3. Peraturan Presiden Nomor ...............................;
4. Peraturan Menteri .... Nomor ............................;

MEMUTUSKAN
Menetapkan : ..............................(nama keputusan).......................
BAGIAN
KESATU : ................................................................................ . BATANG TUBUH
KEDUA : ............................................................................... . sesuai keperluan
KETIGA : ............................................................................... .
KEEMPAT : Keputusan Rektor ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di ....... BAGIAN


pada tanggal ........... PENUTUP
REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA,
ttd

..............(nama) ......................

Keputusan Rektor ini disampaikan


kepada:
1. ...............................................................
.
2. ...............................................................
.
3. ...............................................................
.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkian keseluruhan uraian tersebut di atas, diulangtegaskan beberapa
pernyataan penting, yakni:
1. Keputusan Administrsi Pemerintahan, yang disebut juga Keputusan Tata
Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara, adalah ketetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat
individual, konkret, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang
atau badan hukum perdata.
2. Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum dalam Penyusunan Keputusan
Administrasi Pemerintahan mencakup (1) dasar kewenangan menetapkan
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang dilakukan dengan
menggunakan teori sumber kewenangan; dan (2) memastikan kewenangan
digunakan secara tidak bersalahguna yang meliputi: (a) ruang lingkup
wewenang; (b) faktor-faktor yang dapat atau harus dipertimbangkan; dan )c)
prosedur pengambilan keputusan.
3. Teknik penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan menyangkut
teknik penyusunan substansi keputusan dan struktur serta bentuk luar
keputusan. Penyusunan substansi keputusan berkenaan dengan
perumusan materi pokok yang diputus ke dalam rumusan norma hukum,
jadi menyangkut penormaan materi pokok yang diputus. struktur serta
bentuk luar keputusan. Struktur dan Bentuk Keputusan Administrasi
Pemerintahan terdiri atas: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup,
serta Penjelasan dan Lampiran jika diperlukan. Menyangkut batang tubuh
Keputusan Administrasi Pemerintahan memuat Materi Pokok Yang Diputus
dan Ketentuan Penutup.

5.2. Saran
1. Perlu diadakan kajian lebih lanjut mengenai praktik penyusunan Keputusan
Administrasi Pemerintahan, terutama menyangkut tingkat kesesuaiannya

22
23

dengan Prinsip dan Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi


Pemerintahan.
2. Agar penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan, dalam hal ini
Keputusan Rektor dan Keputusan Dekan di lingkungan Universitas
Udayana menyesuaikan dengan Prinsip dan Teknik Penyusunan Keputusan
Administrasi Pemerintahan.

5.3. Refleksi
Penting memahami Prinsip dan Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi
Pemerintahan dalam upaya meningkatkan peneyelenggaraan pemerintahan yang
tidak bersalahguna dengan tujuan melindungi hak-hak dasar warga negara sesuai
amanat Pembukaan UUD 1945.
24

DAFTAR PUSTAKA

Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere, 2002, Ann


Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere, 2002,
Penyusunan Rancangan UndangPenyusunan Rancangan Undang--
Undang Dalam Perubahan Masyarakat Undang Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat
Rancangan UndangYang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk
Pembuat Rancangan Undang-UndangUndang, terjemahan, Proyek
ELIPS Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Bruggink, J.J.H., 1996, Refleksi Tentang Hukum Refleksi Tentang Hukum,
terjemahan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamid S. Attamimi, A., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesiaq dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi,
Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, 1997,
Keterampilan Perancangan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Perumusan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan Menurut Prinsip Supremasi Hukum: Upaya
Perlindungan Hukum atas Tindak Pemerintahan”, Makalah, Seminar
Penyusunan Legislasi Di Indonesia dan Studi banding Sistem
Penyusunan Anggaran Di Amerika Serikat”, diselenggarakan oleh
International Republican Institute, Denpasar, 15-16 Oktober.
.........., 2007, “Antisipasi Gugatan Keputusan Tata Usaha Negara: Formulasi
dan Implementasi Kewenangan Yang Absah”, Makalah, Bimbingan
Teknis Sengketa Hukum Bagi Pejabat Di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Bali, diselenggarakan Sekretariat Daerah Provinsi Bali,
Denpasar.
Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatannya, Kanisius, Yogyakarta.
Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
25

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai